//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Diamond Sutra dan Hinayana  (Read 65759 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Diamond Sutra dan Hinayana
« Reply #30 on: 08 March 2008, 07:04:15 PM »
Sebenarnya nama Sutra yang tepat adalah Diamond Cutter Sutra ;D
Karena pengaruh perkembangan agama Buddha yang berbeda di tempat yang berbeda, Mahayana mengacu kepada aliran-aliran yang ada di India, sementara Theravada berkembang di Sri Lanka. Jadi sebenarnya istilah tersebut mengacu kepada aliran-aliran yang ada di India. Terlepas dari klaim masing-masing aliran apakah Sutra-sutra Mahayana asli atau tidak, pendapat ahli-ahli sejarah mengatakan bahwa dari gaya bahasa dan lain-lain bisa disimpulkan bahwa Sutra-Sutra Mahayana sendiri mengalami evolusi, sama seperti sebagian Sutta-Sutta Theravada. Tetapi apakah Sutra-Sutra tersebut bukan Buddha Vacana? Saya kira masing-masing pihak berniat baik untuk mempertahankan Dhamma. Kalau dilihat dari evolusi Sutra-Sutra Mahayana, Sutra-Sutra Mahayana awal berusaha agar tidak terlalu merendahkan Hinayana.

Permasalahannya adalah istilah Hinayana digunakan oleh Sang Buddha ketika memutar Roda Dhamma pertama kali, Dhammacakkappavattana. Di Sutta tersebut Sang Buddha menggunakan istilah hinayana untuk mengacu kepada jalan pemuasan nafsu dan jalan kesengsaraan. Istilah tersebut memang mengacu kepada sesuatu yang "rendah", "kecil", tidak berguna. Istilah "kecil" tanpa konotasi negatif yang benar adalah "culla". Istilah "hina" ini telah saya konfirmasi memang menganggap rendah orang yang ingin terlepas dari Dukkha tanpa menjadi Sammasambuddha, termasuk di forum-forum Buddhist lain. Dari para ahli Mahayana dan Tantrayana yang sangat-sangat menguasai Agama, dan Sutra-Sutra Mahayana. Mereka sangat-sangat mempertahankan pandangan bahwa jalan menjadi Arahat adalah lebih rendah dari jalan menjadi Sammasambuddha. Tantrayana menerjemahkan istilah "hina" menjadi sesuatu yang sinonim dalam bahasa Tibet bukan tanpa pertimbangan.

Lalu apakah terbebas dari Dukkha adalah hal yang "hina"? Sang Buddha hanya mengajarkan Dukkha dan lenyapnya Dukkha. Dan pada banyak kesempatan beliau mengatakan berjuanglah sebaik mungkin. Yang terbaik adalah terbebas dari Dukkha,

Theravada sendiri mengakui ada Bodhisattva, dan ada jalan bagi mereka yang ingin menjadi Bodhisattva. Hal ini berarti Theravada bukan hinayana. Theravada adalah jalan yang lengkap, meliputi 4 kebenaran muliasebagaimana 4 kebenaran mulia, Dhamma telah lengkap dibabarkan Sang Buddha.
Saya sendiri tidak keberatan ada sumpah Bodhisattva, terlepas dari bisa atau tidaknya orang biasa bisa begitu saja menjadi Bodhisattva. Yang jadi masalah adalah kalau setiap makhluk harus mengambil sumpah Bodhisattva. Yang jadi masalah adalah kalau tidak mengambil sumpah Bodhisattva berarti "hina", termasuk para suciwan.

Saya kira memang 2 pandangan ini tidak bisa didamaikan. Jika memang kita merasa tidak benar, akan lebih baik jika kita mengatakan itu bukan Dhamma yang diajarkan Sang Buddha. Bukan malah marah-marah dan emosi.
Akan lebih baik jika kita menjalankan Dharma sebagai sesama pengikut ajaran Sang Buddha. Bukan saling meng"hina"..

Sebagai contoh, berikut pandangan yang salah menurut Theravada :
1. Parihāni micchādiṭṭhi — that an arahant may fall away from arahantship - Arahat bisa jatuh dari tingkat kesuciannya
2. Aññāṇa micchādiṭṭhi — that an arahant lacks knowledge - Arahat kurang pengetahuannya.
3. Kaṅkhā micchādiṭṭhi — that an arahant may have doubts - Arahat punya keragu-raguan.
4. Paravitāraṇa micchādiṭṭhi — that an arahant is excelled by others - Arahat bisa diungguli oleh yang lain.
5. Vohāra micchādiṭṭhi — that the Buddha’s everday speech was supramundane - Pembicaraan sehari-hari Sang Buddha menyangkut hal-hal metafisik
6. Niyāmokkanti micchādiṭṭhi — that a Bodhisatta becomes an ariyan before his final life - Bodhisattva bisa menjadi suciwan sebelum kehidupan terakhirnya.
7. Paṭuppanna micchādiṭṭhi — that all present events may be simultaneously known - semua keadaan sekarang bisa diketahui secara simultan.
8. Paribhogamayapuñña micchādiṭṭhi — that merit increases with utility - bahwa kebajikan meningkat dengan penggunaan.
9. Pathavī kammavipākoti micchādiṭṭhi — that the earth is kamma-produced - Bahwa bumi dihasilkan oleh karma (Amitabha?)
10.. Chagati micchādiṭṭhi — that there are six realms - Ada 6 alam kehidupan (Theravada memandang ada lima, Mahayana memandang ada enam).
11. Antarābhava micchādiṭṭhi — that there is an intermediate state - Ada alam antara (Bardho)
12. Amatārammaṇa micchādiṭṭhi — that the Deathless may be an object of attachment for an arahant - Bahwa Nibanna bisa menjadi obyek kemelekatan Arahat.
13. Iddhibala micchādiṭṭhi — that through the power of psychic mastery one may live for an aeon - dengan penguasaan kekuatan adiduniawi (manusia) seseorang bisa hidup lebih  dari satu kalpa.
14. Kamma micchādiṭṭhi — that all kamma gives rise to vipāka - semua kamma menghasilkan buah
15. Saddo vipākoti micchādiṭṭhi — that sound is the result of kamma - suara adalah hasil dari kamma.
16. Saḷāyatana micchādiṭṭhi — that the six sense-bases are the result of kamma - enam indera adalah hasil dari kamma
17. Jīvitā voropana micchādiṭṭhi — that one of right view may take life - seseorang dengan pandangan benar bisa mencabut nyawa
18. Tathatā micchādiṭṭhi — that there is a ‘thusness’ that is the fundamental character of all things - ada sifat "thusness" yang menjadi karakter fundamental semua hal
19. Sāsana micchādiṭṭhi — that the Buddha’s Dispensation may be improved - Ajaran Sang Buddha bisa ditingkatkan
20. Saṃyojana micchādiṭṭhi — that after arahantship some fetters may remain - Arahat mempunyai belenggu yang tersisa
21. Buddha micchādiṭṭhi — that Buddhas differ from one another in grades - para Buddha berbeda tingkatannya
22. Sabbadisā micchādiṭṭhi — that the Buddhas persist in all directions - para Buddha ada di semua arah
23. Parinibbāna micchādiṭṭhi — that an arahant’s final Nibbāna may be attained without all fetters having been cast off - Parinibanna Arahat bisa dicapai tanpa semua belenggu telah dihancurkan
24. Issariyakāma micchādiṭṭhi — that Bodhisattas may be voluntarily reborn in hell or other evil states - Para Bodhisattva bisa dengan sukarela terlahir di neraka atau keadaan buruk lain

Sebenarnya masih banyak pandangan lain yang dianggap tidak benar, tapi gak semuanya berhubungan dengan Mahayana ;D contohnya kotoran sang Buddha berbau cendana
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Diamond Sutra dan Hinayana
« Reply #31 on: 08 March 2008, 09:06:28 PM »

Permasalahannya adalah istilah Hinayana digunakan oleh Sang Buddha ketika memutar Roda Dhamma pertama kali, Dhammacakkappavattana. Di Sutta tersebut Sang Buddha menggunakan istilah hinayana untuk mengacu kepada jalan pemuasan nafsu dan jalan kesengsaraan.

Sorry Sdr. Karuna, saya tidak sependapat karena saya tidak menemukan istilah Hinayana dalam Dhammacakkappavattana Sutta. Sekali lagi istilah Hinayana. Dalam Dhammacakkappavattana Sutta memang ada kata hina, hino tetapi kata ini adalah kata yang sifatnya umum yang berarti rendah. Akan berbeda pengertiannya jika disandingkan dengan kata 'yana'. Jadi adalah berbeda antara kata hina dengan hinayana. Sama berbeda dengan kata "menyapu" dengan kata "menyapu lantai".
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline El Sol

  • Sebelumnya: El Sol
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.752
  • Reputasi: 6
  • Gender: Male
Re: Diamond Sutra dan Hinayana
« Reply #32 on: 08 March 2008, 09:31:39 PM »
 [at] kelana

nice nice...^^ ;D

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Diamond Sutra dan Hinayana
« Reply #33 on: 09 March 2008, 11:15:49 AM »
Hīna

Hīna [pp. of jahati] 1. inferior, low; poor, miserable; vile, base, abject, contemptible, despicable Vin i.10; D i.82, 98; S ii.154 (hīnaŋ dhātuŋ paṭicca uppajjati hīnā saññā);

yāna (-- yāyinī) Th 2, 389 (=aṭṭhangika-- magga-- sankhāta ariya-- yāna ThA 257); and brahma-- yāna dhamma-- yāna "the very best & excellent carriage" as Ep. of magga S v.5, cp. J iv.100. Cp. the later terms mahā and hīna-- yāna. See also yānikata.   -- ugghata shaking or jolting of the carriage Vin ii.276; DhA iii.283. -- gata having ascended the carriage D i.126. -- puṭosā

The myth of Hinayana
Kåre A. Lie

In the centuries around the birth of Christ there was a radical development going on in Buddhism. A new school was born, and its adherents called it Mahayana. How this new school differed from the earlier schools, can be found in any history of Buddhism. Here we will concentrate on one of the results of this schism: the term Hinayana.

The adherents of the older schools criticized the Mahayanists, especially for creating new sutras, forging the word of the Buddha. The Mahayanists on the other side reacted to that critique by accusing their opponents of not understanding the teaching of the Buddha at all and for beeing narrowminded egoists. The debate got heated, and accusations flowed from both sides. Then some brilliant person at the Mahayana side of the debate created the word pair Mahayana/Hinayana, and it stuck. They called their opponents Hinayana, and this word worked excellently as an insult – with a simplicity and a parallellity to Mahayana that any fool could grasp.

Hinayana, or, more correctly, hiinayaana, is a highly derogatory term. It does not simply mean "Lesser vehicle" as one often can see stated. The second element of hiina-yaana – that is yaana – means vehicle. But hiina very seldom has the simple meaning of "lesser" or "small". If that had been the case, the Pali (or Sanskrit) texts would have used it in other connections as an opposite of mahaa – big. But they don't. The opposite of mahaa is cuu.la, so this is the normal word for "small".

The term Hinayana is an echo of a debate long dead – or rather a debate where the one party is dead and the other one is shouting to the winds.

Who were the opponents who were labeled Hinayana? Theravada? Probably not. At the time when Mahayana was born, Theravada had mainly "emigrated" to Sri Lanka, and could hardly be counted among the dominating schools on the Indian mainland – where the Mahayana/Hinayana debate took place. Theravadins are only sporadically mentioned in Mahayana works. In Karmasiddhiprakarana Vasubandhu respectfully calls them "the honorable Tamraparniyas" (Tamraparni was a name for Sri Lanka), and he does not call them "Hinayana". The most influential of the old schools at that time, was Sarvastivada, so they were the most probable – but hardly the only – target for the "Hinayana"-invectives.

Now the Sarvastivada and the other early schools of India at that time are long dead, except Theravada, but the debate and the arguments found their way into the Mahayana sutras, as for instance is apparent from the anti-Hinayana propaganda in the Lotus sutra – and keep echoing in the Mahayana and Vajrayana teaching.

Today there is confusion, for the Mahayanists/Vajrayanists use the term Hinayana in three different ways:
1) In the historical sense: Pre-Mahayanist schools are called Hinayana.
2) Modern Theravada is confused with Hinayana.
3) The term Hinayana is used for an internal part of the Mahayana/Vajrayana teaching.

Let's have a closer look on these three usages.

1) Some assert that the word Hinayana as a term for the earlier schools is a usage that belongs to the distant past only. This is not correct. It can be found in several modern reference works, and in more specialist literature it can for instance be found in H.V. Guenther, Buddhist Philosophy In Theory and Practice, citing Tibetan works from the 18th and the 20th century.

2) As an example of confusing Hinayana with Theravada, I will quote from the Bibliography of Jane Hope (Jane Hope studied with Chogyam Trungpa Rinpoche.), Buddha for beginners, printed in 1995 (I only have the Norwegian version available, so I hope my retranslation back into English will not be too inaccurate): "Hinayana Buddhism. A good introduction to the traditional Hinayana Buddhism is What the Buddha Taught, Walpola Rahula ... From a present point of view and written by two Westerners trained in the Theravada tradition, is ... Seeking the Heart of Wisdom, by Joseph Goldstein & Jack Kornfield ..."

3) Now for a persistent confusion that has its basis in Tibetan Buddhism. Some say that Hinayana and Mahayana from very early on are two terms used to describe two different spiritual attitudes, and quote from the 7th chapter ("Loving Kindness and Compassion") of the Tibetan classic The Jewel Ornament of Liberation written in the 10th century, where the author, Jé Gampopa refers to Hinayana as "lower capacity" ("theg pa dman pa"). The paragraph reads as follows: "‘Clinging to the well-being of mere peace(1)' signifies the lower capacity attitude(2) wherein the longing to transcend suffering is focused on oneself alone. This precludes the cherishing of others and hence there is little development of altruism. [...] When loving kindness and compassion become part of one, there is so much care for other conscious beings that one could not bear to liberate oneself alone. [...] Master Manjushriikiirti has said: ‘A Mahaayaana follower should not be without loving kindness and compassion for even a single moment', and ‘It is not anger and hatred but loving kindness and compassion that vouchsafe the welfare of others'."

The footnotes to this passage read as follows: (1) The Tibetan zhi.ba means "peace". It is translated as "mere peace" in this section of the book, since it is used by Gampopa to denote the relatively compassionless peace that results from developing only concentration meditation. (2) Hinayana: "lesser capacity" often translated as "lesser vehicle". The term implies the ability to carry a burden. In this case the burden is oneself since one's commitment is to bring oneself to liberation, not everyone (as is the case in the Mahayana, the "greater capacity").

The problem and confusion here is of course that this analysis does not refer directly to the Pali/Sanskrit word hiinayaana, but to its Tibetan translation "theg pa dman pa". This is a key issue, as will be shown below.

The word Hinayana is not Tibetan, it is not Chinese, English or Bantu. It is Pali and Sanskrit. Therefore, the only sensible approach for finding the meaning of the word, is to study how the word hiinayaana is used in the Pali and Sanskrit texts.

The second element, -yaana, means vehicle. There is no dissent about this.

How then is "hiina" used in the canonical Pali texts?

Every Buddhist knows the first recorded sermon of the Buddha, the Dhammacakkappavattanasutta spoken to the five ascets who became the first five bhikkhus. There the Buddha says: "These two extremes, monks, are not to be practised by one who has gone forth from the world. What are the two? That conjoined with the passions and luxury, low (hiina), coarse, vulgar, ignoble and harmful ..."

Knowing that the sutta style often use strings of synonyms this way, so that they strengthen and define each other, one can regard "coarse, vulgar, ignoble and harmful" as auxiliary definitions of "hiina" in this case.

Here the Buddha clearly denotes the path not to be practised, as hiina.

In other Pali texts and commentaries hiina often occurs in the combination hiina-majjhima-pa.niita, that is: bad - medium - good. In the context of hiina - majjhima - pa.niita (or sometimes only hiina - pa.niita) the word hiina is always used as a term for undesirable qualities, like for instance hatred, greed and ignorance. It obviously means "low, undesirable, despicable" – and not "small" or "lesser".

The commentary Mahaniddesa-atthakatha, one of the texts where this triad occurs, defines the word thus: hiinattike hiinaati laamakaa (In the hiina-triad "hiina" is "laamakaa"). Now laamaka is defined by the PTS Dictionary in this way: "insignificant, poor, inferior, bad, sinful. The usual synonym is paapa". And paapa means "bad, evil". So it seems the definitions go from bad to worse here. The commentary then gives examples, and explains that desires that cause rebirth in niraya (hell, purgatory) are hiina.

Now for Sanskrit texts. In Lalitavistara we find a version of the Dhammacakkappavattanasutta, where the word "hiina" is used exactly as in the above citation from the Pali-version of that sutta.

In Mahayanasutralankara by Asanga, which is a very representativ Mahayana text, we find something of interest for our quest. Asanga says: "There are three groups of people: hiina-madhyama-vishishta ...(bad – medium – excellent)." This expression is parallell to the Pali: hiina-majjhima-pa.niita, and goes to show that the Mahayanists who coined the therm "hiinayaana", regarded "hiina" as a derogatory term, with the same meaning as in the Pali texts.

A very interesting text is an edition of the Catushparishatsutra where the text is presented in four parallell columns: Sanskrit, Pali (Mahavagga), Tibetan and a German translation from a Chinese version. Here, again, we find the Dhammacakkappavattanasutta. We have already looked into the Sanskrit and Pali. The German version from the Chinese says: "Erstens: Gefallen zu finden an und anzunehmen die niedrigen und üblen Sitten der gewöhnliche Personen ..." It is a little unclear wether it here is "niedrigen" (despicable) or "üblen" (evil, bad) that corresponds to "hiina". But it at least is clear that the strongly negative connotation of "hiina" was carried over into the Chinese translation. So far nothing had changed from the Pali and Sanskrit meanings.

In the the Tibetan column, we find that the Tibetan word "dman-pa" takes the place corresponding to the Sanskrit "hiina", matching the above quote from Jé Gampopa. And here we have the cause of later confusions and misunderstandings of the term hiinayaana. Let us see what Tibetan-English dictionaries say about "dman-pa": Sarat Chandra Das' Dictionary says: "dman-pa: low, in reference to quantity or quality, little". Jäschke's Dictionary is even more enlightening: "dman-pa: 1. low, in reference to quantity, little. 2. in reference to quality: indifferent, inferior (Ssk: hiina)."

It thus seems that the Sanskrit word hiina, which without any reasonable doubt means "of low quality", came to be translated by the Tibetan word dman-pa, which has the double meaning "low quality" and "low quantity". And the above quote from Jé Gampopa seems to indicate that many Tibetans henceforth read only the latter of those two meanings into it, as "lesser capacity", "lower capacity", so that the meaning was distorted from "low quality" to "low quantity".

Thus we see that the confusion arose from the fact that dman-pa has two meanings in Tibetan. Hinayana – originally meaning "vehicle of despicable quality" – thus acquired the new meaning "vehicle of lower capacity". But this is a result of a wrong method. It is of course wrong to project the new Tibetan meaning back onto the Sanskrit/Pali word, and say that "this is the meaning of Hinayana, because this is how the Tibetan masters explain it." What the Tibetan masters explain, is the Tibetan word dman-pa, not the Sanskrit word hiina.

Therefore it is clear that one can not assert that Hinayana has the "mild" meaning that the Tibetan tradition has given it, via the Tibetan word dman-pa. Hinayana is not Tibetan, it is Sanskrit/Pali, and its harsh, derogatory meaning is unchanged by any attempts of mitigation.

What then, is Hinayana? Is it Theravada buddhism? No, that is both insulting and probably also historically wrong. Is it a spiritual attitude inside the Mahayana and Vajrayana system? No, that is the Tibetan "theg pa dman pa", the lower capacity attitude, and not the Sanskrit Hinayana, "the inferior vehicle". Therefore, there is no Hinayana. Hinayana is nothing but a myth, although a confused and disruptive one, and wise Buddhists ought to lay that word at rest on the shelves of the Museum of Schisms, where it rightly belongs, and find other words to denote those spiritual attitudes that they wish to define.

http://www.lienet.no/hinayan1.htm
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Diamond Sutra dan Hinayana
« Reply #34 on: 09 March 2008, 04:32:29 PM »
Hīna

Hīna [pp. of jahati] 1. inferior, low; poor, miserable; vile, base, abject, contemptible, despicable Vin i.10; D i.82, 98; S ii.154 (hīnaŋ dhātuŋ paṭicca uppajjati hīnā saññā);

yāna (-- yāyinī) Th 2, 389 (=aṭṭhangika-- magga-- sankhāta ariya-- yāna ThA 257); and brahma-- yāna dhamma-- yāna "the very best & excellent carriage" as Ep. of magga S v.5, cp. J iv.100. Cp. the later terms mahā and hīna-- yāna. See also yānikata.   -- ugghata shaking or jolting of the carriage Vin ii.276; DhA iii.283. -- gata having ascended the carriage D i.126. -- puṭosā

Ini menguatkan pendapat saya bahwa kata ‘hina’ itu sifatnya umum jika berdiri sendiri, begitu juga ‘kata yana’ . Tapi lain masalahnya jika kedua kata tersebut digabung, akan membentuk kata yang khusus.

Quote
How then is "hiina" used in the canonical Pali texts?

Every Buddhist knows the first recorded sermon of the Buddha, the Dhammacakkappavattanasutta spoken to the five ascets who became the first five bhikkhus. There the Buddha says: "These two extremes, monks, are not to be practised by one who has gone forth from the world. What are the two? That conjoined with the passions and luxury, low (hiina), coarse, vulgar, ignoble and harmful ..."

Knowing that the sutta style often use strings of synonyms this way, so that they strengthen and define each other, one can regard "coarse, vulgar, ignoble and harmful" as auxiliary definitions of "hiina" in this case.

Here the Buddha clearly denotes the path not to be practised, as hiina.

In other Pali texts and commentaries hiina often occurs in the combination hiina-majjhima-pa.niita, that is: bad - medium - good. In the context of hiina - majjhima - pa.niita (or sometimes only hiina - pa.niita) the word hiina is always used as a term for undesirable qualities, like for instance hatred, greed and ignorance. It obviously means "low, undesirable, despicable" – and not "small" or "lesser".

The commentary Mahaniddesa-atthakatha, one of the texts where this triad occurs, defines the word thus: hiinattike hiinaati laamakaa (In the hiina-triad "hiina" is "laamakaa"). Now laamaka is defined by the PTS Dictionary in this way: "insignificant, poor, inferior, bad, sinful. The usual synonym is paapa". And paapa means "bad, evil". So it seems the definitions go from bad to worse here. The commentary then gives examples, and explains that desires that cause rebirth in niraya (hell, purgatory) are hiina.

Sangat jelas bukan, bahwa artikel dari Sdr. Karuna ini menekankan bahwa yang ada dalam Dhammacakkappavattana Sutta adalah kata ‘hina’ yang berdiri sendiri dan sifatnya umum, bukan kata ‘hinayana’.

Dari artikel yang disampaikan oleh Sdr.Karuna nampaknya memang telah terjadi penggunaan kata yang bersifat negatif yaitu ‘hina’ yang digabung dengan kata ‘yana’ oleh Mahayanis untuk mengacu pada kelompok tertentu.

Dan sepertinya jelas bahwa Hinayana adalah Sebuah Mitos Kuno http://bhagavant.com/home.php?link=naskah_dhamma_article&n_id=61
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline El Sol

  • Sebelumnya: El Sol
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.752
  • Reputasi: 6
  • Gender: Male
Re: Diamond Sutra dan Hinayana
« Reply #35 on: 09 March 2008, 05:48:14 PM »
mari kita bocorkan kebusukan Mahayana...

selama ini...mereka berlindung dengan "Brand" tapi qualitynya...quality pasar malam!

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Diamond Sutra dan Hinayana
« Reply #36 on: 12 March 2008, 10:09:39 AM »
Sudah berkali-kali sudah dijelaskan bahwa istilah Hinayana hanya mengacu pada orang yang berprilaku rendah dan egois. Di sini kok malah berkesan teman2 seperti bro Elsol ngotot mengklaim sendiri berprilaku rendah dan merasa diri sendiri dihina, pada jelas2 dalam Sutra Mahayana tidak ada satu kata pun yang menghina Theravada apalagi mengatakan Theravada berprilaku rendah, dan tidak ada satu kata pun yang menyebutkan Hinayana adalah Theravada.  Jika ada, itu hanya pendapat dari segelintir orang yang tidak mengkaji Theravada secara mendalam. Mengapa gitu aja kok repot ribut2 bahwa Mahayana menghina Theravada, padahal pendapat segelintir orang tidak berarti ucapan mereka mewakili komunitas itu secara keseluruhan.
Cape deh...
Contoh kasus:
Seseorang mencuri. Kemudian saya mengatakan jangan jadi pencuri karena itu adalah prilaku buruk. Adalah aneh jika ada yang marah dengan nasihat ini, kecuali dia benar2 pencuri yang sesungguhnya.
Nah, apakah Theravada adalah Hinayana, silahkan anda menilainya sendiri. (Mumpung anda2 sering lupa, saya tekankan sekali lagi Mahayana tidak pernah menghina Theravada, jika pun ada itu hanya pendapat dari kaum Mahayana yang belum paham ttg Theravada dan makna Hinayana yg sesungguhnya).


Kalo soal kualitas, ah... Buddhisme kini begitu dihargai oleh skolar barat, tidak dapat dipungkiri lagi bhw kontribusi dari Buddhisme Mahayana juga tidak kecil lho.. :P
« Last Edit: 12 March 2008, 10:12:49 AM by chingik »

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Diamond Sutra dan Hinayana
« Reply #37 on: 12 March 2008, 11:12:44 AM »
Quote
Sudah berkali-kali sudah dijelaskan bahwa istilah Hinayana hanya mengacu pada orang yang berprilaku rendah dan egois.
Masalah terletak pada istilah ini yang mengacu kepada jalan Arahat. Hal tersebut tidak bisa diterima semua orang, bukan hal yang universal. Sdr Chingik juga tidak bisa memaksakan pendapat satu aliran kepada orang lain. Apa Sdr Chingik mau jadi selevel dengan el sol?  ;D
Bahkan di dunia internasional istilah tersebut dianggap hal yang tabu untuk diucapkan. Bukan karena benar/tidak benar, tapi karena toleransi.

Theravada akan terus menganggap Mahayana adalah tambahan belakangan, dan Sutra-Sutra Mahayana adalah tambahan belakangan dan bukan Buddha Vacana. Theravada berpandangan bahwa Dhamma Sang Buddha yang dikumpulkan oleh Ariya Sangha dalam Pali Kanon dan kitab-kitab komentar tambahan yang dibuat oleh Ariya Sangha adalah lebih benar daripada pandangan puthujana, orang-orang yang belum mencapai tingkat kesucian, termasuk Bodhisattva.

Mahayana akan terus menganggap Theravada tidak paham, tidak mengerti asal-usul Sutra-Sutra Mahayana. Bahwa Sutra-Sutra Mahayana memang diceritakan oleh Sang Buddha sendiri, tapi tidak diakui oleh Theravada. Dharma yang dibabarkan Sang Buddha tergantung pada kesempatan yang berbeda, karena itu ada jalan Mahayana, dan jalan lainnya. Sebagai contoh, vegetarian memang tidak diatur dalam kitab-kitab agama, tetapi di Sutra-Sutra Mahayana disebutkan sebaiknya dihindari. Karena itu Bhiksu-Bhiksu Mahayana menghindari makan daging.

Dan Vajrayana akan menganggap Mahayana tidak mengerti tentang Tantra...

Belum lagi tiap-tiap aliran sendiri mempunyai turunannya lagi yang mempunyai penafsiran yang berbeda-beda.

Waktu saya berdiskusi dengan seseorang yang beraliran Vajrayana, saya berkata saya akan terus menganggap Vajrayana sebagai tambahan belakangan. Yang Vajrayana berkata dia akan terus menganggap Theravada sebagai Hinayana, karena memang itulah yang diajarkan pada kesempatan yang berbeda. Kita terus berdiskusi dengan mengambil sumber-sumber naskah-naskah, penelitian-penelitian, dan lain-lain. Yang beraliran Vajrayana tersebut menguasai agama (Pali Kanon) dengan sangat baik, bahkan mungkin lebih baik dari el sol sendiri. Kami terus berdiskusi sampai Raja Asoka, bahkan mungkin lebih awal lagi. Kesimpulannya memang pandangan masing-masing berbeda.

Tidak apa-apa, itu namanya perbedaan. Tetapi kadang-kadang kita terus meributkan perbedaan-perbedaan itu, karena alasan yang salah. Kita terus berusaha memajukan ego sendiri, kita terus menanam benih-benih kebencian, pertengkaran.

Akan lebih baik jika kita berdiskusi dengan hati yang penuh cinta kasih. Akan lebih baik kita mengatakan sesuatu hal itu memang tidak benar, karena kita telah meneliti Dhamma/Dharma yang telah dibabarkan Sang Buddha  karena kecintaan kita kepada Tiga Permata, karena kita ingin orang lain menjadi lebih baik lagi. Dengan terus berusaha berjuang di jalan mulia beruas delapan, dan berdiskusi dengan sehat, kita bisa terus membantu orang lain berpandangan benar juga.

Saya kira Dhamma/Dharma sejati hanya bisa ditelusuri mereka yang telah mempraktekkan dengan sebaik mungkin, bukan cuma oleh diskusi/teori saja. Di aliran manapun, selama ada jalan mulia beruas delapan, di sana akan ditemukan pemebebasan.
« Last Edit: 12 March 2008, 11:21:51 AM by karuna_murti »
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline El Sol

  • Sebelumnya: El Sol
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.752
  • Reputasi: 6
  • Gender: Male
Re: Diamond Sutra dan Hinayana
« Reply #38 on: 12 March 2008, 05:00:11 PM »
Quote
Apa Sdr Chingik mau jadi selevel dengan el sol?
WEEEEEIIII!!!!... ~X(  Level gw lebih tinggi dari diaaaa(dibagian positip)... :))
« Last Edit: 12 March 2008, 05:23:22 PM by El Sol »

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Diamond Sutra dan Hinayana
« Reply #39 on: 12 March 2008, 06:58:51 PM »
 :)) :))
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Diamond Sutra dan Hinayana
« Reply #40 on: 13 March 2008, 11:39:58 AM »
Sudah berkali-kali sudah dijelaskan bahwa istilah Hinayana hanya mengacu pada orang yang berprilaku rendah dan egois. Di sini kok malah berkesan teman2 seperti bro Elsol ngotot mengklaim sendiri berprilaku rendah dan merasa diri sendiri dihina, pada jelas2 dalam Sutra Mahayana tidak ada satu kata pun yang menghina Theravada apalagi mengatakan Theravada berprilaku rendah,….

Masalahnya bukan ngotot mengklaim sendiri berprilaku rendah dan merasa diri sendiri dihina, Sdr. Chingik, tetapi seperti yang disampaikan oleh Sdr. Karuna, ini terletak pada istilah Hinayana yang sering dijabarkan sebagai ‘yana’ kendaraan yang bertujuan mencapai ke-Arahat-an sebagai tujuan yang rendah (hina). So, aliran apapun di luar Mahayana yang berjuang mencapai ke-Arahat-an disebut Hinayana atau yang Sdr. Chingik istilahkan sebagai orang yang berprilaku rendah dan egois. Padahal kita tahu bersama bahwa seorang Sammasambuddha pun adalah seorang Arahat, termasuk dalam konsep Mahayana. Kontradiksi bukan?

Btw, ada baiknya kita mencari referensi mengenai istilah Mahayana dan Hinayana dalam sutra Mahayana. Disana kita akan temukan penjabaran dari Hinayana itu apa saja.
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Diamond Sutra dan Hinayana
« Reply #41 on: 13 March 2008, 06:40:44 PM »
Rekan-rekan yang terkasih dalam Dharma,

Saya merasa bahwa diskusi mengenai Sutra Intan ini sangat menarik, karena itu saya ikut nimbrung. Saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi moderator di forum ini. Saya harap bahwa di forum ini jangan menjadi ajang untuk saling ngotot dan merasa diri paling benar. Saya akan memberikan sedikit komentar bagi diskusi mengenai sutra Intan. Saya kira penjelasan Bro Chingik sudah sangat bagus. Saya hanya ingin menambahkan sedikit. Sikap saling menjelekkan atau ngotot antar sekte jelas bukan teladan yang baik bagi mereka yang ingin belajar Buddhadharma. Ini akan memberikan suatu kesan negatif. Dahulu ada teman dari agama lain yang protes pada saya, dengan mengatakan bahwa milis Buddhis itu "mengerikan." Semoga kita semua dapat saling berubah dan menjalankan kasih sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Baik mari kita masuk ke topik. Benar sekali seperti yang telah diungkapkan oleh Sdr. Chingik, bahwa penyebutan kata Hinayana dalam Sutra Intan tidaklah mengacu pada Theravada. Hinayana dan Mahayana sebenarnya berada di pikiran (mind). Orang Mahayana juga bisa bersikap "Hinayana." Sedangkan orang Theravada dapat pula bersikap "Mahayana." Jadi Hinayana dan Mahayana mengacu pada mindset. Seperti yang dikatakan YM. Bhikkhu Dhammananda dalam buku "Keyakinan Umat Buddha," maka Hinayana sebagai suatu sekte sudah punah. Jadi Theravada tidak identik dengan Mahayana. Jika kita menelaah sejarah, maka Theravada juga mengajarkan orang untuk menempuh jalan bodhisatta. Banyak raja-raja Srilanka dan negara-negara Theravadin lainnya menyatakan dirinya sebagai bodhisatta. Oleh karenanya sekali lagi, Hinayana pada kata di atas tidak mengacu pada sekte apalagi merendahkan Theravada. Di dalam Theravada juga terdapat apa yang disebut dengan Dasaparami. Ini adalah parami yang dikultivasi seorang bodhisatta, termasuk Bodhisatta Sumedha, yang kelak menjadi Buddha Gottama. Meskipun terdapat perbedaan antara parami Theravada dengan paramita Mahayana, tetapi tetap saja isinya tidak bertentangan; terutama dalam praktek metta serta karuna.
Jadi tidak benar bahwa Theravada mengajarkan keselamatan diri sendiri saja. Adanya kisah-kisah Jataka juga mengajarkan bahwa Theravada tidaklah kekurangan teladan tentang cinta kasih.
Apakah Sutra Intan adalah sutra palsu hanya karena di dalamnya disebutkan kata Hinayana dan Mahayana? Saya kira tidak demikian, karena di dalam Buddhisme Mahayana ada kriteria tersendiri mengenai keontentikan suatu sutra. Ini dalam dibaca dalam buku The Origin of Buddhist Sutra karya Kogen Mizuno. Jadi otentisitas suatu sutra Mahayana tidaklah dilihat dari kronologi atau kritik teks di dalamnya. Buddhisme sesungguhnya adalah agama pikiran yang mencerahkan batin kita masing-masing. Diskusi "asli" ataupun "palsu" tidaklah berguna. Yang "asli" dapat pula menjadi kilesha apabila kita melekat padanya dan menggunakannya untuk mendiskreditkan aliran atau sekte lain. Yang "palsu" dapat pula mencerahkan seseorang. Jadi sesungguhnya "asli" dan "palsu" hanyalah dua sisi dari pandangan ekstrem. Umat Buddha hendaknya memegang Jalan Tengah (Majjhimapatipadda) - tidak condong ke kiri ataupun ke kanan.
Sikap saling merendahkan merupakan wujud tiada atau kurangnya metta dan karuna dalam diri kita masing-masing. Apabila kita tidak memiliki metta ataupun karuna, apakah gunanya berdiskusi masalah Dharma? Buddha pernah memberikan perumpamaan mengenai menghitung sapi milik orang lain. Apakah kita selamanya sudah puas dengan menghitung sapi milik orang lain? Marilah kita semua renungkan.
Dengan demikian, marilah kita tanya kepada diri kita masing-masing, sudahkah kita melimpahkan cinta kasih pada sesama rekan seDharma kita? Apakah cinta kasih ini hanya sekedar "lip sing" semata? Marilah kita berpraktik metta karuna dengan sesama rekan diskusi di forum ini dahulu. Buktikan bahwa tidak ada di antara kita yang pantas disebut "Hinayana." Demikian sekedar uraian dari saya.

Mohon maaf jika ada kata yang salah.

Metta,

Tan

Offline El Sol

  • Sebelumnya: El Sol
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.752
  • Reputasi: 6
  • Gender: Male
Re: Diamond Sutra dan Hinayana
« Reply #42 on: 13 March 2008, 07:49:28 PM »
tetep ajah aye dipanggil Hinayana ama yg Mahayana...

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Diamond Sutra dan Hinayana
« Reply #43 on: 14 March 2008, 03:24:21 PM »
 
 [at] Tan
 _/\_penjelasan yg bijak..
« Last Edit: 14 March 2008, 03:27:00 PM by chingik »

Offline nyanadhana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.903
  • Reputasi: 77
  • Gender: Male
  • Kebenaran melampaui batas persepsi agama...
Re: Diamond Sutra dan Hinayana
« Reply #44 on: 24 March 2008, 03:24:52 PM »
 _/\_ silahkan belajar Buddhadhamma atas penilaian maasing-masing diolah dengan kebijaksanaan dan dilihat dengan cinta kasih. hinayana atau mahayana hanyalah dualitas sama seperti berbicara ini gelap ini terang ini baik ini buruk ini begini ini begitu.yang paling penting pengembangan batin setiap orang menjadi lebih baik,itulah tujuan belajar Buddhadhamma
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one’s own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.