Beberapa bacaan yang dikutip di atas mengatakan tentang “samatha yang bersamaan dengan vipassanā”, suatu ungkapan yang berasal dari sebuah kotbah oleh Yang Mulia Ānanda.[36] Kotbah ini mengatakan bahwa semua yang mengatakan mereka telah tercerahkan melakukannya dalam salah satu dari empat cara: samatha yang didahului vipassanā; vipassanā yang didahului samatha; samatha bersama-sama dengan vipassanā; atau selain itu pikiran yang dikuasai kegelisahan, tetapi kemudian menjadi mantap dalam samādhi. Dengan mempraktekkan masing-masing dari cara-cara ini, sang jalan muncul, kemudian berkembang menuju pencerahan. Keempat pilihan ini semuanya mencakup suatu keseimbangan dari samatha dan vipassanā, dan mengesampingkan pendekatan apa pun yang berusaha membuang samatha sepenuhnya. Tetapi bacaan itu memperlakukan masing-masing pilihan sebagai sama dan tidak, seperti yang dilakukan penafsiran Mahāyāna di atas, memuji “samatha yang bersamaan dengan vipassanā” sebagai yang terunggul dibandingkan pilihan lainnya. Jadi penafsiran-penafsiran ini menekankan pendekatan yang menyatu bahkan lebih banya daripada Sutta-Sutta awal.
Marilah melanjutkan dengan beberapa perkataan dari sedikit tulisan Mahāyāna.
Menekuni praktek (dari satipaṭṭhāna) disebut “
samādhi”.
Nāgārjuna
Surat kepada Seorang Sahabat.
Ia yang menegakkan perhatian sebagai suatu penjaga pada pintu-pintu pikirannya tidak dapat dikuasai oleh nafsu-nafsu, bagaikan suatu kota yang dijaga dengan baik tidak dapat dikuasai oleh musuh.
Aśvaghoṣa[37]
Saundarānanda Kāvya.
... perhatian yang terus-menerus
Yang memperoleh ketajaman dengan semangat yang tercurahkan
Dan semangat muncul jika seseorang menjadi tahu
Keagungan yang terletak dalam ketenangan dari dalam
Śantideva
Śikṣāsamuccaya, Kārikās 7–8.
Jika suatu keasyikan dengan kegiatan-kegiatan eksternal telah dihindari dengan bantuan perhatian & pemahaman jernih, maka, berkat mereka, pikira dapat dengan mantap mempertahankan satu objek tunggal selama yang ia inginkan.
Śantideva
Śikṣāsamuccaya.
Demikianlah para guru besar ini semuanya mengakui aspek samādhi dari perhatian. Kita telah melihat bahwa Prajñāpāramitā Sūtra yang panjang, batu penjuru atas semua filosofi Mahāyāna, mengandung suatu penguraian tentang satipaṭṭhāna yang disisipkan hampir tidak berubah dari Satipaṭṭhāna Sutta suatu aliran awal. Kita sekarang dapat menyelidiki sedikit Sūtra Mahāyāna yang lain dalam perlakuan mereka terhadap satipaṭṭhāna.
Salah satu dari kumpulan awal Sūtra Mahāyāna yang penting adalah Mahā Ratnakūṭa (yang diterjemahkan sebagai Sebuah Bunga Rampai dari Sūtra-Sūtra Mahāyāna). Salah satu dari kotbah-kotbahnya yang terkandung di dalamnya, yang diterjemakan di bawah judul “Sūtra tentang Harta Karun yang Dikumpulkan”, memiliki suatu bacaan pendek tentang satipaṭṭhāna, yang dimasukkan sebagai bagian dari suatu daftar panjang dari berbagai dhamma.
Empat perhatian menyembuhkan kemelekatan pada tubuh, perasaan, pikiran, dan dhamma. Seseorang yang mempraktekkan Dharma dan merenungkan tubuh sebagaimana adanya tidak akan terjebak oleh pandangan tentang suatu diri yang nyata. Seseorang yang merenungkan perasaan... pikiran... dhamma sebagaimana adanya tidak akan terjebak oleh pandangan tentang suatu diri yang nyata. Empat perhatian ini, oleh sebab itu, menyebabkan seseorang jijik akan tubuh, perasaan, pikiran, dan dhamma, serta oleh karenanya membuka pintu menuju Nibbana.[38]
Di sini aspek vipassanā ditekankan. Bacaan itu tidak secara langsung diturunkan dari perikop satipaṭṭhāna awal. Penekanan atas bukan-diri familiar dari Sutta-Sutta, walaupun bukan dalam kontek satipaṭṭhāna. Sikap kejijikan (
nibbidā?) muncul sebagai yang teramat kuat, walaupun ini mungkin hanyalah terjemahan. Sutta-Sutta awal memiliki pendekatan yang lebih seimbang, yang mencakup baik aspek yang bersifat menarik (pernapasan, perasaan-perasaan menyenangkan, pikiran yang dimurnikan, faktor-faktor pencerahan, dst.) dan tidak menarik (tanah perkuburan, perasaan-perasaan menyakitkan, pikiran yang terkotori, rintangan-rintangan) dari pengalaman-pengalaman dalam satipaṭṭhāna. Sifat negatif ini mengejutkan mempertimbangkan reputasi Mahāyāna atas pendekatan yang non-dualistik, tetapi ini hanyalah satu bacaan.
Avataṁsaka Sūtra adalah salah satu dari Sūtra-Sūtra Mahāyāna yang terbentang luas yang menemukan suatu tempat hampir untuk semua hal. Bab 26, dalam suatu pembahasan tentang sepuluh tingkat kemajuan Bodhisattva, menggambarkan tingkat keempat sebagai “Menyala”, dan memasukkan suatu daftar dhamma, termasuk 37 sayap menuju pencerahan kita yang familiar, yang mulai seperti biasanya dari rumusan satipaṭṭhāna.[39] Ini adalah rumusan internal/eksternal yang terintegrasi, dengan rumusan pelengkap standar. Ini identik dengan perikop pada SN 47.3/SA 636/MA 76*, satu-satunya perubahan adalah penggantingan “bodhisattva” untuk “bhikkhu”. Lagi-lagi kita melihat penggunaan penyisipan “potong-&-tempel” yang langsung dari Sutta-Sutta awal bahkan dalam kitab Mahāyāna lanjutan.
Śikṣāsamuccaya oleh Santideva, yang telah saya kutipkan secara ringkas di atas. Memasukkan banyak pernyataan yang sangat kuat tentang satipaṭṭhāna, yang sebagian dikumpulkan dari karya-karya Mahāyānis lainnya. Banyak dari bacaan-bacaan itu dikumpulkan dalam buku
The Heart of Buddhist Meditation oleh Nyanaponika Thera yang tersedia secara luas, sehingga tidak perlu mengulangi mereka di sini secara rinci. Cukup dicatat dimasukkannya bahan sektarian, yang melanjutkan kecenderungan menggunakan wibawa satipaṭṭhāna untuk mendukung posisi seseorang dalam debat-debat ajaran yang bersemangat yang mengkarakteristikkan banyak sejarah Buddhis. Teks itu mengutip Ārya Ratnacūḍa Sūtra, yang memberikan suatu kecondongan Mahāyānis yang khas pada perenungan internal/eksternal terhadap perasaan.
Ketika mengalami suatu perasaan yang menyenangkan ia menaruh belas kasih yang mendalam bagi makhluk-makhluk yang berwatak sangat cenderung pada nafsu, dan ia sendiri melepaskan kecenderungan pada nafsu. Ketika mengalami suatu perasaan yang tidak menyenangkan ia menaruh belas kasih yang mendalam bagi makhluk-makhluk yang berwatak sangat cenderung pada kebencian, dan ia sendiri melepaskan kecenderungan pada kebencian. Ketika mengalami suatu perasaan netral ia menaruh belas kasih yang mendalam bagi makhluk-makhluk yang berwatak sangat cenderung pada delusi, dan ia melepaskan kecenderungan pada delusi.
Perenungan tubuh memasukkan suatu bacaan yang sangat kuat dari Dharmasaṅgīti Sūtra. Ini memasukkan suatu serangan pada ajaran Sarvāstivāda tentang waktu:
Tubuh ini tidak berasal dari masa lampau dan tidak akan berlanjut pada masa depan. Ia tidak memiliki keberadaan pada masa lampau atau masa depan kecuali dalam konsepsi-konsepsi khayalan dan salah.
17.5.1 Samādhi Bertemu dengan Para Buddha dari Masa Sekarang
Suatu perkembangan yang lebih menarik ditemukan dalam Pratyutpannabuddhasammukhāvaṣṭhitasamādhi Sūtra, yang berarti “Kotbah tentang Samādhi Bertemu Langsung dengan Para Buddha dari Masa Sekarang”. Saya akan menunjuknya lebih ringkas sebagai “Sūtra Para Buddha Masa Sekarang”. Di sini saya merangkumkan bacaan utama yang berhubungan dengan satipaṭṭhāna.[40]
[18B] “Lebih jauh, Bhadrapāla, para Bodhisattva yang berdiam merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh, tetapi tidak memikirkan pemikiran (
vitakka) apa pun yang berhubungan dengan tubuh, dan yang berdiam merenungkan perasaan... pikiran... dhamma, tetapi tidak memikirkan pemikiran apa pun yang berhubungan dengan perasaan... pikiran... dhamma – para Bodhisattva itu memperoleh samādhi [yaitu samādhi dari judul sūtra itu]. Mengapa demikian, Bhadrapāla? Ini karena jika para Bodhisattva dan Mahasattva [mempraktekkan satipaṭṭhāna dengan cara yang digambarkan], maka mereka tidak mewujudkan dhamma apa pun... mereka tidak mengkonseptualisasikan atau memikirkan secara tidak berhubungan... mereka tidak melihat dhamma apa pun... yang diketahui sebagai kesadaran yang tidak terkaburkan. Bhadrapāla, tepatnya kesadaran yang tidak terkaburkan yang disebut samādhi. Bhadrapāla, para Bodhisattva yang memiliki samādhi ini melihat para Buddha yang tidak terbatas dan tidak terhitung, dan mereka juga mendengar Dhamma Sejati. Ketika mendengarnya mereka menguasainya. Mereka juga memperoleh kesadaran yang tidak terkaburkan dan penglihatan pembebasan serta kesadaran yang tanpa halangan dari para Tathāgata, Arahant, Buddha yang Sempurna itu.
[18C] “Lebih jauh, Bhadrapāla, para Bodhisattva berdiam merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh, dan dalam melakukan demikian tidak melihat dhamma apa pun juga. Tidak melihat dhamma-dhamma itu, mereka tidak mengkonseptualisasikan atau memikirkan secara tidak berhubungan, walaupun mereka tidak buta atau tidak tuli. Hal yang sama sehubungan dengan perasaan, pikiran, dan dhamma. Tidak melihatnya, mereka tidak bergantung; tidak bergantung, mereka mengembangkan sang jalan; dengan kebajikan dari mengembangkan sang jalan, mereka tidak memiliki keragu-raguan sehubungan dengan dhamma; dan tanpa keragu-raguan mereka melihat para Buddha. Dan dalam melihat para Buddha, dengan kebajikan dari kenyataan bahwa semua dhamma adalah tidak dihasilkan, pembebasan terjadi.
[18 D] “Mengapa demikian, Bhadrapāla? Jika para Bodhisattva mengambil persepsi terhadap dhamma-dhamma, bahwa itu sendiri bagi mereka adalah pandangan salah dari suatu objek pemahaman (
upalambhadṛṣṭi). Bahwa itu sendiri adalah pandangan salah tentang keberadaan, tentang suatu diri, sosok makhluk, sosok jiwa, suatu pribadi. Bahwa itu sendiri adalah pandangan salah tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, alat indera, tanda-tanda, hal-hal yang ada, sebab-sebab, kondisi-kondisi, dan penangkapan suatu objek pemahaman.”[41]
Rumusan dasar diambil dari Dantabhūmi Sutta,[42] yang memasukkan ungkapan khusus, ‘tidak memikirkan pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan tubuh, dst.” Pembacaan berbeda-beda antara “tubuh” (
kāya) dan “keinginan indera” (
kāma). Dalam Dantabhūmi Sutta konteksnya tidak menjelaskan maknanya; walaupun penafsirannya dapat berubah, kedua bacaan masih masuk akal. Tetapi dalam Sūtra Para Buddha Masa Sekarang teks jelas bergantung pada makna “tubuh” (dst.). Tujuan pokok mempraktekkan dengan cara ini adalah untuk mencapai samādhi, seperti halnya, dalam Dantabhūmi Sutta, praktek itu membawa pada jhāna-jhāna.
Di sini ditekankan bahwa seseorang dengan samādhi demikian tidak “mewujudkan” atau menjadi “bergantung” pada dhamma apa pun. Seperti yang kita lihat dalam pembahasan tentang satipaṭṭhāna dalam Prajñāpāramitā, gagasan tanpa “ketergantungan” menyatakan “tanpa ketergantungan” dari Satipaṭṭhāna Sutta. Argumentasinya adalah kecaman Mahāyāna yang standar terhadap aliran-aliran Abhidhamma, yang menganggap dhamma-dhamma sebagai “hal-hal” yang benar-benar ada. Dengan demikian pandangan-pandangan salah tentang dhamma dikatakan hanyalah suatu kesalahan yang sama dengan pandangan salah tentang diri. Akibatnya di sini bahwa seseorang hanya memikirkan tentang dhamma akan salah memahaminya, dengan salah menganggap pemahaman intelektual dari ajaran-ajaran sebagai kebijaksanaan ke dalam kekosongan dari semua fenomena. Satipaṭṭhāna diwajibkan untuk mengatasi pikiran yang berpikir sehingga seseorang dapat “melihat” tanpa “pandangan-pandangan”.
Adalah menakjubkan melihat bagaimana aliran-aliran dapat membuat teks-teks yang sama dan mengembangkan mereka dengan cara-cara yang berbeda. Karena dalam Theravāda, satipaṭṭhāna adalah untuk semakin menjadi suatu hal melihat dhamma-dhamma yang secara mutlak ada ini, dan seseorang diajarkan untuk “memikirkan pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan tubuh [dst.]” melalui kebiasaan pencatatan mental.
Aspek yang menarik minat lainnya dari Sūtra Para Buddha Masa Sekarang adalah pernyataan bahwa seseorang dalam samādhi yang demikian akan melihat para Buddha yang tidak terbatas. Ini adalah suatu inovasi baru dalam satipaṭṭhāna, dan adalah tema utama dari kotbah itu. Meditasi terhadap Buddha dalam kotbah-kotbah awal adalah salah satu dari enam “perenungan” (
anussati), dan penggunaan dari istilah ini menunjukkan hubungan dengan satipaṭṭhāna. Melihat para Buddha tampaknya menjadi sejenis penglihatan meditasi atau
nimitta. Teks itu kemudian mengatakan bahwa seseorang akan “mendengar Dhamma Sejati. Ketika mendengarnya mereka akan menguasainya.” Ini menunjuk pada keyakinan bahwa seseorang dapat, dalam keadaan konsentrasi meditatif, mendengar para Buddha mengajar Dhamma yang otentik, suatu Dhamma yang harus dipelajari dalam hati.
Di sini kita memiliki bukti atas pernyataan yang diperdebatkan tentang awal mula Sūtra-Sūtra Mahāyāna. Sūtra-Sūtra Mahāyāna mengklaim telah diucapkan oleh Sang Buddha, walaupun ini secara historis tidak mungkin. Apakah kita mempercayai bahwa para Mahāyanis begitu teledor sehingga dengan sengaja menciptakan teks-teks baru dan menyatakan mereka sebagai otentik? Terdapat sejumlah hal umum yang harus dipikirkan di sini: dunia kuno, termasuk umat Buddhis awal, tidak memiliki suatu desakan individualistik atas kepemilikan dan kepengarangan atas karya-karya; mengubah Sutta-Sutta awal telah berlangsung, dengan demikian membuat orang-orang terbiasa pada gagasan yang agak berubah-ubah tentang apakah kanon kitab suci itu; dan, kebanyakan berkaitan dengan konteks ini, filosofi Mahāyāna mematahkan perbedaan antara dunia subjektif, dari dalam dan dunia objektif, dari luar, yang dengan demikian membuka jalan bagi imajinasi untuk dianggap sebagai yang kurang lebih sama dengan kenyataan historis. Keinginan untuk memasukkan Sūtra-Sūtra baru sebagai yang otentik berkembang bergandengan tangan dengan pandangan dunia yang anti-historis ini, oleh sebab itu latar-latar mitos Sūtra-Sūtra Mahāyāna. Menurut Sūtra Para Buddha Masa Sekarang, para bhikkhu Mahāyāna terinspirasi oleh penglihatan meditatif dan menafsirkan ini berasal dari Sang Buddha dalam beberapa pengertian mistis. Bahkan judul Sūtra itu menyatakan hal ini. ia memiliki kata
sammukha, yang secara harfiah berarti “berhadapan muka”, yang adalah suatu ungkapan awal yang menekankan bahwa seseorang telah mendengar suatu ajaran di hadapan Sang Buddha sendiri secara langsung: “Berhadapan muka dengan Sang Bhagava aku telah mendengarkan hal ini, berhadapan muka aku telah mempelajarinya.”[43]
Bukanlah tidak umum saat ini, bahkan di antara para Theravādin, bagi para meditator melihat penampakan Sang Buddha, mendengarkan ajarannya, menerimanya sebagai otentik, dan mengajarkannya kepada orang lain sebagai ajaran Sang Buddha. Ajaran-ajaran yang “terinspirasi” demikian dapat berupa pernyataan kembali yang langsung atas ajaran-ajaran Buddhis, penguraian yang sangat mendalam, atau perumusan kembali yang sedikit eksentrik; tetapi kadangkala mereka hanyalah ucapan-ucapan kosong.
Status dan makna penglihatan meditatif lebih jauh dijelaskan di tempat lain dalam Sūtra Para Buddha Masa Sekarang, lagi-lagi bergantung pada satipaṭṭhāna, di sini latihan-latihan dalam perenungan tanah perkuburan. Bacaannya tidak persis sama dengan Satipaṭṭhāna Sutta, tetapi ia jelas menggambarkan praktek yang sama.
[3J] Sebagai contoh, Bhadrapāla, ketika seorang bhikkhu melakukan meditasi terhadap kejijikan melihat di hadapannya mayat – yang membengkak... pucat... membusuk... berdarah... digerogoti... dengan daging yang mengelupas... dengan tidak ada daging dan darah... putih... berwarna seperti kulit kerang... menjadi kerangka – kemudian mayat-mayat itu tidak berasal dari mana pun, ataupun tidak pergi ke mana pun, mereka tidak dibuat oleh siapa pun, ataupun tidak dibuat lenyap oleh siapa pun. Tetapi, Bhadrapāla, oleh penguasaan batin bhikkhu itu memusatkan perhatian ia melihat kerangka itu terbaring di hadapannya.
Dengan cara yang sama, Bhadrapāla, di arah mana pun para Tathāgata, Arahant, Buddha yang Sempurna berdiam, para Bodhisattva itu yang disokong oleh Sang Buddha dan berkembang dalam samādhi ini mengkonsentrasikan pikirannya pada arah itu untuk memperoleh penglihatan para Buddha. Dengan mengkonsentrasikan pikiran mereka pada arah itu mereka melihat para Tathāgata, Arahant, Buddha yang Sempurna pada arah itu. Mengapa demikian? Karena, Bhadrapāla, perolehan penglihatan para Buddha ini adalah hasil alami dari samādhi ini. Para Bodhisattva yang berkembang dalam samādhi ini melihat para Tathāgata, dan para Buddha muncul kepada mereka melalui gabungan dan kebersamaan dari tiga hal: kemuliaan (
ānubhāva) Sang Buddha, penerapan dorongan kemampuan bermanfaat dari mereka sendiri, dan kekuatan dari pencapaian samādhi.[44]
Visualisasi para Buddha dikatakan sebagai suatu latihan imaginatif sama seperti visualisasi sesosok mayat. Analogi yang mengejutkan antara Sang Buddha dan sesosok mayat yang membusuk mungkin suatu kebetulan dari teks; meditasi mayat dapat dipilih sebagai contoh hanya karena ini adalah salah satu contoh yang paling jelas dari suatu latihan meditatif dalam visualisasi. Tetapi terdapat suatu ketajaman penjajaran, karena pada masa Sūtra Para Buddha Masa Sekarang ditulis, Sang Buddha historis telah lama menjadi Buddha dari Masa Lampau; kehadiran hidup telah menjadi sesosok mayat, yang terbakar dalam nyala api ketidakkekalan. Visualisasi meditatif terhadap para Buddha mungkin adalah yang paling keras dari banyak cara yang dikembangkan oleh umat Buddhis yang berkeyakinan untuk menghidupkan kembali Sang Buddha, untuk mempertahankan dorongan vital Sang Guru dan Ajaran-Nya. Dengan cara ini meditasi terhadap ketidakkekalan kehidupan berubah.