Hahaha..... bro. kelana, bro. kelana...
Apa hanya karena beberapa kata "hina" dari Sutra Mahayana yang berarti buruk, anda menterjemahkan Hinayana juga dengan arti demikian?
Ketika dalam Sutra-sutra Mahayana menulis kata "Arahat", maka yang dimaksud adalah Sravaka, bukan Samyaksambuddha.
Tapi di lain tempat, Sutra Mahayana menyebutkan gelar Samyaksambuddha sebagai seorang Arahat.
Di sini kita dapat dengan jelas bahwa kata "Arahat" saja dapat digunakan dalam artian yang berbeda. Satu sebutan merujuk pada Sravaka dan yang satunya lagi merujuk pada Samyaksambuddha.
Dan juga misalnya ada orang yang bertanya pada saya. "Kamu cinta pacarmu?" Saya jawab, "Aku cinta dong."
Lalu ada orang lain yang bertanya pada saya, 'Kamu cinta orang tuamu?" Saya jawab, "Tentu saya cinta dong!"
Nah... tapi apakah cinta pada pacar dan cinta pada orang tua yang saya sebutkan ini sama? Kalau menurut anda sama,, ihhh ngeriii abis deh....
Kita tentu sayang sama orang tua dan pacar kita..... bedanya kalau sama pacar kan cintanya itu ketambahan nafsu birahi toh!! Jadi cinta pada orang tua ya tentu nggak mungkin sampai ke birahi segala........
Hal ini sama dengan kata "Hina" dalam Hinayana, artinya lebih ke kecil dan rendah, namun tidak sampai merujuk pada amoral.
Ketika anda memisahkan Hinayana dan Arahat, ini sangat tidak mungkin terjadi. Karena bagaimanapun Hinayana ini mendeskripsikan Arahat dan Arahat mendeskripsikan Hinayana. Maka dari itu apabila Hinayana amoral, maka ini mendeskripsikan Arahat sebagai amoral. SUATU HAL YANG JELAS-JELAS TIDAK DAPAT DITERIMA OLEH MAHAYANA SEKALIPUN.
Jelas Sutra Mahayana juga memuji dan mengagungkan kualitas batin seorang Arahat, apakah mungkin Sang Buddha menyebut Hinayana dalam artian amoral? Tidak mungkin toh.
Lantas juga kenapa ya terjemahan Tionghoa (Xiaocheng) dan Tibet (thegchung) dari Hinayana nggak ada yang berarti amoral? Semuanya berarti kecil atau lebih rendah (lesser).
Apakah penerjemah zaman dahulu itu pada g****k-g****k semua? Bahkan penerjemahnya ada yang berasal dari India. La sesuatu yang sederhana gini aja nggak ngerti ya nggak mungkin toh.
Padahal para penerjemah tersebut juga diakui sebagai master-master Buddhis yang agung dan tingkat pencapaiannya tidak diragukan lagi.
Rendah ini pun juga bukan buruk, yang dimaksud rendah karena pencapaian Arhat belumlah sempurna. Para Arhat hanya mencapai Nirvana satu sisi atau Nirvana yang egosentris – berpusat pada diri [bukan egois lo, nggak ada Arhat egois], sedangkan Samyaksambuddha telah mencapai Non-Abiding Nirvana.
Kalau boleh saya bilang, penulis tulisan "Mitos Hinayana" (Kare A. Lie) itu masih memiliki celah kelengahan yang cukup besar.
The Siddha Wanderer