Saya rasa saudara semit telah membuktikan post Pak Hudoyo bahwa MMD didekati dari Khrisnamurti, yang anda samakan dengan Buddha atau apapun namanya.
Apa yang ditampilkan oleh Rekan Semit dalam postingnya baru-baru ini adalah potongan yang dilepaskan dari konteks tulisan saya secara keseluruhan, sehingga tidak bisa dipakai sebagai jawaban terhadap pertanyaan: "Apakah dasar rujukan MMD?" ... Konteksnya bukan itu. ... Agar pembaca mendapat perspektif sebenarnya dari ucapan saya, di bawah ini saya tampilkan sepenuhnya tulisan saya itu, berasal dari posting di Milis Spiritual tgl 17 November 2003. ...
Tentang jawaban lengkap terhadap pertanyaan "Apakah dasar rujukan MMD?", sudah saya uraikan dalam tanggapan saya terhadap Rekan Karuna_murti sebelum ini.
Topik ini sudah OOT; kalau mau diteruskan bikin thread baru saja dengan pertanyaan itu sebagai judulnya.
Salam,
hudoyo
*****
Message #21472 - Mon Nov 17, 2003 6:39 am
Perbedaan cara mengajar vipassana Bhante Gunaratana & sayaPara pemeditasi vipassana,
Diskusi yang panjang lebar antara Michael Suswanto dan saya telah mendorong
saya untuk mengkaji kembali cara mengajar meditasi vipassana oleh Bhante
Gunaratana. Kebetulan saya memiliki bukunya yang terbaru "Delapan Langkah
Meditasi Menuju Kebahagiaan". Saya baca Bab 7: Meditasi Trampil (istilah
lain bagi 'Samma-sati' atau 'Perhatian Benar', yakni meditasi vipassana itu
sendiri), yang belum pernah saya baca sebelumnya.
Di situlah saya banyak memahami cara mengajar meditasi vipassana beliau.
Dan memang ternyata terdapat perbedaan, di samping kesamaan, dengan cara
mengajar MMD saya selama ini. Di sini saya hendak menampilkan kedua cara
mengajar itu sehingga jelas perbedaan & kesamaannya bagi para pemeditasi
vipassana.
Bukan maksud saya untuk mempersoalkan mana yang benar dan mana yang salah
di antara kedua cara mengajar meditasi vipassana itu. Masing-masing guru
meditasi tentu mengajarkan cara yang sesuai dengan pengalaman batinnya
sendiri. Jadi tidak bisa dikatakan benar atau salah. Dan masing-masing
murid juga mempunyai kecenderungan berbeda-beda; ada yang merasa lebih
cocok dengan metode Goenka, ada yang lebih cocok dengan metode Mahasi
Sayadaw; ada yang lebih cocok dengan pendekatan Bhante Gunaratana (seperti
Michael S.), ada yang lebih cocok dengan pendekatan saya (seperti peserta
MMD yang berkali-kali mengikuti pelatihan MMD Akhir Pekan, sekalipun yang
diajarkan ya itu-itu lagi).
Bagaimanakah cara mengajar Bhante Gunaratana? Berikut ini saya ringkaskan
dari Bab 7 buku beliau di atas (bagian-bagian yang akan saya bahas lebih
lanjut saya beri nomor):
"LANGKAH KETUJUH: MEDITASI TRAMPIL
"Meditasi artinya memberikan perhatian kepada apa yang ada dari saat ke
saat. Karena secara tidak sadar kita mempersepsikan diri kita dan dunia di
sekeliling kita lewat pola pikir-pola pikir yang tergatas, menurut
kebiasaan, dan dikondisikan oleh sikap menipu diri, maka persepsi kita dan
konseptualisasi mental tentang realitas itu tersebar dan kacau. Meditasi
mengajar kita untuk sementara menunda segala konsep, gambaran, penilaian,
komentar mental, pendapat serta tafsiran.[1] Batin yang bermeditasi itu
akurat, menembus, seimbang, dan tidak kacau. Seperti cermin yang
memantulkan tanpa distorsi apa pun yang ada di depannya.
"Sang Buddha sering menganjurkan kepada para siswa beliau untuk
"mempertahankan perhatian di depan." 'Di depan' maksudnya adalah saat kini.
Ini berarti lebih dari sekadar tetap menyadari apa yang tengah dilakukan
oleh pikiran sementara kita duduk bermeditasi, tetapi juga memahami setiap
gerak fisik maupun mental yang kita buat selama kita tidak tidur. Dengan
kata lain, ini berarti berada pada saat kini, di sini. [...]
"Begitu kita belajar memperhatikan tanpa mengomentari setiap peristiwa yang
tengah terjadi, kita dapta mengamati peradaan dan pikiran kit atanpa
terperangkap di dalamnya, tanpa terhanyut oleh pola-pola reaksi kita yang
biasa. Jadi meditasi memberi kita waktu yang kita butuhkan untuk mencegah
atau mengatasi pola-pola pikiran dan perilaku yang negatif, dan
mengembangkan dan mempertakankan pola-pola yang positif. Meditasi mematikan
fungsi pilot otomatis dan membantu kita mengendalikan pikiran, perkataan,
dan perbuatan kita.[2]
"Lebih lanjut, meditasi membawa kepada pencerahan, "penglihatan batin" yang
jelas dan tidask terdistorsi terhadap segala sesuatu. Dengan praktik
teratur, baik dalam meditasi formal maupun sambil mengerjakan kegiatan
sehari-hari, meditasi mengajar kita untuk memandang dunia serta diri
sendiri dengan mata kearifan batin. Kearifan adalah mahkota pencerahan.
Membuka mata kearifan adalah tujuan sesungguhnya dari meditasi, karena
pencerahan tentang sifat sejati dari realitas adalah rahasia terbesar dari
kedamaian serta kebahagiaan. Kita tidak perlu mencarinya di luar diri kita;
kita masing-masing memiliki kemampuan yang hakiki untuk mengembangkan
kearifan.[3] [...]
"Sang illahi menyembunyikan kebenaran ini dalam pikiran manusia. Sekarang
marilah kita mencoba mencarinya! Meditasi bukanlah ditujukan untuk
mempelajari sesuatu yang ada di luar. Sasarannya adalah menemukan kebenaran
yang tersembunyi di dalma diri kita--di dalam inti kita sendiri.
"Menurut Sang Buddha, batin kita itu secara alami menerangi. Di dalam
setiap saat, ketika kesadaran pertama kalinya timbul, sinarnya terang.
Tetapi di dalam batin yang tak tercerahkan, sinar itu tertutup oleh
ketidaksucian berupa keserakahan, kebencian dan ketidaktahuan.
Ketidaksucian ini menghalangi kecerahan batin, membuat batin gelap dan
menderita.[4]
"Kita tidak dapat mengatakan bahwa batin itu sudah suci. Kita harus
mengupayakannya. Kita harus membersihkan batin yang menerangi itu untuk
membiarkannya bersinar tanpa terhalang oleh ketidaksucian. Kearifan yang
dikembangkan lewat meditasi membakar rintangan berupa keserakahan,
kebencian dan ketidaktahuan. Semakin kita singkirkan mereka, semakin batin
kita menjadi nyaman, bahagia, dan cerah.[5] [...]
"Bagaimana meditasi menghasilkan kearifan, dan bagaimana kearifan
melepaskan rintangan-rintangan batin? Sementara kita mencari ke dalam diri
sendiri, [...] kita menjadi sadar akan kelompok-kelompok badan dan batin
ini. [...] Kita mulai melihat bagaimana badan dan batin ini muncul,
berkembang, mencapai puncaknya, menua, dan mati.
"[...] Meditasi terhadap saat kini memberi kita pencerahan tentang
perubahan, tentang ketidakkekalan [anicca] yang menjadi sifat segala
sesuatu yang ada.
"Memperhatikan ketidakkekalan dari semua fenomena memberi kita peluang
untuk melihat sifat tidak memuaskan [dukkha] yang diakibatkan oleh
perubahan itu. [...] Sementara kita melihat bagaimana segala sesuatu
menghilang [...] kita mendapatkan pencerahan tentang penyebab keadaan tidak
memuaskan dan ketidakbahagiaan kita, yakni kelekatan kepada hal-hal yang
terus-menerus berubah. [...]
"[...] Kalau kita mencari makna kehidupan, yang kita temukan hanyalah
perubahan. [...] Kita temukan tak ada sesuatu yang kekal atau abadi di
dalamnya [...].
"Jadi meditasi memberi kita pencerahan tentang tiga sifat dari segala
sesuatu yang ada: ketidakekalan [anicca], sifat tidak memuaskan [dukkha],
dan tidak adanya 'aku' yang kekal dan tidak berubah [anatta]. [...]
"Kalau kita sampai pada kesadaran ini, kita biarkan sensasi, perasaan, dan
pikiran lewat di dalam batin tanpa melekat kepada apa pun, betapa pun
menyenangkan dan indahnya. Kalau keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan,
yang menyakitkan, atau tak tertahankan, timbul, kita biarkan mereka berlalu
tanpa menjadi gelisah. Kita sekadar membiarkan segalanya terjadi tanpa
berusaha menghentikannya, tanpa takluk kepada mereka, atau berusaha
melarikan diri dari mereka. Kita sekadar memperhatikan segala sesuatu
seperti apa adanya.[6] [...]
"Empat Landasan Perhatian
"[...] Kita mulai dengan obyek meditasi apa pun: napas, perasaan, kondisi
batin, salah satu rintangan batin--tidak menjadi soal. Apa pun yang kita
fokuskan akan segera berubah. Kalau batin pindah ke sesuatu yang tidak
baik, kita segera memberinya sesuatu yang baik [...]. Kalau batin pindah ke
sesuatu yang baik, kita beri dia dorongan.
"Apa pun yang muncul dalam batin menjadi obyek meditasi. Kita dapat
menggunakan apa pun untuk melanjutkan pencerahan kita tentang anicca,
dukkha dan anatta. Ketika apa pun yang kita pikirkan mereda dengan
sendirinya, kita arahkan perhatian kita kembali kepada obyek meditasi semula.
"Tetapi janganlah pindah dari obyek ke obyek dengan sengaja. Mulailah
dengan fokus pada obyek meditasi terpilih, seperti napas, dan beralihlah
kepada obyek lain hanya kalau itu muncul secara spontan. Misalkan, Anda
tengah memusatkan perhatian pada napas, lalu timbul pikiran tentang
kesehatan kulit Anda. Kalau pikiran itu berlalu, perhatian kembali kepada
napas berikutnya. Kalau pikiran tetap terfokus pada kulit, renungkanlah
ketidakkekalan kulit; juga betapa tidak memuaskan kulit itu, [...] semakin
Anda melekat kepadanya, semakin Anda menderita. Renungkanlah pula kosongnya
'aku' (diri) dari kulit itu.[7] [...] Lalu amatilah sementara
pikiran-pikiran ini menghilang. [...] Ketika semua pikiran telah reda, dan
tak ada lagi yang timbul dalam batin, biarkanlah perhatian Anda kembali
kepada napas. [...] Mempraktikkan meditasi secara ini, akhirnya
pikiran-pikiran akan berhenti, dan batin menjadi terpusat. [...]
"Kita mulai dengan meditasi terhadap tubuh, terutama napas. Bermeditasi
terhadap napas memberi kesempatan badan dan batin Anda untuk tenang. Lalu,
sementara landasan-landasan meditasi lainnya muncul, kita menyadarinya. Apa
pun subyek yang timbul, pastikan bahwa Anda memperhatikan/menyadari
ketidakkekalan [anicca], sifat tidak memuaskan [dukkha], dan tiadanya 'aku'
[anatta] dari pengalaman-pengalaman Anda, entah itu fisik atau mental.[7]"
*****
Komentar saya:
[1] Intisari meditasi vipassana ini persis sama dengan apa yang saya
ajarkan: yakni berada pada saat kini, dan tidak memikirkan atau melekat
pada segala konsep, gambaran, penilaian, komentar mental, pendapat serta
tafsiran. Di sini saya lebih radikal lagi, yakni tidak melekat pada segala
sesuatu yang kita pelajari tentang Buddhisme (ajaran Sang Buddha) dari
kitab suci.
[2] Kalau kita sekadar mengamati, tanpa melekat atau menolak, segala
sesuatu yang muncul pada badan & batin kita, maka di situ tidak ada
penilaian lagi, tidak ada baik dan buruk, tidak ada memilah-milah dan
memilih-milih lagi, membuang yang buruk dan mengembangkan yang baik; di
situ sang 'aku' tidak berfungsi lagi. Tidak ada lagi apa yang disebut
"pengendalian diri". Ini bukan berarti orang akan berbuat semau-maunya,
karena di situ batin tidak lagi melekat atau menolak pada apa pun. Yang ada
ialah tindakan spontan; dan karena batin tidak lagi melekat atau menolak,
maka tindakan spontan seperti itu selalu "bermanfaat".
[3] Dalam kesadaran sehari-hari, 'kedamaian' dan 'kebahagiaan' biasanya
dikontraskan dengan 'kekacauan' dan 'ketidakbahagiaan'. Tetapi dengan
demikian, 'kedamaian' dan 'kebahagiaan' itu menjadi reaksi (terhadap
keadaan saat kini yang 'tidak damai' dan 'tidak bahagia'), menjadi
cita-cita (di masa depan). Kalau itu kita pegangi, kita harapkan atau
cita-citakan, maka itu membuat kita tidak lagi berada pada saat kini, dan
menimbulkan konflik baru yang halus, konflik antara 'apa yang ada' dan 'apa
yang dicita-citakan', konflik antara saat kini dan masa depan.
Oleh karena itu dalam MMD saya hampir tidak pernah berbicara tentang
'kedamaian' dan 'kebahagiaan', tentang tujuan dan cita-cita MMD itu
sendiri, tentang 'nirvana' dsb, melainkan selalu kembali kepada keadaan
saat kini, yang dicengkeram ketidakkekalan (anicca) dan ketidakbahagiaan
(dukkha), dan didorong oleh sang 'aku' (atta).
[4] Di sini Bhante Gunaratana berbicara tentang paham metafisikal-religius
yang menyatakan bahwa di lubuk batin manusia terdapat apa yang dinamakan
percikan keilahian, kearifan, penerangan sempurna, kebenaran dsb. (Dalam
Agama Hindu ini disebut Atman, dalam Sufisme disebut Nur Insani, dalam
Kristianitas disebut Roh Kudus dst.)
Di dalam MMD saya selalu menekankan, bahwa selama orang berada dalam
kesadaran pikiran sehari-hari, pengertian-pengertian seperti itu tidak
lebih dari sekadar konsep-konsep pikiran yang kita pelajari di masa lampau,
dan perlu diamati dan disadari seperti apa adanya, yakni konsep pikiran.
Ini bukan berarti menolak adanya sesuatu yang bersifat
metafisikal-religius--yang berarti bereaksi terhadap pandangan metafisikal
tersebut--melainkan justru menekankan bahwa hakikat kenyataan
metafisikal-mistikal itu--kenyataan yang memang ada--tidak dapat ditangkap
dengan pikiran dan kata-kata, bahwa "kata bukanlah bendanya". Dengan
demikian, sepanjang pelaksanaan MMD, pemeditasi tetap berada pada keadaan
yang digambarkan dalam butir [1], yakni 'berada pada saat kini, dan tidak
memikirkan atau melekat pada segala konsep, gambaran, penilaian, komentar
mental, pendapat serta tafsiran.'
[5] Di sini Bhante Gunaratana menggambarkan meditasi vipassana sebagai
suatu "perjalanan mendaki" dari ketidaksucian menuju kesucian, dari
keburukan menuju kebaikan, dari ketidakarifan menuju kearifan, dari
ketidakbahagiaan menuju kebahagiaan, dari ketidakbenaran menuju kebenaran,
dst.
Di dalam MMD saya menggambarkan meditasi vipassana sebagai "pelepasan satu
per satu" segala sesuatu yang semula kita anggap sebagai milik kita,
sebagai diri kita, atau sebagai ruh kita; secara singkat, pelepasan dari
lapisan-lapisan sang 'aku', seperti orang mengupas bawang merah. Apa yang
ada di balik semua itu--bila "bawang merah" (sang 'aku') itu telah habis
terkupas semua--tidak dipikirkan, tidak diharapkan, dan tidak
dicita-citakan sekarang.
[6] Dalam praktik vipassana ini, apa yang diajarkan Bhante Gunaratana
kembali persis sama dengan apa yang saya ajarkan.
[7] Di sini Bhante Gunaratana mengajarkan agar pemeditasi menggunakan
pengamatan terhadap segala sesuatu yang muncul pada badan & batin untuk
merenungkan 'anicca', 'dukkha' dan 'anatta'. Ini perbedaan pokok dalam
praktik antara ajaran Bhante Gunaratana dengan apa yang saya ajarkan dalam
MMD.
Saya mengajarkan bahwa "anicca", "dukkha" dan "anatta" adalah konsep-konsep
pikiran yang kita pelajari di masa lampau. Kalau konsep-konsep itu muncul
dalam batin sementara kita berlatih MMD, itu harus kita sadari seperti apa
adanya; dan oleh karena disadari, pikiran-pikiran itu akan lenyap kembali.
Kalau ini dijalankan terus, maka pada suatu titik kelak akan muncul
PEMAHAMAN tentang 'anicca', 'dukkha', dan 'anatta', pemahaman yang tidak
dicetuskan oleh kata-kata itu, pemahaman yang bukan berupa pikiran yang
dipelajari dari masa lampau. Inilah yang disebut pencerahan dalam vipassana
(vipassana-nyana). Pencerahan ini hanya bisa timbul bila pikiran dari masa
lampau telah berakhir.
Pencerahan tentang 'anicca' bukanlah konsep tentang 'anicca'. Ini terlihat
nyata pada pemeditasi MMD yang non-Buddhis, yang pada umumnya tidak pernah
belajar tentang konsep 'anicca', 'dukkha', 'anatta'. Misalnya, pernah
seorang Muslim, setelah menjalankan MMD beberapa lama, tiba-tiba berkata:
"Ternyata hidup ini seperti sungai yang mengalir, tidak ada apa-apanya."
Ini menunjukkan timbulnya pencerahan tentang 'anicca' dan 'anatta', tanpa
menggunakan kata-kata 'anicca' dan 'anatta'.
***
Ketika Bhante Gunaratana menulis tentang perenungan terhadap obyek-obyek
mental (dhammanupassana) sebagai bagian dari pengembangan perhatian
(satipatthana), beliau menekankan agar pemeditasi menyadari timbulnya
Kelima Rintangan Batin, Kesepuluh Belenggu, Kelima Kelompok Badan & Batin,
Keempat Kebenaran Suci, dan Ketujuh Faktor Pencerahan. Semua itu adalah
pengertian-pengertian yang dipelajari dari kitab suci.
Sebaliknya, dalam MMD, sejak awal saya selalu menekankan bahwa pemeditasi
harus melepaskan segala sesuatu yang dipelajarinya di masa lampau dari
kitab suci. Segala sesuatu harus dilihat dan disadari sebagai apa adanya,
tanpa melalui pemaknaan dari kitab suci. Juga bila muncul pikiran-pikiran
tentang ajaran kitab suci, itu harus dilihat sebagai sekadar buah pikiran,
sehingga berakhir dengan sendirinya.
Juga kepada pemeditasi yang non-Buddhis, saya selalu menekankan perbedaan
antara konsep-konsep dari kitab suci mereka dan kebenaran hakiki di balik
konsep-konsep itu, termasuk konsep/pikiran tentang 'Tuhan' dan kebenaran
hakiki dari keilahian. Kebenaran bukanlah pikiran yang menggambarkannya.
Untuk sampai kepada kebenaran yang hakiki, pikiran harus berakhir.
***
Demikianlah perbedaan antara pendekatan meditasi vipassana yang diajarkan
oleh Bhante Gunaratana dan pendekatan MMD yang saya ajarkan. Di samping
perbedaannya, yang lebih penting adalah kesamaannya, yakni yang tercantum
dalam butir [1] dan [6] dalam uraian di atas.
Perlu saya kemukakan bahwa pendekatan MMD ini saya pelajari dari J
Krishnamurti, yang menurut hemat saya adalah seorang yang telah mencapai
pencerahan & pembebasan sempurna dalam hidupnya di abad ke-20 lalu--entah
apa pun namanya: arahat, buddha, insan kamil, hidup di dalam Allah, apa pun.
Salam,
Hudoyo