Saya harap jawaban saya ini tidak dinilai OOT, jikalau dinilai OOT, maka saya juga minta maaf karena berbuat kesalahan.
Kita semua ( saya ) pernah melakukan kesalahan, saling memaafkan adalah kewajiban. Sepengetahuan saya, kita semakin DEWASA karena BELAJAR dari kesalahan diri sendiri atau orang lain. Sebelum menjawab pertanyaan Bro Riky, pertanyaannya adalah inti dari tujuan kita belajar Dhamma sebenarnya apa ?
Jika kita “MENCARI” “KELUAR” ( outside-in), maka yang selalu menjadi PERHATIAN KITA adalah Yang Lain harus berubah untuk kita, dan inilah Penderitaan, karena kita tidak pernah puas dengan konsep dari pengetahuan yang kita pelajari, dan tidak pernah mendapat MANFAAT dari Dhamma yang kita pelajari. Kita semua selalu mencari celah negative untuk semua masalah dalam memuaskan dan menutupi keegoan kita.
Jika kita “MENCARI” “KEDALAM” ( inside-out ), maka yang selalu menjadi PERHATIAN KITA adalah DIRI SENDIRI YANG HARUS BERUBAH sebelum mengubah orang lain. Maka MANFAAT DHAMMA yang kita pelajari dapat kita petik.
“MENCARI” berarti mendapatkan “GURU pembimbing yang baik ”
Guru yang terbaik adalah orang yang paling kita benci. Karena dia membantu kita mengikis KEBENCIAN dan KESERAKAHAN ( ekstrim tidak suka dan ekstrim suka ) dan ini dapat kita temukan dilingkungan kita.
Guru paling terbaik ( Best of the Best ) adalah JALAN TENGAH, yang mengajarkan kita untuk tidak menjadi ekstrim suka ( serakah ) dan ekstrim tidak suka ( benci ) atas semua situasi dan kondisi yang kita terima SAAT INI.
maaf saya tidak setuju hal yang di bold. masa harus Buddha orang yang harus paling dibenci.
Buddha adalah bold biru
Yang saya maksud dari pont ini tentu Bukan Buddha Sang Guru Agung, melainkan LINGKUNGAN KITA ( bold hijau ) yakni diri sendiri, sesama manusia dan makhluk lainnya.
Salah satu contoh sederhananya adalah, didalam Forum DC, sering kita membaca dan menemukan postingan yang membuat kita marah dan benci tanpa kita minta, hadir tanpa minta izin dari kita, dan otomatis muncul ( INILAH GURU TERBAIK KITA ), lulus atau gagal tergantung kepada kemampuan kita mengendalikan bathin kita ( sadar munculnya produk pikiran yakni BENCI tersebut telah timbul dan dan menyadari akan tenggelam dengan sendirinya ). Jika LULUS, maka biasanya postingan kita lebih adem dan bijaksana, dan biasanya berbentuk nasehat. Tetapi jika GAGAL, maka postingan kita menjadi penyebar kebencian dengan caci maki, mencela dan merendahkan bahkan menghina, sehingga menambah karma buruk dalam pikiran, ucapan dan perbuatan ( Seperti nasehat Bro Kainyn, dalam diskusi dan debat jangan didasari kemarahan dan kebencian ).
Tanpa kita sadari, SETIAP SAAT kita selalu menemukan atau bertemu dengan berbagai jenis “GURU TERBAIK” seperti model diatas misalnya keluarga, masyarakat, pergaulan, dll. Guru Terbaik inilah yang membuat kita semakin DEWASA, jika kita meningkatkan LATIHAN dengan KESADARAN, hasilnya adalah TERKIKISNYA KEBENCIAN. Dan ini dikatakan sebagai pikiran, ucapan dan perbuatan yang MEDITATIF dalam menjalani kehidupan. Dan jika tidak salah ingat ada perumpamaan “Lakukan Meditasi ditengah hiruk pikuk keramaian pasar”.
"Tujuan tertinggi bukanlah menghindari kebencian dan mencapai kebahagiaan.Tujuan tertinggi adalah mencapai kebebasan. Bebas dari perangkap kebencian dan kebahagiaan." ~Y.M. Sri Pannavaro MahatheraIni adalah salah satu contoh artikel sangat sederhana untuk membandingkan Pikiran Manusia Polos ( Murni ) dengan Pikiran Manusia Yang Terkontanimasi oleh Kebencian dan Keserakahan Yang Pekat.
KEPOLOSAN ANAK BAGAIKAN AIRDi dalam proses pertumbuhan manusia, seiring dengan umur yang bertambah setiap tahun, suasana hati (pikiran ) juga kian rumit. Kesadaran setelah lahir dan KONSEP yang telah berubah berangsur-angsur terbentuk di dalam masyarakat serta terkontaminasi oleh berbagai macam kebiasaan yang kurang baik, hal tersebut sedikit demi sedikit tanpa terasa telah merongrong kemurnian dan kebaikan pembawaan kita sejak lahir. Masa kanak-kanak yang bagaikan emas itu telah berlalu menjadi kenangan, sifat kepolosan bagaikan air dari kanak-kanak itu juga sirna bersama.
Hari demi hari, tahun demi tahun, waktu berlalu bagaikan air yang sedang mengalir, jika tidak ada jodoh ( kamma ) Buddha Dhamma yakni dengan LATIHAN PENGEMBANGAN BATHIN , orang tidak akan mengenal arti sesungguhnya dari kehidupan, maka seiring dengan waktu, kemurnian dan ketulusan dari manusia itu akan hilang untuk selama-lamanya.
Masyarakat orang awam kebanyakan terganggu oleh nama dan keuntungan, merasa cemas akan untung rugi pribadi, sibuk setiap hari, kian hari kian apatis, berangsur-angsur mengikis habis ketulusan dan kemurnian yang pada awalnya eksis itu.
Kebanyakan orang sibuk dengan membabi buta di dalam ketidak-mengertian, tak henti-hentinya mencari kebahagiaan kian kemari, tetapi justru telah memandang hambar dan melupakan ketulusan dan kemurnian hati ( pikiran )yang pernah dimiliki, melupakan bahwa memiliki hati tulus dan murni yang sederhana merupakan suatu hal yang paling menggembirakan.
Teringat semasa kecil dulu, ada seorang anak gadis cilik yang merupakan anak tunggal tetangga saya. Setiap hari ia berjalan kaki pergi ke sekolah. Pada suatu pagi hari cuaca kurang baik, awan berangsur-angsur menjadi tebal, hingga sore hari ketika pulang sekolah angin mulai bertiup kencang, tak lama kemudian muncul petir dan suara halilintar di atas angkasa, kelihatannya segera akan turun hujan lebat.
Ibu gadis itu sangat khawatir anak gadisnya menjadi ketakutan karena gelegar petir, bahkan khawatir anaknya akan tersambar petir, maka dia bergegas membawa payung dan jas hujan menelusuri jalanan yang setiap hari dilalui oleh anak gadisnya ke sekolah untuk mencari anaknya.
Ketika ibu yang penuh kecemasan ini menjumpai anak gadisnya, ia melihat anak gadis itu berekspresi tenang-tenang, dengan sangat santai berjalan di jalanan. Dan setiap kali ketika muncul kilatan di atas langit, gadis kecil itu akan menghentikan langkah kaki, mengangkat kepala menengok ke atas langit serta menampilkan senyuman.
Ibu tersebut melihat pemandangan ini menjadi sangat heran sekali, tak tertahankan dia memanggil anak gadisnya dan bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan?”. Dengan bersungguh-sungguh gadis kecil itu menjawab, “Tadi langit hendak memotret diriku, maka saya harus menampilkan senyuman!”
Setelah pulang sampai di rumah, ibu tersebut dengan sangat serius berkata pada anak gadisnya itu, “Keadaan seperti tadi itu sangatlah berbahaya, lain kali kesempatan jika kamu menjumpai petir dan halilintar lagi, kamu harus segera berlari pulang ke rumah”.
Dengan nada tidak terima, anak gadis itu menjawab, “Nenek pernah bertutur kepada saya, petir dan halilintar hanya menyambar orang-orang jahat, bukan orang yang baik. Saya adalah orang baik, saya tidak takut. Orang jahatlah yang seharusnya takut! Mengapa saya harus seperti orang dewasa bergegas-gegas pulang ke rumah? Saya bisa berjalan ke rumah dengan santai”.
Dari sini terlihat nyata sekali, hati anak gadis kecil ini polos bagaikan air, oleh karena kesederhanaan dan keelokan ini, maka dia hidup jauh lebih gembira dan santai jika dibandingkan dengan ibunya.
Jika dipikir secara teliti, bagi orang yang benar-benar jahat walaupun berlari sangat kencang pun, dia tidak akan bisa menghindari hukuman tersambar oleh petir, karena orang baik berhati murni, mengapa dia tidak boleh berjalan santai pulang ke rumah?
Kata-kata yang diucapkan oleh gadis itu sungguh sangat beralasan sekali! Seseorang jika benar bisa mempertahankan kesederhanaan dan kemurnian alami, maka dapat dipastikan bahwa kehidupannya akan sangat gembira dan santai, jauh dari segala kerisauan!
Semoga Bermanfaat