//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: A History of Mindfulness  (Read 52673 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
A History of Mindfulness
« on: 17 March 2013, 08:22:08 AM »
Ini terjemahan buku "A History of Mindfulness" oleh Bhikkhu Sujato. Karya ini memiliki hubungan dengan karya Bhikkhu Sujato sebelumnya tentang aliran-aliran dan sektarianisme, di mana di sini menyoroti perkembangan teks-teks awal ajaran Buddhisme pada umumnya dan teks Satipatthana Sutta sebagai pedoman meditasi Buddhis pada khususnya. Ini adalah buku yang sangat bagus untuk dipelajari oleh mereka yang tertarik pada studi Buddhisme awal.

Berikut adalah ringkasan isi buku ini dalam kata-kata sang penulis sendiri:

Quote
Kata sati, yang kita terjemahkan sebagai “perhatian”, berarti “ingatan”, dan mulanya digunakan oleh para brahmana dalam pengertian mengingat kitab-kitab Veda. Untuk secara efektif mengingat kembali kumpulan teks yang besar, anda masuk ke dalam zona kejernihan dan kehadiran pikiran, bebas dari gangguan-gangguan. Ini adalah salah satu pengaruh dalam pengembangan apa yang saat ini kita sebut “meditasi”.

Sang Buddha mengambil penggunaan Brahmanis ini, dan menggunakan sati baik sebagai “ingatan” (terhadap teks-teks) dan “kehadiran pikiran” dalam meditasi.

Ajaran-ajaran modern tentang perhatian hampir secara khusus diturunkan dari suatu penafsiran abad ke-20 dari satu teks Pali, Satipatthana Sutta. Ajaran ini, vipassanavada, mengatakan bahwa satipatthana adalah suatu praktek “pandangan terang kering”, di mana meditator, tanpa praktek meditasi ketenangan (samatha) sebelumnya, “penuh perhatian” atas fenomena yang berubah-ubah dari pengalaman. Ini saja cukup untuk merealisasi pencerahan.

Ketika kita dengan berhati-hati mempertimbangkan ajaran-ajaran yang ditemukan dalam teks-teks Buddhis awal, menjadi jelas bahwa ajaran ini tidak dapat dipertahankan.

Terdapat tujuh versi bahan Satipatthana Sutta (yang terdapat dalam Vibhanga Theravada, Dharmaskandha Sarvastivada, Sariputrabhidharma Dharmaguptaka, teks Mahayana awal Prajnaparamita, Smrtyupasthana Sutra Sarvastivada, Ekayana Sutra Mahasanghika, dan Satipatthana Sutta Theravada itu sendiri), serta ratusan teks lainnya tentang perhatian (komentar-komentar, risalah-risalah, dan sutra-sutra Mahayana yang belakangan). Bergantung pada semua teks ini, tidak hanya satu teks, kita sampai pada gambaran tentang perhatian berikut dalam Buddhisme awal.

Meskipun sati digunakan dalam banyak konteks, yang paling penting adalah empat satipatthana, atau “penegakan perhatian”. Ini adalah “perhatian benar”, faktor ketujuh dari jalan mulia berunsur delapan. Tujuan satipatthana adalah untuk memperoleh faktor kedelapan, samadhi benar atau empat jhana.

Kata satipatthana adalah sebuah kata majemuk dari sati dan upatthana, yang berarti “menetapkan” atau “menegakkan”. Ini adalah pemusatan perhatian dan kehadiran kesadaran pada suatu objek; dengan kata lain, ia pada dasarnya berarti “meditasi”

Satipatthana adalah “perenungan’ (anupassana) terhadap tubuh, perasaan, pikiran, dan prinsip-prinsip (dhamma). “Anupassana” berarti “pengamatan terus-menerus”. Ia adalah suatu kewaspadaan yang berdiam pada satu hal dan tidak meloncat dari satu objek ke objek lain. Untuk alasan ini satipatthana dikatakan sebagai “jalan menuju yang satu”, ekayana magga.

Praktek utama satipatthana adalah meditasi pernapasan, anapanasati. Seseorang memusatkan perhatian pada pernapasan, menjaga kewaspadaan di sana, secara terus-menerus “mengingat” pernapasan. Ketika napas fisik menjadi tenang, seseorang berlanjut dari perenungan tubuh menuju kewaspadaan terhadap perasaan-perasaan halus dari kebahagiaan dan kegiuran yang muncul dalam pernapasan. Pikiran menjadi dimurnikan. Akhirnya seseorang merenungkan bagaimana keseluruhan proses adalah tidak kekal dan berkondisi; inilah perenungan terhadap dhamma (“prinsip”).

Terdapat banyak jenis meditasi lain yang dapat dikelompokkan sebagai satipatthana, tetapi semuanya mengikuti cara yang sama.

Satipatthana Sutta Pali memasukkan sejumlah bagian yang tidak digunakan bersama dengan teks-teks lain tentang satipatthana, dan yang merupakan penambahan yang belakangan.

Salah satu penambahan adalah dimasukkannya kewaspadaan terhadap posisi tubuh dan aktivitas-aktivitas sehari-hari di antara latihan-latihan meditasinya. Kewaspadaan terhadap posisi tubuh, dalam setiap teks lainnya, adalah bagian dari persiapan untuk meditasi, bukan meditasi itu sendiri.

Penambahan yang belakangan lainnya pada Satipatthana Sutta Pali adalah sebuah “pengulangan” yang mengikuti masing-masing meditasi, yang mengatakan seseorang berlatih merenungkan “muncul dan lenyapnya”. Ini adalah suatu praktek vipassana, yang awalnya hanya termasuk dalam yang terakhir dari empat satipatthana, yaitu perenungan dhamma.

Perenungan dhamma juga mengalami perluasan berskala besar. Teks awal hanya memasukkan lima rintangan dan tujuh faktor pencerahan. Lima kelompok unsur kehidupan, enam alat indera, dan empat kebenaran mulia ditambahkan kemudian.

Masing-masing versi Satipatthana Sutta didasarkan pada suatu nenek moyang yang digunakan bersama, yang telah diperluas dengan cara yang berbeda-beda oleh aliran-aliran. Proses ini berlangsung selama beberapa abad setelah wafatnya Sang Buddha. Dari teks-teks yang kita miliki saat ini, yang paling dekat dengan versi awal mulanya adalah yang terkandung dalam Vibhanga Abhidhamma Pali, jika kita mengabaikan penguraian Abhidhammik-nya.

Dengan menelusuri perkembangan teks-teks tentang satipatthana dalam Buddhisme yang belakangan, terdapat suatu kecenderungan perlahan-lahan untuk menekankan aspek vipassana dengan mengorbankan sisi samatha. Ini terjadi sepanjang berbagai aliran, walaupun terdapat suatu variasi dari teks ke teks, dan mungkin beberapa perbedaan dalam penekanan sektarian. Ini membawa pada berbagai kontradiksi dan masalah dalam penafsiran.

Namun demikian, dalam semua aliran dan periode kita juga menemukan penyajian satipatthana yang mengingat kembali pada makna awalnya. Sebagai contoh, guru besar Yogacara Asanga mendefinisikan perhatian sebagai “kewaspadaan yang terus-menerus terhadap objek yang telah dialami sebelumnya”.

Dengan mempertimbangkan perhatian dalam konteks historisnya, dengan memasukkan semua teks-teks yang relevan, dan dengan memahami perkembangan historis dari aliran-aliran, kita tiba pada pemahaman yang lebih kaya, lebih bernuansa, dan lebih realistis terhadap perhatian. Ini tidak hanya membantu kita menghargai tradisi kita lebih baik, ia memberikan suatu kerangka yang lebih bermanfaat, seimbang, dan otentik untuk praktek.

Semoga bermanfaat.

NB: Thread saya tutup agar tidak ada yang comment demi kerapian topik ini.
« Last Edit: 12 October 2014, 09:01:34 PM by Shinichi »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #1 on: 17 March 2013, 08:27:21 AM »
A HISTORY OF MINDFULNESS

Bagaimana pandangan terang mengalahkan ketenangan dalam Satipaṭṭhāna Sutta

Bhikkhu Sujato

Tidak ada jhāna bagi seseorang yang tanpa kebijaksanaan;
Tidak ada kebijaksanaan bagi seseorang yang tanpa jhāna.
Tetapi bagi seseorang dengan jhāna dan kebijaksanaan,
Nibbana sesungguhnya dekat.

– Sang Buddha, Dhammapada 372
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #2 on: 17 March 2013, 08:38:40 AM »
Prakata: Vipassanāvāda

Tujuan buku ini adalah untuk menganalisis sumber-sumber tekstual dari teori meditasi Theravāda abad ke-20. Fokusnya adalah pada karya-karya sumber utama untuk apa yang saya sebut Vipassanāvāda, “ajaran vipassanā”. Ini adalah penafsiran khusus dari beberapa konsep meditasi utama yang telah menjadi sifat ortodoks de facto dalam Buddhisme Theravāda, walaupun bukan tanpa kontroversi. Istilah vipassanāvāda berguna dalam arti bahwa akhiran Pali –vāda menunjuk pada pentingnya teori di mana praktek-praktek ini didasarkan. Lebih dari itu, akhiran yang sama juga berarti tidak hanya suatu ajaran, tetapi juga aliran yang mengikuti ajaran tersebut. Ini semua terlalu tepat dalam kasus sekarang, karena “vipassanā” telah muncul, dengan agak aneh, untuk digunakan seakan-akan ia menunjuk pada suatu aliran Buddhisme yang sebenarnya (alih-alih suatu aspek meditasi yang dikembangkan dalam semua aliran!).[1]

Poin kunci dari vipassanāvāda adalah dinyatakan kembali berulang kali dalam hampir setiap buku tentang meditasi Theravāda abad ke-20, sehingga di sini saya akan meringkaskan dengan singkat. Sang Buddha mengajarkan dua sistem meditasi, samatha dan vipassanā. Samatha diajarkan sebelum Sang Buddha (sehingga tidak benar-benar Buddhis), ini berbahaya (karena seseorang dapat dengan mudah melekat pada ketenangan), dan ini tidak perlu (karena vipassanā sendiri dapat mengembangkan samādhi akses yang diperlukan untuk menekan rintangan batin). Vipassanā merupakan kunci sejati pada pembebasan yang diajarkan Sang Buddha. Metode ini terutama diajarkan dalam Satipaṭṭhāna Sutta, kotbah yang paling penting yang diajarkan Sang Buddha tentang meditasi dan tentang praktek dalam kehidupan sehari-hari. Inti praktek ini adalah kesadaran dari saat ke saat atas muncul dan lenyapnya semua fenomena pikiran-tubuh. Demikianlah satipaṭṭhāna dan vipassanā adalah hampir sinonim.

Tidak semua tradisi meditasi modern menerima dikotomi samatha dan vipassanā ini. Sebagai contoh, para guru dari tradisi hutan Thai sering menekankan sifat saling melengkapi, alih-alih pembagian, dari samatha dan vipassanā. Almarhum guru meditasi Thai Ajahn Chah, sebagai contoh, pernah mengatakan bahwa dalam samatha, anda duduk bersila, menutup mata anda, memperhatikan napas anda, dan membuat pikiran damai. Tetapi vipassanā, sekarang, itu adalah sesuatu yang sangat berbeda. Dalam vipassanā, anda duduk bersila, menutup mata anda, memperhatikan napas anda, membuat pikiran damai, dan kemudian anda mengetahui: “Ini bukan suatu hal yang pasti!”

Saya selalu merasa bahwa dalam pendekatan untuk meditasi ini terdapat suatu ikatan yang kuat antara sutta-sutta dan ajaran-ajaran para guru [bhikkhu] hutan. Dalam karya ini saya menunjukkan dari sudut pandang ilmiah kebenaran-kebenaran yang sama diungkapkan dengan intisari dan otoritas yang demikian oleh para guru seperti Ajahn Chah.

Pada tahun 2000 saya menulis Sepasang Utusan Cepat, yang menekankan keselarasan dan sifat saling melengkapi dari samatha dan vipassanā dalam sutta-sutta awal. Di sana, saya membahas panjang lebar perlakuan atas satipaṭṭhāna dalam sutta-sutta awal, dengan memfokuskan pada Satipaṭṭhāna Sutta. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa satipaṭṭhāna, jauh dari suatu jalan latihan yang berbeda atau terpisah, melekat dengan mendalam dan luas dalam makna dari sutta-sutta awal dan tidak dapat dipahami ataupun dipraktekkan di luar konteks ini.

Mendekati akhir proyek itu saya kebetulan menemukan sebuah artikel oleh Richard Gombrich yang berjudul “Retracing an Ancient Debate: How Insight Worsted Concentration in the Pali Canon”.[2] Walaupun hanya sebagian diyakinkan oleh argumentasi-argumentasinya, saya dibangkitkan minatnya oleh gagasannya – bahwa pergeseran dalam penekanan dari samādhi ke vipassanā, yang sangat jelas dalam Theravāda, dapat ditelusuri pada perubahan editorial yang dibuat dalam periode penyusunan Nikāya- Nikāya Pali. Ini menyentakkan beberapa ingatan dari akhir yang sedikit longgar yang tetap membayang-bayangi dalam studi saya atas satipaṭṭhāna. Saya memutuskan untuk menarik untaian pemikiran tersebut, dan dalam keheranan saya seluruh Satipaṭṭhāna Sutta mulai terbuka di depan mata saya. Inilah kisah bagaimana Satipaṭṭhāna Sutta dianyam, bagaimana ia teruraikan, dan bagaimana ini mempengaruhi pemahaman kita atas Dhamma-Vinaya.

Pentingnya suatu pendekatan historis yang demikian pada ajaran-ajaran masih sebagian besar tidak diketahui di antara para umat Buddha yang berlatih. Kenyataannya, pendekatan normal kita pada ajaran-ajaran adalah sangat berlawanan dengan sejarah. Seorang meditator yang beraspirasi pertama-tama belajar dari mulut seorang guru yang kata-katanya seperti yang mereka ucapkan pasti rumusan yang paling baru dari topik itu. Kemudian mereka mungkin kembali untuk membaca beberapa karya dari para guru terkemuka yang sezaman. Karena mereka yang menaatinya biasanya memiliki keyakinan bahwa guru mereka (guru dari guru itu) telah tercerahkan, mereka menganggap, sering tanpa perenungan, bahwa ajaran-ajaran itu pasti sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Akhirnya, jika mereka benar-benar berdedikasi, mereka mungkin kembali membaca Satipaṭṭhāna Sutta. Ketika mereka mendatangi teks itu sendiri, mereka telah terprogram sebelumnya untuk membaca teks itu dengan suatu cara tertentu. Ini membutuhkan keberanian untuk mempertanyakan guru sendiri; dan ini bukan hanya membutuhkan keberanian, tetapi waktu dan upaya untuk bertanya secara cerdas.

Selain Satipaṭṭhāna Sutta, kotbah-kotbah lain tentang satipaṭṭhāna, karena kotbah-kotbah ini sangat pendek, biasanya diabaikan di bawah anggapan bahwa mereka menambahkan sedikit yang baru. Bahkan yang terbaik dari para sarjana yang telah mempelajari satipaṭṭhāna dari perspektif historis, seperti Warder, Gethin, dan Anālayo, telah memperlakukan Satipaṭṭhāna Sutta sebagai yang utama dan kotbah-kotbah yang lebih pendek sebagai pelengkap.

Maka sekarang saya ingin membalik prosedur itu. Langkah pertama kita harus melupakan semua yang kita pelajari tentang satipaṭṭhāna, dan mulai lagi dari bawah ke atas. Prinsip utama dari metode historis adalah bahwa ajaran-ajaran yang lebih sederhana cenderung lebih awal dan oleh sebab itu mungkin lebih otentik – kita harus mulai dengan batu bata sebelum kita dapat membangun sebuah rumah. Adalah bacaan yang lebih pendek, lebih mendasar, yang merupakan penyajian yang lebih fundamental dari satipaṭṭhāna. Teks-teks yang lebih panjang merupakan suatu perluasan. Kita tidak menganggap bahwa yang lebih pendek selalu lebih awal, tetapi kita menganggap ini sebagai suatu prinsip panduan yang implikasinya dapat kita ikuti.

Stratifikasi ini, harus dicatat, tidak menyatakan dapat memutuskan ajaran-ajaran mana yang sebenarnya diucapkan oleh Sang Buddha. Beliau sendiri mungkin telah memberikan ajaran-ajaran yang sama mulanya dalam bentuk yang sederhana, kemudian diperluas belakangan dalam berbagai rincian. Tetapi testimoni universal dari tradisi-tradisi adalah teks-teks seperti yang kita miliki sekarang dikumpulkan dalam bentuk mereka sekarang setelah wafatnya Sang Buddha; maka pendekatan yang rasional adalah untuk mempertimbangkan teks-teks sebagai hasil dari suatu proses evolusioner.

Mereka yang tidak setuju dengan pendekatan ini biasanya melakukannya karena mereka telah memiliki keyakinan bahwa semua ajaran-ajaran dalam sutta-sutta secara harfiah diucapkan oleh Sang Buddha, atau mereka meragukan kemungkinan rekonstruksi historis yang berarti karena tidak dapat dipercayanya sumber-sumber atau ketidakpastian metodenya. Saya yakin posisi pertama terlalu mudah percaya dan yang kedua terlalu skeptis. Dalam kasus mana pun, tanpa menghiraukan situasi historis, ini pastinya masuk akal untuk mempelajari Dhamma dengan mulai dari ajaran-ajaran yang sederhana dan bekerja menuju yang kompleks.

Maka kita harus mulai dengan mengidentifikasi unit yang terkecil, yang paling sederhana dari makna yang digunakan untuk menggambarkan satipaṭṭhāna. Ini adalah istilah-istilah dan frase-frase dasar pada semua penjelasan satipaṭṭhāna dalam semua aliran. Ini masuk akal untuk mulai dari kotbah pertama Sang Buddha. Ini memunculkan pertanyaan yang menarik. Kotbah ini adalah untuk kelompok lima bhikkhu, yang pada saat itu, adalah para pertapa non-Buddhis. Namun, teks menunjuk pada perhatian [sati] seakan-akan ia menganggap para pendengar mengetahui apa yang dimaksudnya. Mahāsi Sayadaw memperhatikan hal ini, dan merasa bahwa kotbah ini mulanya memasukkan penjelasan satipaṭṭhāna yang lebih rinci. Tetapi saya merasa ini tidak mungkin, karena Saccavibhaṅga Sutta, yang secara eksplisit menjelaskan Dhammacakkappavattana Sutta “secara rinci”, memasukkan rumusan standar satipaṭṭhāna dalam perluasan detailnya. Apa perlunya suatu perluasan demikian jika rumusan itu ada di sana dalam aslinya? Kesimpulannya adalah tak terhindarkan: Dhammacakkappavattana Sutta menganggap bahwa lima orang bhikkhu itu telah mengetahui apakah perhatian itu, dan dengan demikian perhatian merupakan praktek meditasi pra-Buddhis. Untuk memeriksa hal ini saya harus memeriksa lebih dekat catatan-catatan meditasi pra-Buddhis yang ditemukan dalam teks-teks Buddhis maupun non-Buddhis.

Saya pertama kali terkejut oleh gagasan perubahan historis dalam Satipaṭṭhāna Sutta oleh A. K. Warder, yang menunjuk pada versi-versi Satipaṭṭhāna Sutta dalam terjemahan Mandarin kuno. Setelah mencatat perbedaan-perbedaan besar ia mencatat dalam hubungan dengan perenungan dhamma-dhamma yang “teks awalnya hanya memperlawankan prinsip-prinsip baik ini [faktor-faktor pencerahan] dengan rintangan-rintangan [batin].”[3] Melalui pernyataan yang tampaknya tidak berbahaya demikian sehingga saya menjadi sadar atas benar-benar pentingnya studi perbandingan dari Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama. Sementara Nikāya-Nikāya Theravāda akan selamanya tetap sebagai sumber utama kita untuk penelusuran Buddhisme pra-sektarian, Āgama-Āgama dari aliran Sarvāstivāda, Dharmaguptaka, dan yang lainnya yang sezaman, yang dipertahankan dalam terjemahan kuno dalam kanon Mandarin, menyediakan pemeriksaan yang penting dan dapat dipergunakan pada teks Pali. Seperti Encyclopaedia of Buddhism menyatakan: “Pada masa kita tidak mungkin bagi sarjana mana pun untuk menunjuk pada Buddhisme awal jika ia tidak memberikan perhatian yang seharusnya pada studi perbandingan atas tradisi selatan dan utara.” Studi ini akan menunjukkan bahwa Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama bukanlah sebuah lahan yang telah ditambang keluar yang harta karunnya semuanya tersimpan dalam ikhtisar yang belakangan.

Dalam Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama jelas bahwa tidak ada satu teks yang mewakili semua pemaparan yang pasti, yang mencakup semuanya, sehingga masing-masing teks harus dianggap berhubungan pada kumpulan secara keseluruhan. Ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang keseluruhan struktur dan organisasi dari kanon. Saya mulai mencurigai bahwa teks-teks yang lebih pendek dalam Saṁyutta mungkin mempertahankan perspektif yang lebih awal tentang satipaṭṭhāna, suatu perspektif yang dalam beberapa hal lebih baik dicerminkan dalam versi-versi Mandarin dari Satipaṭṭhāna Sutta daripada dalam versi Pali. Kecurigaan saya lebih jauh dimunculkan oleh suatu komentar oleh Bhikkhu Varado tentang kelalaian para penyusun Abhidhamma Vibhaṅga dalam menghilangkan banyak bahan dari Satipaṭṭhāna Sutta. Mungkin, saya menulis kembali, mereka tidak lalai sama sekali – mungkin Satipaṭṭhāna Sutta belum ditulis ketika bagian-bagian yang berhubungan dari Vibhaṅga disusun. (Saya belakangan menemukan bahwa saya bukan yang pertama memunculkan pertanyaan ini.) Ini menyatakan bahwa saya harus memperhatikan teks-teks Abhidhamma dan Sutta, yang mengatasi, sebagian, prasangka saya bahwa Abhidhamma adalah tubuh ajaran-ajaran sektarian yang belakangan dan tandus. Dan kemudian, jika periode Abhidhamma awal tumpang tindih dengan penyusunan Satipaṭṭhāna Sutta, tampaknya mungkin bahwa agenda-agenda sektarian terlibat dalam menyelesaikan teks akhirnya. Ini memancing pemeriksaan yang lebih dekat atas cara-cara perselisihan sektarian yang muncul menemukan ekspresi dalam teks-teks yang lebih awal. Ini kemudian tampaknya sesuai untuk memperluas penelitian pada periode komentarial yang belakangan, untuk berusaha memperoleh pengertian yang lebih dalam ke dalam cara-cara tradisi menyesuaikan satipaṭṭhāna pada perspektif tertentu mereka sendiri, dan untuk menjembatani jurang antara masa Sang Buddha dan masa kita sendiri.

Untuk menggunakan bahan tentang satipaṭṭhāna yang diterjemahkan dalam bahasa Mandarin, saya harus meningkatkan pemahaman saya sendiri tentang Āgama-Āgama dan sumber-sumber awal lainnya di luar bahasa Pali. Ketika memeriksa dan membandingkan kumpulan-kumpulan ini, dengan hubungan yang sangat kuat tetapi juga perbedaan yang nyata dan bertahan, terdapat kebutuhan kuat atas suatu penyelesaian, seperti merasakan musik yang datang ketika dua catatan sangat dekat bersamaan, tetapi tidak terlalu: mereka berhasrat untuk menjadi satu. Kali ini saya cukup beruntung untuk dapat mengenal Roderick Bucknell. Diberitahukan oleh karya perbandingannya tentang struktur kitab-kitab awal, saya telah berusaha menjelaskan hubungan antara berbagai jenis dan strata teks-teks dalam kanon awal, dan telah merumuskan ini sebagai GIST. Teori ini menyatakan suatu hubungan khusus yang mencerminkan baik pentingnya ajaran maupun sumber historisnya.

Saya menyadari bahwa metodologi yang saya gunakan dalam mempelajari satipaṭṭhāna mengikuti dengan dekat garis besar dari GIST. Tidak diragukan keyakinan saya bahwa pendekatan ini bermanfaatdalam konteks satipaṭṭhāna yang mempersiapkan saya untuk menerima bahwa ia dapat diperluas pada suatu teori umum yang interpretif. Jadi saya memutuskan untuk memasukkan sebuah presentasi GIST bersama-sama dengan studi tentang satipaṭṭhāna, walaupun di sini teori umum disajikan pertama kali. Dua bagian ini pada hakekatnya memperkuat satu sama lain. Studi tentang satipaṭṭhāna menyediakan pemeriksaan yang terperinci dari suatu ajaran penting sepanjang garis-garis yang dinyatakan oleh GIST. Ini memberikan contoh metode, yang menyediakan bukti tambahan untuk prinsip-prinsip dasar GIST, dan menunjukkan bahwa GIST menghasilkan hasil yang berarti dan bermanfaat. Walaupun demikian, dua bagian itu tidak saling bergantungan. Jika analisis saya tentang satipaṭṭhāna ternyata menyesatkan, ini melemahkan tetapi tidak menghancurkan bukti dalam mendukung GIST. Demikian juga, jika GIST dirasa tidak dapat diterima, ini melemahkan tetapi tidak menghancurkan bukti dalam mendukung analisis tentang satipaṭṭhāna. Dalam beberapa tingkatan, dua studi itu dapat dianggap secara independen; tetapi diambil bersama-sama mereka lebih berarti.

Kita tidak menaiki suatu penelitian atas suatu yang pasti. Sepanjang kita berdiam dalam alam konsep-konsep, gagasan kita hanya dapat mengira-ngira kebenaran.  Apa yang penting adalah bahwa kita sedang bergerak dalam arah yang benar, bergerak jauh dari kebingungan menuju kejelasan, jauh dari dogmatisme menuju penyelidikan. Masing-masing kriteria yang digunakan dalam kritik historis ketika mengambil secara individu sebagai suatu alat yang tidak sempurna. Tetapi mereka bersifat sinergis: di mana beberapa kriteria sesuai, kesesuaian ini melipatgandakan keyakinan kita dalam kesimpulan kita – keseluruhannya lebih besar daripada jumlah bagian-bagian. Maka ini suatu keharusan untuk digunakan seluas mungkin variasi dari kriteria-kriteria, secara sensitif menilai sifat dapat dipercaya dari masing-masing kriteria dalam konteks yang berhubungan, tetap ada pada berbagai indikasi yang berlawanan, dan membuat kesimpulan kita tidak lebih meyakinkan daripada jaminan buktinya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #3 on: 17 March 2013, 08:41:51 AM »
Saya telah berusaha untuk membuat masalah-masalah tidak lebih teknis dan terspesialisasi daripada yang dibutuhkan tanpa mengorbankan ketepatan. Terjemahan-terjemahan berasal dari berbagai sumber. Penelitian yang dilakukan di banyak tempat – vihara-vihara, perpustakaan, pusat-pusat Buddhis, internet – dan saya tidak dapat membakukan atau memeriksa semua referensi. Terima kasih khususnya kepada Bhikkhu Fa Qing, yang memberikan banyak waktunya untuk membantu saya menjelajahi beberapa sudut rahasia dari kanon Mandarin, dan kepada Roderick Bucknell untuk banyak menjelaskan informasi dan gagasan-gagasan yang menantang. Adalah kepada Rod sehingga saya berhutang kebanyakan informasi yang terperinci pada teks-teks seperti Dharmaskandha, Śāriputrābhidharma, Kāyagatāsmṛti Sūtra, dan banyak lainnya. Menjelang akhir proyek ini, saya memulai korespondensi dengan Venerable Anālayo, yang membantu saya menangani pembacaan kanon Mandarin.

Saya telah berusaha mempertahankan konsistensi dari penerjemahan istilah-istilah teknis, dan kadangkala mengambil kebebasan dengan membawa penerjemahan dalam bacaan yang dikutip ke dalam baris dalam teks utama. Karena kanon Pali adalah tulang punggung dari karya ini, dan karena saya lebih familiar dengan Pali, saya telah menerjemahkan hampir semua kata-kata India dalam bentuk Pali-nya alih-alih bentuk Sanskrit. Pengecualian termasuk nama-nama diri dan istilah-istilah yang tidak diketahui dalam bahasa Pali dalam maknanya yang berhubungan.

Kesulitan khusus dari karya ini adalah bahwa karya ini membahas beberapa teks dengan judul-judul sama yang membingungkan. Saya telah berusaha meminimalkan kebingungan dengan menjelaskan dengan hati-hati nama-nama dan hubungan teks-teks kebanyakan dengan penuh.

Adalah kebiasaan umum di antara para sarjana untuk menunjuk teks-teks dengan bahasanya, sebagai contoh “Majjhima Nikāya Pali” dan “Madhyama Āgama Mandarin”. Ini membawa kesan yang sepenuhnya menyesatkan bahwa Āgama- Āgama, dan sesungguhnya semua teks Buddhis India yang ada pada kita dalam terjemahan Mandarin, dalam beberapa pengertian “bersifat Cina”. Kita mungkin juga menunjuk pada “Majjhima Nikāya Inggris” hanya karena kita kebetulan membaca sebuah terjemahan bahasa Inggris. Apa yang menjadi masalah adalah maknanya; dan ini lebih penting dipengaruhi oleh perspektif ajaran para penyunting daripada bahasanya. Oleh sebab itu lebih disukai untuk mengelompokkan teks-teks berdasarkan aliran kapan pun mungkin. Tentu saja, masih perlu untuk menunjuk pada “kanon Mandarin”, karena teks-teks itu berasal dari banyak aliran, dan kumpulannya sebagai keseluruhan adalah artifak Cina.

Saya telah berusaha untuk memberikan referensi pada semua versi yang diketahui dari suatu teks tertentu, yang biasanya berarti versi Pali dan Mandarin. Para pembaca harus menyadari bahwa ini menunjuk pada suatu teks yang diidentifikasi sebagai yang asalnya sama[4] dalam daftar-daftar yang ada. Ini tidak menyatakan bahwa istilah, frase, atau gagasan tertentu yang dibahas ditemukan dalam semua versi. Namun saya telah memeriksa sebanyak mungkin referensi, dan telah menunjukkan perbedaan-perbedaan yang berkaitan.

Kritik historis tidaklah menyenangkan. Studi ini kadangkala dapat muncul lebih bersifat membedah daripada bersifat inspirasional. Analisis yang kejam dapat kelihatannya bertentangan dengan keyakinan. Tetapi ini tidak perlu demikian; Sang Buddha menganggap akal sebagai landasan dari keyakinan sejati. Seseorang yang memiliki keyakinan sejati dalam Dhamma pasti tidak akan takut bahwa hanya kritik tulisan dapat menghancurkan ajaran. Dan bukankah ini hanya ketakutan yang membuat kita ingin melindungi kitab suci sendiri, memujanya, menguncinya dengan aman dalam peti yang indah pada tempat suci sendiri, aman dari penyelidikan yang tidak berkeyakinan? Syukurlah ketakutan demikian,  sementara pastinya bukan tidak ada, tidak menonjol dalam lingkaran umat Buddha saat ini. Dan penemuan kita, tidak peduli betapa kejamnya kita menggunakan pisau bedah, tidak mempengaruhi dasar-dasar [ajaran]. Terdapat kesepahaman besar-besaran di antara sumber-sumber awal seperti pada ajaran-ajaran utama – tidak hanya gagasan dan prinsip-prinsipnya, tetapi teks-teks dan rumusan khusus juga. Perbedaan yang akan kita perhatikan dalam penjelajahan kita tidak merusak dasar-dasar ini, tetapi implikasi dan kecenderungan tertentu yang dapat dilihat dalam pengaturan dan penekanan dari rumusan-rumusan yang dikembangkan. Bahkan di sini perbedaan-perbedaan, untuk dimulai dengan, adalah kecil dan sedikit jumlahnya. Jadi adalah maksud saya, bukan untuk memunculkan keragu-raguan, tetapi untuk mendorong kedewasaan keyakinan.

Catatan Kaki:

[1] Terdapat suatu contoh dalam kasus aliran Chan Cina (Zen di Jepang), yang berasal dari kata Sanskrit dhyāna (Pali jhāna), yang di sini hanya berarti “meditasi”.

[2] Gombrich

[3] Warder, pg. 86.

[4] Istilah “yang asalnya sama” secara harfiah berarti “lahir bersama”, dan digunakan dalam etimologi kata yang dipercaya berasal dari suatu nenek moyang bersama. Beberapa sarjana lebih menyukai menggunakan kata-kata seperti “paralel” atau “rekan imbangan” untuk menunjuk pada sutta-sutta yang ditemukan dalam versi Pali dan Mandarin, karena istilah-istilah ini tidak menyatakan teori tertentu apa pun seperti hubungan antara teks-teks yang dipertanyakan. Namun, saya cukup nyaman dengan “yang asalnya sama”, karena saya yakin bahwa dalam kebanyakan kasus teori bahwa sutta-sutta yang sama berasal dari suatu nenek moyang bersama adalah paling masuk akal.
« Last Edit: 17 March 2013, 08:49:12 AM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #4 on: 17 March 2013, 09:02:09 AM »
BAGIAN PERTAMA
GIST: STRUKTUR DHAMMA YANG TERSEMBUNYI

Teman-teman, seperti halnya jejak kaki makhluk apa pun yang berjalan dapat dimasukkan dalam jejak kaki seekor gajah, dan demikianlah jejak kaki gajah dinyatakan sebagai yang utama dari jejak-jejak kaki karena ukurannya yang besar – demikian juga, semua prinsip yang bermanfaat dapat dimasukkan dalam Empat Kebenaran Mulia.

– Sang Buddha, Mahā Hatthipadopama Sutta

Bab 1
Makna dari “Buddha”

Buddha

Dikatakan bahwa bahkan untuk mendengar kata ini adalah berharga melampaui perhitungan. Melalui tak terhitung kappa, makhluk-makhluk jatuh ke dalam kehancuran karena mereka menolak kesempatan mendengarnya. Akhirnya, setelah suatu masa yang lama tak terhitung, Yang Tercerahkan muncul di dunia dan kata “Buddha” terdengar, bagaikan hujan di gurun yang kering. Ketika saudagar Anāthapiṇḍika mendengar kata ini ia diliputi kegembiraan – rambutnya berdiri tegak, ia tidak dapat tidur pada malam hari, hatinya melompat dengan kegembiraan meluap-luap yang aneh. Dalam milenium sejak masa Sang Buddha, kata ini telah membangun suatu aura yang unik, suatu karisma spiritual yang memberikan wibawa yang tiada bandingnya pada komunitas-komunitas dan institusi religius yang menyatakan kesetiaan pada ajaran-Nya yang membebaskan. Kita adalah para pewaris spiritual dari makhluk agung tersebut, orang itu dengan darah daging yang berjalan pada tanah subur daratan sungai Gangga hampir 2500 tahun yang lampau.

Kata-kata yang kita gunakan untuk berbicara tentang Dhamma, termasuk kata “Buddha” ini, dikelilingi dan dibatasi oleh budaya Indo-Arya di mana Siddhattha Gotama muda tumbuh. Ahli etimologi mungkin mengatakan bahwa “buddha” berasal dari akar kata Indo-Eropa kuno, yang makna dasarnya adalah “bangun”, dan yang memiliki beberapa kata yang asalnya sama dengan makna-makna yang berhubungan dalam bahasa-bahasa Eropa yang sezaman. Seorang ahli tata bahasa dapat mengatakan pada kita bahwa kata ini adalah bentuk lampau yang dibentuk dari suatu akar kata kerja. Seorang filsuf bahasa dapat menemukan kata ini penting sehingga bentuk lampau tersebut, yang tidak biasanya sama dalam bahasa-bahasa Buddhis, menunjuk tibanya pada atau kemunculan ke dalam suatu kondisi tertentu, alih-alih suatu keadaan yang abadi, kekal. Seorang ahli sejarah agama dapat mengatakan pada kita bahwa gelar “Buddha” digunakan untuk menunjuk pada sosok makhluk yang tercerahkan atau yang sempurna dalam beberapa agama, seperti Jainisme dan Brahmanisme, serta Buddhisme. Seorang guru meditasi, pada sisi lain, mungkin menekankan bagaimana “Buddha” menunjuk pada sifat kesadaran yang hakiki. Dan seterusnya. Semua aspek ini menginformasikan dan mengkondisikan gema kata “Buddha”: mereka adalah bagian dari makna kata “Buddha.”

Adalah kesetiaan yang dibagi bersama pada “Buddha” ini yang mendefinisikan agama Buddhis. Semua bentuk Buddhisme, dari Sang Buddha sendiri sampai pada semua aliran, telah mengakui dua segi, atau agaknya tahap, untuk sampai pada kebijaksanaan sejati. Pertama datang dari mendengarkan ajaran-ajaran, kata-kata kebenaran yang akhirnya berasal dari Sang Buddha sendiri; dan yang kedua adalah penerapan, penyelidikan, dan pembuktian ajaran-ajaran tersebut dalam pengalaman dekat kita. Pada awalnya kita hanya mendengar Sang Buddha mengajarkan kita tentang Empat Kebenaran Mulia – penderitaan, sebab penderitaan, akhir penderitaan, dan jalan latihan yang membawa pada akhir penderitaan – kemudian kita melihat ke dalam pikiran kita: “Ya” kita menyadari. “Di sanalah ia, tepat di sana! Kemelekatan, kebodohan, kebencianku sendiri yang menyebabkan munculnya penderitaan dan kesedihan dalam hatiku, dan membuatku berkata dan bertindak dengan cara yang berbahaya, bodoh, yang membebankan rasa sakitku sendiri kepada orang lain.”

Jadi sepasang yang tidak terpisahkan ini, teori dan praktek Buddhisme, masing-masing mengimbangi dan memberitahukan yang lain. Teori tanpa praktek menjadi semata-mata permainan pikiran intelektual; sedangkan praktek tanpa teori cenderung melayang tanpa arah, atau alih-alih, diarahkan oleh delusi pribadi dari orang tersebut. Tidak perlu menyatakan kembali bahwa semua umat Buddha dari tiga masa setuju bahwa pengetahuan intelektual dari Dhamma tidak cukup. Pengetahuan intelektual, disebabkan riak-riak dalam kesadaran yang digerakkan oleh aktivitas berpikir, pasti mengganggu kejernihan pemahaman, dan pengetahuan mendalam muncul hanya ketika pikiran tenang dan diam. Tetapi pengetahuan intelektual memiliki kegunaan; ini bukanlah suatu masalah dalam dan dari dirinya sendiri. Ini hanya menjadi masalah ketika kita salah mengira pengetahuan intelektual sebagai kebenaran, pendapat kita atas realitas. Maka pendapat menjadi kesombongan, dan kita dengan mudah mengalah pada kesombongan spiritual yang sangat sulit untuk disembuhkan. Tetapi seorang meditator yang terampil, waspada pada kecenderungan gagasan-gagasan dan prasangka yang menyimpang, belajar untuk sepenuhnya berada pada saat sekarang, melihat ketidakkekalan dan kekosongan pemikiran, dan tumbuh bijaksana dengan cara itu, pada tingkatan kesadaran yang paling dasar, bahkan konstruksi mental yang paling halus dan luhur membatasi kekuatan kesadaran.

Anggaplah pelatihan seorang musisi. Mungkin seseorang telah terinspirasi oleh beberapa komposer atau pemain alat musik yang besar untuk mengambil sebuah instrumen musik. Tetapi bagaimana untuk memulai? Saya ingat pada suatu waktu di sebuah toko alat musik ketika seorang murid berjalan dan berkata ia ingin seperti Mark Knopfler, yang pada waktu itu adalah pemain gitar yang paling populer, terkenal karena penyusunan kata-katanya yang lembut dan melodis penuh emosi. Terpengaruh, pemilik toko menjual pada murid itu fuzz box seharga $30, dan ia berjalan keluar dengan gembira. Sayangnya, ini tidak semudah itu. Kenyataannya, kita harus menghabiskan berjam-jam belajar membaca musik dari satu halaman, titik-titik dan garis hitam dan putih sama sekali yang tidak membagikan apa pun dari kehangatan dan warna yang merupakan inspirasi kita. Mengambil peralatan kita, terdapat tak terhitung jam skala, latihan-latihan, dan pelajaran-pelajaran sepele untuk dikuasai sebelum semuanya yang secara samar-samar mendekati “musik” didengar. Tetapi sekali teknik itu telah dikuasai, ini harus ditinggalkan di belakang. Tidak ada yang lebih buruk daripada mendengarkan seorang musisi secara egois menunjukkan keahlian teknisnya. Semua teknik, pelajaran, praktek, harus dilupakan seraya seorang seniman membenamkan dirinya ke dalam seni yang diciptakan di sini pada saat sekarang; tetapi saat sekarang itu hanya dibuat mungkin oleh pelajaran dan penerapan sebelumnya. Dengan cara ini, pengalaman masa lampau menciptakan keajaiban masa kini.

1.1 Kerancuan Tradisi

Adalah implisit dalam penyataan menjadi seorang “Buddhis” bahwa seseorang meyakini bahwa Dhamma berasal dari Sang Buddha sendiri melalui penyebaran ajaran-Nya oleh tradisi-tradisi. Kita harus mengambil pernyataan ini secara serius. Sebagai seorang bhikkhu saya menyadari bahwa, dalam pengertian yang sangat nyata, saya adalah bahan dan pewaris spiritual dari Sang Buddha. Para umat Buddha yang taat memberikan saya nasi dan kari, seperti juga pada masa lampau orang-orang India memberikan Siddhattha Gotama nasi dan kari, karena mereka menganggap saya seorang pengikut sejati, seorang “Putra Sakya”. Akan tidak tulus, bahkan curang, bagi saya untuk memakan dana makanan itu sementara pada waktu yang sama meyakini, mempraktekkan, atau mengajarkan hal-hal yang saya ketahui bahwa Siddhattha Gotama tidak akan menyetujuinya.

Ini menimbulkan beberapa masalah yang menarik dan menantang. Jelas bahwa keberadaan budaya-budaya yang ada yang semuanya menyatakan sebagai “Buddhis” sangat berbeda dalam keyakinan dan praktek mereka. Seringkali ini hanyalah perbedaan budaya seraya Dhamma-Vinaya menyesuaikan dirinya pada waktu dan tempat. Umat Buddha Taiwan melakukan pelantunan [kebaktian] mereka dalam bahasa Mandarin, sedangkan umat Buddha Thai melakukannnya dalam bahasa Pali; tidak ada yang membuat masalah besar tentang hal-hal seperti ini. Bagaimanapun, Sang Buddha sendiri meminta para pengikut-Nya untuk mempelajari Dhamma dalam bahasa mereka sendiri, dan tidak bersikeras pada dialek-dialek lokal.

Namun, aspek-aspek lain dari Buddhisme kultural sangat berlawanan dengan Dhamma. Sebuah contoh yang mengganggu dari hal ini adalah penggunaan bahasa dan konsep Buddhis untuk membenarkan perang, yang telah merusak banyak negera-negera Buddhis. Tidak ada penyesuaian budaya yang tidak berbahaya, tetapi suatu perbuatan yang sepenuhnya tidak wajar atas ajaran-ajaran Sang Buddha.

Fakta-fakta yang tidak menyenangkan demikian menuntut bahwa kita berhenti dan menyelidiki tradisi-tradisi lebih dekat. Ini hanya tidak cukup bagus untuk menerima dengan kepercayaan yang tidak diselidiki mitos-mitos, kisah-kisah, dan dogma-dogma dari aliran-aliran. Sebagai orang-orang yang memiliki komitmen untuk memahami dan menjalankan pesan dari Sang Bijaksana Sakya, terdapat suatu kewajiban untuk dengan jujur mempertanyakan tentang apa, persisnya, yang diajarkan Guru kita. Kita tahu bahwa tradisi-tradisi menjadi salah dalam beberapa kasus. Tetapi contoh-contoh yang jelas, tidak rancu adalah dalam minoritas. Terdapat suatu kekayaan dari ajaran-ajaran lain yang diberikan kepada kita oleh aliran-aliran, yang beberapa darinya berbeda satu sama lainnya dalam huruf; dan kita memerlukan sesuatu yang lebih baik daripada kepercayaan buta sebelum kita dapat dengan cerdas menyimpulkan apakah mereka lakukan, atau tidak lakukan, juga berbeda dalam maknanya.

Semua aliran Buddhisme yang ada berbagi sekumpulan besar ajaran yang sama, tetapi juga memasukkan sekumpulan besar ajaran yang berbeda. Tidak diragukan bahwa para pendiri dan pengembang berbagai aliran itu meyakini bahwa terdapat perbedaan ajaran yang bermakna, yang asli di antara aliran-aliran. Semua aliran sepaham bahwa mereka tidak sepaham. Ini cukup ditunjukkan dengan sejumlah besar bahan polemik yang memenuhi rak-rak kanon Buddhis. Dan, pada umumnya, aliran-aliran juga sepaham pada apa yang mereka tidak sepaham. Sebuah teks aliran Theravāda dapat mengatakan bahwa ajaran “pribadi” dari aliran Puggalavāda bertentangan dengan ajaran bukan-diri; sedangkan teks-teks Puggalavāda akan dengan penuh semangat membantah bahwa ajaran tentang “pribadi” berada dalam cara yang benar untuk menafsirkan bukan-diri. Mempertimbangkan situasi ini, tampaknya agak gegabah untuk menyatakan, seperti yang dilakukan beberapa Buddhis modernis, bahwa tidak ada perbedaan, atau bahwa perbedaan itu tidak penting. Apa yang diperlukan bukanlah kata-kata basa-basi hambar melainkan suatu metodologi yang diperbaiki, suatu cara mendekati ajaran-ajaran yang diturunkan, bukan dari perspektif atau ajaran-ajaran dari aliran tertentu mana pun, tetapi dari suatu evaluasi sensitif dari tradisi tekstual seperti yang dihidupkan oleh para umat Buddha. Yin Shun, bhikkhu sarjana yang terkemuka dari Buddhisme Taiwan modern, mengungkapkan perasaan yang sama dalam otobiografinya.

Walaupun “tanpa-perselisihan” adalah baik, sinkretisme yang diterjemahkan dengan terampil yang tidak mengetahui di mana dan mengapa perbedaan-perbedaan dapat terlalu jauh, terlalu umum, dan samar-samar.

Untuk memahami asal mula dan transformasi Buddha Dharma dalam konteks spasial dan temporal tertentu dalam dunia yang sebenarnya perlahan-lahan menjadi prinsip pencarian saya terhadap Buddha Dharma.
« Last Edit: 17 March 2013, 09:11:13 AM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #5 on: 17 March 2013, 09:09:25 AM »
1.2 Kematian Mitos

Adalah suatu ciri khas yang mengejutkan, umum pada semua aliran, bahwa mereka merasa kebutuhan untuk membenarkan ajaran tertentu mereka secara mitologis – inilah apa yang semua agama lakukan. Selama 2500 tahun, Buddhisme telah terus-menerus berubah, menyesuaikan diri, berkembang; tetapi mitos aliran-aliran bersikeras bahwa Dhamma tetap sama. Demikianlah Theravāda bersikeras bahwa Abhidhamma Theravāda telah diajarkan Sang Buddha di surga Tāvatiṁsa selama pengasingan diri musim hujan-Nya yang ketujuh. Mahāyāna menyatakan bahwa sūtra-sūtra Mahāyāna ditulis pada masa Sang Buddha, disimpan di alam naga di bawah laut, kemudian didapatkan kembali oleh Nāgārjuna 500 tahun kemudian. Zen menyatakan otoritas dari suatu transmisi oral esoteris di luar kitab suci yang berasal dari Mahā Kassapa, yang disimbolkan oleh senyuman Mahā Kassapa ketika Sang Buddha memegang sekuntum teratai. Semua ini adalah mitos, dan tidak layak dianggap serius sebagai penjelasan atas kebenaran historis. Tujuannya, sebagai mitos, tidak untuk menjelaskan fakta-fakta, tetapi untuk mengesahkan keyakinan religius. Mereka mengatakan pada kita, bukan bagaimana ajaran-ajaran menjadi ada, tetapi bagaimana para penganutnya merasakannya. Dengan cara ini, mitos menawarkan suatu pelengkap yang tidak tergantikan atas sejarah, dan tidak seharusnya diabaikan. Apa yang saya kritik di sini bukanlah mitos sebagai mitos, tetapi mitos sebagai sejarah: kesalahan naif bersikeras bahwa kisah-kisah dari tradisi-tradisi adalah berdasarkan fakta. Mitos-mitos berdiri sebagai suatu penolakan yang menyolok atas ketidakkekalan, dan juga sub-tema dari karya ini adalah untuk memperhatikan ironi perih tentang bagaimana upaya yang amat sangat untuk mempertahankan ajaran-ajaran, sehingga “Dhamma sejati dapat bertahan dalam waktu lama”, cenderung menuju sesuatu yang menganggap waktu sebagai nyata.

Salah satu pelajaran terbesar dari sejarah, mungkin pelajaran yang terbesar, adalah bahwa akal menggantikan mitos. Terdapat sesuatu tentang pikiran manusia yang tidak dapat terus-menerus mempercayai suatu penjelasan mitos untuk apa yang dapat kita pahami melalui akal. Penjelasan mitos memenuhi suatu tujuan; mereka menciptakan suatu pengertian makna dan identitas bersama yang memuaskan dan menegaskan diri sendiri. Tetapi akal juga adalah suatu kekuatan positif, karena ia menganggap bahwa pikiran manusia dapat mendekati kebenaran. Karena penjelasan rasional atas pernyataan-pernyataan religius semakin maju, ini menjadi semakin bosan mempertahankan dua struktur kepercayaan yang tidak bersesuaian bersebelahan. Mitos-mitos menjadi tidak berguna. Tidak lagi meyakinkan secara inheren, mereka menjadi berlebih-lebihan dan akhirnya mati. Inilah pasang surut waktu yang tidak dapat ditawar lagi.

Ketika studi sejarah modern Buddhisme dimulai pada pertengahan abad ke-19 terdapat, sebagai suatu hasil dari mitologi-mitologi yang bersaing (tidak untuk menyebutkan mitos Hindu yang bahkan lebih menyesatkan), kebingungan yang sangat amat tentang gambaran sejarahnya. Dalam ledakan antusias rasionalis, para sarjana bersiap-siap untuk mempertanyakan apakah mitos memiliki dasar faktual sama sekali. Apakah ada hubungan historis antara agama-agama yang berbeda yang dijalankan di tempat-tempat yang terpisah jauh seperti Sri Lanka, Tibet, dan Jepang? Apakah Sang Buddha benar-benar ada? Apakah Beliau hanyalah dewa-matahari? Apakah Beliau seorang nabi Etiopia? Apakah yang Beliau ajarakan? Dapatkah kita mengetahuinya? Tradisi manakah yang paling dapat dipercaya (atau setidaknya tidak dapat dipercaya)? Karena tradisi-tradisi telah sangat terpisah karena kekuatan sejarah – terutama penghancuran Buddhisme di India – mereka memiliki sedikit informasi tentang satu sama lainnya, dan masing-masing menyatakan keunggulannya sendiri. Masing-masing aliran mempertahankan tradisinya dalam kumpulan yang luas dari berjilid-jilid naskah kuno yang sulit dimengerti dan sulit dibaca dalam bahasa-bahasa yang sangat berbeda (Mandarin, Tibet, Pali, dan bahasa-bahasa India lainnya seperti Sanskrit). Tetapi perlahan-lahan bukti dikumpulkan. Tradisi-tradisi dibandingkan; penemuan arkeologis menegaskan fakta-fakta kunci. Kronologi Sri Lanka yang berusia 1500 tahun menyebutkan nama-nama bhikkhu Kassapa, Majjhima, dan Durabhisara yang dikirimkan pada masa Aśoka sebagai misionaris dari Vidisa ke Himalaya; sebuah stupa digali di Vidisa dan nama-nama para bhikkhu ini ditemukan di sana, yang dipahatkan dalam huruf-huruf yang penanggalannya dekat dengan masa Aśoka, dan mencatat bahwa mereka adalah para guru Himalaya.[1] Pada awal abad ke-20, dalam karya-karya oleh para sarjana seperti T. W. Rhys Davies, yang tulisan-tulisannya tetap mempertahankan nilainya saat ini, skema yang akurat diambil. Masih ada perdebatan pada awal pertengahan abad ke-20, meskipun, karena bukti masih dikumpulkan, teks-teks baru disusun, dan studi baru dilakukan.

Namun, sejak awal tahun 1882 seorang sarjana bernama Samuel Beal menerbitkan serangkaian kuliah yang berjudul Buddhist Literature in China. Ini memasukkan informasi tentang proses penerjemahan ke dalam bahasa Mandarin, dan contoh terjemahan dari beberapa lapisan utama teks-teks Buddhis – Sutta-Sutta awal, Jātaka-Jātaka, dan sebuah teks Mahāyāna. Ia menyatakan sebagai berikut:

Parinibbāna, Brahmajāla, Sigalovada, Dhammacakka, Kasi-Bhāradvadja, Mahāmangala; semua ini telah saya temukan dan bandingkan dengan terjemahan dari bahasa Pali, dan menemukan bahwa pada pokoknya mereka adalah identik. Saya tidak mengatakan secara harfiah sama; mereka berbeda dalam poin-poin kecil, tetapi identik dalam alur dan semua rincian yang penting. Dan ketika kumpulan Vinaya dan Āgama sepenuhnya diselidiki, saya memiliki sedikit keraguan kita akan menemukan kebanyakan jika tidak semuanya sutta-sutta Pali dalam bentuk Mandarin.[2]

Lebih dari satu abad kemudian, studi perbandingan yang seksama yang didorong oleh Beal masih kurang. Namun, beberapa kemajuan telah dibuat. Pada tahun 1908 seorang sarjana Jepang bernama M. Anesaki menerbitkan bukunya “The Four Buddhist Āgamas in Chinese: A concordance of their parts and of the corresponding counterparts in the Pali Nikāyas”.[3] Ini diikuti pada tahun 1929 oleh Chizen Akanuma dalam The Comparative Catalogue of Chinese Āgamas and Pali Nikāyas,[4] sebuah katalog komprehensif dari semua kotbah-kotbah awal yang diketahui ada dalam Pali dan Mandarin, dan sedikit teks yang tersedia dalam bahasa Tibet dan Sanskrit. Penemuan-penemuan ini ditambahkan dalam studi historis yang berskala penuh seperti Étienne Lamotte dalam History of Indian Buddhism dan A. K. Warder dalam Indian Buddhism. Studi-studi telah sangat menegaskan hipotesis awal Beal – Āgama-Āgama Mandarin dan Nikāya-Nikāya Pali hampir identik dalam ajaran. Mereka adalah dua turunan yang berbeda dari kumpulan teks yang sama. Teks-teks ini – secara populer ditunjuk hanya sebagai “Sutta-Sutta” – dikumpulkan oleh generasi pertama para pengikut Sang Buddha, sebelum masa pemisahan sektarian. Mereka adalah Buddhisme prasektarian. Walaupun mereka biasanya dianggap sebagai ajaran-ajaran “Theravāda”, ini tidak demikian. Sarjana David Kalupahana melanjutkan sejauh menyatakan bahwa tidak ada satu pun kata Theravāda dalam Nikāya-Nikāya Pali (walaupun saya pikir ini pernyataan yang sedikit berlebihan.) Sumbangsih para sarjana kebanyakan terbatas pada penetapan pengaturan akhir teks-teks dan standarisasi dialek. Penambahan gagasan sektarian adalah sedikit dan biasanya dengan siap dapat dikenal. Lamotte berkomentar:

Namun, dengan pengecualian penambahan Mahāyanis dalam Ekottara, yang dengan mudah dapat dibedakan, perbedaan-perbedaan yang dipertanyakan [antara Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama] tidak mungkin mempengaruhi apa pun kecuali metode pengungkapan atau penyusunan dari pokok-pokok bahasan. Dasar ajaran yang umum pada Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama sangat seragam. Namun, dipertahankan dan disebarkan oleh aliran-aliran, sūtra-sūtra tidak merupakan naskah-naskah skolastik, tetapi merupakan warisan bersama dari semua aliran.[5]

Semua teks lainnya, termasuk Jātaka, Abhidhamma dari berbagai aliran, sūtra-sūtra Mahāyāna, dan seterusnya, dituliskan kemudian. Relatif sedikit dari ajaran-ajaran ini dianut sama antara aliran-aliran; yaitu, mereka adalah Buddhisme sektarian. Walaupun lensa kritik historis, gambar besar dari kemunculan dan perkembangan ajaran-ajaran ini dapat ditelusuri dengan sangat jelas, dalam dinamika internal dari evolusi ajaran dan dalam tanggapan Buddhisme pada lingkungan budaya, sosial, dan religius yang berubah-ubah. Tidak ada bukti bahwa ajaran-ajaran khusus dari teks-teks ini – yaitu, ajaran-ajaran yang tidak juga ditemukan dalam Sutta-Sutta awal – berasal dari Sang Buddha. Alih-alih, teks-teks ini seharusnya dianggap sebagai jawaban yang diberikan para guru dari masa kuno atas pertanyaan: “Apakah makna Buddhisme bagi kami?” Setiap generasi berikutnya pasti melakukan tugas sulit dalam prinsip penafsiran, akulturasi kembali Dhamma pada waktu dan tempat. Dan kita, dalam masa-masa kita yang menggemparkan, yang demikian berbeda dari mereka dari masa atau budaya Buddhis masa lampau, harus menemukan jawaban kita sendiri. Dari perspektif ini, ajaran-ajaran aliran-aliran memberikan pelajaran-pelajaran yang tidak ternilai, suatu kekayaan teladan yang telah diwariskan kepada kita oleh para nenek moyang kita dalam keyakinan.

Memahami dasar historis dari Buddhisme menyediakan suatu landasan yang bermakna untuk menghargai landasan bersama dari aliran-aliran. Mitos-mitos tradisional tentang asal mula teks-teks Buddhis menjalankan tujuan polemik, yang menentukan dalam mengesahkan posisi ajaran tertentu dari aliran-aliran. Ini bukan untuk merendahkan peranan religius yang penting yang dimainkan mitos-mitos dalam Buddhis; sebaliknya, kita akan melihat bahwa kitab-kitab Buddhis selalu ditanamkan dalam kisah spiritual, yang memberi napas kehidupan ke dalam ajaran-ajaran. Tujuan kita bukan untuk mengkritik aliran-aliran, tetapi untuk membedakan yang penting dari yang tidak penting.

Catatan Kaki:

[1] Lihat Frauwallner 1956; yang baru-baru ini dikoreksi oleh Willis. Lihat juga Wynne.

[2] Beal, pg. xii.

[3] Anesaki

[4] Akanuma. Sebuah versi yang telah diperbarui dari tabel Akanuma ada di www.suttacentral.net

[5] Lamotte, pg. 156.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #6 on: 17 March 2013, 09:19:07 AM »
Bab 2
GIST 1 – Tiga Lapisan Teks-Teks Awal

Apakah GIST itu? Ini adalah hipotesis umum tentang asal mula da perkembangan teks-teks Buddhis. Melihat kebutuhan untuk suatu nama yang mudah dipakai untuk gagasan ini, saya mulanya berpikir, dengan lidah dengan aman pada pipi, dengan mengikuti contoh para ahli fisika dan menyebutnya sebagai “Grand Unified Sutta Theory”. Tetapi akronim “GUST” terdengar seperti banyak udara panas, sehingga saya berpikir tentang “General Integrated Sutta Theory”: GIST. Yaitu, tentu saja, persisnya apa yang kita cari. Kita mencari suatu perlengkapan yang dapat kita percaya memotong kumpulan tambahan yang memenuhi perpustakaan Buddhis dan tiba, sedekat mungkin, pada ajaran-ajaran Sang Buddha sendiri. Bahkan jika kita membatasi pertanyaan kita pada Sutta-Sutta dan Vinaya awal kita masih diberikan dengan susunan yang luas dari ajaran-ajaran, beberapa jelas berasal dari masa setelah Sang Buddha. Terdapat beberapa upaya yang lebih kurang berhasil untuk menyaring masalah ini ke dalam berbagai lapisan. Kemajuan yang paling penting dalam hal ini adalah perbandingan Nikāya- Nikāya Pali dengan Āgama-Āgama Mandarin. Ini membawa kita kembali ke sekitar seratus tahun setelah kematian Sang Buddha. Tetapi kita masih berhadapan dengan sekumpulan kotbah yang tampaknya tidak ada jalan kembali lebih jauh. GIST berusaha untuk menembus bahkan lebih jauh, ke dalam masa Sang Buddha.

GIST adalah “General” (Umum) karena ia meliputi seluruh kitab yang masih ada, yaitu, Sutta-Sutta, Vinaya-Vinaya, dan Abhidhamma-Abhidhamma dari semua aliran yang dipertahankan dalam bahasa Pali, Mandarin, dan berbagai dialek India. Ia “Integrated” (Terintegrasi) karena ia memberikan penyajian yang ringkas dari hubungan-hubungan penting antara teks-teks ini. Ini berhubungan dengan “Sutta-Sutta” bukan hanya dalam pengertian nyata bahwa Sutta Piṭaka mengandung ajaran-ajaran yang paling penting, tetapi karena ini menyatakan suatu revaluasi makna dari kata “sutta” dalam teks-teks awal. Untuk alasan ini kita tidak akan mengikuti praktek biasanya menunjuk pada teks apa pun dalam Sutta Piṭaka sebagai “sutta”, tetapi akan menggunakan istilah yang lebih netral seperti “kotbah”, mencadangkan “sutta” dalam huruf miring untuk makna khusus yang dibawa istilah tersebut dalam penggunaan awal. Namun kita akan terus menggunakan “Sutta” dengan sebuah huruf kapital untuk menunjuk pada teks-teks awal secara umum sebagai yang berlawanan dengan Abhidhamma dan karya-karya belakangan lainnya.

Dan terakhir, GIST adalah suatu “Theory”  (Teori) karena ia tidak pasti. Tidak ada teori yang dapat sepenuhnya menangkap kebenaran. Saya pikir suatu teori yang berhasil adalah, pertama, teori yang menyampaikan suatu masalah sejati, kedua, menjelaskan berbagai fakta dalam suatu cara yang setidaknya sama masuk akalnya dengan alternatif apa pun, dan ketiga, bersifat menimbulkan penyelidikan yang lebih jauh. Walaupun GIST hanya sesosok anak yang baru lahir mengambil langkah yang terhuyung-huyung, ia masih memenuhi standar-standar ini.

Terdapat masalah serius yang menjadi taruhan: bagaimana kita menghubungkan kumpulan Pali dan Mandarin bersama-sama, melampaui hanya menyatakan bahwa mereka berbagi banyak teks-teks yang sama? Kita harus berusaha menyelidiki kesamaan dan perbedaan secara lebih sistematis dan suatu kesempatan yang menjanjikan untuk melakukan itu adalah menggunakan prinsip struktural yang dikatakan dalam teks-teks itu sendiri.

Mengenai alternatif-alternatif, tidak ada ruang di sini untuk mengevaluasi semua teori yang telah dikemukakan untuk asal mula dan perkembangan kanon. Namun, saya percaya teori-teori saat ini tidak cukup menyatakan pengaruh dari struktur Dhamma itu sendiri terhadap struktur kanon. Kotbah-kotbah awal bersifat metodis dan simetris, dan terdapat ketidaksesuaian yang menyolok antara arsitektur ajaran yang seimbang itu sendiri dan kumpulan-kumpulan yang tergeletak di mana ajaran-ajaran itu ditempatkan.

Mengenai standar ketiga, GIST memberikan metode yang jelas, sederhana, sistematis untuk mendekati studi apa pun dari ajaran-ajaran pokok Buddhisme. Alih-alih mengambil bacaan-bacaan, gagasan, atau kutipan dari sana-sini untuk mendukung argumentasi seseorang, GIST menyatakan hirarki yang jelas dari hal-hal penting dalam kitab-kitab awal. Dalam bagian kedua karya ini saya menjalankan penyelidikan demikian dalam subjek satipaṭṭhāna.

GIST dicetuskan oleh penemuan-penemuan bhikkhu sarjana Taiwan yang terkemuka Yin Shun, yang dirinya sendiri bergantung pada penelitian orang Jepang dan Taiwan awal, di mana tidak ada yang secara luas diketahui dalam lingkungan berbahasa Inggris. Saya belum membaca karya Yin Shun secara langsung; informasi saya datang dari ringkasan karya Yin Shun dalam The Fundamental Teachings of Early Buddhism oleh Choong Mun-keat, dan melalui percakapan dengan dan tulisan Roderick Bucknell. Walaupun pandangan Yin Shun mencetuskan GIST, di sini teori itu dikembangkan lebih jauh secara signifikan. Oleh sebab itu, saya tidak akan menyajikan penemuan Yin Shun untuk memulai, tetapi akan meringkaskan GIST dalam cara saya sendiri dan menyajikan sumbangsih Yin Shun pada tempat-tempat yang sesuai. Sementara Yin Shun berargumentasi dari teks-teks belakangan untuk membangun teks-teks awal, saya akan melompati masa kehidupan Sang Buddha dan mendekati ajaran Sang Buddha dengan melintasi arus sungai waktu.

2.1 Sebelum Sang Buddha

Kita harus mulai dengan mempertimbangkan kemungkinan model pra-Buddhis untuk kitab-kitab Buddhis. Tampaknya bahwa penyusunan literatur baru dalam kebudayaan mana pun secara kuat dipengaruhi oleh bentuk literatur yang tersedia dalam kebudayaan itu. Oleh sebab itu mungkin bahwa organisasi lapisan kitab-kitab Buddhis telah terutama dipengaruhi oleh model-model pra-Buddhis. Lapisan berikutnya, tentu saja, terutama dipengaruhi oleh model-model Buddhis yang lebih awal. Oleh karenanya jika kita menemukan bukti struktur tekstual Buddhis yang diturunkan dari model pra-Buddhis, ini menyatakan bahwa struktur ini bukan hanya awal, tetapi yang paling awal.

Satu-satunya tradisi literatur yang disebutkan dalam kotbah-kotbah awal adalah tradisi Brahmanis dari tiga Veda dan berbagai karya tambahan. Ini jelas memainkan peran dominan dalam lingkungan pergaulan kultural/spiritual/kesusasteraan di mana teks-teks Buddhis dibentuk. Terdapat beberapa hubungan yang jelas antara gaya kesusasteraan teks-teks Buddhis dan Veda – terutama dalam bentuk puitis – tetapi saya tidak mengetahui upaya apa pun untuk menghubungkan keseluruhan teks Buddhis dengan Veda. Ini, tidak diragukan, karena struktur kanon-kanon yang ada mengandung sedikit hubungan yang jelas dengan Veda. Tetapi marilah kita mengunjungi kembali pertanyaan ini untuk melihat apakah Veda mungkin telah mempengaruhi suatu prinsip pengorganisasian yang lebih awal.

Tiga Veda adalah Ṛg, Sāman, dan Yajur. (Veda keempat dalam tradisi Brahmanis belakangan, Atharva, disebukan dalam teks-teks Buddhis awal tetapi terbukti tambahan kanonik pada waktu itu.) Ṛg Veda sejauh ini adalah yang paling penting. Ini adalah suatu kumpulan yang paling kuno (1500 SM?) dari sekitar 10.000 syair kebaktian dan liturgis. Salah satu sistem pengelompokan Ṛg dalah dalam vagga-vagga, kelompok-kelompok dari sekitar sepuluh baris syair. Vagga dari sepuluh sutta menjadi salah satu blok bangunan paling dasar dalam pengorganisasian kitab-kitab Buddhis. Sāman sebagian besar adalah sekumpulan nyanyian pujian yang diambil dari Ṛg. Walaupun semua Veda mengandung syair, Sāman adalah kitab nyanyian yang paling unggul; murid-murid [yang menguasai]-nya adalah chandogya (“penggubah syair”). Satu-satunya dari Veda, Yajur mengandung prosa dan syair; ia berfokus terutama pada [upacara] pengorbanan. Maka kita memiliki satu karya utama dan dua pelengkap.

Bentuk tritunggal mungkin memiliki nilai religius yang penting, dicerminkan Trinitas kedewaan yang ditemukan sangat umum pada masa kuno. Trinitas biasanya terdiri dari, bukan tiga rekan yang sama, tetapi satu dewa (dewa atau kedewaan) yang memimpin yang bermanifestasi di dunia melalui media dua dewa yang lebih rendah: Yang Satu menjadi Yang Dua, Yang Dua menjadi banyak. Sifat “ketigaan” dari Veda dilipatgandakan dalam daftar-daftar belakangan dari literatur Veda yang diperluas yang disebutkan dalam tradisi Pali, di mana kita menemukan suatu pengelompokan berunsur enam dan dua belas. Berbagai bagian dari literatur Veda ditunjuk sebagai aṅga-aṅga, “bagian-bagian”, dan kita menemukan istilah “Vedanta” dan “Vedaṅga”. Kita juga mencatat bahwa istilah yang familiar sutta, di mana Buddhisme biasanya menunjuk pada kotbah-kotbah, dalam penggunaan Brahmanis secara khusus berarti pernyataan ajaran yang pendek, mendasar, yang diperlakukan sebagai suatu dasar untuk penjelasan dan komentar.

Beberapa unsur formal juga ditemukan dalam kitab-kitab Jain. Walaupun Jainisme adalah suatu agama yang lebih tua daripada Buddhisme, teks-teks Buddhis tidak menyebutkan teks-teks Jain yang ada pada masa Sang Buddha, dan Jain sendiri setuju bahwa kitab-kitab mereka dirumuskan sangat belakangan. Namun mereka jelas mengandung unsur-unsur awal, dan mungkin bahwa ciri-ciri khas awal teks-teks Jain yang masih terbukti dalam teks-teks yang ada mungkin telah mempengaruhi pembentukan teks-teks Buddhis, walaupun lebih mungkin bahwa pengaruh itu adalah sebaliknya. Jain menyatakan suatu daftar dari empat belas purva (“sebelumnya”) yang sekarang telah lenyap, dan dua belas aṅga, sebelas di antaranya masih ada. Salah satu dari aṅga ini disebut prasnavyākaraṇa, yang berarti “tanya jawab”. Sebagai tambahan mereka memiliki dua belas upanga, “bagian tambahan”. Terbukti bahwa bagi tradisi Veda dan Jain istilah “aṅga” menunjuk pada teks-teks khusus yang diorganisasikan dalam kelompok-kelompok dari kelipatan tiga. Ājīvaka, aliran non-ortodoks lainnya, dikatakan dalam sūtra- sūtra Jain memiliki kitab-kitab peramalan yang terdiri dari aṅga-aṅga, dalam kasus ini delapan jumlahnya. Juga dicatat bahwa Jain, seperti Brahmana, menggunakan istilah sutta untuk ungkapan ajaran yang pendek, walaupun seperti Buddhis mereka juga menggunakannya sebagai suatu istilah untuk teks-teks ajaran secara umum. Mulai sekarang, kita dapat memasukkan semua poin ini jauh ke dalam sudut pikiran kita untuk referensi kemudian.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #7 on: 17 March 2013, 09:26:20 AM »
2.2 Kotbah-Kotbah Pertama

Sekarang kita berbalik pada teks-teks Buddhis. Bagaimana mengidentifikasi kotbah-kotbah yang paling awal? Seperti yang disebutkan di atas, salah satu perlengkapan yang paling kuat yang digunakan oleh para sarjana untuk mengidentifikasi teks-teks awal adalah kesesuaian dari tradisi-tradisi. Dalam Buddhisme studi ini, sejauh yang telah terjadi sama sekali, telah berfokus pada kesesuaian antara teks-teks yang dipertahankan oleh berbagai aliran yang terpecah belah. Tetapi, tentu saja, apa masalahnya bukan perpecahan seperti demikian, tetapi perbedaan ke dalam silsilah-silsilah tekstual yang berbeda. Terdapat banyak bukti tingkatan yang signifikan dari pemisahan dan spesialisasi studi tekstual bahkan pada masa Sang Buddha sendiri, jauh sebelum perpecahan apa pun. Inilah pembagian yang paling penting dari ajaran-ajaran dalam semua aliran dan tradisi: Dhamma dan Vinaya. Teks-teks menunjuk pada kelompok-kelompok bhikkhu yang mengkhususkan pada satu atau yang lain dari wilayah studi ini. Mereka memiliki guru-guru yang berbeda dan tinggal di tempat-tempat yang berbeda. Kisah Theravādin dari Konsili Pertama mengatakan bahwa Dhamma diucapkan oleh Yang Mulia Ānanda dan Vinaya oleh Yang Mulia Upāli. Sementara tidak semua rincian tentang Konsili Pertama dapat diterima sebagai menurut sejarah, pasti ini pembagian dasar yang harus dikembalikan ke masa sebelum Sang Buddha wafat. Dan tentu saja, isi dari kedua kumpulan hampir sepenuhnya berbeda. Semua ini menyatakan bahwa beberapa ajaran doktrinal yang ditemukan dalam Vinaya memiliki suatu arti yang khusus. Mereka telah diketahui, tidak hanya oleh para spesialis ajaran, tetapi oleh semua bhikkhu dan bhikkhuni, yang berasal dari masa paling awal dari misi Sang Buddha, sebelum kumpulan-kumpulan ajaran berkembang sangat pesat sehingga spesialisasi diperlukan. Tentu saja, ini bukan kasus bahwa semua ajaran yang digunakan bersama antara sutta-sutta dan Vinaya pasti bersifat awal; kotbah-kotbah mungkin telah diubah atau digandakan antara kumpulan-kumpulan itu pada masa yang belakangan, dan kita mengetahui dalam beberapa kasus ini benar-benar terjadi. Maka kita harus melihat kotbah-kotbah yang tidak hanya ditemukan di seluruh Vinaya, tetapi juga bersifat fundamental pada struktur teks itu sendiri, hal-hal yang tidak kelihatannya seakan-akan mereka dengan mudah dicangkokkan ke sana.

Jadi apakah ajaran-ajaran ini? Terdapat beberapa versi dari Vinaya awal yang tersedia – sekitar setengah lusin aliran ditemukan dalam kanon Mandarin, Vinaya Mūlasarvāstivāda tersedia dalam bahasa Tibet dan sebagian bahasa Sanskrit, Theravāda dalam kanon Pali; beberapa bahan lain juga tersedia dalam bahasa Sanskrit hibrid dan berbagai bahasa India dan bahkan dialek Iran. Beberapa dari kumpulan-kumpulan ini mengandung bahan ajaran; tetapi kebanyakan bahan belum diterjemahkan, dan studi-studi demikian seperti yang telah dilakukan kebanyakan dalam bahasa Jepang. Untuk saat ini, kita akan berkonsentrasi terutama pada bahan dalam Vinaya Theravāda, dengan hipotesis bahwa bahan yang sama tersedia dalam Vinaya-Vinaya lain. Ini ditegaskan dalam beberapa kasus penting, dan akan menjadi arena yang mengagumkan untuk penelitian yang akan datang.
Ajaran doktrinal yang terkemuka dalam Vinaya muncul dalam bab pertama dari Mahāvagga. Terdapat tiga kotbah utama: Dhammacakkappavattana Sutta, Anattalakkhaṇa Sutta, dan Ādittapariyāya Sutta. Berdampingan dengan ini terdapat beberapa syair, khususnya Permohonan Brahmā agar Sang Buddha mengajar, dan jawaban Sang Buddha:

“Terbuka lebarlah pintu menuju Keabadian!
Biarlah mereka yang dengan telinga mendengar memastikan keyakinan mereka.”[1]

Terdapat ajaran penting lain dalam Vinaya Theravāda – khususnya kemunculan yang saling bergantungan dan 37 sayap menuju pencerahan – yang sangat menguatkan argumentasi saya; tetapi bacaan-bacaan ini bukan yang utama pada struktur Vinaya dan sehingga sampai keotentikannya telah ditegaskan melalui studi perbandingan dengan Vinaya-Vinaya lain kita harus menghindari bergantung pada mereka.

Dhammacakkappavattana Sutta tersedia setidaknya dalam lima Vinaya, dan dalam Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama. Ini, kenyataannya, jauh lebih paling tersebar luas dari semua kotbah, dengan tidak kurang dari 17 versi yang ada, dan salah satu dari sedikit kotbah yang bertahan dalam empat bahasa utama Buddhis dari Pali, Sanskrit, Mandarin, dan Tibet.[2] Tidak dapat diabaikan, terdapat banyak variasi dalam detail, tetapi isi utama pada hakekatnya sama – empat kebenaran mulia. Dhammacakkappavattana Sutta menyajikan ajaran-ajaran ini dalam suatu kerangka yang dengan jelas mengisahkan pengembangan spiritual Sang Buddha sendiri, pemuasan diri-Nya di istana dan penyiksaan diri sebagai seorang pertapa, dan realisasi pencerahan-Nya sendiri sebagai jalan keluar dari dua hal ini. Demikianlah konteks internal teks itu sendiri menyatakan bahwa ini adalah kotbah pertama. Anattalakkhaṇa Sutta juga muncul dalam beberapa versi, seperti juga Ādittapariyāya Sutta dan Permohonan Brahmā, walaupun saya belum mempelajari detail penuhnya. Namun semua teks ini tersedia dalam Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama.

Kotbah-kotbah ini membentuk inti ajaran dari riwayat hidup Sang Buddha yang paling tua, dengan menceritakan kisah sejak setelah pencerahan Sang Buddha sampai pada pembentukan Sangha. Ini adalah legenda akar yang membentuk kisah yang menyatu bagi semua Buddhis. Kisah ini diceritakan dalam banyak teks-teks kuno, kadangkala dalam Vinaya, kadangkala sebagai sebuah Sutta; dalam bentuk belakangan yang dibumbui ini menjadi sebuah buku yang panjang itu sendiri. Tetapi di balik penjelasan-penjelasan yang berlebih-lebihan terdapat suatu konsistensi yang luar biasa dalam kisah utama dan ajaran doktrinalnya. Bahkan sebuah teks belakangan seperti Mahāvastu mempertahankan ajaran-ajaran seperti Dhammacakkappavattana Sutta dalam bentuk yang hampir identik.[3] Mereka secara universal dianggap sebagai ajaran-ajaran pertama Sang Buddha, dan maka kita memiliki kesepahaman penuh antara kesesuaian teks-teks dan testimoni dari tradisi. Tentu saja, tidak mungkin untuk dapat mengembangkan bahwa teks-teks ini secara harfiah adalah ajaran-ajaran pertama. Ataupun kita tidak dapat menyangkal bahwa terdapat beberapa perbedaan kecil di antara versi-versi itu. Tetapi teks-teks ini adalah penting bagi kumpulan kitab Buddhis, dan tidak ada alasan bagus mengapa ini tidak hanya mencerminkan posisi historis.

Namun terdapat suatu masalah substansial dengan teori yang rapi ini. Bacaan yang telah kita pertimbangkan, bab pertama dari Mahāvagga Vinaya, juga ditemukan dalam tradisi Sarvāstivādin. Tetapi, ini bukan dalam Vinaya, melainkan dalam Dīrgha Āgama di bawah judul Catuṣpariṣat Sūtra (“Sūtra Empat Perkumpulan”).[4] Kotbah ini muncul dalam beberapa versi, yang membuktikan popularitasnya. Ini sangat dekat dengan versi Pali, walaupun tidak memiliki unsur Vinaya yang khusus. Beberapa sarjana telah menyatakan bahwa teks ini mulanya bagian dari Vinaya, dan kemudian dipindahkan ke dalam Āgama. Jika ini kasusnya, tidak ada masalah. Namun, mungkin bahwa perpindahannya adalah sebaliknya: teks itu mulanya sebuah kotbah yang kemudian ditambahkan ke dalam Vinaya. Ini akan menyatakan bahwa bacaan-bacaan doktrinal ini bukan, dalam kenyataannya, bagian dari Vinaya awal mula. Tetapi saya berpikir adalah lebih baik menganggap Catuṣpariṣat Sūtra sebagai hal yang pokok bagi Dhamma dan Vinaya. Dalam membawa pada kotbah pertama, ini menyediakan latar belakang naratif untuk Dhamma; dan kemudian penahbisan Añña Koṇḍañña setelahnya adalah titik awal yang sempurna untuk membuka Vinaya.

Kita berusaha untuk melihat sekilas fase dari Buddhisme. Pada tahun-tahun awal, terdapat relatif sedikit ajaran. Semua bhikkhu telah mengetahui dalam hati sedikit teks dan kotbah yang dianggap sebagai yang utama. Sebagai tambahan, mereka semua telah familiar dengan aturan sederhana non-legalistik dari perilaku yang diharapkan dari mereka sebagai pertapa Buddhis. Demikianlah mereka semua telah mengetahui Dhamma dan Vinaya. Akan memakan waktu bertahun-tahun bagi banyak sekali bahan untuk berkembang sehingga spesialisasi diperlukan. Dari titik ini, beberapa bhikkhu dan bhikkhuni mengkhususkan pada Dhamma, sedangkan yang lain mengkhususkan dalam Vinaya. Sangat masuk akal menganggap bahwa ajaran-ajaran doktrinal dalam Vinaya-Vinaya yang ada adalah sisa-sisa, apakah secara langsung atau tidak, dari isi ajaran yang digunakan bersama demikian. Juga sangat masuk akal untuk menyatakan bahwa para bhikkhu dan bhikkhuni semuanya telah familiar dengan kisah pencerahan Sang Buddha, dan bahwa legenda ini diberikan bentuk kesusasteraan yang konkrit, walaupun memasukkan rincian-rincian yang belakangan, terutama untuk meminjam otoritas pada inti ajaran. Dengan kata lain, Catuṣpariṣat Sūtra dalam bentuk yang telah berkembang telah dimasukkan dalam Vinaya tepatnya karena para ahli Vinaya telah familiar dengan ajaran doktrinal utama dari kotbah-kotbah itu, dan mereka kemudian disediakan dengan suatu konteks historis yang menghubungkan ajaran dengan pendirian Sangha dan penetapan Vinaya. Jadi saya berpikir kehadiran bacaan-bacaan doktrinal dalam Vinaya-Vinaya yang ada tetap sebagai bukti yang mendukung untuk keutamaan ajaran-ajaran ini.

2.3 Teori Gāthā

GIST membuat kasus yang kuat bahwa tradisi-tradisi, dalam kasus ini, sudah benar. Tantangan ilmiah besar pada kesimpulan ini berasal dari apa yang kita sebut “teori gāthā”. Teori ini, yang memasukkan beberapa sarjana terkemuka di antara para penganutnya, menyatakan bahwa ajaran yang tercatat paling awal yang kita miliki saat ini akan ditemukan terutama di antara syair-syair tertentu , khususnya Aṭṭhaka dan Pārāyana dari Sutta Nipāta.[5] Namun, walaupun saya setuju bahwa beberapa syair bersifat awal, saya tidak berpikir bahwa alasan-alasan yang diberikan cukup untuk mengembangkan bahwa syair-syair ini umumnya lebih awal daripada prosa. Secara singkat untuk menyatakan kasus bagi dan berlawanan dengan teori gāthā.

1) Bahasa yang ditemukan dalam teks-teks demikian berhubungan dengan beberapa hal pada Veda, dan oleh sebab itu bersifat kuno.

Syair biasanya cenderung bersifat kuno; ini dapat didukung dalam sejumlah kasus dengan perbandingan bacaan syair dan prosa oleh penulis yang sama bahkan pada masa modern. Ini dapat sebagian merupakan suatu masalah gaya, suatu pemilihan atas cita rasa kuno, seperti dalam syair bahasa Inggris seseorang dapat memakai “thee” dan “thou”. Faktor lain adalah bahwa, disebabkan oleh batasan irama, lebih sulit menerjemahkan syair dibandingkan dengan prosa dari satu dialek India ke yang lainnya; demikian bahkan dalam literatur Sanskrit hibrid, syair cenderung mempertahankan ciri khas Prakrit yang lebih kuno, sedangkan prosa yang menyertainya cenderung Sanskrit yang lebih formal. Ini mengatakan pada kita sesuatu tentang proses terjemahan, tetapi tidak ada tentang usia relatif dari bagian-bagian yang berbeda dari teks asli.

2) Beberapa dari syair-syair ini ditunjuk dalam prosa Nikāya-Nikāya, dan oleh sebab itu pasti lebih awal daripada kotbah-kotbah prosa.

Ini hanya menegaskan hubungan kronologis dalam beberapa kasus. Dalam banyak kasus lainnya, syair-syair dilampirkan pada akhir kotbah prosa, seperti dalam Aṅguttara, dan terdapat kemungkinan bahwa syair-syair itu ditambahkan kemudian. Bagaimanapun, terdapat bacaan prosa yang dikutip atau ditunjuk dalam bacaan prosa lainnya, khususnya Dhammacakkappavattana Sutta, yang secara eksplisit atau implisit ditunjuk dalam beberapa kotbah penting. Penunjukan pada gāthā-gāthā, lebih lanjut, meskipun penting, tidak pernah menyatakan bacaan demikian sebagai pesan utama Dhamma. Ajaran-ajaran kunci, yang dipuji terus-menerus dalam teks-teks awal, adalah hal-hal seperti empat kebenaran mulia, 37 sayap menuju pencerahan, kemunculan yang saling bergantungan, atau “kelompok unsur kehidupan, alat indera, dan unsur-unsur”. Tidak ada dari topik-topik ini menonjol dalam gāthā-gāthā. Alamiah untuk mengasumsikan bahwa isi kitab yang paling awal terdiri atas ajaran-ajaran hanya tentang topik-topik yang demikian. Penunjukan demikian mungkin bahkan menunjuk pada teks-teks khusus di mana ajaran-ajaran ini diuraikan. Sumber utama untuk semua topik ini adalah Saṁyutta.

3) Aṭṭhaka dan Pārāyana memiliki komentar kanonik mereka sendiri dalam Khuddaka Nikāya, Niddesa.

Argumen ini baru-baru ini telah diulangi oleh Gregory Schopen, yang mengatakan bahwa ini adalah “satu-satunya” teks yang telah mendapatkan komentar dari masa penyusunan paling awal yang diketahui.[6] Ini kelihatan seperti poin yang kuat, sampai kita menyadari bahwa Niddesa sebenarnya hanya menerapkan teknik Abhidhamma pada puisi [dari Aṭṭhaka dan Pārāyana], dengan memberikan daftar sinonim dalam gaya mekanis untuk setiap kata dalam syair-syairnya. Ini sangat mirip dengan Vibhaṅga Abhidhamma, dst., dan pasti berasal dari masa yang sama sebagai suatu sumber penghasilan tambahan dari proyek Abhidhamma. Vibhaṅga jelas merupakan karya yang lebih penting, dan yang terdiri atas sebagian besar kutipan dan komentar dari bacaan prosa utama dari Saṁyutta and Majjhima. Dalam kenyataannya terdapat banyak bahan “komentar” bahkan dalam empat Nikāya: Saccavibhaṅga Sutta, yang akan kita selidiki lebih jauh di bawah, merupakan suatu komentar yang eksplisit atas Dhammacakkappavattana Sutta. Banyak dari Vinaya, juga, adalah suatu komentar atas Pāṭimokkha.

4) Istilah-istilah teknis dan ajaran-ajaran yang bersifat rumusan muncul kurang sering.

Lagi-lagi, ini hanya bagian dari ciri umum dari syair. Puisi adalah untuk inspirasi, bukan informasi.

5) Para bhikkhu tinggal sebagai pertapa di dalam hutan alih-alih dalam vihara yang tetap, sedangkan dalam prosa fase Buddhisme ini sebagian besar tidak ada, kotbah-kotbah secara umum ditetapkan dalam vihara-vihara.

Pergeseran ini, dari kehidupan hutan ke vihara-vihara yang berkembang, digambarkan dalam teks-teks itu sendiri telah dimulai pada masa kehidupan Sang Buddha, dan terdapat alasan kuat untuk mempercayai bahwa ini adalah demikian. Adalah sulit untuk tinggal di dalam hutan, dan Sangha pasti telah, sebelum sangat panjang, mulai mengambil para calon yang lanjut usia, atau lemah karena tua, atau lemah, dan yang membutuhkan tempat tinggal yang baik. Penalaran sederhana ini ditegaskan dalam banyak kisah dalam teks-teks awal. Di sini kita dapat menunjuk pada kesamaan dengan ordo Fransiskan, yang dituduh oleh St. Fransiskus sendiri meninggalkan standar keras yang telah ia tetapkan. Dalam setiap kasus, prosa dalam kenyataannya terus-menerus menunjuk pada para bhikkhu yang tinggal di hutan.  Kesalahan berasal dari selain kegagalan untuk membedakan antara ajaran-ajaran itu sendiri dan kisah narasi yang dipakaikan di mana ajaran itu muncul, yang pasti jelas belakangan. Contoh yang terkenal di sini adalah ajaran tentang pelatihan bertahap, paradigma utama untuk cara hidup monastik, yang ditemukan dalam puluhan kotbah. Walaupun teks-teks seperti mereka saat ini ditetapkan di vihara-vihara, isi ajaran itu sendiri hanya menunjuk pada bhikkhu, “pergi ke dalam hutan, ke akar sebuah pohon, atau ke sebuah gubuk kosong...” untuk bermeditasi, dengan tidak menyebutkan vihara-vihara. Ini adalah suatu potongan yang bagus dari bukti negatif: kita mengetahui bahwa Buddhisme yang belakangan sebagian besar berpusat pada vihara-vihara besar, oleh karenanya kenyataan bahwa sangat banyak dari ajaran-ajaran yang memuji kehidupan hutan dengan kuat menyatakan ajaran-ajaran ini pasti telah muncul sebelum perkembangan monastisisme yang menetap.

Maka dalam contoh ini kepercayaan tradisional dapat dipertahankan dalam menghadapi kritik modern. Saya tidak mengatakan bahwa kotbah-kotbah seperti yang ditemukan saat ini pasti kata per kata sama dengan ajaran-ajaran pertama, tetapi bahwa ajaran-ajaran ini, sebagian besar dalam kata-kata dan frase yang sama, telah diperlakukan sejak masa yang paling awal sebagai ajaran-ajaran yang paling pokok, dan tradisi-tradisi memberikan alasan yang masuk akal mengapa ini demikian. Sejumlah besar Dhammacakkappavattana Sutta membutuhkan suatu penjelasan. Gagasan, yang berpengaruh pada suatu waktu dalam studi Buddhis, bahwa ajaran-ajaran ini berasal dari suatu revisi “oleh para bhikkhu” atas Dhamma setelah Sang Buddha wafat memiliki romantisme suatu teori konspirasi, dan semua hal yang masuk akal darinya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #8 on: 17 March 2013, 09:35:20 AM »
2.4 Kumpulan Paling Awal

Setelah memberikan landasan untuk membangun kotbah-kotbah yang paling awal, kita sekarang bertanya: “Apakah kumpulan yang paling awal dari kotbah-kotbah?” Di sini kita melibatkan kriteria kembar: kesesuaian teks-teks dan testimoni tradisi-tradisi. Pertama-tama kita harus mencari kumpulan-kumpulan yang menunjukkan tingkatan kesesuaian yang tertinggi. Dari kumpulan-kumpulan utama, berikut adalah yang tersedia. Simbol ¶ berarti kumpulan di mana hanya sebagian yang ada. Dīrgha Sanskrit adalah penemuan baru yang menggembirakan yang berasal dari Afganistan dan belum sepenuhnya diedit.

Tabel 2.1: Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama

Nikāya TheravādaĀgama SarvāstivādaĀgama Lainnya (dalam Mandarin)
Dīgha (Pali)Dīrgha (Sanskrit)Dīrgha (Dharmaguptaka)
Majjhima (Pali)Madhyama (Mandarin)
Saṁyutta (Pali)Saṁyukta (Mandarin)Dua Saṁyukta “lainnya” (aliran tidak diketahui)
Aṅguttara (Pali) Ekottara (Mahāsaṅghika?), Aṅguttara (aliran tidak diketahui)

Untuk memahami ini, kita perlu mengetahui sedikit tentang aliran-aliran ini. Kronologi awal Buddhisme masih samar-samar. Bahkan penanggalan yang paling penting, kemangkatan Sang Buddha, secara khusus sangat berbeda dalam tradisi-tradisi yang berbeda, dan jauh dari jelas yang, jika ada, lebih dapat dipercaya. Mengikuti Gombrich dan yang lainnya kita dapat mengambil penanggalan itu 484-404 SM untuk Sang Buddha karena tidak ada yang lebih dapat dipercaya daripada perkiraan lainnya. Perpecahan-perpecahan tidak dapat ditentukan tanggalnya dalam pengertian yang mutlak, dan bahkan kronologi relatif dari perpecahan-perpecahan diperdebatkan. Ini mungkin mencerminkan situasi historis yang sebenarnya, karena kecenderungan pemisahan mungkin berlanjut dalam tingkatan yang berbeda pada wilayah-wilayah yang berbeda, dan mungkin tidak ada kesepahaman universal bahkan pada waktu itu atas penanggalan persis dari perpecahan-perpecahan. Ini bahkan tidak pasti apakah Sangha pada waktu itu telah menyadari bahwa ia sedang menciptakan pemisahan yang abadi ke dalam aliran-aliran  dalam pengertian yang kita pahami saat ini. Implikasi penuh dari pemutusan hanya menjadi nyata bertahun-tahun kemudian.

Buku saya Aliran-Aliran dan Sektarianisme melihat pada pertanyaan-pertanyaan ini secara lebih detail. Di sini saya akan merangkumkan penemuan-penemuan saya. Aliran-aliran muncul terutama karena penyebaran geografis Buddhisme selama masa Raja Aśoka. Komunitas-komunitas luas perlahan-lahan mengembangkan ajaran-ajaran mereka sendiri, dan persaingan untuk kesejahteraan yang meningkat yang tersedia bagi Sangha mengintensifkan ketegangan-ketegangan itu. Pergerakan pemisahan pertama, antara nenek moyang Theravāda dan Mahāsaṅghika, digerakkan oleh suatu perselisihan yang berkaitan dengan status Arahat. Mahāsaṅghika mengemukakan “5 poin” kelemahan yang berlaku pada beberapa atau semua Arahat. Theravāda mengambil pendirian yang lebih ketat terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, dan suatu pemisahan dihasilkan. Mahāsaṅghika terus terpecah ke dalam beberapa sub-aliran. Ekottara Āgama yang ada, yang memasukkan beberapa penambahan Mahāyanis, sering dikatakan berasal dari salah satu dari subaliran-subaliran ini, tetapi buktinya belum meyakinkan. Namun kita akan mengikuti mayoritas sarjana modern dalam memperlakukan Ekottara sebagai berasal dari salah satu kelompok aliran Mahāsaṅghika. Hasil dari studi kita atas Satipaṭṭhāna Sutta cenderung mendukung teori ini; setidaknya, versi Ekottara dari kotbah ini relatif lebih beragam daripada versi-versi lainnya, yang adalah apa yang kita harapkan dari suatu teks Mahāsaṅghika, walaupun keberagaman tidak secara eksplisit bersifat sektarian.

Nenek moyang Theravāda, juga, mengalami banyak perpecahan yang lebih jauh. Yang paling penting dan paling awal untuk kisah kita adalah perpecahan Sarvāstivāda, yang terjadi beberapa waktu setelah kematian Aśoka pada tahun 232 SM. Di sini masalah pokoknya adalah konsepsi waktu, ajaran khusus Sarvāstivādin bahwa semua dhamma masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang, ada. Perpecahan Sarvāstivāda menghasilkan, seperti juga Sarvāstivāda, aliran lain yang kadangkala disebut Vibhajjavāda, “Ajaran Analitis”. Label ini digunakan secara luas dan tidak konsisten, tetapi ini tepat digunakan di sini sebagai suatu istilah untuk aliran nenek moyang Theravāda dan Dharmaguptaka. Aliran-aliran ini sangat mirip dalam ajaran, perbedaan utama tampaknya adalah penekanan yang lebih besar pada kebaktian dalam Dharmaguptaka, seperti yang terbukti oleh aturan Vinaya tertentu mengenai pemujaan stupa, perbandingan struktur Dīgha, dan kenyataan bahwa mereka lebih menekankan jasa memberikan persembahan kepada Sang Buddha daripada Sangha. Ini semua hal-hal yang kecil, dan mungkin karena teks-teks Dharmaguptaka ditetapkan agak belakangan alih-alih suatu perbedaan sektarian, karena Theravādin juga menganut pemujaan stupa sangat kuat, tetapi tidak menyisipkannya ke dalam Vinaya mereka. Satu-satunya perbedaan sektarian yang jelas dari Theravāda adalah nilai relatif persembahan kepada Sang Buddha dan Sangha. Perbedaan antara aliran-aliran ini muncul terutama karena geografi, Dharmaguptaka merupakan cabang dari Vibhajjavāda yang berdiam di India Utara sedangkan Theravāda berpindah ke Sri Lanka. Dharmaguptaka berkembang dengan baik di Asia Tengah dan pada awalnya menikmati keberhasilan di Cina; para bhikkhu dan bhikkhuni Cina saat ini masih mengikuti Vinaya Dharmaguptaka.

Mengingat informasi umum tentang aliran-aliran awal, kita dapat kembali ke pertanyaan kita tentang manakah kumpulan yang paling awal. Tradisi-tradisi secara khusus mengatakan bahwa semua empat kumpulan diciptakan secara bersamaan. Walaupun gagasan bahwa mereka dikumpulkan bersama dalam satu sesi jelas tidak benar, kita masih dapat menerima bahwa periode pengumpulan teks-teks sebagian besar bersamaan waktunya. Bukan tidak mungkin untuk bahkan menganggap bahwa keempat Nikāya/Āgama dimulai pada waktu yang sama, dan kemudian diselesaikan pada waktu yang sama. Ini diperkuat dengan teori bahwa masing-masing kumpulan berfokus sedikit berbeda, dan dibentuk untuk memenuhi kebutuhan dari sektor-sektor yang berbeda dari komunitas Buddhis. Namun demikian, kita masih dapat membedakan dalam hal kecenderungan lebih awal atau belakangan, bahkan di dalam kerangka ini.

Pertanyaan ini dapat, dan seharusnya, didekati dari berbagai sudut – filosofis, doktrinal, kultural, dan sebagainya. Semua ini melibatkan penyelidikan yang kompleks dan berskala besar, dan hasilnya belum ada dari penyelidikan ini melampaui keragu-raguan. Satu masalah dengan semua pendekatan ini adalah bahwa mereka dapat mengatakan kepada kita, paling baik, tentang penanggalan relatif dari beberapa fase, gagasan, atau bacaan, tetapi bukan tentang kumpulan itu secara keseluruhan. Mengingat kehadiran intratekstualitas – bertahannya teks yang lebih awal dalam penyusunan yang belakangan – dalam Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama, dan banyak jumlah bahan yang dipersoalkan, hanya sejumlah besar skala analisis statistik dari linguistik, doktrinal, atau ciri khas lainnya dapat memberikan kita jawaban yang tegas. Saya tidak mengetahui studi mana pun yang bahkan mendekati idealisme ini.

Terselubung oleh kumpulan kegelapan ini, saya akan menyatakan bahwa analisis struktural dari Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama memberikan kita, pada keadaan pengetahuan kita saat ini, hal yang paling dekat yang kita miliki menuju cahaya terang. Prinsip-prinsip struktural dari kumpulan-kumpulan itu mengatakan kepada kita bagaimana para penyusun dari kumpulan-kumpulan itu bekerja, alih-alih bagaimana para penyusun dari individual kotbah-kotbah itu bekerja. Dengan kemunculan Dīrgha Sarvāstivāda, kita sekarang memiliki detail struktural yang lengkap dari tiga Āgama dari satu aliran yang paling penting untuk dibandingkan dengan Theravāda. Ini berarti kita dapat secara langsung mengevaluasi tingkatan kesesuaian antara pasangan-pasangan yang berhubungan dari kumpulan-kumpulan, tanpa terlalu memperhatikan bahwa masalah-masalah sektarian dapat mengubah gambarannya.

Kita masih kekurangan sebuah kumpulan Sarvāstivādin yang berhubungan dengan Aṅguttara. Studi-studi perbandingan untuk Aṅguttara terbatas dalam ruang lingkupnya, karena Aṅguttara Theravāda dan Ekottara Mahāsaṅghika sangat berbeda, yang menimbulkan pertanyaan apakah mereka semata-mata disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka keduanya menggunakan prinsip pengorganisasian yang sama. (Terdapat sebagian Aṅguttara lain dalam bahasa Mandarin yang lebih mendekati versi Theravāda.) Maka untuk sekarang, jika kita tidak ingin menyelidiki ke dalam pertanyaan rumit apakah isi Aṅguttara lebih awal atau lebih belakangan, semua yang dapat kita lakukan adalah menaruhnya pada satu sisi. Saya pikir bahwa Aṅguttara menempatkan kotbah-kotbah yang lebih pendek yang “disisakan” dari topik-topik ajaran utama dalam Saṁyutta, maka mungkin penghilangannya dari pertimbangan tidak begitu kritis.

Apa yang dibutuhkan di sini adalah suatu perbandingan dari perbandingan-perbandingan. Kita harus bertanya, kumpulan manakah yang kelihatannya memiliki hubungan struktural yang paling dekat, tiga Dīgha, atau dua Majjhima, atau dua Saṁyutta? Saya akan membahas masing-masing dari kumpulan ini dalam rincian yang lebih jauh di bawah ini, sehingga saya hanya menyajikan tinjauan singkat di sini. Kenyatannya, jawaban pada pertanyaan ini sangat jelas secepat ia ditanyakan. Tiga Dīgha berbagi banyak kotbah yang sama, tetapi urutan dan organisasi dari kotbah-kotbah itu sangat berbeda. Ini secara khusus kasusnya ketika Dīgha Sarvāstivāda dibandingkan dengan dua Dīgha Vibhajjavāda. Sama halnya, dua Majjhima berbagi banyak isi tetapi sedikit struktur yang sama. Hampir semua judul bab dan pembagian sepenuhnya berbeda, dengan sedikit pengecualian yang dibahas lebih jauh di bawah ini. (Mengantisipasi argumen, kesesuaian struktural yang kadangkala antara dua Majjhima dan tiga Dīgha mungkin berasal dari Saṁyutta dan oleh sebab itu bukan bukti yang diperlukan dari struktur pra-sektarian dalam Majjhima dan Dīgha). Namun ketika kita mendatangi dua Saṁyutta, gambarannya sangat berbeda. Mereka berbagi semua pembagian besar ke dalam subjek-subjek yang sama, dst., dengan beberapa variasi dalam bab-bab kecil dan beberapa perubahan susunan.[7] Jadi kita dapat mengatakan beberapa kepastian bahwa tidak hanya isi tetapi juga struktur Saṁyutta-Saṁyutta sebagian besar ditetapkan pada periode pra-sektarian, sedangkan struktur dari Majjhima dan Dīgha sebagian besar bersifat sektarian. Demikianlah, dengan bergantung terutama pada gambaran struktural yang sangat jelas ini, kita menyimpulkan bahwa kesesuaian teks-teks menyatakan bahwa Saṁyutta lebih awal daripada Majjhima dan Dīgha.

Beberapa mungkin berkeberatan pada poin ini bahwa alasan kita tidak membuktikan apa pun, karena hanya Saṁyutta sendiri dari empat Nikāya/Āgama yang memiliki keseluruhan struktur yang bermakna, maka segera kita memilih untuk melihat pada struktur yang akan kita ambil darinya. Dengan kata lain, kesimpulan kita hanya mengikuti dari pilihan kita atas metodologi. Keberatan ini sangat benar, tetapi saya merasa argumennya masih memiliki kekuatan. Kita memerlukan beberapa kriteria, dan struktur adalah salah satu cara yang mungkin dalam penyelesaian kita. Sangat mungkin ini tidak akan mengatakan kita apa pun, tetapi kita harus setidaknya menanyakan pertanyaan dan mengikuti jawabannya sepenuhnya. Saṁyutta membuktikan sejumlah besar pola struktural yang tidak ada dalam kumpulan-kumpulan lainnya, dan satu penjelasan rasional untuk ini adalah bahwa Saṁyutta ditetapkan lebih awal. Sebagai tambahan, dalam kasus Majjhima, bahkan ketika terdapat suatu pengelompokan struktural yang sama, isi kelompok itu biasanya berbeda. Masing-masing Majjhima, sebagai contoh, memilik sebuah vagga yang disebut “Bab tentang Raja-Raja”. Dalam Pali, ini memiliki sepuluh kotbah, dalam Mandarin, empat belas. Tetapi hanya dua kotbah yang digunakan bersama dalam dua vagga.[8] Kebanyakan kotbah lainnya ditemukan dalam sumber-sumber Pali dan Mandarin, tetapi tidak dalam bab ini. Dengan demikian kedua tradisi memiliki gagasan mengumpulkan beberapa kotbah menengah bersama-sama dengan tema raja-raja, tetapi pemilihan kotbah-kotbah bersifat independen. Tetapi dalam Saṁyutta, kita menemukan hampir tanpa perbedaan, ketika sekelompok kotbah telah dibentuk di sekitar suatu tema atau prinsip tertentu, terdapat persentase yang sangat besar dari kotbah-kotbah sebenarnya yang saling melengkapi. Ini sesuai dengan tesis bahwa struktur Saṁyutta bersifat pra-sektarian, sedangkan kesamaan struktural yang kadangkala dalam Majjhima mungkin muncul melalui perkembangan yang sejajar.

Jadi apakah testimoni dari tradisi-tradisi? Ini membawa kita pada penemuan penting Yin Shun. Kanon Mandarin dan Tibet mengandung suatu risalah yang penting berjudul Yogacārabhūmiśāstra, yang ditulis oleh Asaṅga sekitar tahun 400 M. Ini adalah karya penting dan otoritatif bagi aliran Yogacāra dari Mahāyāna. Sebuah bagian dari karya ini berjudul Vastusaṅgrāhinī didedikasikan sebagai suatu komentar ekstensif atas Saṁyukta Āgama. Ini menunjukkan bagaimana Mahāyāna klasik sangat bergantung pada kotbah-kotbah awal, sesuatu yang terlalu sering terlewatkan.[9] Yin Shun telah menunjukkan bahwa Saṁyukta Āgama yang dibahas dalam Yogacārabhūmiśāstra sangat dekat dengan Saṁyukta yang sekarang dipertahankan dalam kanon Mandarin, dan telah menggunakan Yogacārabhūmiśāstra untuk merekonstruksi urutan yang lebih awal dari Saṁyukta Āgama, yang telah menjadi tidak teratur sepanjang waktu. Rekonstruksinya dianggap sangat otoritatif sehingga diadopsi dalam edisi Foguang dari Āgama yang diterbitkan pada tahun 1983. Yogacārabhūmiśāstra menyatakan bahwa Saṁyukta Āgama adalah landasan bagi empat Āgama. Yin Shun mempercayai bahwa pernyataan ini dapat diambil secara harfiah sebagai penegasan prioritas historis dari Saṁyutta di antara Āgama-Āgama. Kelihatannya tidak ada pernyataan langsung apa pun tentang hal ini dalam tradisi Theravāda; namun, terdapat, kita akan lihat, sedikit petunjuk. Tetapi tradisi Sarvāstivādin secara teratur membuat daftar Saṁyutta sebagai yang pertama dari Āgama-Āgama. Demikianlah tentang kumpulan pertama dari kotbah-kotbah yang kita miliki memenuhi dua kriteria kita, kesesuaian teks-teks dan testimoni dari setidaknya satu tradisi.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #9 on: 17 March 2013, 09:43:21 AM »
2.5 Abhidhamma Pertama

Kemudian apakah Abhidhamma pertama? Di sini kita bergantung terutama pada karya Frauwallner. Ia telah menunjukkan bahwa tiga teks Abhidhamma awal berbagi banyak isi yang sama dan pasti berasal dari sebuah nenek moyang bersama, yang kita sebut “*Vibhaṅga Mūla”.[10] Ini adalah Vibhaṅga dari Theravāda,[11] Dharmaskandha dari Sarvāstivāda, dan Śāriputrābhidharma dari Dharmaguptaka. Detail-detail dari karya-karya ini terlalu kompleks untuk dimasukkan di sini; untuk sekarang kita dapat mengambil kesesuaian ini seperti yang telah dibangun.

Tradisi Pali dan Sanskrit mengandung bukti bahwa teks-teks ini dianggap pokok Abhidhamma. Catatan akhir pada terjemahan Mandarin Dharmaskandha mengatakan bahwa ini adalah teks dasar dari Abhidhamma dan sumber utama bagi aliran Sarvāstivādin. Vinaya dari aliran Dharmaguptaka meringkaskan sistem Abhidhamma mereka, yang persisnya adalah daftar isi dari Śāriputrābhidharma. Dan Aṭṭhasālinī, komentar utama atas Abhidhamma Pali, dalam bab pertamanya memasukkan dua bacaan terkenal di mana topik utama dari Abhidhamma didaftarkan; dalam bacaan pertama, ini sama dengan isi dari Vibhaṅga, dan dalam bacaan kedua sangat mirip.[12] Jadi di sini juga dua kriteria dari GIST dengan jelas terpenuhi.

Untuk meninjau kembali penemuan-penemuan kita: kita telah menunjukkan bahwa menurut kesesuaian teks-teks dan testimoni dari tradisi-tradisi, berikut ini merupakan lapisan yang paling awal dari teks-teks Buddhis.

Kotbah-Kotbah Paling Awal: Dhammacakkappavattana, Anattalakkhaṇa, dan Ādittapariyāya Sutta, serta Permohonan Brahmā.

Kumpulan Paling Awal: Bagian-bagian yang bersesuaian dari Saṁyutta Nikāya/Saṁyukta Āgama.

Abhidhamma Paling Awal: Bagian-bagian yang bersesuaian dari Vibhaṅga/Dharmaskandha/ Śāriputrābhidharma.

2.6 Beberapa Masalah

Terdapat suatu keberatan yang mungkin yang ingin saya sampaikan di sini. Beberapa orang mungkin berargumen bahwa dua kriteria independen kita tidak sepenuhnya independen. Tradisi-tradisi mungkin telah memutuskan ajaran-ajaran mana yang paling awal dan kemudian menciptakan mitos-mitos yang menyatakan hal ini, memperkuat klaim mereka dengan melipatgandakan kemunculan ajaran-ajaran ini dalam berbagai kumpulan. Kita dapat melihat hal ini sedang terjadi bahkan hari ini. Dhammacakkappavattana Sutta telah direproduksi dalam banyak buku Dhamma, tepatnya karena ia dianggap oleh tradisi-tradisi sebagai ajaran yang paling awal.

Kita harus menerima bahwa kritik ini memiliki beberapa kekuatan, khususnya dalam kasus kotbah-kotbah yang paling awal. Tetapi untuk kumpulan yang paling awal dan Abhidhamma yang paling awal keberatan ini lemah, karena tradisi-tradisi, meskipun mempertahankan suatu ingatan samar-samar dari prioritas teks-teks ini, pada umumnya tidak menyadari hal ini, dan tidak menunjukkannya. Melainkan sebaliknya: baris kelompok adalah bahwa semua teks-teks berasal dari Sang Buddha sendiri, sehingga mereka ingin sekali untuk menekankan atau sekaligus menyangkal pertanyaan apa pun tentang prioritas historis. Bahkan dalam kasus kotbah-kotbah paling awal, walaupun keberatan itu mengandung beberapa bobot, ini tidak menjelaskan kesepahaman secara besar-besaran di antara aliran-aliran. Mempertimbangkan popularitas Dhammacakkappavattana Sutta, dan kesepahaman universal bahwa ini adalah kotbah pertama, penjelasan yang paling masuk akal adalah hanya bahwa tradisi-tradisi adalah benar. Bagaimana lagi ia mendapatkan persetujuan universal dari semua Buddhis pada periode pre-sektarian? Siapa, jika bukan Sang Buddha, yang dapat mengilhaminya dengan otoritas yang demikian?

Masalah lain adalah kemungkinan peminjaman yang belakang. Tidak diragukan bahwa peminjaman memang terjadi antara tradisi-tradisi pada semua periode. Sebagai contoh, sub-komentar Brahmajala Sutta memberikan suatu pemaparan tentang praktek Bodhisattva yang sebagian diadaptasi dari Yogacārabhūmiśāstra oleh Asaṅga. Peminjaman yang belakangan pasti diingat sebagai suatu alternatif terhadap tesis tentang suatu warisan bersama. Pada umumnya, tanggapan kita pada kritik ini hanya untuk mengejar tesis warisan bersama, mengikuti sepanjang implikasi-implikasinya, dan melihat apakah itu membawa pada hasil yang bermanfaat. Bekerja dengan bahan dalam detail dan kedalaman, ini menjadi semakin jelas bahwa peminjaman yang belakangan tidak mungkin mempengaruhi lebih dari sedikit detail. Keseluruhan buku ini dapat dibaca sebagai suatu demonstrasi atas keberhasilan dan kelayakan dari pendekatan ini. Ini bukan, ia harus diingat, suatu metode yang sembarangan atau tidak biasanya. Para sarjana yang bekerja pada bidang-bidang lain, apakah studi Alkitab atau biologi, secara teratur menggunakan hipotesis-hipotesis yang sama.

Namun, akan bermanfaat untuk menunjukkan suatu kasus di mana tesis peminjaman adalah sangat tidak masuk akal. Marilah kita mempertimbangkan Bhāra Sutta yang terkenal dari Khandha-saṁyutta.[13] Kotbah ini ditemukan dalam versi-versi yang dimiliki oleh aliran Theravāda, Sarvāstivāda, dan (mungkin) Mahāsaṅghika. Sutta ini menyatakan bahwa lima kelompok unsur kehidupan adalah beban, dan “pribadi” (puggala) adalah “pembawa beban”. Dalam penjelasan ajaran tentang bukan-diri, ini adalah pernyataan yang tidak biasanya. Sementara kebanyakan aliran menganggap baris bahwa “pribadi” di sini hanyalah suatu cara konvensional berbicara, salah satu kelompok aliran yang penting, Puggalavāda, menyatakan bahwa ini menunjuk pada suatu entitas nyata yang ada di luar lima kelompok unsur kehidupan. Risalah Abhidhamma mereka, yang ada dalam terjemahan Mandarin, menunjuk pada kotbah yang sama ini.[14] Sekarang, perpecahan Puggalavāda adalah sangat awal, segera setelah perpecahan pertama (Mahāsaṅghika). Jadi kita memiliki penyebaran yang sangat baik dari kotbah ini di seluruh aliran yang paling awal.

Salah satu kekuatan yang penting yang membawa pada perpecahan adalah pembahasan dan ketidaksepahaman terhadap ajaran-ajaran yang berhubungan. Pembahasan ini didahului perpecahan aktual dalam waktu yang cukup. Seraya pemisahan mengeras, aliran-aliran mulai merumuskan posisi mereka dalam menerima teks-teks, mengembangkan argumen yang rumit untuk mempertahankan penafsiran mereka. Ini menjadi bahan pelatihan yang penting untuk perdebatan ajaran yang bersemangat yang sedang berlangsung. Terdapat dua catatan utama dari pembahasan ini dari periode awal: Kathāvatthu oleh Moggaliputtatissa dalam kanon Pali dari aliran Theravādin, dan Vijñānakāya oleh Devasarman, sebuah teks kanon dari Abhidharma Sarvāstivāda yang dipertahankan dalam bahasa Mandarin. Kathāvatthu secara tradisional dianggap berasal dari periode Aśoka; walaupun banyak dari karya ini bersifat belakangan, tidak ada alasan meragukan bahwa asal mulanya, dengan beberapa argumen inti, berasal dari periode itu. Norman kenyataannya telah menunjukkan bahwa Kathāvatthu, khususnya pembahasan tentang “pribadi”, memasukkan suatu bentuk tata bahasa Magadha yang tidak biasanya, yang bernada suatu hubungan [dengan masa] Aśoka.[15] Maklumat-maklumat menunjukkan perhatian besar Aśoka untuk mencegah perpecahan dalam Sangha, yang menyatakan kecenderungan perpecahan terbukti pada masa Aśoka. Perpecahan Puggalavāda berada di antara yang paling awal.

Bagian pertama dan yang paling panjang dari kedua karya ini adalah serangan yang panjang lebar terhadap tesis “pribadi”. Ini adalah suatu masalah inti, mungkin motivasi awal untuk menulis karya-karya ini. Perpecahan ini menyakitkan. Ini masih segar dalam pikiran mereka, yang dirasakan sebagai serangan langsung terhadap ajaran bukan-diri yang dihargai.
Kita mungkin kemudian bertanya: bagaimana situasi ini dapat dijelaskan dengan baik? Marilah kita menganggap bahwa Puggalavāda menulis Bhāra Sutta untuk membenarkan ajaran khusus mereka. Ini pasti terjadi pada periode perpecahan awal, walaupun mereka baru saja berdebat dengan saudara-saudari mereka dari aliran lain. Aliran-aliran lain sangat terbujuk oleh keotentikan kotbah ini, tampaknya, sehingga mereka meminjamnya untuk dimasukkan dalam kumpulan ajaran utama mereka, bahkan ketika mereka pada waktu yang sama mati-matian berdebat menentang tesis “pribadi” sebagai ajaran menyimpang yang paling buruk. Puggalavādin begitu berhasil dengan kotbah tiruan mereka sehingga ia diterima tanpa bisikan protes oleh aliran-aliran sepanjang waktu.

Atau marilah kita menganggap bahwa aliran lain yang menciptakan kotbah ini, katakanlah Theravādin. Mereka telah berdebat dengan para pesaingnya, yang mereka anggap sebagai murtad, tentang ajaran “pribadi”. Entah bagaimana, mereka menghasilkan suatu kotbah yang tampaknya membenarkan argumen lawan mereka dan menaruhnya dalam kanon mereka, karena terlalu bodoh untuk melihat implikasinya. Kotbah ini dengan cepat “menaburkan benih” di seluruh aliran yang berbeda-beda di seluruh India yang luas; seseorang hanya dapat menganggap bahwa mereka sangat antusias atas ciptaan baru mereka dan ingin menyebarluaskannya. Ketika ini diketahui oleh pesaing Theravādin yang utama Puggalavādin, mereka melompat kegirangan untuk membenarkan tesis utama mereka, walaupun tidak tercatat bahwa mereka berterima kasih pada penulisnya atas hadiah itu.

Jika pilihan-pilihan ini tidak menarik, kita selalu dapat kembali pada gagasan yang membosankan dan sudah basi atas warisan bersama. Terdapat suatu kotbah yang disebut Bhāra Sutta. Ini diucapkan oleh Sang Buddha; atau setidaknya ini diterima sebagai demikian oleh generasi-generasi pertama Buddhis pada periode pra-sektarian. Karena ini berhubungan dengan ajaran penting tentang lima kelompok unsur kehidupan, ini dikumpulkan, bersama-sama dengan banyak kotbah yang berkaitan, dalam suatu kumpulan yang kemudian disebut “Khandha-saṁyutta”. Demikian kanonisitasnya dipastikan. Seraya pembahasan-pembahasan terhadap makna kotbah-kotbah berlangsung, beberapa mulai untuk melihat suatu makna khusus dalam penyebutan “pribadi” di sini, untuk memperhatikan tempat-tempat lain di mana kata “pribadi” tampaknya juga bersifat sugestif, dan untuk mengembangkan tesis “personalis”. Walaupun beberapa berusaha membujuk agar mereka tidak melakukannya, mereka bertahan dengan pandangan mereka, dan akhirnya perpecahan dihasilkan. Masing-masing aliran mewarisi suatu versi dari kotbah yang problematik, yang telah sangat dalam ditanamkan dalam kanon yang diterima sehingga statusnya tidak disangsikan, dan mengembangkan penafsiran mereka sendiri sesuai dengan pandangan mereka. Penafsiran ini dimasukkan dalam karya-karya Abhidhamma dari aliran-aliran.

Saya percaya bahwa pembaca, seperti saya sendiri, menemukan pilihan akhir yang paling masuk akal. Tentu saja, tidak setiap kotbah dapat dibangun begitu mudah. Tetapi bahkan jika satu kotbah dapat ditunjukkan sebagai pra-sektarian, ini membuatnya semua semakin mungkin bahwa kotbah-kotbah lain yang sama, dan kumpulan-kumpulan di mana kotbah-kotbah ini ditemukan, juga memasukkan bahan pra-sektarian.

Catatan Kaki:

[1] MN 26.21/MA 204/T № 765.4/Pali Vinaya 1.7. Mengambil tesaṁ sebagai memenuhi “milik mereka” yang diinyatakan dari baris kedua (cp. DN 18.27/DA 4/T No. 9) dan pamuñcantu sebagai suatu varian puitis dari adhimuñcantu (cp. 1146, 1149, AN 1.14/EA 4.1–10). Tetapi, satu versi Sanskrit memiliki pramodanur, dan diterjemahkan sebagai “Semoga mereka yang ingin mendengar bergembira dalam keyakinan”. Yang lain memiliki praṇudantu kakṣāḥ, “menghalau pendapat-pendapat”.

[2] Lihat Smith. Terdapat versi “ke-18” dalam Paṭisambhidāmagga 2.6.1. Walaupun ini sekarang berada dalam Khuddaka Nikāya, ini merupakan teks kuasi-Abhidhamma, sehingga kita dapat mengatakan bahwa Dhammacakkappavattana Sutta muncul di semua tiga Piṭaka.

[3] Rāhula, pg. 8.

[4] Kloppenborg.

[5] Lihat misalnya Nakamura, bab 2.3 & 2.4.

[6] Schopen 1997, pg. 24.

[7] Detail-detail dalam Choong, pp. 19–22.

[8] MN 81/MA 63 Ghaṭikāra dan MN 83/MA 67 Makhādeva.

[9] Aliran besar lainnya dari Mahāyāna awal, Mādhyamaka, mengambil basis tekstualnya Mūlamādhyamakakārikā oleh Nāgārjuna, yang berdasarkan pada Kaccāyana Sutta dari Saṁyutta. Dengan demikian dua aliran utama Mahāyāna menggunakan bersama Saṁyutta sebagai suatu kitab yang penting.

[10] Dalam buku ini teks-teks dan istilah-istilah yang didalilkan ditandai dengan sebuah tanda bintang.

[11] Diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai The Book of Analysis oleh Ashin Thiṭṭila, Pali Text Society, 1969.

[12] Tin, pg. 4, 38.

[13] SN 22.22/SA 73/EA 25.4.

[14] Sāmmitīyanikāyaśāstra (San-mi-ti pu lun), T № 1649, p. 463b11, 465b10, 463b 9–12. Lihat Thiện Châu, pp. 23–24.

[15] Norman, 1979, pp. 279–287.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #10 on: 17 March 2013, 09:58:15 AM »
Bab 3
GIST 2 – Kesepahaman Atas Tiga Lapisan

Dan demikian juga pada pertanyaan utama kita yang kedua: apakah hubungan dari lapisan ini satu sama lain? Ciri khas yang terkemuka adalah bahwa semua teks yang diidentifikasi sebagai kotbah-kotbah paling awal ditemukan dalam Saṁyutta, kumpulan yang paling awal. Ini adalah suatu alasan yang memaksa untuk menganggap kotbah-kotbah ini adalah teks-teks akar dari semua Buddhism, bukan dalam pengertian yang samar-samar atau retoris, tetapi sebagai benih historis sebenarnya di sekitar di mana Saṁyutta dan kemudian kumpulan-kumpulan lain terkristalisasi.

3.1 Benih-Benih Saṁyutta

Mungkin kasusnya bahwa Dhammacakkappavattana Sutta mulanya adalah kotbah pertama dalam Saṁyutta. Pada saat ini ia bernomor sebelas dalam Sacca-Saṁyutta Theravāda; tetapi dalam Mandarin ia adalah yang pertama dalam bab ini. (Posisi dalam Pali dapat dijelaskan dengan penyisipan yang belakangan sebuah vagga dari sepuluh kotbah di depan.) Jadi jika Saṁyutta adalah kumpulan pertama dan Dhammacakkappavattana Sutta adalah kotbah pertama dalam babnya, bukanlah suatu lompatan yang besar untuk menyatakan bahwa Saccasaṁyutta mungkin mulanya menjadi topik pertama dalam Saṁyutta Nikāya. Ini akan, tentu saja, masuk akal, karena empat kebenaran mulia adalah ajaran yang paling umum, yang mencakup semuanya, di mana kategori ajaran lainnya adalah penjelasan yang lebih terspesialisasi.

Terdapat suatu gema dari struktur awal yang dipertahankan dalam judul yang diberikan kotbah ini dalam Pali. Dalam kebanyakan naskah kuno nama “Dhammacakkappavattana Sutta” tidak muncul; ia disebut tathāgatena vutta (“Diucapkan oleh Sang Tathāgata”). Ini agak aneh, karena kebanyakan kotbah, tentu saja, dihubungkan dengan Sang Buddha. Namun istilah “Diucakan oleh Sang Buddha” dan “Diucapkan oleh Para Siswa” muncul dalam turunan Mandarin, tetapi bukan sebagai judul kotbah, tetapi sebagai judul bagian. Mungkin label “tathāgatena vutta” ditunjukkan mulanya, bukan pada Dhammacakkappavattana Sutta secara khusus, tetapi pada suatu bagian di dalam suatu kumpulan kotbah yang terdiri dari murni ajaran-ajaran yang diberikan secara langsung oleh Sang Buddha sendiri.[1]

Jadi Dhammacakkappavattana Sutta bukanlah kotbah kesebelas dalam lima puluh enam buku dari kumpulan ketiga, tetapi kotbah pertama dalam buku pertama dari kumpulan pertama. Struktur internal dari kumpulan-kumpulan yang masih ada tidak menyatakan bahwa Anattalakkhaṇa Sutta dan Ādittapariyāya Sutta pernah menikmati keutamaan yang sama dalam kumpulan mereka masing-masing.[2]

Keutamaan Dhammacakkappavattana Sutta sebagai batu pertama dari kumpulan kanonik didukung dalam beberapa kisah Konsili Pertama, yang dipertahankan dalam Vinaya-Vinaya dari aliran-aliran. Seperti yang diharapkan seseorang, masing-masing aliran mempertahankan suatu versi tentang kejadian-kejadian pada Konsili ini yang berfungsi untuk mengesahkan kanon mereka sendiri. Sebagai contoh, Theravāda menyatakan bahwa Brahmajāla Sutta dibacakan pertama kali; dan dalam Tipitaka Pali yang ada kita memang menemukan Brahmajāla Sutta adalah kotbah pertama dalam kumpulan pertama, Dīgha Nikāya. Kenyataan ini cenderung untuk mengabaikan nilai kisah sektarian dari Konsili-Konsili seperti yang tercatat dalam sejarah. Tetapi, meskipun tidak semua kisah dapat diterima, tidak ada alasan mengapa setidaknya salah satunya tidak benar secara substansial. Bukan tidak mungkin bahwa beberapa ingatan dari prosedur-prosedur bisnis utama akan dipertahankan di suatu tempat dalam tradisi-tradisi. Hanya jika aliran kemudian mengorganisasi kembali kitab mereka, mereka merasa perlu untuk merevisi kisah mereka. Demikianlah bahkan jika keberadaan suatu kisah yang menguatkan tidak dirasakan sangat membuktikan suatu teori tentang apa yang terjadi dalam Konsili Pertama, ketiadaan suatu kisah yang menguatkan cenderung untuk menyalahkan suatu teori demikian.

Oleh karena itu kita harus mempertimbangkan apakah aliran mana pun memasukkan suatu kisah Konsili Pertama yang sejalan dengan GIST. Kita tidak harus melihat jauh, karena aliran Buddhis yang paling berpengaruh, Sarvāstivādin, mengatakan Dhammacakkappavattana Sutta adalah kotbah pertama yang dibacakan dalam Konsili itu. Vinaya Mūlasarvāstivāda membuat pernyataan yang sama.[3] Dalam kisah ini, penyelenggaraan Konsili Pertama ditandai dengan nasehat Sang Buddha, sesaat sebelum Beliau wafat, agar Sangha mempertahankan Dhamma dengan membacakan dua belas aṅga. Kemudian, setelah Sang Buddha wafat, setelah mengadakan pertemuan, Yang Mulia Mahā Kassapa meminta agar Yang Mulia Ānanda membacakan Sutta-Sutta.[4] Ia pertama kali mengucapkan Dhammacakkappavattana Sutta. Seperti yang akan kita lihat di bawah ini dalam kutipan dari Catuṣpariṣat Sūtra, tradisi Sarvastivada tidak memasukkan penjelasan rinci dari setiap kebenaran (seperti yang ditemukan dalam Pali) dalam kotbah pertama. Penjelasan rinci (kelahiran adalah penderitaan...) di sini dikatakan sebagai kotbah kedua. Kotbah tentang bukan-diri, “juga diucapkan di Benares untuk kepentingan lima bhikkhu.”, oleh sebab itu dikatakan sebagai kotbah ketiga. Ketika kotbah-kotbah ini diberikan, semuanya tanpa cacat atau kritik, semua Arahat menerimanya sebagai ajaran sejati Sang Buddha.

Demikianlah Ānanda sekarang menjelaskan setiap ajaran. Masing-masing Arahat dengan suara bulat ikut serta dalam Konsili itu. Dan demikianlah saṁyutta-lima-kelompok-unsur-kehidupan disusun dan ditempatkan dalam Khandha Vagga. Juga saṁyutta-enam-alat-indera-dan-delapanbelas-unsur disusun dan ditempatkan dalam Āyatana-dhātu Vagga. Juga saṁyutta-kemunculan-bergantungan-dan-kebenaran-mulia disusun dan ditempatkan dengan nama Paṭiccasamuppāda.[5] Semua ajaran yang diucapkan oleh para siswa ditempatkan dalam Śrāvaka Vagga. Semua ajaran yang diucapkan Sang Buddha ditempatkan dalam Buddha Vagga. Semua yang berhubungan dengan satipaṭṭhāna, usaha-usaha benar, landasan kekuatan batin, kemampuan spiritual, kekuatan spiritual, [faktor-faktor] pencerahan, dan sang jalan disusun dan ditempatkan dalam Magga Vagga. Juga sūtra-sūtra dalam “saṁyutta-dengan-syair”. Ini sekarang disebut Saṁyukta Āgama. Semua kotbah yang adalah ajaran-ajaran panjang dinamakan Dīrgha Āgama. Semua kotbah yang adalah ajaran-ajaran menengah dinamakan Madhyama Āgama. Semua kotbah dengan satu topik, dua topik, sampai dengan sepuluh topik, ini sekarang dinamakan Ekottara Āgama.[6]

Jadi kisah Vinaya Mūlasarvāstivāda menyatakan suatu hubungan dekat antara apa yang telah kita identifikasi sebagai kotbah-kotbah paling awal dan kumpulan paling awal. Ia kemudian berlanjut mengatakan bahwa Yang Mulia Mahā Kassapa menyajikan mātikā, daftar isi dari Abhidhamma. Ini tidak disebutkan dalam kisah Theravāda, dan jelas suatu penambahan belakangan. Tetapi ini menarik dalam hal ia menunjukkan apa yang agaknya dianggap sebagai topik-topik dasar dari Abhidharma Mūlasarvāstivāda. Abhidharma ini tidak bertahan, dan topik-topik yang diberikan tidak persis cocok dengan karya Abhidharma mana pun yang ada, tidak bahkan Sarvāstivāda. Namun demikian, terdapat baris-baris kuat dari kelanjutan dengan apa yang akan kita identifikasi sebagai risalah Abhidhamma akar yang umum pada aliran-aliran.

Mātikā adalah yang membuat sangat jelas dan eksplisit poin-poin yang membedakan yang harus diketahui. Demikianlah ia terdiri dari empat satipaṭṭhāna, empat usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima kemampuan spiritual, lima kekuatan spiritual, tujuh faktor-pencerahan, jalan mulia berunsur delapan, empat jenis keberanian (vesārajja), empat pembedaan (paṭisambhidhā), empat buah pertapaan (sāmaññaphala),[7] empat perkataan Dhamma (dhammapāda),[8] tanpa-perselisihan (araṇadhamma?), samādhi jauh (pantasamādhi?), samādhi kekosongan, tanpa-tanda, dan tidak diarahkan, pengembangan samādhi, penembusan benar (abhisamaya), pengetahuan konvensional (sammutiñāṇa?), samatha dan vipassanā, Dhammasaṅgaṇī, Dharmaskandha – inilah apa yang terkandung dalam mātikā...[9]

Di sini muncul, lagi-lagi, 37 sayap menuju pencerahan. Topik kebijaksanaan standar – kelompok unsur kehidupan, dst. – tidak muncul. Kebanyakan item adalah topik dhamma, tetapi dua yang terakhir adalah judul kitab dalam masing-masing Abhidhamma Piṭaka Theravāda dan Sarvāstivāda. Ini mungkin kitab-kitab Abhidhamma yang luas, mungkin menggunakan bersama suatu dasar yang umum dengan nama sama yang ada, dan berhubungan dengan topik-topik kebijaksanaan menurut sistem Mūlasarvāstivāda.

Ini adalah detail yang membingungkan, yang menyoroti kemangkatan Sang Buddha, bahwa Sang Buddha dikatakan menganjurkan Sangha untuk membacakan aṅga-aṅga; tetapi tradisi-tradisi yang mencatat tentang Konsili Pertama tidak mengatakan apa pun tentang aṅga-aṅga. Apakah mata rantai yang hilang di sini? Apakah terdapat beberapa hubungan tersembunyi antara aṅga-aṅga dan kitab-kitab yang ada?

3.2 Dua Saṁyutta

Kita tahu bahwa Saṁyutta-Saṁyutta yang ada secara substansial tidak teratur, jika hanya karena mereka berbeda antara Pali dan Mandarin. Karena jelas bahwa mereka berhubungan dekat, kita terpaksa menanyakan mengapa mereka berbeda. Mungkin yang satu benar dan yang lain salah, atau lebih mungkin, masing-masing telah berbeda dalam caranya sendiri. Kesamaan struktural antara keduanya menyatakan suatu warisan umum.

Sebelum melihat lebih dekat pada isi Saṁyutta, kita harus dengan singkat menoreh pada sedikit kerancuan istilah yang membingungkan. Kata “saṁyutta”, yang berarti “berhubungan”, dalam konteks ini terutama menunjuk pada suatu kumpulan kotbah tentang suatu tema Dhamma tertentu. Demikianlah kita memiliki “Khandha-saṁyutta”, kumpulan kotbah tentang lima kelompok unsur kehidupan; “Saḷāyatana-saṁyutta”, kumpulan kotbah tentang enam indera, dan seterusnya. Kadangkala “hubungan” itu bukan suatu tema Dhamma, tetapi beberapa kriteria lain, seperti gaya kesusasteraan (Sagāthāvagga, Opammasaṁyutta), atau sosok pribadi (Anuruddha-saṁyutta, dst.). Saṁyutta-saṁyutta ini dikumpulkan bersama dalam suatu kumpulan besar yang disebut “Saṁyutta Nikāya” atau “Saṁyukta Āgama”, yang adalah “Kumpulan saṁyutta”. Demikianlah kata “saṁyutta” dapat digunakan untuk menunjuk pada keseluruhan tubuh besar ini (dalam kasus mana kita secara konvensional menggunakan huruf kapital “Saṁyutta”) atau pada topik-topik individual (yang kita tulis dalam huruf kecil sebagai “saṁyutta”). Terdapat suatu kerancuan yang sama dalam kata “vagga”. Ini digunakan dalam pengertian “buku” sebagai suatu istilah untuk masing-masing dari lima pembagian besar di mana Saṁyutta secara keseluruhan dibagi. Masing-masing dari “Vagga” ini (menggunakan huruf kapital) memasukkan sejumlah saṁyutta, dan biasanya dinamakan sesuai saṁyutta terbesarnya, yang biasanya adalah juga saṁyutta pertamanya. Tetapi pengertian penting “vagga” adalah skala kecil (dan oleh sebab itu dalam huruf kecil) yang digunakan dalam saṁyutta, di mana ia menunjuk pada sekelompok dari biasanya sepuluh kotbah. Keseluruhan struktur “vertikal” dari Saṁyutta-Saṁyutta oleh karenanya berlapis seperti ini.

Saṁyutta Nikāya/Āgama (“Kelompok/tradisi dari saṁyutta-saṁyutta”)

Khanda Vagga (“Buku [yang bagian pertama dan utamanya adalah] tentang kelompok unsur kehidupan”), Saḷāyatana Vagga, dst.

Khanda-saṁyutta (“Kumpulan [dari kotbah-kotbah] tentang kelompok unsur kehidupan”), Rādha-saṁyutta, dst.

Nakulapitu-vagga (“Bab [yang dimulai dengan sebuah kotbah kepada] Nakulapita”), dst.

Nakulapitu-sutta (“Kotbah kepada Nakulapita”), dst.

Di sini adalah perbandingan antara Saṁyutta Mandarin yang direkonstruksi dan Pali yang ada.

Tabel 3.1: Saṁyutta Sarvāstivāda dan Theravāda

Saṁyukta Āgama SarvāstivādaSaṁyutta Nikāya Theravāda
1. Sagāthāvagga
2. Nidāna Vagga
1. Khandha Vagga3. Khandha Vagga
2. Saḷāyatana Vagga4. Saḷāyatana Vagga
3. Nidāna Vagga
4. Sāvakabhāsita Vagga
5. Magga Vagga5. Mahā Vagga (= Magga Vagga)
6. Buddhabhāsita Vagga
7. Sagāthāvagga

Perbedaannya tidak sebesar seperti yang terlihat. Kebanyakan bahan yang ditemukan dalam Sāvakabhāsita (“diucapkan oleh para siswa”) dan Buddhabhāsita (“diucapkan oleh Sang Buddha”) Vagga terdistribusi dalam bab-bab kecil yang ditambahkan dalam Vagga-Vagga kedua sampai dengan kelima dalam Theravāda. Khanda, Saḷāyatana, dan Magga Vagga berada dalam urutan yang sama dalam kedua kumpulan. Hanya Nidāna dan Sagāthāvagga telah dipindahkan. Terdapat bukti internal perubahan susunan dari kitab-kitab ini dalam kanon Theravāda. Sagāthāvagga terdiri dari kotbah-kotbah dengan syair-syair, dan dengan demikian dengan jelas dibedakan kumpulan prosa sisanya. Tetapi ada satu saṁyutta lain dengan syair-syair; ini adalah Bhikkhu-saṁyutta, di mana dalam Theravāda berada pada akhir Nidāna Vagga. Ini menyatakan bahwa ia mulanya termasuk dalam Sagāthāvagga, dan Bhikkhu-saṁyutta memang ditemukan dalam Sagāthāvagga Mandarin.[10]

Bucknell telah lebih jauh menunjukkan bahwa komentar Pali memberikan petunjuk tentang suatu masa ketika Nidāna Vagga, bukan Sagāthāvagga, adalah kitab pertama dari Saṁyutta Nikāya.[11] Terdapat suatu bacaan yang ditemukan dalam komentar-komentar pada semua empat Nikāya yang menggambarkan berbagai alasan mengapa Sang Buddha mengajar – sebagai tanggapan pada suatu pertanyaan, dari inspirasi-Nya sendiri, dst. Dalam komentar Dīgha, Majjhima, dan Aṅguttara ini muncul dalam komentar pada kotbah pertama dari kumpulan itu; tetapi dalam Saṁyutta ini muncul dalam komentar pada kotbah pertama dalam Nidāna-saṁyutta. Karena Bhikkhu-saṁyutta berada pada akhir Nidāna Vagga Theravāda tetapi pada awal Sagāthāvagga Sarvāstivāda, pengaturan ulang mungkin berasal dari kesalahan [peletakan] rak: terdapat beberapa halaman yang dibiarkan kosong pada akhir Nidāna Vagga, sehingga penulis memulai Sagāthāvagga dengan menulis Bhikkhu-saṁyutta pada naskah kuno yang sama, tetapi kemudian seorang bhikkhu yang tidak sadar mengambil keluar Nidāna Vagga sebagai kitab pertama dan menggantikannya sebagai kitab kedua (atau mengambil keluar Sagāthāvagga sebagai yang kedua dan menggantikannya sebagai yang pertama.) Demikianlah Bhikkhu-saṁyutta menjadi terpisah dari pasangan aslinya, Bhikkhunī-saṁyutta. Ini harus diterima bahwa dalam hal ini versi Mandarin memelihara tradisi yang lebih masuk akal dan mungkin lebih otentik daripada Pali. Jenis-jenis pengaturan ulang ini menyumbang pada perbedaan dari suatu Saṁyutta nenek moyang bersama.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #11 on: 17 March 2013, 10:15:14 AM »
Keseluruhan struktur dari Saṁyutta Nikāya/Āgama berhubungan secara kasar dengan empat kebenaran mulia. Bhikkhu Bodhi mencatat bahwa hubungan ini lebih tampak dalam Mandarin daripada Pali.[12] Lima kelompok unsur kehidupan dan enam alat indera berhubungan dengan kebenaran mulia pertama; kemunculan yang saling bergantungan (Nidāna-saṁyutta) pada kebenaran mulia kedua dan ketiga; dan sang jalan adalah kebenaran mulia keempat. Kita dapat menunjuk pada topik-topik pokok ini dalam pengertian umum sebagai “saṁyuttamātikā”. Kita menyebutkan di atas bahwa tulang punggung dari Magga Vagga ini adalah 37 sayap menuju pencerahan; dalam Mandarin ini dipertahankan dalam suatu urutan yang lebih dekat mengikuti urutan Sutta standar.[13] Oleh karenanya kita memiliki sejumlah indikasi bahwa versi Mandarin lebih dapat dipercaya secara struktural daripada Pali: posisi Bhikkhu-saṁyutta; keseluruhan hubungan dengan empat kebenaran mulia; dan urutan sayap-sayap menuju pencerahan.

Kita telah menjadi begitu terbiasa menganggap 37 sayap menuju pencerahan sebagai suatu kumpulan ajaran standar yang kita pikir secara otomatis bahwa Magga Vagga dikumpulkan dengan mengambil daftar itu dan mengumpulkan kotbah-kotbah yang sesuai di bawah masing-masing topik. Tetapi mungkin situasinya adalah sebaliknya: daftar 37 sayap menuju pencerahan telah diringkaskan dari topik-topik Magga Vagga. Kotbah-kotbah yang muncul pertama kali; mereka dikumpulkan berdasarkan topik; kumpulan-kumpulan itu diberikan judul-judul; judul-judul digunakan sebagai suatu cara cepat menunjuk pada kumpulan itu; dan kemudian judul-judul menjadi berkembang sebagai suatu daftar yang independen, yang diulangi dan diuraikan dalam tak terhitung karya yang belakangan, dengan asal mulanya dalam Saṁyutta sebagian besar terlupakan.

Ini membantu menjelaskan beberapa ciri khas yang membingungkan dari daftar itu. Sebagai contoh, lima kemampuan spiritual dan lima kekuatan spiritual terdiri dari persis dhamma-dhamma yang sama, dan tidak ada alasan yang jelas mengapa kumpulan ini diulangi. Mereka secara tradisional dijelaskan sebagai kualitas-kualitas yang sama pada tingkatan yang berbeda; tetapi ini bukanlah bagaimana Saṁyutta melihatnya.[14] Situasi ini bahkan lebih aneh dalam Saṁyutta Theravāda, karena Bala-saṁyutta hampir bersifat berlebihan, hanya menjadi serangkaian perulangan tentang kekuatan-kekuatan spiritual. Tetapi Bala-saṁyukta Sarvāstivāda memiliki kumpulan teks yang substansial, dengan mengumpulkan bersama banyak kotbah-kotbah tentang kumpulan-kumpulan yang berbeda dari “kekuatan” yang dalam Theravāda berserakan di dalam kanon, termasuk lima kekuatan spiritual. Ini pastinya lebih mungkin untuk mewakili kumpulan awal mula. Indriya-saṁyutta, sebaliknya, memiliki kotbah-kotbah yang berhubungan dengan berbagai kumpulan kemampuan sebagai tambahan pada lima kemampuan spiritual – kemampuan indera, kemampuan perasaan, dst. Dalam Vibhaṅga Abhidhamma ini menjadi menetap ke dalam kumpulan klasik dari 22 kemampuan. Jika, kemudian, kita membandingkan dua saṁyutta, satu tentang berbagai kemampuan, yang lain tentang berbagai kekuatan, mereka terdiri dari ajaran-ajaran yang sangat berbeda, dengan lima kemampuan spiritual dan lima kekuatan spiritual menjadi satu-satunya kumpulan yang saling melengkapi. Maka tidak ada masalah memahami mengapa ada dua kumpulan, satu tentang kemampuan-kemampuan, satu tentang kekuatan-kekuatan. Ini hanya ketika judul-judul menjadi terpisah dan diterapkan secara eksklusif pada lima kemampuan dan lima kekuatan yang tampaknya mereka berlebihan.

Terlihat dalam cara ini keseluruhan Saṁyutta adalah suatu pemaparan besar-besaran dari empat kebenaran mulia. Ini adalah anggapan tradisional dari aliran-aliran; kitab-kitab tentang metode penafsiran seperti Netti dan Peṭakopadesa mengajarkan bahwa pemahaman yang benar atas kotbah apa pun memerlukan ia diselidiki dalam cahaya empat kebenaran mulia. Tetapi sekarang kita dapat memberikan penafsiran tradisional ini suatu bentuk kesusasteraan yang lebih konkrit. Kita telah melihat bahwa setidaknya beberapa tradisi memperlakukan Dhammacakkappavattana Sutta sebagai kotbah pertama dalam kumpulan ini, dan benih di sekitar di mana kumpulan itu terkristalisasi. Ini menyatakan bahwa Sacca-saṁyutta, yang mengandung Dhammacakkappavattana Sutta, adalah kumpulan pertama. Ini bukan demikian sekarang: ia berada dalam Nidāna Vagga dari Sarvāstivāda dan akhir Mahā Vagga dari Theravāda. Jenis kerancuan dalam posisi ini muncul kapan pun kita berusaha untuk menyusun hubungan antara kebenaran-kebenaran [mulia] dan kategori-kategori ajaran lainnya. Akhirnya, ini bukan karena anda tidak dapat menentukan struktur tekstual linear tentang struktur organik dari Dhamma itu sendiri. Kebenaran-kebenaran [mulia], walaupun mulai sebagai kerangka yang melingkupi di dalam mana ajaran-ajaran lain yang dicakupi, diperlakukan sebagai hanya salah satu lebih item ajaran yang lebih doktrinal dalam daftar itu. Tetapi mereka tidak memiliki posisi khusus dalam daftar itu dan dapat muncul dalam hampir semua posisi. Korelasi dengan kebenaran-kebenaran [mulia] adalah yang paling penting dalam pikiran mereka yang mulanya mengumpulkan kumpulan-kumpulan itu, tetapi bagi generasi-generasi belakangan ingatan ini menjadi samar-samar.

3.3 Topik-Topik Abhidhamma Akar

Marilah sekarang mempertimbangkan lapisan teks kita yang ketiga dan terakhir, Abhidhamma-Abhidhamma. Topik-topik yang diuraikan dalam Saṁyutta tetap sangat dekat dengan ajaran-ajaran pokok yang ditetapkan dalam kotbah-kotbah paling awal. Banyak kotbah dalam Saṁyutta, kenyataannya, hanyalah variasi-variasi yang berputar-putar dari teks-teks dasar itu. Situasi yang sama diperoleh dalam kasus Abhidhamma-Abhidhamma paling awal. Di bawah ini adalah mātikā-mātikā dari teks-teks Abhidhamma dari tiga aliran, yang diidentifikasi oleh Frauwallner sebagai berhubungan pada suatu nenek moyang bersama, yang prasektarian.

Ia memberikan banyak rincian; namun ia mengabaikan beberapa poin yang berhubungan. Fragmen Dharmaskandha dari Gilgit memiliki kemunculan bergantungan yang membawa sampai dengan 5 sila. Ini menyatakan bahwa urutan dalam Mandarin telah kacau, mungkin oleh perubahan penyusunan naskah-naskah kuno yang tidak disengaja. Jika kita menggerakkan ajaran-ajaran kebijaksanaan – dari kemampuan-kemampuan ke kemunculan bergantungan – sampai ke awal, ini akan mengembalikan hubungan antara kemunculan bergantungan dan 5 sila, dan juga membuat struktur Dharmaskandha secara luas sama dengan Vibhaṅga dan Śāriputrābhidharma (serta Saṁyutta). Kita tidak dapat memastikan perubahan itu bersifat kebetulan, walaupun, bagi struktur yang ada tentunya rasional, berhubungan dengan kelompok tiga yang klasik dari tata susila, samādhi, dan pemahaman. Dalam aspek ini Dharmaskandha sama dengan risalah Theravāda yang belakangan, Visuddhimagga.

Ciri khas yang mengherankan lainnya dari Dharmaskandha adalah bahwa ia menghilangkan jalan mulia berunsur delapan. Ini ada dalam risalah awal mula; penghilangan ini pasti tidak disengaja. Mungkin ia hanya jatuh dari naskah kuno itu, atau salah ditempatkan.

Dalam tabel berikut ini faktor-faktor yang sama pada semua tiga teks ini dicetak tebal. Bahkan faktor-faktor itu tidak digunakan bersama oleh semua tiga teks ini, tetapi, hampir semua memiliki asal yang sama di tempat lain dalam Sutta atau Abhidharma.

Tabel 3.2: Tiga Versi Mātikā Abhidhamma Dasar

Vibhaṅga Theravāda Dharmaskandha SarvāstivādaŚāriputrābhidharma Dharmagupta
5 kelompok unsur kehidupan5 sila12 alat indera
12 alat indera4 faktor pemasuk-arus18 unsur
36 unsur4 keyakinan tetap5 kelompok unsur kehidupan
4 kebenaran mulia4 buah pertapaan4 kebenaran mulia
22 kemampuan4 cara praktek22 kemampuan
Kemunculan bergantungan4 silsilah mulia7 faktor pencerahan
4 satipaṭṭhāna4 usaha benar3 akar tidak bermanfaat
4 usaha benar4 landasan kekuatan3 akar bermanfaat
4 landasan kekuatan4 satipaṭṭhāna4 unsur besar
7 faktor pencerahan4 kebenaran mulia5 sila
Jalan mulia berunsur 84 jhānaUnsur-unsur
4 jhāna4 kediaman luhurKamma
4 kediaman luhur4 tak berbentukPribadi-pribadi1
5 sila4 samādhiPengetahuan2
4 pembedaan7 faktor pencerahanKemunculan bergantungan
Khuddakavatthu3Khuddakavatthu4 satipaṭṭhāna
Ñāṇavibhaṅga422 kemampuan4 usaha benar
Dhammahadaya512 alat indera4 landasan kekuatan
5 kelompok unsur kehidupan4 jhāna
62 unsurJalan mulia berunsur 8
Kemunculan bergantunganDhamma-dhamma tidak bermanfaat6
Saṅgraha7
Sampayoga
Prasthāna

1 Cp. Puggala Paññatti.
2 Cp. Ñāṇavibhaṅga.
3 Suatu daftar kekotoran-kekotoran; nama “Khuddakavatthu” diambil dari Dharmaskhanda
4 Suatu daftar pengetahuan, yang dapat dibandingkan dengan Paṭisambhidāmagga.
5 Suatu karya Abhidhamma independen dengan mātikā-nya sendiri: kelompok-kelompok unsur kehidupan, 18 unsur, kebenaran-kebenaran, 22 kemampuan, 9 sebab (hetu), 4 makanan, dan 7 kontak, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, kehendak-kehendak, dan pikiran-pikiran.
6 = Khuddakavatthu?
7 Saṅgaha dan sampayoga adalah istilah teknis dalam Dhātukathā Theravāda. Paṭṭhāna adalah judul dari risalah Abhidhamma Theravāda tentang kausalitas.

3.4 Tiga Lapisan Dibandingkan

Karena kita telah memiliki beberapa gagasan tentang isi masing-masing dari tiga lapisan, kita dapat mempertimbangkan hubungan antara mereka. Di sini adalah suatu daftar perbandingan dari ajaran-ajaran utama dalam lapisan-lapisan ini, dengan menghilangkan hal-hal sekunder. Dalam bagian Abhidhamma saya telah mengidentifikasi teks-teks persisnya dari mana Vibhaṅga Theravāda telah mengambil sumber bahannya.[15] Teks-teks yang meragukan atau berbeda ditandai dengan sebuah tanda bintang.

Pertama sebuah catatan tentang usaha dan landasan-landasan untuk kekuatan batin. Bab-bab ini ditemukan di tempat lain dalam Mandarin, tetapi bersama-sama dengan bagian dari bab tentang kemampuan-kemampuan yang telah mereka hilangkan dari Saṁyutta Mandarin yang ada disebabkan oleh suatu kegagalan dalam penyebaran teks-teks. Mungkin naskah kuno hanya salah diarsipkan dan belakangan hilang. Anehnya, sebuah bacaan dari “Kehidupan Raja Aśoka” (Aśokarājavadāna), yang tidak ada hubungannya dengan Saṁyutta, mengakhiri dalam tempatnya – suatu sisa-sisa kesalahan manusiawi dari generasi-generasi penyalin yang dengan penuh keyakinan menyebarkan kemustahilan ini.[16]

Kesepahaman itu mengejutkan, mengingat bahwa kita mengembangkan tiga lapisan ini secara independen, tanpa menunjuk pada kesamaan ajaran antara lapisan. Topik-topik ini adalah tulang punggung Dhamma, yang diulangi berkali-kali dalam tak terhitung variasi dalam semua aliran dalam semua sejarah Buddhisme. Saya telah, tanpa upaya yang besar, menghitung lebih dari selusin Abhidhamma dan karya-karya komentar dari berbagai aliran yang melandasi pada topik-topik ini. Biasanya kerangka empat kebenaran mulia masih dapat dibedakan mendasari struktur-struktur permukaan yang rumit. Ini tidak mungkin mengatakan bahwa kesesuaian ini dalam isi dari daftar-daftar ajaran tidak membuktikan bahwa aliran-aliran memahami ajaran-ajaran dalam cara yang sama. Masing-masing aliran mengembangkan penafsirannya sendiri, yang berbeda dalam rincian dan dalam prinsip.

Tabel 3.3: Tiga Lapisan Paling Awal

KotbahKumpulanAbhidhamma
Kebenaran-kebenaran [mulia]Kebenaran-kebenaran [mulia]Kebenaran-kebenaran [mulia] (MN 141/MA 31/EA 27.1)
Kelompok-kelompok unsur kehidupanKelompok-kelompok unsur kehidupanKelompok-kelompok unsur kehidupan (SN 22.59/SA 34)
Alat inderaAlat inderaAlat indera1
Unsur-unsur2Unsur-unsur (MN 115/MA 181; MN 141/MA 162)
Perasaan-perasaan
Asal mula [dukkha]Kemunculan bergantunganKemunculan bergantungan (SN 12.2/SA 298)
Kekotoran-kekotoranKekotoran-kekotoran3Kekotoran-kekotoran4
Kamma5Kamma
Lenyapnya [dukkha]Kemunculan bergantunganKemunculan bergantungan (SN 12.1, 2/SA 298)
Nibbana6Nibbana
Jalan mulia berunsur 8Jalan mulia berunsur 8 (SN 45.8/SA 783*)
SatipaṭṭhānaSatipaṭṭhāna (MN 10/MA 98/EA 12.1)
Usaha-usaha benarUsaha-usaha benar (SN 49)
Jalan mulia berunsur 8Landasan kekuatan batinLandasan kekuatan batin (SN 51.13)
Kemampuan spiritual22 kemampuan7
Kekuatan spiritual(kekuatan spiritual)8 (AN 5.14–15/SA 675)
Faktor-faktor pencerahanFaktor-faktor pencerahan (SN 46.3/SA 736, 740,
724*; SN 46.5/SA 733, etc.)
Pelatihan (sikkhā)9Pelatihan ( Jhānavibhaṅga = pelatihan bertahap;
Sikkhāpadavibhaṅga = 5 sila)


1 Ini berdasarkan pada daftar standar dari alat indera sehingga tidak dapat ditelusuri pada satu sumber.
2 Unsur-unsur (dhātu) diperlakukan dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan dan alat indera seperti di sini, tetapi perlakuan dalam Saṁyutta lebih berhubungan erat pada kemunculan bergantungan.
3 Misalnya SN 24/SA 4 Diṭṭhi.
4 Khuddakavatthu.
5 SA 41, dihilangkan dalam SN tetapi mungkin original.
6 Misalnya SN 43/SA 890 Asaṅkhata, SN 55/SA 30 Sotāpatti.
7 Kelompok hibrid lain ditemukan dalam posisi-posisi yang berbeda disebabkan keunggulan lima kemampuan spiritual atau enam kemampuan indera.
8 Dihilangkan, tidak diragukan dirasa berlebihan, dalam Vibhaṅga/Dharmaskandha/Śāriputrābhidharma yang ada, tetapi ditemukan di tempat lain dalam Abhidhamma-Abhidhamma, misalnya Dhātukathā Pali, yang mātikā-nya berada dalam beberapa cara lebih kuno daripada Vibhaṅga, karena ia lebih mendekati urutan awal dari sayap-sayap menuju pencerahan. Bala Saṁyutta Mandarin lebih luas daripada Pali. Referensinya tentang Vibhaṅga sutta yang berhubungan.
9 SA 29, dihilangkan dalam SN tetapi mungkin original.
« Last Edit: 17 March 2013, 10:23:20 AM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #12 on: 17 March 2013, 10:32:00 AM »
3.3 Saṁyutta-Mātikā dalam Mahāyāna

Bertahannya saṁyutta-mātikā dalam Abhidharma tidak mengejutkan. Ini lebih menarik bagaimana pentingnya ia tetap bagi Mahāyāna juga. Saṁyutta-mātikā bersifat pokok pada struktur Sūtra Hati, dan demikian pada Prajñāpāramitā dan Mahāyāna secara umum. Sūtra Hati, yang biasanya dianggap berasal dari masa abad ke-2 M, dimulai dengan Avalokiteśvara melihat bahwa lima kelompok unsur kehidupan adalah kosong dari “inti intrinsik” (svabhāva), dan kemudian menerapkan analisis ini pada seluruh bagian kebijaksanaan dari saṁyutta-mātikā. Topik-topik yang didaftarkan adalah: lima kelompok unsur kehidupan, alat indera, 18 unsur, kemunculan bergantungan, dan empat kebenaran mulia. Ini semua disamakan dengan kekosongan, di mana Nāgarjuna, mengikuti Nidāna-saṁyukta Sarvāstivāda, telah mengidentifikasi sebagai kemunculan bergantungan. Demikianlah Sūtra Hati mengkritik suatu penafsiran atas topik-topik dari saṁyutta-mātikā berkaitan dengan teori Abhidhamma dari “inti intrinsik”, dengan menggantikan itu dengan kemunculan bergantungan. Ini bukan penemuan baru.

Saṁdhinirmocana Sūtra memberikan suatu kisah yang lebih eksplisit (dan memikat perhatian) tentang apakah masalah itu.[17] Teks ini disusun pada abad kedua M untuk membangun prinsip penafsiran teks dari aliran Yogacāra. Serangan utama bahwa pemahaman konseptual dari rincian hal-hal – suatu penunjukan yang jelas terhadap aliran-aliran Abhidhamma – lahir dari imajinasi dan konstruksi-pikiran, dan menganggap ini sebagai realitas, tetapi hanya dengan penyatuan non-konseptual dari samādhi adalah kebijaksanaan sejati yang lahir. Bacaan ini menunjukkan bagaimana seorang bhikkhu hutan menganggap bhikkhu pelajar, suatu pemikiran yang digemakan cukup sering saat ini:

Yang Mulia Subhūti berbicara kepada Sang Buddha dan mengatakan: “Yang Dijunjungi Dunia, di dunia makhluk-makhluk hidup, aku mengetahui sedikit yang menyatakan pemahaman mereka tanpa kesombongan, tetapi aku mengetahui tidak terhitung, tak terkira makhluk hidup yang sangat menyayangi kesombongan mereka dan menyatakan pemahaman mereka dalam sikap yang penuh kesombongan. Yang Dijunjung Dunia, suatu ketika aku sedang berdiam di sebuah taman di dalam sebuah hutan. Sejumlah besar bhikkhu yang tinggal di dekat sana. Aku melihat mereka berkumpul setelah matahari terbit untuk berdiskusi berbagai masalah dan mengemukakan pemahaman mereka, masing-masing menurut pengetahuannya.”

“Beberapa mengemukakan pemahaman mereka tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan, karakteristiknya, munculnya, berakhirnya, pelenyapannya, dan realisasi pelenyapannya. Yang lain, dengan cara yang sama, mengemukakan pemahaman mereka tentang alat indera, kemunculan bergantungan, makanan, kebenaran-kebenaran [mulia], unsur-unsur. Yang lain mengemukakan pemahamannya tentang satipaṭṭhāna, karakteristiknya, keadaan yang dapat mereka kendalikan, pengembangannya, kemunculannya dari suatu keadaan tidak-muncul, bukan-kelenyapannya setelah muncul, dan peningkatannya dari latihan yang berulang-ulang. Yang lain mengatakan tentang pemutusan benar[18] [= usaha benar], landasan kekuatan batin, kemampuan spiritual, kekuatan spiritual, faktor-faktor pencerahan, atau tentang jalan mulia berunsur delapan dengan cara yang sama.”

“... mereka semua sangat menyayangi kesombongan mereka, dan, karena mereka melekat pada kesombongan itu, mereka tidak dapat memahami satu rasa universal dari kebenaran tentang makna tertinggi.”

Kemudian Yang Dijunjungi Dunia berbicara kepada Subhūti dan mengatakan: “Inilah demikian, Subhūti, karena Aku telah tercerahkan pada kebenaran dari makna tertinggi yang adalah satu rasa universal, paling halus, paling mendalam, paling sulit untuk diukur. Setelah tercerahkan, Aku menyatakan, mengajarkan, menjelaskan, dan menerangkannya untuk kepentingan orang lain. Apakah ini yang telah Aku ajarkan, Subhūti? Aku telah mengajarkan bahwa isi yang dimurnikan dari pemahaman dalam semua kelompok unsur kehidupan, [teks menghilangkan alat indera], kemunculan bergantungan, makanan, [teks menghilangkan kebenaran-kebenaran], unsur-unsur, satipaṭṭhāna, pemutusan benar, landasan kekuatan batin, faktor-faktor pencerahan, dan faktor-faktor jalan adalah kebenaran dari makna tertinggi. Isi yang dimurnikan dari pemahaman ini adalah karakteristik sebagai satu rasa...”

“Lebih jauh lagi, Subhūti, segera setelah para bhikkhu yang berlatih yang mengembangkan samādhi telah memahami kedemikian dari satu kelompok, ketanpa-dirian dari ajaran tentang makna tertinggi, mereka tidak akan terlibat dalam menganalisis satu per satu kelompok-kelompok unsur kehidupan, alat indera, kemunculan bergantungan, makanan, kebenaran-kebenaran [mulia], unsur-unsur, satipaṭṭhāna [dst.].”[19]

Teks itu berlanjut menunjuk pada daftar dhamma ini sebagai suatu paradigma pokok:

“Yang Dijunjungi Dunia dalam sangat banyak kotbah telah menjelaskan kelompok-kelompok unsur kehidupan... alat indera... kemunculan bergantungan... makanan... kebenaran-kebenaran [mulia]... satipaṭṭhāna... usaha-usaha benar... landasan kekuatan batin... kemampuan spiritual... [teks menghilangkan kekuatan spiritual]... faktor-faktor pencerahan... jalan mulia berunsur delapan.”[20]

“Yang Dijunjungi Dunia telah menunjukkan aspek lain [dari ajaran-Nya, yaitu, selain dari ajaran tentang kekosongan tertinggi] bahwa makna tertinggi adalah tanpa inti dalam penunjukan pada pola dari kesempurnaan penuh, isi yang dimurnikan dari pemahaman yang adalah bukan-diri dari semua hal, yang adalah kedemikian, yang adalah pola dari kesempurnaan penuh. Ini adalah bagaimana kelompok-kelompok unsur kehidupan... alat indera... 12 cabang keberadaan [= kemunculan bergantungan]... empat makanan... enam dan delapan belas unsur harus dijelaskan.... [juga] satipaṭṭhāna, usaha-usaha benar, landasan kekuatan batin, kemampuan spiritual, kekuatan spiritual, faktor-faktor pencerahan, jalan mulia berunsur delapan. Semua ini harus dijelaskan dengan cara ini.”[21]

Ajaran-ajaran ini menjadi begitu familiar sehingga teks sering menyingkatkan, hanya dengan menyebutkan, sebagai contoh, “kelompok-kelompok unsur kehidupan, alat indera, semua yang dibahas di atas...”;[22] atau jika tidak “kelompok-kelompok unsur kehidupan, enam alat indera internal, enam alat indera eksternal, dan sedemikian.”[23] Sekarang, kita telah menunjuk pada daftar umum dari topik-topik ini sebagai “saṁyutta-mātikā”. Kesamaan antara daftar ini dan Saṁyutta tidak dapat disangkal; tetapi dalam banyak kasus dalam Abhidhamma, dst., situasinya diperumit oleh penambahan atas faktor-faktor lainnya. Jadi seseorang dapat mencurigai bahwa di sini kita hanya memiliki suatu kesamaan dari gagasan-gagasan, alih-alih cabang sebenarnya dari batang pohon sejarah yang sama.

Marilah kita membandingkan daftar ini, yang diulangi dengan kesesuaian yang masuk akal di seluruh Saṁdhinirmocana Sūtra, dengan Saṁyukta Sarvāstivāda. Kita akan menggunakan saṁyutta-saṁyutta yang diidentifikasi dalam Yogacārabhūmiśāstra sebagai bab-bab ajaran yang utama (di mana lebih banyak di bawah ini), meninggalkan saṁyutta-saṁyutta kecil dan yang diucapkan oleh para siswa. Tanda sudut (< >) menunjukkan di mana saṁyutta-saṁyutta telah dihilangkan. Dalam kedua kasus kita mempertahankan urutan awal. Kita juga memberikan daftar topik-topik dalam definisi Yogacārabhūmiśāstra tentang sutta aṅga dalam bagian Śrāvakabhūmi.

Tabel 3.4: Tiga Versi Saṁyukta Mātikā

Saṁyukta SarvāstivādaSaṁdhinirmocana SūtraŚrāvakabhūmi1
Kelompok unsur kehidupan2Kelompok unsur kehidupanKelompok unsur kehidupan
Unsur-unsur3
Alat inderaAlat inderaAlat indera
Kemunculan bergantunganKemunculan bergantunganKemunculan bergantungan
Makanan (empat)Makanan (empat)Makanan
Kebenaran [mulia]Kebenaran [mulia]Kebenaran [mulia]
Unsur-unsurUnsur-unsur
Perasaan(tidak ada)(tidak ada)
< >Śrāvaka
Pacceka Buddha
Tathāgata
SatipaṭṭhānaSatipaṭṭhānaSatipaṭṭhāna
Usaha benar (hilang)Usaha benarUsaha benar
Landasan kekuatan (hilang)Landasan kekuatanLandasan kekuatan
Kemampuan spiritualKemampuan spiritualKemampuan spiritual
Kekuatan spiritualKekuatan spiritualKekuatan spiritual
Faktor pencerahanFaktor pencerahanFaktor pencerahan
Jalan mulia berunsur delapanJalan mulia berunsur delapanJalan (mulia berunsur delapan)
Keburukan (dari tubuh)
Ānāpānasati(tidak ada)Ānāpānasati
Pelatihan (berunsur tiga)(tidak ada)Pelatihan
Pemasuk-arus(tidak ada)Keyakinan tetap
< >

1 Śrāvakabhūmi, pg. 226.
2 Khandha-saṁyutta dalam SA dan SN diikuti oleh Rādha dan Diṭṭhi Saṁyutta, yang benar-benar hanya lampiran pada Khandha-saṁyutta. Ini sama dengan hubungan antara Satipaṭṭhāna- dan Anuruddha-saṁyutta.
3 Teks memiliki dua daftar yang berdekatan untuk unsur-unsur: dhātupratisaṁyukta dan dhātusamgaṇapratisaṁyukta (“berhubungan dengan unsur-unsur” dan “berhubungan dengan hal-hal yang dihubungkan dengan unsur-unsur” [?]). Saya tidak yakin arti dari pembagian berunsur dua itu; dalam kasus apa pun, unsur-unsur tampaknya keluar dari urutan di sini.

Korelasinya tidak hanya dekat, ini hampir persis. Yang terutama sekali relevan adalah kebetulan dari empat makanan, yang bukan standar (Theravāda memasukkan topik ini di bawah kemunculan bergantungan), dan urutan kemunculan bergantungan, makanan, kebenaran-kebenaran [mulia], dan unsur-unsur, yang juga bukan standar. Bagi Saṁdhinirmocana Sūtra, ajaran-ajaran pokok dari Dhamma adalah, tepatnya, terkandung dalam Saṁyukta dari Sarvāstivāda. Ini sangat mungkin menjadi alasan mengapa Asaṅga, dalam Yogacārabhūmiśāstra, memilih mengomentari panjang lebar pada turunan Saṁyukta Āgama ini, landasan dari Āgama-Āgama lain. Prinsip penafsiran teks Yogacāra atas Saṁdhinirmocana mengemukakan bahwa pemahaman dari ajaran-ajaran ini harus didasarkan pada samādhi alih-alih intelektualitas. Kita tidak harus melihat jauh ke dalam teks-teks awal untuk menegaskan bahwa ini, seperti penekanan Mādhyamaka terhadap kekosongan sebagai kemunculan bergantungan, bukanlah penemuan baru.
 
Catatan Kaki:

[1] Baris pemberian alasan ini menyatakan dirinya secara independen pada Bucknell dan diri saya sendiri.

[2] Terdapat beberapa pernyataan bahwa Permohonan Brahmā mungkin telah menjadi kotbah pertama dalam Sagāthāvagga, berdasarkan rekonstruksi Bucknell, mengikuti Yogacārabhūmiśāstra, dari Sagāthāvagga bersama dengan baris-baris tentang Delapan Perkumpulan; tetapi argumennya terlalu kompleks untuk dimasukkan di sini. Permohonan Brahmā, secara mengejutkan, hilang dari Saṁyukta Sarvāstivāda, walaupun ini ditemukan dalam Ekottara dan Dīrgha Āgama (Sanskrit), dan mungkin di tempat lain, muncul segera sebelum Dhammacakkappavattana Sutta, seperti halnya dalam Vinaya.

[3] Kisah berikut ini didasarkan pada terjemahan Mandarin (T № 1451) dan parafrase Rockhill dari terjemahan Tibet.

[4] Sebelum Ānanda memulai pembacaannya, terdapat kejadian yang sedikit aneh di mana Mahā Kassapa mengatakan kepada semua bhikkhu: “Terdapat para bhikkhu yang lemah dalam kemampuan dan kacau pikirannya. Mereka tidak akan mampu mempelajari dan mengingat sutta-vinaya-abhidhamma. Oleh sebab itu akan sesuai bagi kita pada pagi hari untuk menyusun “Syair-Syair Pendek Saṁyutta”, (略伽他事相應 (= saṅkhitta-gāthā-saṁyutta?), T24, № 1451, p. 406a22–23), pada sore hari akan sesuai untuk menyusun sutta-vinaya-abhidhamma.” Tidak jelas apakah ini menunjuk pada; Sagāthāvagga yang ditunjukkan segera di bawahnya, dalam tempatnya yang tepat dalam Saṁyutta, sehingga tampaknya tidak mungkin ini apa yang dimaksud. Mungkin ini menunjuk pada beberapa kumpulan syair dari Khuddaka.

[5] Teks menghilangkan “Vagga”; catatan bahwa “緣起” dapat berarti paṭicca-samuppāda atau nidāna.

[6] T24, № 1451, p. 407b20–c2.

[7] SN 45.35/SA 796–797/SA 799.

[8] Dijelaskan dalam AN 4.29 sebagai kebebasan dari keserakahan dan kehendak jahat, perhatian benar, dan samādhi benar. Juga ditemukan dalam T № 1536.7.

[9] T24, № 1451, p. 408b6–11. Terjemahan dari Rockhill pg. 160. Detail-detail diberikan oleh Rockhill telah dikoreksi mengikuti Watanabe pg. 44, dan dari bahasa Mandarin. Sedikit dari istilah Mandarin, khususnya dalam bagian belakangan kutipan, tidak jelas.

[10] CDB, pg. 532.

[11] Bucknell, esai yang tidak diterbitkan.

[12] CDB, pg. 27.

[13] CDB, pg. 30.

[14] SN 48.43.

[15] Lebih rinci didaftarkan dalam lampiran pada edisi Pali PTS dari Vibhaṅga, pg. 437.

[16] Lamotte terbukti tidak menyadari masalah ini ketika ia mengatakan: “Seraya mereka [Āgama-Āgama] ditutup lebih belakangan [daripada Nikāya-Nikāya], mereka membuat ruang untuk karya-karya yang secara komparatif berasal dari masa yang lebih baru; oleh sebab itu Saṁyutta mengandung kutipan panjang dari Aśokarājavadāna.” (Lamotte (1976), pg. 155.) Penyelidikan yang lebih terperinci tidak memberikan alasan untuk menyimpulkan bahwa Āgama-Āgama, secara umum dikatakan, ditutup lebih awal atau lebih belakangan daripada Nikāya-Nikāya; masing-masing kasus perlu diperlakukan secara individual.

[17] T № 676. Saya menggunakan Keenan, yang berdasarkan versi Mandarin. Versi Tibet digunakan dalam terjemahan Perancis oleh Étienne Lamotte, Saṁdhinirmocana Sūtra: L’explication des Mysteres (Paris: Adrien Maisonneuve, 1935), dan terjemahan Inggris oleh John Powers, Wisdom of Buddha: The Saṁdhinirmocana Sūtra (Berkely, CA, Dharma Publishing. 1995).

[18] Pali padhāna (“usaha”) sering salah dibaca dalam Sanskrit sebagai pahāna (“meninggalkan”).

[19] Keenan, pp. 22–23.

[20] Keenan, pg. 35.

[21] Keenan, pp. 46–47.

[22] Keenan, pg. 23.

[23] Keenan, pg. 97.
« Last Edit: 17 March 2013, 10:34:42 AM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #13 on: 14 April 2013, 08:24:25 PM »
Bab 4
GIST 4 - Aṅga-Aṅga

Kita sekarang dapat berpindah ke pertanyaan utama terakhir dari GIST: apakah hubungan antara teks-teks tulang punggung ini dan sisa kotbah-kotbah? Untuk mendekati pertanyaan yang rumit ini akan bersifat membantu untuk pertama-tama mempertimbangkan beberapa lagi penemuan Yin Shun yang berdasarkan Yogacārabhūmiśāstra. Karya ini memperlakukan Saṁyukta Āgama dalam kaitan dengan tiga aṅga (bagian): sutta (teks-teks prosa dasar), geyya (syair), dan vyākaraṇa (penjelasan). Untuk memahami arti penting dari hal ini kita harus mengambil langkah mundur dan mempertimbangkan pengelompokan-pengelompokan aṅga.

Arti penting utama dari aṅga adalah bahwa mereka merupakan sistem paling awal yang tercatat untuk mengelompokkan ajaran-ajaran. Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama, atau Tripitaka itu sendiri, tidak menunjuknya dalam teks-teks awal, dan terbukti hanya sangat belakangan. Mereka oleh sebab itu pasti berasal dari sesudah masa Sang Buddha. Tetapi mereka tidak mungkin sangat belakangan, karena pembagian dalam empat Āgama utama digunakan bersama di antara aliran-aliran. Oleh sebab itu pasti telah mengambil bentuk pada masa pra-sektarian; tetapi perbedaan yang besar dalam struktur internal menyatakan bahwa Āgama-Āgama belum ditetapkan secara detail. Mungkin masing-masing aliran mewarisi sekumpulan besar ajaran-ajaran, sebagian besar tetapi bukan seluruhnya saling melengkapi, dan suatu susunan umum teks-teks ke dalam Āgama-Āgama. Saya berpikir tugas besar mengorganisasi sejumlah besar bhikkhu dan bhikkhuni untuk menghafalkan sejumlah besar kitab-kitab demikian pasti telah menjadi motivasi utama dalam mengubah dari sistem yang disahkan secara kanonik dari aṅga-aṅga ke sistem Āgama-Āgama yang baru. Kita menganggap proses ini terjadi pada periode antara Konsili pertama dan kedua. Ini problematis untuk berpikir dalam kaitan dengan suatu “kanon awal”, karena tidak ada bukti tertentu bahwa kitab-kitab sebagai suatu keseluruhan yang pernah dipertimbangkan diselesaikan dan secara universal diterima pada periode pra-sektarian. Namun demikian, kumpulan besar kitab-kitab secara universal diterima sebelum dan sesudah perpecahan. Karena sistem Āgama dikembangkan relatif awal, maka jika aṅga-aṅga masih merupakan prinsip organisasional yang paling awal, ini mungkin bahwa aṅga-aṅga, atau setidaknya inti darinya, ada pada masa kehidupan Sang Buddha sendiri.

4.1 Sembilan dan Dua Belas

Terdapat suatu daftar dari sembilan aṅga, yang dianggap merupakan jumlah ajaran-ajaran Sang Buddha, yang sama dalam Nikāya-Nikāya Pali awal: sutta, geyya, vyākaraṇa, gāthā, udāna, itivuttaka, jātaka, vedalla, dan abbhūtadhamma. Sembilan ini juga disebutkan dalam teks-teks Mahāsaṅghika,[1] dan oleh sebab itu mungkin mendahului perpecahan pertama. Daftar ini biasanya bertambah menjadi dua belas dalam Sanskrit (dengan penambahan nidāna, avadāna, dan upadeśa). Mereka semua adalah istilah-istilah yang familiar, tetapi makna sebenarnya kontroversial. Dalam teks-teks awal mereka hanya didaftarkan tanpa penjelasan lebih lanjut. Teks-teks belakangan memberikan penjelasan; tetapi ini sangat berbeda-beda, dan mencakup banyak anakronisme dan ketidakmungkinan. Di sini saya tidak akan memulai penyelidikan yang komprehensif, tetapi akan menyelidiki sumber-sumber yang tersedia bagi saya dengan tujuan atas pengumpulan apa yang tampaknya masuk akal dan relevan.

Beberapa item belakangan (gāthā, udāna, itivuttaka, jātaka) adalah judul-judul kitab-kitab yang dimasukkan dalam Khuddaka Nikāya Pali, dan komentar Theravādin secara terus terang mengidentifikasi aṅga-aṅga ini dengan kitab-kitab dengan nama yang sama. Jika aṅga-aṅga yang belakangan ditunjuk terutama pada Khuddaka Nikāya, ini masuk akal bahwa tiga yang pertama berhubungan dalam beberapa cara dengan empat Nikāya/Āgama utama. Namun, kebanyakan sarjana modern berpikir bahwa aṅga-aṅga menunjuk pada gaya teks alih-alih pada kumpulan yang sebenarnya. Sebagai contoh, Lamotte mengatakan:

Pengelompokan [aṅga] ini tidak berhubungan dengan pembagian nyata mana pun dari kanon, tetapi mendaftarkan gaya kesusasteraan yang diwakili dalam penulisan kanonik. Satu teks yang sama dapat dikelompokkan dalam beberapa gaya pada waktu yang sama, bergantung pada di mana karakteristiknya dianggap.[2]

Lamotte sangat tepat mengatakan bahwa pengelompokan aṅga bersifat rancu. Namun ini tidak menunjukkan bahwa ini tidak pernah digunakan sebagai suatu pembagian nyata dari ajaran-ajaran, dengan pengecualian bahwa semua pembagian demikian akan tidak sempurna. Bagaimanapun, ini adalah masalah dalam semua sistem pengelompokan. Bahkan dalam sistem Āgama yang ada terdapat banyak kerancuan demikian; sebagai contoh Satipaṭṭhāna Sutta adalah [kotbah] menengah, yang membenarkan tempatnya dalam Majjhima; tetapi ini berhubungan satipaṭṭhāna, salah satu topik utama dari Saṁyutta; dan ia mengajarkan berdasarkan jumlah (jalan “satu” arah, “empat” satipaṭṭhāna), dan sehingga satu versi Mandarin menempatkannya dalam Ekottara. Kita akan melihat berulang kali kerancuan demikian merupakan “titik balik” , di mana sistem aṅga mulai gagal, yang menyumbangkan pada kemunculan organisasi yang lebih sistematis.

Alasan paling utama untuk mempertimbangkan aṅga-aṅga sebagai hanya gaya alih-alih suatu struktur aktual adalah bahwa beberapa aṅga, khususnya tiga yang pertama, tidak muncul sebagai judul-judul kumpulan; dan karena, dari aṅga-aṅga yang merupakan judul-judul dari kumpulan-kumpulan yang ada, kitab-kitab yang mengandung judul-judul ini umumnya dianggap telah disusun lebih belakangan daripada kotbah-kotbah awal di mana daftar itu pertama kali muncul. Tetapi, lebih mungkin bahwa daftar yang paling awal mungkin lebih pendek, dan bahwa seraya kitab-kitab lain disusun nama-nama mereka ditambahkan ke dalam daftar itu. Ini adalah suatu hipotesis yang sedikit radikal daripada dalil bahwa gagasan dari suatu kumpulan kanonik pada masa Sang Buddha diciptakan dan dimasukkan secara retrospektif. Perbedaan antara daftar Pali dan Sanskrit menegaskan bahwa beberapa penambahan pasti telah dibuat, setidaknya untuk item-item tambahan dalam Sanskrit. Di sini kita akan secara singkat membahas aṅga-aṅga yang belakangan sebelum kembali pada pertimbangan yang lebih mendalam terhadap tiga yang pertama. Tidak ada dari pertalian ini yang tidak diperdebatkan. Tetapi, kita dapat mengembangkan bahwa mungkin, bahkan masuk akal, bahwa mereka menunjuk pada pengelompokan teks-teks yang khusus, di mana banyak darinya masih tersedia.

Gāthā: Menunjuk terutama pada bagian awal dari Thera/Therīgāthā dan Sutta Nipāta. Thera/Therīgāthā sekarang ada hanya dalam Pali, tetapi sering ditunjuk dalam kitab-kitab aliran lain, sehingga mereka pasti memiliki versi-versi dari syair-syair yang menggembirakan ini yang sekarang dengan menyedihkan hilang, selain dari beberapa dalam Mandarin (misalnya Theragāthā 1018–1050 muncul sebagai MA 33), dan sedikit fragmen Sanskrit.[3] Sutta Nipāta tidak ditemukan di luar tradisi Pali sebagai suatu kumpulan, tetapi banyak teks-teks individual diketahui (Khaggavisana, Ratana, Muni, Sela, dst.), dan bahkan beberapa bab seluruhnya (Aṭṭhaka, Pārāyana). Beberapa dari ini, termasuk Aṭṭhaka dan Pārāyana, dikatakan dimasukkan dalam Khuddaka Nikāya Dharmaguptaka. Terdapat jelas suatu kecenderungan mengumpulkan gāthā-gāthā dalam kumpulan-kumpulan yang berbeda.

Udāna: Terdapat suatu bukti yang membingungkan dalam tradisi-tradisi antara teks-teks yang dikenal dalam Pali sebagai “Udāna” and “Dhammapāda”. Beberapa isi dari keduanya bercampur, dan terdapat teks mirip Dhammapāda dalam Sanskrit dan Mandarin yang disebut “Udānavarga”. Tradisi Cina menganggap Dhammapāda dan Udāna sebagai jenis teks yang sama. Mungkin hanya syair-syair yang mulanya disebut udāna, dan belakangan dilekatkan dalam bahan latar belakang dari berbagai otentisitas. Suatu tahap tertentu dalam proses ini ditandai oleh kitab Pali yang disebut “Udāna”. Dalam syair-syair yang ditemukan dalam Dhammapāda Pali proses ini lebih lambat atau lebih tidak tentu. Kisah latar belakang tidak pernah memperoleh status kanonik penuh tetapi, dengan berlimpah-limpah uraian, yang mengambil bentuk sebagai komentar Dhammapāda, yang menyediakan kerangka tradisional di mana syair-syair disajikan. Patut dicatat bahwa, walaupun komentar diselesaikan berabad-abad setelah syair-syair, setidaknya beberapa informasi secara historis dapat diverifikasi dan berasal dari suatu tradisi yang otentik. Salah satu kisah yang ditemukan dalam komentar Dhammapāda Pali dibuktikan dalam Madhyama Sarvāstivādin (MA 80 Kaṭhinadhamma Sutta). Kisah-kisah latar belakang pada syair-syair seperti yang tercatat dalam versi Mandarin dari Dhammapāda sedikit atau tidak ada hubungan dengan kisah-kisah Pali.

Itivuttaka: Komentar Theravāda mengatakan bahwa ini menunjuk pada kitab Pali dengan nama itu; tetapi saya tidak yakin. Bukti kebetulan dari keotentikannya datang dari kisah latar belakang komentar, yang mengatakan kumpulan ini mulanya dihafalkan oleh seorang umat awam wanita di mana para bhikkhuni kemudian mempelajarinya dan mengajarkannya kepada para bhikkhu. Tidak mungkin bahwa para bhikkhu telah menciptakan suatu kisah demikian yang menyatakan mereka lupa pelajaran mereka. Pada sisi lain tidak ada alasan tertentu mengapa kisah itu harus dimasukkan pada kelompok teks-teks tertentu ini. Itivuttaka adalah sebuah teks kecil bergaya-aṅguttara, yang memasukkan sebuah syair yang merangkum setiap kotbah, dan judulnya berasal dari “label” pada awal dan akhir setiap kotbah: “demikianlah ini dikatakan”. Label ini sepenuhnya “ekstrinsik” pada ajaran-ajaran dan dapat melabeli teks bergaya mana pun. Demikianlah Itivuttaka adalah tidak biasa di antara aṅga- aṅga karena tidak ada hubungan intrinsik antara nama aṅga dan gaya teks. Versi Mandarin dari Itivuttaka memiliki suatu “label” yang sama, maka jika ini bukan aslinya, ini tidak begitu belakangan. Terdapat sebuah literatur klasik Veda yang disebut “Itihāsa”, “demikianlah itu”, yaitu “kisah-kisah  dari masa lampau, sejarah-sejarah legendaris”, yang kadangkala disamakan dengan Mahābhārata dan Ramāyana. Berdasarkan analogi, itivuttaka dapat berarti “perkataan dari masa lampau”. Maka itivuttaka mungkin menunjuk pada sejarah-sejarah legendaris yang ditemukan dalam Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama, seperti Aggañña Sutta,[4] dan Cakkavattisīhanāda Sutta.[5] Perhatikan bahwa dua kotbah ini berpasangan dalam Dīgha Theravāda dan Dharmaguptaka. Sarvāstivādin menyukai untuk menempatkan keduanya dalam Madhyama mereka, di mana, namun demikian, mereka tidak berpasangan. Teori ini mendapatkan dukungan dalam beberapa sumber di luar Theravāda, yang memperlakukan itivuttaka sebagai kisah-kisah dari masa lampau, kadangkala tidak dapat dipertukarkan dengan apadāna. Sebagai contoh, Asaṅga dalam Abhidharmasamuccaya mengatakan itivuttaka “mengisahkan kehidupan-kehidupan lampau para siswa mulia”;[6] dalam Śrāvakabhūmi dari Yogacārabhūmiśāstra ia mengatakan ini menunjuk pada “apa pun yang berhubungan dengan praktek sebelumnya.”[7]

Jātaka: Dapat dianggap bahwa ini mulanya menunjuk pada kisah-kisah kehidupan lampau Sang Buddha yang ditemukan kadangkala dalam empat Āgama, alih-alih kitab yang terkenal dengan nama yang sama, yang jelas belakangan (walaupun terdapat beberapa tumpang tindih antara dua lapisan dalam Pali; dan setidaknya salah satu kisah dalam kitab Jātaka Pali ditemukan dalam Sarvāstivāda Madhyama [MA 60]). Namun demikian, istilah jātaka, “bodhisatta” (“makhluk pencerahan” atau “seseorang yang bermaksud pada pencerahan”) dan kebanyakan dari ciri-ciri khusus lain yang dihubungkan dengan kitab  Jātaka tidak muncul dalam kisah-kisah Āgama tentang kehidupan-kehidupan lampau. Sebagai contoh, tidak ada petunjuk bahwa “calon Buddha” dalam pengertian apa pun ditakdirkan atas pencerahan, atau sedang menjalankan latihan yang membawa pada pencerahan; agak berlawanan, Sang Buddha bersusah payah menyatakan bahwa latihan-latihan yang beliau lakukan pada kehidupan-kehidupan lampau “tidak membawa pada pencerahan”.[8]

Jika daftar aṅga yang diperluas ditambahkan kemudian pada tiga yang pertama, lebih mungkin bahwa jātaka di sini menunjuk pada kitab tersebut, setidaknya pada suatu versi yang lebih awal. Kitab Jātaka kanonik hanya mengandung syair-syair yang mengisahkan inti kisah; karya ini hampir tidak pernah ditemukan secara independen. Ini harus dibandingkan dengan Udāna/Dhammapāda seperti yang tercatat di atas. Kisah-kisah itu sendiri dikandung dalam komentar, walaupun kisah-kisah itu pasti telah diturunkan bersama-sama dengan syair-syair dalam tradisi oral, karena dalam banyak kasus syair-syair bersifat samar-samar dan tidak masuk akal tanpa kisah itu. Adalah penting untuk diingat ketika mempertimbangkan literatur Jātaka bahwa syair-syair dan “kisah-kisah dari masa lampau” milik bersama, dan jarang memiliki ciri Buddhis secara khusus, yang sebagian besar merupakan suatu hasil dari tradisi cerita rakyat. Mungkin kisah-kisah itu diadopsi oleh para guru Buddhis mulanya hanya sebagai fabel moral. Kemudian beberapa dari kisah-kisah itu diidentifikasi dengan Sang Buddha pada kehidupan-kehidupan lampau. Ketika kisah-kisah itu dikumpulkan sebagai sebuah kitab, mungkin dirasa sangat diperlukan untuk membakukan bentuk kesusasteraannya; proses ini tidak hanya mencerminkan kumpulan syair lainnya seperti Udāna/Dhammapāda, tetapi juga Vinaya, yang sama halnya menyediakan setiap aturan dengan suatu kisah awal mula yang sering kali bernilai sejarah yang meragukan (suatu nidāna, salah satu aṅga yang belakangan). “Kisah-kisah dari masa sekarang”, yang memberikan kejadian masa kini (yaitu masa kehidupan Sang Buddha) yang dianggap telah menginspirasi penceritaan kisah itu, pembungkusan eksternal yang ditambahkan lama setelah kisah-kisah itu mulanya diceritakan. Ini, tentu saja, “pembungkusan” ini yang mengidentifikasi tokoh-tokoh dalam kisah itu dengan Sang Buddha, keluarga Beliau, dst. pada kehidupan-kehidupan lampau. Ini memberikan alasan pada judulnya “Jātaka” (“Kisah Kelahiran”).

“Kisa-kisah dari masa sekarang” ini mensyaratkan suatu tahap dalam perkembangan ajaran bodhisatta secara signifikan di muka dari kotbah-kotbah awal. Evolusi penggunaan ini dapat ditelusuri dalam Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama sebagai berikut. Istilah “bodhisatta” umumnya menunjuk pada Siddhattha dalam masa perjuangan sebelum pencerahan; ini adalah penggunaan yang paling awal. Ini menyatakan bahwa makna paling awal dari kata “bodhisatta” adalah “seorang yang bermaksud pada pencerahan” (bodhiśakta), alih-alih “makhluk tercerahkan” (bodhisattva). Ini tampaknya adalah penunjukan baik dalam kitab-kitab Mandarin maupun Theravāda yang menyatakan makna ini. Mahāpadāna Sutta, yang menceritakan kisah Vipassī, menggunakan kata “bodhisatta” mundur sejauh sampai turunnya dari surga Tusita dan kelahiran pada kehidupan terakhir.[9] Versi Sanskrit dari teks ini, walaupun tidak lengkap, kelihatannya sama dalam hal ini. Hal yang sama juga ditemukan dalam Tathāgata-acchariya Sutta dari Aṅguttara.[10] Acchariyaabbhūta Sutta (suatu penyesuaian kisah Vipassī pada Buddha “kita”) memperluas lingkup istilah itu mundur pada kelahiran sebelumnya di Tusita.[11] Versi Sarvāstivādin dari teks yang sama mengambil langkah penting dengan menyatakan bahwa pada masa Kassapa, Buddha sebelumnya, bodhisatta membuat ikrar untuk menjadi seorang Buddha masa depan, suatu gagasan yang tidak ditemukan dalam tradisi awal.[12] Dari sana bukanlah loncatan besar untuk membayangkan calon Budha yang berusaha keras melalui tak terhitung kehidupan dalam perjuangannya atas Kebuddhaan.
« Last Edit: 14 April 2013, 09:17:50 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #14 on: 14 April 2013, 08:37:43 PM »
Vedalla: Istilah lain yang problematis. Ini digunakan sebagai judul untuk dua kotbah dalam Majjhima Nikāya.[13] Dua kotbah itu muncul bersama dalam Theravāda dan Sarvāstivāda. Dalam Sarvāstivāda keduanya membentuk pasangan terakhir pada bab kedua terakhir; dengan demikian, dengan mengingat bahwa unit tekstual kelihatannya sering dipindahkan dalam bab-bab (vagga-vagga) dari sepuluh atau sekian kotbah, keduanya mungkin pada satu tahap telah menjadi kotbah terakhir dalam Majjhima.[14] Namun demikian, judul “Vedalla” hanya digunakan dalam Theravāda; versi Sarvāstivādin yang sama dinamakan menurut tokoh utama, Mahā Koṭṭhita dan Bhikkhuni Dhammadinna. Kata vedalla tidak muncul dalam isi teks sama sekali, sehingga, seperti Itivuttaka, sangat mungkin bahwa istilah itu hanya ditempelkan pada kotbah-kotbah itu pada masa yang belakangan. Dalam kenyataannya, kotbah-kotbah itu hanyalah vyākaraṇa, dan tidak ada alasan untuk menciptakan suatu kelas literatur yang terpisah hanya untuk kotbah-kotbah itu. Komentar Theravādin juga memasukkan sejumlah kotbah yang mirip di bawah vedalla. Semua ini ditemukan dalam kanon Pali kecuali “Sankhārabhājanīya Sutta” (secara tidak masuk akal diidentifikasi sebagai Sankhāruppatti Sutta). Istilah bhājanīya (“pemaparan”), dari akar kata yang sama dengan “vibhaṅga”, adalah jarang dalam kotbah-kotbah awal, dan kemunculan yang paling familiar adalah pada judul bab dari Vibhaṅga Abhidhamma, yang tidak terlalu tidak sama pada vedalla-vedalla yang ada. PED tidak pasti tentang asal kata vedalla, secara mustahil menyatakan veda + ariya. Tetapi suatu akar kata dala (yang sama asalnya dengan bahasa Inggris “tear”), dengan makna dasar “putus, terpisah”. Ini digunakan untuk nama-nama bunga tertentu, dengan pengertian membuka dan memisahkan kelopak-kelopak dan dedaunan. Bentuk vidala, yang terbukti dalam Sanskrit dengan makna “membagi, memisahkan”, persis sejajar dengan vibhaṅga, dan vedalla hanyalah bentuk abstrak dari kata ini. Oleh sebab itu satu kemungkinan bahwa vedalla mulanya adalah teks proto-abhidhamma yang dapat kita sebut *Vibhaṅga Mūla. Namun, mempertimbangkan ketidakpastian istilah vedalla, dan lemahnya hubungan dengan teks-teks yang ada, kita tidak dapat menarik kesimpulan apa pun di sini, kecuali bahwa dua teks yang sekarang disebut vedalla mungkin dipasangkan bersama sebelum dibawa ke dalam Majjhima. Istilah Sanskrit di sini berbeda-beda, tetapi biasanya vaipulya, “berlimpah”, yang merupakan suatu istilah standar untuk Sūtra-Sūtra Mahāyāna yang terpencar-pencar. Mungkin bahwa para penerjemah atau penyunting yang belakangan menggantikan istilah familiar ini untuk istilah vedalla yang problematis dan samar-samar, bukan dengan sengaja meminjam kredibilitas pada klaim-klaim yang diperdebatkan atas keotentikan Mahāyāna. Dalam kenyataannya Abhidharmasamuccaya (sebuah Abhidhamma yang ditulis oleh Asaṅga) mengidentifikasi  aṅga ini sebagai yang terkandung dalam “Bodhisattvapiṭaka”, dan mengatakan bahwa tiga istilah yang berbeda menunjuk pada hal yang sama: vaipulya (ia membantu semua makhluk, dan mendalam), vaidalya (= vedalla, “menghancurkan semua rintangan”), vaitulya (“tiada bandingnya”).[15] Hanya asal kata yang kedua memiliki hal yang meyakinkan, walaupun seperti yang dikatakan di atas, maknanya lebih mungkin sebagai “memisahkan” dalam pengertian “analisis”.

Abbhūtadhamma: Mungkin yang paling mudah dari aṅga-aṅga yang dapat ditafsirkan, ini menunjuk pada kotbah-kotbah seperti Acchariya-abbhūta Sutta (MN 123/MA 32), Bakkula Sutta (MN 124/MA 34), dst., yang membahas “kualitas-kualitas menakjubkan” dari Sang Buddha atau berbagai siswa. Yang Mulia Ānanda berkaitan erat dengan literatur jenis ini. Dalam kanon Theravādin dua contoh terkenal dari gaya ini ditemukan bersama dalam Majjhima. Dalam Sarvāstivāda, tidak hanya dua kotbah ini tetap dekat bersama, tetapi keduanya membentuk bagian dari suatu bab dari Majjhima Sarvāstivādin yang disebut “Abbhūtadhammavagga”. Bab ini memasukkan sebuah kotbah di mana Sang Buddha memuji “kualitas-kualitas menakjubkan” Ānanda (MA 33). Penjelasan Buddhaghosa tentang abbhūtadhamma menunjuk pada apa yang mungkin suatu teks yang sama, yang sekarang ditemukan dalam Aṅguttara dan Dīgha Theravāda (DN 16.5.16). kenyataanya, pada AN 4.127-130 terdapat sekelompok dari empat teks dari jenis ini. Lebih lanjut, terdapat suatu kelompok dari lima kotbah dari jenis ini ditemukan bersama dalam Aṅguttara delapan, dan Madhyama Abbhūtadhammavagga Sarvāstivāda. Dengan demikian abbhūtadhamma menunjuk pada kelompok-kelompok teks yang sebenarnya. Bakkula Sutta adalah kasus yang menarik. Ia adalah bersifat baru, baik dalam bukti internal, dan dalam pernyataan komentar bahwa ia ditambahkan pada konsili kedua. Ini adalah satu dari sedikit penerimaan langsung suatu teks yang ditambahkan setelah konsili pertama. Satu-satunya pernyataan yang sama yang saya ketahui menunjuk pada beberapa gāthā dalam Thera/Therīgāthā dan Mahā Parinibbāna Sutta, yang juga termasuk dalam aṅga-aṅga yang belakangan. Ini sama dekatnya dengan kita sampai pada pengakuan oleh tradisi-tradisi bahwa aṅga-aṅga yang belakangan ditambahkan pada konsili kedua atau yang belakangan.

Tiga aṅga berikut hanya muncul dalam daftar Sanskrit.

Upadeśa: Ia berarti “petunjuk-petunjuk, arahan-arahan”. Ia muncul terutama dalam teks-teks belakangan. Saya tidak mengetahui teks-teks awal mana pun dalam tradisi Sanskrit yang menggunakan judul ini. Namun, sarjana Cina yang belakangan termasuk Hsuang Tsang mengatakan bahwa upadeśa adalah risalah-risalah yang menjelaskan sūtra-sūtra.[16] Ini menyatakan suatu hubungan dengan Peṭakopadesa (“Petunjuk-petunjuk dalam Piṭaka”), suatu karya awal tentang teknik-teknik yang diterima ke dalam Khuddaka Nikāya hanya di Myanmar. Asaṅga dalam Śrāvakabhūmi menjelaskan upadeśa sebagai “semua mātikā dan abhidhamma” yang menjelaskan Sutta-Sutta; dalam Abhidharmasamuccaya ia menjelaskannya sebagai “ajaran yang tepat, mendalam, halus tentang ciri khas semua hal.”[17]

Apadāna: Istilah ini, yang dieja avadāna dalam Sanskrit, sangat mirip dengan jātaka, yang biasanya menunjuk pada kisah riwayat hidup dari masa lampau. Dalam Pali apadāna adalah kehidupan-kehidupan lampau dari para siswa, sedangkan jātaka adalah kehidupan-kehidupan lampau Sang Buddha; tetapi perbedaan ini tidak dipertahankan secara konsisten. Menurut Cone, istilah itu memiliki makna dasar “memotong, menuai, memanen”, yang diterapkan dalam suatu pengertian metafora dari “menuai” buah dari perbuatan seseorang (khususnya dalam kehidupan lampau), dan maka menjadi suatu kisah tentang kamma dan akibatnya. Penggunaan paling awal dalam pengertian ini adalah Mahāpadāna Sutta, yang, tetapi, juga memasukkan unsur-unsur abbhūtadhamma, vyākaraṇa, udāna (atau gāthā), geyya, dan bahkan Vinaya. Detail ini menyatakan suatu hubungan antara Apadāna dan Vinaya, yang akan kita bahas lebih jauh di bawah. Mungkin kisah-kisah kehidupan awal yang ditemukan kadangkala dalam Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama, seperti Māratajjanīya Sutta, dapat dianggap sebagai apadāna;  tetapi istilah itu sendiri tidak digunakan dalam konteks ini. Istilah itu adalah judul suatu kitab yang ditemukan dalam Khuddaka Nikāya Pali, yang menceritakan kisah-kisah kehidupan lampau para Arahat. Karya-karya yang sama ditemukan dalam tradisi-tradisi Sanskrit.

Nidāna: Ini menunjuk pada bahan latar belakang atau sumber. Di sini ia dapat menunjuk pada Jātaka Nidāna, salah satu dari riwayat hidup Buddha awal. Abhidharmasamuccaya mengatakan nidāna adalah “suatu pernyataan yang dibuat [oleh Sang Buddha] ketika beliau ditanyai, atau ini adalah pernyataan tentang suatu aturan dengan sebabnya.”[18] Yang pertama dari penjelasan ini agaknya menunjuk pada vyākaraṇa. Namun, ini mungkin menunjuk pada kisah-kisah demikian seperti ketika, sebagai contoh, Sang Buddha memberikan senyum yang membingungkan, dan ketika ditanyai oleh Yang Mulia Ānanda tentang alasan untuk hal ini, beliau menjawab dengan menceritakan suatu kisah dari masa lampau. Penjelasan kedua, yang menghubungkan nidāna dengan Vinaya, jelas sesuai dengan penggunaan awal yang langsung.

Terdapat, kenyataanya, banyak sumber kuno yang menghubungkan nidāna dan apadāna dengan Vinaya.[19] Nidāna adalah kisah awal mula untuk aturan-aturan, sedangkan apadāna adalah kisah-kisah lain yang dimasukkan untuk pendidikan, khususnya kisah-kisah yang membandingkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan ini dengan peristiwa-peristiwa pada masa kehidupan yang lampau. Śrāvakabhūmi, meskipun memasukkan apadāna dalam Sutta-Sutta, mengatakan bahwa nidāna adalah Vinaya, sedangkan upadeśa adalah Abhidhamma. Ini menyatakan bahwa perbedaan antara sembilan dan dua belas aṅga tidak harus merupakan suatu masalah pertumbuhan historis dari bahan sektarian, tetapi bahwa kategori berunsur sembilan memasukkan hanya Sutta-Sutta, sedangkan yang berunsur dua belas memasukkan Vinaya dan Abhidhamma juga.

Kerancuan klasifikasi ini mencerminkan cara yang mengagumkan Vinaya-Vinaya mencampurkan hagiografis (riwayat hidup orang suci) dan prosa. Sebagai contoh locus classicus [bacaan standar yang sering dikutip sebagai ilustrasi] untuk apadāna, Mahāpadāna Sutta, walaupun bersifat hagiografis, juga memasukkan beberapa bahan narasi yang sama dengan Vinaya, yang menyatakan ia dapat dianggap, bersama dengan Mahā Parinibbāna Sutta dan Catuṣpariṣat Sūtra, menempati posisi yang rancu antara Dhamma dan Vinaya. Tiga teks ini membentuk dasar bagi semua riwayat hidup Sang Buddha yang belakangan, seperti Mahāvastu yang terkenal dari Mahāsaṅghika Lokuttaravāda, sebuah teks yang sering menggunakan kata avadāna, memasukkan banyak avadāna dan kadang bernada agar ditunjuk sebagai Mahāvastu-avadāna.  Sebuah apadāna adalah sebuah kisah yang membentuk suatu perumpamaan atau kiasan; dengan kata lain, suatu kisah yang menunjuk pada realitas yang lebih besar di luar hanya peristiwa-peristiwa yang dicatat, khususnya, suatu kisah yang membentuk paradigma spiritual untuk diteladani. Dalam hal ini, kisah hidup Sang Buddha sendiri, “Apadāna Agung”, menetapkan bentuk untuk semua yang mengikuti. Kesejajaran antara kehidupan-kehidupan semua Buddha menandai tema dari pola yang berulang, pilihan etis yang berulang-ulang, untuk kebaikan atau kejelekan, yang diikuti oleh akibat-akibat yang tidak dapat dihindari, berputar-putar pada sepanjang kelahiran dan kematian dari berbagai zaman. Kita memiliki versi-versi dari kisah ini dalam beberapa turunan, masing-masing berbeda dengan yang lainnya dalam kelimpahan dari detail dan pembesaran sulaman yang mulia dan ajaib. Keterangan tambahan yang menakjubkan disorot pada antarhubungan antara kisah-kisah ini oleh tanda penerbit pada akhir Abhiniśkramana Sūtra, yang diterjemahkan di bawah judul The Romantic Legend of Sakya Buddha:

“Mungkin ditanyakan: ‘Dengan judul apa kitab ini disebut?’ di mana kita menjawab, Mahāsaṅghika menyebutnya ‘Mahāvastu’’”; Sarvāstivādin menyebutnya ‘Mahā Lalitavistara’; Kaśyapīya menyebutnya ‘Buddha-jātakanidāna’; Dharmaguptaka menyebutnya ‘Śakyamuni-buddhacarita’; Mahīśāsaka menyebutnya ‘Vinaya-piṭaka-mūla’.”[20]

Demikianlah masing-masing aliran memiliki versinya sendiri, yang hanyalah variasi pada tema yang sama. Abhiniśkramana Sūtra memasukkan beberapa pernyataan, mungkin oleh para penerjemah yang belakangan, pada beberapa dari variasi ini. Sebagai contoh, mengenai pertanyaan penting tentang seberapa jauh kuda Bodhisatta berjalan pada malam beliau meninggalkan istana; teks itu mengatakan dua league, Mahāsaṅghika mengatakan dua belas, tetapi Theravādin mengatakan seratus.[21] “Kisah Agung” Sang Buddha menjadi subjek perluasan hampir sama tidak terbatasnya dengan lingkaran samsara, dan tetapi bahkan dalam versi-versi yang paling rinci, ajaran-ajaran dasar, seperti Dhammacakkappavattana Sutta, berulang dalam bentuk yang hampir sama, seperti gumpalan kecil emas yang tercuci sepanjang arus sungai; arus itu sendiri terus-menerus berubah, walau tetap secara kasar aliran yang sama, tetapi gumpalan itu tetap tidak bernoda dan sangat lambat untuk berubah. Sebagai suatu gaya kesusasteraan, ini lagi-lgi dapat dibandingkan dengan beberapa aṅga lain yang telah kita bahas di atas. Aturan-aturan Pāṭimokkha yang membentuk inti Vinaya, sebagai contoh, dalam Vinaya-Vinaya yang ada, ditempelkan dalam kisah-kisah awal mula (nidāna). Tetapi sementara aturan-aturan hampir identik dalam semua Vinaya yang ada, kita menemukan banyak variasi; menyelidiki Bhikkhunī Vinaya Lokuttaravāda, saya terkejut menemukan bahwa kebanyakan kisah awal mula tidak mungkin berbagi unsur-unsur bersama. Kita telah mencatat suatu keadaan yang sejajar yang didapatkan dalam kasus syair-syair; kebanyakan kumpulan syair - Dhammapāda, Jātaka, Udāna – muncul dengan kisah-kisah latar belakang mereka sendiri, tetapi sementara kisah-kisah dan syair-syair mungkin berasal dari masa yang sama, adalah syair-syair yang sudah ditetapkan dalam bentuk yang sekarang lebih awal, menempel dalam suatu tubuh prosa dengan fleksibilitas yang berbeda.

4.2 Sutta, Geyya, Vyākaraṇa

Maka tidak ada alasan yang sangat kuat untuk menerima pandangan bahwa aṅga-aṅga hanyalah gaya sastra alih-alih tubuh-tubuh kitab yang diorganisasir. Banyak dari aṅga-aṅga yang belakangan dapat dihubungkan dengan cara yang sama dengan judul-judul teks-teks yang masih ada. Bahkan dalam kasus dari istilah-istilah tersebut yang bukan judul dari kitab-kitab yang berdiri sendiri, seperti vedalla dan abbhūtadhamma, teks-teks yang relevan secara wajar dan konsisten dikumpulkan bersama dalam kumpulan-kumpulan yang ada. Mereka telah dengan jelas menggunakan pengaruh struktural pada kanon-kanon yang ada, yang cenderung dikelompokkan bersama dalam kumpulan-kumpulan yang lebih besar. Tubuh-tubuh teks yang dikenali demikian secara alami akan berkembang ke dalam kitab-kitab yang berbeda.

Karena ini adalah kasusnya dengan aṅga-aṅga yang belakangan, tiga aṅga pertama juga mulanya telah menjadi kelompok-kelompok teks  yang dapat dikenali, bagian-bagian yang berbeda dalam suatu kerangka yang lebih besar. Mempertimbangkan konservatisme dari literatur agama pada umumnya, dan Buddhisme pada khususnya, sangat tidak mungkin bahwa tidak ada sisa-sisa dari struktur ini dipertahankan dalam kanon-kanon yang ada.

Terdapat alasan-alasan yang bagus untuk memperlakukan tiga aṅga pertama sebagai yang berbeda dari, dan lebih awal daripada, aṅga-aṅga yang belakangan. Yin Shun menunjukkan bahwa Mahā Suññatā Sutta, dalam versi Sarvāstivāda dan Theravāda, memberikan daftar hanya tiga yang pertama: sutta, geyya, vyākaraṇa.[22] Ia mengambil ini untuk menunjukkan bahwa tiga ini adalah secara historis yang paling awal. Mempertimbangkan kekonsistenan dengan mana teks-teks Theravāda memperlakukan aṅga-aṅga, kemunculan tiga aṅga itu sendiri dalam Mahā Suññatā Sutta sesungguhnya membutuhkan penjelasan. Terjemahan Tibet di sini memiliki daftar yang biasa dari dua belas, yang, seperti yang dicatat penerjemah Peter Skilling, membuktikan suatu tahap yang belakangan dalam perkembangan dalam aṅga-aṅga.[23] Di sini paragraf yang relevan dari teks Pali.

“Ānanda, tidak layak bagi seorang siswa untuk mengikuti seorang Guru untuk kepentingan sutta-sutta, geyya-geyya, and vyākaraṇa-vyākaraṇa.[24] Mengapa demikian? Selama waktu yang lama, Ānanda, kamu telah mempelajari ajaran-ajaran, mengingatnya, membacakannya secara verbal, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik dengan pandangan. Tetapi pembicaraan demikian seperti yang berhubungan dengan pelenyapan, seperti yang mendukung kebebasan dari rintangan-rintangan batin, dan membawa pada kejijikan, memudarnya, penghentian, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, Nibbana; yaitu, pembicaraan pada keinginan hal-hal kecil, tentang kepuasan, pengasingan, menjauhkan diri dari masyarakat, membangkitkan semangat, etika, samādhi, pemahaman, pembebasan, pengetahuan dan pandangan dari pembebasan – untuk pembicaraan demikian, seorang siswa seharusnya mengikuti seorang Guru bahkan jika ia diminta untuk pergi menjauh.”

Di sini tiga aṅga jelas menunjuk pada sekumpulan kitab yang telah terformalisasi. Dicatat kerancuan: ini adalah referensi khas pada pembelajaran formal atas Dhamma dalam kotbah-kotbah awal; pembelajaran didorong, tetapi bukan sebagai akhir itu sendiri. Bacaan-bacaan demikian, yang sangat umum, mungkin mendahului penyusunan Tipitaka di Sri Lanka, karena di sana Sangha memutuskan bahwa kitab muncul sebelum praktek.[25] Mereka tidak menemukan bacaan-bacaan demikian yang bersifat kritis atas posisi mereka sendiri; dalam kenyataanya sangat mengagumkan bahwa mereka mempertahankan sangat banyak bacaan yang secara tegas menempatkan praktek di atas kitab suci. Penyebutan hubungan erat Yang Mulia Ānanda dengan tiga aṅga di sini membangkitkan minat; Dhamma yang dipelajari olehnya adalah sutta, geyya, dan vyākaraṇa. Mempertimbangkan bahwa tradisi-tradisi menganggap Ānanda sebagai peran utama dalam membacakan Dhamma pada Konsili Pertama, ini adalah suatu indikasi bahwa Dhamma yang disusun di sana mungkin telah mengandung tiga aṅga ini.

Bukti yang lebih jauh datang dari Mahā Parinirvāṇa Sūtra Sanskrit, yang telah diterbitkan sebagai suatu versi lengkap yang telah direkonstruksi, dan suatu penggalan sebagian. Daftar dari dua belas aṅga muncul dalam versi lengkap dan sebagian, dan walaupun pembacaan berbeda sedikit, dalam kedua kasus tiga yang pertama muncul dalam bentuk turunan, sebagai kata-kata individual, sedangkan aṅga-aṅga sisanya dikelompokkan semuanya bersama dalam suatu kata majemuk yang panjang: sūtraṁ geyaṁ vyākaraṇaṁ gāthodānanidānavadānetivṛttakajātakavaipulyādbhutadharmopadeśāḥ.[26] Ini sangat tampak seakan-akan daftar awal mula dari tiga dilengkapi kemudian. Ciri khas yang persis sama muncul dua kali dalam suatu daftar Sanskrit dari dua belas aṅga dalam Śrāvakabhūmi dari Yogacārabhūmiśāstra oleh Asaṅga.[27] Teks ini kemudian beberapa kali memberikan hanya tiga yang pertama, dan kemudian hanya mengatakan bahwa daftar itu seharusnya diperluas seperti sebelumnya.[28] Kejelasan dari tiga yang pertama juga dinyatakan dalam cara Asaṅga berkomentar tentang ketiganya. Dalam Śrāvakabhūmi dan Abhidharmasamuccaya ia mengatakan geyya adalah “sutta-sutta yang membutuhkan penjelasan lebih jauh”, dan vyākaraṇa adalah “sutta-sutta yang telah dijelaskan sepenuhnya”.[29] Ini memperlakukan keduanya sebagai pasangan yang berhubungan erat; penjelasan itu sangat dekat pada penafsiran kita atas istilah-istilah ini.
« Last Edit: 14 April 2013, 09:38:00 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #15 on: 14 April 2013, 08:42:52 PM »
Kasus lain yang menarik adalah dalam dua karya Pali tentang penafsiran tekstual, Netti dan Peṭakopadesa. Kedua karya ini menganggap empat kebenaran mulia sebagai kunci dan inti dispensasi Sang Buddha, dengan menunjuk semua ajaran lain kembali padanya. Peṭakopadesa dengan eksplisit menghubungkan Dhammacakkappavattana Sutta dan aṅga-aṅga:

Antara malam pencerahan-Nya dan malam Parinibbāna-Nya tanpa kemelekatan, apa pun yang diucapkan oleh Yang Dirahmati – sutta, geyya, vyākaraṇa, gāthā, udāna, itivuttaka, jātaka, abbhūtadhamma, vedalla – semua yang adalah Roda Dhamma (dhammacakka) yang diputar. Tidak ada dalam ajaran Sang Buddha, Yang Dirahmati, di luar Roda Dhamma. Dalam semua sutta-Nya, dhamma yang mulia seharusnya dicari. Dalam pengertian ini terdapat lima hal yang berakhir dengan “cahaya”.[30]

Karya-karya ini disusun pada suatu masa ketika kanon lebih kurang terorganisasi seperti sekarang, dengan menunjuk bagian-bagian demikian seperti “Saṁyutta Nikāya”, dst., dan menggunakan istilah khusus Abhidhamma. Peṭakopadesa menyebutkan aṅga yang berunsur sembilan hanya dua kali,[31] Netti tidak sama sekali. Ini sedikit mengherankan bagi karya-karya yang menjelaskan dalam sangat panjang bagaimana menganalisis kotbah-kotbah.

Peṭakopadesa memperlakukan sutta sangat luas, mencakup semua ajaran. Salah satu dari tujuan utama karya itu adalah untuk menjelaskan berbagai prinsip dengan cara mana suatu kotbah dapat ditafsirkan dengan ajaran-ajaran yang ditemukan dalam kotbah-kotbah lain. Setelah menjelaskan beberapa prinsip demikian, ia sering kali mengatakan bahwa gāthā-gāthā seharusnya ditaksir dengan gāthā-gāthā, vyākaraṇa-vyākaraṇa seharusnya ditaksir dengan vyākaraṇa-vyākaraṇa.[32] sementara ia tidak eksplisit, ini terlihat sepertinya tiga aṅga pertama, walaupun kata aṅga tidak digunakan; gāthā adalah sebuah sinonim untuk geyya, dan geyya sering dijelaskan sebagai “dengan gāthā-gāthā”. Pengelompokan yang sama muncul dalam Netti, walau hanya sekali.[33]

Tidak segera jelas apa yang bacaan Peṭakopadesa maksud. Mungkin, seperti yang dinyatakan terjemahan Nanamoli, bacaan itu mengatakan bahwa sutta, keseluruhan ajaran, dapat dibagi ke dalam syair (gāthā) dan prosa (vyākaraṇa). Ini didukung oleh pernyataan seperti: “Namun demikian, sampai pada poin ini, seluruh sutta – apakah gāthā atau vyākaraṇa – tidak [dikutip].”[34] Tetapi ini tidak mencerminkan makna awal aṅga-aṅga sangat dekat. Perlakuan gāthā dan vyākaraṇa sebagai bagian dari sutta mengingatkan pada perlakuan Asaṅga atas geyya dan vyākaraṇa yang disebutkan di atas. Ini dengan jelas berasal dari suatu masa ketika cakupan sutta telah diperluas dari pengertian satu bagian dari ajaran menjadi pengertian semua ajaran.

Terdapat setidaknya satu bacaan yang lebih dekat pada penggunaan kita, dan bahkan melibatkan saṁyutta mātikā. Peṭakopadesa menjelaskan enam “jalan masuk” (otaraṇa, lebih banyak tentang ini di bawah) – kelompok-kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, alat indera, kemampuan-kemampuan, kebenaran-kebenaran, kemunculan bergantungan – dan mengatakan bahwa “tidak ada sutta atau gāthā atau vyākaraṇa di mana satu atau yang lainnya dari enam dhamma ini tidak kelihatan.”[35] Ñāṇamoli menerjemahkan bacaan ini dengan berbeda, dengan mengatakan “tidak ada Benang [sutta], apakah syair [gāthā] atau pemaparan prosa [vyākaraṇa]...”[36]. Ini dapat dibenarkan mempertimbangkan penggunaan yang lebih dari biasanya dari tiga istilah ini dalam teks ini seperti yang telah kita catat di atas, tetapi edisi Peṭakopadesa saya memiliki “suttaṁ vā gāthā vā byākaraṇaṁ vā.” Mempertimbangkan kerusakan teks yang sangat buruk, tidak bijaksana untuk membuat terlalu banyak rincian demikian. Tetapi penyebutan-penyebutan ini menyatakan bahwa Peṭakopadesa mengingat suatu masa ketika teks-teks, yang semuanya merupakan penjelasan dari kotbah pertama, terdiri dari sutta-sutta, gāthā-gāthā, dan vyākaraṇa-vyākaraṇa yang berhubungan dengan topik-topik dari saṁyutta mātikā.

Urutan dari tiga aṅga pertama hampir selalu tetap, sedangkan faktor-faktor yang belakangan menunjukkan banyak variasi dalam isi dan urutan.[37] Ini adalah petunjuk lain bahwa tiga pertama adalah lebih awal. Sebagai contoh Vinaya Dharmaguptaka memberikan daftar Kśudraka Āgama (tidak ada lagi) sebagai: jātaka, itivuttaka, nidāna, vedalla, abbhūtadhamma, avadāna, upadeśa, aṭṭhakavagga, dhammapāda, pārāyana (? meragukan, mungkin “berbagai masalah”), uragavagga. Ini adalah suatu percampuran dari aṅga-aṅga yang belakangan dengan isi yang ada dari Khuddaka Nikāya Theravāda, termasuk beberapa bagian yang sekarang dimasukkan dalam Sutta Nipāta.

Jadi tiga aṅga pertama adalah yang paling awal, atau setidaknya adalah yang pertama dikembangkan sebagai kanonik, sedangkan aṅga-aṅga berikutnya perlahan-lahan diperluas. Namun, tidak semua jelas persis apa yang mereka tunjukkan. Di sini sedikit penyelidikan dibutuhkan.

Sebagai salah satu dari tiga aṅga, sutta bermakna hanya  satu bagian dari ajaran dan tidak dapat menjadi istilah umum untuk semua kotbah, seperti yang ia maksudkan belakangan. Makna akar sutta adalah “benang”, dan ini secara menyolok digunakan dalam pengertian kiasan seutas benang di mana manik-manik diuntai. Saya pikir sutta sebagai sebuah aṅga mencerminkan kiasan ini dan bermakna “pernyataan ajaran dasar”. Ini mirip dengan makna dalam konteks Brahmanis dan Jain. Sebuah gema dari makna ini bertahan dalam Vinaya. Kumpulan aturan yang membentuk Pāṭimokkha disebut, dalam Pāṭimokkha itu sendiri, sutta. Analisis terperinci dari aturan-aturan itu disebut sutta vibhaṅga (“analisis dari sutta”). Bahan vibhaṅga ini secara gaya mirip dengan Vibhaṅga Abhidhamma dan mungkin berasal dari periode yang sama.

Risalah awal tentang metode tafsir, Netti, memberikan suatu penjelasan yang aneh untuk kata sutta dalam empat rujukan besar, yang diajarkan oleh Sang Buddha sesaat sebelum Beliau wafat.[38] Rujukan besar ini menyatakan bahwa jika bhikkhu, guru, silsilah, atau tradisi mana pun, betapa pun terpelajarnya dan terhormatnya, membuat pernyataan apa pun tentang Dhamma, pernyataan itu harus dengan hati-hati dibandingkan dengan Sutta-Sutta dan Vinaya untuk memastikan apakah ini dapat diterima sebagai ajaran Sang Buddha, atau seharusnya ditolak. Sekarang dalam Netti, sebagai suatu karya yang didedikasikan pada analisis kesusasteraan dan tekstual, kita akan mengharapkan bahwa sutta di sini akan dijelaskan sebagai Sutta Piṭaka. Tetapi tidak – sutta dijelaskan sebagai empat kebenaran mulia.[39] Ini adalah, tentu saja, isi ajaran utama dari Dhammacakkappavattana Sutta, dan saya yakin kita memiliki suatu relik dari suatu makna awal dari sutta: pernyataan-pernyataan ajaran dasar, khususnya kotbah pertama. Saya pikir Netti terutama di sini, dan bahwa ketika Sang Buddha mengatakan pada kita untuk mengambil sutta-sutta sebagai otoritas kita dalam menentukan apa yang sebenarnya diucapkan Sang Buddha, Beliau bermaksud terutama kotbah-kotbah inti yang sekarang ditemukan dalam bagian-bagian utama Saṁyutta.

Aṅga kedua, geyya, lebih sedikit sulit ditafsirkan. Ini secara konsisten dianggap sebagai campuran prosa dan syair, dan Yogacārabhūmiśāstra dan komentar Theravāda mengidentifikasinya dengan Sagāthāvagga dari Saṁyutta Nikāya. Tetapi, terdapat geyya-geyya yang ditemukan di luar kumpulan ini juga, termasuk sedikit dalam saṁyutta-saṁyutta yang bersifat ajaran.

Kata vyākaraṇa[40] berarti “jawaban” (ia juga dapat berarti “tata bahasa” dan “ramalan”, tetapi makna-makna ini tidak berlaku di sini). Ia terutama digunakan dalam pengertian suatu jawaban yang bersifat penjelasan pada sebuah pertanyaan ajaran.[41] Makna dari vyākaraṇa sangat jelas dalam Abyākata-saṁyutta, saṁyutta tentang “pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab”, apa yang tidak dapat “di-vyākaraṇa-kan”. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab, tentu saja, pertanyaan-pertanyaan seperti “apakah Tathāgata ada setelah kematian” dan lain sebagainya. Tetapi apa yang dinyatakan (vyākata) Sang Buddha adalah empat kebenaran mulia.[42] Ini sendiri menyatakan bahwa kita mencari vyākaraṇa-vyākaraṇa dalam Saṁyutta, kumpulan yang dibangun pada tangga empat kebenaran mulia. Beberapa kotbah menyajikan kita dengan suatu rangkaian numerik dari penyelidikan-penyelidikan dhamma: satu pertanyaan (pañha), satu ringkasan (uddesa), satu jawaban penjelasan (vyākaraṇa).[43] Di sini makna vyākaraṇa secara khusus jelas. Hanya kadangkala kita bertemu dengan vyākaraṇa dalam suatu makna yang lebih umum dari “pernyataan”, tanpa secara khusus menjadi jawaban pada sebuah pertanyaan; namun bahkan di sini, ia dapat kenyataannya suatu jawaban, hanya konteksnya tidak membuat ini jelas.[44] Dalam Aṅguttara kita diberitahukan tentang empat jenis “jawaban (vyākaraṇa) pada pertanyaan-pertanyaan”: menjawab dengan pernyataan yang pasti, dengan analisis (vibhaṅga), dengan menanyakan suatu pertanyaan sebagai jawaban, dan dengan mengesampingkan.[45] Perhatikan bahwa sebuah vibhaṅga, yang adalah sebuah kelompok kunci dari ajaran-ajaran doktrinal, di sini dijelaskan sebagai suatu jenis dari vyākaraṇa.

Pengertian umum atas vyākaraṇa ini sangat terkenal, tetapi peranan dari vyākaraṇa sebagai penjelasan dari sutta-sutta jarang diakui. Namun, penilaian Dutt mirip. Ia menyatakan bahwa “Sutta-Sutta di mana Sāriputta, Mahākaccāyana, atau Buddha memberikan pemaparan rinci dari empat kebenaran mulia atau jalan mulia berunsur delapan, atau tentang ajaran mana pun dari Buddhisme atau tentang apa pun perkataan singkat Buddha, seharusnya dimasukkan [sebagai vyākaraṇa].”[46]

Abhidharmasamuccaya oleh Asaṅga memiliki ini untuk mengatakan:

Apakah vyākaraṇa? Ini adalah pemaparan dari berbagai kehidupan saat ini dari para siswa mulia dalam hubungan dengan masa lampau jauh mereka pada lokasi-lokasi yang berbeda.  Atau ini adalah suatu sutta yang telah dijelaskan sepenuhnya, karena ia adalah pemaparan terbuka tentang suatu makna yang mendalam.[47]

Makna pertama di sini seharusnya apadāna alih-alih vyākaraṇa. Tetapi yang kedua adalah pada jalur yang benar: vyākaraṇa adalah penjelasan terperinci atas poin-poin yang dinyatakan secara singkat dalam sutta-sutta. Ini mengejutkan bahwa penafsiran ini tidak lebih luas diterima, karena bentuk ini secara mutlak adalah ciri khas tradisi kesusasteraan India secara umum. Ungkapan yang singkat, samar-samar dari karya-karya seperti, katakanlah, Yoga Sūtra dimaksudkan untuk dijelaskan melalui suatu tanya jawab guru-murid. Gaya kesusasteraan ini ditemukan dalam sebagian besar kotbah-kotbah yang ada. Jarang kita menemukan suatu pemaparan sepanjang apa pun melampaui pernyataan-pernyataan ajaran dasar yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan langsung.

Secara khusus, kita jarang menemukan suatu ajaran siswa dalam cara ini. Para siswa hampir selalu mengajar dalam bentuk suatu tanya jawab antara dua orang bhikkhu, atau antara seorang bhikkhu dan Sang Buddha, atau ajaran, walau diberikan oleh seorang bhikkhu, diungkapkan dalam bentuk tanya jawab “retoris”. Terdapat sedikit pengecualian; tetapi mereka kadangkala hanya membuktikan aturan itu. Dalam satu kotbah Majjhima Yang Mulia Sāriputta melihat Yang Mulia Rāhula duduk bermeditasi dan menasehatinya: “Kembangkanlah ānāpānasati, Rāhula! Ketika ia dikembangkan dan dibuat banyak, ānāpānasati berbuah besar dan bermanfaat.” Ini adalah suatu sutta langsung; dan ini adalah kutipan langsung dari Saṁyutta. Penghubungan ajaran-ajaran ini oleh para siswa dengan vyākaraṇa sepaham dengan Yogacārabhūmiśāstra yang memasukkan bagian “Yang Diucapkan oleh para Siswa” dalam aṅga vyākaraṇa.

Di sini adalah suatu contoh bagus dari vyākaraṇa:

Pada suatu saat, banyak bhikkhu senior yang berdiam di Macchikāsaṇḍa, di Hutan Ambataka. Sekarang pada saat itu, ketika para bhikkhu senior telah kembali dari berkeliling mengumpulkan dana makanan, setelah makan mereka berkumpul dalam paviliun dan sedang duduk bersama ketika percakapan ini muncul: “Teman-teman, ‘belenggu-belenggu’ dan ‘hal-hal yang membelenggu’: apakah hal-hal ini berbeda dalam makna dan juga berbeda dalam ungkapan, atau apakah mereka satu dalam makna dan berbeda hanya dalam ungkapan?”

Beberapa bhikkhu senior menjawab (vyākaraṇa) demikian: “Teman-teman, ‘belenggu-belenggu’ dan ‘hal-hal yang membelenggu’ adalah berbeda dalam makna dan juga berbeda dalam ungkapan.” Tetapi beberapa bhikkhu senior menjawab demikian: “Teman-teman, ‘belenggu-belenggu’ dan ‘hal-hal yang membelenggu’ adalah sama dalam makna dan berbeda hanya dalam ungkapan.”[48]

Dalam kasus ini para bhikkhu senior beralih kepada Citta sang perumah tangga, yang menjelaskan bagaimana keduanya sesungguhnya berbeda dalam makna:

“... mata bukan belenggu dari bentuk-bentuk yang dapat dilihat, ataupun bentuk-bentuk yang dapat dilihat bukanlah belenggu dari mata; tetapi alih-alih keinginan dan nafsu yang muncul di sana dengan bergantung pada keduanya – itulah belenggu di sana.”

Sekarang, saya pikir penggunaan vyākaraṇa dalam bacaan-bacaan demikian persis apa yang dimaksud aṅga vyākaraṇa. Dengan jelas Peṭakopadesa berpikir sepanjang garis yang sama, karena ia menunjuk pada kotbah ini juga “dalam Citta-saṁyutta” sebagai vyākaraṇa.[49] Perhatikan bahwa jawaban itu diungkapkan dalam istilah enam alat indera; Citta menyesuaikan suatu sutta khusus dari Saḷāyatana-saṁyutta (SN 35.109/SA 239) untuk membuat vyākaraṇa-nya.

Terdapat beberapa kerancuan tentang batasan persis dari bentuk vyākaraṇa, karena kehadiran yang hampir di mana-mana dari bentuk “pertanyaan retoris”. Jika kita secara ketat menerima hanya kotbah-kotbah dengan tanpa pertanyaan sama sekali sebagai sutta-sutta, kita ditinggalkan hampir tidak ada; bahkan Dhammacakkappavattana Sutta memiliki ciri khas satu atau lebih pertanyaan dalam beberapa dari versinya. Oleh sebab itu, kita akan menghitung kotbah-kotbah yang sederhana, dengan sejumlah kecil pertanyaan retoris, sebagai sutta-sutta, dan kotbah-kotbah yang lebih kompleks, dengan serangkaian pertanyaan, sebagai vyākaraṇa-vyākaraṇa. Ini jelas menyisakan kita dengan beberapa wilayah abu-abu, yang hanya diharapkan; tetapi, kita biasanya dapat membedakan dengan baik dan siap antara kedua jenis itu.
« Last Edit: 14 April 2013, 09:53:22 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #16 on: 14 April 2013, 08:59:01 PM »
4.3 Tiga Aṅga dan Kotbah-Kotbah Pertama

Marilah kita mempertimbangkan lagi kotbah-kotbah pertama. Ini jatuh ke dalam tiga pembagian. Kotbah pertama, Dhammacakkappavattana Sutta, adalah teks akar yang menetapkan pernyataan ajaran yang paling dasar. Kotbah yang kedua dan ketiga adalah serupa satu sama lain dan termasuk bersama-sama dalam pembagian kedua. Keduanya adalah pemaparan yang lebih rinci dari gagasan-gagasan yang disebutkan secara singkat dalam kotbah pertama: komentar-komentar pertama. Keduanya menekankan suatu peralatan kesusasteraan baru. Dhammacakkappavattana Sutta hampir seluruhnya diungkapkan sebagai suatu pernyataan ajaran yang langsung. Kotbah kedua dan ketiga menekankan suatu bentuk tanya jawab. Walau kadangkala ini murni bersifat retoris, dalam kotbah kedua para bhikkhu benar-benar menjawab; dengan demikian untuk pertama kalinya kita mendengar suara-suara para siswa berdampingan dengan Sang Buddha. Pembagian ketiga adalah Permohonan Brahmā, yang memperkenalkan bentuk kesusasteraan lainnya, yang bercampur dalam prosa dan syair.

Jadi kita dapat menyimpulkan ciri khas utama dari tiga aṅga sebagai berikut:

Tabel 4.1 Tiga Aṅga


Sutta
Vyākaraṇa
Geyya
Isi
Pernyataan ajaran dasar
Pemaparan terperinci
Inspirasional/Bersifat membangkitkan keyakinan
Gaya
Prosa yang bersifat pernyataan
Prosa yang bersifat pertanyaan
Campuran prosa dan syair
Pembicara
Hanya Sang Buddha
Sang Buddha dan/atau para siswa
Sang Buddha, para siswa, dan yang lainnya
Konteks
Selalu bersifat monastik
Biasanya bersifat monastik
Biasanya dengan orang awam atau para dewa, sering bersifat Brahmanis
Contoh
Dhammacakkappavattana
Anattalakkhaṇa
Permohonan Brahmā

4.4 Aṅga-Aṅga dan Veda-Veda

Kita sekarang telah menemukan landasan yang cukup untuk melihat hubungan antara struktur berunsur tiga ini dan tiga Veda. Dhammacakkappavattana Sutta, seperti Ṛg Veda, adalah teks sumber utama. Geyya dan vyākaraṇa, seperti Sāman dan Yajur Veda, adalah bersifat sekunder dan turunan. Kita telah melihat bagaimana aṅga-aṅga berlipat tiga – 3, 9, 12 – seperti halnya literatur Veda yang berlipat tiga – 3, 6, 12. Kita juga telah melihat aṅga berunsur dua belas muncul dalam kitab-kitab Jain. Setelah terputusnya secara efektif sistem aṅga, angka tiga masih dasar pada kitab-kitab Buddhis seperti Tripitaka, “Tiga Keranjang”. Istilah ini digunakan dalam semua tradisi, walaupun kenyataannya bahwa hanya kanon Pali secara penuh makna terstruktur ke dalam tiga bagian. Maka jelas, gagasan Tripitaka mendapatkan suatu daya tarik pada pikiran umat Buddha melampaui hanya suatu sistem pengelompokan.

Hubungan-hubungan lain antara Veda-Veda dan kitab-kitab Buddhis juga dapat dilihat. Teks-teks Buddhis dikelompokkan dalam vagga-vagga dari biasanya sepuluh teks; Ṛg Veda dikelompokkan dalam vagga-vagga dari kira-kira sepuluh baris. Judul vyākaraṇa muncul dalam Veda berunsur enam dan dua belas, tetapi di sini ia berarti “tata bahasa”; tetapi ia juga muncul dalam aṅga-aṅga Jain di mana ia berarti “jawaban”. Kita juga menemukan istilah suttaṅga sejajar dengan vedaṅga; sebagai tambahan istilah suttanta menggemakan vedanta.

Catatan Kaki:

[1] Sembilan aṅga muncul dalam Vinaya Mahāsaṅghika (T № 1425, p. 227b), dalam Saṅgīti Sūtra (T № 12, p. 227b), dalam Itivuttaka (T № 765, p. 684a and 697c), dalam Dharmasaṅgīti Sūtra (T № 761, p. 612a), dalam Saddharmapuṇḍarika Sūtra (T № 262, p. 7c (walaupun ini tampaknya suatu kumpulan yang berbeda)), dalam Dharmasaṅgraha (T № 764, p. 661a), dan dalam Daśavihāravibhāsa (T № 1521, p. 19b). Terima kasih saya kepada Venerable Anālayo untuk informasi ini.

[2] Lamotte (1976), pg. 144.

[3] Beberapa referensi dalam Lamotte (1976), pp. 161, 162.

[4] DN 27/DA 5/T № 10/MA 154/EA 40.1/Skt. Dalam referensi ini dan berikutnya saya tidak memberikan detail-detail dari teks Sanskrit. Mereka dapat ditemukan pada tabel yang berhubungan pada http://suttacentral.net/. Saya menghilangkannya karena ini panjang dan terperinci, dan hanya berhubungan pada sedikit sarjana, yang dapat dengan mudah menemukannya melalui SuttaCentral bagaimanapun juga.

[5] DN 26/DA 6/MA 70

[6] Boin-Webb, pg. 179.

[7] Śrāvakabhūmi, pg. 230.

[8] MN 83.21/MA 67/EA 1/EA 50.4/T № 152.87/T № 211, DN 19.61/DA 3/T № 8/Skt.

[9] DN 14.1.17/DA 1/T № 2/T № 3/T № 4/EA 48.4/Skt.

[10] AN 4.127/MA 32*/EA 25.3*.

[11] MN 123.3.

[12] MA 32.

[13] MN 43/MA 211, MN 44/MA 44; versi-versi ini berbeda dalam beberapa pertanyaan dan rincian, tetapi tidak ada perbedaan sektarian.

[14] Segera sebelum dua Vedalla adalah sekelompok dari tiga kotbah yang muncul bersama dan dalam urutan yang sama dalam kedua Majjhima: MN 77/MA 207 Mahāsakaludāyin; MN 79/MA 208 Cūḷsakaludāyin; MN 80/MA 209 Vekhanassa. (MN 78/MA 179 Samaṇamaṇḍikā, gugur karena ia memang berada antara “Mahā” dan “Cūḷa” Sakaludāyin Sutta, jelas suatu penyisipan belakangan.) Kelompok dari tiga dan dua Vedalla Sutta mungkin kelompok yang sudah ada yang dibawa ke dalam Majjhima.

[15] Boin-Webb, pg. 180.

[16] Gnoli, Pt. 1, pg. xix.

[17] Boin-Webb, pg. 180.

[18] Boin-Webb, pg. 179.

[19] Dibahas dalam Matsumura.

[20] Beal (1985), pg. 386–7; terjemahan yang diperbaiki mengikuti Lamotte, pg. 177.

[21] Beal (1985), pg. 140.

[22] MN 122.20/MA 191.

[23] Pg. 957

[24] Terdapat beberapa perbedaan pembacaan. Saya tidak memiliki berbagai edisi Pali yang tersedia, maka saya berterima kasih kepada Venerable Anālayo untuk pembacaan-pembacaan berikut. Edisi PTS memiliki: sutta geyya veyyākaraassa hetu; edisi Burma dan Sinhala memiliki: sutta geyya veyyākaraa tassa hetu; edisi Siam memiliki: suttageyyaveyyākaraassa sotu. Versi PTS dengan demikian tampaknya hanya memiliki dua aṅga, di mana penjelasan siswa itu menginginkan dari Sang Tathāgata (cp. Terjemahan oleh Horner: “... untuk kepentingan suatu pemaparan dari kotbah-kotbah yang adalah dalam prosa dan dalam prosa dan syair”).  Tetapi tata bahasanya aneh: frase ini kelihatannya agaknya telah dibentuk dengan kontraksi dari pembacaan Burma/Sinhala (suttageyya veyyākara’ assa hetu). Versi Mandarin membaca 正經.歌詠.記說故. Ini menunjukkan bahwa aslinya membaca hetuḥ, bukan sotuṁ seperti yang diusulkan oleh edisi Siam, Sotu (“untuk mendengarkan tentang...”) lebih secara langsung; secara tata bahasa pembentukan kata majemuk dalam edisi Siam juga lebih secara langsung, membawa saya untuk mencurigai para penyunting Thai telah menormalisasi suatu bacaan yang sulit. Versi Mandarin tidak memberikan petunjuk pada masalah tata bahasa dari bacaan ini. Dalam setiap kasus, versi Mandarin dan kebanyakan versi Pali memiliki tiga aṅga, dan kehadiran yang nyata dari dua aṅga dalam PTS tampaknya dengan mudah dapat dijelaskan.

[25] Lihat garis waktu dalam pendahuluan Ñāṇamoli’s dalam The Path of Purification, p. xi, yang menunjuk pada Komentar Aṅguttara, i.92f.

[26] Waldschmidt (1950, 1951) 40.62; Waldschmidt (1968).

[27] Śrāvakabhūmi, pg. 154, 232.

[28] Śrāvakabhūmi, pg. 154, 184, 220, 226.

[29] Neyyattha dan nītattha; Śrāvakabhūmi pg. 228; Abhidharmasamuccaya pg. 179, tetapi lihat komentar de Jong’s, pg. 295.

[30] Peṭakopadesa 1.7. Dalam kalimat terakhir saya menerima perbaikan Ñāṇamoli pada ālokapañcaka, yang menunjuk pada rangkaian lima istilah dalam Dhammacakkappavattana Sutta yang menjelaskan realisasi Sang Buddha atas kebenaran-kebenaran mulia.

[31] Peṭakopadesa 1.7, 1.22.

[32] Peṭakopadesa 1.8, 1.9, 1.12, 4.41, 5.53, 5.54, 7.105.

[33] Netti 89.

[34] Peṭakopadesa 1.12.

[35] Peṭakopadesa 5.53.

[36] Ñāṇamoli (1964), pg. 133.

[37] Namun terdapat beberapa variasi. Menurut Lamotte, Saddharmapuṇḍarīka Sūtra memiliki: sūtra, gāthā, itivuttaka, jātaka, abbhūtadhamma, nidāna, aupamya, geya, upadeśa.

[38] DN 16.4.7ff./DA 2/T № 5/T № 6/T № 7/T № 1451/Skt.

[39] Netti 122

[40] Dalam Pali biasanya dieja veyyākaraa atau byākaraa.

[41] Misalnya DN 11.85/DA 24/P 5595, SN 12.12/SA 372, SN 12.32/MA 23/SA 345/Skt, SN 12.70/SA 347, SN 35.116/SA 234, SN 35.204/SA 1175, SN 41.1/SA 572, MN 32/MA 184/EA 37.3/T № 154.16, MN 44/MA 210, MN 56.6/MA 133/Skt, MN 133.21/MA 165, AN 3.21, AN 6.61/SA 1164.

[42] DN 9.29/DA 28, DN 29.32/DA 17, MN 63.9/MA 221/T № 94, SN 16.12/SA 905/SA2 121.

[43] SN 41.8/SA 574, AN 10.27/EA 46.8/SA 486–489*, AN 10.28.

[44] Misalnya DN 18.4/DA 4/T № 9, AN 5.93, AN 6.62/MA 112/T № 58.

[45] AN 4.42/T № 1536.8.

[46] Dutt, pg. 225.

[47] Boin-Webb, pg. 179 (disesuaikan mengikuti catatan de Jong, pg. 295); Śrāvakabhūmi pg. 228 adalah sama, hanya tanpa frase terakhir.

[48] SN 41.1/SA 572.

[49] Peṭakopadesa 10.
« Last Edit: 14 April 2013, 10:06:21 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #17 on: 05 May 2013, 08:08:39 PM »
Bab 5
Aṅga dalam Nikāya-Nikāya & Āgama-Āgama

Kita sekarang kembali untuk menyelidiki pernyataan Yin Shun, yang berdasarkan pada Yogacārabhūmiśāstra, bahwa Saṁyukta Āgama terdiri dari tiga aṅga. Ia mengidentifikasi sutta sebagai kumpulan ajaran yang pokok, geyya sebagai Sagāthāvagga bersama dengan Bhikkhu-saṁyutta (yang sebenarnya hanya suatu bab yang nyasar dari Sagāthāvagga), dan vyākaraṇa sebagai pemaparan pelengkapnya. Identifikasi atas Sagāthāvagga adalah bersifat langsung; komentar Pali, juga, mengatakan bahwa geyya adalah campuran prosa dan syair, “khususnya keseluruhan Sagāthāvagga dari Saṁyutta Nikāya”. Tetapi, penafsiran sutta dan vyākaraṇa tidak persis sepanjang garis yang kita pertimbangkan di atas.

Satu masalah dengan penafsiran Yogacārabhūmiśāstra adalah bahwa ia tidak menghubungkan sangat dekat pada makna akar dari istilah sutta dan vyākaraṇa. Dalam kenyataannya, tidak semuanya jelas mengapa istilah vyākaraṇa dipilih untuk kumpulan ini. Poin lainnya adalah bahwa komentar-komentar Pali memasukkan Abhidhamma Piṭaka di bawah vyākaraṇa. Sementara ini jelas anakronistik, ini tidak begitu jauh dari cirinya, karena Abhidhamma yang paling awal didasarkan pada teks-teks yang dipilih sebagian besar dari Saṁyutta; namun, ini diambil dari kumpulan ajaran yang pokok, bukan dari bab-bab pelengkap. Ini bahkan lebih jelas dalam bagian dari Dharmaskandha yang digali di Gilgit, yang seringkali mengutip dari teks-teks ajaran yang utama seperti Nidāna Saṁyukta, seringkali dalam ungkapan yang hampir identik dengan versi Pali, dan biasanya menunjuk pada kotbah-kotbah yang demikian sebagai vyākaraṇa.[1] Masalah lain adalah bahwa pendapat Asaṅga dalam Yogacārabhūmiśāstra tidak kelihatannya sepaham di sini dengan pernyataannya dalam Abhidharmasamuccaya. Kita telah melihat bahwa ia menjelaskan vyākaraṇa sebagai kehidupan-kehidupan lampau para siswa, atau kotbah-kotbah “yang telah dijelaskan sepenuhnya”. Tidak ada satu pun dari hal ini sangat sesuai dengan aṅga vyākaraṇa yang dinyatakan dalam Yogacārabhūmiśāstra, tetapi setidaknya penafsiran kedua sangat sesuai dengan GIST.

Dengan melihat lebih dekat mengungkapkan bahwa dalam setidaknya beberapa kasus perbedaannya tidak sangat besar. Sebagai contoh, Rādha- dan Diṭṭhi-saṁyutta mengikuti setelah Khandha-saṁyutta dalam kedua kumpulan. Keduanya terdiri dari serangkaian pertanyaan dan jawaban tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan. Versi Mandarin menambah kelompok lainnya yang sama, yang disebut “Meninggalkan”, pada kumpulan ini. Saṁyutta-saṁyutta kecil ini telah diperpanjang dari beberapa kotbah dari Khandha-saṁyutta. Kotbah-kotbah ini dihitung sebagai vyākaraṇa berdasarkan penafsiran Yin Shun mengikuti Yogacārabhūmiśāstra; dan mereka juga adalah vyākaraṇa dalam perhitungan saya. Anuruddha-saṁyutta adalah suatu kasus yang sama, yang menjadi tambahan singkat pada Satipaṭṭhāna-saṁyutta.

Perhatikan bahwa saṁyutta-saṁyutta kecil ini berhubungan langsung pada empat kebenaran mulia: kelompok unsur kehidupan muncul di bawah kebenaran tentang penderitaan; satipaṭṭhāna muncul di bawah kebenaran tentang sang jalan. Sekarang, jika kita menyelidiki Saṁyutta Sarvāstivāda berdasarkan rekonstruksi Yin Shun, aṅga sutta didasarkan pada empat kebenaran mulia, tetapi aṅga vyākaraṇa tidak. Jadi mengapa saṁyutta-saṁyutta ini tidak menemukan rumah dalam aṅga sutta? Terdapat saṁyutta-saṁyutta lain yang juga sesuai dengan rapi dalam empat kebenaran mulia, tetapi menurut perhitungan Yin Shun mereka muncul dalam aṅga vyākaraṇa. Sebagai contoh, Sarvāstivāda mempertahankan sebuah Kammavipāka-saṁyutta. Ini mengandung sekitar lima puluh kotbah tentang sepuluh jalan perbuatan bermanfaat. Tidak ada padanan Theravādin dalam Saṁyutta, tetapi kebanyakan kotbah itu ditemukan berkelompok bersama-sama dalam Aṅguttara sepuluh. Ini dapat dengan jelas dijelaskan sebagai sebuah saṁyutta yang telah dipindahkan dari Saṁyutta ke Aṅguttara. Menurut Yin Shun, ini termasuk aṅga vyākaraṇa. Tetapi pokok bahasan tentang kamma, dan tiga akar yang tidak bermanfaat yang disebutkan dalam konteks ini, termasuk kebenaran mulia kedua. Berdasarkan GIST, kotbah-kotbah ini telah disisipkan dalam skema empat kebenaran mulia Saṁyutta kuno. Hal yang sama, Anamatagga-saṁyutta tentang ketidakmampuan untuk mengetahui awal samsara, dengan bagian pengulangannya yang berulang-ulang tentang “makhluk-makhluk yang dihalangi oleh ketidaktahuan dan dibelenggu oleh keinginan”, sesuai di bawah kebenaran mulia kedua. Atau lagi, jhāna jelas sesuai di bawah kebenaran keempat, yang tidak berkondisi di bawah kebenaran ketiga, tetapi ini dianggap sebagai vyākaraṇa. Lebih masuk akal untuk menganggap kotbah-kotbah atau kumpulan yang demikian mulanya telah dikumpulkan di bawah arus utama kumpulan empat kebenaran mulia dari sutta-sutta dan vyākaraṇa-vyākaraṇa.

Evolusi aṅga sutta-sutta dan vyākaraṇa-vyākaraṇa mengikuti suatu proses yang alami. Sang Buddha sangat sering mengajarkan ajaran-ajaran dasar. Ini dikumpulkan pada masa awal. Ukuran kumpulan sutta itu bersifat membatasi dirinya sendiri, karena ini hanya sangat banyak variasi yang mungkin tentang ajaran-ajaran dasar. Penyelidikan-penyelidikan ke dalam makna dari teks-teks ini berlanjut secara tetap. Lapisan awal yang sangat penting dari teks-teks yang bersifat penjelasan adalah vibhaṅga, suatu jenis khusus vyākaraṇa yang menyediakan kunci untuk memahami kerangka ajaran yang umumnya diungkapkan dalam bentuk ringkas, hampir bersifat samar-samar. Banyak dari Saṁyutta memiliki sebuah vibhaṅga; mulanya mungkin semuanya. Beberapa vibhaṅga yang hilang dari Saṁyutta Theravāda ditemukan dalam Sarvāstivāda, sebagai contoh Bala Vibhaṅga Sutta yang seharusnya dikembalikan dari Aṅguttara ke Saṁyutta.

Tetapi sementara sutta-sutta terbatas dalam ukuran, vyākaraṇa- vyākaraṇa dapat diperluas tidak terbatas. Ini tidak memakan lama bagi pengelompokan awal yang sederhana menjadi tidak cukup dan bagi struktur baru, yang lebih terperinci, dibutuhkan. Dua kemungkinan yang mungkin menyatakan dirinya pada tahapan ini. Satu adalah tetap mengakumulasi vyākaraṇa- vyākaraṇa individual, dengan menciptakan kumpulan baru bagi mereka berdasarkan bahan yang tersebar dari seluruh kumpulan tiga-aṅga awal. Kemungkinan lain adalah berusaha mengurangi pertumbuhan sebagian besar teks-teks dan ketidaknyamanan akibatnya dengan mengumpulkan semua teks-teks utama yang bersifat penjelasan ke dalam satu Vibhaṅga yang komprehensif untuk berperan sebagai suatu kunci bagi semua kotbah. Hasil dari perkembangan garis pertama itu adalah Majjhima, Dīgha, dan Aṅguttara, dan hasil dari perkembangan garis kedua adalah Vibhaṅga Abhidhamma.

Secara umum dipahami bahwa empat Nikāya/Āgama disusun pertama kali dan Abhidhamma Piṭaka kemudian. Tetapi ini memerlukan beberapa kualitifikasi. GIST menyatakan bahwa Saṁyutta kuno disusun pertama kali dan bahwa karya tentang Nikāya/Āgama mungkin telah berlangsung pada waktu yang sama dengan karya Abhidhamma yang paling awal. Istilah “abhidhamma” dan “mātikā” muncul kadangkala dalam teks-teks awal (sebuah mātikā adalah suatu daftar istilah-istilah ajaran yang berfungsi sebagai perancah bagi suatu karya Abhidhamma). Walaupun istilah-istilah ini di sini tidak menunjuk pada Abhidhamma Piṭaka yang sudah ada, mereka mungkin juga menunjuk pada beberapa perintis awal.

Terdapat sedikit petunjuk dalam teks-teks awal itu sendiri bahwa ini mungkin. Satu bacaan dalam Nikāya Theravāda menyebutkan “abhidhamma” dan kemudian membahas 37 sayap menuju pencerahan. Ini membentuk kerangka utama untuk bagian meditasi dari *Vibhaṅga Mūla. Ini ditegaskan oleh suatu petunjuk dalam Dharmaskandha, versi Sarvāstivādin dari bahan *Vibhaṅga Mūla yang telah berkembang. Teks Sanskrit itu mengutip dari Saṁyukta sebuah bacaan di mana Sang Buddha mengatakan tentang 37 sayap menuju pencerahan; dalam Pali ini disebut “dhamma-dhamma”, tetapi Sanskrit menyebutnya dharmaskandha, yang tentu saja judul dari kitab di mana kutipan itu muncul, dan kitab itu memang berciri-khaskan topik-topik tersebut. Kisah Sarvāstivādin yang belakangan tentang kehidupan Aśoka mengatakan bahwa Yang Mulia Mahā Kassapa, patriark dari Sarvāstivāda, membacakan mātikā, yang sebagian besar terdiri dari 37 sayap menuju pencerahan, pada Konsili pertama.[2]

Terdapat petunjuk lain dalam versi Sarvāstivādin dari Mahā Gosiṅgavana Sutta. Ini mengatakan bahwa Yang Mulia Mahā Kaccāyana adalah seorang bhikkhu yang menikmati berdiskusi “abhidhamma dan abhivinaya”.[3] Salah satu dari versi Mandarin lainnya tidak menyebutkan ini dalam tubuh teks itu, tetapi pada akhirnya Mahā Kaccāyana dipuji Sang Buddha atas kemampuannya menguraikan empat kebenaran mulia.[4] Dalam Aṅguttara Theravāda, ia dipuji sebagai yang terkemuka di antara mereka yang dapat “menganalisis (vibhaṅga) dengan rinci makna suatu ucapan yang diberikan secara singkat.”[5] Versi Mandarin memujinya atas kemampuannya membedakan makna dan mengajarkan sang jalan.[6] Ini menyatakan bahwa makna awal “abhidhamma” seharusnya dicari di antara kotbah-kotbah Mahā Kaccāyana. Ia dianggap sebagai seorang pendiri Abhidhamma, dan ajaran-ajarannya mengandung hanya jenis bahan yang kita harapkan – vyākaraṇa-vyākaraṇa analisis yang berkaitan dengan alat indera, kelompok-kelompok unsur kehidupan, dan seterusnya. Sebagai tambahan, dua dari kotbah Mahā Kaccāyana dimasukkan dalam Vibhaṅgavagga. Maka Abhidhamma paling awal mengandung dua aspek: ajaran-ajaran kebijaksanaan – kebenaran-kebenaran [mulia], kelompok unsur kehidupan, alat indera, kemunculan bergantungan, unsur-unsur – dan ajaran samādhi – 37 sayap menuju pencerahan.

Jika *Vibhaṅga Mūla dari Abhidhamma diturunkan, bukan dari Sutta Piṭaka yang telah lengkap, tetapi dari sumber yang sama dengan Majjhima dan Dīgha sepanjang suatu garis perkembangan yang berlainan, *Vibhaṅga Mūla mungkin mempertahankan beberapa ciri khas yang lebih kuno daripada Majjhima-Majjhima yang ada. Ini tentu saja hanya berlaku pada isi dasarnya, bukan bentuk terperinci yang ada, yang jelas tidak sangat awal. Satu contoh yang mungkin dari ini adalah bab tentang unsur-unsur. Vibhaṅga Abhidhamma Theravāda menyebutkan 36 unsur. Ini ditemukan dalam Bahudhātuka Sutta, dan karena beberapa unsur bukanlah standar di sana ini pastilah sumber Vibhaṅga (dan juga uraian dari Dhātuvibhaṅga Sutta). Tetapi Bahudhātuka Sutta menambahkan, setelah 36 ini, lima unsur lagi yang tidak ada dalam Vibhaṅga. (Sarvāstivāda memiliki 62 unsur dalam Bahudhātuka Sutta dan Dharmaskandha.) Tambahan lima unsur ditambahkan pada Bahudhātuka Sutta setelah ia dipindahkan dari Saṁyutta kuno.[7]

GIST tidak mengatakan bahwa kotbah-kotbah Saṁyutta adalah awal dan otentik, sedangkan kotbah-kotbah lain adalah belakangan. Semua kumpulan mengandung suatu percampuran dari bahan awal dan belakangan. Kita sedang menggeneralisasi suatu proses rumit yang membentuk kumpulan dari ratusan kotbah. Kotbah-kotbah di luar Saṁyutta muncul dari sejumlah sumber. Beberapa mulanya dimasukkan dalam Saṁyutta kuno, tetapi dipindahkan keluar. Yang lainnya mungkin sudah beredar dalam komunitas, tetapi tidak dimasukkan dalam kumpulan dasar. Dalam kasus-kasus lain, kotbah-kotbah mungkin telah diwariskan di daerah-daerah yang jauh dan disisipkan kemudian. Kotbah-kotbah lain mungkin dibentuk kemudian dengan menggabungkan bagian-bagian yang sudah ada dari teks. Yang lain berevolusi dari kisah dan bahan latar belakang yang relatif informal yang berkaitan dengan ajaran-ajaran. Dan beberapa, tidak diragukan, adalah murni rekaan.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #18 on: 05 May 2013, 08:39:19 PM »
5.1 Saṁyutta

Kita harus dapat membedakan jejak aṅga-aṅga dalam kumpulan-kumpulan yang masih ada. GIST menyatakan bahwa saṁyutta-saṁyutta utama yang bersifat ajaran adalah berdasarkan sutta-sutta, yang dilengkapi oleh penjelasan-penjelasan vyākaraṇa. Struktur ini dapat dibedakan dalam Saṁyutta-Saṁyutta yang ada dalam bentuk sisa-sisa. Sangat terkenal dalam Saḷāyatana-saṁyutta Theravāda (SN 35), di mana 52 kotbah pertama sebagian besar adalah sutta-sutta, yang kelimapuluh tiga dimulai dengan “seorang bhikkhu tertentu” mendekati Sang Buddha untuk menanyakan pertanyaan, dan dengan demikian melontarkan suatu rangkaian panjang dari vyākaraṇa.[8] Struktur ini tidak begitu nyata dalam kebanyakan bagian dalam versi Pali.

Namun demikian, banyak bab dalam Saṁyukta Āgama Sarvāstivādin tampaknya mencerminkan bentuk ini pada beberapa tingkatan. Demikianlah dalam Khandha-saṁyutta 14 kotbah pertama adalah sutta-sutta, di mana setelah itu suatu rangkaian panjang yang sebagian besar adalah vyākaraṇa. Saḷāyatana, Nidāna, Sacca, Satipaṭṭhāna, Bojjhaṅga, Ānāpānasati, dan Sotāpatti saṁyutta dari kumpulan ini semuanya mencerminkan pola ini.

Marilah kita melihat secara rinci pada Sacca-saṁyutta, batu penjuru ajaran dari keseluruhan Saṁyutta. Di sini terdapat Saccasaṁyutta Theravāda dan Sarvāstivāda, yang dikelompokkan ke dalam tiga aṅga. Seperti yang dijelaskan tabel ini, sutta-sutta cenderung berkelompok dengan sutta-sutta, vyākaraṇa-vyākaraṇa dengan vyākaraṇa-vyākaraṇa, dan geyya-geyya di tengah.

Dalam Sarvāstivāda kecenderungan bagi sutta-sutta untuk berkelompok dengan sutta-sutta lainnya dan vyākaraṇa-vyākaraṇa berkelompok dengan vyākaraṇa-vyākaraṇa lainnya, bahkan lebih jelas. Dengan sama dikatakan bahwa kumpulan itu mulai dengan suatu kawanan dari 23 sutta. Empat teks beranekaragam, termasuk geyya-geyya, kemudian menyusupi, dan lalu 11 vyākaraṇa. Di sini, seperti dalam Theravāda, geyya-geyya muncul di tengah-tengah kumpulan, yang mengingatkan kita tentang urutan sutta, geyya, vyākaraṇa. Separuh yang belakangan sedikit kurang koheren, tetapi masih aṅga-aṅga dapat dibedakan, terutama vyākaraṇa. Juga, ia mulai dengan kelompok terbesar dari sutta-sutta dan berakhir dengan kelompok terbesar dari vyākaraṇa-vyākaraṇa.

Tabel 5.1: Aṅga-Aṅga dalam Sacca-saṁyutta Theravāda

SN 56
Sutta
Geyya
Vyākaraṇa
1-12



13-18



19-20



21-22



23-29



30-31



32-33



34



35-41



42-43



44



45-131




Tabel 5.2: Aṅga-Aṅga dalam Satya-saṁyukta Sarvāstivāda

SASuttaGeyyaVyākaraṇaLatar
379-391
Benares
392
393-402
403
Magadha
404Rājagaha (dalam perjalanan)
405
Vesali, Kolam Monyet
406
Kolam Monyet
407-418
Rājagaha, Veḷuvana
419-420
Rājagaha, Veḷuvana
421-426

Rājagaha, Veḷuvana
427-433

Rājagaha, Veḷuvana
434-442

Rājagaha, Veḷuvana
443
Sāvatthī, Jetavana

Tetapi adalah latarnya yang memberikan konfirmasi yang mengejutkan, dan tidak diharapkan, dari tesis kita. Teks pertama adalah Dhammacakkappavattana Sutta, yang tentu saja berlatarkan di Taman Rusa di Benares. Semua sutta yang mengikuti juga berlatar di Taman Rusa. Ini berlanjut tanpa mengatakan bahwa tidak mungkin bahwa Sang Buddha mengajarkan semua pernyataan dasar-Nya tentang empat kebenaran mulia pada satu tempat. Latar untuk kotbah-kotbah berikutnya hanyalah secara mekanistik diulangi dari yang pertama. Persis hal yang sama terjadi pada vyākaraṇa-vyākaraṇa. Mengabaikan empat kotbah yang menyusup, untaian pertama vyākaraṇa berlatarkan di Rājagaha di Veḷuvana, dan kotbah-kotbah berikutnya hanya membeokan latar ini. Kesimpulan ini pada dasarnya diperkuat oleh dua pertimbangan lainnya. Pertimbangan pertama adalah bahwa dua kotbah ini hampir satu-satunya dalam kumpulan itu yang memiliki latar yang sama dalam Pali dan Mandarin. Pertimbangan kedua adalah bahwa kebanyakan kotbah-kotbah tidak memiliki petunjuk yang melekat padanya seperti di mana mereka diucapkan. Mereka hanya memberikan suatu pernyataan ajaran yang dapat terjadi di mana pun. Tetapi Dhammacakkappavattana Sutta sangat dalam menempel pada konteks naratifnya. Yang pertama dari vyākaraṇa-vyākaraṇa juga, secara internal menegaskan latar ini, karena, berlatarkan di Rājagaha, ia menceritakan kisah tentang seseorang di Rājagaha.

Sekarang marilah kita menggabungkan kedua daftar ini, dengan membuat suatu daftar tentang kesesuaian antara kedua versi Sacca-saṁyutta, yang memperluas rincian dengan memberikan daftar masing-masing kotbah individual yang muncul pada kedua kumpulan. Dalam kebanyakan kasus Theravāda tidak menetapkan latarnya; ini ditunjukkan dengan tanda kurung kosong ( ). Adalah aman untuk menganggap bahwa latar dari teks-teks ini dimaksudkan di Sāvatthī. Karena Sarvāstivāda lebih kuno secara struktural, marilah kita menggunakan urutan teks dalam SA.

Tabel 5.3: Kesesuaian dari Kedua Sacca-saṁyutta

SA
SN 56
Sutta
Geyya
Vyākaraṇa
Latar SA
Latar SN
379
11-12



Taman Rusa
Taman Rusa
382
29



TR
( )
390-1
5-6*



TR
( )
392
22/Iti 4.4



TR
Koṭigāma
393.1
3-4



TR
( )
393.5
25*



TR
( )
394
37*



TR
( )
395
38



TR
( )
397
32*



TR
( )
398-9
39-40



TR
( )
400
34
✓ (SA)

✓ (SN)
TR
( )
401
35



TR
( )
402
23



TR
Sāvatthī
403
21



Magadha
Koṭigāma
404
31



Rājagaha
Kośambi
405
45

✓ (SA)
✓ (SN)
Kolam Monyet
Hutan Besar
406
47



Kolam Monyet
( )
407
41



Veḷuvana
Veḷuvana
408
8



V
( )
409-10
7



V
( )
411
10



V
( )
412
9



V
( )
416
15



V
( )
417
20, 27
✓ (SN)

✓ (SA)
V
( )
418
16



V
( )
421-2
42-43



V
Puncak Nazar
423-6
46*



V
( )
428
2



V
( )
429
1



V
Sāvatthī
430
33



V
( )
435
32*


Jetavana
( )
436-7
44*


J
( )
438
36
✓ (SN)

✓ (SA)
J
( )
439
49/SN 13.1*



J
( )
440.1-3
52, 53, 57



V
( )
441.1-60
49*, 55*, 59*



J
( )
442.1-17
61-131



J
( )
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #19 on: 05 May 2013, 08:47:09 PM »
Tabel ini dengan baik menggambarkan jenis-jenis masalah yang kita hadapi dalam studi-studi ini. Kita memiliki dua kumpulan yang sama, tetapi urutan internal dari teks-teks sangat berbeda. Seperti juga sejumlah besar teks-teks yang sama, kita juga memiliki berbagai anomali: suatu teks dalam satu kumpulan menjadi dua atau lebih dalam kumpulan lain; kadangkala teks-teks menunjukkan variasi yang signifikan; adakalanya suatu sutta dalam satu kumpulan menjadi suatu vyākaraṇa dalam kumpulan lain, dan seterusnya. Namun demikian, tampak bahwa teks-teks seringkali dikelompokkan bersama-sama sebagai sutta atau vyākaraṇa, dan ini seharusnya dikenali sebagai suatu prinsip struktural penting yang mendasari pembentukan kumpulan yang masih ada. Lagi daftar itu mulai dari suatu daftar panjang dari sebagian besar sutta, dan berakhir dengan vyākaraṇa. Ciri khas lain adalah bahwa antara sutta-sutta dan vyākaraṇa-vyākaraṇa terdapat beberapa geyya. Posisi dari geyya SN 56.22/SA 392 jelas anomali, karena teks itu berhubungan dekat dengan SN 56.21/SA 403. Keduanya muncul bersama dalam Theravāda, jadi posisi SA terbukti hanyalah suatu kesalahan dalam penyebaran SA. Jika kita menganggap bahwa posisi yang benarnya adalah bersama dengan geyya lain, kita dapat melihat bahwa setidaknya dalam saṁyutta geyya-geyya jatuh di antara sutta-sutta dan vyākaraṇa-vyākaraṇa, sesuai dengan urutan aṅga.

Hubungan yang mengejutkan lainnya adalah bahwa, dalam beberapa kasus, suatu kelompok teks yang dapat diidentifikasi ditemukan dalam kedua kumpulan. Sebagai contoh, mengambil teks SA 408-412. Kelompok sutta ini berhubungan dengan kelompok SN 56.7-10. Ini adalah kesatuan umum yang sudah ada dalam kedua tradisi. Situasi yang sama mendapatkan teks SA 394-401, yang dengan longgar berhubungan dengan SN 56.32, 34, 35. 37. 38, 39. 40. Pada skala yang lebih kecil, beberapa pasangan teks muncul bersama dalam kedua kumpulan. Hubungan-hubungan ini memunculkan kemungkinan bahwa tidak semata-mata isi, tetapi juga urutan teks-teks dalam kedua tradisi berbagi bersama, setidaknya sebagian.

Pernyataan ini menemukan konfirmasi yang menakjubkan dalam kasus Kassapasaṁyutta. Ini adalah kumpulan vyākaraṇa yang hidup yang memancarkan cahaya yang menarik pada salah satu tokoh besar Buddhisme, khususnya dalam peran historisnya. Ini adalah satu dari beberapa saṁyutta yang bersifat prosa yang dipertahankan sepenuhnya dalam Theravāda dan dalam dua Saṁyutta Mandarin, Sarvāstivāda dan sebagian “Saṁyutta lain” dari aliran yang tidak diketahui, mungkin Kaśyapīya. Di sini daftar dari teks-teks, yang menggunakan urutan dari SA yang telah dipulihkan.

Tabel 5.4: Kesesuaian dari Tiga Kassapa-saṁyutta

SA Sarvāstivāda
“SA Lain”
SN 16 Theravāda
1136
111
3
1137
112
4
1138
113
6
1139
114
7
1140
115
8
1141
116
5
1142
117
9
1143
118
10
1144
119
11
905
120
12
906
121
13

Hubungan itu berbatasan dengan keajaiban. Dua Saṁyutta Mandarin adalah identik dalam isi dan urutan, jika kita menerima pemulihan yang diusulkan Yin Shun dari dua teks akhir (SA 905, 906). Theravāda juga sangat dekat. Ia memiliki dua teks tambahan pada awalnya; teks-teks ini mungkin tambahan yang belakangan. Dan satu teks telah dipindahkan, SN 16.5 “Tua”. Teks ini berbagi bersama dengan SN 16.8 suatu bacaan penting tentang praktek-praktek yang demikian sebagai penghuni hutan, pemakan dana makanan, dan seterusnya. Dengan demikian SN 16.5 seharusnya mengikuti SN 16.8 dan dua versi Mandarin telah dalam hal ini mempertahankan urutan yang benar. Mengabaikan dua teks tambahan dalam Theravāda, kita memiliki sebelas teks, yang cukup dekat pada suatu vagga klasik dari sepuluh.

Sayangnya, tidak ada di tempat lain dalam saṁyutta-saṁyutta yang bersifat prosa kita menemukan hubungan yang rapi demikian. Ke mana pun kita berbalik, kita dikelilingi dengan anomali-anomali dan ketidakkontinuan. Masing-masing anomali adalah suatu garis kesalahan yang potensial, suatu celah di mana melaluinya kita mungkin hanya dapat melihat suatu struktur yang lebih kuno.

Untuk sisa bab ini saya akan menyelidiki beberapa ciri khas struktural dari Dīgha, Majjhima, dan Aṅguttara, dalam lebih sedikit rinci daripada Saṁyutta.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #20 on: 05 May 2013, 08:50:49 PM »
5.2 Majjhima

Terdapat beberapa petunjuk dari pengaruh Saṁyutta dalam pembentukan dari Majjhima-Majjhima yang masih ada. Kebanyakan jelas bahwa beberapa bab dalam Majjhima Sarvāstivāda disebut “saṁyutta”. Terdapat sebuah Kamma-saṁyuttavagga, Sāriputta-saṁyutta-vagga, Samudaya-saṁyutta-vagga, dan Rāja-saṁyutta-vagga. Tidak hanya kata “saṁyutta” muncul, tetapi juga terdapat semua judul yang mirip dari bagian-bagian dalam Saṁyutta Sarvāstivāda. Lebih jauh lagi, bab 6-10 dari Majjhima Theravāda memiliki judul-judul yang mirip atau identik dengan judul-judul dalam Saṁyutta: Gahapati (= Gāmaṇisaṁyutta), Bhikkhu, Paribbājaka (tidak dalam Saṁyutta-Saṁyutta yang ada, tetapi akan muncul di bawah delapan perkumpulan), Rāja (= Kośala), dan Brāhmaṇa. Dengan pengecualian dari Gahapati, ini berada dalam urutan yang sama yang diprediksi oleh Sagāthāvagga yang direkonstruksi Bucknell. Lagi, bab terakhir dari Majjhima Theravāda, Saḷāyatanavagga, tidak hanya berbagi judul dan pokok pembahasannya dengan Saṁyutta, tetapi semua kotbah ditemukan dalam Saṁyutta Sarvāstivāda.

Pembagian ke dalam tiga kelompok dari lima puluh kotbah dalam Majjhima Theravāda mencerminkan tiga aṅga, walaupun sedikit. Lima puluh yang pertama menyajikan ajaran-ajaran utama; walaupun secara formal ini sebagian besar vyākaraṇa, dalam Majjhima sebagai suatu keseluruhan mereka berfungsi sebagai teks-teks dasar, dalam suatu cara yang mirip dengan sutta. Lima puluh yang kedua memiliki judul-judul yang mirip dengan Sagāthāvagga, memasukkan sejumlah syair, dan sering disampaikan kepada umat awam, dengan demikian berhubungan dengan aṅga geyya. Lima puluh yang terakhir cenderung lebih bersifat analitis dan pemaparan, vyākaraṇa klasik, termasuk beberapa teks-teks Abhidhamma kuno, Saḷāyatanavagga, dan Vibhaṅgavagga yang penting secara historis.

Vibhaṅgavagga adalah satu-satunya bab yang berbagi judul dan hampir semua isi yang sama dalam dua Majjhima. Judul sebenarnya dalam Sarvāstivāda adalah “Mūlavibhaṅgavagga”, “Bab Vibhaṅga Akar”, yang sangat sugestif. Kebanyakan kotbahnya berkaitan dnegan topik-topik yang familiar seperti kelompok-kelompok unsur kehidupan dan alat indera. Dua dari kotbah-kotbah itu, Saccavibhaṅga Sutta dan Araṇavibhaṅga Sutta, menunjuk secara langsung kembali ke Dhammacakkappavattana Sutta. (Saccavibhaṅga Sutta tidak ada dalam Vibhaṅgavagga Sarvāstivāda yang ada; tetapi Bucknell berpendapat dengan meyakinkan bahwa ia dihapus secara tidak sengaja pada suatu masa yang belakangan).  Tidak mengejutkan, beberapa kotbah dalam Vibhaṅgavagga berbagi kesamaan dengan bab-bab dalam Vibhaṅga Abhidhamma. Semua ini menunjukkan bahwa bab ini, dengan hubungannya yang erat dengan Saṁyutta, merupakan suatu pembagian yang awal dan penting dalam Majjhima.

Terdapat satu kerangka yang sangat penting, yang mengisi sekeliling sepertiga dari kotbah-kotbah dalam Majjhima dan Dīgha, yang tidak ditemukan, atau setidaknya tidak terkemuka, dalam Saṁyutta Nikāya Theravāda yang ada. Ini adalah “pelatihan” (sikkhā). Perbedaan ini mungkin mengapa ketergantungan Majjhima pada Saṁyutta tidak diperhatikan. Namun, Saṁyukta Āgama Sarvāstivāda meralat hal ini. Ia memiliki sebuah Sikkhā-saṁyutta yang terdiri dari kotbah-kotbah dasar tentang pelatihan berunsur tiga, di mana dalam Theravāda berada sekarang dalam Aṅguttara Nikāya. Dalam Majjhima dan Dīgha pelatihan berunsur tiga yang sederhana ini biasanya diuraikan ke dalam “pelatihan bertahap” yang terperinci, yang menghasilkan dalam banyak kotbah yang panjang. Jika semua kotbah tentang pelatihan itu dikumpulkan, bergaya Saṁyutta, ke dalam satu kumpulan ia akan menjadi panjang dan sungguh tidak praktis. Kumpulan yang panjang demikian segera dipecah ke dalam potongan-potongan yang dapat diatur untuk membentuk bagian-bagian yang penting, mungkin bagian yang terpenting, dari kumpulan yang baru.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #21 on: 05 May 2013, 09:02:11 PM »
5.3 Dīgha

Kita secara unik beruntung memiliki tiga Dīgha yang tersedia untuk diselidiki. Dīgha Nikāya Theravāda dalam Pali sangat dikenal, dan telah dua kali diterjemahkan dalam keseluruhannya ke dalam bahasa Inggris. Dīrgha Āgama Dharmaguptaka dalam Mandarin lebih sedikit dikenal, dan hanya sedikit kotbah dan bacaan telah diterjemahkan. Dīrgha Āgama Sarvāstivāda hampir sepenuhnya tidak diketahui, karena hanya dalam beberapa tahun terakhir naskah-naskah kuno muncul dari  Afghanistan dan telah dibuat tersedia untuk studi (walaupun beberapa dari kotbah-kotbah individual telah disunting dan diterjemahkan sebelumnya). Berikut berasal dari esai Hartman yang merincikan struktur dari kumpulan itu, di mana ia telah merekonstruksi dengan bantuan dari informasi dalam uddāna (ringkasan dari judul-judul kotbah pada akhir setiap bagian), dan angka folio.[9] Hartman mengatakan bahwa hasil ini adalah “mendekati pasti”.

Sebagai tambahan pada sumber-sumber ini, terdapat beberapa informasi tentang suatu versi Dīgha yang disebutkan dalam Abhidharmakośopāyikanāmaṭīkā (AKO) oleh Śamathadeva, yang tersedia dalam bahasa Tibet. Hartman mengatakan kesimpulannya tentang Dīrgha Sarvāstivāda dalam karya paling awalnya berdasarkan sumber ini telah dengan gembira ditegaskan oleh penemuan naskah kuno yang sebenarnya; tetapi, yang lain telah mengatakan bahwa terdapat beberapa perbedaan yang pasti antara Dīrgha seperti yang disimpulkan dari AKO dan naskah kuno.[10] Karena AKO adalah suatu komentar terhadap Abhidharmakośa yang ditulis oleh Vasubandhu, dan karya itu merupakan suatu polemik Sautrāntika melawan Sarvāstivāda, Dīrgha yang digunakan oleh Śamathadeva (dan Vasubandhu) mungkin milik Sautrāntika.

Di sini terdapat isi dari Dīrgha Sarvāstivāda, bersama dengan kotbah-kotbah yang asalnya sama dalam Theravāda (Dīgha and Majjhima) dan Dharmaguptaka (Dīrgha). Kebanyakan dari kotbah-kotbah ini memiliki asal yang sama dalam Mandarin, Tibet, dan Sanskrit, tetapi karena kita tertarik dalam prinsip struktural dari kumpulan-kumpulan itu, alih-alih isi dari kotbah-kotbah individual, saya hanya menyebutkan kotbah-kotbah yang asalnya sama dalam kumpulan-kumpulan utama.

Dalam tabel-tabel berikut, ∃ berarti “ada dalam naskah kuno DA2”; ¶ berarti “ada sebagian”; ∄ berarti “ada hanya sebagai judul dalam uddāna”.

Tabel 5.5: Tiga Dīgha: Bagian Pertama

Sarvāstivāda
Theravāda
Dharmaguptaka
DA2 1 Daśottara
DN 34 Dasuttara
DA 10, 11
DA2 2 Arthavistara


DA2 3 Saṅgīti
DN 33 Saṅgīti
DA 9
DA2 4 Catuṣpariṣat
1

DA2 5 Mahāvadana
DN 14 Mahāpadāna
DA 1
DA2 6 Mahāparinirvāṇa
DN 16 Mahāparinibbāna
DA 2
1 = bab pertama dari Khandaka Vinaya

“Kelompok Enam Sūtra” (ṣaṭsūtrakanipāta) ini merupakan suatu kumpulan yang populer, sejenis kompilasi yang “sukses besar”. Dasuttara dan Saṅgīti mengumpulkan sejangkauan luas ajaran dari sutta-sutta dan menyusun mereka dalam bentuk numerik bergaya Aṅguttara. Arthavistara, walaupun tidak ada dari Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama utama, ditemukan dalam sejumlah terjemahan beranekaragam dalam Mandarin.[11] Ini adalah dua yang terakhir dari 72 terjemahan kotbah individu yang ditempatkan setelah terjemahan Madhyama Āgama yang lengkap, yang menyatakan bahwa para penyusun dari edisi Taishō berpikir mereka termasuk pada Madhyama alih-alih Dīrgha. Mereka adalah terjemahan yang awal, khususnya T No. 98, yang dilakukan oleh An Shigao (berkembang pada tahun 148-170 M), seorang perintis penerjemahan ke dalam Mandarin. Dua terjemahan sebagian besar sepaham dalam isi. Arthavistara disampaikan oleh Yang Mulia Sāriputta dan terdiri dari 23 atau 25 daftar dhamma dalam gaya Dasuttara dan Saṅgīti, tetapi daftar-daftar itu tidak muncul dalam urutan numerik yang menaik dan kebanyakan memiliki jumlah lebih dari 10.

Catuṣpariṣat menceritakan kejadian-kejadian setelah pencerahan Sang Buddha: pemutaran roda Dhamma, dan pendirian perkumpulan berunsur empat. Theravāda dan aliran-aliran lain menyukai untuk memasukkan teks ini dalam Vinaya-Vinaya mereka. Mahāpadāna mengandung banyak hal yang sejajar dengan ini, yang berlatar dalam waktu mitos dari Vipassī Buddha; Mahā Parinibbāna adalah kisah pelengkap pada akhir kehidupan Sang Buddha. Maka “Kelompok Enam Sūtra” ini adalah tiga daftar dari ajaran-ajaran dasar, dan tiga kunci kisah biografis. Ini membuatnya tampak seperti suatu kurikulum dasar untuk para pemula dalam studi-studi Buddhis.

Bagian berikutnya, “Kelompok Berpasangan”, terdiri dari dua vagga, mengandung banyak bahan yang tidak dibagi bersama. Tetapi, satu ciri khas struktural adalah dua pasangan kotbah DN 18/DA 4/DA2 13 Janavasabha & DN 19/DA 3/DA2 14 Mahā Govinda; dan DN 28/DA 18/DA2 15 Sampasādanīya & DN 29/DA 17/DA2 16 Pāsādika. Dua pasangan ini sangat mirip dalam gaya, dan mereka ditemukan bersama dalam semua ketiga kumpulan. Dengan demikian mereka tampak dimiliki bersama, dan mungkin telah ditempelkan bersama melalui berbagai perubahan dalam kumpulan-kumpulan itu. Namun demikian, selain dari ini, bagian ini tidak tampak berbagi warisan struktural bersama.

Bagian ini mengandung beberapa kotbah yang, dalam Pali, ditemukan dalam Majjhima. Tidak ada dari kotbah-kotbah ini memiliki asal yang sama dalam Madhyama Āgama yang ada dalam Mandarin. Sampai penemuan Dīrgha Sarvāstivāda, ini merupakan suatu teka-teki: apakah semua kotbah ini diciptakan oleh Theravāda? Tetapi sekarang teka-teki itu terpecahkan. Dua kumpulan, Madhyama yang sekarang ditemukan dalam kanon Mandarin, dan Dīrgha dari Afghanistan, telah disunting bersama, dan para penyusun menghindari penggandaan kotbah dalam kedua kumpulan. Ini menegaskan bahwa mereka dimiliki oleh aliran yang sama, Sarvāstivāda. Jadi Theravāda dan Sarvāstivāda memiliki versi dari kotbah-kotbah ini, tetapi Theravāda meletakannya dalam Majjhima mereka, sedangkan Sarvāstivāda memasukkannya dalam Dīrgha mereka. Ini menunjukkan kita tidak seharusnya meloncati dengan terburu-buru kesimpulan berdasarkan ketiadaan suatu kotbah tertentu dari satu kumpulan atau yang lain.

Tabel 5.6: Tiga Dīgha: Bagian Kedua

Sarvāstivāda
Theravāda
Dharmaguptaka
Yuganipāta, vagga ke-1


DA2 7 Apannaka
MN 60 Apaṇṇaka

DA2 8 Sarveka


DA2 9 Bhārgava
DN 24 Pāṭika
DA 15
DA2 10 Śalya
MN 105 Sunakkhatta

DA2 11 Bhayabhaivara
MN 4 Bhayabherava

DA2 12 Romaharṣaṇa
MN 12 Mahā Sīhanāda

DA2 13 Jinayabha
DN 18 Janavasabha
DA 4
DA2 14 Govinda
DN 19 Mahā Govinda
DA 3
DA2 15 Prāsādikaḥ
DN 28 Sampasādanīya
DA 18
DA2 16 Prasādanīya
DN 29 Pāsādika
DA 17
Varga ke-2


DA2 17 Pañcatraya
MN 102 Pañcattaya

DA2 18 Māyājāla


DA2 19 Kāmaṭhika
MN 95 Caṅkī

DA2 20 Kāyabhāvanā
MN 36 Mahā Saccaka

DA2 21 Bodha
MN 85 Bodhirājakumāra

DA2 22 Śaṁkara
MN 100 Saṅgārava

DA2 23 Āṭānāṭa
DN 32 Āṭānāṭiya

DA2 24 Mahāsamāja
DN 20 Mahā Samaya
DA 19
« Last Edit: 27 June 2015, 09:57:38 AM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #22 on: 05 May 2013, 09:16:21 PM »
Kotbah-kotbah ini duduk sangat nyaman dalam Dīgha, karena semuanya berhubungan, dalam satu cara atau yang lain, dengan pertanyaan atas hubungan Buddhisme dan agama-agama lain yang sezaman, yang juga merupakan suatu tema yang terkemuka dari banyak kotbah-kotbah kunci Dīgha yang lain, khususnya Sīlakkhandhavagga yang dibahas di bawah. Vinaya Vibhāśa Sarvāstivāda (suatu komentar Vinaya yang dipertahankan dalam Mandarin) mengatakan bahwa tujuan dari Dīgha (mungkin Dīrgha Sarvāstivāda) adalah untuk menyanggah para pengikut ajaran lain. MN 60/DA2 7 Apaṇṇaka membuka dengan para brahmana dari Sālā mendengarkan penyanggahan Sang Buddha, kemudian memutuskan untuk mengunjungi Beliau; bacaan cadangannya ini ditemukan dalam kotbah 3-7 dari Dīgha Theravāda. MN 95/DA2 19 Caṅkī juga memiliki pembukaan dan tema bergaya Dīgha yang khas.[12] MN 105/DA2 10 Sunakkhatta dan MN 12/DA2 12 Mahāsīhanāda adalah peristiwa-peristiwa dalam karir spiritual yang suram dari pengembara Sunakkhatta, yang juga muncul dalam DN 24/DA 15/DA2 9 Pāṭika; demikianlah Sarvāstivādin menyukai untuk mengumpulkan kotbah-kotbah ini bersama-sama dalam Dīrgha mereka. MN 4/DA2 11 Bhayabherava disampaikan kepada Brahmana Jāṇussoṇi, yang muncul, sepanjang dengan sejumlah brahmana lain yang dihormati yang dicirikan di tempat lain dalam Dīgha, pada DN 13.2. Ini juga berhubungan dengan praktek Bodhisatta sebelum pencerahan, yang menghubungkannya dengan MN 36/DA2 20 Mahāsaccaka, MN 85/DA2 21 Bodhirājakumāra, dan MN 100/DA2 22 Saṅgārava, yang semuanya menggambarkan praktek pertapaan Bodhisatta, sebagai tanggapan pada tantangan oleh para Jain atau brahmana. MN 102/DA2 17 Pañcattaya telah digambarkan sebagai suatu versi “menengah” dari DN 1/DA 21/DA2 47 Brahmajāla, suatu sanggahan yang rumit atas sejangkauan pandangan salah. Ciri gaya Dīgha yang lain adalah bahwa beberapa dari kotbah ini berhubungan dengan pelatihan bertahap: MN 60/DA2 7 Apaṇṇaka, MN 4/DA2 11 Bhayabherava, MN 36/DA2 20 Mahāsaccaka, MN 85/ DA2 21 Bodhirājakumāra, dan MN 100/DA2 22 Saṅgārava. Kotbah lain yang muncul dalam Majjhima Theravāda tetapi Dīrgha Sarvāstivāda adalah MN 55/DA2 43 Jīvaka, yang muncul dalam bagian berikutnya dari Dīrgha Sarvāstivāda. Ini adalah pilihan yang sedikit aneh, karena teks itu sangat pendek, tidak biasanya bahkan untuk sebuah kotbah Majjhima. Namun demikian, ia juga menyampaikan tema tanggapan Sang Buddha atas kritik dari agama-agama lain.

Kotbah-kotbah Majjhima diambil bersama berjumlah sepuluh. Mengejutkannya, terdapat juga sepuluh kotbah dalam situasi yang berlawanan; yaitu, mereka ditemukan dalam Dīgha Theravāda tetapi dalam Madhyama Sarvāstivāda. Ini adalah sebagai berikut: DN 15/MA 97 Mahā Nidāna, DN 17/MA 68 Mahā Sudassana, DN 21/MA 134 Sakkapañha, DN 22/MA 98 Satipaṭṭhāna, DN 23/MA 71 Pāyāsi, DN 25/MA 104 Udumbarikasīhanāda, DN 26/MA 70 Cakkavattisīhanāda, DN 27/MA 154 Aggañña, DN 30/ MA 59 Lakkhaṇa, DN 31/MA 135 Sigalovāda. Karena kotbah-kotbah biasanya dikelompokkan dalam vagga-vagga dari sepuluh, perbedaan ini berasal dari pemindahan vagga-vagga di antara kumpulan-kumpulan. Pertanyaannya kemudian menjadi, dari mana mereka dipindahkan? Dalam kasus dua kotbah yang ditemukan Dīgha Theravāda dan Madhyama Sarvāstivāda, yaitu, Satipaṭṭhāna dan Lakkhaṇa, versi-versi Dīgha memiliki jumlah yang substansial dari bahan tambahan, dan bahan yang ditambahkan pada bukti internal adalah bersifat belakangan. Dengan demikian dua kotbah ini diambil dari Majjhima, ditambahkan, dan ditempatkan dalam Dīgha. Mempertimbangkan bahwa mereka dipindahkan sebagai sebuah kelompok, kesimpulan ini juga berlaku untuk kotbah-kotbah sisanya. Jadi Sarvāstivāda menggeser satu vagga dari Madhyama dari Dīrgha ke dalam Madhyama mereka, dan Theravāda menggeser sebuah vagga yang berbeda dari Majjhima mereka ke dalam Dīgha.

Bagian berikutnya disebut Śīlaskandhanipāta dalam Sanskrit, yang berhubungan dengan Sīlakkhandhavagga Pali. Beberapa dari kotbah-kotbah ditemukan dalam Sanskrit tidak memiliki asal yang sama. Beberapa dari kotbah-kotbah yang tidak dipakai bersama tampaknya anomali: kita telah berkomentar tentang Jīvaka Sutta; ini dipotong terpaut dari teman-teman Majjhima-nya. Khususnya mengejutkan adalah dimasukkannya bahan bergaya Aṅguttara. Mungkin para penyusun dengan sadar menggunakan “prinsip keanekaragaman” dalam mengumpulkan teks-teks: mereka ingin memasukkan sejangkauan bahan yang berbeda-beda dalam satu kumpulan, maka dengan bebas menyisipkan bahan yang tidak sejenis. Prinsip ini dapat dilihat di tempat lain juga. Sebagai contoh, Vinaya, walaupun berfokus terutama pada aturan monastik, menemukan ruang untuk mencakupi sejangkauan luas gaya lainnya, dari ajaran yang bersifat doktrinal, sampai kisah historis, syair-syair, pengisahan cerita, dan seterusnya. Ini mungkin dilakukan karena para pengulang dari semua kumpulan memiliki relatif sedikit pengetahuan atas isi dari kumpulan lain. Dalam Theravāda, para penyusun memastikan, sebagai contoh, bahwa para pengulang Dīgha akan diarahkan pada kunci ajaran bergaya Aṅguttara dengan menyisipkan bahan demikian dalam kotbah-kotbah yang lebih besar. Sarvāstivāda juga melakukan hal ini, tetapi mereka juga mengizinkan ruang untuk bahan yang belum diadaptasikan agar sesuai dalam konteksnya.

Tabel 5.7: Tiga Dīgha: Bagian Ketiga

Sarvāstivāda
Theravāda
Dharmaguptaka
Śīlaskandhanipāta, vagga ke-1


DA2 25 Tridaṇḍin


DA2 26 Piṅgālatreya


DA2 27 Lohitya 1
DN 12 Lohicca
DA 29
DA2 28 Lohitya 2
DN 12 Lohicca
DA 29
DA2 29 Kaivartin
DN 11 Kevaddha
DA 24
DA2 30 Maṇḍīśa 1
DN 7 Jāliya

DA2 31 Maṇḍīśa 2
DN 7 Jāliya

DA2 32 Mahallin
DN 6 Mahāli

DA2 33 Śroṇatāṇḍya
DN 4 Soṇadaṇḍa
DA 22
DA2 34 Kūṭadāṇḍya
DN 5 Kūṭadanta
DA 23
Varga ke-2


DA2 35 Ambāṣṭha
DN 3 Ambaṭṭha
DA 20
DA2 36 Pṛṣṭhapāla
DN 9 Poṭṭhapāda
DA 28
DA2 37 Kāraṇavādin


DA2 38 Pudgala
(Cp. AN 4.198ff.)

DA2 39 Śruta


DA2 40 Mahālla


DA2 41 Anyatama


Varga ke-3


DA2 42 Śuka
DN 10 Subha

DA2 43 Jīvaka
MN 55 Jīvaka

DA2 44 Rājā
DN 2 Sāmaññaphala
DA 27
DA2 45 Vāsiṣṭha
DN 13 Tevijja
DA 26
DA2 46 Kāśyapa
DN 8 Kassapasīhanāda
DA 25
DA2 47 Brahmajāla
DN 1 Brahmajāla
DA 21
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #23 on: 05 May 2013, 09:21:27 PM »
Mengesampingkan teks-teks anomali, hampir semua kotbah dalam bagian ini ditemukan dalam semua ketiga kumpulan. Ini adalah ciri khas struktural yang paling terkemuka dari Dīgha yang ada. Dalam Dīgha sisanya, kebanyakan dari kotbah-kotbah dianut sama di antara tradisi-tradisi, khususnya antara Theravāda dan Dharmaguptaka, tetapi sedikit kemiripan struktural menyatakan bahwa urutan kotbah-kotbah ditetapkan setelah Dharmaguptaka di Gandhārā yang jauh di sebelah barat terpisah dari Theravādin Sri Lanka. Tetapi dalam bagian ini kotbah-kotbah ditemukan secara konsisten berkelompok bersama, meskipun urutan teks-teks sangat berbeda. Sedikit kotbah yang tidak dipakai bersama kebanyakan mengulangi kotbah-kotbah yang dipakai bersama, jadi tidak secara substansial mempengaruhi gambarnya.

Bahkan lebih mengejutkan, kotbah-kotbah semuanya berhubungan dengan suatu topik yang mirip, memberikan kisah terperinci pelatihan etis monastik, yang memberikan alasan judul bab “Sīlakkhandhavagga” (“Bab tentang Kelompok Etika”). Risalah tentang etika ini biasanya dilengkapi dengan bagian-bagian tentang empat jhāna dan kemudian pengetahuan yang lebih tinggi yang memuncak pada realisasi empat kebenaran mulia, yang menyempurnakan pelatihan bertahap berunsur tiga (sikkhā). Posisi vagga itu berbeda-beda – dalam Theravāda ia ada pada awal, dalam Dharmaguptaka dan Sarvāstivāda pada akhir. Kenyataannya Theravāda di sini benar, karena Vinaya dari Dharmaguptaka menyatakan bahwa Brahmajāla Sutta adalah kotbah pertama yang dibacakan dalam Konsili Pertama; teks ini ada dalam Sīlakkhandhavagga dari kedua versi, dan dalam versi Theravāda ia adalah kotbah pertama dalam vagga itu. Oleh sebab itu, Dīrgha Dharmaguptaka pasti telah disusun kembali setelah Vinaya mereka diselesaikan. Penyusunan kembali ini memindahkan kotbah-kotbah yang bersifat monastik dan meditatif dari awal kumpulan dengan kisah biografis dan hagiografis; ini mungkin bahkan telah terjadi di bawah pengaruh Mahāyāna pada masa penerjemahan. Walaupun perbedaan dalam posisi vagga ini, dan walaupun kenyataan bahwa urutan internal dalam vagga itu berbeda, jelas bahwa vagga ini adalah unsur struktural kunci dalam Dīgha yang terjadi bersamaan dalam aliran nenek moyang Theravāda sebelum ia terpecah ke dalam Sarvāstivāda and Vibhajjavāda. Ini lebih jauh ditegaskan dalam Vinaya Mūlasarvāstivāda, yang mengatakan bahwa Dīgha mengandung Ṣaṭsūtrakanipāta dan Śīlaskandhanipāta, walaupun ini tidak memberikan daftar kotbah-kotbah individual.[13]

Kenyataannya, mungkin bahwa Dīgha awal mula hanyalah Sīlakkhandhavagga. Ini didukung oleh sebuah pernyataan dalam pendahuluan Dīrgha Āgama Dharmaguptaka, yang menggambarkan kumpulan itu berkaitan dengan “berbagai jalan latihan”, yang adalah tujuan utama dari Sīlakkhandhavagga. Bagian ini memiliki ciri khas seperti Saṁyutta yang berbeda – sekelompok sepuluh kotbah yang berkaitan dengan topik yang sama. Dengan demikian Sīlakkhandhavagga mungkin telah ada pertama kali dalam Saṁyutta kuno, di mana ia terdiri atas “*Silakkhandha-saṁyutta”-nya sendiri. Lebih mungkin, walaupun, ia adalah bab terbesar dalam sebuah “*Sikkhā-saṁyutta”, yang belakangan dipecah karena terlalu panjang. Sarvāstivāda mempertahankan sebuah Sikkhā-saṁyutta yang sederhana yang sebagian besar terdiri dari kotbah-kotbah pendek tentang pelatihan berunsur tiga, tetapi dalam Theravāda ini telah lenyap. Kotbah-kotbah yang lebih pendek dipindahkan ke dalam Aṅguttara, yang menengah ke dalam Majjhima, dan yang paling panjang membentuk sebuah kelompoknya sendiri, yang menarik kotbah-kotbah panjang lain dan menjadi Dīgha. Kotbah-kotbah panjang ini semuanya dalam bentuk percakapan dan oleh sebab itu merupakan vyākaraṇa, yang mencatat perdebatan yang bersemangat antara Sang Buddha dan para tokoh spiritual sezaman-Nya.

Tetapi pada waktunya kotbah-kotbah yang belakangan ditambahkan ke Dīgha, pengelompokan tiga aṅga terputus sama sekali. Suatu contoh bagus dari ini adalah Mahāpadāna Sutta.[14] Inti ajaran dari kotbah ini adalah vyākaraṇa bergaya Saṁyutta tentang kemunculan bergantungan (yang memiliki banyak kesamaan dengan SN 12.4–9/SA 366). Ini berhubungan erat dengan suatu bacaan sutta dasar tentang muncul dan lenyapnya lima kelompok unsur kehidupan yang diambil dari Khandha-saṁyutta (bacaan ini berhubungan dengan kemunculan bergantungan dalam teks Theravādin SN 12.22 tetapi tidak dalam rekannya SA 348). Ini ditempelkan dalam sebuah apadāna, suatu bentuk yang ditemukan dalam aṅga berunsur dua belas Sanskrit tetapi tidak dalam aṅga berunsur sembilan Pali. Kotbah itu mulai dengan suatu abbhūtadhamma. Ia juga mengandung Permohonan Brahmā, yang adalah suatu skema geyya. Bahan Vinaya dan beberapa udāna (atau gāthā) dari Dhammapāda dilemparkan ke dalam untuk ukuran yang baik. Demikianlah kita menemukan, dalam satu kotbah yang ada, tidak kurang dari tujuh bentuk kesusasteraan yang berbeda.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #24 on: 05 May 2013, 09:26:14 PM »
5.4 Aṅguttara

Jadi jika Majjhima dan Dīgha dapat dianggap sebagai perkembangan aṅga vyākaraṇa, bagaimana dengan Aṅguttara? Saṁyutta dan Aṅguttara merupakan kumpulan dari kotbah-kotbah lebih pendek yang saling melengkapi. Sementara kotbah-kotbah dalam Saṁyutta dikumpulkan berdasarkan topik (“prinsip saṁyutta”), kotbah-kotbah dalam Aṅguttara disusun dengan urutan numerik (“prinsip aṅguttara”). Sebagai tambahan pada penerapan utama ini dalam Sutta Piṭaka, pasangan prinsip penyusunan ini digemakan dalam Vinaya dan Abhidhamma. Sebagai contoh Vinaya Dharmaguptaka memiliki dua tambahan, satu yang disebut “Saṁyuktavarga”, dan satu yang disebut “Vinayaikottara”.[15] Kita akan dengan singkat mempertimbangkan Abhidhamma di bawah. Kenyataan bahwa dua prinsip itu muncul di seluruh aliran dan juga di sepanjang Piṭaka-Piṭaka menyatakan keduanya penting. Mempertimbangkan ini, maka apakah mungkin untuk menentukan prinsip penyusunan mana yang muncul pertama kali?

Seperti biasanya, kita pertama-tama mempertimbangkan teks-teks pra-Buddhis. Dari Ṛg Veda dan seterusnya dalam banyak literatur Brahmanis syair-syair penghormatan kepada sosok dewa tertentu – katakanlah, Soma, atau Agni, atau Maruts – dikumpulkan dalam bab-bab. Ini adalah prinsip saṁyutta; sesungguhnya, beberapa bab dalam Sagāthāvagga, seperti Sakka-saṁyutta atau Devaputta-saṁyutta, secara langsung mengingat contoh Veda sebelumnya. Beberapa teks Jain yang ada menggunakan prinsip aṅguttara, tetapi ini tidak jelas apakah penggunaan ini sebelum masa Buddhisme. Jadi kebanyakan literatur pra-Buddhis terdiri dari sebagian besar potongan kecil teks-teks yang dikumpulkan bersama pada masa yang belakangan dan disusun berdasarkan topik ke dalam arsitektur yang besar. Saṁyutta dapat dilihat sebagai suatu tantangan kesusasteraan yang langsung pada keunggulan Veda ini, dengan mengambil beberapa unsur formal dan menerapkannya jauh lebih sistematis. Sama seperti Veda-Veda dianggap sebagai suatu pancaran dari Makhluk ke dalam suara, suatu ungkapan dari kecerdasan kosmis bawaan (veda) sebagai suatu tubuh dari puisi yang menginspirasi (Veda-Veda), Saṁyutta dengan mewujudkan empat kebenaran mulia memaparkan hubungan yang sempurna antara Dhamma sebagai pengalaman yang hidup dan Dhamma sebagai ajaran yang terformalisasi.

Dari tradisi pra-Buddhis, marilah kita mempertimbangkan tradisi-tradisi Buddhis awal mula. Ini tentu saja adalah kotbah-kotbah individual, ajaran-ajaran yang diberikan Sang Buddha sendiri. Kebanyakan dari kotbah-kotbah ini terdiri dari pernyataan pendek tentang suatu topik tertentu, di mana aspek-aspek yang berhubungan dari topik itu dapat diringkas dalam sejumlah kecil item-item dasar; sebagai contoh pelatihan berunsur tiga, lima kekuatan, atau enam perenungan. Maka kotbah-kotbah individual, blok-blok bangunan itu, secara internal disusun berdasarkan topik, yaitu, prinsip saṁyutta. Ini menyatakan bahwa gagasan prinsip saṁyutta secara logika mendahului prinsip aṅguttara. Tetapi sementara dalam kebanyakan kasus kesamaan tematik merupakan gaya magnet yang menarik dhamma-dhamma ini bersama, cara menyajikan mereka dalam daftar-daftar dari item-item yang berbeda memberikannya suatu pendirian numerik. Gaya standar pembukaan untuk kotbah-kotbah, katakanlah, “Terdapat empat kebenaran mulia ini...”. Ini akan mengundang pengelompokan di bawah “empat” atau “kebenaran mulia”.

Terdapat beberapa kotbah yang menggunakan jumlah sebagai suatu prinsip penyusunan internal. Sebagai contoh Dhammacakkappavattana Sutta berciri-khaskan kumpulan angka yang saling berkaitan: 2, 3, 4, 8, 12. Kotbah-kotbah demikian melibatkan sifat misterius dari angka, yang dapat dibagi atau dikali, seperti sebuah gambar yang dilihat melalui prisma yang mengungkapkan banyak atau sedikit segi. Tetapi dalam kasus-kasus demikian hubungan numerik, walaupun penting, jelas membawahi hubungan tematik. Hanya kadangkala kita melihat suatu kotbah di mana prinsip numerik menghubungkan ajaran-ajaran yang tidak memiliki hubungan tematik yang kuat. Dalam skala kecil terdapat kotbah-kotbah seperti Mahā Pañha Sutta,[16] yang memberikan suatu daftar dari pertanyaan tentang kumpulan beranekaragam dhamma dari satu sampai sepuluh, dan pada skala besar terdapat tentu saja Saṅgīti dan kotbah-kotbah yang mirip.[17] Tetapi bahkan di sini, sementara tidak ada hubungan tematik yang kuat antara kumpulan dhamma yang berbeda, masing-masing kumpulan dhamma masih secara internal disusun berdasarkan topik. Kapan pun kita mengupas kembali kulitnya, prinsip saṁyutta berada di bawah prinsip aṅguttara.

Mungkin sisa yang paling berpengaruh dari prinsip aṅguttara dalam Buddhisme yang belakangan adalah 37 sayap menuju pencerahan. Kelompok ini menjelaskan sifat saling mempengaruhi antara dua prinsip penyusunan. Ia terdiri dari tujuh kumpulan dhamma yang berhubungan dengan sang jalan, yang mulanya menyusun Mahā Vagga (atau “Magga Vagga” menurut Sarvāstivādin) dari Saṁyutta Nikāya. Dengan demikian struktur keseluruhan yang paling umum adalah prinsip saṁyutta (dhamma-dhamma yang berhubungan dengan satu tema, jalan latihan), dan maka mereka membentuk bagian dari Saṁyutta Nikāya/Āgama. Dalam pengelompokan yang saling melingkupi ini, urutan standar membuat daftar kelompok-kelompok dalam urutan numerik yang menaik, yaitu prinsip aṅguttara – empat (satipaṭṭhāna, usaha benar, landasan kekuatan batin), lima (kemampuan dan kekuatan), tujuh (faktor pencerahan), delapan (faktor dari jalan mulia). Terdapat bukti bahwa ini kenyataannya adalah prinsip aṅguttara yang bekerja di sini, bukan beberapa struktur progresif yang sulit dipahami yang mendasari kumpulan-kumpulan itu. Ini adalah Mahā Pañha Sutta kedua, yang memberikan dhamma-dhamma berikut dalam urutan menaik: (satu) semua makhluk bertahan hidup dari makanan; (dua) nama & bentuk; tiga perasaan; empat satipaṭṭhāna; lima kemampuan spiritual; enam unsur pelepasan; tujuh faktor pencerahan; jalan mulia berunsur delapan; sembilan alam kediaman makhluk; sepuluh jalan perbuatan bermanfaat.[18] Ini sesuai dengan sebanyak mungkin dari sayap menuju pencerahan ke dalam skema numerik ini. Beberapa aliran, melupakan sifat yang acak dari urutan ini, berusaha menafsirkan ini dengan menyatakan suatu kemajuan latihan yang berurutan; yaitu, mereka menafsirkan suatu kumpulan ajaran yang disusun berdasarkan prinsip aṅguttara seperti telah disusun berdasarkan prinsip saṁyutta.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #25 on: 05 May 2013, 09:30:44 PM »
Gethin menunjukkan bahwa banyak dari mātikā dari Abhidhamma Theravāda dan Sarvāstivāda dikonstruksi dengan prinsip aṅguttara.[19] Contoh yang paling penting adalah Dhammasaṅgaṇī, yang didasarkan pada suatu mātikā dari 22 yang berunsur dua dan 100 yang berunsur tiga dari dhamma-dhamma. Banyak dari ini dipakai bersama dengan Sutta-Sutta awal dan Abhidhamma Sarvāstivāda; oleh karenanya, banyak dari yang berunsur dua dan berunsur tiga itu pasti bersifat kuno, walaupun pengerjaan rumit terhadap mereka tidak. Gethin melihat kunci karya-karya Abhidhamma berkembang dari hal yang saling mempengaruhi dari aṅguttara-mātikā dan saṁyutta-mātikā: Dhammasaṅgaṇī didasarkan pada aṅguttara-mātikā, dan menganalisis ini dengan saṁyutta-mātikā; Vibhaṅga didasarkan pada saṁyutta-mātikā dan menganalisis ini dengan aṅguttara-mātikā.[20] Namun, sementara dengan benar menekankan pentingnya prinsip aṅguttara, ia tidak benar-benar menyajikan bukti yang meyakinkan bahwa prinsip aṅguttara merupakan yang sangat penting seperti prinsip saṁyutta. Tidak diragukan Sang Buddha mengajar dalam kumpulan yang diberi penomoran, dan tidak diragukan ini mulai dikumpulkan dari suatu masa awal. Tetapi kisah yang diceritakan oleh teks-teks awal mengatakan bahwa Saṁyutta adalah kumpulan yang paling penting, dalam hal waktu dan ajaran. Lebih jauh, teks-teks berprinsip saṁyutta cenderung relatif konsisten tidak semata-mata dalam prinsip penyusunan mereka tetapi juga dalam isi sebenarnya (saṁyutta-mātikā), sedangkan tidak ada isi standar dari teks berprinsip aṅguttara.

Bucknell membahas ciri khas struktural dari Aṅguttara dalam beberapa kedalaman. Di sini adalah suatu contoh penemuannya.

Yang pertama diberi judul Vaggo paṭhamo (Vagga pertama) – atau, dalam satu naskah kuno Rūpādivaggo paṭhamo (Vagga pertama, tentang Bentuk yang Dapat Dilihat dst.).[21] Dalam kasus ini sepuluh “sutta” pendek menyusun vagga yang dimiliki bersama berkaitan dengan isi dan bentuk. Dalam yang pertama dari sepuluh Sang Buddha mengatakan: “Para bhikkhu, Aku mengetahui tidak ada bentuk yang dapat dilihat lainnya yang sangat memperbudak pikiran seorang pria seperti bentuk yang dapat dilihat dari seorang wanita”; dalam empat berikutnya Beliau mengatakan hal yang sama tentang suara, bau, rasa dan perasaan (pengalaman perabaan) dari seorang wanita; dan dalam lima sisanya Beliau mengulangi semuanya kecuali dengan kata-kata “pria” dan “wanita” saling ditukarkan. Susunan kata-kata sebaliknya identik dalam semua kesepuluh “sutta”. Apa yang diidentifikasi teks sebagai suatu vagga, suatu kumpulan dari sepuluh sutta, sebenarnya memiliki karakteristik dari satu sutta dalam sepuluh bagian, yang dapat ditempatkan dengan benar dalam Yang Lima, atau mungkin Yang Sepuluh. Sekarang, terdapat suatu sutta dalam Yang Lima yang menyisipkan secara harfiah lima yang pertama dari sepuluh “sutta” ini;[22] ia berbeda hanya dalam menambahkan lebih banyak rincian, dengan menempatkan pelajarannya dalam suatu konteks, dan memberikan rumusan pendahuluan dan penutup. Ini, oleh sebab itu, mungkin sumber dari vagga pertama dari Yang Satu. Bagian utama dari sutta sumber diangkat keluar dari konteksnya, dibagi menjadi lima bagian, dan kemudian digandakan dengan menggantikan “pria” dan “wanita”, untuk menghasilkan sekumpulan sepuluh sutta semu, di mana masing-masing berhubungan dengan hanya satu topik Dhamma.[23]

Bucknell mencatat bahwa sepuluh kotbah Theravāda diwakili oleh dua teks dalam Ekottara Mahāsaṅghika (EA 9.7, 9. 8 ) , dengan demikian mendukung hipotesisnya. Ciri khas yang sama mendominasi Yang Satu dari Aṅguttara, dan ditemukan di tempat lain dalam kumpulan itu juga. Alasan yang mungkin atas manipulasi demikian – yang terjadi dalam versi Theravāda dan Mahāsaṅghika – adalah hanya untuk menyediakan lebih banyak bahan untuk angka-angka yang diwakili dengan kurang baik. Terdapat banyak kumpulan dari, katakanlah, lima dhamma, tetapi sedikit kumpulan dari satu dhamma, dan ini mungkin telah mendorong pengirisan beberapa teks dari yang lima ke dalam yang satu.

Walau demikian, masih ada pertanyaan yang tersisa mengapa beberapa dari yang lima dipilih dan bukan yang lain. Apakah ini hanyalah bersifat acak, atau terdapat beberapa prinsip panduan yang berlangsung? Satu alasan yang jelas adalah bahwa banyak dari teks-teks ini berciri-khaskan kata “satu”. Tetapi tidak semuanya. Saya yakin bahwa sebagian dari jawaban juga terletak dalam gema simbolik dari angka-angka. Kekuatan dan misteri dari angka membuat daya tarik pada banyak filsuf dari dunia kuno; mereka belum begitu familiar dengan bilangan sehingga melihatnya hanya sebagai alat untuk manipulasi mekanis dan “kegentingan-jumlah”. Angka menjanjikan kunci untuk membuka misteri bintang-bintang. Angka-angka tertentu jelas memiliki arti penting simbolik dalam tradisi Buddhis. Akan mengejutkan jika arti penting numerologi tidak memiliki pengaruh pada suatu kumpulan yang disusun berdasarkan jumlah. Sebagai contoh, angka “satu” dalam Buddhisme sering menunjuk pada samādhi atau “kesatu-titikan dari pikiran” [ekaggata: keterpusatan pikiran]. Limapuluh lima sutta pertama dari Aṅguttara berkaitan dengan samādhi dan rintangannya, dan secara menyolok berciri-khaskan kata “pikiran” (citta), suatu kata yang sering muncul dalam konteks samādhi sebagai “kesatu-titikan pikiran”. Empat puluh teks pertama berciri-khaskan kata “satu”, tetapi sisanya tidak. Teks-teks ini semuanya dapat dibuktikan sebagai rekaan: kebanyakan darinya dikonstruksi dengan mengiris satu teks yang lebih panjang ke dalam penggalan-penggalan. Mungkin bahwa proses ini didorong oleh perasaan bahwa angka “satu” secara khusus sesuai bagi suatu konteks samādhi.

Kita telah melihat bagaimana beberapa dari hal penting yang bersifat ajaran dalam Aṅguttara dipindahkan dari Saṁyutta. Dan, sesungguhnya kita sering menemukan, dalam keadaan berantakan yang berskala besar dari Aṅguttara, kelompok-kelompok kotbah yang lebih kecil dikumpulkan bersama berdasarkan topik, seperti pelatihan berunsur tiga, berbagai kelompok tentang kekuatan, enam perenungan, jalan berunsur sepuluh, dst.; ini membentuk saṁyutta-saṁyutta kecil dalam Aṅguttara, yang dalam beberapa kasus cocok dengan saṁyutta-saṁyutta sebenarnya dalam Saṁyutta Sarvāstivāda. Kadangkala ini membentuk suatu vagga klasik, seperti AN 3.81–91 tentang pelatihan berunsur tiga, yang mengingatkan tentang sepuluh (atau lebih) kotbah tentang pelatihan bertahap yang ditemukan dalam Dīgha.[24] Kebanyakan dari ini ditemukan dalam Sikkhāsaṁyutta Sarvāstivāda, yang terkonsentrasi dalam satu setengah vagga. Tetapi bahannya kebanyakan berkarateristik Aṅguttara adalah sederhana, ajaran yang berorientasi pada umat awam tentang etika dan ketaatan, dan dalam banyak kotbah prosa ditambahkan dengan suatu ringkasan syair. Ini mengingatkan kita akan aṅga geyya. Sebagai tambahan terdapat sejumlah besar vyākaraṇa yang berhubungan dengan topik-topik yang familiar seperti alat indera, kemunculan bergantungan, dst. Kira-kira 78 kotbah, sebagian besar adalah vyākaraṇa, ditemukan dalam Aṅguttara Theravāda tetapi Madhyama Sarvāstivāda. Beberapa dari ini muncul seperti kotbah “bergaya Majjhima”, dan oleh karenanya mungkin telah dipindahkan dari Majjhima ke dalam Aṅguttara. Dalam kasus-kasus lain terdapat kelompok-kelompok penting dari kotbah-kotbah yang berurutan dalam Madhyama Sarvāstivāda yang berbagi angka yang sama; ini mungkin telah dipindahkan dari Aṅguttara.

Hipotesis saya adalah bahwa Aṅguttara Theravāda memulai hidup sebagai kumpulan yang lebih kecil yang berasal dari aṅga geyya. Ia memasukkan kotbah-kotbah yang lebih pendek yang berhubungan dengan topik-topik yang kurang penting yang tidak dimasukkan dalam Saṁyutta. Tujuan utamanya adalah untuk menyediakan bahan yang sesuai untuk ceramah-ceramah, khususnya untuk para umat awam; fungsi ini dinyatakan oleh aliran-aliran. Pada masa yang belakangan ia banyak diisi dengan bahan dari Majjhima dan Saṁyutta. Kebanyakan bahan ini mulanya milik kumpulan lain dan dipindahkan ke Aṅguttara untuk memberikannya lebih bobot yang bersifat ajaran, memastikan bahwa para siswa Aṅguttara mendapatkan pendidikan yang lengkap, dan menyeimbangkan Nikāya-Nikāya ke dalam empat kumpulan yang secara masuk akal berukuran sama untuk tujuan penghapalan.

Catatan Kaki:

[1] Lihat Dietz e.g. pg. 26 “kumbhopame vyākaraṇe” (= SN 12.51/SA 292/Skt; judul Pali adalah “parivīmaṁsana”; pg. 33 “phalguṇavavāde vyākaraṇe” (= SN 12.12/SA 372; judul Pali adalah “moḷiyaphagguna”); pg. 52 “pataleyavyakarane” (= SN 22.81/SA 57).

[2] Przylyski, pp. 45, 334; cp. Rockhill, pg. 160.

[3] MN 32/MA 184/EA 37.3/T № 154.6. Theravāda menghubungkan ini dengan Moggallāna, tetapi semua ketiga versi Mandarin lebih masuk akal memuji Moggallāna atas kekuatan batinnya.

[4] T № 154.

[5] AN 1.197.

[6] EA 4.2. Lihat Anālayo (esai yang tidak diterbitkan tentang M 32), Minh Châu, pp. 251–257.

[7] Contoh lain yang mungkin adalah Jhāna Vibhaṅga. Ini memberikan suatu kisah pelatihan bertahap yang lebih ringkas daripada versi Sutta yang biasanya. Namun, dalam kasus ini tampaknya bagi saya ini adalah suatu ringkasan alih-alih suatu versi kuno.

[8] Dalam kenyataannya teks 33-52, yang diwakili oleh satu teks dalam Sarvāstivāda, SA 196, tampaknya diperpanjang dari Ādittapariyāya Sutta yang dilipatgandakan untuk memenuhi lima puluh.

[9] Terima kasih saya kepada penulis untuk menyediakan saya dengan salinan dari esai ini.

[10] Stephen Hodge, komunikasi pribadi.

[11] T № 97, T № 98. Terima kasih saya kepada Rod Bucknell atas informasi ini.

[12] Secara kebetulan, sebuah penggalan dari suatu versi Mahāsaṅghika dari kotbah ini juga ada.

[13 T24, p. 35 a3 & 57 a26–7; Yin Shun (1971), pp. 720–725. Dalam Mandarin, nipāta kedua dengan salah disebut “ Enampuluh-tiga-Nipāta”.

[14] DN 14/DA 1/EA 48.4.

[15] Heirmann, pg. 27.

[16] AN 10.27/EA 46.8/SA 486–489*.

[17] DN 33/DA 9/T № 12/Skt.

[18] AN 10.28.

[19] Gethin, 1992.

[20] Tetapi beberapa topik dari Vibhaṅga, seperti 37 sayap menuju pencerahan, menyatakan prinsip aṅguttara dan bagian-bagian dari mātikā Dhammasaṅgaṇī menyatakan prinsip saṁyutta.

[21] AN 1.1–10/EA 9.7–8.

[22] AN 5.55.

[23] Bucknell, esai yang tidak diterbitkan.

[24] Edisi-edisi yang berbeda bervariasi dalam penomoran kotbah-kotbah berdasarkan satu pada titik ini. SuttaCentral mendaftarkan AN 3.81 Samaṇa sampai AN 3.91 Paṅkadha memiliki rekan SA pada 816–21, 824, 827–32.
« Last Edit: 05 May 2013, 09:33:51 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #26 on: 09 May 2013, 01:52:57 PM »
Bab 6
Evolusi Kebenaran Mulia

Bagaimana ajaran-ajaran berevolusi dalam teks-teks yang telah kita bahas? Kita akan mengambil contoh utama empat kebenaran mulia. Juga memiliki posisi utama dalam Dhamma, kerangka ini memberikan suatu model tertentu yang jelas untuk jenis-jenis perubahan yang kita minati di sini. Secara khusus, teks-teks itu sendiri menyatakan suatu evolusi dalam penyajian ajaran.

6.1 Dhammacakkappavattana Sutta Sanskrit

Versi Theravāda dari Dhammacakkappavattana Sutta, yang sejauh ini paling terkenal, menyajikan bahan ajaran dengan cara berikut. Pertama-tama muncul dua ekstrem dan jalan berunsur delapan; kemudian muncul definisi dari kebenaran-kebenaran; akhirnya muncul penjelasan tentang “tiga siklus dan dua belas cara”.

Penyajian ini tidak umum pada semua versi. Yang paling penting dari perhatian kita, beberapa menghilangkan definisi kebenaran-kebenaran; kita telah menyebutkan bahwa ini adalah kasusnya dengan Dhammacakkappavattana Sutta SA. Satu versi bahkan menghilangkan kebenaran-kebenaran sepenuhnya, menyajikan hanya ekstrem-ekstrem dan jalan tengah. Catuṣpariṣat Sūtra Sarvāstivāda memberikan suatu perspektif yang menarik tentang bagaimana variasi ini dapat muncul. Di sini saya memberikan suatu ringkasan dari kisah yang penting ini. Ini diterbitkan sebagai bagian dari terjemahan Kloppenborg atas Catuṣpariṣat Sūtra; tetapi saya telah secara substansial merevisi terjemahan Kloppenborg untuk membawa kedekatan dari versi Sanskrit dengan Pali. Ajaran-ajaran mulai setelah suatu percakapan yang diperpanjang antara Sang Buddha dan kelompok lima bhikkhu, mirip dengan kisah dalam bacaan yang sejajar dalam Mahāvagga Vinaya Theravāda.[1] Lima bhikkhu itu telah mengkritik Sang Buddha karena kembali ke kebiasaan lama yang tercela, kembali pada suatu kemewahan, dengan meninggalkan praktek keras dari pertapaan. Sang Buddha menanggapi:

11.14 “Para bhikkhu, kedua ekstrem ini seharusnya tidak dikembangkan atau dinikmati atau diikuti oleh seseorang yang telah meninggalkan keduniawian: ketaatan pada kemanjaan dalam kesenangan indera, yang rendah, kasar, biasa, dilakukan oleh orang-orang biasa; dan ketaatan pada penyiksaan diri, yang menyakitkan, hina, dan tidak berarti.

11.15 “Menghindari kedua ekstrem ini adalah jalan tengah, yang membawa pada penglihatan, pengetahuan, dan pengetahuan jernih, pencerahan, dan Nibbana.”

11.16 “Apakah jalan tengah itu? Ini adalah jalan mulia berunsur delapan, yaitu: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, pencaharian benar, upaya benar, perhatian benar, dan samādhi benar sebagai yang kedelapan.”

11.17 Sang Bhagava berhasil dalam membujuk lima bhikkhu dengan cara pengajaran ini. Pada pagi hari Sang Bhagava mengajar dua dari lima bhikkhu, sedangkan tiga orang pergi ke desa untuk mengumpulkan dana makanan. Enam dari mereka makan dari apa yang dibawa tiga orang itu.

11.18 Pada sore hari Sang Bhagava mengajarkan tiga dari lima bhikkhu, sedangkan dua orang pergi ke desa untuk mengumpulkan dana makanan. Lima dari mereka makan dari apa yang dibawa dua orang itu. Sang Tathāgata hanya makan pada pagi hari, pada waktu yang layak.

12.1 Kemudian Sang Bhagava memanggil lima bhikkhu itu:

12.2 “‘Inilah kebenaran mulia tentang penderitaan.’ Bagi-Ku, para bhikkhu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dhamma-dhamma yang tidak didengar sebelumnya ini, penglihatan muncul, dan pengetahuan, realisasi, dan pencerahan (buddhi) muncul.”

12.3 “‘Inilah kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Bagi-Ku, para bhikkhu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dhamma-dhamma yang tidak didengar sebelumnya, penglihatan muncul, dan pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul.”

12.4 “‘Kebenaran mulia tentang penderitaan harus diketahui sepenuhnya dengan pengetahuan jernih (abhjñā)’... pencerahan muncul.”

12.5 “‘Asal mula penderitaan... harus ditinggalkan dengan pengetahuan jernih’....”

12.6 “‘Lenyapnya penderitaan... harus dilihat...’....”

12.7 “‘Jalan menuju lenyapnya penderitaan... harus dikembangkan...’....”

12.8 “‘Kebenaran mulia tentang penderitaan telah diketahui sepenuhnya dengan pengetahuan jernih’... pencerahan muncul.”

12.9 “‘... Asal mula penderitaan... telah ditinggalkan dengan pengetahuan jernih’....”

12.10 “‘... Lenyapnya penderitaan... telah dilihat dengan pengetahuan jernih’....”

12.11 “‘Kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan telah dikembangkan dengan pengetahuan jernih.’ Bagi-Ku, para bhikkhu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dhamma-dhamma yang tidak didengar sebelumnya ini, penglihatan muncul, dan pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul.”

12.12 “Selama, para bhikkhu, mengenai empat kebenaran mulia ini dengan tiga putaran dan dua belas caranya, penglihatan tidak muncul, ataupun pengetahuan, ataupun realisasi, ataupun pencerahan tidak muncul, selama itu juga, di dunia ini dengan para dewa, para Mara, dan para Brahma-nya, dengan para pertapa dan Brahmana-nya, generasi ini dengan para pangeran dan rakyatnya Aku tidak menyatakan telah terbebaskan, sampai pada tujuan, terlepas, terbebas... dengan pencerahan sempurna yang tiada bandingnya.”

12.13 “Tetapi ketika, para bhikkhu, mengenai empat kebenaran mulia ini dengan tiga putaran dan dua belas caranya, penglihatan muncul, juga pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul, maka, di dunia ini dengan para dewa, para Mara, dan para Brahma-nya, dengan para pertapa dan Brahmana-nya, generasi ini dengan para pangeran dan rakyatnya, Aku menyatakan telah terbebaskan, sampai pada tujuan, terlepas, terbebas... dengan pencerahan sempurna yang tiada bandingnya.”

13.1 Ketika uraian dhamma ini telah diberikan, Yang Mulia Kauṇḍinya mencapai penglihatan Dhamma yang tidak ternoda, murni tentang dhamma-dhamma, bersama-sama dengan 80.000 dewa.

13.2 Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Yang Mulia Kauṇḍinya:

13.3 “Kauṇḍinya, apakah kamu memahami Dhamma dengan mendalam?”

13.4 “Saya memahami dengan mendalam, Yang Mulia.”

13.5 “Kauṇḍinya, apakah kamu memahami Dhamma dengan mendalam?”

13.6 “Saya memahami dengan mendalam, Sugata.”

13.7 Dhamma telah dipahami dengan mendalam oleh Yang Mulia Kauṇḍinya, oleh sebab itu Yang Mulia Kauṇḍinya disebut ‘Ājñātakauṇḍinya’.”

13.8-12 [Berbagai kumpulan dewa, dari para yakkha bumi sampai para dewa Brahmā, berseru untuk mengumumkan pemutaran roda Dhamma dengan tiga putaran dan dua belas caranya.]

13.13 Demikianlah roda Dhamma ini dari Dhamma dengan tiga putaran dan dua belas caranya diputar Sang Bhagava di Taman Rusa di Isipatana. Oleh karena itu uraian dari Dhamma ini disebut “Pemutaran Roda Dhamma”.

14.1 Kemudian Sang Bhagava berkata kepada lima bhikkhu itu:

14.2 “Terdapat, para bhikkhu, empat kebenaran mulia. Apakah empat hal itu?”

14.3 “Kebenaran mulia tentang penderitaan, asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan.”

14.4 “Apakah kebenaran mulia tentang penderitaan?”

14.5 “Kelahiran adalah penderitaan, usia tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan, berpisah dari yang disenangi adalah penderitaan, berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah penderitaan, mencari tetapi tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan.  Secara singkat, lima kelompok unsur kehidupan yang berkaitan dengan kemelekatan adalah penderitaan. Untuk memahami sepenuhnya hal ini, jalan mulia berunsur delapan harus dikembangkan.”

14.6 “Apakah kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan?”

14.7 “Keinginan yang berhubungan dengan kelahiran kembali, berkaitan dengan kenikmatan dan nafsu, yang menyenangi di sini dan di sana. Untuk meninggalkan hal ini, jalan mulia berunsur delapan harus dikembangkan.”

14.8 “Apakah kebenaran mulia tentang lenyapnya penderitaan?”

14.9 “Ini adalah meninggalkan sepenuhnya keinginan itu yang berhubungan dengan kelahiran kembali, berkaitan dengan kenikmatan dan nafsu, yang menyenangi di sini dan di sana; pelepasan, penghancuran, pelenyapan, memudarnya, penghentian, penenangan, dan mengakhirinya. Untuk melihat hal ini, jalan mulia berunsur delapan harus dikembangkan.”

14.10 “Apakah kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan?”

14.11 “Ini adalah jalan mulia berunsur delapan, yaitu pandangan benar... samādhi benar. Ini harus dikembangkan.”

14.12 Ketika uraian Dhamma ini diberikan, pikiran Ājñātakauṇḍinya terbebaskan dari kekotoran tanpa kemelekatan, dan untuk sisa dari lima bhikkhu itu penglihatan Dhamma yang tidak bernoda, murni tentang dhamma-dhamma muncul. Pada waktu itu terdapat seorang Arahat di dunia; Sang Bhagava adalah yang kedua.

15.1 Kemudian Sang Bhagava memanggil sisa dari  lima bhikkhu itu:

15.2 “Para bhikkhu, bentuk fisik bukanlah diri....”

15.3-18 [Sang Buddha mengajarkan Kotbah tentang Bukan-Diri, hampir identik dengan versi Pali.]
15.19 Ketika uraian Dhamma ini diberikan, pikiran empat bhikkhu sisanya terbebaskan dari kekotoran, tanpa kemelekatan. Pada waktu itu terdapat lima Arahat di dunia; Sang Bhagava adalah yang keenam.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #27 on: 09 May 2013, 01:54:53 PM »
Terdapat terlalu banyak poin yang menarik dalam kisah ini untuk disebutkan semuanya; pembaca diminta untuk membandingkan dengan hati-hati dengan versi Theravādin. Jelasnya, bagian ajaran hampir identik. Perbedaan yang patut dicatat dalam isi adalah penghilangan “kesedihan, ratap tangis, kesakitan, dukacita, dan keputusasaan adalah penderitaan”, sebuah frase yang adalah standar dalam Theravāda, tetapi dihilangkan di tempat lain dalam Sarvāstivāda, seperti Saccavibhaṅga Sutta. Juga frase “sakit adalah penderitaan” dan “berkumpul dengan yang tidak disenangi, berpisah dari yang disenangi” kadangkala dihilangkan Theravāda. Tidak ada dari perbedaan ini bersifat sektarian. Perbedaan yang paling mengejutkan adalah struktur kisahnya. Theravāda menggabungkan ajaran-ajaran dalam satu sesi – dua ekstrem, definisi kebenaran-kebenaran, tiga putaran dan dua belas cara – di mana pada akhirnya Yang Mulia Kauṇḍinya mencapai penglihatan Dhamma. Kemudian, selama beberapa hari berikutnya, Sang Buddha memberikan ajaran-ajaran yang lebih jauh. Ini tidak dijelaskan, tetapi Yang Mulia Vappa dan Bhaddiya, dan kemudian Yang Mulia Mahānāma dan Assaji, mencapai pemasuk arus. Masing-masing, segera setelah melihat Dhamma, meminta penahbisan di bawah Sang Buddha, dan ini membentuk hubungan tematik dengan Vinaya, yang disajikan sebagai pengantar pada perkembangan prosedur penahbisan. Unsur-unsur khusus Vinaya demikian tidak ada dalam Catuṣpariṣat Sūtra. Selanjutnya, selama Kotbah tentang Bukan-Diri, semua kelima bhikkhu mencapai Kearahatan. Jadi penyajian dari peristiwa-peristiwa dalam Sarvāstivāda membuat masuk akal kisah Theravāda juga: pertama ajaran dasar tentang sang jalan dan kebenaran-kebenaran diberikan, diikuti dengan penjelasan yang lebih rinci. Belakangan Theravāda menggabungkan ajaran-ajaran itu ke dalam satu kotbah yang lebih panjang.

Beberapa unsur dalam Sarvāstivāda jelas bersifat belakangan, seperti penyisipan tentang “80.000 dewa”; tetapi ini harus diterima bahwa karya itu secara umum menempel bersama sangat baik sebagai sebuah kisah. Dua ekstrem dan jalan tengah disajikan lebih secara langsung dan secara eksplisit sebagai tanggapan pada kritik atas kembali ke kebiasaan lama yang tercela. Kemudian, ajaran pokok tentang tiga putaran dan dua belas cara diberikan. Ini, di sini ditekankan lebih banyak daripada dalam Theravāda, menjadi suatu tema yang berulang. Mereka dimasukkan dalam pernyataan para dewa, dan lagi ditunjukkan dalam definisi yang kemudian tentang kebenaran-kebenaran, dalam frase “Untuk mengetahui sepenuhnya hal ini... [dst]”; tidak ada kedua konteks ini dalam kisah Theravāda. Tampaknya bahwa dalam tradisi ini, makna sebenarnya dari judul kotbah itu, “Pemutaran Roda Dhamma”, menunjuk pada tiga putaran (lihat bagian 13.13 di atas). Hanya setelah penyajian tiga putaran dan dua belas cara, definisi yang terperinci dari kebenaran-kebenaran yang diberikan. Ini diungkapkan dalam bentuk pertanyaan retoris, sedangkan dalam Theravāda pertanyaan-pertanyaan ini tidak ada. Demikianlah dalam versi Sarvāstivāda pernyataan awal dari ajaran dasar dalam bentuk deklaratif diikuti, pada waktu yang belakangan, dengan pemaparan yang terperinci dalam bentuk tanya jawab. Ini berhubungan persis dengan model sutta/vyākaraṇa. Perhatikan struktur itu di sini:

1. Pernyataan (sutta): Terdapat penderitaan... asal mula... lenyapnya... jalan....

2. Pertanyaan: Apakah penderitaan?

3. Penjelasan (vyākaraṇa): Kelahiran adalah penderitaan... lima kelompok kehidupan yang berkaitan dengan kemelekatan adalah penderitaan.

Sekarang Kotbah tentang Bukan-Diri mengambil dari sini, dengan menjelaskan bagaimana lima kelompok unsur kehidupan adalah penderitaan. Ini seakan-akan pertanyaan lain telah ditanyakan:

1. Pernyataan (sutta): Terdapat penderitaan... asal mula... lenyapnya... jalan....

2. Pertanyaan: Apakah penderitaan?

3. Penjelasan (vyākaraṇa): Kelahiran adalah penderitaan... lima kelompok unsur kehidupan yang berkaitan dengan kemelekatan adalah penderitaan.

4. Pertanyaan: Bagaimana lima kelompok unsur kehidupan adalah penderitaan?

5. Penjelasan: Bentuk fisik bukanlah diri. Jika bentuk fisik adalah diri, ia tidak akan membawa pada penderitaan....

Jadi penjelasan pada satu tingkat menjadi teks dasar untuk penjelasan yang lebih dalam. Penjelasan ini kemudian memperkenalkan suatu bidang baru dari ajaran, lima kelompok unsur kehidupan, yang memerlukan penjelasan yang lebih jauh; menurut GIST, ini adalah sumber Khandha-saṁyutta. Demikianlah konsep vyākaraṇa adalah sesuatu yang relatif, yang bergantung pada tingkat mana dari teks yang dijelaskan. Ini menyatakan bahwa kategori vyākaraṇa akan fleksibel, dan akan berkembang karena penjelasan-penjelasan itu menjadi lebih abstrak dari teks awalnya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #28 on: 09 May 2013, 01:58:45 PM »
6.2 Spiral Penguraian

Proses penjelasan yang sama adalah eksplisit di tempat lain dalam Sutta-Sutta juga, yang sebagian besar dicirikan dalam ajaran dari Yang Mulia Sāriputta. Di sini awal dari Mahā Hatthipadopama Sutta:

“Teman-teman, seperti halnya jejak kaki dari makhluk hidup apa pun yang berjalan dapat ditempatkan dalam sebuah jejak kaki gajah... demikian juga semua prinsip-prinsip yang bermanfaat dapat dimasukkan dalam empat kebenaran mulia. Apakah empat hal itu? Kebenaran mulia tentang penderitaan... asal mula... lenyapnya... jalan.”

“Dan apakah kebenaran mulia tentang penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan... lima kelompok unsur kehidupan yang berkaitan dengan kemelekatan adalah penderitaan.”

“Dan apakah lima kelompok unsur kehidupan yang berkaitan dengan kemelekatan? Mereka adalah: kelompok bentuk fisik yang berkaitan dengan kemelekatan, kelompok perasaan... persepsi... aktivitas-aktivitas [kehendak]... kesadaran yang berkaitan dengan kemelekatan.”

“Dan apakah kelompok bentuk fisik yang berkaitan dengan kemelekatan? Ini adalah empat unsur besar fisik dan bentuk fisik yang diturunkan darinya.”

“Dan apakah empat unsur besar fisik? Mereka adalah: unsur tanah... air... api... udara.”

“Dan apakah unsur fisik dari tanah? Unsur fisik dari tanah dapat berupa internal atau eksternal.”

“Dan apakah unsur fisik tanah internal? Apa pun yang secara internal, dimiliki seseorang, padat, keras, dan dapat digenggam; yaitu, rambut kepala, rambut tubuh, kuku, gigi, kulit....”[2]

Di sini lingkaran yang berulang dari teks/penjelasan dibawa ke sebuah tingkatan yang terperinci, yang berfokus bahkan lebih halus, dari kebenaran-kebenaran menuju kelompok-kelompok unsur kehidupan menuju unsur-unsur fisik, yang menunjukkan bagaimana semua “dhamma-dhamma yang bermanfaat” ini terkandung dalam empat kebenaran mulia. Mempertimbangkan kerancuan yang meresap dari istilah “dhamma”, adalah mungkin untuk membaca istilah itu di sini menunjuk pada “kualitas-kualitas, prinsip-prinsip”, yang berarti bahwa semua latihan kontemplatif menempati pada kerangka pemahaman yang lebih luas dari empat kebenaran mulia, dan juga “ajaran-ajaran”, yang berarti bahwa semua ajaran dapat dikelompokkan dalam empat kebenaran mulia (= Saṁyutta kuno). Bagi para Buddhis awal, ini, bukan sebuah teori yang sulit dipahami, tetapi suatu pencerminan dari bagaimana ajaran-ajaran mewujudkan pada suatu tingkatan yang mendalam struktur dari realitas.

Saccavibhaṅga Sutta memberikan contoh proses penguraian ini bahkan lebih eksplisit.[3] Ini berlatarkan di Taman Rusa di Benares, dan Sang Buddha mengingat kembali ajaran-Nya sendiri tentang Dhammacakkappattana Sutta di sana. Beliau memuji Yang Mulia Sāriputta atas kemampuannya untuk mengajarkan empat kebenaran mulia secara rinci, dan kemudian mengundurkan diri ke tempat kediaman-Nya. Yang Mulia Sāriputta mendapatkan isyarat, dan melanjutkan menganalisis kebenaran-kebenaran. Sementara dalam Mahā Hatthipadopama Sutta ia berkonsentrasi dengan teliti pada empat unsur fisik, di sini ia memberikan penjelasan untuk semua aspek dari kebenaran-kebenaran. Ajaran itu memiliki struktur sebagai berikut:

1) Pernyataan (sutta): Sang Buddha mengajarkan empat kebenaran mulia.

2) Pertanyaan: Apakah empat hal itu?

3) Penjelasan (vyākaraṇa): Penderitaan... asal mula... lenyapnya... jalan....

4) Pertanyaan: Apakah penderitaan?

5) Penjelasan: Kelahiran adalah penderitaan... lima kelompok unsur kehidupan yang berkaitan dengan kemelekatan adalah penderitaan.

6) Pertanyaan: Apakah kelahiran?

7) Penjelasan: Kelahiran makhluk-makhluk dari berbagai jenis....

Dalam teks-teks utama ini tradisi-tradisi secara langsung menghubungkan asal mula historis mereka dengan tingkatan penguraian itu. Pertama adalah pernyataan tentang kebenaran-kebenaran; kemudian penjelasan tentang kebenaran-kebenaran; kemudian penjelasan tentang istilah-istilah yang digunakan dalam penjelasan itu. Perhatikan bahwa tingkat terakhir penjelasan ini diyakini berasal dari seorang siswa, bukan Sang Buddha sendiri. Dan penjelasan terperinci ini menunjukkan banyak perbedaan. Sebagai contoh, Sarvāstivāda memberikan suatu penjelasan terperinci dari frase “sakit adalah penderitaan”, yang tidak ditemukan dalam konteks ini dalam Pali (tradisi Theravāda sangat rancu tentang dimasukkannya “sakit” dalam kebenaran mulia). Banyak bahan lain juga adalah pernyatan-pernyataan yang sebagian besar ditemukan dalam Āgama-Āgama tentang ajaran Sarvāstivāda tentang waktu: “Kebenaran mulia tentang penderitaan ini telah ada di masa lampau, ada di masa sekarang, dan akan ada di masa depan...”. Adalah mudah untuk melihat bagaimana pernyataan-pernyataan seperti ini, yang menegaskan bahwa Dhamma adalah suatu prinsip yang tidak bergantung waktu, dapat dimasukkan ke dalam ajaran bahwa “dhamma-dhamma” (fenomena) selalu ada di masa lampau, masa depan, dan masa sekarang.

Evolusi ajaran-ajaran tentang empat kebenaran mulia tidak berhenti di sini. Mahā Satipaṭṭhāna Sutta memasukkan tubuh ajaran dari Saccavibhaṅga Sutta, dengan menambahkan bahkan lebih banyak bahan. Kita akan menyelidiki hal ini lebih jauh dalam penelitian tentang Satipaṭṭhāna Sutta. Penambahan utama adalah perluasan yang panjang dari kebenaran mulia kedua dan ketiga. Kebenaran mulia penderitaan juga diperluas dalam cara yang lebih mendalam, dengan penambahan “sakit” dan “berkumpul dengan yang tidak disenangi, berpisah dengan yang disenangi” pada penjelasan ringkas dan terperinci. Terdapat banyak inkonsistensi dalam cara tradisi memperlakukan frase-frase ini. Keduanya ditemukan dalam Saccavibhaṅga Sutta Sarvāstivādin, tetapi bukan Theravādin. Dengan demikian penyajian Mahā Satipaṭṭhāna Sutta tentang kebenaran-kebenaran jelas menyatakan perluasan historis yang lebih jauh, walaupun dalam kasus ini konteks historis tidak ditegaskan dalam teks itu sendiri.

Mahā Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda menyajikan kebenaran-kebenaran yang diambil oleh Vibhaṅga Abhidhamma dalam uraiannya tentang kebenaran-kebenaran. Di sini kita melihat penambahan yang lebih jauh. Alih-alih menunjuk pada seseorang yang tertimpa “beberapa jenis kemalangan”, Vibhaṅga merincikan kemalangan yang disebabkan kegagalan dalam keluarga, kekayaan, penyakit, etika, atau pandangan. Juga “pemotongan kemampuan hidup” (jīvitindriyassupaccheda) ditambahkan pada definisi kematian. Tetapi secara umum, Pemaparan Sutta tetap benar-benar sama dengan Sutta-Sutta. Pemaparan Abhidhamma menggunakan bentuk konsep abhidhamma yang berkembang untuk menganalisis kebenaran-kebenaran. Anehnya, kebenaran pertama dan kedua adalah dalam urutan yang terbalik. Seperti biasa, pemaparan itu mengikuti jejak serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang tidak berarti dan sangat menekankan pengajaran yang semakin meningkat. Satu-satunya yang menarik pada bagian “pertanyaan” terakhir, standar dalam Vibhaṅga, adalah bahwa sekali lagi ia mencerminkan bentuk pernyataan/pertanyaan yang telah kita lihat berkembang sepanjang evolusi teks-teks. Di sini bahkan Pemaparan Abhidhamma yang telah berkembang menjadi teks dasar, yang tunduk pada pertanyaan yang lebih jauh. Kenyataannya, Abhidhamma kadangkala dikatakan dicirikan dengan “metode pertanyaan” ini, yang tampaknya ganjil ketika kita mengetahui bagaimana pertanyaan-pertanyaan yang umum ada dalam Sutta-Sutta juga, tetapi dapat dijelaskan ketika kita menyadari bahwa Abhidhamma sebagian besar diturunkan dari aṅga vyākaraṇa.

Analisis kebenaran-kebenaran berkembang seperti ini: Saccavibhaṅga Sutta → Mahā Satipaṭṭhāna Sutta → Vibhaṅga. Pada setiap tahap lebih banyak bahan ditambahkan. Beberapa bahan ditambahkan dalam versi akhir Vibhaṅga menemukan jalan kembalinya ke dalam Mahā Satipaṭṭhāna Sutta Myanmar (VRI). Ini memasukkan “berkumpul dengan yang tidak disenangi, berpisah dari yang disenangi”, dan “pemotongan kemampuan hidup” bahkan dibuat kembali ke dalam Saccavibhaṅga Sutta, dengan “berevolusi terbalik” seperti ini: Vibhaṅga → Mahā Satipaṭṭhāna Sutta → Satipaṭṭhāna Sutta/Saccavibhaṅga Sutta.

Perlakuan terhadap empat kebenaran mulia persis seperti yang diprediksi oleh GIST. Ajaran-ajaran pokok ditemukan dalam Saṁyutta dan Vinaya. Penyajian yang lebih sederhana dari ajaran itu muncul pertama-tama, dan penyajian yang lebih rumit kemudian. Pernyataan dasar dalam bentuk deklaratif, yang diucapkan Sang Buddha. Penguraian yang lebih rumit dalam bentuk pertanyaan, dan dihubungkan dengan para siswa. Ini berkembang dari Saṁyutta ke Majjhima ke Dīgha ke Abhidhamma.

Catatan Kaki:


[1] Kebanyakan dari ini banyak tersedia dalam Life of The Buddha oleh Bhikkhu Ñāṇamoli.

[2] MN 28.2–6/MA 30.

[3] MN 141/MA 31/T № 32/EA 27.1/T № 1435.60.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #29 on: 07 August 2013, 06:20:39 PM »
 
Bab 7
Apa yang Terjadi di Gua Sattapaṇṇi?

Sebelum Beliau wafat, Sang Buddha menasehati para bhikkhu:

“Oleh karena itu, Cunda, kalian semua di mana kepada kalian Aku telah mengajarkan dhamma-dhamma ini, setelah melihatnya dengan pengetahuan jernih-Ku, seharusnya berkumpul bersama dan membacakan mereka, menetapkan makna di samping makna dan ungkapan di samping ungkapan, tanpa perselisihan, agar bahwa kehidupan suci ini dapat berlanjut dikembangkan untuk waktu yang lama, untuk manfaat dan kebahagiaan dari banyak orang, demi belas kasih kepada dunia, untuk manfaat dan kebahagiaan dari para dewa dan manusia. Dan apakah dhamma-dhamma yang seharusnya kalian bacakan bersama? Empat satipaṭṭhāna, empat upaya benar, empat landasan kekuatan batin, lima kemampuan spiritual, lima kekuatan spiritual, tujuh faktor pencerahan, jalan mulia berunsur delapan.”[1]

Ini adalah versi Theravāda. Dalam Dharmaguptaka, 37 sayap menuju pencerahan digantikan dengan dua belas aṅga.[2] Terdapat masalah di sini. Tiga puluh tujuh sayap menuju pencerahan dan dua belas aṅga adalah, secara sekilas, hal yang sangat berbeda: sayap-sayap menuju pencerahan adalah topik-topik ajaran, sedangkan aṅga-aṅga adalah gaya kesusasteraan. Tetapi jika sayap-sayap menuju pencerahan adalah, seperti yang saya nyatakan, terutama sebuah daftar isi dari bagian meditasi (Magga Vagga) dari Saṁyutta kuno, dan jika tiga aṅga secara luas diidentifikasi dengan Saṁyutta kuno secara keseluruhan, maka masalah terselesaikan.

Terdapat nasehat yang sama dalam Mahā Parinibbāna Sutta. Sang Buddha, setelah melepaskan keinginan-Nya untuk terus hidup, mengumpulkan para bhikkhu di Aula Beratap Segitiga di Hutan Besar di Vesālī. Dalam Pali, Sang Buddha menganjurkan para bhikkhu untuk mempelajari dan berlatih 37 sayap menuju pencerahan, dalam kata-kata yang sama seperti di atas, tetapi tidak secara khusus menyebutkan membacakannya bersama-sama.[3] Sarvāstivāda memiliki bacaan yang sama, tetapi latarnya adalah di Tempat Pemujaan Cāpala. Seperti halnya Pali, ini menyebutkan 37 sayap menuju pencerahan, tetapi menambahkan bahwa dhamma-dhamma ini harus “diingat, dipahami dengan baik, dan dibacakan”.[4]

Versi Sanskrit lainnya, di mana kita hanya memiliki potongan ini, menjelaskan kejadian yang sama yang terjadi di Tempat Pemujaan Gandhamādāna. Ini menyebutkan aṅga-aṅga dan sayap-sayap menuju pencerahan. Ini sedikit aneh bahwa sayap-sayap pencerahan, yang merupakan ajaran-ajaran tentang latihan, adalah untuk dibacakan, sedangkan aṅga-aṅga adalah untuk dilatih; ini menghilangkan semua pembagian antara teori dan praktek, dan cenderung lebih jauh menyatakan penyatuan dari dua kelompok ini. Kita mencatat sekilas bahwa beberapa dari frase-frase itu dalam bacaan berikut (“dengan bersama-sama bergembira, tanpa perselisihan, dalam kesatuan, dengan pembacaan yang bersatu...” dst.) mengingatkan pada bahan Vinaya.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, dhamma-dhamma tersebut yang telah Ku-nyatakan, setelah melihat dan memasukinya dengan pengetahuan langsung-Ku – yaitu: empat satipaṭṭhāna, empat upaya benar, empat landasan kekuatan batin, lima kemampuan spiritual, tujuh faktor pencerahan, jalan mulia berunsur delapan – di sanalah kalian semua harus, dalam kebersamaan dan kerukunan, dengan bersama-sama bergembira, tanpa perselisihan, dalam kesatuan, dengan pembacaan yang bersatu, satu bagaikan susu dan air... (?)... seharusnya berdiam dalam kenyamanan.”

“Oleh karena itu, para bhikkhu, dhamma-dhamma yang diajarkan oleh-Ku – yaitu, sutta, geyya, vyākaraṇa, gāthā-udāna-nidāna-avadāna-itivuttaka-jātakavepulla-abbhūtadhamma-upadeśa – dhamma-dhamma tersebut harus dengan baik dan sepenuhnya dipelajari; setelah dipelajari mereka harus diingat; setelah diingat mereka harus diselidiki; setelah diselidiki mereka harus dipahami; setelah dipahami, dalam hal yang sama mereka harus dilatih.”[5]

Sedikit setelah kejadian ini, dalam versi Pali dan Sanskrit, muncul ajaran yang terkemuka tentang rujukan agung, yang telah kita temui sebelumnya: ketika siapa pun membuat pernyataan tentang ajaran Sang Buddha, tidak peduli betapa terpelajarnya atau berwibawanya mereka, pernyataan mereka harus dibandingkan dengan Sutta-Sutta dan Vinaya.[6] Sanskrit menyatakan prinsip-prinsip penting lebih secara eksplisit daripada Pali: “Para bhikkhu harus bergantung pada Sutta-Sutta bukan pada individu”.[7] Dalam alur narasi, ini mengingatkan kembali pada pernyataan-pernyataan yang lebih awal, yang menyatakan “sutta-sutta” di sini berhubungan dengan sayap-sayap menuju pencerahan dan/atau aṅga-aṅga: yaitu Saṁyutta kuno.

Versi Sanskrit mencatat suatu pernyataan tambahan, yang sama. Ini diberikan keunggulan besar dengan dimasukkannya dalam ajaran-ajaran menjelang kematian yang terkenal dari Sang Buddha. Dalam istilah-istilah yang identik pada konteks sebelumnya, Sang Buddha menyatakan bahwa dhamma-dhamma bermanfaat tersebut adalah untuk dipelajari, diingat, dan dibacakan, tetapi alih-alih menyebutkan sayap-sayap  menuju pencerahan ini menyebutkan dua belas aṅga.[8] Dalam kedua kasus ini, dhamma-dhamma yang sama ditemukan dalam konteks yang sama dalam Vinaya Mūlasarvāstivāda.[9]

Bacaan ini mendukung tesis kita, apakah mereka perkataan Sang Buddha yang otentik atau tidak. Jika mereka tidak otentik, mereka pasti telah diciptakan oleh Sangha, mungkin untuk mengesahkan kenyataan Konsili Pertama di Rājagaha. Mereka tidak mungkin penambahan yang sangat belakangan, karena maka mereka pasti menyebutkan Nikāya-Nikāya, seperti juga kisah dalam Cūḷavagga Vinaya. Kenyataan bahwa mereka menunjuk, tampaknya tanpa perbedaan, pada 37 sayap pencerahan dan aṅga-aṅga, menyatakan bahwa jika mereka adalah suatu penambahan mereka menghubungkan kembali pada suatu masa ketika hal-hal ini dilihat sebagai ajaran-ajaran kunci yang dibacakan pada Konsili Pertama.

Dan jika mereka otentik, tampaknya tidak masuk akal bahwa Sangha telah mengabaikan atau mengesampingkan ajaran yang penting demikian. Tidak ada alasan yang bagus untuk meragukan bahwa Sang Buddha memang, sesaat sebelum Beliau wafat, menganjurkan Sangha untuk mempertahankan ajaran-Nya dengan berkumpul bersama untuk membacakannya. Dan saya yakin bahwa mereka melakukan persis seperti yang dianjurkan Sang Buddha. Setelah Beliau wafat, Sangha berkumpul bersama di Gua Sattapaṇṇi, di bukit curam yang menghadap Rājagaha, dan membacakan, demi belas kasih pada dunia, inti ajaran Dhamma: sutta, geyya, dan vyākaraṇa yang kita temukan sekarang dalam Saṁyutta Nikāya.

Kesimpulan dari Mahā Parinibbāna Sutta ini menyambung dengan agak baik dengan tradisi tafsir Theravāda dari Peṭakopadesa dan Netti. Bacaan tentang rujukan agung mengatakan suatu pernyataan harus diperiksa untuk melihat apakah ia “sesuai” dengan Sutta-Sutta. Kata yang kita terjemahkan sebagai “sesuai” adalah dalam Pali otaraṇa, secara harfiah “menuruni, memasuki”. L. S. Cousins berkomentar:

Ini adalah suatu ungkapan yang tidak biasanya; ini lebih baik ditafsirkan dalam penjelasan tradisi Peṭakopadesa di mana otaraṇa adalah salah satu dari enam belas hāra [“cara menyampaikan suatu penafsiran”]. Ini dapat diambil sebagai suatu cara tafsir tertentu yang menghubungkan suatu kotbah yang dipertimbangkan ke dalam ajaran-ajaran secara keseluruhan dengan alat salah satu dari kategori umum dari ajaran. Peṭakopadesa kenyataannya merincikan enam kemungkian: kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, kemampuan-kemampuan, kebenaran-kebenaran, kemunculan bergantungan. Semua ini dapat digunakan untuk menganalisis isi dari suatu kotbah dan penggunaannya akan secara otomatis menempatkannya dalam konteks ajaran secara keseluruhan. Sesuatu dalam baris ini, jika mungkin agak sedikit didefinisikan, pastinya dimaksudkan dalam bacaan mahāpadesa [“rujukan agung”]. Apakah yang digambarkan untuk sutta bukanlah sekumpulan tubuh literatur, tetapi alih-alih suatu pola tradisional dari ajaran.[10]

Dalam daftar dari enam topik di bawah otaraṇa dalam Peṭakopadesa yang kita miliki, tentu saja, juga contoh lain dari saṁyutta-mātikā. Kita telah memperhatikan bagaimana Netti memperlakuan sutta dalam rujukan agung berhubungan dengan empat kebenaran mulia, yang menunjukkan pada kita langsung pada Dhammacakkappavattana Sutta dan kumpulan utama dimana ia ditemukan di dalamnya. Ini menghilangkan dikotomi yang ditetapkan Cousins dalam kalimat terakhirnya: sutta adalah sekumpulan literatur yang telah dipolakan menurut ajaran-ajaran utama.

Terdapat suatu bacaan dalam Samantapāsādika, komentar Vinaya Theravada, yang mengungkapkan gambaran historis di sini. Bacaan itu berhubungan dengan pertanyaan bagaimana 500 orang bhikkhu dipilih untuk ikut serta dalam Konsili Pertama.

Mengesampingkan ratusan dan ribuan orang bhikkhu yang telah menghafal keseluruhan sembilan aṅga dispensasi tekstual dari Sang Guru, orang-orang biasa, pemasuk arus, yang kembali sekali, yang tidak akan kembali, para Arahat vipassanā-kering, Sesepuh [Mahā Kassapa] mengumpulkan 499 orang bhikkhu yang telah menghafal Tipiṭaka dengan semua pembagian tekstualnya, yang mencapai pembedaan, dengan kekuatan besar, kebanyakan mereka yang termasuk dalam para siswa terkemuka, pemilik tiga realisasi, dst., yang semuanya adalah Arahat.”[11]

Jelasnya kelompok pertama tidak disukai dibandingkan dengan yang belakangan; dengan demikian ini menyatakan bahwa kitab sembilan aṅga entah bagaimana lebih rendah daripada Tipiṭaka. Namun ini tersirat dalam tradisi-tradisi: karena mereka berpindah dari aṅga-aṅga menuju Tipiṭaka, mereka pasti tidak puas dengan sistem lama. Bacaan ini menyatakan bahwa Konsili Pertama adalah titik poros untuk perubahan ini, masa ketika sistem Tipiṭaka mulai muncul dalam pengaruhnya yang penting. Walaupun Abhidhamma bukan bagian dari pembacaan, kita dapat setuju dengan dinamika yang disarankan itu. Lagi ini bersesuaian sangat baik dengan kisah Konsili Pertama dalam Vinaya Mūlasarvāstivāda, karena di sana urusan menyusun Saṁyutta Āgama (tiga aṅga pertama GIST) diberikan tempat utama, dan membawa pada penyusunan Āgama-Āgama lain.

Kita sekarang dalam keadaan seimbang untuk menarik beberapa untaian dalam bab-bab di atas, dan untuk melukiskan seluruh gambaran yang lebih masuk akal dari struktur Dhamma dan Vinaya. Dua kotbah, Catuṣpariṣat Sūtra dan Mahā Parinibbāna Sutta, adalah sepasang yang saling melengkapi. Ini terbukti dari banyak kesejajaran dan kesamaan dalam rincian dan strukturnya. Tidak perlu menyelidiki hal ini secara rinci di sini; cukup memberikan contoh beberapa ciri khas. Keduanya mulai di atau dekat Rājagaha; keduanya melibatkan Raja dari Rājagaha; keduanya mengisahkan Sang Buddha mengadakan perjalanan; keduanya menyelingi perjalanan itu dengan ajaran-ajaran penting; Catuṣpariṣat mengisahkan pengikut pertama (Aññā Koṇḍañña), sedangkan Mahā Parinibbāna mengisahkan pengikut terakhir (Subhadda); keduanya menyebutkan keunggulan Sang Buddha daripada pertapa Āḷāra Kālāma; keduanya menonjolkan campur tangan dewa dari Sakka, Brahmā, dan Māra, serta para makhluk surgawi lainnya; keduanya menonjolkan pertunjukan kekuatan batin, termasuk “berjalan di atas air”; keduanya mengatakan tentang gempa bumi dan tanda-tanda surgawi lainnya yang menyertai kejadian-kejadian utama dalam karir Sang Tathāgata; keduanya menyatukan sejumlah besar bahan yang ditemukan di tempat lain sebagai Sutta-Sutta individual; namun keduanya gagal menyatukan sepenuhnya semua bahan yang ditemukan di tempat lain; keduanya menempati posisi di antara Dhamma dan Vinaya; dan seterusnya. Sementara ciri-ciri khas ini menyatakan suatu hubungan antara teks-teks, hubungan-hubungan yang eksplisit juga tidak kurang. Catuṣpariṣat Sutta menyatakan Sang Buddha mengatakan bahwa ia tidak akan meninggal dunia sebelum empat perkumpulan (para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan) telah sepenuhnya berkembang (yang mana lihat lebih lanjut di bawah). Mahā Parinibbāna Sutta secara eksplisit menunjuk pada pemutaran roda Dhamma sebagai salah satu dari delapan sebab gempa bumi; versi Sanskrit bahkan menyebutkan “dua belas cara”  dan “tiga putaran”, dengan demikian menjelaskan bahwa ini adalah kenyataannya Dhammacakkappavattana Sutta yang ditunjukkan.[12]

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #30 on: 07 August 2013, 06:24:25 PM »
Catuṣpariṣat Sūtra menceritakan kisah awal karir Sang Buddha, sedangkan Mahā Parinibbāna menceritakan akhirnya. Kita telah memperhatikan di atas bahwa beberapa gaya literatur Buddhis secara formal distrukturkan dengan mengambil suatu ajaran yang sudah ada sebelumnya, dan melengkapi ini dengan bacaan pembukaan dan penutup yang menyediakan suatu latar bagi ajaran tersebut. Jenis bentuk ini, tentu saja, secara mutlak adalah ciri khas dari format normal untuk kotbah-kotbah: pertama-tama latar dinyatakan, secara ringkas atau rinci; kemudian ajaran-ajaran doktrinal diberikan; akhirnya para bhikkhu bergembira atas apa yang dikatakan. Literatur-literatur yang belakangan seperti Jātaka, sebagai contoh, menyediakan kisah utama dengan suatu latar (“Kisah Masa Sekarang”) dalam suatu cara yang mirip. Aturan-aturan, demikian juga, didahului dengan kisah-kisah awal mula (nidāna-nidāna) dan diikuti oleh studi dan analisis kasus. Apakah jika kita mempertimbangkan Catuṣpariṣat dan Mahā Parinibbāna mengandung, dalam suatu gaya yang sejajar, latar pembukaan dan penutupan untuk seluruh Dhamma-Vinaya?

Catuṣpariṣat memberikan latar belakang naratif untuk Dhammacakkappavattana Sutta dan ajaran-ajaran penting lain yang sekarang ditemukan dalam Saṁyutta. Dalam cara ini, ia menaburkan benih-benih dari tiga aṅga (= proto-Saṁyutta), dan membentuk landasan untuk seluruh bangunan besar dari Dhamma. Kita hampir dapat melihat ajaran-ajaran yang disatukan dalam kisah ini mulai bercabang dan terpisah: syair-syair geyya, mulai dengan Permohonan Brahmā, sangat berbeda, dan cenderung untuk muncul dalam kelompok-kelompok; sentralitas ajaran-ajaran sutta dari Sang Buddha sendiri, seperti Dhammacakkappavattana Sutta, diberikan penekanan khusus; dan percakapan-percakapan vyākaraṇa dengan para siswa, seperti Anattalakkhaṇa Sutta, memperluas ajaran-ajaran pokok.

Mengikuti penetapan Dhamma, penahbisan Aññā Koṇḍañña membentuk poin awal untuk Vinaya. Kisah ini, dalam Vinaya Theravāda, menyatu ke dalam penggambaran formal dari tata cara penahbisan dan dengan demikian awal dari Khandaka-Khandaka, yang merupakan separuh dari Vinaya yang terutama berhubungan dengan aspek petunjuk dari kehidupan monastik, kewajiban-kewajiban, dan seterusnya yang harus dilakukan. Separuh lainnya dari Vinaya, Bhikkhu dan Bhikkhunī Vibhaṅga, yang membicarakan aturan-aturan Pāṭimokkha dan analisisnya, terutama berkaitan dengan aspek larangan dari kehidupan monastik, berbagai jenis perilaku salah yang harus dihindari. Bagian ini mulai dengan kisah Sudinna, bhikkhu yang melakukan hubungan seks dengan mantan istrinya untuk mengabulkan harapan orang tuanya atas ahli waris. Kejadian ini dengan sadar membentuk suatu kisah-berlawanan yang negatif pada bahan Catuṣpariṣat. Sementara Catuṣpariṣat dengan tak terlupakan menonjolkan para dewa yang berseru dengan gembira atas dinyatakannya Dhammacakkappavattana Sutta, kisah Sudinna menyatakan para dewa, dalam gaya yang persis sejajar, berseru atas kerusakan yang sekarang telah memasuki Sangha. Demikianlah Catuṣpariṣat, setelah bercabang ke dalam Dhamma dan Vinaya, berlanjut menyatakan sub-divisi utama dalam masing-masing wilayah ini.

Ketika rangkaian dan struktur dari Dhamma dan Vinaya telah ditetapkan dengan cara ini, masing-masing dari benang utama yang diusulkan berlanjut membuat perbedaan dan membagi ke dalam sub-divisi lebih jauh, yang menghasilkan kumpulan yang menakjubkan tetapi membuat frustasi dari kesatuan dan keanekaragaman dari kitab suci seperti yang kita miliki. Mahā Parinibbāna, sebagai kisah penutup, berusaha menarik kembali untaian itu. Ia mengandung banyak bahan bergaya Vinaya – berbagai kumpulan Dhamma yang membawa pada ketidakmunduran; izin untuk menghapus “aturan-aturan kecil dan tidak penting”; penetapan “hukuman tertinggi” terhadap Channa yang keras kepala; penahbisan Subhadda; dan seterusnya. Dalam pengertian ini, ia adalah suatu ringkasan dan cerminan atas beberapa dari prinsip-prinsip kunci dari Vinaya. Dengan cara yang sama, ia meninjau kembali dan menekankan beberapa ajaran Dhamma kunci, khususnya 37 sayap menuju pencerahan, empat kebenaran mulia, dan tiga unsur pelatihan dari etika, samādhi, dan pemahaman; dengan kata lain, topik-topik kunci dari Saṁyutta.

Kita telah mencatat bahwa bagian-bagian yang bertentangan dari ajaran dapat disusun dalam latar mitos yang secara sadar disambung untuk berlawanan satu sama lainnya, seperti seruan para dewa sebagai tanggapan pada Dhammacakkappavattana Sutta dan pada kejatuhan Sudinna. Hal yang sama, Permohonan Brahmā agar Sang Buddha mengajar, yang ditemukan dalam Catuṣpariṣat Sutta, berlawanan dengan Permohonan Māra agar Sang Buddha meninggal dunia, yang ditemukan dalam Mahā Parinibbāna Sutta. Versi Sanskrit membuat kesejajaran antara Catuṣpariṣat dan Mahā Parinibbāna lebih eksplisit dan rumit – sangat rumit untuk dibahas di sini.[13] Pernyataan ini tidak ditemukan sampai rangkuman pada DN 16.3.34, mengikuti delapan sebab gempa bumi, sedangkan versi Sanskrit memiliki bacaan penuh hanya sekali. Versi Pali, di antara dua penyebutan Permohonan Māra, memasukkan beberapa kumpulan yang tidak berhubungan dari delapan dhamma (delapan perkumpulan, delapan tingkat penguasaan, delapan pembebasan), suatu penerapan yang seenaknya dari prinsip aṅguttara. Kenyataannya, mungkin dimasukkannya kumpulan dhamma tambahan ini yang mengharuskan versi Pali merangkumkan Permohonan Māra; ini adalah tanda klasik manipulasi tekstual, yang secara teknis diketahui sebagai “rangkuman secara ringkas”. Mahā Parinibbāna Sutta mengisahkan bagaimana Māra mendekati Sang Buddha, bersujud dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha (! hanya dalam versi Sanskrit), dan mengingatkan Beliau bahwa, ketika Sang Buddha berdiam di Uruvelā di tepi sungai Nerañjarā tak lama setelah Beliau tercerahkan, Māra telah mendatangi-Nya dan meminta agar Sang Buddha meninggal dunia. Kejadian ini kenyataannya ditemukan dalam Catuṣpariṣat Sūtra Sanskrit, tetapi tidak ada dari versi Pali yang sejajar dalam Vinaya Mahāvagga. Pada waktu itu, kedua versi Mahā Parinibbāna Sutta berlanjut mengatakan, Sang Buddha menjawab bahwa Beliau tidak akan meninggal dunia sampai empat perkumpulan dari para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan telah berkembang dengan baik dan berlatih dengan baik dalam Dhamma, dapat mengajarkan dan mempertahankan Dhamma. (Bacaan ini, secara tidak sengaja, adalah salah satu dari banyak bacaan yang menunjukkan bahwa pendirian Sangha Bhikkhunī tidak diadakan atas keengganan Sang Buddha, seperti yang muncul dalam kisah Vinaya, tetapi suatu bagian intrinsik dari misi Beliau dari awalnya.) Tetapi sekarang, kata Māra, kondisi-kondisi ini telah terpenuhi: empat perkumpulan sesungguhnya telah berkembang dengan baik, maka inilah waktunya bagi Sang Buddha untuk meninggal dunia. Sang Buddha mengatakan pada Māra untuk tidak khawatir, bahwa Beliau akan sesungguhnya meninggal dunia dalam waktu tiga bulan. Versi Sanskrit menambahkan pernyataan yang menarik bahwa setelah menerima konfirmasi atas Parinibbāna Sang Buddha yang dekat, Māra dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan, menghilang tepat di sana.[14] Ini berdiri berlawanan dengan reaksi Māra dalam setiap pertemuan dengan Sang Buddha, di mana ia menghilang “dengan sedih dan kecewa”, yang kenyataannya adalah apa yang terjadi dalam Permohonan Māra dalam Catuṣpariṣat Sūtra.[15] Hubungan terperinci ini menyatakan bahwa dua teks Sanskrit disusun secara bersama-sama, dan oleh sebab itu berasal dari aliran yang sama. Ini mungkin Sarvāstivāda, walaupun patut dicatat bahwa dalam kedua teks, khususnya Mahā Parinirvāṇa, yang tema utamanya adalah ketidakkekalan, versi Sanskrit menahan diri dari pernyataan kuasi-eternalis di mana Sarvāstivāda biasanya berkecenderungan demikian.

Contoh lain dari hubungan tambahan dalam versi Sanskrit adalah bahwa, tepat sebelum Permohonan Māra, Sang Buddha mengambil dana makanan dari saudagar Tapussa dan Bhallika, yang adalah makanan pertama setelah pencerahan-Nya. Sayangnya, makanan itu, yang terdiri dari banyak “gumpalan-madu”, terlalu kaya bagi Sang Buddha setelah diet-Nya yang keras, karena versi Sanskrit, walaupun tidak ada dalam Pali, mengatakan Beliau terkena suatu “sakit-angin” yang parah. Ini segera mengingatkan kita pada penyakit Sang Buddha yang terkenal setelah memakan makanan terakhir-Nya; hubungannya secara eksplisit dilibatkan, karena dalam Mahā Parinibbāna Sutta Sang Buddha mengatakan dua makanan ini, yang pertama dan terakhir, mengandung jasa tiada bandingnya.[16] Dalam Catuṣpariṣat Sūtra, penyakit Sang Buddha diikuti oleh Permohonan Māra; kemudian, setelah Māra menghilang, Sakka raja para dewa muncul di hadapan Sang Buddha untuk memberikan Beliau obat untuk menyembuhkan penyakit-Nya. Struktur kisah ini membuatnya tampak seakan-akan Permohonan Māra disisipkan dalam kisah penyakit.

Keseluruhan rangkaian kejadian memberikan suatu tenunan mitos yang bergema, rumit yang tidak mudah dibuka tenunannya ke dalam untaian yang terpisahnya. Ini adalah penutupan dari siklus itu. Mempertimbangkan ketergantungan yang mendalam dari kedua teks ini, tidak dapat dihindari bahwa konsepsi mereka atas Dhamma yang berkaitan kitab seharusnya juga saling berjalinan. Catuṣpariṣat Sūtra menyediakan suatu kerangka kisah yang otoritatif atas Dhammacakkappavattana dan ajaran-ajaran utama lainnya; dan dengan cara yang sama, Mahā Parinibbāna Sutta menyediakan suatu kerangka kisah yang otoritatif atas instruksi Sang Buddha agar, setelah Beliau tiada, para pengikut-Nya harus bergantung pada Dhamma dan Vinaya. Seperti yang telah kita lihat, Dhamma terutama dirumuskan di sini sebagai 37 sayap menuju pencerahan atau aṅga-aṅga. Kita telah mengidentifikasi kedua hal ini dengan proto-Saṁyutta, yang turunannya yang ada mengandung kutipan-kutipan ajaran pokok dari Catuṣpariṣat Sūtra.

7.1 Kesimpulan

Saya telah berusaha membuat kasus sekuat mungkin untuk GIST dalam ruang yang singkat. Tidak diragukan lagi saya telah menghilangkan banyak contoh-contoh yang berlawanan, dan tidak diragukan lagi gambar sebenarnya lebih kompleks daripada penggambaran singkat yang mana pun. Sebagai contoh, saya telah mengidentifikasi Dhammacakkappavattana Sutta sebagai pola utama dari aṅga sutta sebagai yang berlawanan dengan aṅga vyākaraṇa. Tetapi segera setelah mengikuti kotbah utama, teks mengatakan: “Ketika vyākaraṇa ini diucapkan...” (walaupun versi Sanskrit memiliki dhammapariyāya, “pemaparan Dhamma”.) Untuk mengoleskan garam pada luka, teks itu berakhir dengan sebuah udāna. Jelasnya, mencari kekonsistenan yang mutlak adalah sia-sia. Masih, jika kita menolak, seperti yang kita harus, kisah tradisi tentang asal mula Tripitaka sebagai mitos sektarian, kita harus mencari suatu alternatif yang lebih masuk akal.

Kelanjutan itu, bahkan identitas, antara tiga lapisan teks tidak dapat disangkal. Ia mencerminkan suatu upaya keras untuk memantapkan ajaran-ajaran Sang Buddha, untuk melestarikannya terhadap kebinasaan atas ketidakkekalan, di mana semua umat Buddha menyadarinya secara tajam. Mengambil sehelai daun dari teori meme oleh Richard Dawkin, kita dapat berpikir tentang kemantapan tekstual ini dalam istilah evolusi gagasan. Teks-teks itu sendiri bukanlah yang utama. Mereka tidak berakhir dalam dirinya sendiri. Adalah gagasan-gagasan, meme, yang merupakan kekuatan pendorong. Meme menghasilkan teks-teks untuk memastikan kelangsungan hidup dan penyebaran mereka sendiri melalui waktu. Struktur permukaan dari teks-teks ditentukan oleh keterampilan dan masalah yang tidak pasti seperti teknologi lokal, gaya kesusasteraan, dan sebagainya, serta harus berubah dalam waktu. Tetapi meme bertahan. Inilah satu-satunya kriteria yang bermakna di mana untuk menilai keberhasilan usaha kesusasteraan yang luar biasa ini: apakah ia telah mempertahankan gagasan-gagasan pokok melalui waktu? Dalam lapisan awal yang telah kita pertimbangkan, reproduksi ini dipertahankan menggunakan kata-kata dan ungkapan yang persis sama yang diulangi dalam berbagai lapisan. Kenyataannya kita dapat mengatakan, bukan tentang pembuatan lapisan baru dari teks-teks, tetapi tentang tahapan yang berbeda dari satu teks dan teks yang sama. Satu-satunya keganjilan genetik adalah bahwa lapisan-lapisan yang lebih awal dipertahankan bersama lapisan-lapisan yang belakangan. Tugas kita harus mengupas kembali lapisan-lapisan itu, seni yang sulit dari arkeologi tekstual.

Dengan melakukan demikian, walaupun tugas itu tampak sulit, kita menemukan suatu harta yang tidak ternilai: suatu Dhamma umum yang mendasari semua aliran dan tradisi Buddhis. Dengan menggunakan metode historis kita, kita memancarkan suatu cahaya baru yang menarik terhadap suatu dunia Buddhisme yang terlupakan.

Bagi kita, naskah-naskah kuno yang hilang bukanlah seperti gulungan Laut Mati yang hilang di gurun. Penemuan naskah-naskah kuno dari gurun-gurun dan gua-gua di Afghanistan dan Asia Tengah bertanggal dengan baik dari masa setelah Sang Buddha dan terutama memperkuat, alih-alih mengurangi, keotentikan dari kanon-kanon. Naskah-naskah kuno yang hilang alih-alih dikuburkan dalam suatu ruang yang lebih dala, yang tidak dapat dicapai – ruang-ruang pemujaan dari vihara-vihara Buddhis. Di sana mereka tetap, terkubur di bawah pasir interpretasi, objek-objek pemujaan bukan studi, yang menginspirasi ketaatan bukan praktek. Panggilan Sang Buddha yang mendesak, berulang-ulang adalah untuk ajaran-ajaran ini bukan untuk menyisakan hanya kata-kata ini, tetapi untuk memberitahukan dan memberi makan pada pembebasan batin.

Catatan Kaki:
 
[1] DN 29.17/DA 17.

[2] Berdasarkan Bucknell, esai yang tidak diterbitkan.

[3] DN 16.3.50.

[4] Waldschmidt (1950–1951), 19.7–10.

[5] Waldschmidt (1968).

[6] Tradisi Sanskrit, termasuk Mahāyāna dan Sarvāstivāda, biasanya menambahkan dhammatā (“cara hal-hal”) pada sutta dan vinaya, walaupun terdapat satu Sutta Mandarin yang hanya memiliki keduanya. Menariknya, Netti Theravādin juga memiliki dhammatā. Lihat Lamotte, 1983–4, pg.4.

[7] Waldschmidt (1950–1951), 24.2.

[8] Waldschmidt (1950–1951), 40.62.

[9] Rockhill, pg. 132, 140.

[10] Cousins (1983), pg. 3.

[11] Samantapāsādika, Verañjakaṇḍavaṇṇanā, Paṭhamasaṅgītikathā.

[12] DN 16.3.18/Skt MPS 17.17.

[13] Skt MPS 16.1–12. Versi Pali memiliki kejadian Māra (DN 16.3.7), tetapi tanpa menyebutkan bahwa Māra pertama kali meminta Sang Buddha meninggal dunia ketika Beliau baru tercerahkan di Uruvelā.

[14] Skt MPS 16.12.

[15] Skt CPS 4.7.

[16] DN 16.4.42/Skt MPS 29.5–12. Skt tidak memasukkan penunjukan yang kontroversial pada “yang disukai babi”, ataupun ia tidak menyebutkan penyakitnya. Alih-alih ia menyisipkan suatu bagian yang ganjil tentang seorang “bhikkhu jahat” yang membawa “belanga logam” di bawah ketiaknya, hanya untuk diungkap dengan kekuatan Sang Buddha.
-----oo0oo----

BAGIAN PERTAMA SELESAI
 :lotus: :lotus: :lotus:
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #31 on: 08 August 2013, 10:55:18 AM »
BAGIAN KEDUA
A HISTORY OF MINDFULNES

Inilah jalan yang bertemu pada satu titik
untuk pemurnian makhluk-makhluk,
untuk mengatasi dukacita dan ratap tangis,
untuk mengakhiri kesakitan dan kesedihan,
untuk mencapai jalan yang benar,
yaitu, empat penegakan perhatian.

- Sang Buddha, SN 47.18 Brahma Sutta

Bab 8
Pengantar pada Perhatian

“Perhatian [sati] bermanfaat di mana pun” – demikianlah yang dikatakan Sang Buddha.[1] Dan dalam kesesuaian dengan motif ini, tema perhatian muncul dalam setiap ajaran yang membentuk jalan menuju pembebasan. Pada hal yang paling pentingnya, perhatian adalah penting bagi rasa hati nurani di mana perilaku etis berlandaskan; oleh sebab itu alkohol dan obat-obatan, dengan menghancurkan perhatian, menghancurkan dasar bagi kehidupan moral. Perhatian, dalam pengertian kunonya sebagai “ingatan”, mengingat dan mengumpulkan kembali ajaran-ajaran, membentuk dasar untuk pemahaman intelektual atas Dhamma, dan mengingat mereka dalam pikiran, siap untuk diterapkan tepat pada saat yang penting. Perhatian menjaga indera-indera, menganugerahkan meditator dengan sifat berhati-hati, kepantasan, dan keterkumpulan, dengan tidak mengizinkan indera-indera untuk bermain  dengan mainan dan barang-barang permainan dunia yang menggiurkan. Perhatian mengumpulkan-kembali kesadaran ke dalam masa kini, mengingatkan-kembali seseorang sehingga tindakannya bertujuan dan tepat, yang berlandaskan pada waktu dan tempat. Perhatian terkemuka dalam semua jenis meditasi, dan dalam bentuknya yang diperhalus ia membedakan tingkatan yang mulia dari kesadaran yang lebih tinggi yang disebut samādhi. Dalam taraf kebijaksanaan, perhatian memperluas kelanjutan dari kesadaran dari kesadaran biasa menjadi samādhi dan melampauinya, dengan tetap bersama pikiran dalam semua permutasi dan transformasinya dan dengan demikian menyediakan bahan bakar untuk pemahaman ketidakkekalan dan kausalitas. Dan akhirnya pada taraf pembebasan, perhatian yang disempurnakan adalah kualitas yang tidak dapat dicabut dari orang bijaksana yang sudah merealisasi, yang hidup “selalu penuh perhatian”.

Mempertimbangkan sifat perhatian yang ada di mana-mana, sama selalu adanya seperti garam di lautan, mungkin tampaknya suatu pekerjaan yang sia-sia untuk memisahkan beberapa wilayah dari Dhamma yang mengandung suatu keterikatan khusus dengan perhatian.  Sesungguhnya, kita dapat bahwa berlanjut lebih jauh dan menyatakan bahwa upaya yang demikian mana pun menyembunyikan suatu program untuk mengkooptasi prestise yang unik dari perhatian oleh sebab perspektif partisan seseorang. Namun demikian, ini telah menjadi hal lumrah dalam lingkungan meditasi Theravāda abad ke-20 bahwa perhatian, dan secara khusus perwujudan utamanya sebagai satipaṭṭhāna, dekat atau sama dengan pengertian vipassanā, atau pandangan terang. Dukungan utama untuk gagasan ini adalah Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda, yang satu-satunya teks awal yang terkenal tentang satipaṭṭhāna. Keberhasilan dari ajaran ini, diulangi dalam hampir setiap teks Theravāda abad ke-20 tentang meditasi, mencerminkan prestise yang tiada bandingnya dari Satipaṭṭhāna Sutta. Di sini hanyalah sedikit kutipan yang mewakili.

[Mahā Satipaṭṭhāna Sutta] umumnya dianggap sebagai sutta yang paling penting dalam keseluruhan kanon Pali.
Maurice Walshe
The Long Discourses of the Buddha, hal. 588

Kotbah yang paling penting yang pernah diberikan Sang Buddha tentang pengembangan batin (meditasi) disebut Satipaṭṭhāna Sutta.
Walpola Rāhula
What the Buddha Taught, hal. 69.

[Satipaṭṭhāna Sutta] oleh semua umat Buddha dengan tepat dianggap bagian yang paling penting dari seluruh Sutta-Piṭaka dan intisari dari seluruh praktek meditasi.
Bhikkhu Nyanatiloka
Path to Deliverance, hal. 123.

Tidak ada kotbah lain Sang Buddha, tidak bahkan kotbah pertama Beliau, “Kotbah di Benares” yang terkenal, menikmati di negera-negera Buddhis di Timur yang menganut tradisi yang asli dari ajaran-ajaran awal mula, kepopuleran dan penghormatan demikian seperti Satipaṭṭhāna Sutta.
Bhikkhu Nyanaponika
The Heart of Buddhist Meditation, hal. 11.

Pemujaan, yang berlawanan dengan praktek, dari Satipaṭṭhāna Sutta adalah ciri khas yang luar biasa dari Theravāda modern. Di sini adalah Yang Mulia Nyanaponika dalam karya klasiknya The Heart of Buddhist Meditation:

Di Lanka sebagai contoh, pulau Sri Lanka, pada waktu hari-hari bulan purnama para umat awam menjalankan delapan dari sepuluh aturan pokok dari para samanera, berdiam siang dan malam di vihara, mereka seringkali memilih Sutta ini untuk dibaca, dilafalkan, didengarkan, dan direnungkan. Masih, di banyak rumah, buku satipaṭṭhāna dengan hormat dibungkus dalam sehelai kain bersih, dan dari waktu ke waktu, di malam hari, ia dibacakan kepada para anggota keluarga. Seringkali kotbah ini dibacakan pada sisi tempat tidur seorang umat Buddha yang sekarat, sehingga dalam jam terakhir hidupnya, batinnya dapat ditetapkan, terhibur, dan bergembira oleh pesan mulia pembebasan Sang Guru. Walaupun kita dalam zaman percetakan, adalah masih kebiasaan di Sri Lanka untuk memiliki naskah daun lontar dari Sutta itu yang ditulis oleh para ahli tulis, dan memberikannya kepada perpustakaan dari sebuah vihara. Sebuah kumpulan dari hampir dua ratus naskah demikian dari Satipaṭṭhāna Sutta, beberapa dengan penutup yang mahal, telah dilihat penulis di sebuah vihara tua di Sri Lanka.[2]

Dalam suasana kekaguman yang bersifat penghormatan ini pertanyaan tentang mempraktekkan instruksi-instruksi dalam Satipaṭṭhāna Sutta tidak muncul. Ratusan salinan dari naskah tentang meditasi bertumpuk di sebuah vihara; tetapi apakah seseorang benar-benar bermeditasi? Satipaṭṭhāna Sutta telah berubah bentuk menjadi suatu simbol magis. Pujian atas Satipaṭṭhāna Sutta sebagai simbol muncul pada awal dari sebuah buku yang paling berpengaruh dan dibaca secara luas tentang meditasi vipassanā Theravāda masa kini. Ini secara eksplisit mencakup memperbesar aura kesucian di sekeliling Satipaṭṭhāna Sutta sebagai suatu aspek kunci dari agenda vipassanāvāda.

Banyak seraya kita telah mendapatkan manfaat dari penekanan modern pada perhatian dalam praktek sehari-hari, adalah masa lampau bagi pendulum untuk berayun kembali. Studi ini menunjukkan tanpa pertanyaan bahwa Sang Buddha tidak mengucapkan Satipaṭṭhāna Sutta dalam bentuknya yang sekarang. Ini adalah suatu penyusunan yang belakangan dan, sebagian, diatur dengan kurang baik; dan ini khususnya aspek vipassanā yang kurang otentik. Dalam ajaran-ajaran awal satipaṭṭhāna terutama dihubungkan bukan dengan vipassanā tetapi dengan samatha. Karena bagi Sutta-Sutta, samatha dan vipassanā tidak dapat dipisahkan, sedikit bacaan menunjukkan bagaimana latihan samatha ini berevolusi ke dalam vipassanā. Dalam literatur yang belakangan unsur vipassanā tumbuh menonjol, hampir seluruhnya merebut tempat samatha dalam satipaṭṭhāna. Perbedaan yang halus dalam penekanan antara aliran-aliran dapat dibedakan dalam perlakuan mereka atas satipaṭṭhāna, perbedaan-perbedaan yang dapat dilihat berhubungan dengan kontroversi metafisik yang mendasari perpecahan-perpecahan. Dengan demikian Satipaṭṭhāna Sutta menarik bukan karena ia mewakili “tradisi asli dari ajaran-ajaran awal mula”, tetapi karena ia menyediakan bukti yang bernada tentang bagaimana pemalsuan sektarian merayap bahkan ke dalam kotbah-kotbah awal.

Dalam membuat pernyataan-pernyataan demikian, pernyataan yang akan dilihat sebagai sebuah serangan pada otoritas dari aliran-aliran meditasi yang paling dihormati pada abad ke-20, saya tidak dapat mengatakan cukup tegas bahwa apa yang saya kritik di sini bukan para guru vipassanā, atau teknik-teknik meditasi yang telah dipasarkan sebagai “vipassanā”, tetapi sumber-sumber tekstual vipassanāvāda, ajaran di mana vipassanā adalah meditasi utama yang diajarkan Sang Buddha.

Vipassanāvāda harus dipahami dalam konteks historisnya, karena inilah, alih-alih sumber-sumber tekstual, yang membentuk ciri khas pentingnya. Vipassanāvāda tumbuh sebagai bagian dari gerakan “Buddhisme modernis”, yang mulai pada masa kolonial sebagai aliran-aliran Buddhisme yang menanggapi tantangan zaman modern. Gerakan ini meluas di seluruh dunia Buddhis dalam sejumlah samaran. Namun dalam semua variasinya, aspek kunci dari Buddhisme modernis adalah rasionalisme. Meditasi, khususnya samatha, dicurigai, karena dalam kebudayaan Buddhis tradisional ia sering menurun ke dalam mistisisme yang kuasi-magis. Samatha bersifat emosional alih-alih inteligensial. Ia mengembangkan aspek non-rasional dari kesadaran dan dengan demikian ketika ia merosot ia menaungi trik-trik psikis, penujuman, magis, dan sebagainya, semua yang merajalela dalam kebudayaan Buddhis. Beberapa bentuk modernisme Buddhis menyingkirkan meditasi semuanya; ini sejajar dengan gerakan Protestan di Eropa, yang hampir sama menentang aspek kontemplatif dari agama. Kontemplasi adalah suatu ancaman pada keortodoksan agama, karena terdapat selalu kemungkinan yang tidak nyaman bahwa kebenaran yang dilihat seorang meditator tidak sepaham dengan kebenaran yang dikatakan kitab-kitab yang seharusnya mereka lihat. Namun dalam Buddhisme, tidak seperti agama kr****n, kehidupan kontemplatif terletak pada jantung dari pesan sang Pendiri. Maka gerakan Buddhisme modernis lain, yang memandang meditasi Buddhis dilandasi pada psikologi yang rasional, mengembangkan sistem kontemplatif pada landasan itu. Aliran-aliran ini, yang berawal di Myanmar, mengecilkan atau mengabaikan samatha dan mengembangkan vipassanāvāda sebagai landasan teoritis untuk pendekatan “hanya-vipassanā” mereka. Kekuatan dari aliran-aliran ini adalah bahwa mereka telah memperjuangkan suatu pendekatan yang penuh semangat dan rasional pada meditasi. Tetapi dengan pengetahuan kita yang maju atas teks-teks Buddhis otoritas kitab suci untuk ajaran khusus mereka menjadi tersobek-sobek.

Pernyataan saya terbang di hadapan hampir setiap penafsir modern atas satipaṭṭhāna. Suatu beban yang bertumpuk dari otoritas demikian tidak dapat dibuang dengan sembarang, maka saya harus melanjutkan dengan hati-hati. Oleh sebab itu saya membuat ulasan saya seluas dan semasuk akal mungkin, dengan memasukkan suatu pandangan pada setiap teks awal penting yang tersedia tentang satipaṭṭhāna, dan sejumlah bacaan yang belakangan. Saya tidak berusaha menyembunyikan agenda saya. Setiap orang, bagaimana pun “objektif”-nya, memiliki agendanya sendiri, dan adalah lebih jujur untuk menjadi terbuka dengan perspektif diri sendiri daripada berpura-pura – kepada orang lain atau diri sendiri – bahwa ia tidak memiliki kecenderungan.

8.1 Samatha dan Vipassanā

Kunci pada pendekatan yang digunakan dalam karya ini adalah untuk menganalisis berbagai lapisan teks-teks tentang satipaṭṭhāna dalam hubungannya dengan samatha dan vipassanā. Ini oleh karenanya penting untuk memulai dengan menjelaskan apa yang saya maksud dengan hal ini. Terdapat dua aspek kunci dari bagaimana Sutta-Sutta mengatakan tentang samatha dan vipassanā: sifat alami mereka, dan fungsinya. Sifat khusus mereka dengan jelas dibedakan dalam bacaan ini.

“Seseorang yang memiliki samatha dari batin dalam dirinya sendiri tetapi tanpa vipassanā ke dalam prinsip-prinsip yang berhubungan dengan pemahaman yang lebih tinggi seharusnya mendekati seseorang yang memiliki vipassanā  dan bertanya: ‘Bagaimana seharusnya aktivitas-aktivitas dilihat? Bagaimana seharusnya mereka dijelajahi? Bagaimana seharusnya mereka dipahami dengan vipassanā?’ Dan kemudian ia dapat mencapai vipassanā...”

“Seseorang yang memiliki vipassanā ke dalam prinsip-prinsip yang berhubungan dengan pemahaman yang lebih tinggi tetapi tidak memiliki samatha dari batin dalam dirinya sendiri seharusnya mendekati seseorang yang memiliki samatha dan bertanya: ‘Bagaimana seharusnya pikiran ditenangkan? Bagaimana seharusnya ia dimantapkan? Bagaimana seharusnya ia disatukan? Bagaimana seharusnya ia dipusatkan dalam samādhi?” Dan kemudian ia dapat mencapai samatha...”

“Seseorang yang tidak memiliki keduanya seharusnya bertanya tentang keduanya [dan ‘seharusnya menaruh semangat yang sangat besar, usaha, upaya keras, pengerahan usaha, perhatian yang tidak putus-putus, dan pemahaman jernih untuk memperoleh mereka, seakan-akan serban atau rambut diri sendiri terbakar berkobar-kobar, seseorang akan menaruh usaha keras untuk memadamkan nyala api’ [3]].”

“Ia yang memiliki keduanya, yang berkembang dalam kualitas-kualitas yang bermanfaat ini seharusnya membuat usaha yang lebih jauh untuk penguapan kekotoran-kekotoran.”[4]

“Seperti halnya, Nandaka, terdapat sesosok hewan berkaki empat dengan satu kaki yang cacat dan pendek, ini akan dengan demikian tidak terpenuhi dalam faktor itu; demikian juga, seorang bhikkhu yang taat dan berkebajikan tetapi tidak mencapai samatha dari batin dalam dirinya sendiri tidak terpenuhi dalam faktor itu. Faktor itu seharusnya dipenuhi olehnya... Seorang bhikkhu yang telah memiliki tiga hal ini tetapi tidak memiliki vipassanā ke dalam prinsip-prinsip yang berhubungan dengan pemahaman yang lebih tinggi tidak terpenuhi dalam faktor itu. Faktor itu seharusnya dipenuhi olehnya.”[5]

Penggambaran vipassanā menyebutkan melihat, menjelajahi dan membedakan aktivitas-aktivitas (saṅkhārā). Penyebutan “aktivitas-aktivitas” di sini menyatakan tiga karakteristik – ketidakkekalan, penderitaan, bukan-diri – dari fenomena, yang berkondisi menurut kemunculan bergantungan. Pembedaan meditatif dari sifat alami atas realitas yang berkondisi adalah makna inti dari vipassanā. Sementara definisi ini mungkin terlalu sempit untuk beberapa konteks, masih vipassanā umumnya digunakan dalam pengertian ini dalam Sutta-Sutta dan pada saat ini.

Samatha adalah penenangan, pemantapan, dan penyatuan pikiran.

“Bagaimanakah ia menenangkan pikirannya dalam dirinya sendiri, memantapkannya, menyatukannya, dan memusatkannya dalam samādhi? Di sini, Ānanda, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama... jhāna kedua... jhāna ketiga... jhana keempat.”[6]

Di sini, seperti dalam hampir semua konteks ajaran utama dalam teks-teks awal, samatha atau samādhi adalah empat jhāna. Kita harus oleh karenanya menyimpulkan bahwa empat jhāna adalah bagian yang pokok, intrinsik dari sang jalan. Mengembangkan poin-poin yang membentuk pokok argumen dari Sepasang Utusan Cepat, maka saya tidak akan mengulangi alasan-alasannya di sini. Namun adalah perlu untuk menyebutkan ini bagi siapa pun yang bertahan dalam praktek yang sangat umum menafsirkan teks-teks awal tentang samādhi dalam hubungannya dengan gagasan komentar tentang “samādhi akses” dan “samādhi sementara” akan tentunya salah menafsirkan karya saat ini, dan, saya percaya, akan juga salah menafsirkan Sutta-Sutta.

Cara kedua memperlakukan samatha dan vipassanā adalah dalam hubungan dengan fungsi mereka, yaitu, hasil dari praktek itu.

“Para bhikkhu, dua prinsip ini bersama-sama dalam realisasi. Apakah dua hal itu? Samatha dan vipassanā.”

“Ketika samatha dikembangkan, apakah tujuan yang dicapai? Pikiran berkembang. Ketika pikiran berkembang, apakah tujuan yang dicapai? Nafsu ditinggalkan.”

“Ketika vipassanā dikembangkan, apakah tujuan yang dicapai? Pemahaman berkembang. Ketika pemahaman berkembang, apakah tujuan yang dicapai? Ketidaktahuan ditinggalkan.”

“Para bhikkhu, pikiran yang dinodai dengan nafsu tidak terbebaskan; pemahaman yang dinodai oleh ketidaktahuan tidak berkembang. Dengan demikian pembebasan batin disebabkan oleh memudarnya nafsu; pembebasan melalui pemahaman disebabkan oleh memudarnya ketidaktahuan.”[7]

Dengan demikian tujuan samatha adalah untuk melenyapkan nafsu, yang di sini berkaitan dengan semua kekotoran emosional, sedangkan vipassanā melenyapkan ketidaktahuan, yaitu, kekotoran-kekotoran inteligensial. Kedua Sutta kunci ini dengan kuat menekankan sifat yang saling melengkapi, yang bersifat integratif dari kedua aspek meditasi. Sementara terdapat suatu perbedaan konseptual jelas, mereka tidak terpisahkan ke dalam dua keranjang yang terpisah (masih belum ke dalam dua pusat meditasi yang terpisah!). Teks-teks awal tidak pernah mengelompokkan berbagai tema meditasi ke dalam salah satu dari samatha atau vipassanā. Mereka bukanlah dua jenis meditasi yang berbeda; alih-alih, mereka adalah kualitas-kualitas pikiran yang harus dikembangkan. Secara umum dikatakan, samatha menunjuk pada aspek emosional dari pikiran kita, kualitas batin seperti kedamaian, belas kasih, cinta kasih, kebahagiaan. Vipassanā menunjuk pada kualitas-kualitas kebijaksanaan seperti pemahaman, pembedaan, ketajaman. Samatha menenangkan kekotoran-kekotoran emosional seperti keserakahan dan kemarahan, sedangkan vipassanā menembus dengan pemahaman kegelapan dari delusi. Tampaknya bahwa semua meditasi membutuhkan kedua kualitas ini, sehingga ketika kita menguraikan kekusutan mereka kita tetap dalam wilayah senja dari penekanan dan perspektif, dengan menghindari kejelasan yang mudah dari kemutlakan hitam-putih.
 
Catatan Kaki:
 
[1] SN 46.53

[2] Nyanaponika, hal. 11.

[3] Bacaan yang disisipkan dari AN 10.54.

[4] AN 4.94.

[5] AN 9.4

[6] MN 122.7–8; cp. MN 19.8–10, MN 4.22–26, SN 40.1.

[7] AN 2:3.10.
   
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #32 on: 08 August 2013, 07:15:58 PM »
Bab 9
Studi-Studi Sebelumnya

Banyak sarjana telah mempelajari dan berkomentar tentang berbagai versi Satipaṭṭhāna Sutta. Saya telah mempelajari sesuatu dari masing-masing studi ini, dan kebaikan dalam karya saya semata-mata karena saya berdiri pada pundak yang demikian luas dan kuat. Saya berusaha menghindari topik-topik yang berulang yang telah diperlakukan dengan baik, kecuali di mana penilaian kembali diperlukan dalam penerangan metode-metode dan bahan-bahan dari karya saat ini. Suatu penyelidikan atas tulisan umum tentang satipaṭṭhāna akan menjadi suatu hal yang menyenangkan tetapi tugas yang terlalu panjang, namun kita dapat dengan singkat menyelidiki tulisan-tulisan yang telah melakukan studi perbandingan dan historis.

9.1 Von Hinüber

Oskar von Hinüber memberikan petunjuk beberapa masalah yang terlibat:

Lebih rumit adalah hubungan dari Satipaṭṭhāna Saṁyutta, SN V141–192 dengan Satipaṭṭhānasuttanta yang ditemukan dalam DN No. 22 Mahāsatipaṭṭhānasuttanta dan MN No. 10 Satipaṭṭhānasuttanta, yang layak mendapatkan suatu studi terperinci, karena ini tampaknya bahwa kadangkala SN telah mempertahankan bagian-bagian yang lebih kecil dari mana unit-unit yang lebih besar dibangun, atau potongan-potongan dari teks yang untuk beberapa alasan atau alasan yang lain tidak dimasukkan ke dalam suttanta-suttanta yang lebih besar.[1]

9.2 Anālayo

Yang Mulia Anālayo telah menerbitkan sebuah studi berskala besar atas satipaṭṭhāna, yang berjudul Satipaṭṭhāna: The Direct Path to Realization. Ini adalah sebuah karya yang berharga, yang dapat membahas kebanyakan masalah-masalah praktis dan teoritis dalam studi tentang satipaṭṭhāna. Penulis mengambil dari banyak beraneka warna sumber, dengan menunjukkan suatu penghargaan yang hangat atas perspektif-perspektif yang dibuka oleh para sarjana dan meditator yang berbeda-beda. Anālayo dipengaruhi oleh penafsiran vipassanā atas satipaṭṭhāna, tetapi penafsiran beliau bersifat moderat secara menyegarkan. Beliau tidak melakukan lebih dari petunjuk pada kemungkinan implikasi dari suatu analisis historis dari pokok bahasan itu:

Tetapi instruksi-instruksi terperinci yang ditemukan dalam Mahā Satipaṭṭhāna Sutta dan Satipaṭṭhāna Sutta tampaknya termasuk dalam suatu periode yang belakangan, ketika ajaran Sang Buddha telah menyebar dari lembah sungai Gangga ke Kammāsadhamma yang jauh di negeri Kuru, di mana kedua kotbah diucapkan.[2]

Sungguh aneh bahwa ajaran yang begitu penting telah diberikan hanya di suatu kota yang tidak dikenal, yang jauh. (Negeri Kuru dekat dengan Delhi sekarang, dan menandai batas paling barat dari pengembaraan Sang Buddha). Anehnya lagi bahwa kotbah itu diberikan dua kali dengan hanya perluasan dari satu bagian yang membedakan mereka. Kenyataanya, ini tidak hanya aneh tetapi juga tidak masuk akal bahwa Sang Buddha telah mengajar hanya petikan dasar dalam semua tahunnya di Sāvatthī, dst., dan dalam salah satu dari kunjungan-Nya yang jarang ke negeri-negeri perbatasan di mana Beliau memberikan suatu ajaran yang sangat terperinci, tidak hanya sekali tetapi juga dua kali. Apakah para siswa di pusat-pusat utama untuk ditinggalkan tinggi dan kering selama semua tahun itu, kekurangan kunci untuk pemahaman satipaṭṭhāna? Ini memperkuat pendirian kita bahwa ajaran-ajaran yang lebih pendek, yang utama tentang satipaṭṭhāna ditemukan khususnya dalam Saṁyutta seharusnya diselidiki lebih dekat, dan bahwa kotbah-kotbah yang lebih panjang seharusnya dilihat dalam penerangan ini.

Walaupun Anālayo menyadari tentang perbedaan versi bahan satipaṭṭhāna, fokus beliau tetap kukuh pada Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda.[3] Sebagai contoh, perbandingan isi dari perenungan tubuh menunjukkan, seperti yang kita lihat kemudian, bahwa beberapa latihan, khususnya penyelidikan bagian-bagian tubuh, sama dalam semua tradisi, sedangkan latihan lainnya khusus pada beberapa tradisi. Anālayo mengatakan:
Alasan atas penghilangan terbuka pada dugaan, tetapi apa yang tersisa dari inti yang diterima dengan suara bulat dari perenungan terhadap tubuh dalam semua versi yang berbeda-beda adalah suatu penyelidikan yang menyeluruh dari susunan anatomisnya.[4]

Kenyataan bahwa penyelidikan terhadap bagian-bagian tubuh diterima dengan suara bulat menyatakan bahwa latihan meditatif lainnya lebih mungkin penambahan alih-alih penghilangan. Jika tradisi-tradisi mewarisi suatu daftar umum dari latihan meditasi, dan beberapa setelah itu hilang, tidak ada alasan mengapa beberapa latihan ditinggalkan dibandingkan yang lain, dan oleh sebab itu tidak ada alasan mengapa terdapat suatu praktek yang mempertahankan dengan kekonsistenan yang lengkap. Atau lagi jika tidak ada inti yang sama, dan semua daftar terperinci ditemukan secara independen oleh tradisi-tradisi, tampaknya tidak ada alasan untuk ciri khas yang konsisten demikian. Masalah lain adalah bahwa beberapa dari latihan itu, khususnya dalam Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda, jelas ganjil dan paling baik dipahami sebagai penambahan. Walaupun tidak diragukan bersifat terkaan, cara yang paling masuk akal untuk menjelaskan baik kesamaan dan perbedaan itu adalah bahwa terdapat suatu teks akar yang sederhana, umum, yang diperinci dengan cara yang agak berbeda oleh aliran-aliran.

9.3 Thích Nhất Hạnh

Thích Nhất Hạnh telah menerbitkan terjemahan lengkap dari semua tiga versi utama Satipaṭṭhāna Sutta dalam karyanya Transformation and Healing. Terjemahan itu, oleh dirinya dan Annabel Laity, memberikan suatu kesempatan yang tidak ternilai dan hampir unik untuk membandingkan dalam bahasa Inggris sebuah Sutta utama dalam turunannya dari tiga aliran yang berbeda. Namun terjemahan itu kadangkala melenceng terlalu jauh untuk menampung gagasan-gagasan para penerjemah. Beberapa komentar tentang teks dimasukkan, tetapi orientasi utama buku itu bersifat praktis, maka ia tidak mengejar pertanyaan tekstual secara sangat mendalam. Bacaan yang paling relevan dalam konteks kita sekarang adalah ini.

Perbedaan lain dalam versi kedua [Sarvāstivāda] adalah ajaran-ajaran tentang jenis konsentrasi yang memberikan kemunculan pada kegembiraan dan kebahagiaan, yang setara dengan jhāna pertama, dan sebuah konsentrasi yang meninggalkan kegembiraan tetapi mempertahankan kebahagiaan, yang setara dengan jhāna kedua, serta meditasi tentang kemurnian, cahaya murni, dan tanda-tanda. Semua ini adalah bukti bahwa praktek empat jhāna telah mulai menyusupi Sūtra Piṭaka, walaupun memiliki ciri-ciri tersendiri. Pada masa versi ketiga [Mahāsaṅghika], praktek jhāna disebutkan secara terbuka, dengan nama. Meditasi yang mengamati cahaya murni dapat dilihat sebagai yang menyatakan langkah pertama dalam pembentukan Buddhisme Tanah Murni, dan meditasi terhadap tanda akan dikembangkan dengan penggunaan kasiṇa, suatu gambaran simbolis yang divisualisasi sebagai suatu titik konsentrasi.

Tampaknya Thích Nhất Hạnh mempercayai bahwa jhāna-jhāna merupakan suatu penyisipan belakangan ke dalam Buddhisme; ini akan membawa bahwa semua ratusan kotbah yang menyebutkan jhāna-jhāna dalam kanon-kanon disusun kemudian daripada teks yang sekarang. Beliau tidak memberikan bukti untuk pandangan yang luar biasa ini. Komentar beliau di sini hampir semuanya tidak tepat sasaran, hanya karena beliau mengasumsikan bahwa teks yang sekarang, Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda, adalah sumber awal mula dari berbagai praktek ini. Namun mereka semua ditemukan di tempat lain dalam kanon-kanon dan teks yang sekarang mungkin penyusunan yang agak belakangan. Penghubungan beliau atas persepsi cahaya dengan Tanah Suci dibuat-buat; persepsi cahaya adalah obat standar untuk kemalasan dan kelambanan, dan secara pasti asal-usul Tanah Murni harus dicari alih-alih di antara bacaan yang bersifat ketaatan dalam kotbah-kotbah awal, khususnya praktek “perenungan terhadap Buddha” (buddhānussati). Lagi, komentar beliau tentang “meditasi terhadap tanda” tidak tepat sasaran, karena beliau tampaknya telah disesatkan oleh terjemahan ke dalam pemikiran bahwa praktek yang digambarkan adalah visualisasi, sedangkan perbandingan dengan versi Pali menunjukkan bahwa ini kenyataannya menunjuk pada peninjauan kembali atas jhāna.[5] Dengan demikian, betapa pun bermanfaatnya nasehat praktis Thích Nhất Hạnh, tekstual analisis beliau tidak sangat bermanfaat untuk suatu pertanyaan historis.

9.4 Ṭhānissaro

Bhikkhu Ṭhānissaro membahas masalah ini secara singkat dalam The Wings to Awakening. Beliau menerjemahkan “dhamma-dhamma” dalam satipaṭṭhāna sebagai “kualitas-kualitas mental” alih-alih “fenomena”, karena beliau mempercayai bahwa berbagai kelompok dhamma terutama adalah variasi-variasi tentang meninggalkan rintangan-rintangan dan pengembangan faktor-faktor pencerahan. Beliau menyebutkan Vibhaṅga dan versi Sarvāstivāda sebagai dukungan historis untuk argumen ini. Namun beliau mempertahankan suatu sikap yang tidak ramah secara khas terhadap kemungkinan merekonstruksi suatu teks awal mula yang diproyeksikan. Sementara ini tentu saja benar bahwa faktor-faktor utama dalam satipaṭṭhāna keempat adalah kualitas-kualitas mental, aspek lain dari satipaṭṭhāna juga kualitas-kualitas mental, seperti perasaan, maka ini tidak berperan cukup untuk membedakan maknanya di sini. Di bawah kita akan melihat bahwa perbedaan yang paling penting antara satipaṭṭhāna keempat dan sisanya adalah bahwa ia membicarakan tentang kausalitas, sehingga jika saya menerjemahkan dhamma-dhamma di sini  saya akan menggunakan istilah “prinsip-prinsip”.

9.5 Thích Minh Châu

Thích Minh Châu melengkapi beberapa rincian tentang Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda dalam karyanya yang tak ternilai The Chinese Madhyama Āgama and the Pali Majjhima Nikāya. Beliau menunjukkan bahwa satipaṭṭhāna adalah satu-satunya kelompok dari 37 sayap menuju pencerahan yang menunjukkan variasi yang patut dicatat antara Sarvāstivāda dan Theravāda. Tetapi beliau mengabaikan pentingnya perbedaan itu ketika beliau mengatakan: “Kedua versi memberikan hampir bahan-bahan yang sama, seperti pendekatan dasar pada perenungan-perenungan yang identik.” Oleh karena itu perlu untuk mengubah kesimpulan beliau bahwa: “kedua versi berasal dari sumber yang sama tetapi pemilihan rincian diserahkan kepada para penyusun lebih kurang secara bebas.” Karena Thích Minh Châu sendiri telah menunjukkan dalam beberapa konteks lain, perbedaan-perbedaan dalam penyusunan tidaklah “bebas”, tetapi mencerminkan munculnya pendirian doktrinal dari dua aliran itu.

9.6 Gethin

R. M. L Gethin dalam karyanya The Buddhist Path to Awakening, mencatat beberapa dari perbedaan antara berbagai versi Satipaṭṭhāna Sutta, dan mengatakan bahwa:

Ini telah membuat beberapa sarjana, seperti Schmithausen dan Bronkhorst, berspekulasi tentang sifat dari spesifikasi “awal mula” dari satipaṭṭhāna pertama dan keempat: yang pertama menyatakan bahwa perhatian tubuh mulanya terdiri atas hanya memperhatikan postur tubuh, dan yang terakhir (mengikuti Vibhaṅga [Abhidhamma]) menyatakan bahwa ia terdiri hanya memperhatikan bagian-bagian tubuh yang berbeda. Banyak dari pembahasan mereka adalah paling baik sangat bersifat spekulatif, dan paling buruk salah paham.

Schmithausen, sebagai contoh, menyatakan bahwa penyusun kanon Pali telah meletakkan perhatian terhadap napas pertama kali karena dalam beberapa teks kanonik, seperti Ānāpānasati Sutta, ini disajikan sebagai tahap pendahuluan dari empat satipaṭṭhāna. Ini adalah suatu kesalahpahaman. Seperti yang kita telah lihat, dalam Ānāpānasati Sutta perhatian pernapasan bukanlah suatu pendahuluan dari satipaṭṭhāna, ia sebenarnya adalah satipaṭṭhāna.[6]

Dalam mempertahankan spekulasi, hipotesis yang berani adalah penting untuk kemajuan dari pengetahuan; tetapi mereka harus dilembutkan dengan suatu evaluasi yang berhati-hati terhadap bukti. Pengamatan Gethin bahwa ānāpānasati adalah satipaṭṭhāna adalah benar; tetapi kesalahan Schmithausen dapat dipahami, karena ia mungkin telah dipengaruhi oleh teks Sarvāstivādin seperti Abhidharmakośa, yang, seperti yang akan kita lihat, benar-benar memperlakukan ānāpānasati sebagai suatu pendahuluan pada satipaṭṭhāna. Artikel Schmithausen dalam bahasa Jerman, di mana tidak saya ketahui, tetapi saya telah dengan baik disediakan dengan suatu ringkasan oleh Roderick Bucknell. Saya bergantung pada ini untuk pernyataan di bawah, dan berharap bahwa saya tidak salah menafsirkan sang penulis.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #33 on: 08 August 2013, 07:18:08 PM »
9.7 Schmithausen

Schmithausen mempertimbangkan tiga versi yang masih ada dari Satipaṭṭhāna Sutta. Ia tidak mengambil teks-teks Abhidhamma; jika ia melakukan demikian, ia mungkin mencapai kesimpulan yang berbeda. Ia mencatat, dengan tepat, bahwa bagian dalam Satipaṭṭhāna Sutta yang berhubungan dengan perasaan dan pikiran serupa dalam semua versi (seperti yang sebenarnya mereka ada dalam Abhidhamma juga). Ia lalu mencatat bahwa mereka berbagi suatu susunan kata-kata yang sama, sebagai contoh: “Ketika merasakan suatu perasaan yang menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan suatu perasaan’.” Ia menganggap bahwa bagian-bagian lain dalam versi awal mula memiliki suatu struktur yang serupa. Bagian tertentu dalam teks Pali memang berbagi format yang sama. Dalam perenungan postur tubuh, sebagai contoh, ia mengatakan: “Ketika berjalan, ia memahami ‘Saya sedang berjalan’; ketika berdiri ia memahami ‘Saya sedang berdiri’...” dan seterusnya. Tetapi bacaan-bacaan lain, khususnya beberapa dari latihan dalam perenungan tubuh, diungkapkan dengan cara yang berbeda; sebagai contoh, tidak seperti bagian-bagian tentang perasaan dan pikiran, mereka digambarkan dengan perumpamaan-perumpamaan. Schmithausen mempercayai bahwa ini tidak mungkin bersifat otentik.

Namun, kenyataan bahwa latihan-latihan tidak dengan konsisten memiliki perumpamaan-perumpamaan akan, paling banyak, menyatakan bahwa perumpamaan-perumpamaan ditambahkan; sebagai tambahan, seseorang dapat berargumen bahwa perumpamaan-perumpamaan adalah sesuai untuk meditasi-meditasi ini, yang memiliki suatu aspek visualisasi. Poin lain adalah bahwa bagian tentang bagian-bagian tubuh dan unsur-unsur, walaupun tidak secara formal sama dengan perenungan perasaan dan pikiran, berhubungan baik dengan rumusan dasar satipaṭṭhāna. Seseorang disarankan untuk “meninjau tubuh ini juga...” (imam’eva kāyaṁ… paccavekkhati). Penekanan imam’eva kāyaṁ (“tubuh ini juga”) mengingatkan pada pengulangan kāye kāya-... (“sebuah tubuh di dalam tubuh...”); dan okular paccavekkhati (“meninjau”) serupa dengan -anupassī (“merenungkan”). Di tempat lain perenungan bagian-bagian tubuh diringkas seperti ini: “Demikianlah ia berdiam merenungkan keburukan dalam tubuh ini” (iti imasmiṁ kāye asubhānupassī viharati).[7] Ini serupa dengan rumusan standar satipaṭṭhāna, “ia berdiam merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh” (kāye kāyānupassī viharati). Kesejajaran yang dekat dalam cara pengungkapan latihan ini jelas menunjukkan bahwa bacaan-bacaan ini menggambarkan jenis hal yang serupa. Pertimbangan ini tidak, dalam dan dari diri mereka sendiri, membuktikan bahwa perenungan bagian-bagian tubuh mulanya adalah bagian dari Satipaṭṭhāna Sutta, tetapi mereka cukup mengembangkan bahwa latihan-latihan demikian setidaknya sesuai dengan cara umum penyajian satipaṭṭhāna.

Dalam semua kasus, Schmithausen menyimpulkan bahwa teks awal mula terdiri dari bacaan-bacaan yang secara formal sejenis dengan perenungan perasaan dan pikiran; yaitu, kesadaran atas empat postur dalam perenungan tubuh, dan bagian-bagian tentang rintangan-rintangan, alat indera, dan faktor-faktor pencerahan dalam perenungan dhamma. Ia juga menyimpulkan, yang saya pikir tepat, bahwa “pengulangan vipassanā” (perenungan prinsip-prinsip dari muncul dan lenyapnya) dari Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda adalah tidak asli. Ia mengemukakan berbagai dukungan lain untuk kesimpulannya, terutama kesepahaman antara turunan yang berbeda-beda. Ini sesungguhnya memberikan dukungan untuk beberapa dari kesimpulannya, khususnya yang berkenaan dengan perenunan dhamma; tetapi ia menolak bagian tentang bagian-bagian tubuh walaupun ini muncul dalam ketiga teksnya (dan Abhidhamma-Abhidhamma). Demikianlah Schmithausen bersiap-siap untuk menusuk dengan analisis formalnya terhadap testimoni universal dari teks-teks. Ini berjalan terlalu jauh. Saya akan mengatakan bahwa kenyataan bahwa teks-teks tidak berhubungan dengan analisis menyatakan ada sesuatu yang salah, atau setidaknya tidak lengkap, dengan analisis itu.

Schmithausen mempercayai bahwa teks awal mula telah disusun dalam kata-kata dengan suatu gaya yang konsisten. Namun, teks-teks Abhidhamma menggunakan suatu gaya yang lebih konsisten daripada Sutta-Sutta, maka bagian-bagian yang sejenis dapat diabaikan sebagai bukti formalisme skolastik yang belakangan. Maka saya berpikiri kriterianya tentang kekonsistenan gaya hanya bersifat usulan, dan tidak dapat membawa cukup beban untuk mendukung kesimpulan yang kuat mana pun.

Namun terdapat suatu analisis dari makna teks-teks yang dilakukan Schmithausen sejajar dengan analisis formalnya yang murni; dan di sinilah, saya percaya, bahwa agendanya yang lebih dalam terungkap. Ia mengatakan bahwa bagian-bagian tentang perasaan dan pikiran, yang dikembangkan sebagai otentik secara kesepahaman tekstual, menggambarkan suatu praktek kesadaran yang bersifat tidak-menghakimi, hanya dengan mengetahui situasi sebagaimana adanya, tanpa menilainya atau berusaha mengubahnya. Ia juga mengatakan bahwa inilah bagaimana esensi praktek perhatian digambarkan dalam paragraf pembuka dari Satipaṭṭhāna Sutta. Pernyataan ini sepaham dengan hampir semua pemaparan modern dari satipaṭṭhāna – dan saya pikir ini salah. Seorang bhikkhu suatu ketika berkata kepada saya dalam kaitannya dengan hal ini bahwa kita lebih dipengaruhi oleh Krishnamurti daripada Sang Buddha; mungkin suatu pengaruh yang lebih besar daripada kedua ini adalah Zen and the Art of Motorcycle Maintenance. Adalah penting untuk menjadi jelas dalam poin ini, karena jika tidak pentingnya dari banyak pembahasan yang mengikuti akan ditanggapi dengan salah. Ini beberapa keberatan pada pandangan ini.

1) Keberatan yang paling jelas, dan mungkin paling penting, terhadap gagasan bahwa satipaṭṭhāna pada pokoknya suatu sistem kesadaran yang tidak memilih adalah kenyataan sederhana bahwa terdapat empat satipaṭṭhāna. Seseorang jelas dianggap, dalam beberapa pengertian atau pengertian yang lain, untuk memilih salah satu dari empat hal ini sebagai suatu kerangka untuk meditasi, bahkan hanya untuk berdiam dalam bidang penguasaan meditasinya. Tidak di mana pun teks-teks awal menyatakan bahwa empat kerangka itu dapat diabaikan atau dengan sembarang dicampur, dan tidak di mana pun satipaṭṭhāna digambarkan hanya sebagai “menyadari apa pun yang muncul pada momen saat ini”. Kita akan melihat bahwa seraya gagasan ini mendapatkan pegangan selama evolusi historis dari satipaṭṭhāna, pentingnya pembagian ke dalam empat bagian menjadi mengecil. Kenyataannya, praktek “menyadari apa pun yang muncul” dalam Sutta-Sutta disebut “pemahaman jernih” (sampajañña), bukan satipaṭṭhāna.

2) Schmithausen menyimpulkan bahwa bagian-bagian yang berhubungan dengan perenungan tubuh adalah penambahan belakangan, karena mereka melibatkan suatu jenis meditasi yang lebih diarahkan. Namun kenyataan ini berhubungan dengan suatu prinsip meditasi yang terkemuka. Dalam tahap permulaan rintangan-rintangan mungkin kuat dan perhatian lemah, sehingga meditator yang bijak akan mengarahkan dan memegang kesadaran dengan beberapa kekuatan ke dalam suatu objek yang dipilih. Seraya rintangan-rintangan melemah dan perhatian tumbuh kuat, seseorang dapat perlahan-lahan melepaskan lebih dan lebih banyak sampai akhirnya ia melepaskan semua kendali dan memasuki samādhi. Pola dari Satipaṭṭhāna Sutta persis mencerminkan prinsip ini. Ini dengan demikian lebih masuk akal untuk menafsirkan variasi-variasi dalam gaya dari berbagai latihan, bukan sebagai bukti kerusakan tekstual, tetapi menunjukkan pendekatan berbeda yang sesuai untuk tingkat kemajuan yang berbeda dari meditasi.

3) Beberapa Sutta jelas menyatakan penggunaan pemilihan dan penilaian dalam konteks satipaṭṭhāna. Kenyataannya, terdapat bahkan sebuah kotbah dalam Saṁyutta yang secara eksplisit menggambarkan bagaimana mengembangkan satipaṭṭhāna dalam cara “terarah” dan “tidak terarah”.[8] Seperti yang dinyatakan di atas, cara yang tidak terarah dari satipaṭṭhāna adalah sesuai bagi mereka yang telah melenyapkan rintangan-rintangan melalui pencapaian samādhi.

4) Saya tidak mengetahui atas dasar apa Schmithausen mempercayai bahwa paragraf pembuka dari Satipaṭṭhāna Sutta, yang tentu saja penggambaran biasa dari satipaṭṭhāna, menggambarkan suatu praktek pengamatan langsung yang tidak menghakimi. Alasan yang paling mungkin adalah penggunaan istilah anupassanā. Saya akan menunjukkan kemudian bahwa suatu penyelidikan yang dekat dari makna istilah ini tidak membenarkan kesimpulan ini. Cukup untuk dicatat di sini bahwa, walaupun Schmithausen mempercayai bahwa kesadaran yang tidak memilih demikian tidak sesuai dengan latihan-latiha seperti meditasi terhadap keburukan (asubha), kenyataannya ungkapan asubhānupassī muncul beberapa kali dalam kanon.[9]

Schmithausen adalah seorang pelopor, dan sementara saya tidak sepaham dengan beberapa dari argumennya, ia harus diberikan penghargaan atas membawa variasi-variasi tekstual ini menjadi jelas. Kenyataannya, walaupun masing-masing sarjana yang disebutkan di atas mungkin tidak sepaham dalam rincian, semuanya sepaham dalam sejumlah poin penting. Pertama, bahwa teks-teks seperti yang kita miliki adalah hasil dari suatu proses historis. Kedua, bahwa tidak ada alasan yang berdasarkan prasangka untuk menganggap tradisi Pali, atau tradisi lainnya, adalah tradisi yang otentik. Ketiga, bahwa variasi-variasi dalam Satipaṭṭhāna Sutta cukup penting sehingga memerlukan penyelidikan.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #34 on: 08 August 2013, 07:18:35 PM »
9.8 Bronkhorst

Kesimpulan-kesimpulan yang dicapai oleh Bronkhorst adalah suatu kemajuan yang besar. Ia menggunakan dengan baik Vibhaṅga Abhidhamma Theravāda dan Dharmaskandha Sarvāstivādin, walaupun ia masih menghilangkan Śāriputrābhidharma Dharmaguptaka dan Prajñāpāramitā. Saya sepaham dengan kebanyakan dari apa yang ia katakan secara khusus berhubungan dengan satipaṭṭhāna; dalam beberapa kasus saya tiba pada kesimpulan yang sama secara independen. Adalah layak untuk mengutip secara panjang lebar poin-poin utamanya. Saya telah menambah sedikit perluasan dalam tanda kurung siku untuk kejelasan.

Vibhaṅga sendiri pasti – seperti yang ditunjukkan oleh Frauwallner[10] - telah berkembang dari suatu karya yang lebih awal yang juga mendasari Dharmaskandha dari Sarvāstivādins...

Pertanyaan kita adalah: apakah “Vibhaṅga awal mula” menggunakan Sūtra-Sūtra dalam bentuk mereka yang sudah selesai, atau apakah ia alih-alih menggunakan potongan-potongan dari tradisi yang masih lebih kurang mengambang bebas dan hanya kemudian diambil ke dalam Sūtra-Sūtra yang kita ketahui? Dalam kasus pertama kesepahaman antara keturunan-keturunan dari “Vibhaṅga awal mula” dan Sūtra-Sūtra harus besar; dalam yang terakhir, kita mungkin berharap menemukan dalam jejak Vibhaṅga dan Dharmaskandha suatu masa sebelum penyusunan Sūtra-Sūtra.

Apakah jejak-jejak demikian telah bertahan tidak pasti. Namun terdapat satu bacaan dalam Vibhaṅga Pali yang mungkin mempertahankan beberapa ciri khas kuno. Ini muncul dalam penjelasan tentang 4 satipaṭṭhāna[11]...

“Vibhaṅga awal mula” pasti mengandung penjelasan yang sama atas 4 satipaṭṭhāna, karena ia juga ditemukan dalam Dharmaskandha, dengan perbedaan bahwa Dharmaskandha menambahkan item-item setelah mereka diberikan dalam Vibhaṅga... Item-item yang ditambahkan juga ditemukan dalam bentuk yang sama atau mirip dalam Sūtra-Sūtra yang berhubungan dengan 4 satipaṭṭhāna, dan kita dapat menganggap bahwa Dharmaskandha telah dipengaruhi oleh mereka...

Adalah mungkin, tetapi sayangnya jauh dari pasti, bahwa perincian yang dipertahankan dalam Vibhaṅga lebih tua daripada kebanyakan perincian yang ditemukan dalam Sūtra-Sūtra... [Di sini Bronkhorst meringkaskan argumen Schmithausen dan memunculkan beberapa keberatan padanya]...

Selain dari ini dalam diri mereka sendiri pertimbangan yang tidak sangat menentukan, terdapat satu argumen yang memberikan beberapa hal yang masuk akal pada pandangan bahwa “pengamatan atas posisi tubuh” mulanya bukanlah yang pertama dari 4  satipaṭṭhāna [seperti yang dipertahankan oleh Schmithausen]. Secara singkat menyatakan ini adalah bahwa dalam Buddhisme perhatian ada dua jenis (atau lebih baik: tingkat); “pengamatan atas posisi tubuh” adalah satu jenis, 4 satipaṭṭhāna adalah jenis yang lain.

Untuk mengenali dua jenis perhatian kita berbalik pada penggambaran stereotip dari jalan menuju pembebasan yang sering muncul berulang kali dalam Sūtra-Sūtra [yaitu “pelatihan bertahap”]. Ini membedakan antara latihan persiapan pada satu pihak, dan “meditasi” yang sebenarnya pada pihak lain, keduanya dibagi oleh momen ketika seorang bhikkhu pergi ke sebuah tempat sunyi dan duduk dalam suatu cara yang dijelaskan. Perhatian memainkan suatu peranan baik sebelum dan sesudah momen ini, tetapi dalam cara yang berbeda. Sebelum momen ini sang bhikkhu “Ketika pergi keluar dan kembali bertindak dengan pemahaman jernih; ketika melihat ke depan dan ke samping... ketika menekuk dan membentangkan anggota tubuhnya... ketika membawa jubah dan mangkuknya... ketika makan dan minum... ketika buang air besar dan kecil... ketika bepergian, berdiri, duduk, tidur, berjalan, berbicara, dan berdiam diri bertindak dengan pemahaman jernih”;[12] secara singkat, sang bhikkhu berlatih “pengamatan posisi tubuh”. Setelah momen ini situasi berubah. Sang bhikkhu tidak lagi membuat pergerakan apa pun. Tetapi tindakan pertamanya dalam posisi yang tidak bergerak ini adalah “mengerahkan [menegakkan] perhatian” (parimukhaṁ satiṁ upaṭṭhapetvā). Seperti yang ditunjukkan ungkapan itu, di sini bahwa satipaṭṭhāna [“penegakan perhatian”] tampaknya muncul. Jika ini benar, tidak ada tempat lain untuk “pengamatan posisi tubuh” dalam 4 satipaṭṭhāna.

Apakah kemudian yang membentuk satipaṭṭhāna terhadap tubuh dalam posisi yang tidak bergerak ini? Jelas hanya ini: sang bhikkhu mengarahkan perhatiannya pada bagian-bagian tubuh yang berbeda... Kita mungkin... menganggap kemungkinan bahwa “pengamatan unsur-unsur pembentuk tubuh” mulanya adalah satipaṭṭhāna terhadap tubuh. Dan ini akan menegaskan pandangan bahwa “Vibhaṅga awal mula” disusun sebelum 4 satipaṭṭhāna diberikan penjelasan yang sekarang kita temukan dalam Sūtra-Sūtra.

Sisa dari bagian artikel Bronkhorst itu yang berhubungan dengan satipaṭṭhāna terutama berkaitan dengan Ekāyana Sūtra Mahāsaṅghika. Ia mengembangkan beberapa argumen yang menyatakan bahwa teks ini mungkin mengandung beberapa ciri khas kuno – yang adalah mungkin, walaupun teks secara keseluruhan adalah belakangan – dan menyatakan bahwa perincian awal mula dari perenungan dhamma mungkin oleh sebab itu adalah faktor-faktor pencerahan saja. Saya akan membahas hal ini di bawah.

Poin kunci dalam argumen Bronkhorst adalah bahwa terdapat dua tingkatan yang berbeda dari perhatian dalam pelatihan bertahap, dan bahwa adalah yang kedua dari ini, “meditasi yang sebenarnya”, yang dapat diidentifikasi dengan satipaṭṭhāna. Saya sepaham dengan hal ini; tetapi ini, untuk beberapa, pernyataan yang sedemikian radikal sehingga ia memerlukan lebih banyak pertimbangan yang terperinci. Saya mengemukakan argumen-argumen berikut untuk mendukung teori ini.

1) Penggambaran standar dari “pengamatan posisi tubuh” tidak memasukkan kata “perhatian” dalam penggambaran praktek itu sendiri. Tindakan itu digambarkan, seperti di atas, dengan mengatakan sang bhikkhu “bertindak dengan pemahaman jernih” (sampajānakārī hoti). Karena itu seluruh praktek disebut hanya “pemahaman jernih” dalam Saṁyutta.[13] Dalam ungkapan Pali awal adalah biasa untuk menggambarkan praktek menyadari seluruh aktivitas sehari-hari seseorang tanpa bahkan menggunakan kata “perhatian”. Namun hanya dalam versi yang telah berkembang dari pelatihan bertahap, praktek itu digambarkan sebagai “perhatian dan pemahaman jernih” dalam hal sang bhikkhu duduk bersila di dalam hutan untuk bermeditasi adalah sepenuhnya standar, konsisten, dan intrinsik pada penggambaran praktek itu.

2) Kata “penegakan” (upaṭṭhāna) tidak muncul dalam penggambaran standar dari kesadaran aktivitas-aktivitas. Untuk pastinya, ini muncul kadangkala di tempat lain dalam konteks-konteks yang mirip, terutama pengendalian indera, tetapi ini bukan standar dalam pelatihan bertahap. Pada pihak lain, istilah “penegakan” adalah intrinsik pada bacaan tentang seorang bhikkhu yang duduk di dalam hutan untuk “menegakkan perhatian”.

3) Berbagai versi dari pelatihan bertahap, sejauh yang saya ketahui, tidak pernah secara khusus menyebutkan empat satipaṭṭhāna pada tahapan kesadaran atas aktivitas-aktivitas sehari-hari. Tetapi, walaupun ini bukan standar, terdapat setidaknya beberapa konteks yang menyebutkan empat satipaṭṭhāna pada tahapan duduk untuk bermeditasi. Dalam sebuah versi Sarvāstivāda dari Gaṇakamoggallāna Sutta, setelah bagian tentang pemahaman jernih empat satipaṭṭhāna dimasukkan, membawa seperti biasanya pada jhāna dan kemudian berbagai kemampuan batin, yang memuncak pada pencerahan.[14] Dantabhūmi Sutta mirip, tetapi, walaupun di sana empat satipaṭṭhāna ditempatkan sedikit belakangan, setelah ditinggalkannya rintangan-rintangan dalam tempat yang biasanya diambil oleh jhāna pertama.[15] Namun versi Dharmaguptaka dari Sāmaññaphala Sutta berbeda dari semua ini dengan menempatkan empat satipaṭṭhāna sebelum kesadaran atas aktivitas-aktivitas.[16]

4) Praktek ānāpānasati selalu digambarkan setelah seorang bhikkhu telah pergi ke hutan untuk duduk bermeditasi. Ini jelas berhubungan dengan tahapan yang sama dalam pelatihan bertahap. Karena ānāpānasati adalah sebuah skema utama, atau yang utama, untuk meditasi satipaṭṭhāna, ini jelas menyatakan bahwa satipaṭṭhāna mulai ketika sang bhikkhu duduk bermeditasi di dalam hutan.

5) Beberapa teks yang tersedia dalam versi Theravāda dan Sarvāstivāda memberikan daftar urutan kualitas-kualitas, yang berhubungan erat dengan pelatihan bertahap, yang menempatkan perhatian dan pemahaman jernih sejak awal sebagai suatu praktek dasar. Satu teks yang demikian secara eksplisit membedakan antara “perhatian dan pemahaman jernih” dan empat satipaṭṭhāna: bergaul dengan orang-orang baik → mendengarkan Dhamma sejati → keyakinan → perhatian bijaksana → perhatian dan pemahaman jernih → pengendalian indera → tiga jalan perilaku yang benar (melalui tubuh, ucapan, dan pikiran) → empat satipaṭṭhāna → tujuh faktor pencerahan → realisasi dan pembebasan.[17]

6) Bacaan berikut mengatakan tentang tindakan yang persis sama dengan rumusan untuk pemahaman jernih: “Kemudian, setelah ia telah meninggalkan keduniawian demikian, sahabatnya dalam kehidupan suci menasehati dan mengajarkannya demikian: ‘Kamu seharusnya berjalan mondar-mandir demikian; kamu seharusnya melihat ke depan dan ke samping demikian; kamu seharusnya melekukkan dan merentangkan anggota tubuh demikian; kamu seharusnya memakai jubah luar, mangkuk, dan jubah demikian’...”[18] Ini adalah instruksi dalam dasar-dasar aturan monastik, khususnya berkenaan dengan berkeliling mengumpulkan dana makanan, ketika seorang bhikkhu atau bhikkhuni meninggalkan tempat pengasingannya yang rindang di vihara untuk pergi ke dalam keramaian desa. Ini menunjukkan bahwa bacaan tentang pemahaman jernih lebih berkaitan dengan perilaku etis permulaan daripada praktek meditasi.

Demikianlah penyelidikan singkat Bronkhorst menemukan banyak dukungan. Ini menyatakan bahwa suatu penerjemahan idiomatis dari satipaṭṭhāna hanyalah “meditasi”. Penegakan perhatian, meninggalkan rintangan-rintangan, dan memasuki jhāna adalah tahapan meditatif kunci dalam pelatihan bertahap.
 
Catatan Kaki:
 
[1] Von Hinüber, hal 37.

[2] Anālayo, hal. 16.

[3] Sejak menyelesaikan studi tentang satipaṭṭhāna, Yang Mulia Anālayo telah mengambil suatu studi perbandingan yang sistematis dari semua sutta dalam Majjhima Nikāya dengan versi Mandarin dan lainnya yang asalnya sama. Beliau telah cukup baik berbagi dengan saya beberapa dari draf studinya. Ini termasuk suatu studi perbandingan tentang Satipaṭṭhāna Sutta, yang mencakup banyak bahan yang sama seperti karya ini dari suatu sudut pandang yang agak berbeda.

[4] Anālayo, hal. 121.

[5] AN 5.28.

[6] Gethin, hal. 59. Gethin mengutip Schmithausen (1976) pp. 241–66 dan Bronkhorst (1985) pp. 309–12.

[7] AN 10.60/Tibetan (edisi Peking, cetakan ulang Otani, Tokyo 1956) 754.

[8] SN 47.10

[9] Misalnya AN 10.60, Iti 80, 81, Dhp 7, 8.

[10] Frauwallner (1995), hal 43ff.

[11] Saya menghilangkan daftar Bronkhorst tentang perincian dari satipaṭṭhāna dalam Vibhaṅga dan Dharmaskandha, yang mengandung beberapa kesalahan rincian.

[12] DN 2.65, dst. Di sini saya mengganti terjemahan saya untuk terjemahan Bronkhorst untuk konsistensi.

[13] SN 47.2, SN 36.7, 8.

[14] MA 144 = MN 107 Gaṇakamoggallāna Sutta.

[15] MN 125/MA 198.

[16] Meisig, hal. 273.

[17] AN 10.62/MA 51–53.

[18] MN 67.16.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #35 on: 14 October 2013, 08:49:06 PM »
Bab 10
Meditasi Sebelum Sang Buddha

Meditasi bukan ditemukan oleh Sang Buddha. Teks-teks Buddhis selalu menganggap bahwa meditasi adalah praktek yang tersebar luas dan terkenal. Mempertimbangkan hal ini, mungkin mengejutkan untuk menemukan bahwa sumber-sumber pra-Buddhis tidak semuanya mengatakan banyak hal tentang meditasi.

10.1 Sumber-Sumber Brahmanis Awal

Bukti paling awal untuk kebudayaan meditasi di mana pun di dunia ini berasal dari peradaban lembah sungai Gangga. Ini adalah suatu masyarakat yang besar, mutakhir, dan teratur dengan baik yang, pada puncaknya pada tahun 2500-3000 SM, membentang dari apa yang sekarang adalah Pakistan ke lembah sungai Gangga. Perkembangan dari peradaban ini dapat ditelusuri kembali sejauh 7000 SM di Afghanistan, dengan serangkaian pedesaan yang menjadi kota-kota kecil, dan kemudian kota-kota kecil menjadi kota-kota besar. Oleh sebab itu ini adalah kebudayaan India yang asli. Terdapat suatu kelanjutan yang kuat dengan kebudayaan India berikutnya, walaupun kita tidak begitu yakin siapakah orang-orang ini. Seni arca menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang “tidak berhidung” dan “hitam” (bangsa Dravidia?) yang penghancurannya di tangan bangsa Arya masih secara samar-samar diingat dalam Ṛg Veda. Mungkin sisa-sisa dari dunia mereka yang menakjubkan adalah ribuan cap yang dipahat dengan elok, sedikit tablet tanah liat yang mungkin dipakai oleh para penduduk sebagai suatu lambang religius atau keluarga, dan, tentu saja, sebagai simbol magis. Cap-cap ini mengandung beberapa dari tulisan tertua dunia, yang belum dapat diuraikan.

Yang paling menarik untuk tujuan kita adalah sedikit cap yang menggambarkan sesosok dewa seperti seorang yogi yang duduk bermeditasi. Ini dengan mengherankan mirip dengan amulet yang masih secara luas populer di negera-negera Buddhis sekarang. Sang yogi biasanya diidentifikasi berdasarkan seni arca sebagai “proto-Śiva”. Ia duduk tidak dalam “postur teratai” Sang Buddha, tetapi salah satu dari siddhāsana (dengan kaki bersilang pada pergelangan kaki) atau mūlabandhāsana (dengan telapak kaki menekan bersama-sama). Kedua postur ini dihubungkan dengan kekuatan batin. Salah satu gambar itu menggambarkan ular muncul di sampingnya, suatu gambar yang mengejutkan familiar dari Eden sampai kanon Pali. Gambar Sang Buddha dengan seekor ular muncul di atas Beliau masih populer saat ini, yang diambil dari Mucalinda Sutta dari Udāna. Ini adalah, tentu saja, yang paling terkenal sebagai simbol “kundalini” dari Hindu. Tetapi sementara ular tersebut muncul di atas Sang Buddha, yang menandakan sifat melampaui, dalam gambar proto- Śiva ular itu hanya muncul sampai dahi. Dalam teori yang belakangan tempat ini, jñāṇacakra, dihubungkan dengan cahaya, bentuk yang halus, dan kekuatan batin, serta oleh karenanya tampaknya setara dengan jhāna bentuk Buddhis. Kemungkinan ini terlalu lemah untuk dibuat. Namun, pasti bahwa di sini seorang pertapa yang telah, seperti dikatakan teks-teks Buddhis, “pergi ke dalam hutan, ke kaki sebuah pohon, atau sebuah gubuk kosong, duduk bersila, dan menegakkan tubuhnya...”. Apakah ia telah mengambil langkah berikutnya dalam pelatihan meditatif ini: “menegakkan perhatian”?

Sati dalam Buddhisme secara fungsional digambarkan dalam istilah sara “ingatan”, atau anupassanā “pengamatan”. Hubungan antara dua gagasan ini, bagi pikiran kita, aneh, dan paling baik dijelaskan sebagai suatu perkembangan historis, linguistik. Sara berasal dari akar kata yang sama seperti sati, dan merupakan makna historis. Sati berarti, dalam tradisi Brahmanis secara umum, “tradisi yang diterima, teks-teks yang diingat”. Makna ini dibuktikan dalam Sutta-Sutta awla di mana ia diperlakukan secara identik dalam konteks Buddhis dan Brahmanis: seseorang “mengingat apa yang telah lama dikatakan dan dilakukan”.

Sati tampaknya digunakan sejak Ṛg Veda (mungkin seribu tahun sebelum Sang Buddha) dalam dua pengertian: “mengingat” atau “mengumpulkan kembali”, dan “menyimpan dalam pikiran”. Pentingnya hal ini tidak seharusnya diabaikan. Sati bukan hanya sebuah kata yang digunakan seseorang untuk menunjuk pada beberapa teks yang ia ingat; ini mungkin bahwa perkembangan budaya dari menghafalkan teks-teks membawa pada penemuan, penyelidikan, dan pengembangan dari apakah “ingatan” itu. Itu untuk mengatakan, mereka yang menghafal mantra-mantra Veda terlibat dalam suatu bentuk awal dari pengembangan mental, suatu pengembangan mental di mana “ingatan” adalah suatu kualitas yang penting. Pengembangan mental ini adalah salah satu dari untaian yang ditenun menjadi apa yang kita ketahui sekarang sebagai “meditasi”.

Dalam Chāndogya Upaniṣad seorang ayah meminta putranya untuk berpuasa selama 15 hari, kemudian menguji ingatannya atas teks-teks Veda. Ia sayangnya gagal; tetapi setelah makan lagi ia dapat mengingat dengan mudah. Ayahnya menjelaskan:

“Jika dari suatu api besar yang berkobar, terdapat hanya satu batubara yang tertinggal menyala, ia dapat dengan mudah dibuat berkobar lagi dengan meletakkan rumput padanya. Bahkan demikian, putra yang kucintai, ada [karena berpuasa] kecuali satu bagian dalam enam belas yang tersisa bagimu dan itu, yang dinyalakan dengan makanan, berkobar dan dengan ini kamu mengingat Veda sekarang.” Setelah itu ia memahami apa yang dimaksud ayahnya ketika ia berkata: “Pikiran, putra yang kusayangi, muncul dari makanan, napas dari air, perkataan dari api.”[1]

Sang Buddha suatu ketika ditanya oleh seorang brahmana mengapa mantra-mantra (Veda) kadangkala mudah diingat dan kadangkala tidak.[2] Secara khas, Beliau menjawab bahwa ketika lima rintangan hadir mantra-mantra tidak jelas; ketika lima rintangan tidak ada mantra-mantra jelas. Ini adalah contoh langsung bagaimana ilmu menghafal teks-teks akan membawa secara alami pada penyelidikan kualitas-kualitas mental yang diperlukan untuk keberhasilan dalam suatu usaha yang ambisius demikian. Kita masih menggunakan kata yang berusia 4000 tahun “mantra”, yang mulanya menunjuk pada teks-teks Veda, sebagai suatu istilah untuk sebuah kata meditasi, bunyi atau ungkapan yang secara tradisional diambil dari teks-teks kuno yang diulangi seseorang terus-menerus sebagai suatu dukungan untuk meditasi. Hubungan antara perenungan dan meditasi adalah kuat bahkan sekarang dalam Buddhisme. Sebagai contoh, kebanyakan umat Buddha familiar dengan bacaan dasar untuk “perenungan” (anussati) atas Tiga Permata. Ini membentuk landasan untuk baik pelafalan yang biasanya dalam upacara-upacara Buddhis, dan juga meditas terhadap Tiga Permata.

Dengan cara yang sama, syair-syair Veda memiliki suatu arti yang sangat suci, mistis bagi para pendeta Brahmana, dan telah menjadi hal yang biasa karena lebih banyak kontemplatif di antara mereka untuk menimbulkan keadaan-keadaan kesadaran yang mulia melalui perenungan yang bersukacita atas kata-kata suci itu. Untuk mengingat teks-teks yang panjang, tentu saja perlu untuk mengulangi bacaan-bacaan lagi dan lagi. Jika seseorang melakukan ini secara mekanis, tanpa ketertarikan, penghafalan itu tidak akan berhasil. Ia harus membangkitkan inspirasi, kegembiraan, perhatian, dan pemahaman pada tugas itu. Ia harus belajar untuk “berdiam bersama” dengan momen saat ini – dan di sini kita menyeberang ke gagasan Buddhis yang familiar tentang “perhatian”.

Psikologi ini juga muncul dalam penggunaan kata dhī, yang familiar sebagai akar kata dari istilah Buddhis “jhāna”. Dhī digunakan awalnya dalam pengertian “pemikiran”, dan memiliki suatu hubungan khusus dengan “penglihatan” dari puisi Veda: dhī adalah kesadaran intuitif ketika penyair/pendeta “melihat” syair-syair. “Pemikiran” (dhī) atau “pikiran” (manas) didisiplinkan (yoga) oleh para pembaca.

“Para pendeta dari ia Savitr yang mulia mahir dalam syair-syair pujian
Mengekang pikiran mereka, juga, mengekang pemikiran-pemikiran suci mereka.”[3]

Tetapi jhāna tidak mengembangkan maknanya sebagai “penyerapan yang mendalam” sampai masa Sang Buddha. Dalam Bṛhadāraṇyaka, jhāna dibandingkan dengan keheningan dari Diri Sejati.

“Yang manakah Diri itu?”

“Orang itu di sini terbuat dari kognisi di antara indera-indera [napas], cahaya dalam hati. Ia, yang masih sama, mengembara antara dua dunia seakan-akan sedang berpikir (dhyāyati), seakan-akan sedang bermain (lelāyati).”[4]
 
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #36 on: 14 October 2013, 09:11:37 PM »
Upaniṣad secara terus-menerus mengingatkan kita untuk mempertahankan sikap mental yang benar: melakukan ritual-ritual dengan keseluruhan diri seseorang, dengan mengkontemplasikan arti dari setiap aspek seperti yang ia lakukan. Bahkan para Brahmana yang lebih awal mengizinkan bahwa jika suatu ritual tidak dapat dilakukan secara fisik ia dapat diadakan dengan “keyakinan”, yaitu sebagai suatu perbuatan mental murni.[5] Dalam pencelupan kesadaran dalam perbuatan seseorang ini kita dapat mengenali suatu pelopor pada penekanan Buddhis atas perhatian dalam semua aktivitas seseorang.

Adalah hal yang menggugah rasa ingin tahu ketika kita melihat pada sumber-sumber yang paling mungkin sezaman dengan Sang Buddha – yaitu Bṛhadāraṇyaka dan Chāndogya – kita menemukan bahwa istilah-istilah meditatif yang terkenal ini digunakan tidak begitu sering. Kata ini adalah upāsana. Edward Crangle, mengikuti Velkar, telah mempelajari istilah ini dengan rinci, dan memberikan daftar frekuensi kemunculannya. Dalam Bṛhadāraṇyaka, upāsana muncul 63 kali, jhāna tiga kali, dan yoga dua kali. Dalam Chāndogya, upāsana muncul 115 kali, jhāna dua belas kali, dan yoga dua kali juga.[6] Upāsana adalah suatu istilah kunci dalam mempertimbangkan munculnya psikologi meditatif dalam tradisi India. Istilah ini diterjemahkan kadangkala sebagai “pemujaan” dan kadangkala sebagai “meditasi”, dan mewujudkan pergeseran dari suatu pemujaan dan ritual eksternal menuju kontemplasi dari dalam. Crangle mengatakan upāsana adalah “suatu proses kontemplatif di mana objek pemujaan adalah suatu objek konsentrasi.”[7] Berikut menyampaikan nada mistik dari upāsana:

“Selanjutnya, dari napas ini, air adalah tubuhnya. Bentuk-cahayanya adalah bulan itu. Sejauh napas membentang sejauh itu membentang air dan bulan itu. Ini semuanya adalah serupa, semua tidak berakhir. Sesungguhnya, ia yang memeditasikan/memuja (upāsana) mereka sebagai yang terbatas memenangkan suatu dunia yang terbatas. Tetapi ia yang memeditasikan/memuja mereka sebagai yang tidak terbatas memenangkan suatu dunia yang tidak terbatas.”[8]

Upāsana mencakup sejangkauan luas kesadaran spiritual. Velkar mengatakan ini adalah bersifat meditatif, simbolis (melibatkan simbolisme yang rumit), dan analitis (dalam membuat pembedaan filosofis). Ini mengambil sejumlah besar objek yang berbeda-beda, yang konkrit dan abstrak: Tuhan, “om”, matahari, bulan, kilat, angin, ruang, api, air, napas, “Itu sebagai Yang Agung”, “Itu sebagai Pikiran”, dst.

Crangle membuat saran yang penuh intrik bahwa upāsana berhubungan dengan istilah Buddhis satipaṭṭhāna, khususnya unsur terakhir dari kata majemuk ini, upaṭṭhāna.[9] Ini didukung dengan sejumlah alasan. Bunyi dari kata-kata itu hampir identik, khususnya dalam Sanskrit (upasthāna and upāsana). Walaupun keduanya dari akar kata yang berbeda, konstruksi dan makna dasarnya mirip: upa + ās berarti “duduk dekat”; upa + sthā berarti “berdiri dekat”. Dari sini keduanya mengembangkan pengertian dari “menanti, melayani, menghadiri”, dan kemudian “berdoa, memuja”. Dalam suatu konteks yang secara khusus bersifat meditatif, keduanya digunakan dalam pengertian peletakan landasan awal pada objek meditasi, alih-alih keadaan yang dihasilkan dari penyerapan. Beberapa objek meditasi untuk upāsana juga ditemukan dalam satipaṭṭhāna: napas, air, api, ruang, kebahagiaan, pikiran, dst. Maka saran Crangle dapat diterima. Latihan kontemplatif utama dari periode pra-Buddhis adalah upāsana, dan latihan ini menemukan hubungan Buddhis terdekatnya, yang cukup mengejutkan, bukan dengan jhāna atau samādhi, tetapi dengan satipaṭṭhāna.

Penyelidikan terhadap istilah meditasi pra-Buddhis terhambat oleh kenyataan bahwa Veda-Veda sedikit memiliki atau tidak membahas meditasi sama sekali dan Upaniṣad awal tidak ada sesuatu yang jelas [tentang meditasi]. Penggambaran jelas yang awal dari meditasi di luar Buddhisme terdapat dalam teks-teks belakangan dari Upaniṣad dan Jain. Ini lebih belakangan dari Sutta-Sutta, tetapi, tidak ada alasan mengapa bahwa teks-teks belakangan tidak menyimpan tradisi kuno.

Dalam tahun-tahun terakhir beberapa sarjana telah meragukan kebijaksanaan yang diterima bahwa Upaniṣad adalah pra-Buddhis. Sutta-Sutta tidak menyebutkan Upaniṣad dalam daftar standar teks-teks Brahmanis. Tetapi satu bacaan dari Tevijja Sutta, yang membahas perdebatan-perdebatan di antara para brahmana, menunjuk pada aliran-aliran Brahmanis yang mengajarkan jalan yang berbeda-beda.[10] Ini telah disamakan oleh Jayatilleke dengan beberapa Brahmana (yang termasuk Upaniṣad) sebagai berikut:

Tabel 10.1: Teks-teks Brahmanis dalam Tevijja Sutta

Aliran dalam Tevijja Sutta
Aliran Brahmanis
Teks Brahmanis
AddhariyāYajur Veda AddhariyaŚatapatha Brahmaṇa1
TittiriyāYajur Veda TittiryaTaittirīya Brahmaṇa
ChandokāSāman Veda ChandogaChāndogya Brahmaṇa
BavharijāṚg Veda BavharijaBahvrvas Brahmaṇa
1 Termasuk Bṛhadāraṇyaka.
 
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #37 on: 14 October 2013, 09:18:48 PM »
Ini menyatakan bahwa aliran-aliran Upaniṣad sudah ada, tetapi ajaran mereka masih bergejolak. Mungkin Upaniṣad yang kita miliki sekarang berasal dari ajaran-ajaran yang belakangan dimantapkan dari masing-masing untaian pemikiran Brahmanis.[11] Tetapi apakah Upaniṣad dalam bentuk mereka yang sekarang ada pada masa Sang Buddha atau tidak, tidak diragukan gagasan-gagasan itu yang dapat kita sebut bersifat “Upaniṣad” terkenal [pada masa itu]. Dalam lingkup metafisik kita dapat mengutip kritik Sang Buddha atas gagasan-gagasan demikian seperti bahwa diri adalah tidak terbatas (anantavā attā), atau bahwa diri adalah sama dengan dunia (so attā so loko), atau bahwa “Aku adalah Dia” (eso’hamasmi); atau tentu saja penolakan Sang Buddha atas pernyataan oleh seorang kosmologis brahmana tertentu bahwa “Semua adalah satu” (sabbaṁ ekattaṁ). Ini wajar saja untuk menghubungkan metafisik demikian dengan pencapaian samādhi, seperti yang dinyatakan oleh Brahmajāla Sutta.

Upaniṣad awal, khususnya Bṛhadāraṇyaka, biasanya dianggap sebagai yang paling awal dan paling penting, adalah sebuah kantong yang bercampur aduk. Bṛhadāraṇyaka memiliki bacaan dari keindahan kata-kata pujian, filosofi yang rumit, metafisika yang mulia, dan percakapan yang pintar. Ia berhubungan erat dengan gagasan-gagasan seperti pikiran, napas, dan keesaan, yang bernada suatu budaya meditatif. Ia membedakan antara semata-mata persepsi (saññā) dan pemahaman yang membebaskan (paññā), dan menekankan kesadaran (viññāṇa) yang berbeda dengan aspek yang lebih dinamis konseptual dan bersifat emosional dari pikiran (mano). Oleh sebab itu ia menuntut pengalaman pribadi alih-alih hanya pembelajaran dari buku. Ia seringkali menumbangkan prasangka – para wanita memiliki peranan mendukung yang kuat, dan kadangkala para Brahmana digambarkan harus mempelajari tentang Brahmā dari para Kṣatriya.

Tetapi Bṛhadāraṇyaka juga mengandung banyak hal yang dangkal dan bahkan brutal. Ia mengesahkan pengorbanan. Ia bersifat tidak tahu malu dan materialistis. Ia penuh dengan ilmu sihir dan mantra-mantra. Ia mengandung ilmu hitam – suatu kutukan untuk menyebabkan musuh jatuh cinta. Ia memasukkan sihir seks yang kasar. Jika wanita seseorang menolak untuk ikut serta, wanita itu pertama kali harus diambil hatinya dengan hadiah-hadiah; “dan jika ia masih tidak melayani nafsu sang laki-laki, laki-laki itu harus memukulnya dengan sebuah tongkat atau tangannya dan menaklukkannya.”[12] Perlakuan kejam yang demikian sangat tidak sesuai dengan budaya pikiran yang asli mana pun. Teks itu adalah suatu pernyataan pada keberagaman gagasan yang dianggap para brahmana bersifat “spiritual”, dan pada keelastisan dari para penyusun dari teks yang kita miliki sekarang.

Marilah kita melihat beberapa bacaan yang paling bernada meditasi. Dari Bṛhadāraṇyaka:

“Biarlah seorang laki-laki melakukan satu ibadah saja, biarlah ia menghembuskan napas dan menarik napas, sehingga kematian yang jahat tidak dapat mencapainya.”[13]

“Pelihat yang tidak terlihat, pendengar yang tidak terdengar, pemikir yang tidak terpikirkan, pengetahu yang tidak diketahui... Tidak ada pelihat lain selain dia, tidak ada pendengar lain, tidak ada pemikir lain, tidak ada pengetahu lain. Ini adalah dirimu, pengendali dari dalam, yang abadi....”[14]

“Oleh sebab itu, setelah mengetahui hal ini, menjadi tenang, jinak, tentram, bertahan, terkonsentrasi, seseorang melihat jiwa dalam dirinya sendiri.”[15]

Dalam dirinya sendiri bacaan-bacaan demikian terlalu samar-samar untuk kesimpulan yang jelas apa pun tentang latihan-latihan meditasi. Dan bahkan bacaan terakhir, yang paling bernada, memiliki “berkeyakinan” sebagai variasi bacaan untuk “terkonsentrasi”. Chāndogya memiliki sedikit bacaan yang lebih eksplisit.

“Seperti seekor burung ketika diikat dengan seutas tali terbang ke segala arah dan, tidak menemukan sandaran di mana pun, turun pada akhirnya pada tempat di mana ia diikat; demikian halnya, putraku, bahwa pikiran, setelah terbang ke sekeliling dalam segala arah dan tidak menemukan sandaran di mana pun, turun pada napas; karena sesungguhnya, putraku, pikiran terikat pada napas.”[16]

Untuk ajaran-ajaran yang jelas tentang meditasi kita harus menuju pada Śvetāśvatara Upaniṣad (yang mungkin pasca-Buddhis).

“Dengan membuat tubuhnya di bawah-hutan dan suku kata ‘Om’ di atas-hutan, seseorang, setelah mengulangi latihan meditasi, akan memahami dewa yang bercahaya, seperti percikan api yang tersembunyi dalam hutan.” [17]

“Jika orang bijaksana memegang tubuhnya dengan tiga bagian atas dengan mantap, dan mengalihkan indera-inderanya dengan pikirannya menuju hati, ia akan kemudian berada dalam perahu Brahman menyeberangi semua arus yang menakutkan.”[18]

“Menekan napasnya, biarlah ia, yang telah menaklukkan semua gerakan, bernapas melalui hidung dengan napas yang lembut. Biarlah orang bijaksana, dengan penuh kewaspadaan, terus-menerus memegang pikirannya, kereta yang dipasangkan kuk dengan kuda-kuda liar.”[19]

“Ketika yoga dilakukan, bentuk-bentuk yang datang pertama kali, yang menghasilkan bayangan dalam Brahman, adalah yang berasal dari asap kabut, matahari, api, angin, kunang-kunang, kilat, dan sebuah bulan kristal.”[20]

Ini adalah referensi yang sangat langsung pada meditasi, dan mereka tidak akan terdengar tidak familiar bagi siapa pun yang mengetahui meditasi Buddhis. Perumpamaan meditasi seperti dua batang kayu api terkenal dalam teks-teks Buddhis.[21] Perhatikan hubungan yang dekat dalam SU 2.9 antara “kewaspadaan” (appamāda) dan “terus-menerus memegang” (dhāraṇa), sebuah istilah yang secara arti kata sejajar dengan sati. Subjek meditasi Brahmanis yang paling awal adalah pernapasan dan perenungan suku kata magis “Om”. Tentu saja, “napas” dan “kata” itu berhubungan erat dan secara mistis diidentifikasi dalam Upaniṣad; para yogi mungkin telah melafalkan “Om” bersama-sama dengan napas. Upaniṣad penuh dengan bacaan yang menyatakan keunggulan dari napas atas kemampuan indera dan pikiran (“pikiran” di sini bermakna pemikiran dan emosi). Ini dapat dipahami sebagai suatu penggambaran yang bersifat kiasan dari evolusi kesadaran dari keberagaman hal-hal eksternal menuju suatu kesatuan dengan napas.

Pernapasan sebagai suatu latihan utama dalam perenungan tubuh satipaṭṭhāna, dan aspek-aspek lainnya yang bernada satipaṭṭhāna juga dapat dilihat dalam tradisi Upaniṣad. Seperti halnya Satipaṭṭhāna Saṁyutta, ketergantungan dari napas (tubuh) terhadap makanan ditekankan.[22] Unsur-unsur muncul pada umumnya dalam dunia kuno, dan dipuja sebagai para dewa. Sebagai contoh Agni (api) adalah sosok dewa utama dalam Veda-Veda, dan tidak diragukan menginspirasi perenungan yang penuh kegembiraan. Vāyu (udara) juga dipuja dalam Veda-Veda. Bumi (ibu), yang simbolnya menyerap ikonografi Buddhisme, juga secara luar dihormati, dan dihubungkan dengan agama Lembah Sungai Indus. Bagian-bagian tubuh dipuja dalam Chāndogya Upaniṣad: rambut, kulit, daging, tulang, sumsum.[23] Semua ini muncul dalam daftar Satipaṭṭhāna Sutta tentang bagian-bagian tubuh, dan dalam urutan yang sama. Lahan pemakaman telah lama menjadi tempat yang sering dikunjungi suatu jenis pertapa tertentu. Maitrī Upaniṣad yang belakangan membuka dengan perenungan tubuh untuk menyebabkan pelenyapan nafsu (virāga), tetapi ini mungkin di bawah pengaruh Buddhis.[24]

Satipaṭṭhāna lainnya – perasaan, pikiran, dan dhamma – bahkan dapat dibandingkan dengan kelompok tiga Brahmanis yang terkenal: pikiran, makhluk, kebahagiaan (cit, sat, ānanda). Pikiran dan kebahagiaan jelas cukup. Sedangkan untuk makhluk, ini adalah suatu istilah filosofis yang penting bagi Upaniṣad, seperti halnya dhamma adalah istilah penting bagi Buddhisme. Teori dhamma jelas berkembang untuk menyediakan suatu penjelasan atas realitas fenomenal yang berlawanan dengan konsep Brahmanis tentang suatu landasan mutlak yang mendasari makhluk. Dan sesungguhnya perenungan terhadap dhamma secara terkemuka bercirikan istilah yang sama untuk makhluk, sat, yang begitu penting bagi para brahmana; tetapi di sini ia diperlakukan, seperti biasanya, dalam suatu cara yang empiris secara menyeluruh, yang anti-metafisik: “kehadiran” atau “ketiadaan” dari faktor-faktor mental yang baik atau buruk berdasarkan kondisi-kondisi. Daftar yang lain juga mengingatkan kita terhadap satipaṭṭhāna: makanan, napas (= tubuh), pikiran (atau pemikiran, manas), kognisi (vijñāna = pikiran, citta), kebahagiaan (perasaan).[25] Apakah terdapat suatu hubungan historis yang nyata antara kumpulan-kumpulan khusus ini atau tidak, kedua tradisi menggunakan daftar-daftar sederhana dari fenomena fisik dan mental sebagai suatu panduan menuju latihan spiritual.

Pada akhir studi ini kita akan melihat bahwa beberapa teoritis Buddhis yang belakangan mengusulkan suatu hubungan antara evolusi dari tahap-tahap pemahaman dalam meditasi dan tahap-tahap dalam pandangan dari berbagai aliran.  Tidak terlalu dibuat-buat untuk melihat suatu perkembangan yang serupa di sini; Upaniṣad sendiri tampak menyadari beberapa tingkat dari evolusi ini. Kita dapat menganalisis tahap-tahap dari agama India dalam hal empat satipaṭṭhāna. Tahap paling awal sepenuhnya bersifat fisik – ritual-ritual, pelafalan, napas, pengorbanan – yang dikejar dengan tujuan kesuburan dan kemakmuran. Ini berkembang ke dalam praktek penyiksaan diri, yang walaupun masih bersifat fisik didasarkan pada kemampuan menahan perasaan yang menyakitkan. Tahap berikutnya adalah penekanan pada keadaan yang halus dari kesadaran yang diidentifikasi sebagai diri kosmis. Akhirnya, kritik Buddhis atas absolutisme metafisik, analisis dhamma sebagai yang berkondisi dan bukan-diri.

Demikianlah beberapa segi satipaṭṭhāna memiliki pendahulunya dalam tradisi-tradisi Brahmanis. Perbedaannya adalah pada apa yang ditinggalkan (mantra-mantra, ritual-ritual, pemujaan para dewa, metafisika, dst.), dan dalam cara perlakuan. Latihannya bersifat tenang, rasional, dan layak. Istilah-istilahnya telah dimasukkan dalam sistem Buddhis. Penyajiannya murni dalam hal fenomena yang dapat dilihat tanpa nada tambahan metafisik apa pun. Ini bukan berusaha meyakinkan anda suatu teori tetapi untuk menunjukkan anda pada pengalaman anda sendiri.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #38 on: 14 October 2013, 09:24:08 PM »
10.2 Sumber-Sumber Buddhis

Mempertimbangkan kurangnya referensi tentang meditasi dalam teks-teks pra-Buddhis kita dilempar kembali pada teks-teks Buddhis sebagai sumber paling awal kita. Terdapat sejumlah masalah dengan ini. Para penyusun Sutta-Sutta mungkin tidak memiliki banyak pengetahuan tentang praktek-praktek non-Buddhis, dan mungkin telah mengalah pada godaan untuk meletakkan lawan mereka dalam situasi yang buruk. Sebagai tambahan, mereka sangat mungkin menggambarkan praktek-praktek dari aliran aliran dalam istilah yang mereka familiar, tetapi tidak otentik dalam aliran lain. Walaupun demikian, sumber-sumber Buddhis dan non-Buddhis sepaham dalam istilah-istilah yang luas dalam penggambaran mereka tentang meditasi pra-Buddhis. Terdapat dua arus yang demikian, yang diwakili dua gaya praktek yang dilakukan Bodhisatta sebelum pencerahannya. Ini adalah praktisi samādhi dari Upaniṣad dan penyiksa-diri dari Jain.

Bacaan yang terkenal yang menunjuk pada para yogi yang bersifat “Upaniṣad” adalah kisah masa belajar Bodhisatta.[26] Saya ingin pertama-tama mencatat mengapa saya menganggap pentingnya bacaan ini dengan serius dinilai terlalu tinggi. Berdasarkan GIST, ajaran utama Sang Buddha ditemukan dalam pernyataan-pernyataan dasar ajaran (sutta-sutta) bersama-sama dengan pembahasan tanya jawab dari pernyataan-pernyataan ini (vyākaraṇa). Bahan ini tidak memasukkan banyak kisah biografi, yang melebihi menyatakan bahwa adalah melalui pemahaman empat kebenaran mulia, dst., atau melalui praktek jalan mulia berunsur delapan, dst., sehingga Sang Buddha merealisasi pencerahan. Biografi seperti demikian adalah salah satu dari aṅga yang belakangan, avadāna. Namun, setelah Sang Buddha wafat komunitas [Sangha] menemukan bahwa kisah kehidupan Sang Buddha memberikan ajaran-ajaran yang “sentuhan pribadinya” sangat penting untuk perkembangan Buddhisme ke dalam suatu agama massa yang populer. Sejak saat itu sampai sekarang kehidupan Sang Buddha, alih-alih sewaktu-waktu digunakan untuk menggambarkan suatu titik doktrinal, menjadi fokus utama perhatian. Peristiwa-peristiwa yang dimasukkan dalam kisah kehidupan Sang Buddha diketahui oleh semua umat Buddhis, dan sebagai akibatnya kadangkala kejadian kecil telah diperbesar di luar semua proporsi dari nilai penting aslinya. Satu contoh nyata dari hal ini adalah makanan terakhir Sang Buddha, suatu kejadian yang tidak jelas dengan penafsiran yang meragukan, tidak ada dalam beberapa versi, yang menjadi medan pertempuran utama dalam perdebatan tentang posisi Buddhis terhadap vegetarianisme, dengan akibatnya bahwa beberapa kotbah-kotbah yang secara langsung menyebutkan masalah itu, dan seringnya penyebutan makan daging dalam Vinaya, hampir diabaikan. Kasus lainnya adalah kisah yang mengharukan tentang upaya yang sulit oleh ibu tiri Sang Buddha Mahā Pajāpati untuk mengamankan penahbisan para wanita. Kisah ini terkenal pada semua [aliran] dan secara teratur dilibatkan untuk menolak para wanita atas kesempatan untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan selibat, sementara mengabaikan seringnya penyebutan “perkumpulan berunsur empat” (termasuk para bhikkhuni) yang dianggap Sang Buddha sebagai tanda dari suatu agama yang lengkap, berhasil, dan bertahan lama. Mengambil catatan dalam prinsip ini tidak dalam dan dari dirinya sendiri berarti bahwa bacaan-bacaan ini tidak otentik, ataupun bahwa mereka tidak dapat dianggap, atau ia tidak menyatakan mengambil pendirian tertentu atas perdebatan-perdebatan demikian; tetapi ia menyatakan bahwa kita seharusnya lebih berhati-hati dalam bagaimana kita menimbang dan menilai bukti-bukti dalam teks-teks awal.

Meskipun demikian, walaupun kisah masa belajar Bodhisatta telah mengalami banyak pembahasan, di sini ada satu lagi. Hampir semua pembahasan telah mengabaikan titik yang jelas bahwa Ariyapariyesana Sutta menyebutkan tiga tahap masa belajar ini. Pertama, mempelajari dan melafalkan teks-teks dengan bibir.[27] Ini adalah suatu petunjuk bahwa ini adalah para pertapa dalam tradisi Veda arus utama; sifat teks-teks tidak disebutkan di sini, tetapi di tempat lain Sang Buddha mengingat bahwa Uddaka Rāmaputta menyatakan diri sebagai seorang vedagū, seorang ahli Veda.[28] Bagaimana pun, seperti yang kita catat di atas, Veda adalah satu-satunya teks yang diketahui dalam Sutta-Sutta awal.[29] Kedua sang jalan, di sini digambarkan sebagai keyakinan, semangat, perhatian, samādhi, dan kebijaksanaan.[30] Ketiga tujuan – pencapaian tanpa bentuk. Tiga tahap ini berhubungan dengan tiga aspek klasik dari Buddhisme – studi, praktek, dan realisasi. Lima faktor dari sang jalan adalah lima kemampuan spiritual Buddhis – suatu kenyataan yang dengan baik sekali diabaikan oleh mereka yang berharap menafsirkan bacaaan ini menyatakan sifat “non-Buddhis” dari samādhi pada umumnya, atau pencapaian tanpa bentuk pada khususnya. Kita tidak dapat mengetahui bagaimana kualitas-kualitas ini dipahami secara rinci dalam konteks ini; tetapi istilah-istilah seperti prajñā, dst., muncul umumnya dalam Upaniṣad. Jika benar bahwa lima kemampuan spiritual sebenarnya berhubungan dengan tradisi Veda/Upaniṣad, ini mungkin bukan kebetulan bahwa adalah dalam kemampuan-kemampuan spiritual ini kita paling sering menemukan sati diperlakukan sebagai “ingatan”.[31]

Bodhisatta tidak menolak pencapaian tanpa bentuk dalam dan dari diri mereka sendiri. Ini bukan kasus bahwa ia berlatih meditasi samādhi tetapi bukan meditasi perhatian. Alih-alih, ia berlatih meditasi perhatian untuk masuk ke dalam samādhi. Samādhi ditekankan dalam kisah ini karena ia adalah yang tertinggi, kualitas yang paling mulia yang diketahui dalam sistem-sistem tersebut, dan karena kedamaiannya yang halus ia dengan salah dianggap akhir yang final dari jalan spiritual. Bodhisatta menjadi kecewa dengan “Dhamma itu”, yaitu dengan ajaran yang diambil secara keseluruhan, karena ia hanya membawa pada kelahiran kembali di alam tanpa bentuk, dan oleh karenanya “tidak cukup” untuk mencapai “keadaan damai yang unggul”, akhir dari kelahiran, usia tua, dan kematian.

Ini sangat sesuai dengan arus utama Sutta-Sutta. Di tempat lain dikatakan bahwa orang-orang biasa mencapai samādhi (di sini empat jhāna[32] dan empat kediaman luhur[33]), terlahir kembali di alam-alam Brahmā, dan setelah masa yang lama dalam kebahagiaan jatuh ke alam-alam yang lebih rendah. Tetapi para siswa mulia, setelah mencapai alam-alam Brahmā, mencapai Nibbana dari sana. Perbedaannya adalah bukan dalam keadaan samādhi seperti demikian – ini hanyalah pikiran dalam kedamaian. Perbedaannya adalah dalam pandangan dan penafsiran, konsep yang membungkus pengalaman itu di dalamnya. Sang jalan harus diambil secara menyeluruh. Jika seseorang mulai dari pandangan salah, pengalaman meditasinya akan hanya memperkuat prasangkanya. Jika seseorang berlatih samādhi dengan pandangan bahwa jiwanya akan menjadi terbenam dalam keadaan yang mulia, maka, ia akan mendapatkan apa yang ia harapkan.

Ini adalah ciri khas yang paling penting yang membedakan episode ini dari kejadian yang belakangan (yang dikutipkan di bawah ini) ketika Bodhisatta mengingat kembali pengalaman sebelumnya dalam jhāna pertama. Ini terjadi ketika masih seorang anak kecil, yang duduk dalam bayangan yang sejuk dari sebatang pohon jambu. Ketika Bodhisatta mengingat pengalaman ini ia menyadari bahwa: “Itu sesungguhnya jalan menuju pencerahan”. Ketika masih seorang anak kecil, pikirannya bersih dari pandangan-pandangan; ia tidak memiliki agenda metafisik. Kedamaian pikiran hanyalah kedamaian pikiran; dan dengan demikian ia menyadari bahwa walaupun keadaan-keadaan demikian bukanlah tujuan akhir yang ia rindukan, mereka sesungguhnya adalah jalan menuju tujuan itu. Kisah ini ditemukan dalam Mahā Saccaka Sutta (MN 36), Mahāvastu (dari Vinaya Mahāsaṅghika), Saṅghabhedavastu (dari Vinaya Mūlasarvāstivāda), dan Vinaya Dharmaguptaka. Kisah dalam Ekottara (EA 31.8) dan Lalitavistara menghubungkan semua keempat jhāna pada Bodhisatta ketika masih anak kecil; sedangkan Vinaya Mūlasarvāstivāda dan sebuah terjemahan Mandarin tersendiri (T No. 757) menempatkan pencapaian jhāna segera setelah meninggalkan keduniawian. Dengan demikian ini jelas dianggap oleh semua aliran sebagai suatu kejadian yang penting dalam jalan Bodhisatta menuju pencerahan.

Salah satu sumber yang paling menarik untuk pemahaman praktek meditasi dari para pertapa brahmana adalah Pārāyana Vagga dari Sutta Nipāta. Teks ini, salah satu dari teks-teks paling awal dalam kanon Pali, terdiri dari serangkaian tanya jawab antara Sang Buddha dan sekelompok dari enam belas meditator brahmana. Terdapat beberapa hubungan antara teks ini dan tradisi bergaya Upaniṣad yang telah kita bahas; kenyataannya kedekatan dari beberapa ungkapan yang sejajar menyatakan pengaruh kesusasteraan yang langsung dari satu jenis atau yang lainnya,[34] walaupun terdapat juga hubungan langsung antara beberapa dari syair-syair ini dan teks-teks Jain. Daftar teks Brahmanis yang diberikan secara substansial lebih pendek daripada yang ada dalam Bṛhadāraṇyaka, yang menyatakan bahwa ia lebih awal. Ia memiliki sebuah penunjukan yang bersifat sindiran terhadap seorang brahmana jahat yang mengancam untuk “memecah belah kepala”; ancaman yang sama muncul beberapa kali dalam Bṛhadāraṇyaka, perbedaannya adalah bahwa di sana kepala seseorang benar-benar terpecah belah![35] Sang Buddha tentu saja mengabaikan kemanjuran pengetahuan Veda, ritual, pengorbanan, dan konsep metafisik dari “Diri”. Kita bertemu lagi dengan ungkapan “yang dilihat, didengar, dipikirkan, diketahui” yang telah kita temukan dalam Bṛhadāraṇyaka, dan juga penunjukan yang kerapkali pada pasangan kesadaran dengan nama dan bentuk, gagasan Upaniṣad yang lain.

Keyakinan dan ketaatan dari para yogi ini sangat menggerakkan hati, dan berdiri sangat berbeda dengan hubungan yang kadangkala tegang antara Sang Buddha dan para brahmana yang skolastik dan ritualistik. Dalam suasana yang bersahabat ini Sang Buddha akan, kapan pun memungkinkan, menjaga kebijakan normalnya dengan mendorong para siswa-Nya untuk berlanjut mengembangkan apa pun praktek spiritual yang paling menginspirasi dan bermanfaat. Syair-syair pembuka, yang dalam beberapa hal bersifat belakangan, menunjuk secara tidak langsung pada lima kemampuan spiritual,[36] dan mengatakan enam belas brahmana adalah praktisi jhāna.[37] Ajaran-ajarannya singkat dan tidak bersifat teknis, tetapi terdapat suatu penunjukan yang dapat dikenali pada jhāna keempat[38] dan pada alam kekosongan.[39] Dan berulang kali, Sang Buddha menasehati para yogi ini agar “selalu penuh perhatian”. Ini menegaskan hubungan perhatian dengan budaya Brahmanis; Sang Buddha tidak mungkin menggunakan istilah itu jika beliau tidak mengharapkan para pendengarnya memahaminya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #39 on: 14 October 2013, 09:27:22 PM »
Tiga kotbah dalam Bojjhaṅga-saṁyutta menyajikan pernyataan dari para pertapa kelana non-Buddhis yang mengembangkan meditasi bergaya Buddhis. Mereka mengatakan mereka mengajarkan para siswa mereka untuk meninggalkan lima rintangan dan mengembangkan, dalam dua kasus, tujuh faktor pencerahan,[40] dan dalam kasus ketiga empat kediaman luhur.[41] Di tempat lain juga kediaman luhur dihubungkan dengan para bijaksana dari masa lampau, khususnya Sang Buddha pada kehidupan lampau.[42] Namun, walaupun ini ditemukan dalam tradisi Brahmanis yang belakangan, mereka tidak terbukti dalam teks-teks pra-Buddhis. Faktor-faktor pencerahan memasukkan perhatian dan penyelidikan dhamma, yang sama dengan vipassanā, dan samādhi. Para pertapa kelana kemudian bertanya, apakah perbedaan antara ajaran mereka dan ajaran Sang Buddha? Sang Buddha menjawab, bukan dengan menunjuk pada, katakanlah, empat kebenaran mulia, bukan-diri, atau kemunculan bergantungan, tetapi dengan menyatakan bahwa para pertapa kelana tidak memahami sepenuhnya praktek samādhi dalam semua rinciannya. Inilah apa yang Sang Buddha tunjukkan ketika beliau menyatakan telah “tercerahkan melalui jhāna” (jhānaṁ abujjhi);[43] bukan bahwa beliau adalah yang pertama kali mempraktekkan jhāna, tetapi bahwa beliau adalah yang pertama kali memahami sepenuhnya manfaat dan keterbatasan dari pengalaman-pengalaman yang demikian.

Brahmajala Sutta adalah sebuah sumber klasik bagi meditasi non-Buddhis. Ia menyajikan suatu susunan yang membingungkan dari 62 pandangan doktrinal, di mana banyak darinya yang berasal dari atau diperkuat oleh penafsiran yang salah atas pengalaman samādhi: ketekunan (ātappa), perjuangan (padhāna), komitmen (anuyoga), kewaspadaan (appamāda), dan perhatian [attention] benar (sammā manasikāra). Semua istilah ini umumnya ditemukan dalam konteks Buddhis; ātappa muncul dalam rumusan satipaṭṭhāna.  “Kewaspadaan”, yang kita temukan di atas dalam Śvetāśvatara Upaniṣad, berada dekat dalam makna dengan “perhatian” [mindfulness]. “Perhatian” [attention] adalah dasar bagi kebijaksanaan, dan berhubungan erat dengan pandangan benar. Jadi di sini kebijaksanaan muncul sebagai pelopor bagi samādhi.

Tetapi Sutta-Sutta secara khas menyajikan para brahmana yang sezaman telah jatuh dari masa lampau mereka yang gemilang. Ini penting: Sutta-Sutta tidak melihat kenyataan bahwa jhāna yang dipraktekkan pra-Buddhis sebagai suatu sebab untuk merendahkan samādhi. Alih-alih, mereka memuji para bijaksana dari masa kuno, yang adalah teladan bagi kemuliaan dan inspirasi. Di sini terdapat sebuah contoh, yang diucapkan Yang Mulia Mahā Kaccāna kepada beberapa pemuda brahmana yang kasar dan menghina.

“Mereka dari masa kuno yang unggul dalam kebajikan,
Mereka para brahmana yang mengingat aturan-aturan kuno;
Indera-indera mereka terjaga, terlindungi dengan baik
Berdiam setelah menaklukkan kemarahan dari dalam.
Mereka bergembira dalam Dhamma dan jhāna –
Mereka para brahmana yang mengingat aturan-aturan kuno.”

“Tetapi ini telah jatuh, dengan menyatakan ‘Kami melafalkan!’
Sombong berdasarkan keturunan, setelah memperhatikan dengan tidak benar,
Ditaklukkan oleh kemarahan, yang disenjatai dengan berbagai senjata,
Mereka menganiaya yang lemah dan kokoh.”

“Bagi ia dengan pintu-pintu indera yang tidak terjaga
Semua sumpah yang ia ambil adalah sia-sia,
Seperti halnya kekayaan yang seseorang dapatkan dalam mimpi.”

“Berpuasa dan tidur di tanah,
Mandi pada saat fajar, [mempelajari] tiga Veda,
Berkulit kasar, berambut kusut, dan kotor,
Pujian-pujian, aturan dan sumpah, praktek keras,
Kepura-puraan, tongkat yang membengkok, ritual pembersihan:
Ini melambangkan para brahmana
Digunakan untuk meningkatkan perolehan duniawi mereka.”

“Pikiran yang terkonsentrasi dengan baik,
Jernih dan bebas dari cacat,
Lembut terhadap semua makhluk –
Inilah jalan untuk mencapai Brahmā.”[44]

Dapat dipahami, para pemuda brahmana tidak terlalu bergembira dengan hal ini. Maka mereka pergi menemui guru mereka, Brahmana Lohicca, dan memberitahukan kepadanya. Ia juga tidak senang, tetapi ia merenungkan bahwa ia tidak seharusnya menyalahkan hanya berdasarkan kabar angin, sehingga ia mengunjungi Yang Mulia Mahā Kaccāna untuk membahas masalah itu. Ia bertanya apakah makna dari “indera-indera yang terjaga” itu.

“Di sini, brahmana, setelah melihat suatu bentuk yang terlihat dengan mata, seseorang tidak tertarik pada suatu bentuk terlihat yang menyenangkan dan tidak menolak suatu bentuk terlihat yang tidak menyenangkan. Seseorang berdiam setelah mengembangkan perhatian terhadap tubuh, dengan pikiran yang tidak terukur, dan memahami seraya ini menjadi pembebasan batin itu, pembebasan yang memahami, di mana kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang buruk itu lenyap tanpa sisa....”

Di sini lagi kita melihat hubungan antara meditasi pra-Buddhis dan perhatian. Urutannya – pengendalian indera, perhatian, samādhi, pemahaman, pembebasan – memungkinkan Mahā Kaccāna untuk menyajikan gagasan Buddhis sebagai pemenuhan alami dari praktek para brahmana dari masa kuno, sehingga ia dapat dengan terampil membawa Lohicca dengan suatu cara yang tidak bersifat kontrontasi.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #40 on: 14 October 2013, 09:33:41 PM »
10.3 Sumber-Sumber Brahmanis yang Belakangan

Karena tidak ada catatan sezaman yang menjelaskan gagasan-gagasan ini lebih jauh, kita mengambil jalan beresiko dengan membandingkan mereka dengan teks-teks yang belakangan. Mahābhārata berasal dari masa yang lebih belakangan daripada Nikāya/Āgama, dan menunjukkan pengaruh Buddhis. Tetapi, peristiwa-peristiwa yang diseting dalam suatu masa semi-mitos sebelum Sang Buddha, dan ini tidak diragukan menyimpan beberapa tradisi kuno yang asli. Ia menyebutkan “jhānayoga berunsur empat”, tetapi hanya jhāna pertama yang digambarkan secara rinci.

“Pikiran yang mengembara,
Dengan tanpa sandaran,
Dengan lima gerbang, terhuyung-huyung,
Seseorang yang mantap seharusnya berkonsentrasi dalam jhāna pertama.”[45]

“Ketika orang bijaksana memasuki samādhi
Dari jhāna pertama pada awalnya,
Kelangsungan pikiran (vicāra) dan awal pikiran (vitakka)
Dan pengasingan (viveka) muncul dalam dirinya...”[46]

“Menyatu dengan kebahagiaan itu,
Ia akan bergembira dalam praktek jhāna.
Demikianlah para yogi pergi menuju Nirvana yang bebas dari penyakit...”[47]

Yoga Sūtra oleh Patañjali (300-500 M?) adalah sebuah penyajian awal dari jalan yang sangat sistematis tentang praktek dari aliran non-Buddhis. Aliran Yoga, yang dianggap sebagai sayap praktis dari filosofi Sāṁkhya, menjadi salah satu dari enam aliran dari Hinduisme klasik, yang ortodoks dalam menganggap tradisi Veda sebagai otoritas, walaupun mereka berbeda dalam penafsiran. Yoga Sūtra adalah sebuah karya yang sangat singkat dalam empat bab, yang mengandung serangkaian ungkapan pendek, atau sūtra, suatu gaya yang, secara kebetulan dengan baik menggambarkan makna dari sutta seperti yang dibahas dalam GIST. Sūtra-sūtra seringkali samar-samar dan juga tidak dapat dipahami tanpa sebuah komentar; karya itu dalam keseluruhan mungkin adalah sekumpulan perkataan yang dikumpulkan dalam bentuk yang sekarang oleh komentatornya.

Di sini kita hanya ingin menyelidiki istilah meditasi dalam hubungannya dengan meditasi Buddhis, sehingga kita bisa mengabaikan banyak pertanyaan yang rumit yang ditimbulkan oleh teks itu dan berfokus terutama pada bacaan-bacaan yang paling dekat dengan Buddhisme. Metodologi ini akan membawa pada suatu pandangan yang menyimpang terhadap karya tersebut secara keseluruhan, dan ini harus diingat bahwa Yoga Sūtra berdiam dengan setia pada filosofinya yang tersendiri; ia bukan hanya sebuah sobekan dari Buddhis. Secara ajaran, ia menyebutkan gagasan-gagasan yang familiar bagi Sāṁkhya/Yoga – tiga “kualitas” (guṇa) dari stimulasi (raja, secara harfiah “nafsu”), penekanan (tama, “kegelapan”), dan vitalitas (sattva, “makhluk”) yang membangun keadaan duniawi kita, landasan utama dari sifat alami (prakṛti) di mana ini berkembang, dan jiwa individual (puruṣa), yang kesucian dan ketajaman jernihnya membawa pada keadaan yang sempurna (kaivalya). Penekanan utamanya adalah pada cara praktis, terutama meditasi, untuk mencapai keadaan ini. Adakalanya ia mengkritik filosofi Buddhis. Sūtra 4.16-18, sebagai contoh, menyatakan bahwa tidak mungkin bagi suatu objek yang berubah diketahui oleh satu saat-pikiran (seperti yang dinyatakan para ābhidhammika); fluktuasi pikiran diketahui karena ketidakberubahan dari puruṣa, Ia yang Mengetahui. Kadangkala teks itu mengandung perdebatan antara para Buddhis, seperti ketika ia menyatakan bahwa “masa lampau dan masa depan ada dalam bentuk mereka sendiri”,[48] yang menyerupai ajaran Sarvāstivādin tentang waktu: “semua ada”.

Bab pertama dari Yoga Sūtra membahas tentang samādhi. Ia mulai dengan sebuah definisi yang terkenal: yoga adalah pelenyapan dari fluktuasi pikiran. Fluktuasi itu, yang disebabkan oleh ketidaktahuan, didaftarkan sebagai pengetahuan yang valid (pramāṇa, yang didefinisikan dengan cara yang sama dengan epistemologi Buddhis: pengalaman langsung, penarikan kesimpulan, dan kitab suci), kesalahan, khayalan, tidur, dan perenungan (perhatian, sati). Daftar ini ganjil; adalah sulit untuk melihat bagaimana, katakanlah, pengalaman langsung (pratyakṣa) dapat menjadi halangan bagi samādhi. Perlakuan perhatian dalam suatu pengertian yang negatif jelas berbeda dari pendekatan Buddhis. Bagi aliran-aliran Brahmanis, kata sati memiliki pengertian “menghafalkan tradisi-tradisi tekstual”, maka dalam konteks meditasi makna “ingatan” lebih terkemuka daripada “kesadaran”, oleh karenanya cenderung bersifat negatif. Situasi ini menyatakan dua akibat: pertama, bahwa ketika sati digunakan dalam pengertian positif dalam Yoga kita seharusnya mencurigai suatu pengaruh Buddhis; dan kedua, bahwa Yoga perlu mengembangkan suatu istilah alternatif untuk mengatakan tentang perhatian dalam sistem mereka sendiri. Kita akan menemukan bahwa Yoga Sūtra mendukung kedua tesis ini. Namun, meskipun perbedaan ini, Yoga Sūtra mendefinisikan sati dengan cara yang sama dengan aliran Buddhis: ketidak-lupaan terhadap objek yang dialami.

Setelah menekankan perlunya praktek ketenangan dan pelenyapan nafsu, teks itu berlanjut mengatakan suatu bentuk samādhi (kata “samādhi” tidak digunakan, tetapi jelas diberikan oleh komentar) yang disebut samprajñāta, yang digambarkan sebagai: “disertai oleh awal pikiran, kelangsungan pikiran, kebahagiaan (ānanda), [konsep] ‘Aku’, dan bentuk.”[49] Ini hampir sama dengan yang pertama dari empat “jhāna berbentuk” Buddhis. Gagasan “Aku” jelas menunjuk pada persepsi yang terdelusi yang menganggap apa yang bukan Diri Sejati, puruṣa, sebagai Diri Sejati. Ungkapan itu asing bagi rumusan jhāna yang standar, tetapi mirip dengan salah satu dari bentuk yang terdelusi dari “Nibbana di sini dan saat ini” yang digambarkan dalam Brahmajāla Sutta:

“Ketika, yang mulia, diri ini, cukup terasing dari kenikmatan indera, terasing dari kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat, memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama, yang memiliki awal dan kelangsungan pikiran, dan kegiuran & kebahagiaan yang lahir dari pengasingan, pada titik ini diri mencapai Nibbana di sini dan saat ini....”[50]

Kedua konteks mengkritik anggapan diri dalam keadaan samādhi ini; bagi Buddhis, tentu saja, tidak ada Diri Sejati, sedangkan dalam yoga Diri Sejati dipahami hanya dengan pengembangan kesadaran yang lebih mendalam. Yoga Sūtra melanjutkan berbicara tentang bentuk samādhi yang lain (lebih tinggi), yang disebut asamprajñāta (walaupun lagi istilah itu diberikan dalam teks yang sangat pendek itu sendiri). Sūtra 18 menjelaskan ini sebagai “didahului dengan praktek dalam pelepasan, dan hanya memiliki sisa aktivitas (saṁskāraśeṣa)”.[51] Sūtra 19 bersifat samar-samar: “Bagi yang tanpa tubuh, terserap dalam Sifat Alami yang utama, keberadaan [yang demikian] terkondisi (bhavapratyayo videhaprakṛtilāyanam)”. Ini tampaknya berarti bahwa keadaan kesadaran ini menghasilkan suatu kelahiran yang tanpa tubuh (videha = tanpa bentuk, arūpa?), atau bahwa bagi seseorang yang tanpa suatu tubuh, keadaan kesadaran yang demikian adalah suatu keadaan alami, bukan sesuatu yang harus dicapai melalui praktek spiritual. Sūtra 20 mengatakan bahwa “bagi orang lain” (yang kiranya ini berarti bukan orang-orang “yang tanpa tubuh” yang ditunjuk dalam sūtra 19), asamprajñāta muncul setelah “keyakinan, semangat, perhatian, samādhi, dan kebijaksanaan”.[52] Di sini sekali lagi kita bertemu dengan lima kemampuan spiritual Buddhis, yang agaknya apa yang dimaksud dengan “praktek dalam pelepasan” yang disebutkan dalam sūtra 18. Dicatat bahwa sati di sini adalah dalam pengertian positif, seperti biasanya dalam Buddhisme, dan bukan dalam pengertian negatif, seperti yang lebih awal dalam Yoga Sūtra; ini mendukung argumen Bronkhorst bahwa bab ini disusun dari dua sumber, satu “ortodoks” dan satu Buddhis.[53] Samādhi dalam kelompok lima ini, yang mendahului samādhi asamprajñāta, agaknya adalah samādhi samprajñāta, yaitu jhāna berbentuk. Samādhi asamprajñāta oleh sebab itu dapat dengan jelas diidentifikasi dengan pencapaian tanpa bentuk Buddhis, yang juga didahului oleh jhāna berbentuk, adalah hasil dari suatu “pelenyapan aktivitas perlahan-lahan”, menghasilkan suatu kelahiran tanpa tubuh, dan yang tertinggi yang disebut “suatu pencapaian dengan sisa aktivitas-aktivitas”.[54] Sangat mengejutkan bahwa jalan mencapai samādhi asamprajñāta ini – lima kemampuan spiritual – adalah identik dengan cara latihan yang diajarkan oleh Āḷāra Kālāma dan Uddaka Rāmaputta untuk mencapai samādhi tanpa bentuk, dan juga disebutkan dalam Pārāyana Vagga.

Teks berlanjut mengatakan berbagai rintangan bagi samādhi, mirip dengan rintangan-rintangan batin, dst., termasuk istilah “pikiran yang berserakan” yang familiar dari Satipaṭṭhāna Sutta. Ini menghasilkan ketidaknyamanan tubuh dan mental serta ketidakmantapan napas, dan seharusnya dilawan dengan keterpusatan pikiran. Beberapa meditasi yang dianjurkan yang membawa pada kejernihan pikiran: ini termasukk kediaman luhur Buddhis dari cinta kasih, belas kasih, penghargaan, dan keseimbangan. Beberapa dari meditasi lainnya, seperti meditasi pernapasan dan pikiran yang bebas dari nafsu, lagi mengingatkan kita pada Satipaṭṭhāna Sutta. Berikutnya teks mengatakan tentang pencapaian dengan awal pikiran (vitakka) dan tanpa awal pikiran; yang terakhir dihubungkan dengan kemurnian perhatian, seperti dalam jhāna keempat Buddhis. Pencapaian-pencapaian dengan dan tanpa kelangsungan pikiran (vicāra), yang dikatakan sebagai kondisi-kondisi yang halus, juga disebutkan; seperti jhāna kedua Buddhis, ketiadaan kelangsungan pikiran muncul dengan “kejernihan dari dalam” (adhyātma prasāda). Kebijaksanaan dari hal ini membawa kebenaran. Semua keadaan ini adalah “samādhi dengan benih”; tetapi ketika bahkan ini lenyap semua lenyap, dan ini adalah “samādhi tanpa benih”.

Sementara bab pertama dari Yoga Sūtra mengingatkan perlakukan Buddhis atas samādhi, bab kedua mengandung beberapa ajaran bergaya Buddhis tentang vipassanā:

“Ketidaktahuan, ‘Ke-aku-an’, keinginan, kebencian, dan desakan (abhiniveśa) [harus dihilangkan dengan praktek]. Ketidaktahuan adalah sebab dari sisanya, apakah mereka tidak aktif, lemah, ditekan, atau tambah menjadi. Ketidaktahuan menganggap kekal sebagai tidak kekal, murni sebagai tidak murni, menyakitkan sebagai menyenangkan, bukan-diri sebagai diri...”[55]

Definisi dari “ke-aku-an” tidak jelas (“menganggap dua kekuatan dari yang melihat dan yang dilihat sebagai satu diri yang tunggal”); jelasnya ini adalah kesalahan mencari suatu diri yang menyatu dalam keberagaman pengalaman. Keinginan dan kebencian didefinisikan seperti halnya dalam Buddhisme: dorongan yang melekat (anusaya) terhadap kesenangan dan kesakitan. Semua “fluktuasi” ini harus diatasi dengan jhāna. Hasil dari perbuatan (karma) yang berakar dalam kekotoran (kleśamūla) dialami dalam kelahiran kembali yang menyenangkan atau menyakitkan, berdasarkan apakah sebabnya adalah baik atau buruk. Tetapi bagi yang memahami, ini semua adalah penderitaan.

Setengah jalan dari bab itu adalah “yoga berfaktor delapan” yang terkenal yang dibuat pengantarnya, yang jelas dicontoh dari jalan mulia berunsur delapan Buddhis. Suatu yoga yang berunsur enam ditemukan dalam Maitrī Upaniṣad yang terpengaruh Buddhis: pengendalian napas, pengendalian indera (pratyāhāra), jhāna, mengingat (dhāraṇa), sebab (tarka), samādhi.[56] Ini menghilangkan tiga praktek persiapan dari yoga berunsur delapan dan menambahkan “sebab”.  Pola berunsur delapan dari Yoga Sūtra, menjadi standar. Faktor pertama, yama, adalah etika dasar yang sama dengan lima sila; faktor kedua, niyama, berhubungan dengan kesucian, praktek keras, kepuasan, pelafalan, dan ketaatan kepada Tuhan. Untuk menghadapi pikiran-pikiran menyakiti, dst., yang berakar dalam keserakahan, kebencian, dan delusi, dianjurkan bahwa seseorang mengembangkan pikiran-pikiran yang berlawanan sebagai penawar. Ini identik dengan faktor-jalan Buddhis dari kehendak benar. Prinsip yang sama dari berkebalikan diterapkan tidak hanya pada pikiran-pikiran salah tetapi pada perbuatan-perbuatan salah juga: “Ketika seseorang mantap dalam tidak mencuri, semua harta muncul”. Faktor ketiga, sikap tubuh (āsana), berhubungan dengan kestabilan, kenyamanan, dan relaksasi; tidak menyebutkan dibuat dari sikap tubuh khusus untuk pelatihan fisik yang kita identifikasi dengan kata “yoga”. Berikutnya mengikuti pengendalian napas dan pengendalian indera, yang melengkapi praktek-praktek eksternal.

Bab berikutnya memperkenalkan praktek-praktek “internal”. Yang pertama adalah dhāraṇa, yang didefinisikan sebagai “menetapkan pikiran pada satu tempat”.[57] Dhāraṇa, seperti sati, berarti “mengingat, menyimpan dalam pikiran”, dan Abhidhamma memberikan daftar dhāraṇa sebagai sebuah sinonim dari sati. Di atas kita mencatat hubungan erat dari dhāraṇa dan appamāda, yang mencerminkan hubungan dekat dalam sutta-sutta antara sati dan appamāda. Perubahan dalam istilah sati adalah karena perbedaan konotasi dari istilah sati dalam dua tradisi itu, bukan karena suatu perbedaan makna. Dhāraṇa diikuti dengan dhyāna (jhāna), yang didefinisikan sangat tidak jelas dan, bagi saya, tidak dapat diterjemahkan. Ini tampaknya berarti suatu keadaan penyatuan mental yang dibawa melalui praktek dhāraṇa. Jadi tradisi Yoga dan Buddhis menempatkan “mengingat/menyimpan dalam pikiran/perhatian” sebagai praktek di mana jhāna dilandasi.[58]

Satu perbedaan antara kedua sistem adalah bahwa, sementara bagi Sutta-Sutta, jhāna dan samādhi biasanya bersinonim, Yoga Sūtra menempatkan samādhi sebagai langkah terakhir dari sang jalan, yang mengikuti jhāna. Namun, dhāraṇa, jhāna, dan samādhi bersama-sama dikatakan membentuk “pengendalian” (saṁyama), sehingga mereka tidak dipikirkan sebagai yang terpisah secara keseluruhan. Penggambaran samādhi bahkan lebih tidak jelas dibandingkan jhāna: “Memancar keluarnya dari hanya objek itu semata-mata seakan-akan kosong dari bentuknya sendiri adalah samādhi”. Banyak sisa dari Yoga Sūtra berhubungan dengan filosofi dan praktek Yoga/Sāṁkhya, pencapaian berbagai kekuatan batin, realisasi Diri Sejati, dan pemisahan Dari dari dunia dan kualitas-kualitas yang menyusunnya; metafisika non-dual Upaniṣad tidak nyata.

Pertimbangan di atas membawa saya untuk menyimpulkan sebagai berikut. Terdapat benang dari tradisi meditatif India yang ditunjukkan dalam Nikāya/Āgama, yang berasal dari masa pra-Buddhis, menemukan ungkapan filosofis dalam Upaniṣad, dan dalam teks-teks Yoga yang belakangan dikembangkan menjadi suatu metode praktis menggunakan istilah psikologis rumit yang dikembangkan oleh para Buddhis. Tradisi ini, melalui komitmennya menghafal teks-teks kuno (sati = sara), perlahan-lahan mengembangkan suatu penghargaan atas manfaat dari kesadaran yang penuh perhatian (sati = anupassanā). Dalam metafisika ini para yogi menekankan Diri, yang kadangkala secara mistis diidentifikasi dengan alam semesta. Metafisika ini terutama direalisasi dalam praktek samādhi, khususnya pencapaian tanpa bentuk. Cara utama mengembangkan pencapaian tanpa bentuk ini adalah dengan mengembangkan lima kemampuan, khususnya perhatian dan jhāna berbentuk. Sang Buddha mengadopsi aspek praktis yang relevan dari tradisi ini ke dalam ajaran-Nya, inovasi utama beliau adalah tidak menafsirkan pengalaman samādhi dalam hubungannya dengan suatu “diri” yang metafisik.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #41 on: 14 October 2013, 09:37:55 PM »
10.4 Para Jain

Kita beralih pada benang kedua dari meditasi pra-Buddhis. Penggambaran klasik di sini adalah kisah praktek keras Bodhisatta. Usaha kerasnya adalah paling mengerikan: “menghancurkan pikiran dengan pikiran”, melakukan “jhāna tanpa napas” sampai ia merasa seakan-akan kepalanya tertusuk-tusuk dengan sebilah pedang atau dihancurkan dengan seutas tali pengikat dari kulit. Tetapi ia tidak dapat membuat kemajuan apa pun. Mengapa?

“Semangatku terbangkitkan dan tak terputus, perhatianku berdiri [mantap] dan tidak bingung, tetapi tubuhku menderita dan tidak tenang karena aku lelah oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan tidak menyenangkan demikian seraya muncul dalam diriku tidak menyerang pikiranku dan berdiam.”[59]

Kisah Mūlasarvāstivāda yang tersedia dalam bahasa Sanskrit menegaskan bahwa Bodhisatta berlatih perhatian selama masa perjuangannya.[60] Di sini “perhatian” jelas digunakan dalam pengertian “kesadaran saat ini” alih-alih “ingatan”. Ini ditegaskan dalam bacaan berikut:

“Demikianlah kecermatanku, Sāriputta, sehingga aku selalu penuh perhatian dalam melangkah maju dan mundur. Aku penuh dengan belas kasih bahkan bagi [para makhluk dalam] setetes air, dengan berpikir: ‘Semoga aku tidak menyakiti makhluk-makhluk kecil dalam celah-celah tanah’.”[61]

Sang Buddha menjelaskan mengapa ia berjuang dengan penyiksaan-diri yang demikian teguh.

“Pangeran, sebelum pencerahanku, ketika aku masih seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, aku juga berpikir demikian: ‘Kebahagiaan bukanlah diperoleh melalui kebahagiaan; kebahagiaan akan diperoleh melalui kesakitan’.”[62]

Ini adalah pandangan salah, yang merupakan salah satu dari ajaran utama dari para Jain.[63] Setelah menyiksa dirinya sendiri mendekati kematian karena pandangan itu, ia merenungkan demikian:

“Apa pun yang dialami para pertapa atau brahmana, pada masa lampau... masa depan... dan masa sekarang perasaan menyakitkan, tersiksa, menusuk dikarenakan pengerahan usaha, inilah yang amat sangat [menyakitkan], tidak ada yang melampaui ini. Tetapi dengan praktek keras yang menyiksa ini aku tidak mencapai perbedaan yang benar-benar mulia atas pengetahuan dan penglihatan melampaui pendirian manusia mana pun. Adakah jalan lain menuju pencerahan?”

“Aku berpikir: ‘Aku ingat bahwa ketika ayahku orang Śakya sedang bekerja, sedangkan aku sedang duduk dalam naungan yang sejuk dari sebatang pohon jambu, benar-benar terasing dari kenikmatan indera, terasing dari kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat, aku memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan awal dan kelangsungan pikiran, dan kegiuran & kebahagiaan yang lahir dari pengasingan. Apakah itu jalan lain menuju pencerahan?’ Kemudian, mengikuti ingatan itu muncul kesadaran: ‘Itu sesungguhnya jalan menuju pencerahan’.”

“Aku berpikir: ‘Mengapa aku takut pada kegembiraan itu yang tidak ada hubungannya dengan kenikmatan indera dan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat?’ Aku berpikir: ‘Aku tidak takut pada kegembiraan itu, karena ia tidak ada hubungannya dengan kenikmatan indera dan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat’.”[64]

Di sini perasaan yang lembut, relaks, masuk akal berdiri dengan sangat berbeda dengan kekuatan laksana baja dari usahanya yang sebelumnya. Ia kemudian memutuskan bahwa ia tidak dapat mencapai jhāna selagi sangat kurus dan oleh sebab itu harus mengambil beberapa makanan; kita telah melihat bahwa ketergantungan pikiran terhadap makanan, dan karenanya akibat-akibat yang mengganggu dari berpuasa pada keadaan pikiran seseorang, adalah suatu gagasan Upaniṣad.[65] Walaupun Bodhisatta tidak pernah mengidentifikasi dirinya pada masa ini mengikuti guru mana pun, praktek dan pandangannya identik dengan para Jain. Dan ketika kelompok lima pertapa meninggalkannya mereka pergi berdiam di “Taman Rishi” di Benares, di mana bahkan saat ini terdapat sebuah kuil Jain.

Gagasan-gagasan yang demikian tidak eksklusif bagi para Jain; mereka umum dalam tradisi yogi India, dan seringkali bertemu dengan kitab Brahmanis awal juga, seperti yang ditunjukkan syair-syair Mahā Kaccāna di atas. Kenyataannya para Jain adalah para pembaharu, sehingga mereka menolak bentuk-bentuk pertapaan yang dapat menyakiti makhluk hidup, dan juga mereka menekankan pada sikap mental yang tepat. “Profesor penyiksaan diri” yang lebih awal, lebih primitif telah mempercayai kemanjuran penyiksaan fisik itu sendiri, tidak bergantung pada pengembangan mental apa pun. Juga, tujuan mereka secara khas adalah kekuatan batin, sedangkan para Jain bertujuan pada pembebasan jiwa. Demikianlah praktek keras Bodhisatta lebih dekat dengan para Jain daripada kelompok lain yang kita ketahui; para Jain sendiri mempertahankan suatu tradisi bahwa Sang Buddha menghabiskan waktu sebagai seorang pertapa Jain.

Implikasi dari episode ini adalah bahwa sistem Jain menekankan usaha dan perhatian, tetapi tidak sampai Bodhisatta mengembangkan ketenangan dan kebahagiaan samādhi ia dapat melihat kebenaran. Di tempat lain dalam Sutta-Sutta, Mahāvīra (pemimpin dan pembaharu dari para Jain, yang dikenal dalam Pali sebagai Nigaṇṭha Nātaputta) digambarkan menegaskan ketidakmungkinan menghentikan awal dan kelangsungan pikiran.[66] Demikianlah ia tidak menerima lebih tinggi daripada jhāna pertama pada paling banyak. Bagi saya, ajaran-ajaran dan praktek Jain memiliki suatu kekasaran yang tidak sesuai dengan pencapaian samādhi. Sumber-sumber Jain tidak banyak membantu. Sūtra-sūtra Jain awal menekankan praktek-praktek, gaya hidup, dan prinsip-prinsip dasar etis, dan tidak menyebutkan meditasi dalam bentuk yang dapat dikenali. Sedikit belakangan kita menemukan sebagai berikut:

“Setelah mempertahankan kehidupannya, meskipun sisa dari kehidupannya memiliki masa yang pendek, ia menghentikan aktivitas-aktivitas dan memasuki jhāna kering,[67] di mana hanya aktivitas halus yang tersisa dan di mana ia tidak jauh kembali. Ia pertama-tama menghentikan aktivitas pikiran, kemudian ucapan dan tubuh, lalu ia menghentikan napas...”[68]

Dalam konteks Buddhis bacaan ini menyatakan jhāna keempat; tetapi kita tidak memiliki jaminan bahwa istilah yang digunakan dalam pengertian yang sama. Konteksnya berbeda; di sini kita tidak hanya memiliki seorang meditator, tetapi seseorang yang mencapai puncak suatu jalan spiritual dengan berpuasa sampai mati. Teks-teks belakangan menunjuk pada gagasan-gagasan yang familiar seperti samādhi, keterpusatan, pengetahuan yang membedakan, perenungan terhadap ketidakkekalan (anicca), perubahan (vipariṇāma), dan keburukan (asubha).[69] Dayal mengatakan bahwa Jain memberikan nilai penting yang besar pada perenungan perkuburan.[70] Tampaknya terdapat penunjukan pada perhatian sebagai bagian dari jalan Jain, tetapi saya tidak mengetahui pada masa apakah mereka termasuk. Aliran-aliran yang belakangan mengembangkan suatu daftar tentang dua belas “kontemplasi”. Istilah yang digunakan di sini, anuprekṣā, secara arti kata identik dengan anupassanā yang adalah juga terkenal dalam praktek Buddhis dari satipaṭṭhāna. Daftar itu adalah sebagai berikut.

1) Ketidakkekalan
2) Tanpa-perlindungan
3) Mengalir (dalam kelahiran kembali, saṁsāra)
4) Keterpencilan (ekatvā)
5) Perbedaan (antara jiwa dan tubuh)
6) Ketidakmurnian (dari tubuh)
7) Arus (dari kekotoran, āsava)
 8) Pengekangan (dari kamma)
9) Menghilangkan (kamma)
10) Dunia (sebagai penderitaan)
11) Sulitnya mencapai pencerahan
12) Diuraikannya Dhamma dengan baik

Beberapa dari ini mirip dengan perenungan Buddhis (1, 2, 3, 4, 6, 10, 11, 12), sedangkan beberapa secara khusus bersifat Jain dalam sifatnya (5, 7, 8, 9). Mereka muncul untuk melibatkan perenungan atau pemikiran terhadap suatu tema alih-alih meditasi kesadaran; sehingga kebanyakan darinya lebih dekat pada vipassanā daripada samatha. Sumber-sumber Jain juga mengatakan beberapa jenis “jhāna”.

1) Jhāna jeli yang menekan
2) Jhāna yang menyeramkan
3) Dhamma jhāna (kontemplasi terhadap kitab-kitab; melenyapkan penderitaan diri sendiri dan orang lain; karma dan akibatnya; samsara dan jiwa yang murni)
4) Jhāna murni

Hanya yang terakhir ini yang berhubungan dengan jhāna-jhāna Buddhis, walaupun beberapa dari makna lainnya, seperti “jeli”, dihubungkan dengan jhāna atau istilah-istilah yang berkaitan dalam bacaan non-teknis. Menurut Prasad, “jhāna murni” ada empat jenis:

[Bermacam-macam, dengan awal dan kelangsungan pikiran]: Penyerapan dalam meditasi terhadap Diri, yang secara tidak sadar memungkinkan atribut-atributnya yang berbeda untuk menggantikan satu sama lain.

[Menyatu, dengan awal tetapi tanpa kelangsungan pikiran]: Penyerapan dalam satu aspek dari Diri, dengan mengubah aspek tertentu yang dikonsentrasikan.
Getaran yang sangat halus dalam Jiwa, bahkan ketika ia secara dalam terserap dalam dirinya sendiri, dalam seorang Kevali [yang sempurna].

Penyerapan total dari Diri dalam dirinya sendiri, mantap dan tidak terganggu menetap tanpa pergerakan atau getaran apa pun.[71]

Ini jelas menggambarkan keadaan-keadaan konsentrasi yang dalam. Apakah mereka sama dengan jhāna-jhāna Buddhis adalah tidak mungkin dikatakan. Walaupun apa yang dapat kita katakan dengan beberapa kepastian adalah bahwa meditasi, dalam pengertian Buddhis dari kontemplasi yang bersifat perenungan, tidak pernah memainkan peran yang utama dalam Jainisme seperti dalam Buddhisme. Praktek-praktek pertapaan bersifat utama, dan penekanan Jain pada sifat fisik dari karma merendahkan nilai penting dari pengembangan mental murni. Lebih lanjut, budaya kontemplatif mana pun yang mungkin muncul telah semakin menyusut pada masa pertengahan, sehingga penyebutan keadaan meditasi dalam teks-teks kuno menjadi suatu masalah kepentingan skolastik semata.

10.5 Kesimpulan

Satipaṭṭhāna digambarkan dalam teks-teks awal sebagai suatu praktek Buddhis yang tersendiri. Walaupun kita telah secara panjang lebar menggali unsur-unsur yang sama dengan sistem non-Buddhis, dalam akhirnya yang final ini ditekankan kembali begitu banyak yang baru, dalam ungkapan dan maknanya, rincian dari empat satipaṭṭhāna – tidak ada dari ini dapat ditemukan secara langsung dalam teks-teks pra-Buddhis. Bahkan teks-teks pasca-Buddhis, sementara menunjukkan pengaruh Buddhis dalam istilah meditasi, tidak mengadopsi Satipaṭṭhāna seperti yang mereka lakukan dengan jhāna atau kediaman luhur.

Para Buddhis awal luar biasa bermurah hati dalam penilaian mereka terhadap pencapaian spiritual orang luar. Mereka sangat gembira untuk menghubungkan pada mereka unsur-unsur utama yang demikian dari sistem meditasi Buddhis seperti perhatian, jhāna, kemampuan spiritual, faktor-faktor pencerahan, kediaman luhur, dan pencapaian tanpa bentuk. Dalam anyaman yang kompleks ini, kita dapat melihat benang dari samatha dan vipassanā. Walaupun tidak mungkin untuk menguraikan benang-benang ini, adalah mungkin untuk melihat perbedaan penekanan dalam pendekatan meditatif dari aliran-aliran yang berbeda yang berhubungan dengan posisi filosofis mereka.

Tradisi Upaniṣad mendukung suatu panteisme non-dual. Brahman adalah realitas tertinggi, yang menciptakan dunia, yang mendasari ilusi keberagaman, dan selalu ada dalam semua keberadaan. Dengan demikian keberadaan adalah baik secara tak terpisahkan; kita telah ikut serta dalam inti tertinggi, dan praktek spiritual kita memperkuat kita untuk merealisasi identitas ini sepenuhnya. Tradisi ini menekankan praktek meditasi yang membawa pada identifikasi yang penuh kegembiraan dengan Yang Satu; seperti yang disimpulkan tradisi yang belakangan: “pikiran, makhluk, kebahagiaan.”

Para Jain, pada pihak lain, memiliki suatu pandangan yang alamiah dan non-teistik terhadap keberadaan. Dunia bukanlah suatu ilusi; ia benar-benar ada “di luar sana”, dan realitas tertinggi bukanlah suatu non-dual yang bersifat pan-teistik “landasan keberadaan”, tetapi merupakan tak terhitung sel atomik yang tidak dapat dibagi lagi atau “jiwa”. Teori Jain yang belakangan mengembangkan pendekatan pluralistik ini ke dalam pola yang sangat kompleks untuk mengelompokkan berbagai fenomena dasar, suatu proyek Aristotelian seperti yang disukai oleh aliran-aliran Abhidhamma dari Buddhisme. Pencerahan terdiri atas, bukan dalam identifikasi yang mistis terhadap diri dengan alam semesta, tetapi dalam penguraian terhadap jiwa individual dari akibat-akibat kamma. Oleh sebab itu mereka menekankan, sebagai bagian dari strategi secara menyeluruh mereka dengan menghentikan secara paksa semua aktivitas, kontemplasi terhadap ketidakkekalan dari dunia, dan kemampuan untuk secara penuh perhatian menahan perasaan menyakitkan agar bebas dari pengaruh-pengaruh yang mengotori.

Tradisi Brahmanis bersandar pada sisi samatha, sedangkan tradisi Jain bersandar pada sisi vipassanā, masing-masing membentuk penyajian dan penekanannya sesuai dengan kegemaran metafisiknya. Bukti dari non-Buddhis itu sendiri, sejauh ia berjalan, cenderung menegaskan bahwa gambar yang dilukiskan oleh Sutta-Sutta awal tentang tradisi non-Buddhis umumnya akurat. Dengan tidak adanya bukti sebaliknya, kita dapat menyimpulkan bahwa tradisi-tradisi Buddhis yang paling awal menerima bahwa tradisi kontemplatif Brahmanis dan Jain memasukkan praktek perhatian.

Catatan Kaki:

[1] CU 6.8.5–6.

[2] AN 5.193, SN 46.55.

[3] Rv 5.81.1

[4] BU 4.3.7.

[5] Aitareya Brahmaṇa 5.5.27.

[6] Crangle, pg. 71.

[7] Crangle, pg. 74.

[8] BU 1.5.14.

[9] Crangle, pg. 198.

[10] DN 13.10. DA 26 yang asalnya sama menyebutkan tiga jalan: 自在欲道.自作道.梵天道(T1, № 1, p. 105, b13). Tidak jelas bagi saya bagaimana ini dapat dicocokkan dengan Pali.

[11] Lihat ‘A Pali Reference to Brahmaṇa-Caraṇas’, yang dimasukkan dalam Wijesekera.

[12] BAU 6.4.9.

[13] BAU 1.5.17.

[14] BAU 3.7.23.

[15] BAU 4.4.23.

[16] CU 6.8.2.

[17] SU 1.14.

[18] SU 2.8. Cp. Sn 1034f.

[19] SU 2.9.

[20] SU 2.11.

[21] Misalnya MN 36.17ff.

[22] Misalnya BAU 5.12.

[23] CU 1.19.

[24] Maitrī 1.3, 3.4.

[25] Taittirīya Upaniṣad 3.2–6.

[26] MN 26/MA 204.

[27] Sanghabhedavastu dari Vinaya Mūlasarvāstivāda menghilangkan penyebutan pelafalan melalui bibir.

[28] SN 35.103.

[29] Kadangkala dikatakan bahwa para guru ini termasuk aliran Sāṁkhya, tetapi pernyataan ini berdasarkan Buddhacarita oleh Aśvaghoṣa yang sangat belakangan, dan anakronistik.

[30] Versi Sarvāstivādin (MA 204) menyebutkan hanya keyakinan, semangat, dan kebijaksanaan di sini, tetapi memasukkan perhatian hanya di bawahnya. Sanghabhedavastu (Gnoli pg. 97) dan Lalitavistara (239.2) menyebutkan semua kelima kemampuan spiritual.

[31] Misalnya SN 48.9.

[32] AN 4.123.

[33] AN 4.125.

[34] Bandingkan syair-syair berikut. Muṇḍaka Upaniṣad 3.2.8: Yathā nadyas syandamānās samudre/Astam gacchanti nāmarūpe vihāya (Seperti halnya sungai-sungai mengalir ke dalam samudera/Pergi menuju akhir mereka, setelah meletakkan nama dan bentuk); Tathā vidvān nāmarūpād vimuktaḥ/Parāt-param puruṣam upaiti divyam (Demikian juga [orang bijaksana] yang telah mencapai realisasi, bebas dari nama dan bentuk/Melampaui yang terlampaui yang ia masuki, yang bersifat kedewaan). Sutta Nipāta 1080: Acci yathā vātavegena khittaṁ/Atthaṁ paleti na upeti saṅkhaṁ (Seperti halnya sebuah nyala api yang tertiup angin kuat/Pergi menuju akhir, dan tidak dapat diperhitungkan); Evaṁ muni nāmakāyā vimutto/Atthaṁ paleti na upeti saṅkhaṁ (Demikian orang bijaksana, bebas dari kelompok nama [yaitu faktor-faktor mental]/Pergi menuju akhir, dan tidak dapat diperhitungkan).

[35] BU 3.9.26

[36] Sn 1026.

[37] Sn 1009.

[38] Sn 1107.

[39] Sn 1070, Sn 1113ff. Alam kekosongan digambarkan dalam SN 1070 sebagai suatu “sandaran” (ārammaṇa) untuk menyeberang. Ini dapat dibandingkan dengan bacaan Mahābhārata yang dikutipkan di atas yang menggambarkan pikiran yang tidak berkondisi sebagai “tanpa sandaran”. Jhāna Saṁyutta juga mengatakan tentang mengembangkan “kemampuan dalam sandaran”.

[40] SN 46.52, SN 46.53.

[41] SN 46.54.

[42] Misalnya MN 83/MA 67/EA 1/EA 50.4/T № 152.87/T № 211 Makhādeva; DN 19 Mahāgovinda juga memiliki kediaman luhur, tetapi tidak DA 3, T № 8, pp. 207c–210b, dan Mv 3.197–224.

[43] SN Sagāthāvagga syair 269, AN (4)449–51. Ungkapan ini agak menyesatkan diterjemahkan oleh Bhikkhu Bodhi dalam CDB sebagai “menemukan jhāna”. Mungkin bentuk akusatif di sini dapat dibaca sebagai bentuk instrumental (“tercerahkan dengan cara jhāna”).

[44] SN 35.132.

[45] MBh 12.188.9.

[46] MBh 12.188.15. Bronkhorst (2000) pg. 71 mencatat bahwa di sini, serta dalam Yoga Sūtra dan beberapa karya Buddhis, vitakka dan vicāra “tampaknya dilihat sebagai kemampuan khusus dalam jhāna pertama, bukan semata-mata pemikiran yang tersisa dari kesadaran biasa.”

[47] MBh 12.188.22.

[48] YS 3.12.

[49] YS 1.17. Kata “bentuk”, rūpa, tidak muncul dalam semua teks.

[50] DN 1/DA 19.

[51] YS 1.18.

[52] YS 1.20.

[53] Bronkhorst (2000), pp. 72ff.

[54] SN 14.11.

[55] YS 2.3–6.

[56] Maitrī 6.18.

[57] YS 3.1.

[58] Crangle pp. 117–119 membahas kesamaan antara sati Buddhis dan dhāraṇa yoga, dan peranannya sebagai landasan bagi jhāna.

[59] MN 36.20, dst.

[60] Gnoli, pg. 103.

[61] MN 12.47.

[62] MN 85.10/DA2 21/T № 1421.10.

[63] MN 14.20.

[64] MN 36.30–2, MN 85, MN 100.

[65] CU 6.7.

[66] SN 41.8.

[67] Sukkajjhāna. Bandingkan dengan gagasan komentar tentang sukkavipassanā.

[68] Uttarajjhāyana 29.72/1174.

[69]Misalnya Ṭhānaṅga Sutta. Lihat Bronkhorst (2000), pg. 38ff.

[70] Dayal, pg. 95.

[71] Prasad, pp. 167–168.
   
« Last Edit: 14 October 2013, 09:41:21 PM by Shinichi »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #42 on: 26 April 2014, 07:55:09 PM »
Bab 11
Blok-Blok Bangunan

Marilah kita membahas perhatian dalam konteks Buddhis. Sesuai dengan GIST kita harus mulai dari pernyataan paling awal tentang perhatian dalam Dhammacakkappavattana Sutta.

11.1 Fungsi Satipaṭṭhāna

Ini disampaikan kepada kelompok lima pertapa, dan dengan demikian menempatkan pesan Sang Buddha dalam konteks spiritual yang sudah ada. Ia mulai dengan menolak praktek-praktek salah dari kesenangan indera dan penyiksaan diri, kemudian menjelaskan jalan yang benar, jalan mulia berunsur delapan. Ini terdiri atas: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, dan samādhi benar. Rumusan dari ajaran Sang Buddha yang paling awal ini dipertahankan dalam teks-teks aliran Theravāda, Mahīśasaka, Dharmaguptaka, (Mūla) Sarvāstivāda, dan Mahāsaṅghika. Faktor-faktor dari sang jalan tidak lebih jauh didefinisikan di sini, selain dari pandangan benar, yang dinyatakan dalam pembahasan empat kebenaran mulia. Teks itu oleh karenanya menyatakan bahwa para pendengar telah familiar dengan tujuh faktor sisanya.

Dengan mendaftarkan faktor-faktor demikian, bahkan tanpa definisi yang lebih jauh, teks itu melakukan dua hal penting. Pertama ia menentukan faktor-faktor yang penting bagi tujuan; dan kedua, ia menempatkan mereka dalam suatu urutan yang menyatakan suatu hubungan kondisional antara faktor-faktor itu. Di tempat lain hubungan ini dibuat lebih eksplisit. Kotbah pertama dari Magga-saṁyutta menekankan hubungan sebab akibat antara faktor-faktor sang jalan termasuk perhatian dan samādhi: “Bagi seseorang dengan perhatian benar, samādhi benar muncul.” Suatu definisi penting dari “samādhi benar yang mulia”, yang ditemukan dalam semua keempat Nikāya juga menekankan bahwa faktor-faktor sang jalan, yang memuncak pada perhatian benar, berfungsi untuk mendukung samādhi.

“Apakah, para bhikkhu, samādhi benar yang mulia dengan kondisi-kondisi pentingnya, dan dengan prasyarat-prasyaratnya? Yaitu: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar. Keterpusatan pikiran yang dilengkapi dengan tujuh faktor ini disebut samādhi benar yang mulia ‘dengan kondisi-kondisi pentingnya’ dan ‘dengan prasyarat-prasyaratnya’.”[1]

Prinsip yang sama muncul dalam analisis Bhikkhunī Dhammadinnā tentang samādhi.

“Keterpusatan pikiran, teman Visākha, adalah samādhi. Empat satipaṭṭhāna adalah landasan untuk samādhi. Empat upaya benar adalah persyarat samādhi. Pengembangan, pembangunan, dan memperbanyak prinsip-prinsip yang sama ini adalah pengembangan samādhi di sini.”[2]

Atau lagi, dalam konteks dari lima kemampuan spiritual:

“Ini sesungguhnya yang diharapkan, bhante, bagi seorang siswa mulia yang berkeyakinan yang semangatnya dibangkitkan dan perhatiannya dikembangkan sehingga, setelah membuat pelepasan sokongannya, ia akan memperoleh samādhi, ia akan mencapai keterpusatan pikiran.”[3]

Di tempat lain sang jalan dianalisis menjadi tiga: etika, samādhi, dan pemahaman. Jika satipaṭṭhāna terutama adalah suatu praktek vipassanā, ini tentunya dimasukkan dalam bagian pemahaman.[4] Tetapi sutta-sutta Theravāda dan Sarvāstivāda memasukkan satipaṭṭhāna dalam bagian samādhi, tidak pernah [dalam] bagian tentang pemahaman.  Semua pernyataan dasar tentang fungsi satipaṭṭhāna dalam sang jalan menegaskan bahwa peranan utamanya adalah untuk mendukung samādhi, yaitu jhāna.

Ini dapat dibuat lebih jelas dengan menyajikan suatu analisis struktural dari kebenaran-kebenaran dan sang jalan. Ini sejajar dengan analisis Yang Mulia Sāriputta tentang empat kebenaran mulia dalam Mahā Hatthipadopama Sutta. Analisis dari sang jalan ini ditemukan dalam Saccavibhaṅga Sutta dan Mahā Satipaṭṭhāna Sutta, maka ini jelas sesuai dengan satipaṭṭhāna. Definisi dasar diturunkan dari Magga Saṁyutta.

1) Kebenaran mulia tentang penderitaan... awal mula... lenyapnya... jalan.
2) Dan apakah kebenaran mulia tentang sang jalan? Pandangan benar... perhatian benar, samādhi benar.
3) Dan apakah perhatian benar? Seseorang merenungkan tubuh di dalam tubuh... perasaan... pikiran... dhamma. Apakah samādhi benar? Cukup terasing... ia memasuki jhāna pertama... jhāna kedua... jhāna ketiga... jhāna keempat.

Satipaṭṭhāna Sutta mengambil dari sini:

Bagaimana seseorang merenungkan tubuh di dalam tubuh? Di sini seorang bhikkhu, pergi ke hutan... menegakkan perhatian. Dengan sadar ia menarik napas, dengan sadar ia menghembuskan napas...

Demikianlah penjelasan dari berbagai satipaṭṭhāna mengikuti dari definisi dasar sang jalan. Penjelasan ini adalah tingkatan yang lebih terperinci dari ajaran itu. Mereka  yang mempelajari Satipaṭṭhāna Sutta telah familiar dengan konteks dasar ini. Dengan kata lain, para siswa telah mengetahui bahwa satipaṭṭhāna adalah faktor ketujuh dari delapan faktor sang jalan, dan bahwa fungsinya di sana adalah untuk menyokong jhāna.

Namun terdapat satu konteks penting di mana perhatian muncul segera sebelum sebuah faktor kebijaksanaan alih-alih samādhi. Ini adalah tujuh faktor pencerahan: perhatian, penyelidikan dhamma-dhamma, semangat, kegiuran, ketenangan, samādhi, keseimbangan. Pertama kita dapat melihat jelas kenyataan bahwa, walaupun perhatian muncul sebelum penyelidikan dhamma, kedua hal ini secara mutlak mendukung jangkauan kualitas-kualitas samatha, yang membentuk suatu bagian yang menonjol dari faktor-faktor pencerahan. Kita masih membayangkan mengapa faktor kebijaksanaan muncul di dekat permulaan, alih-alih pada posisi normalnya menuju akhir.

Jawabannya terletak pada penggunaan yang ambigu dari perhatian dan penyelidikan dhamma dalam kontek ini. Faktor-faktor pencerahan disajikan kadangkala dalam suatu konteks ajaran, kadangkala dalam konteks meditasi. Perhatian dan penyelidikan dhamma adalah satu-satunya faktor di mana definisinya berbeda dalam kedua konteks itu. Dalam suatu konteks ajaran, kita mendengar tentang seorang bhikkhu yang mendengarkan ajaran, kemudian mengingat kembali ajaran itu dengan perhatian, dan kemudian menyelidiki makna dari ajaran itu.[5] Konteks yang lebih bersifat meditatif mengatakan, dalam Theravāda, hanya tentang perhatian, tetapi Sarvāstivāda menyediakan identifikasi dengan empat satipaṭṭhāna yang diharapkan.[6] Penyelidikan dhamma, dalam kedua versi, adalah penyelidikan ke dalam dhamma-dhamma yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Sementara konteks meditasi muncul lebih sering dalam Theravāda, satu teks konteks ajaran dalam Theravāda diwakili oleh tiga teks dalam Sarvāstivāda, dan bacaan yang sama membentuk dasar untuk bagian yang bersesuaian dari Vibhaṅga Abhidhamma. Oleh sebab itu ini pasti dianggap sangat penting. Dalam Bojjhaṅga-saṁyutta, ini adalah dalam konteks ajaran saja, tidak pernah dalam konteks meditasi, bahwa tujuh faktor pencerahan dikatakan muncul dalam urutan yang progresif, masing-masing bergantung pada yang sebelumnya. Maka ketika mempertimbangkan pentingnya urutan dari faktor-faktor pencerahan, makna utama dari istilah perhatian dan penyelidikan dhamma seharusnya adalah “perenungan” dan “penyelidikan” ke dalam ajaran-ajaran. Ini kemudian menginspirasi pengembangan samādhi. Ini menjelaskan mengapa perhatian dalam faktor-faktor pencerahan muncul secara langsung sebelum faktor kebijaksanaan, alih-alih faktor-faktor samādhi.

Namun seperti biasa, masalah tidak begitu mudah diselesaikan. Dalam konteks ānāpānasati, kemunculan berurutan dari faktor-faktor pencerahan juga disebutkan.[7] Konteks ini, yang merupakan suatu sintesis dari beberapa kerangka ajaran yang telah berkembang, tidak sepenting penggunaannya dalam Bojjhaṅga-saṁyutta. Poin utama dari bagian ini bukan benar-benar untuk menganalisis asal mula berurutan dari faktor-faktor pencerahan, tetapi untuk menekankan penyatuannya dengan ānāpānasati dan satipaṭṭhāna. Tentu saja, dalam ānāpānasati kita berada dalam hamparan rerumputan rumah samatha, dan vipassanā umumnya dikatakan muncul dalam tetrad terakhir, yaitu, muncul setelah pengembangan perhatian dan pencapaian samādhi. Dengan demikian kemunculan berurutan dari faktor-faktor pencerahan adalah sedikit aneh dalam konteks ini, dan mungkin tidak lebih dari penerapan urutan standar dalam suatu konteks yang diturunkan, tanpa arti yang khusus.

Fungsi satipaṭṭhāna sebagai sokongan untuk jhāna dinyatakan dalam suatu ungkapan sutta yang sangat umum, yang artinya cenderung menjadi kabur dalam terjemahan. Istilah satipaṭṭhāna (menegakkan perhatian) dipecah ke dalam sati dan upaṭṭhāna. Pmecahan alternatif ke dalam sati dan paṭṭhāna, walaupun disukai oleh komentar, adalah tiruan. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa sementara upaṭṭhāna mengungkapkan tindakan subjektif menegakkan atau membangun perhatian, paṭṭhāna menunjuk pada “landasan” dari perhatian, wilayah objektif di mana perhatian dikembangkan. Makna dasar upaṭṭhāna adalah “berdiri dekat”, dan ini umum digunakan dalam arti “melayani”, “mendekati”, bahkan “memuja”. Kamus Sanskrit Tarkavacaspati oleh Taranatha memberikan makna “menyebabkan agar ingat” (khususnya kehidupan lampau), yang menjaadi identik dengan sati, tetapi karena ini tidak tampaknya terbukti dalam teks awal mana pun, ini mungkin di bawah pengaruh Buddhis. Kita telah mengatakan bahwa yang sejajar terdekat dalam Upaniṣad adalah istilah upāsana.

Upaṭṭhāna seringkali muncul dalam konteks vipassanā, walaupun bukan, sejauh yang saya ketahui, pada kumpulan utama dalam Saṁyutta. Dalam Aṅguttara enam, seseorang didorong untuk “menegakkan persepsi ketidakkekalan [penderitaan, bukan-diri]” atas semua aktivitas-aktivitas yang berkondisi.[8] Di sini, walaupun ini bukan dalam konteks satipaṭṭhāna, kita melihat suatu peranan subjektif yang mirip untuk upaṭṭhāna, dengan objek dalam kasus lokatif, seperti pada satipaṭṭhāna dan tempat lainnya. Dalam konteks satipaṭṭhāna, upaṭṭhāna menyatakan bahwa seseorang harus membuat perhatian berdiri dekat, untuk hadir, melayani meditasi. Sati dan upaṭṭhapeti berdiri dalam hubungan organik yang sama seperti halnya saddhā dengan adhimuccati, atau viriya dengan ārabbhati. Istilah-istilah ini, semuanya umum digunakan dalam kata sambung, menunjukkan suatu penekanan yang berulang-ulang. Seperti halnya seseorang “menetapkan keyakinan” atau seseorang “membangkitkan semangat”, demikian juga seseorang “menegakkan perhatian”. Kenyataannya, kita dapat menerjemahkan ungkapan ini sebagai “seseorang melakukan satipaṭṭhāna”, perbedaannya hanya berbentuk kata kerja. Karena kata kerja upaṭṭhapeti memiliki suatu hubungan organik yang demikian dengan kata benda sati, mereka ditemukan bersama-sama dalam berbagai latar, seperti halnya sati ditemukan di mana-mana. Tetapi penggunaan yang benar-benar paling penting, umum, dan khas adalah dalam pelatihan bertahap, di mana ungkapan itu menunjuk pada mengambil suatu postur duduk untuk meditasi sebelum meninggalkan rintangan-rintangan dan memasuki jhāna.

Dalam pelatihan bertahap, sati dan upaṭṭhāna muncul dalam ungkapan parimukhaṁ satiṁ upaṭṭhapeti. Istilah parimukha adalah satu dari kata-kata sederhana yang sangat sulit diterjemahkan. Ini secara harfiah berarti “di sekeliling mulut”, tetapi Vibhaṅga mengatakan “pada ujung hidung”, sedangkan penerjemahan modern biasanya menggunakan sesuatu yang samar-samar seperti “di depan”. Namun ungkapan itu muncul di luar ānāpānasati, yang membuat terjemahan “pada ujung hidung”, atau terjemahan sebagian yang bersifat harfiah, tidak dapat dipercaya. Sanskrit memiliki bacaaan yang berbeda, pratimukha.[9] Ini memiliki banyak makna, di antaranya adalah “perenungan” dan “kehadiran”. Keduanya ini cocok dalam konteks meditatif. Tetapi kata itu biasanya, seperti di sini, muncul bersama dengan upaṭṭhāna, yang juga bermakna “hadir”. Saya pikir di sini kita memiliki suatu contoh ciri khas bahasa Pali atau Sanskrit, suatu kata sambung dari sinonim untuk penekanan: secara harfiah, “seseorang membuat hadir suatu kehadiran dari hadirnya pikiran”, atau lebih menggembirakan, “seseorang menegakkan kehadiran dari perhatian”.
« Last Edit: 25 September 2014, 07:44:53 PM by Shinichi »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #43 on: 26 April 2014, 07:56:51 PM »
Pelatihan bertahap adalah skema utama untuk jalan latihan dalam Buddhisme pra-sektarian. Dalam GIST kita telah melihat bagaimana ajaran ini bersifat penting pada semua kumpulan awal, terutama Dīgha-Dīgha. Di sini terdapat sebuah tabel dengan pelatihan bertahap dalam hubungannya pada sejumlah kerangka ajaran kunci lainnya. Saya menggunakan jalan berunsur sepuluh alih-alih berunsur delapan, karena ini berkorelasi lebih rapi dengan perlatihan bertahap.

Perhatian utama kita adalah faktor-faktor pertengahan, dari kepuasan menuju ditinggalkannya rintangan-rintangan. Ini adalah bagian dari pelatihan dalam samādhi.[10] Tetapi saya tidak menentukan hubungan persis mereka dengan faktor-faktor jalan yang relevan. Mereka merupakan suatu pengelompokan yang longgar dari latihan-latihan yang menyatu yang membentuk suatu jembatan antara etika dan samādhi. Karena mereka melibatkan perilaku, mereka berhubungan dengan etika. Beberapa – kepuasan, pengendalian indera, kesederhanaan dalam makan, pemahaman jernih – berkaitan dengan hubungan seorang bhikkhu dengan makanan dananya, dan dengan demikian berhubungan dengan pencaharian benar. Mereka dimasukkan dalam samādhi karena mereka menekankan sikap mental dalam berbagai konteks, dan dengan demikian membentuk suatu landasan pelatihan bagi meditator yang bersungguh-sungguh.

Tabel 11.1 Kebenaran-Kebenaran, Sang Jalan, dan Pelatihan

4 Kebenaran MuliaPelatihan Berunsur-3Jalan Berunsur-10Pelatihan Bertahap
Penderitaan      Pandangan benarMendengarkan ajaran
Awal mula         Memperoleh keyakinan
Lenyapnya         
Jalan      Kehendak benarPelepasan keduniawian
   Etika   Ucapan benarAturan-aturan disiplin
      Perbuatan benar   
      Pencaharian benar   Memurnikan pencaharian
   SamādhiUpaya benarKepuasan
         Pengendalian indera
          Makan secukupnya
         Kewaspadaan
      Perhatian benar   Pemahaman jernih
         Pengasingan
         Menegakkan perhatian
         Meninggalkan rintangan
      Samādhi benar   Empat jhāna
   Pemahaman   Pengetahuan benar   Pengetahuan dan pandangan
         Tubuh ciptaan pikiran
         Kekuatan psikis
         Telinga dewa
         Membaca pikiran
         Kehidupan lampau
         Mata dewa
         Kebenaran-kebenaran mulia
      Pembebasan benar   Pembebasan

Saya telah mengkorelasikan latihan-latihan dari kepuasan sampai meninggalkan rintangan-rintangan dengan upaya benar dan perhatian benar dalam suatu cara yang umum tanpa berusaha mengikatkan mereka dengan sangat tepat. Bahkan upaya benar dan perhatian benar tidak dapat sepenuhnya dipisahkan satu sama lain: seseorang yang berlatih satipaṭṭhāna dikatakan sebagai “tekun” (dengan upaya benar); sedangkan seseorang meninggalkan rintangan kemalasan dan kelambanan dikatakan sebagai “penuh perhatian dan sepenuhnya memahami”. Terdapat kerancuan lain dalam bagian ini. Sebagai contoh, pengendalian indera dikatakan untuk meniadakan “kualitas-kualitas buruk, tidak bermanfaat”, suatu ungkapan yang muncul dalam rumusan untuk empat upaya benar. Kualitas-kualitas buruk ini lebih jauh digambarkan sebagai “ketamakan dan kebencian”, kata-kata yang sama yang muncul dalam rumusan pelengkap satipaṭṭhāna. Versi Sanskrit di sini menambahkan kata “terhadap dunia”, dengan demikian menambah keparalelan dengan satipaṭṭhāna. Ia juga menambahkan ungkapan “terkendali dengan perhatian, terjaga dengan perhatian” (nipakasmṛti, guptasmṛti); ungkapan yang sama ditemukan di tempat lain dalam versi Pali. Ini hanya mengatakan bahwa sang jalan dilatih sebagai suatu keseluruhan, dan pembagian apa pun bersifat sementara, yang berguna untuk kemudahan penguraian dan pemahaman. Demikianlah saya menempatkan upaya benar di sebelah “kewaspadaan” dan perhatian benar di sebelah “menegakkan perhatian” untuk menunjukkan korelasi mereka secara langsung, tetapi tanpa memisahkan mereka dari faktor-faktor lainnya.

Kerancuan ini menyediakan suatu penjelasan yang tepat tentang bagaimana pemahaman jernih menjadi dimasukkan dalam satipaṭṭhāna. Kita telah melihat beberapa pertimbangan dalam mendukung pandangan Bronkhorst bahwa kita harus membedakan antara dua tingkat perhatian sehubungan dengan pelatihan bertahap: tahap persiapan dari “perhatian dalam kehidupan sehari-hari”, biasanya disebut “pemahaman jernih”, danaa, ketika yogi duduk di dalam hutan untuk bermeditasi, melakukan satipaṭṭhāna yang sebenarnya. Pemahaman jernih, seperti latihan-latihan lainnya seperti pengendalian diri, kewaspadaan, dst., melibatkan perhatian dalam peranannya sebagai persiapan untuk meditasi. Tetapi karena, dalam pelatihan bertahap, pemahaman jernih muncul dekat sebelum “menegakkan perhatian” dalam meditasi, ia sangat alami menjadi digolongkan ke dalam satipaṭṭhāna karena latihan itu tumbuh dalam lingkupnya dan menjadi penting.

Maka terdapat suatu urutan sebab akibat, yang progresif dalam faktor-faktor sang jalan seperti yang disajikan dalam Dhammacakkappavattana Sutta. Pemahaman seseorang dalam Dhamma mendorong seseorang untuk meninggalkan keduniawian untuk mencari kedamaian; ia mengambil aturan-aturan perilaku dan penghidupan; menerapkan pengendalian diri dan perhatian dalam semua aktivitas dan posisi tubuh; mengambil suatu tempat kediaman yang terpencil; menegakkan perhatian dalam meditasi satipaṭṭhāna; dan mengembangkan empat jhāna yang membawa pada pengetahuan pembebasan. Pemahaman atas sang jalan ini sangat dalam menempel dalam konsepsi Sang Buddha atas jalan latihan spiritual yang terbentang. Ajaran-ajaran yang lebih terperinci, eksplisit muncul dan menyebar keluar dari pola ringkas Dhammacakkappavattana Sutta, bagaikan cahaya yang melewati suatu lubang peniti dan memancar keluar.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #44 on: 26 April 2014, 07:58:08 PM »
11.2 Perhatian Itu Sendiri

Kita sekarang menyelidiki perhatian itu sendiri dalam suatu fokus yang lebih dekat, dengan menyelidiki ungkapan-ungkapan dan perkataan yang berkaitan dengan satipaṭṭhāna yang ditemukan secara luas tersebar di antaraa berbagai kumpulan. Dalam kanon Theravāda, perhatian digambarkan dalam dua rumusan utama. Yang sederhana menekankan makna kuno, yang bersifat Brahmanis, dari “ingatan”.

“Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia penuh perhatian, memiliki perhatian yang tertinggi dan pengendalian diri, dapat mengingat, menyimpan dalam ingatan apa yang telah dikatakan dan dilakukan sebelumnya.”[11]

Rumusan ini tidak secara eksplisit memperlakukan perhatian sebagai meditasi. Ini kurang berkaitan dengan satipaṭṭhāna seperti demikian alih-alih perhatian biasa. Seperti yang telah saya tunjukkan di tempat lain, istilah nepakka, “pengendalian diri”, di sini menyatakan pengendalian indera, bukan kebijaksanaan (seperti yang disebutkan komentar.[12])

Sarvāstivāda memberikan penjelasan yang berbeda tentang perhatian.

“Ketika terdapat perhatian untuk, perhatian atas, atau tidak memiliki perhatian terhadap (apa pun) ia penuh perhatian, sepenuhnya perhatian, menyimpan dalam pikiran, tidak lupa. Inilah yang disebut perhatian benar.”[13]

Tidak sepenuhnya jelas apa yang dimaksudkan ini. Mungkin tiga istilah pertama yang misterius itu menunjuk pada latihan, di mana akan kita jumpai belakangan, tentang melihat yang indah dalam yang jelek, yang jelek dalam yang indah, dan menghindari keduanya melalui keseimbangan batin.

Kita telah menjadi terbiasa dengan penyamaan perhatian = vipassanā yang muncul sehingga shock menemukan kata “perhatian” hampir tidak muncul dalam kumpulan vipassanā utama. Kenyataannya, ia tidak pernah muncul dalam Khandha-, Saḷāyatana-, or Nidāna-saṁyutta dalam pengertian langsung merenungkan ketidakkekalan, dst. Dalam beberapa kesempatan ia muncul, ia muncul demikian dalam konteks sekunder, khususnya dalam Saḷāyatana-saṁyutta dalam peranannya membantu pengendalian indera. Fungsi utama pengendalian indera adalah untuk mengurangi nafsu indera, sehingga ini harus dipahami terletak pada sisi samatha. Di pihak lain, “perhatian” muncul secara teratur dalam konteks samatha yang demikian langsung sebagai rumusan jhāna, penjelasan kediaman luhur dan enam perenungan, ānāpānasati, “penegakan perhatian” untuk meninggalkan rintangan-rintangan, dan seterusnya.

11.3 Empat Penegakan Perhatian

Lapisan kerumitan yang berikutnya menggambarkan satipaṭṭhāna sebagai berunsur empat. Dalam menjaga perspektif pragmatis dan relativistis dari sutta-sutta, ini bukan suatu definisi dari perhatian tetapi suatu cara bagaimana berlatih. Rumusan-rumusan standar memiliki aspek objektif – apa yang dimeditasikan – dan aspek subjektif – bagaimana mendekati latihan itu. Saya akan membahas aspek objektif pertama kali. Semua tradisi sepaham dalam mendaftarkan empat objek dasar meditasi satipaṭṭhāna: tubuh, perasaan, pikiran, dan dhamma. Anehnya, empat hal ini jarang dijelaskan secara terperinci. Hanya dalam berbagai versi Satipaṭṭhāna Sutta makna-maknanya dijelaskan. Agaknya Satipaṭṭhāna Sutta berperan pada saat itu, seperti ia saat ini, sebagai suatu kunci di mana teks-teks singkat dapat diinterpretasikan.

Poin penting di sini bahwa rumusan berunsur empat memperkenalkan suatu objek khusus meditasi, yang bergerak ke arah memperlakukan satipaṭṭhāna seperti demikian dalam suatu cara yang lebih sempit daripada perhatian secara umum. Satipaṭṭhāna hanya konteks dalam rumusan utama dari sang jalan – sayap-sayap menuju pencerahan, pelatihan bertahap, pembebasan yang bergantungan – untuk menentukan objek meditasi. Secara umum di sini cenderung menjadi suatu jarak yang ganjil dalam sutta-sutta di antara sisi subjektif dan objektif dari meditasi. Sebagai contoh, sutta-sutta menjelaskan jhāna sehubungan dengan kualitas-kualitas mental subjektif dan di tempat lain menjelaskan berbagai objek meditasi yang ditujukan untuk mengembangkan jhāna, tetapi mereka hampir tidak pernah mengatakan, misalnya, “ānāpānasati jhāna” (tetapi ada yang disebut “ānāpānasati samādhi”), atau “kasiṇa jhāna” (walaupun penunjukan yang meragukan pada “jhāna belas kasih”). Jarak ini tidak secara sistematis dijembatani sampai Dhammasaṅgaṇī. Jadi satipaṭṭhāna, yang menjadi lebih “dibumikan” dan lebih khusus demikian, memenuhi fungsi penting yang praktis dalam sang jalan. Akibatnya adalah bahwa objek-objek meditasi tertentu di sini bersifat intrinsik dan oleh sebab itu bersifat bukan pilihan dari sang jalan. Semua meditator harus mengembangkan setidaknya beberapa latihan satipaṭṭhāna. Subjek meditasi di luar pola satipaṭṭhāna sangat sering diajarkan dalam sutta-sutta, khususnya kediaman-kediaman luhur dan enam perenungan, tetapi mereka tidak begitu penting; namun demikian, perasaan, keadaan pikiran, dan dhamma yang berhubungan dengannya cocok di bawah satipaṭṭhāna. Aspek “objektif” yang berseberangan dari satipaṭṭhāna ini membuatnya seseorang yang ganjil di dalam 37 sayap menuju pencerahan, dan kita akan berulang kali melihat kerancuan dan ketidaksesuaian muncul dalam upaya-upaya yang belakangan untuk sepenuhnya mensistematiskan kelompok-kelompok ini.

Mengapa empat hal ini? Teks-teks belakang dari beberapa aliran menyatakan bahwa empat hal itu bertentangan dengan empat penyimpangan. Perenungan terhadap tubuh bertentangan dengan penyimpangan melihat keindahan dalam keburukan; perenungan terhadap perasaan bertentangan dengan penyimpangan melihat penderitaan sebagai kebahagiaan; perenungan terhadap pikiran bertentangan dengan penyimpangan melihat yang tidak kekal sebagai kekal; dan perenungan terhadap dhamma bertentangan dengan penyimpangan melihat diri dalam apa yang bukan-diri. Tentunya mereka dapat bekerja dengan cara ini; tidak ada keraguan bahwa, katakanlah, perenungan terhadap tubuh diarahkan untuk melenyapkan nafsu indera dan bahwa meditasi keburukan [bagian-bagian tubuh] adalah suatu bagian yang penting dari strategi ini. Dan sesungguhnya dalam kelangsungan pikiran, citta, banyak orang mencari penghiburan dari kebahagiaan abadi. Namun secara keseluruhan, penjelasan ini bersifat post facto dan dibuat-buat. Karena ajaran ini tidak ditemukan dalam sutta-sutta awal, ataupun secara tidak sengaja jelas, ini mungkin suatu kasus peminjaman yang belakangan di antara aliran-aliran.

Suatu pertimbangan yang lebih berkaitan dalam rumusan satipaṭṭhāna sehubungan dengan empat subjek yang khusus ini adalah bahwa mereka maju dari yang kasar menuju yang halus. Tubuh terutama diperlakukan sebagai objek dasar untuk mengembangkan meditasi. Perasaan merupakan kualitas mental yang paling nyata. Pikiran, indera internal kesadaran, “yang mengetahui” alih-alih “yang diketahui”, lebih halus, dan dengan tepat didekati melalui dua yang pertama. Seperti yang akan kita lihat, kedua perlakuan istilah-istilah itu sendiri, dan korelasi dengan ānāpānasati, menyatakan bahwa suatu kunci permukaan dari penghalusan progresif atas perenungan sejauh ini adalah melakukan, mengembangkan, dan menguasai jhāna. Ini lebih langsung, dan tradisi-tradisi lebih kurang bersepahaman, walaupun mereka cenderung menekankan kembali struktur progresif ini. Ini karena mereka memperlakukan faktor berikutnya, dhamma, bermakna berbagai fenomena, banyak darinya yang tidak lebih halus daripada tiga yang pertama, dan dengan demikian mengganggu urutannya. Ini adalah suatu kesalahan. Dhamma-dhamma dalam satipaṭṭhāna bukanlah suatu karung undian beranekaragam dari sisa-sisa dari tiga yang pertama, tetapi suatu aspek yang berbeda dan lebih mendalam dari meditasi: pemahaman prinsip sebab akibat yang mendasari pengembangan samādhi.

Catatan Kaki:

[1] DN 18.27, MN 117.3, SN 45.28, AN 7.42. Istilah parikkhāra lebih familiar menunjuk pada empat kebutuhan (requisites) seorang bhikkhu – mangkuk, jubah, tempat tinggal, dan obat-obatan. Di sini ia berarti faktor-faktor yang adalah prasyarat (pre-requisite) untuk mencapai jhāna. Belakangan ia digantikan dalam pengertian ini oleh kembaran etimologisnya parikamma, biasanya diterjemahkan menjadi sesuatu seperti “pekerjaan persiapan”

[2] MN 44.12.

[3] SN 48.50.

[4] MN 44.11/MA 210.

[5] SN 46.3/SA 736/SA 740/SA 724*.

[6] SN 46.51/SA 715.

[7] Misalnya SN 54.13/SA 810.

[8] AN 6.102–4.

[9] Misalnya Skt MPS 27.16; Skt CPS 6.1; Skt SPS 63.

[10] DN 10.2.1–18/DA2 42. Terjemahan Walshe tidak tepat. Ia menerjemahkan: “Ini muncul padanya melalui konsentrasi”. Ini seharusnya dibaca: “Ini adalah, baginya, apa yang berhubungan dengan konsentrasi”.

[11] SN 48.9, dst.

[12] Sepasang Utusan Cepat, Lampiran A.10.

[13] MA 189, dst.

[bersambung...]
« Last Edit: 26 April 2014, 07:59:58 PM by Shinichi »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #45 on: 14 September 2014, 08:30:35 PM »
11.4 Bagaimana Latihan itu Diuraikan

Sementara daftar dari empat objek satipaṭṭhāna adalah sama dalam semua tradisi, penguraian aspek subjektifnya berbeda secara substansial, bahkan dalam periskop dasarnya; namun ini hanyalah masalah preferensi pengubahan alih-alih perbedaan sektarian.

11.4.1 Rumusan Sederhana dan Rumit

Sarvāstivāda, dalam Saṁyutta dan Majjhima, adalah yang paling sederhana: seseorang mengembangkan “penegakan perhatian dari perenungan tubuh di dalam tubuh...” dst. Versi Sanskrit dari Dasuttara dan Saṅgīti Sutta, yang juga berasal dari Sarvāstivādin, mencirikan suatu rumusan yang mirip. Ekāyana Sūtra Mahāsaṅghika menguraikan dari suatu rumusan sederhana yang mirip: ia menunjuk pada bermeditasi terhadap tubuh untuk melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat dan kekhawatiran, dan bermeditasi pada tiga lainnya untuk memperoleh ketenangan dan kebahagiaan.

Nikāya-Nikāya Theravāda yang utama tidak mengandung suatu versi yang sederhana demikian. Namun teks-teks Pali yang belakangan memasukkan perumusan yang mirip. Niddesa, suatu komentar bergaya Abhidhamma yang bersifat aljabar terhadap bagian-bagian tertua dari Sutta Nipāta (Aṭṭhaka Vagga, Pārāyana Vagga, Khaggavisāna Sutta) yang merupakan salah satu sudut yang paling samar-samar dan sedikit dibaca dari kitab suci Pali (dan itulah yang mengatakan sesuatu!), memasukkan suatu ungkapan yang demikian dalam penjelasan standarnya tentang “penuh perhatian”.[14] Ungkapan yang mirip juga muncul dalam Paṭisambhidāmagga, yang berasal dari suatu masa yang sama atau belakangan.[15] Pada masa komentar-komentar, ini menjadi sangat sering. Kenyataan bahwa versi sederhana menjadi lebih sering dalam karya-karya Pali yang belakangan menyatakan bahwa ini tidak asli. Dalam hal ini, rumusan yang lebih pendek adalah suatu ringkasan yang belakangan alih-alih suatu bentuk yang awal.

Kesimpulan ini didukung oleh SA 612 dari Satipaṭṭhāna Saṁyutta Sarvāstivāda. Setelah penutup yang standar, ini menambahkan suatu penjelasan editorial:

Semua sūtra tentang empat satipaṭṭhāna ditutup dengan ungkapan berikut, yaitu: “Oleh sebab itu seorang bhikkhu yang mengembangkan dan melatih empat satipaṭṭhāna, yang memunculkan aspirasi agung, dengan perjuangan yang mendalam dan cara-cara terampil, dengan perhatian benar dan pengetahuan benar, seharusnya berlatih.”

Dengan demikian rumusan pendek dalam Sarvāstivāda hanyalah suatu fungsi penyingkatan teks-teks, dan tradisi itu sendiri menyatakan bahwa versi yang diringkas seharusnya diperluas dalam setiap kasus. Rumusan yang diperluas adalah mirip dengan versi Theravādin standar. Mereka berbeda dari bentuk yang diringkas dalam mengeluarkan istilah “satipaṭṭhāna” dari rumusan itu sendiri, dan dalam menambahkan suatu rangkaian istilah-istilah yang menjelaskan latihan itu. Dalam versi Theravāda, seseorang merenungkan “dengan tekun, paham secara jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan ketamakan dan penolakan terhadap dunia.” Ungkapan ini ditemukan pada berbagai aliran, dan kita akan menunjuknya sebagai “rumusan pelengkap”. Versi Sarvāstivāda menghilangkan ungkapan “setelah melenyapkan ketamakan dan penolakan terhadap dunia.” Namun ini ditemukan di tempat lain dalam Saṁyutta,[16] sehingga penghilangan di sini mungkin tidak disengaja. Dalam mengatakan “aspirasi agung, perjuangan yang mendalam, dan cara-cara terampil”, ini memperluas “tekun” yang sederhana dari versi Theravāda. “Cara-cara terampil” menyerupai Mahāyāna; tetapi sebelum itu, ini adalah suatu karakteristik dari Yang Mulia Upagupta, seorang patriark dari Sarvāstivāda, maka perbedaan antara Sarvāstivāda dan Theravāda di sini mungkin bersifat sektarian. Ungkapan “perhatian benar, pengetahuan benar” umum ditemukan dalam teks-teks Mandarin, dan sama dengan “penuh perhatian, dengan jelas memahami” dari Theravāda.

Satu upaya untuk menginterpretasikan istilah ini ditemukan dalam Netti, yang mengatakan, bersepahaman dengan aliran-aliran, bahwa kualitas-kualitas ini berhubungan dengan empat dari lima kemampuan spiritual: tekun = semangat; dengan jelas memahami = pemahaman; penuh perhatian = perhatian; setelah melenyapkan ketamakan dan penolakan terhadap dunia = samādhi.[17] Namun, korelasi antara kemampuan spiritual tidaklah sangat dekat. Sebagai contoh, kemampuan spiritual dari pemahaman (paññā) didefinisikan sebagai “pemahaman atas kemunculan dan lenyapnya yang mulia dan bersifat menembus, yang membawa pada akhir sepenuhnya dari penderitaan”.[18] Pemahaman jernih (sampajañña), walaupun secara etimologi sejajar dengan “pemahaman” tidak pernah dipakai dalam pengertian mendalam demikian, tetapi biasanya dibatasi pada pengertian yang lebih duniawi dari “kewaspadaan atas aktivitas-aktivitas dalam kehidupan sehari-hari”, atau jika tidak ia mengungkapkan dimensi kebijaksanaan dari jhāna.

Cara yang lebih baik untuk melihat istilah-istilah ini dijelaskan oleh Mahā Parinirvāṇa Sutta Sanskrit. Terdapat suatu kejadian terkenal ketika pelacur cantik Ambapālī datang berkunjung. Dalam Pali, Sang Buddha mendorong para bhikkhu untuk “penuh perhatian dan memahami secara jernih”. Versi Sanskrit menambahkan ini: “Para bhikkhu, berdiamlah dengan tekun, paham secara jernih, dan penuh perhatian. Ambapālī sang pelacur datang ke sini!”[19] Teks tersebut berlanjut mendefinisikan “tekun” sebagai empat upaya benar, “memahami dengan jernih” sebagai kewaspadaan atas aktivitas-aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, dan “penuh perhatian” sebagai empat satipaṭṭhāna. Ini sangat berhubungan dengan penggunaannya dalam rumusan satipaṭṭhāna itu sendiri. Sekarang, latihan-latihan ini semuanya adalah suatu bagian standar dari pelatihan bertahap.

11.4.2 Ketamakan dan Penolakan

ini menyatakan suatu hubungan antara ungkapan terakhiraa, “setelah melenyapkan ketamakan dan penolakan terhadap dunia” dengan ungkapan pendahuluan dari pelatihan bertahap, khususnya pengendalian indera. Bacaan standar tentang pengendalian indera, di mana dalam penggambaran Theravāda terhadap pelatihan bertahap biasanya muncul sebelum “pemahaman jernih”, memasukkan kata-kata yang sama “ketamakan dan penolakan” (abhijjhā-domanassa) yang muncul dalam rumusan satipaṭṭhāna.[20] Dalam Sanskrit yang sejajar dengan satipaṭṭhāna bahkan lebih jelas, karena terdapat ungkapan “ketamakan dan penolakan terhadap dunia” (abhidhyā-daurmanasye loke).[21] Juga, Sanskrit, sebagai contoh Śrāmaṇyaphala Sūtra dan Śrāvakabhūmi, menggunakan kata “perhatian” dengan lebih sering di sini.

Marilah kita menyelidiki lebih dekat bagaimana kata kunci abhijjhā dan domanassa digunakan. Abhijjhā digunakan dalam dua pengertian yang terdefinisi dengan jelas. Sebagai salah satu dari sepuluh “jalan perbuatan tidak bermanfaat” ia bermakna ketamakan: “Oh! Apa pun miliknya seharusnya menjadi milikku!”[22] Sebagai sebuah alternatif dari kāmacchanda (“keinginan indera”) sebagai yang pertama dari lima rintangan, ini lebih halus, yang mencakup semua keinginan atau ketertarikan dalam pengalaman indera. Dalam pelatihan bertahap, baik Pali dan Sanskrit menggambarkan pelenyapan rintangan ini sebagai “meninggalkan ketamakan terhadap dunia”, yang lagi-lagi sangat mirip dengan rumusan satipaṭṭhāna. Istilah domanassa, yang saya terjemahkan di sini sebagai “penolakan”, biasanya bermakna “penderitaan batin”, tetapi dalam setidaknya satu konteks ia menunjuk pada rintangan kehendak jahat,[23] dan ini pasti maknanya dalam satipaṭṭhāna juga. Sementara penggunaan persis sama dari ungkapan abhijjhā-domanassa ini menggarisbawahi kedekatan ungkapan dalam satipaṭṭhāna dengan pengendalian indera, saya tidak melihat nilai penting yang besar dalam pemilihan persis istilah untuk “kehendak jahat”; Pali menggunakan sejumlah istilah yang lebih kurang bersinonim. Sementara sebagai suatu rintangan kehendak jahat dapat sangat halus, dalam sepuluh jalan perbuatan tidak bermanfaat, ia didefinisikan dalam istilah yang sangat kuat: “Semoga makhluk-makhluk ini dihancurkan, dibunuh, dan dilenyapkan!” Maka kedua istilah ini, “ketamakan” dan “penolakan”, mencakup berbagai tingkat intensitas. Bentuk kasarnya ditinggalkan melalui latihan-latihan persiapan, khususnya pengendalian indera, sedangkan bentuk halusnya ditinggalkan ketika memasuki jhāna.

11.4.3 Satipaṭṭhāna Dibandingkan dengan Cinta Kasih

Rumusan pelengkap satipaṭṭhāna berbunyi lebih mirip samatha daripada vipassanā. Penggambaran yang mirip dari keadaan meditatif dari pikiran itu tidak ditemukan dalam konteks vipassanā. Tetapi marilah kita membandingkannya dengan penggambaran latihan cinta kasih.

Rumusan Pelengkap Satipaṭṭhāna

... ātāpī, sampajāno, satimā, vineyya loke abhijjhādomanassaṁ.

Tekun, paham secara jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan ketamakan dan penolakan terhadap dunia.

Cinta Kasih[24]

… vigatābhijjho, vigatābyapado, asammuḷho, sampajāno, patissato mettāsahagatena cetasā…

Bebas dari ketamakan, bebas dari kehendak jahat, tidak bingung, paham secara jernih, penuh perhatian, dengan hati penuh cinta kasih...

Ini hanyalah sedikit perbedaan dalam pengungkapan yang menggambarkan suatu proses subjektif dari meditasi. Bacaan tentang cinta kasih jelas menunjuk pada jhāna, dan kemiripan kedua bacaan menyatakan bahwa jhāna, alih-alih menjadi suatu prasyarat, adalah bagian dari pemenuhan yang lengkap dari satipaṭṭhāna. Poin utama ungkapan pelengkap itu adalah untuk menekankan bahwa perhatian bukanlah dikembangkan sendiri, cukup sampai dirinya sendiri, tetapi dalam konteks sang jalan sebagai suatu keseluruhan; dan dalam hal ini semua tradisi sepenuhnya sepaham.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #46 on: 14 September 2014, 08:38:21 PM »
11.4.4 Variasi-Variasi dalam Rumusan Dasar

Seperti halnya rumusan dasar, teks-teks, terutama Saṁyutta, memberikan sejumlah variasi yang menarik. Di bawah ini saya memberikan daftar variasi-variasi utama dalam tradisi Pali. Beberapa dari variasi-variasi ini dalam konteks aslinya mengikuti setelah rumusan standar Pali; ini ditandai dengan sebuah anak panah.

1) Kāye kāyānupassana-satipaṭṭhānaṁ… (Sanskrit, Niddesa, dst.)
Menegakkan perhatian dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh...

2) Kāye kāyānupassī viharati; ātāpī, sampajāno, satimā, vineyya loke abhijjhādomanassaṁ… (rumusan pelengkap standar)
Seseorang berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh; dengan tekun, memahami sepenuhnya, penuh perhatian, setelah melenyapkan ketamakan & penolakan terhadap dunia...

3) → Kāye kāyānupassī viharato yo kayasmiṁ chando so pahīyati; chandassa pahānāya amataṁ sacchikataṁ hoti… (SN 47.37)
Bagi seseorang yang berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh, keinginan terhadap tubuh ditinggalkan; dengan meninggalkan keinginan, keabadian terlihat...

4) → Kāye kāyānupassī viharato kāyo pariññāto hoti… (SN 47.38)
Bagi seseorang yang berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh, tubuh sepenuhnya diketahui...

5) → Kāye kāyānupassī viharanto pi upahanet’eva pāpake akusale dhamme… (SN 54.10/SA 813/Skt)
Ketika seseorang berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh, ia menghancurkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat...

6) → Kāye kāyānupassī viharato cittaṁ virajjati vimuccati anupādāya āsavehi… (SN 47.11/SA 614)
Bagi seseorang yang berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh, pikiran memudar dan bebas dari kekotoran-kekotorn tanpa kemelekatan...

7) Kāye kāyānupassī viharatha; ātāpīno, sampajānā, ekodibhūtā, vippasannacittā, samāhitā, ekaggacittā… (SN 47.4/SA 621)
Berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh; dengan tekun, memahami sepenuhnya, menyatu, dengan pikiran jernih, dalam samādhi, dengan keterpusatan pikiran...

8 ) → Kāye kāyānupassī viharami; ātāpī, sampajāno, satimā, ‘sukhasmī’ ti pajānāti… (SN 47.10/SA 615)
Aku berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh; dengan tekun, memahami sepenuhnya, penuh perhatian, aku memahami: “Aku berbahagia”...

9) → Kāye kāyānupassī viharato cittaṁ samādhiyati upakkilesā pahīyanti… (SN 47.8/SA 616)
Bagi seseorang yang berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh, pikiran memasuki samādhi, noda-noda ditinggalkan...

10) → Kāye kāyānupassī viharanto tattha sammā samādhiyati sammā vippasīdati… (DN 18.26/DA 4)
Ketika seseorang berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh, di sana ia memperoleh samādhi benar, kejernihan benar...

11) → Kāye kāyānupassī viharahi, mā ca kāyūpasaṁhitaṁ vitakkaṁ vitakkesi… (MN 125.24/MA 198)
Kamu seharusnya berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh, tetapi janganlah memikirkan pikiran-pikiran yang berhubungan dengan tubuh...[25]

Variasi-variasi ini secara alamiah termasuk dalam tiga kelompok. Pasangan pertama (1 & 2) memberikan pernyataan yang paling mendasar atau ringkasan dari prakteknya. Kedua adalah variasi-variasi yang menggambarkan hasil praktek dalam istilah-istilah yang sama dengan penggambaran dari banyak cara praktek lainnya (3-6). Sisanya (7-11) menggambarkan meditasi sebenarnya itu sendiri dan lebih spesifik pada satipaṭṭhāna. Mengejutkan bahwa variasi-variasi ini berhubungan secara eksplisit dengan samādhi. Salah satu dari variasi-variasi ini (7) memperkuat samādhi dengan sinonim “keterpusatan pikiran”. Variasi ini, sama dengan yang lain (10), juga memiliki istilah vippasāda, yang serupa dengan sampasāda dari jhāna kedua. Penyebutan “kebahagiaan” (8 ) juga menyatakan jhāna; konteksnya menegaskan hal ini. Variasi sisanya dari kelompok ini (11) menganjurkan penenangan dari vitakka, yang menunjuk pada jhāna kedua; dan lagi-lagi ini ditegaskan dalam konteksnya. Teks-teks belakangan dari aliran-aliran melengkapi kita dengan bahkan lebih banyak variasi pada rumusan dasar. Saya hanya akan memberikan sedikit daftar untuk tujuan perbandingan. Yang pertama hampir identik dengan versi standar Pali; yang kedua dan ketiga memberikan perluasan kecil.

12) Adhyātmam kāye kāyānupaśyī viharaty ātāpī samprajanaḥ smṛtiman viniyabhidhyā loke daurmanasyam… (Sarv Mahā Parinirvāṇa Sūtra)
Secara internal seseorang berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh; dengan tekun, paham sepenuhnya, penuh perhatian, setelah melenyapkan ketamakan terhadap dunia, dan penolakan...

13) Kāye kāyānupaśyino viharataḥ kāyālambanānusmṛti tiṣṭhati saṁtiṣṭhati… (Abhidharmakośa 342)
Bagi seseorang yang berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh, perenungan yang didukung oleh tubuh dikembangkan, dikembangan dengan baik...

14) Kāye kāyānupaśyino viharataḥ upaṣṭhita smṛti bhavaty asammuḍheti… (Abhidharmakośa 342)
Bagi seseorang yang berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh, perhatian yang tidak keliru ditegakkan...

15) Kāye kāyānudarṣī viharati, na ca kāyasahagatan vitarkan vitarkayati… (Pratyutpannabuddhasammukhāvaṣṭhitasamādhi Sūtra 15J, 18B)[26]
Seseorang mengamati sebuah tubuh di dalam tubuh, tetapi seseorang tidak memikirkan pikiran-pikiran yang berhubungan dengan tubuh... (cp. Versi 11 di atas.)

Dengan demikian kita menemukan bahwa dalam variasi-variasi yang ada pada rumusan dasar satipaṭṭhāna, beberapa menunjuk sangat eksplisit pada samatha, sedangkan tidak ada penyebutan perenungan ketidakkekalan dan kausalitas yang adalah ciri dari vipassanā.

Ciri khas yang menonjol dari semua rumusan itu, pernyataan definitif dari apa yang satipaṭṭhāna libatkan, adalah bahwa seseorang “berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh... (perasaan, pikiran, dhamma)”. Di sini, terdapat dua ciri khas yang membutuhkan penjelasan. Pertama adalah ungkapan pengulangan, yang saya terjemahkan sebagai “sebuah tubuh di dalam tubuh”; kedua adalah kata anupassanā, “perenungan”, yang menyatakan modus karakteristik kewaspadaan dalam satipaṭṭhāna.

11.4.5 “Sebuah Tubuh di dalam Tubuh”

Ungkapan pengulangan “sebuah tubuh di dalam tubuh” telah sering dikomentari. Beberapa memandang bahwa ini hanyalah bersifat idiomatis, dengan tanpa arti penting tertentu; tetapi sesungguhnya pengulangan demikian pasti setidaknya menandakan penegasan. Penjelasan normatif pada saat ini, berdasarkan pada tradisi Theravādin, adalah bahwa pengulangan itu menggambarkan dan mendefinisikan objeknya, tidak termasukan menganggap tubuh (dst) sebagai sesuatu yang bukan, yaitu suatu diri. Penjelasan ini masuk akal dalam konteks yang mengambil begitu saja bahwa satipaṭṭhāna terutama vipassanā semata. Namun, ini dapat ditafsirkan kembali untuk menyesuaikan pada konteks samatha juga – dengan tidak menyimpang di luar batasan dari meditasi yang diberikan. Tetapi tidak ada dari penafsiran-penafsiran ini mendapatkan dukungan langsung dari Sutta-Sutta. Untuk menemukan ini, kita harus berbalik pada suatu pesan tersembunyi yang ditemukan dalam Ānāpānasati Sutta, dan dalam bentuk yang sedikit berbeda di dalam Saṁyutta. Ini memberikan suatu kumpulan ungkapan unik yang memenuhi syarat dari keempat objek satipaṭṭhāna dalam konteks meditasi pernapasan. Mereka adalah sebagai berikut:

(Tubuh) “Aku menyebut ini sebagai suatu tubuh tertentu [di antara tubuh-tubuh], Ānanda, yaitu, napas masuk dan napas keluar...

(Perasaan) “Aku menyebut ini sebagai suatu perasaan tertentu [di antara perasaan-perasaan], Ānanda, yaitu, perhatian yang dekat terhadap napas masuk dan napas keluar...

(Pikiran) “Aku mengatakan, Ānanda, bahwa tidak ada pengembangan samādhi dengan napas masuk dan napas keluar oleh seseorang yang kacau [pikirannya] dan yang tidak memiliki pemahaman jernih...

(Dhamma) “Setelah melihat dengan pemahaman pelenyapan ketamakan dan penolakan, ia mengamati secara dekat dengan keseimbangan...”[27]

Semua ini menimbulkan masalah penafsiran. Adalah tidak baik untuk bergantung pada bacaan yang tidak jelas demikian, tetapi dalam ketiadaan bacaan lain yang relevan kita tidak memiliki pilihan. Bagian-bagian tentang perasaan dan pikiran bersifat samar-samar, dan saya tidak akan membahasnya di sini. Bagian dhamma adalah menarik, tetapi saya akan menunda pembahasan sampai kita membicarakan ānāpānasati secara umum.

Perkataan pertama, sehubungan dengan tubuh, bersifat sangat langsung. Dengan jelas, “napas” dianggap sebagai suatu jenis “tubuh”, atau kita dapat mengatakan dalam bahasa Inggris, suatu jenis fenomena fisik, suatu aspek dari tubuh. Bagian yang dikurung siku muncul hanya dalam versi Majjhima, bukan Saṁyutta. Namun, mereka tidak secara pokok mengubah maknanya. Meditator akan memilih lingkungan dalam keseluruhan bidang pengalaman fisik ini sebagai fokus kewaspadaan. Ini sepenuhnya bersesuaian dengan tesis bahwa satipaṭṭhāna adalah yang pertama dari semua praktek samatha. Penggambaran semua praktek dalam semua versi mengatakan serangkaian perenungan terhadap aspek diskrit dari topik yang diberikan. Sebagai contoh, seseorang merenungkan perasaan menyenangkan, kemudian perasaan menyakitkan, kemudian perasaan netral, dan seterusnya. Jadi kita berada pada jalur yang benar: bentuk ungkapan pengulangan dalam rumusan satipaṭṭhāna membatasi fokus perhatian di dalam masing-masing dari keempat objek satipaṭṭhāna.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #47 on: 14 September 2014, 08:52:19 PM »
11.4.6 “Perenungan”

Kemudian bagian krusial kedua dari rumusan satipaṭṭhāna adalah istilah anupassanā. Dalam Abhidhamma ini dijelaskan dengan daftar istilah standar untuk pemahaman, yang tidak sangat membantu, karena ia mengabaikan kehalusan dari konteks. Inilah salah satu alas an mengapa para penulis yang belakangan telah menyamakan anupassanā dengan vipassanā. Namun penjelasan ini tidak memberikan keadilan bagi keduanya. Marilah memulai dengan suatu syair dari Ṛg Veda.

“Ia merenungkan dengan penuh cinta makhluk yang,
Bagaikan seorang hartawan, menungkan untuk dirinya Soma.
Māghavan [yaitu Indra, Raja para dewa] dengan tangan yang dibengkokkan mendukungnya.
Ia membunuh, tanpa diminta, orang-orang yang membenci pemujaan.”[28]

Di sini anupassanā adalah hal yang sangat sepihak, yang berlawanan dengan “tidak menghakimi”. Penggunaan yang sama ditemukan dalam teks-teks Buddhis awal. Di sini terdapat dua contoh, yang pertama dari Sutta Nipāta, yang kedua dari Dhammapāda.

“Ia bukan teman yang selalu dengan tekun[29]
Mencurigai perselisihan, merenungkan hanya kecacatan;
Tetapi bagi mereka yang berdiam, bagikan seorang anak kecil di dada,
Ia adalah teman sejati, yang tidak dijauhi oleh orang lain.”[30]

“Bagi seseorang yang merenungkan kesalahan-kesalahan orang lain,
Yang pikiran-pikirannya selalu bersifat kritis;
Kekotoran-kekotorannya meningkat –
Ia jauh dari akhir kekotoran-kekotoran.”[31]

“Perenungan” (anupassanā) di sini adalah melihat hanya (eva) satu sisi terhadap suatu situasi. Lebih lanjut, ini berarti melihat bahwa satu sisi bukan sekali-kali tetapi terus-menerus (sadā, niccaṁ).
Īśa Upaniṣad menunjukkan suatu wajah yang lebih ramah dari anupassanā.

“Ia yang merenungkan semua makhluk hanya sebagai diri,
Dan diri sebagai semua makhluk –
Ia tidak jijik karena hal itu.”

“Ketika semua makhluk adalah hanya diri bagi ia yang melihat,
Maka apakah delusi, apakah dukacita,
Bagi ia yang merenungkan kemanunggalan?” [32]

Dalam konteks Buddhis ini menyatakan praktek cinta kasih universal. Dalam konteks Upaniṣadi pengertian metafisik yang lebih mengandung “Diri” yang dimaksudkan. Di sini anupassanā menunjuk pada suatu cara perenungan yang melihat kedua sisi dari hal-hal – semua makhluk sebagai diri, diri sebagai semua makhluk – dan memecahkan permukaan dualitas ke dalam suatu kesatuan yang lebih dalam. Kata “kemanunggalan” (ekatvā) di sini berhubungan dengan penggambaran klasik satipaṭṭhāna sebagai “jalan menuju yang satu” (ekāyana magga). Pergerakan “dua menjadi satu” menemukan rekan pendampingnya dalam Dvāyatānupassanā Sutta dari Sutta Nipāta. Ini menyajikan serangkaian “perenungan” yang disusun secara berpasangan, banyak darinya yang berhubungan dengan faktor-faktor kemunculan bergantungan. Di sini terdapat sebuah contoh.

“‘Inilah penderitaan, inilah asal mula penderitaan’ – ini adalah satu perenungan. ‘Inilah lenyapnya penderitaan, inilah jalan pelatihan menuju akhir penderitaan’ – ini adalah perenungan kedua.

Para bhikkhu, bagi seorang bhikkhu, yang dengan benar merenungkan pasangan ini, berdiam dengan rajin, tekun, dan berketetapan hati, salah satu dari dua hasil dapat diharapkan: pengetahuan mendalam dalam kehidupan saat ini juga, atau, jika terdapat sisa, yang tidak kembali.”[33]

Di sini, seperti halnya dalam Īśa, dua perenungan yang berlawanan diberikan. Tetapi perbedaan itu sesungguhnya suatu pelengkap, maka realisasi sepenuhnya dari kedua perenungan ini membawa pada satu tujuan.
Penggunaan Śvetāśvatara atas anupassanā secara eksplisit bersifat metafisik.

“Yang satu pengendali yang banyak, tidak aktif,
Yang membuat yang satu membenihkan bermacam-macam,
Berdiri di dalam diri – orang bijaksana yang merenungkan dia,
Bagi mereka yang memiliki kebahagiaan kekal, bukan bagi yang lain.”[34]

Di sini, juga, terdapat suatu hubungan antara anupassanā dan “yang satu”. Orang bijaksana akan merenungkan yang satu, sumber yang tidak aktif, bukan keberagaman dari penampilan; hanya ini yang membawa pada kebahagiaan. Bṛhadāraṇyaka juga menggunakan anupassanā sebagai suatu perenungan, suatu pemandangan, atas yang ilahi.

“Jika seseorang dengan jelas merenungkan ia sebagai diri, sebagai Tuhan,
Karena Sang Penguasa dari apa yang telah menjadi dan apa yang akan ada,
Seseorang tidak menjauh darinya.”[35]

Syair-syair berikut dari Dhammapāda jatuh di antara penggunaan bahasa percakapan sehari-hari awal dari anupassanā dan pengertian yang lebih terspesialisasi dalam satipaṭṭhāna.

“Seseorang yang berdiam dengan merenungkan keindahan,
Tidak terkendali dalam indera-inderanya,
Berlebihan dalam makan,
Malas, kurang bersemangat;
Sesungguhnya Māra menjatuhkannya
Bagaikan angin yang menumbangkan sebatang pohon yang lemah.”

“Seseorang yang berdiam dengan merenungkan kejelekan,
Terkendali dalam indera-inderanya,
Tidak berlebihan dalam makan,
Berkeyakinan, penuh semangat;
Sesunggunya Māra tidak menjatuhkan ia
Bagaikan angin yang tidak dapat menumbangkan sebuah gunung batu.”[36]

Di sini seseorang merenungkan salah satu dari keindahan atau kejelekan (subha, asubha); lagi-lagi, ia memusatkan perhatian pada hanya salah satu aspek dari hal-hal, mengabaikan sisi yang lain.

Anupassanā dalam syair-syair ini bertujuan untuk melenyapkan nafsu indera, dan oleh sebab itu jatuh pada sisi samatha. Namun anupassanā juga muncul dalam konteks vipassanā. Sebagai contoh, terdapat beberapa kotbah dalam Khandha-saṁyutta yang mengatakan tentang “perenungan” terhadap ketidakkekalan, penderitaan, dan bukan-diri.[37] Di tempat lain kita membaca tentang “perenungan terhadap ketidakkekalan”, dst berkenaan dengan perasaan.[38] Tempat yang sesuai dari “perenungan terhadap ketidakkekalan” dalam satipaṭṭhāna, sama seperti yang jelas dari ānāpānasati.

Jadi anupassanā digunakan dalam konteks samatha dan vipassanā, dan tidak dapat secara eksklusif dikelompokkan sebagai salah satu dari keduanya. Walaupun berhubungan dengan kata “vipassanā”, anupassanā tidak digunakan saat berdiri sendiri, seperti halnya vipassanā, dengan makna penyelidikan meditatif ke dalam ketidakkekalan dan kausalitas. Awalan anu- menyatakan “mengikuti, menyesuaikan, setelah”, dan ketiadaan pengertian analitis dari vi-. Ini adalah suatu cara perenungan yang “menyesuaikan” pada konteks yang relevan; dengan demikian anupassanā secara normal adalah anggota kedua dari suatu kata majemuk di mana anggota pertama mendefinisikan subjek khusus dari meditasi: “perenungan dari...”. Dalam konteks psikologis anu- menyatakan “kelanjutan”. Dengan demikian vitakketi berarti “berpikir”; anuvittaketi berarti “terus berpikir”. Penggunaan yang sama muncul dalam definisi dari sati sebagai “ingatan” yang telah kita temukan di atas. Di sana dua istilah digunakan: sara dan anussara, yang berarti “mengingat, terus mengingat.” Terdapat suatu nuansa yang serupa dalam penjelasan Abhidhamma untuk faktor jhāna vicāra - anusandhanatā dan anupekkhanatā – yang berarti “penerapan yang terus-menerus, pengamatan yang terus-menerus”. Aspek terus-menerus, berkelanjutan dari anupassanā ditekankan dalam syair-syair yang kita lihat di atas. Komentar Visuddhimagga membuat pengertian ini secara eksplisit: “ia terus-menerus melihat kembali (anu anu passati) dengan pengetahuan jhāna dan pengetahuan pandangan terang”.[39]

11.4.7 Pemahaman Jernih

Istilah sampajañña, yang ditemukan dalam beberapa rumusan satipaṭṭhāna dan di tempat lain bersama dengan perhatian [sati], juga dijelaskan oleh Abhidhamma dengan daftar standar sinonim untuk kebijaksanaan, dan telah disamakan oleh beberapa penulis dengan vipassanā. Tetapi walaupun sampajañña secara etimologis sejajar dengan paññā “pemahaman”, ini tidak secara eksplisit disamakan dengan vipassanā. Ini sesungguhnya digunakan kadangkala dalam pengertian vipassanā; kita akan menyelidiki ini dalam Satipaṭṭhāna-saṁyutta di bawah. Tetapi sampajañña kebanyakan secara khas digunakan dalam konteks “kewaspadaan kehidupan sehari-hari” sebagai suatu persiapan untuk jhāna. Dalam Subha Sutta, ia didaftarkan di bawah “kelompok samādhi”; dan dalam Abhidhamma ia menemukan tempatnya dalam Jhāna Vibhaṅga. Tidak ada tempat dalam Sutta-Sutta atau Abhidhamma kewaspadaan terhadap aktivitas tubuh diperlakukan sebagai vipassanā.

Penggunaan umum lainnya dari sampajañña adalah dalam rumusan untuk jhāna ketiga, di mana ia menyatakan dimensi kebijaksanaan dari samādhi. Kebanyakan pelatihan Satipaṭṭhāna Sutta menggunakan bentuk kata kerja paññā dalam suatu pengertian yang serupa, sebagai contoh: “Ia memahami ‘Saya menarik napas panjang’... Ia memahami ‘Saya berdiri’... Ia memahami ‘Saya mengalami suatu perasaan menyenangkan’...” dan seterusnya. Jadi terdapat pemahaman ini dalam pengertian kewaspadaan jernih melalui meditasi. Jhāna-jhāna juga dapat dikualifikasikan dengan istilah-istilah yang demikian; kadangkala jhāna dikelompokkan di bawah kebijaksanaan, atau seseorang dalam jhāna dikatakan “mengetahui dan melihat”, dan seterusnya. Penggunaan istilah-istilah yang demikian tidak berarti bahwa ini adalah suatu latihan vipassanā seperti yang dibedakan dari suatu latihan samatha. Realitasnya lebih halus: semua meditasi harus memasukkan baik ketenangan dan kebijaksanaan. Pertanyaannya adalah: apakah konteksnya, bagaimana kualitas-kualitas ini diterapkan di sini? Setiap konteks yang telah kita lihat menunjukkan bahwa tujuan utama dari satipaṭṭhāna adalah untuk mengembangkan samādhi, dan tidak ada di sini untuk mengubah kesimpulan itu. Semua yang dapat kita simpulkan dengan tepat adalah bahwa pengembangan jhāna melibatkan suatu dimensi kebijaksanaan.

Catatan Kaki:

[14] Misalnya Mahā Niddesa 1.1.3.

[15] Paṭisambhidāmagga 169.

[16] SA 610/SN 47.39.

[17] Netti 4.23.

[18] SN 48.9/SA 647.

[19] Waldschmidt (1950, 1951) 10.8.

[20] DN 2.64/DA 27/T № 22/EA 42.7/SA 154–163*, dst.

[21] Meisig, hal. 268.

[22] AN 10.176.

[23] Sn 1112

[24] SN 42.8/SA 916/SA2 131, AN 10.219.

[25] Bhikkhu Bodhi telah mengubah penerjemahannya di sini dari “berhubungan dengan tubuh” menjadi “berhubungan dengan keinginan indera”. Menurut catatan no. 1177-nya dalam edisi 2001 yang telah direvisi dari MLDB, edisi PTS memiliki kāyūpasaṁhitaṁ (berhubungan dengan tubuh), mempersingkat kedua yang berikutnya, kemudian memiliki dhammūpasaṁhitaṁ. Edisi-edisi Burma, yang didukung oleh edisi Sinhala tahun 1937, memiliki kāmūpasaṁhitaṁ. Ia juga mengutip terjemahan Mandarin yang mendukung. Namun versi Sanskrit yang dikutipkan di bawah ini mendukung kāyūpasaṁhitaṁ.

[26] Harrison. Bahasa Sanskrit telah dengan sementara direkonstruksi oleh penerjemah.

[27] SN 54.10/SA 813, SN 54.13/SA 810, MN 118.23ff.

[28] Ṛg Veda 10.160.4.

[29] Penggunaan “tekun” (appamāda) dalam pengertian negative adalah sangat tidak biasa; secara normal, tentu saja, ketekunan berkaitan erat dengan perhatian.

[30] Sn 255.

[31] Dhp 253.

[32] Īśa 6–7.

[33] Sn 3.12.

[34] Śvetāśvatara 12.

[35] BU 4.4.15.

[36] Dhp 7, 8.

[37] SN 22.39–42/SA 27, SN 22.147/SA 48.

[38] SN 36.7/SA 1028, SN 36.8/SA 1029, MN 37/SA 505/EA 19.3.

[39] Lihat Vsm trans. (Ñāṇamoli), pg. 168 note 47.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #48 on: 25 September 2014, 08:08:22 PM »
11.5 Internal/Eksternal

Dalam satipaṭṭhāna kita dianjurkan untuk berlatih secara internal, eksternal, dan internal-eksternal. Modus internal/eksternal dari satipaṭṭhāna ini terlihat dalam semua Nikāya,  Āgama, dan Abhidhamma. Kita akan bertemu mereka berulang kali dalam teks-teks yang belakangan. Terdapat sedikit perbedaan antara Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda dan Sarvāstivāda dan kebanyakan penyajian lainnya. Sutta-sutta ini menyajikan rumusan dasar pertama kali, kemudian menambahkan perenungan internal/eksternal sebagai bagian dari pengulangan yang mengikuti penjelasan terperinci. Tetapi biasanya perenungan internal/eksternal dipadukan ke dalam rumusan itu dari awal: “Seseorang merenungkan tubuh di dalam tubuh secara internal...”. Kita menyebut ini sebagai “rumusan internal/eksternal yang dipadukan”. Ini ditemukan dalam sumber-sumber Pali selain dari Satipaṭṭhāna Sutta itu sendiri, seperti Saṁyutta, Dīgha, dan Vibhaṅga; juga dalam Saṁyukta Sarvāstivāda,[40] Ekāyana Sūtra, Dharmaskandha, dan Śāriputrābhidharma; juga dengan cukup konsisten dalam sumber-sumber yang belakangan seperti Avataṁsaka Sūtra, Abhidharmasamuccaya, dan Arthaviniścaya Sūtra. Jelas tidak ada perbedaan yang nyata dalam maknanya, tetapi rincian demikian berguna dalam melacak hubungan tekstual dan permainan editorial.

Terdapat suatu permasalahan penafsiran di sini, karena kita pada umumnya memahami bahwa meditasi adalah “jalan ke dalam”, tetapi teks-teks sepaham bahwa satipaṭṭhāna harus dilatih secara eksternal juga. Dalam penyebutan informal dari perhatian, seperti dalam syair-syair, kita sering dianjurkan untuk mengarahkan perhatian ke dalam, dan tidak diragukan lagi bahwa ini adalah fokus utama untuk meditasi perhatian. Sebagai contoh, sebuah bacaan mengingatkan kita bahwa: “Bagi seseorang yang berkembang dengan baik dalam kehadiran internal dari ānāpānasati, tidak ada pikiran yang mengganggu melayang-layang di luar.”[41] Tetapi aspek eksternal tetap tersisa – bagaimana kita memahami hal ini?

Dalam penggunaan umum Sutta, istilah internal dan eksternal ditemukan baik dalam konteks samatha maupun vipassanā. Sebagai contoh samatha, mengambil delapan pembebasan atau delapan landasan yang melampaui: “Melihat bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk secara eksternal, terbatas, baik dan buruk; dengan melampaui mereka seseorang melihat demikian: ‘Aku mengetahui, aku melihat’. Inilah landasan pertama yang melampaui.”[42] Walaupun pengungkapannya sedikit samar-samar, ungkapan-ungkapan yang demikian menunjuk pada pengembangan visualisasi sebagai suatu objek samādhi, seperti yang diketahui dalam karya-karya belakangan sebagai suatu “nimitta”. “Melihat bentuk secara internal” menunjuk pada membayangkan suatu bagian dari tubuh sebagai tahap awal dalam mengembangkan suatu nimitta samādhi yang sebenarnya. Ini akan jatuh dalam lingkup satipaṭṭhāna. Sebagai suatu contoh vipassanā, kita tidak perlu melihat lebih jauh daripada kotbah kedua, Kotbah tentang Bukan-Diri, di mana Sang Buddha mengatakan tentang masing-masing dari lima kelompok unsur kehidupan sebagai “internal atau eksternal”. Bacaan ini adalah salah satu dari perikop vipassanā.

Terdapat sebuah bacaan yang secara eksplisit menunjukkan apakah yang dimaksud “internal” dan “eksternal” dalam satipaṭṭhāna. Melalui perenungan “internal” seseorang memasuki samādhi, kemudian memunculkan pengetahuan dan penglihatan (yaitu penglihatan batin) dari tubuh, dst., dari orang lain secara eksternal.[43] Dalam Satipaṭṭhāna Sutta, perenungan internal dan eksternal muncul paling alamiah dalam perenungan tanah perkuburan, yang digambarkan sebagai latihan imaginatif: “Seakan-akan seseorang melihat sesosok mayat yang dibuang pada suatu tanah perkuburan, satu, dua, atau tiga hari meninggal dunia, membengkak, memucat, dan mengeluarkan zat-zat, seorang bhikkhu membandingkan tubuh ini dengan mayat tersebut demikian: ‘Tubuh ini juga memiliki sifat yang sama, ia akan menjadi seperti itu, tidak mungkin bebas dari takdir itu’.”[44]

Harus disebutkan juga dari Vijaya Sutta dari Sutta Nipāta. Sajak pendek ini meringkaskan kebanyakan perenungan tubuh Sutta-sutta ke dalam beberapa syair. Walaupun ia tidak menyebut satipaṭṭhāna, ia merupakan ajaran utama tentang perenungan tubuh dalam Sutta Nipāta, dan mungkin telah disusun untuk alasan itu juga. Setelah menggambarkan beberapa meditasi tanah perkuburan, ia mengatakan:

“Seperti ini, demikian juga itu;
Seperti itu, demikian juga ini –
Secara internal dan eksternal, seseorang seharusnya menghalau nafsu terhadap tubuh.”[45]

Perenungan internal/eksternal atas unsur-unsur diperlakukan secara terperinci dalam Mahā Hatthipadopama Sutta. Sebagai contoh, unsur air internal didefinisikan sebagai bagian cair dari tubuh seseorang, seperti keringat dan darah, dst., dan unsur air eksternal adalah air dalam banjir, lautan, dst. Baik unsur air internal dan eksternal hanyalah unsur air, dan harus diihat secara benar sebagai bukan-diri dan tidak kekal. Bacaan ini menunjukkan bahwa tahap ketiga, di mana internal dan eksternal dikombinasikan, adalah suatu perpaduan di mana perbedaan antara bagian dalam dan luar teratasi.

Menariknya, perlakuan ketidakkekalan unsur air ekternal, seperti juga unsur-unsur lainnya, menyatakan tentang penghancuran bumi pada akhir alam semesta, yang secara tegas sekali bukan suatu konsep ketidakkekalan yang “sementara”. Ini memperluas penerapan “eksternal” tidak hanya pada “di sana” tetapi juga “kemudian”, di luar baik ruang dan waktu. Gagasan yang serupa dipertahankan dalam Abhidharma Sarvāstivādin; Dharmaskandha Sarvāstivādin menunjuk pada kehidupan lampau dan masa mendatang. Ini mungkin secara mutlak diturunkan dari Saṁyukta. Kita telah melihat di atas bahwa salah satu kotbah Saṁyukta Sarvāstivāda menambahkan suatu penjelasan editorial setelah penutup yang biasanya. Ini terjadi di tempat lain juga. Salah satu contoh adalah dalam kotbah yang disebut “Pengembangan”.[46] Dalam versi Sarvāstivādin, “pengembangan” menunjuk pada latihan satipaṭṭhāna secara internal dan eksternal. Dilampirkan setelah akhir kotbah ini terdapat kalimat:

Pengembangan dari empat satipaṭṭhāna pada masa lalu dan masa depan juga diajarkan dalam cara ini.

Ini pasti salah satu dari penyisipan sektarian yang paling jelas dalam Āgama. Ini membentuk suatu hubungan yang jelas antara “internal/eksternal” dan “masa lampau/masa depan”.

Di sini kita menemukan suatu aspek yang tidak terelakkan dari pemikiran Buddhis, atau lebih umum pemikiran India, hubungan antara personal dan kosmis. Dalam Upaniṣad ini sangat terkenal diungkapkan dalam identitas Ātman dan Brahman, jiwa individual dan jiwa-dunia yang pada dasarnya sama. Gagasan yang sejajar ditemukan dalam Buddhisme, sebagai contoh, dalam hubungan antara tingkatan jhāna dan perbedaan alam kelahiran kembali yang dihasilkannya. Salah satu dari penjelasan yang paling jelas dari hal ini adalah oleh Yang Mulia Anuruddha:

“Misalkan sebuah pelita minyak dibakar dengan sumbu yang tidak murni; karena ketidakmurnian minyak dan sumbunya ia terbakar dengan suram. Demikian pula, ketika seorang bhikkhu bertekad dan meliputi cahaya yang terkotori gangguan tubuhnya belum sepenuhnya diredakan, kelambanan dan kemalasannya belum sepenuhnya dilenyapkan, kegelisahan dan penyesalannya belum sepenuhnya dihancurkan. Karena hal ini ia berlatih jhāna, secara kebetulan, dengan suram. Dengan hancurnya tubuh, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kumpulan Para Dewa dengan Cahaya yang Terkotori.”[47]

Peter Masefield telah membahas hal ini dalam teks-teks Buddhis dan Upaniṣad dan mengatakan bahwa penggunaan “internal” (ajjhattaṁ) adalah identik dalam kedua konteks, sedangkan penggunaan Buddhis atas “eksternal” (bahiddhā) mencakup baik “kosmis” (adhidaivataṁ) dan “objektif” (adhibhūtaṁ) dari Upaniṣad.[48]

Petunjuk menarik lainnya untuk makna internal/eksternal adalah dalam pengungkapan perenungan pikiran dalam Satipaṭṭhāna Sutta: “Seseorang memahami pikiran dengan nafsu sebagai ‘pikiran dengan nafsu’...’ dst. Pengungkapan ini identik dengan kekuatan batin membaca pikiran; ini juga dihubungkan dengan pengakuan Yang Mulia Anuruddha bahwa dalam pengembangan dirinya sendiri atas kekuatan-kekuatan demikian berkaitan dengan satipaṭṭhāna. Bacaan tentang kekuatan batin muncul seringkali dalam pelatihan bertahap, sedangkan bacaan tentang mengetahui pikiran dalam satipaṭṭhāna muncul hanya sekali. Mengejutkannya, maka bacaan tentang kekuatan batin seharusnya dianggap sebagai konteks sumber dasar.

11. 6 “Jalan yang Menuju Satu”

Akhirnya kita tiba pada slogan satipaṭṭhāna yang paling definitif: ekāyana magga. Asal katanya sederhana: eka berarti “satu”; ayana berarti “menuju”; dan magga berarti “jalan”.[49] Tetapi penafsiran yang lebih lanjut adalah sulit karena: kata eka digunakan dalam banyak pengertian yang berbeda; dan penggunaan idiomatis dari ungkapan itu sedikit dan/atau samar-samar. Para komentator memberikan banyak penafsiran yang berbeda-beda yang tidak akan saya ulangi di sini, karena mereka sudah sering diulang sebelumnya.[50] Para komentator cenderung memperluas makna, yang sebenarnya tidak masalah – khususnya ketika digunakan, seperti yang sering muncul sebagai kehendak, sebagai bahan mentah untuk pengajaran oral – tetapi ini tidak sangat berguna untuk menjabarkan makna harfiahnya setepat mungkin. Suatu akibat yang disayangkan dari ketidakjelasan demikian adalah bahwa istilah-istilah dapat dirampas untuk tujuan yang bersifat polemik. Terjemahan dari ekāyana sebagai “satu-satunya jalan tunggal” mengatakan kepada kita tentang kecondongan penerjemah daripada tentang makna Pali-nya.

Terjemahan Mandarin hanya menegaskan bahwa para penerjemah Cina juga tidak yakin: Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda memiliki “terdapat satu jalan” (有一道); SA memiliki “jalan satu kereta” (一乘道 = eka + yāna; tampaknya sang penerjemah menggunakan istilah Mahāyāna yang lebih familiar ini); SA2 102 memiliki “terdapat hanya satu jalan” (唯有一道); sedangkan Ekāyana Sūtra Mahāsaṅghika memiliki “terdapat satu jalan masuk” (有一入道 = eka + āyatana). Ketidakpastian dari terjemahan tradisional menyatakan bahwa istilah itu berasal dari suatu konteks di mana para penulis yang belakangan tidak familiar dengannya. Dalam tradisi Theravāda, tidaknya mengherankan menemukan para komentator yang berusaha menjelaskan istilah-istilah dan gagasan-gagasan yang melekat dengan erat pada latar belakang budaya India.

Gethin memasukkan suatu pembahasan yang menarik.[51] Ia memperhatikan berbagai upaya untuk menyelesaikan sebuah definisi konkrit untuk istilah yang demikian, yang sejak awal tampaknya mengandung makna spiritual/mistik, dan digunakan dalam berbagai pengertian dalam kitab-kitab Brahmanis. Chāndogya Upaniṣad mendaftarkan “Ekāyana” sebagai suatu teks Brahmanis kuno, yang menurut komentator berhubungan dengan nītiśāstra, “etika-etika sosial” atau “ketatanegaraan”; mungkin gagasannya di sini adalah suatu kebijakan sosial yang membawa pada suatu masyarakat yang bersatu. Gethin mencatat bahwa konteks non-Buddhis untuk ekāyana menyatakan dua kelompok makna: jalan “tersendiri” atau “tunggal”; dan suatu jalan yang membawa pada yang satu, suatu titik pertemuan. “Jalan tunggal” diterima oleh para komentator, tetapi seseorang dapat bertanya apakah ini suatu penafsiran yang tepat, dari sudut pandang beberapa teks dari Saṁyutta yang menganjurkan seseorang untuk mengembangkan satipaṭṭhāna demi manfaat orang lain. Lebih jauh, makna ini selalu muncul dalam konteks harfiah, bukan dengan suatu arti penting yang diturunkan yang sesuai untuk meditasi. Terlebih lagi, hanya makna kedua, yang juga mendapatkan dukungan komentar, secara eksplisit ditemukan di tempat lain dalam Nikāya-Nikāya awal.

Konteks ini, yang ditemukan dalam Majjhima Nikāya, menyatakan suatu makna dari “membawa ke satu tempat saja”.[52] Sejak Ñāṇamoli, para penerjemah seperti Bhikkhu Bodhi telah bergantung pada makna ini sebagai satu-satunya makna kontekstual langsung yang tersedia dalam bahasa Pali, dan telah menerjemahkan istilah itu sebagai “jalan langsung” atau “jalan satu arah”. Walaupun penafsiran ini adalah suatu peningkatan yang nyata atas polemic “satu-satunya jalan tunggal”, ini tidak menangkap sepenuhnya istilah itu. Ini berasal dari suatu konteks harfiah yang tidak ada hubungannya dengan meditasi, dan memerlukan penilaian sehubungan dengan penggunaan filosofis/meditatif, yang lebih relevan dalam satipaṭṭhāna. Karena penggunaan Brahmanis atas istilah ini mencakup sekumpulan makna yang luas, tidak ada alasan untuk menganggap istilah Pali bermakna hal yang sama dalam konteks yang berbeda. Maka adalah penting untuk menyelidiki referensi-referensi Brahmanis lebih dekat. Kita mulai dengan menanyakan: seberapa relevankah konteks Brahmanis di sini?

Sebelum kita dapat menjawab pertanyaan ini dengan jelas, kita perlu untuk membereskan kemunculan-kemunculan ungkapan itu dalam Saṁyutta-Saṁyutta yang ada. Untungnya, teks-teks yang berhubungan muncul tidak hanya dalam dua Saṁyutta yang lengkap, tetapi juga dua Saṁyutta yang sebagian. Semua versi-versi yang ada mengikuti ungkapan ekāyana dengan mengatakan ini adalah “untuk pemurnian makhluk-makhluk...” dan seterusnya. Kebanyakan dari versi-versi yang masih ada menempatkan pernyataan itu dalam periode tak lama setelah pencerahan Sang Buddha, ketika Sang Buddha merenungkan satipaṭṭhāna sebagai ekāyana magga.[53] Terdapat tiga versi bacaan ini dalam berbagai versi Saṁyukta Āgama dalam bahasa Mandarin.[54] Semua ini ditempatkan dalam Sagāthāvagga karena kemunculan syair-syairnya.

Versi-versi ini, yang dimungkinkan masalah terjemahan, adalah sangat dekat, kecuali SA3 yang memiliki lebih sedikit syair. Mereka semua mengikuti bacaan ekāyana dengan mengatakan bahwa seseorang yang tanpa empat satipaṭṭhāna adalah tanpa Dhamma yang mulia, seseorang yang tanpa Dhamma yang mulia adalah tanpa jalan mulia, dan seseorang yang tanpa jalan mulia adalah tanpa keabadian; tetapi jika seseorang dengan empat satipaṭṭhāna, maka semua kebalikannya berlaku. Kemudian Brahmā, yang memahami pemikiran dalam pikiran Sang Buddha, lenyap dari alam Brahmā dan muncul kembali di hadapan Sang Buddha. Ia menyetujui pemikiran Sang Buddha, mengulanginya, dan menambahkan syair-syair untuk memuji jalan ekāyana itu. Versi Mandarin memiliki beberapa gambaran yang indah, dengan dua darinya mengatakan jalan itu seperti “sebuah sungai yang mengalir menuju lautan embun yang manis” (“embun yang manis” adalah terjemahan standar Mandarin untuk “keabadian”).[55] Jadi kita memiliki tiga komponen tekstual: bacaan ekāyana; bacaan “tanpa”; dan syair-syair. Bacaan “ekāyana” dan “tanpa” berasal dari Sang Buddha dan diulangi oleh Brahmā, sedangkan syair-syair berasal dari Brahmā saja.

Dua dari versi Pali sangat mirip, perbedaan utamanya bahwa mereka tidak memiliki bacaan “tanpa”, dan syair-syairnya lebih pendek.[56] Ciri khas ini suatu variasi yang unik dalam perikop satipaṭṭhāna; alih-alih kalimat yang biasa “seorang bhikhu berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh” (bhikkhu kāye kāyānupassī viharati...) kita memiliki “seharusnya seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh” (kāye vā bhikkhu kāyānupassī vihareyya...). Dengan kata lain, ragam bahasanya berubah menjadi bentuk optatif, agaknya karena pada waktu kata-kata ini diucapkan belum ada bhikkhu. Walaupun ini adalah geyya, mereka berada dalam Satipaṭṭhāna-saṁyutta Theravāda; kenyataan bahwa semua versi Mandarin berada dalam Sagāthāvagga membuat kita mencurigai tradisi Pali mengubahnya pada suatu masa yang belakangan.

Versi Mandarin memiliki bacaan yang serupa, tetapi ia berada dalam Anuruddha-saṁyutta. Di sini Yang Mulia Anuruddha mengambil peran Sang Buddha, merenungkan dalam pengasingan diri tentang empat satipaṭṭhāna sebagai jalan ekāyana – seseorang tanpa hal-hal ini adalah tanpa Dhamma yang mulia, dan seterusnya, semuanya seperti dalam versi Sagāthāvagga. Yang Mulia Mahā Moggallāna berperan sebagai Brahmā, membaca pikiran Anuruddha, lenyap dan “secepat seorang yang kuat membengkokkan lengannya” muncul kembali di hadapan Anuruddha, menyetujui dan mengulangi pemikirannya. Sebagai ganti syair-syair, Moggallāna bertanya kepada Anuruddha bagaimana seseorang berbahagia dalam empat satipaṭṭhāna. Anuruddha menjawab dengan perikop yang biasanya, tetapi menambahkan “dengan penenangan, mengembangkan kesatuan pikiran”.[57] Ini menyatakan kembali dalam ungkapan psikologis apa yang dinyatakan Sagāthāvagga dalam ungkapan mitos, karena Brahmā mencapai kedudukan mulia dan kekuatan khususnya melalui praktek jhāna.

Teks yang didaftarkan sebagai yang asalnya sama oleh Akanuma di sini, SN 52.1, tidak berbagi ciri khusus apa pun dari teks ini kecuali untuk latarnya. Alih-alih, ia menyebutkan pengulangan internal/eksternal, pengulangan muncul dan lenyapnya, dan melihat yang menjijikkan di dalam yang indah (dst.). Dengan demikian ia menggantikan penekanan samādhi dari versi Sarvāstivāda dengan vipassanā.

Maka terdapat suatu kesatuan yang kuat dalam penyajian bacaan ekāyana yang telah kita lihat sejauh ini. Dua unit ajaran utama (“ekāyana” dan “tanpa”) muncul bersamaan dalam semua versi Mandarin, dan selalu dalam konteks yang menyatakan kekuatan batin dan samādhi. Bacaan-bacaan yang bersifat ajaran juga muncul dalam Smṛtyupasthāna-saṁyukta Sarvāstivāda. SA 607 menyajikan bacaan ekāyana sebagai sebuah sutta sederhana di Sāvatthī, sedangkan sutta berikutnya, SA 608, menyajikan bacaan “tanpa”. Dengan demikian kotbah Sagāthāvagga yang awal mula diambil, dipotong pada latar khususnya dan dipecah menjadi dua kotbah untuk dimasukkan ke dalam Smṛtyupasthāna-saṁyukta.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #49 on: 25 September 2014, 08:17:14 PM »
Versi Pali telah melangkah satu langkah lebih jauh. Sekarang, bacaan ekāyana muncul dalam kotbah pertama dari kumpulan itu. Awal sebuah kumpulan adalah selalu secara khusus rentan pada urusan lucu editorial, karena ini sangat mudah memasukkan ke dalam sebuah kotbah baru. Mungkin kata “satu” menyatakan penempatan kotbah ini di sini. Latarnya diberikan di Hutan Mangga Ambapālī. Ini tidak masuk akal, karena latar ini berhubungan dengan bacaan yang relevan dalam Mahā Parinibbāna Sutta, dan di sana tidak ada tanda dalam versi-versi dari ini yang ada bacaan ekāyana-nya di sini. Alih-alih, mereka memiliki Sang Buddha menganjurkan para bhikkhu agar perhatian penuh karena Ambapālī sedang datang. Bacaan ini adalah teks kedua dari Satipaṭṭhāna-saṁyutta Theravāda, yang segera setelah kotbah ekāyana. Dengan demikian kotbah ekāyana telah menyalin dengan salah latar dari kotbah berikutnya.

Ini menguatkan gagasan bahwa kotbah ekāyana adalah suatu penyisipan yang berurutan pada awal kumpulan itu. Jika ini telah ditempatkan belakang pada kumpulan itu, sama seperti halnya dalam Sarvāstivāda, segera setelah latar awal mula hilang ia akan dianggap bahwa latarnya adalah di Sāvatthī. Tetapi ini, seperti yang seringkali terjadi, mungkin dibiarkan implisit dan tidak secara harfiah digantikan. Dengan demikian ketika kotbah itu dipotong dan ditempelkan ke dalam awal kumpulan, ia tidak memiliki suatu latar yang sesungguhnya, dan hanya disisipkan setelah latar dari kotbah pertama sebelumnya, yang menjadi urutan kedua.

Bacaan “tanpa” sama problematisnya. Tidak ada bacaan yang bersesuaian sesungguhnya dalam Theravāda, tetapi mungkin SN 47.33 “Diabaikan” adalah sama asalnya. Namun, ini hanya mengatakan seseorang yang telah mengabaikan satipaṭṭhāna telah mengabaikan jalan menuju akhir penderitaan (dan sebaliknya), tanpa rangkaian progresif dari Dhamma yang ditemukan dalam kelima versi Mandarin. Jika ini memang berasal dari satu sumber, maka ia telah mengalami kelenyapan.

Secara ringkas: bacaan ekāyana biasanya muncul dalam konteks Brahmanis. Ini terbukti dalam semua versi Saṁyutta yang ada. Ini menonjolkan Brahmā dalam suatu latar yang sama dengan “Permohonan Brahmā”, di mana GIST mengidentifikasinya sebagai teks dasar dari aṅga geyya. Versi lainnya muncul sebagai turunan dari penggunaan ini. Semakin jauh teks itu menyimpang dari versi standar, semakin besar jumlah masalah pengeditan/tekstul yang muncul. Kesimpulan dari semua ini adalah sangat sederhana: istilah ekāyana berhubungan terutama, jika bukan secara eksklusif, dengan konteks Brahmanis.

Marilah melihat pada masalah ini dari perspektif kebalikannya: apakah konteks di mana istilah ekāyana muncul dalam kitab-kitab Brahmanis menyatakan suatu hubungan dengan Buddhisme? Bacaan kunci terdapat dalam Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad. Kita telah menyatakan bahwa Bṛhadāraṇyaka adalah Upaniṣad yang tertua dan paling penting. Bacaan ini khususnya sangat terkenal, mungkin percakapan yang paling penting dalam keseluruhan tradisi Upaniṣad. Gethin telah menunjuk pada sumber ini, tetapi perlakuan ringkasnya tidak membawa keluar nilai penting sepenuhnya.[58] Bacaan yang relevan muncul dua kali dalam Upaniṣad. Adakalanya pembacaannya berbeda; pada umumnya saya mengikuti kemunculan pertama.[59]

1. “Maitreyī”, kata Yājñavalkya, “Aku akan meninggalkan keadaan (berumah tangga) ini. Lihatlah, biarlah aku membuat penyelesaian akhir antara kamu dan [istri lainku] Kātyāyanī.”
2. Kemudian Maitreyī berkata: “Sesungguhnya jika, Yang Mulia, seluruh bumi yang dipenuhi dengan kekayaan adalah milikku, apakah itu akan membuatku abadi?” “Tidak,” kata Yājñavalkya, “Kehidupanmu akan seperti kehidupan orang kaya. Tetapi tidak ada harapan keabadian melalui kekayaan.”
3. Kemudian Maitreyī berkata: “Apakah yang seharusnya aku lakukan di mana aku tidak akan mati? Katakan padaku, Tuan, apa yang engkau ketahui.”
4. Kemudian Yājñavalkya berkata: “Ah, sayangku, engkau telah sangat disayangi, dan sekarang engkau mengatakan kata-kata yang mesra. Datanglah, duduk, aku akan menjelaskan kepadamu. Renungkan apa yang kukatakan.”
5. Kemudian ia mengatakan: “Sesungguhnya, bukan demi kepentingan suami sang suami disayangi, tetapi demi kepentingan Diri. Bukan demi kepentingan istri... anak-anak... kekayaan... sifat Brahman... sifat Kṣatriya... dunia-dunia... para dewa... para makhluk... bukan demi kepentingan semua maka semuanya disayangi, tetapi semua disayangi demi kepentingan Diri. Sesungguhnya, Maitreyī, adalah Diri yang harus dilihat, didengar, dipikirkan, dan direnungkan. Dengan melihat, mendengar, memikirkan; dan memahami Diri, semua ini diketahui.”
6. “Brahman mengabaikan seseorang yang mengetahuinya sebagai yang berbeda dari Diri. Kṣatriya... dunia-dunia... para dewa... para makhluk... semua mengabaikan ia yang mengetahuinya sebagai yang berbeda dari Diri. Brahman ini, Kṣatriya ini, dunia-dunia ini, para dewa ini, para makhluk ini, dan ini semua adalah Diri ini.”
7, 8, 9. “Seperti ketika sebuah genderang dipukul... kulit kerang ditiup... sebuah kecapi dimainkan, seseorang tidak dapat menggenggam suara-suara luar, tetapi dengan menggenggam kecapi atau pemain kecapi, suaranya tergenggam.”
10. “Seperti dari api menyala yang diletakkan dengan bahan bakar yang basah berbagai asap keluar darinya, demikian juga, sayangku, Ṛg Veda, Sāman Veda, Yajur Veda, Ātharva, Aṅgirasa, sejarah-sejarah, legenda-legenda, ilmu pengetahuan, Upaniṣad, syair-syair, sūtra-sūtra, penjelasan-penjelasan, dan komentar-komentar semuanya dihembuskan dari ini.
11. “Seperti lautan adalah pertemuan (ekāyana) dari semua air, seperti kulit adalah pertemuan dari semua sentuhan, seperti hidung adalah pertemuan dari semua bau, seperti lidah adalah pertemuan dari semua rasa, seperti mata adalah pertemuan dari semua bentuk, seperti telinga adalah pertemuan dari semua suara, seperti pikiran adalah pertemuan dari semua pemikiran (samkalpa), seperti hati adalah pertemuan dari semua realisasi (vidya), seperti tangan adalah pertemuan dari semua perbuatan, seperti alat kelamin adalah pertemuan dari kesenangan, seperti anus adalah pertemuan dari semua pengeluaran kotoran, seperti kaki adalah pertemuan dari semua pergerakan, seperti kotbah adalah pertemuan dari semua Veda.”
12. Seperti halnya sebongkah garam yang dilemparkan ke dalam air menjadi larut di dalam air dan tidak ada yang dapat digenggam dengan tangan, tetapi apa pun yang engkau dapat rasakan adalah rasa asin; demikian juga makhluk agung ini, tidak terbatas, dengan tiada yang melampauinya, adalah hanya sekumpulan kesadaran (vijñāna-ghana eva). Setelah muncul dari unsur-unsur ini, seseorang lenyap kembali ke dalamnya. Ketika meninggal dunia, tidak lebih dari persepsi (saṁjñā) semata. Inilah apa yang kukatakan, sayangku.” Demikianlah perkataan Yājñavalkya.
13. Kemudian berkatalah Maitreyī: “Dalam hal ini, sesungguhnya, engkau telah membingungkanku, Yang Mulia, dengan mengatakan bahwa ‘ketika meninggal dunia, tidak lebih dari persepsi semata’.” Kemudian Yājñavalkya berkata: “Tentu saja aku tidak mengatakan apa pun yang membingungkan. Ini cukup untuk pemahaman.”
14. “Karena di mana terdapat dualitas, seolah-olah, terdapat seseorang yang mencium bau orang lain, seseorang melihat orang lain, seseorang mendengar orang lain, seseorang memanggil orang lain, seseorang berpikir tentang orang lain, seseorang mengetahui orang lain. Tetapi ketika Semua menjadi identik dengan Diri, maka dengan apa dan siapakah yang dicium baunya oleh seseorang... dilihat... didengar... dibicarakan... dipikirkan... dengan apa dan siapakah yang diketahui seseorang? Itu di mana semua ini diketahui, dengan apa itu diketahui? Dengan apa, sayangku, seseorang seharusnya mengetahui sang pengetahu itu?”[60]

Masa pertapa agung Yājñavalkya tidak lama sebelum Sang Buddha. Ahli tata bahasa Brahmanis Kātyāyana, yang mengomentari Pāṇini, mengatakan bahwa kitab-kitab Yājñavalkya “berasal dari masa yang sangat baru; itu untuk mengatakan, mereka hampir sezaman dengan kita sendiri”[61]. Pāṇini hidup tidak lebih awal dari abad ke-4 SM, dan Kātyāyana masih lebih belakangan; dengan kata lain, mereka lebih belakangan daripada Sang Buddha, tetapi “hampir sezaman” dengan Yājñavalkya. Jadi Yājñavalkya mungkin satu atau dua generasi sebelum Sang Buddha. Kenyataannya, teman bicara favorit Yājñavalkya adalah Raja Janaka, seorang tokoh historis yang disebutkan dalam Jataka, yang kotanya masih disebut “Janakpur” saat ini. Ia adalah seorang raja di wilayah Mithila beberapa generasi sebelum Sang Buddha. Jadi ajaran-ajaran Yājñavalkya merupakan bagian dari konteks religius yang dekat dengan Sang Buddha.

Lebih jauh lagi, hampir setiap aspek dari percakapan klasik ini memiliki hubungan yang dekat dengan Sutta-Sutta, dengan pengecualian yang jelas tentang ajaran “Diri” yang bersifat metafisik. Aspirasi Yājñavalkya untuk meninggalkan keduniawian (1) mengingkari pengaruh dari tradisi samana seperti Buddhisme. Sentimen kesia-siaan dari kekayaan di hadapan kematian (2, 3) adalah Buddhisme klasik, tetapi asing bagi tradisi Veda yang lebih tua. Pernyataan bahwa suami, dst., disayangi untuk kepentingan Diri (5) mirip dengan sebuah bacaan dalam Sagāthāvagga.[62] Daftar tentang yang dilihat, didengar, dipikirkan, dan diketahui (5) disajikan dengan cara yang sama di dalam Sutta-Sutta.[63] Daftar berbagai prinsip yang memuncak pada “semua” (5, 6) menyerupai Mūlapariyāya Sutta, sebuah teks di mana komentar menghubungkannya dengan Brahmanisme. [64] Perumpamaan genderang, kulit kerang, dan kecapi (7, 8, 9) semua muncul dalam Sutta-Sutta. Perumpamaan kulit kerang[65] dan kecapi,[66] khususnya, diperlakukan dalam cara yang sangat mirip: suara terjadi dari bagian-bagian yang muncul bersamaan dan upaya yang sesuai dan tidak dapat ditangkap dari ia sendiri. Gambaran sungai yang mengalir ke dalam lautan (11) muncul dalam Kāyagatāsati Sutta, dan bahkan lebih mengejutkan, muncul dalam syair-syair yang menyertai bacaan ekāyana dalam dua teks dari versi Mandarin. Perumpamaan garam (12) seperti perkataan Sang Buddha lautan besar hanya memiliki satu rasa, rasa garam, demikian juga Dhamma-Vinaya memiliki rasa pembebasan.[67] Penggambaran kognisi sebagai tidak terbatas (12) muncul dalam rumusan standar pencapaian tidak berbentuk. Kebingungan dari seseorang yang berusaha menangkap keadaan mendalam dari orang suci yang telah mencapai realisasi setelah kematian setelah kematian (13) juga muncul dalam Sutta-Sutta, dalam istilah-istilah yang serupa.[68]

Versi kedua dari percakapan ini mengatakan pengungkapan yang memuncak dari Diri dengan sedikit berbeda: “tanpa internal atau eksternal, hanya suatu keseluruhan kumpulan pemahaman (anantaro’bāhyaḥ, kṛtsnaḥ prajñānaghana eva[69]). Internal/eksternal mengingatkan kita pada satipaṭṭhāna. Kṛtsnaḥ adalah kasiṇa dalam bahasa Pali, sebuah istilah meditasi yang terkenal di mana bagi Sutta-Sutta bermakna bukan sebagai “alat eksternal untuk meditasi” (seperti maknanya dalam tradisi yang belakangan), tetapi “keseluruhan” [dari kesadaran dalam samādhi], seperti halnya di sini. Walaupun Pali-English Dictionary mengatakan asal kata kasiṇa tidak diketahui, asal kata dan makna ini telah diambil dalam A Dictionary of Pali yang terbaru oleh Cone, dan juga bersesuaian dengan terjemahan Mandarin. Penjelasan standar Sutta atas kasiṇa adalah “di atas, di bawah, melampaui, tanpa dualitas, tidak terukur”, yang sekali lagi mengingatkan kita pada bacaan Upaniṣad. Versi ini menggantikan prajñāna dengan vijñāna (kesadaran) dari versi pertama; sedangkan ini biasanya dibedakan dalam Buddhisme, keduanya sering disinonimkan dalam Upaniṣad, dan sisa-sisa dari ini tertinggal dalam Sutta-Sutta juga.

Seperti halnya penggunaan utama ekāyana dalam Sutta-Sutta merujuk pada konteks Brahmanis, penggunaan utama ekāyana dalam Upaniṣad merujuk pada konteks Buddhis.

Pesan Yājñavalkya adalah kembali ke Yang Satu. Semua keberagaman dilemahkan dan direlatifkan. Penggunaan yang berulang-ulang, yang tegas atas ekāyana membawa pulang sentralitas dari ajaran Kesatuan ini. Suatu ekāyana adalah sumber di mana hal-hal dari dunia muncul, dan tempat pertemuan di mana keberagaman fenomena luar muncul bersama dalam suatu penyatuan yang mendalam. Adalah subjek internal yang membuat objek luar mungkin. Dan inilah tepatnya istilah ekāyana yang dipilih sebagai ungkapan yang paling tepat dari pengetahuan mendalam ini. Syair ini muncul segera sebelum pengungkapan dramatis bahwa “makhluk agung ini”, diri kosmis yang adalah Semua, tak lain adalah “hanya sekumpulan kesadaran”. Dalam kesadaran yang tidak terbatas ini konsepsi dan persepsi (saṁjñā) yang terbatas dan membuat perbedaan-perbedaan lenyap.

Penggunaan filosofis dari ekāyana di tempat lain mendukung pembacaan ini.

“Pikiran (citta) adalah pertemuan (ekāyana) dari semua ini, pikiran adalah diri (ātman), pikiran adalah landasan (pratiṣṭha).” (CU 7.5.2)

“Ia yang menekuni pertemuan (ekāyana), dalam kesunyian, tidak berpikir tentang apa pun, setelah sebelumnya meninggalkan, akan menjadi seseorang yang telah menyeberang dan bebas dari rintangan-rintangan.” (MBh 14.19.1)

Bacaan pertama menyatakan bahwa “pertemuan” memasukkan keadaan penyatuan dalam samādhi. Istilah itu bernada Buddhis; tidak kurang dari tiga kata dalam syair pendek ini (citta, ekāyana, pratiṣṭha) digunakan dalam konteks satipaṭṭhāna. Bacaan kedua telah membingungkan para komentator,[70]  tetapi pastinya suatu konteks samādhi juga disiratkan.

Arti penting spiritual dari ekāyana bagi tradisi Brahmanis adalah pertemuan pikiran dalam samādhi. Ini sesuai dengan asal katanya. Akhiran -ayana bermakna harfiah “menuju”, dan ketika digunakan dalam suatu kata majemuk ia berarti “menuju” ke mana pun suku kata pertama dari kata majemuk itu berada. Sebagai contoh,  Brahmā Purāṇa mengatakan bahwa Tuhan pertama kali menciptakan air yang disebut nara dan kemudian ia melepaskan benih-benih-Nya ke dalam air tersebut, oleh sebab itu ia disebut “Narāyana”. Lebih dekat dengan rumah, Pārāyana Vagga mengatakan: “Jalan ini menuju yang melampaui (pāra); oleh sebab itu ia disebut ‘Pārāyana’.” Jadi ekāyana berarti “menuju yang satu”. Inilah makna utama di mana Gethin menyimpulkannya, yang adalah yang terakhir dari pembacaan komentar (ekaṁ ayati).

Pertanyaannya kemudian menjadi, apakah makna “satu” itu dalam konteks Buddhis? Gethin menyatakan, dengan dukungan komentar Pali, bahwa “satu” menunjuk pada Nibbana. Ia mengatakan bahwa istilah “satu” di sini tidak perlu membawa makna metafisik absolutis dalam Nikāya-Nikāya. Sub-komentar mendukung hal ini dengan menjelaskan “satu” di sini sebagai “tanpa sesuatu yang kedua” dan “yang tertinggi”. Tetapi “satu” merupakan suatu istilah metafisik sepenuhnya bagi keseluruhan tradisi Brahmanis sejak Ṛg Veda mengatakan tentang “Makhluk Yang Satu”, dan dengan demikian Sutta-Sutta dengan hati-hati menghindari menggunakan “satu” untuk menunjuk pada Nibbana. Namun, Sutta-Sutta sangat gembira menggunakan “satu” untuk menunjuk pada samādhi. Lebih jauh penggunaan yang paling umum dan bersifat idiomatis dari “satu” dalam kosakata meditasi Sutta-Sutta adalah istilah “keterpusatan” (ekaggatā) dan “penyatuan” (ekodibhāva), yang merupakan sinonim standar dari jhāna atau samādhi. Ini adalah satu-satunya makna di mana “satu” digunakan dalam Satipaṭṭhāna-saṁyutta, dan kita telah melihat sebuah kotbah di mana Yang Mulia Anuruddha menghubungkan erat bacaan ekāyana dengan pengembangan “kesatuan pikiran” melalui satipaṭṭhāna.

Karena tujuan satipaṭṭhāna adalah membawa menuju jhāna, makna kontekstual dari ekāyana pastilah “membawa pada penyatuan (pikiran)”. Ini tepatnya penjelasan yang diberikan oleh Ekāyana Sūtra Mahāsaṅghika:

“Mengapa ia disebut ‘satu jalan masuk’? Ia disebut demikian karena ia adalah [jalan menuju] konsentrasi dan kesatuan pikiran.”[71]

Ungkapan Mandarin yang saya terjemahkan sebagai “kesatuan pikiran” di sini identik dengan ungkapan dalam kotbah Anuruddha tentang jalan ekāyana. Walaupun Ekāyana Sūtra agak belakangan daripada Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda dan Sarvāstivāda, pernyataan ini adalah definisi jelas yang paling awal dari ungkapan ini.

Penjelasan ini juga akan melengkapi jawaban pada pertanyaan mengapa Sutta-Sutta mencadangkan istilah ekāyana untuk satipaṭṭhāna saja di antara 37 sayap menuju pencerahan. Walaupun semua kelompok berhubungan satu sama lainnya dengan samādhi atau keterpusatan, satipaṭṭhāna dipilih sebagai yang memainkan peranan kunci membawa pikiran menuju samādhi.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #50 on: 25 September 2014, 08:28:38 PM »
11.7 “Mencapai Sang Jalan”

Pernyataan tentang “jalan yang membawa pada penyatuan” diikuti, dalam Satipaṭṭhāna Sutta, dengan pernyataan bahwa ini adalah: “Untuk pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratap tangis, untuk mengakhiri penderitaan jasmani dan batin, untuk mencapai sang jalan, untuk merealisasi Nibbana”. Kebanyakan dari ungkapan ini cukup jelas, tetapi ungkapan “mencapai sang jalan” (ñāyassa adhigamāya) adalah samar-samar, dalam bahasa Pali dan juga bahasa Inggris. Istilah ñāya kadangkala digunakan dalam konteks kemunculan bergantungan, dan beberapa telah melihat hal ini sebagai maknanya di sini. Ini bukan tidak masuk akal, karena hubungan yang jelas antara satipaṭṭhāna dan kemunculan bergantungan.[72] Namun tidak ada alasan kuat untuk berpikir bahwa ini adalah makna utamanya.

Kemunculan yang paling umum, yang standar dari ñāya adalah dalam rumusan untuk perenungan terhadap Sangha: “Sangha siswa Sang Bhagava telah berlatih dengan baik, berlatih secara langsung, berlatih sesuai dengan sang jalan (ñāya), berlatih dengan benar.” Di sini kita berada dalam ranah praktek, dan ini, alih-alih kemunculan bergantungan, adalah ke mana kita seharusnya mencari makna dari ñāya dari satipaṭṭhāna. Komentar-komentar menjelaskan ñāya di sini sebagai “jalan mulia berunsur delapan”. Terdapat suatu keseluruhan rangkaian teks yang menggunakan kata ñāya dalam konteks praktek, yang tidak menyebutkan kemunculan bergantungan, atau untuk masalah satipaṭṭhāna, walaupun beberapa dari mereka menggunakan perikop yang sama dari “untuk pemurnian makhluk-makhluk…”.[73] Bacaan-bacaan ini berhubungan dengan keseluruhan jalan pelatihan, dan semua mencakup samādhi. Konteks yang paling terperinci terdapat dalam Sandaka Sutta dari Majjhima. Pertama-tama pelatihan bertahap diajarkan, dari kemunculan Sang Tathāgata menuju ditinggalkannya rintangan-rintangan; sampai pada tingkatan ini istilah ñāya tidak digunakan. Kemudian teks melanjutkan:

“Setelah meninggalkan lima rintangan, kekotoran pikiran yang melemahkan pemahaman ini, cukup terasing dari kesenangan indera, terasing dari kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama, yang memiliki awal dan kelangsungan pikiran, dengan kegiuran dan kebahagiaan yang muncul dari pengasingan. Seorang yang terpelajar tentunya akan menjalankan kehidupan suci dengan seorang guru yang di bawahnya seorang siswa mencapai perbedaan yang mulia demikian, dan ketika menjalaninya ia akan mencapai sang jalan (ñāya), Dhamma yang bermanfaat itu.”[74]

Teks melanjutkan dengan jhāna-jhāna yang tersisa dan pengetahuan-pengetahuan yang lebih tinggi yang memuncak pada Kearahantaan, dengan mengulangi kalimat penutupnya masing-masing. Penghubungan ñāya dengan kusala, “bermanfaat”, juga relevan dengan konteks satipaṭṭhāna, karena satipaṭṭhāna dalam konteks pengembangan samādhi dikatakan “untuk mencapai yang bermanfaat” (kusalassadhigamāya), sama seperti ia dikatakan “untuk mencapai sang jalan”.[75] Dengan demikian ñāya dihubungkan dengan jalan progresif latihan secara umum, dan samādhi atau jhāna secara khusus.

11.8 Aṅguttara

Adalah tempat yang tepat untuk menyelidiki bahan satipaṭṭhāna yang ditemukan dalam Aṅguttara Nikāya yang ada. Di sini kita menemukan sedikit bahan tentang satipaṭṭhāna.[76] Ini tidak mengejutkan, karena Saṁyutta dan Aṅguttara merupakan kumpulan yang saling melengkapi dari kotbah-kotbah yang lebih pendek, dan ajaran-ajaran utama kebanyakan dimasukan dalam Saṁyutta. Satipaṭṭhāna muncul dalam Aṅguttara bersama dengan kelompok-kelompok lainnya dari 37 sayap menuju pencerahan dalam berbagai rangkaian yang berulang yang ditambahkan pada beberapa bagian. Satu bacaan menyebutkan enam hal yang harus ditinggalkan untuk mencapai keberhasilan dalam satipaṭṭhāna: kegemaran dalam bekerja, berbicara, tidur, dan berteman; tidak memiliki pengendalian indera; dan makan terlalu banyak.[77] Ini serupa dengan pelatihan bertahap, dan seperti dalam pelatihan bertahap, latihan-latihan ini mempersiapkan seseorang untuk pengembangan meditatif dari satipaṭṭhāna. Perenungan di sini diperlakukan sebagai internal dan eksternal.

Kotbah Aṅguttara satu-satunya yang penting tentang satipaṭṭhāna memperlakukannya murni sebagai samatha.[78] Ini memiliki penampilan sebuah kotbah dari Satipaṭṭhāna Saṁyutta, dan GIST menyatakan bahwa ini mulanya dimasukkan dalam kumpulan itu dan kemudian dipindahkan ke dalam Aṅguttara untuk menyediakan para siswa Aṅguttara dengan setidaknya satu ajaran penting tentang topik yang penting demikian. Kotbah ini tidak ditemukan dalam Saṁyukta Sarvāstivādin, ataupun, tampaknya, di tempat lain dalam teks Mandarin. Seseorang dianjurkan pertama sekali untuk mengembangkan empat kediaman luhur, kemudian mengembangkan “samādhi itu” dengan cara semua jhāna. Berikutnya seseorang, dalam istilah yang identik, dianjurkan untuk mengembangkan empat satipaṭṭhāna, dan mengembangkan “samādhi itu” dengan cara jhāna-jhāna.

Terdapat teks yang menarik lainnya, di mana, walaupun ia tidak berhubungan dengan satipaṭṭhāna secara langsung, cukup mirip dalam pokok bahasan dan peristilahannya untuk menyatakan bahwa ia mempengaruhi pemaparan yang belakangan. Yang Mulia Ānanda memberikan daftar lima “landasan untuk perenungan” (anussatiṭṭhāna; perhatikan kemiripannya dengan satipaṭṭhāna).[79] Lima hal itu adalah: tiga jhāna yang pertama; persepsi cahaya; 31 bagian tubuh; perenungan terhadap kematian; dan jhāna keempat. Pada hal ini Sang Buddha menambahkan yang keenam – perhatian terhadap posisi tubuh seseorang. Ini jelas dekat dengan bagian Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda tentang perenungan terhadap tubuh. Mereka bahkan lebih dekat dengan Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda, yang memasukkan dalam bagiannya tentang perenungan tubuh keempat jhāna dan persepsi cahaya. Mungkin Sarvāstivāda dipengaruhi oleh teks yang saat ini. Kenyataan bahwa Sang Buddha menambahkan kewaspadaan terhadap posisi tubuh sebagai sebuah latihan tambahan menyatakan bahwa ini berdiri di luar latihan meditatif yang lain, yang lebih khusus. Ini adalah karakteristik Sang Buddha dalam kasus yang demikian untuk memusatkan perhatian pada sebab.[80] Dengan demikian beliau menekankan kewaspadaan terhadap posisi tubuh untuk mendorong latihan yang akan membawa pada tahapan yang lebih tinggi.

Kotbah pendek lainnya menekankan pada aspek kebijaksanaan dari perhatian walaupun lagi-lagi ini tidak dalam kerangka satipaṭṭhāna.[81] Lima meditasi dianjurkan: seseorang harus “dengan jernih menegakkan perhatian terhadap muncul dan lenyapnya dhamma-dhamma”, dan mengembangkan persepsi terhadap kejijikan dari makanan, keburukan dari tubuh, kejenuhan dengan seluruh dunia, dan ketidakkekalan dari aktivitas-aktivitas. Ini adalah meditasi “pil pahit” yang dirancang untuk mengatasi penolakan batin dan ketakutan kita mengenali sisi kehidupan yang negatif dan tidak menyenangkan. Dalam Aṅguttara “pil pahit” lainya yang memasukkan aspek samatha dan vipassanā, diajarkan lebih sering daripada perenungan terhadap dhamma. “Dhamma” di sini bukan berarti “semua dhamma”, karena tidak semua dhamma tidak kekal; ini memiliki makna yang sama seperti dalam perenungan satipaṭṭhāna terhadap dhamma.

Merangkum ajaran-ajaran tentang satipaṭṭhāna dalam Aṅguttara Nikāya:
1. Satipaṭṭhāna adalah sebuah latihan meditatif yang dikembangkan dalam konteks pelatihan bertahap.
2. Ia dapat berupa suatu cara dari jhāna.
3. Ia harus dikembangkan secara internal dan eksternal.
4. Perhatian terhadap muncul dan lenyapnya dhamma-dhamma adalah salah satu latihan mengembangkan kebijaksanaan.

Catatan Kaki:

[40] SA 610, tetapi bukan SN 47.2 yang asalnya sama.

[41] Iti 3.36. Ini memasukkan ungkapan yang tidak biasa “ajjhattaṁ parimukhaṁ”.

[42] MN 77.23.

[43] DN 18.26.

[44] MN 10.14.

[45] Sn 205.

[46] SN 47.39/SA 610.

[47] MN 127.16.

[48] Masefield. Terima kasih saya kepada penulis yang telah memberikan saya salinan artikel ini.

[49] Komentar Saṁyutta mengatakan: “Ekāyañvayan”ti ekāyano ayaṁ”. Ini hanyalah suatu penyelesaian dari kata majemuk; tetapi hal yang menarik adalah bahwa pembacaan ekāyañvayaṁ berbeda dari Majjhima dan versi-versi lainnya, yang memiliki ekāyano ayam. Sub-komentar menyatakan bahwa ini adalah suatu tradisi dari para pengulang Saṁyutta. Pembacaan ekāyano ayam, telah membuat jalannya yang mudah ke dalam Saṁyutta dalam Tipiṭaka berbahasa Myanmar yang saya pakai – membuat penjelasan komentar tidak masuk akal – tetapi ekāyañvayaṁ dipertahankan dalam beberapa edisi lainnya.

[50] Misalnya MLDB, hal. 1188, catatan 135; Gethin (2001), hal. 60.

[51] Gethin (2001), pp. 59–66.

[52] MN 12.37/T № 757/SA 612*/SA 684*/SA 701*/EA 27.6*/EA 31.8*/EA 46.4*/EA 50.6*/T № 780*/T № 781*/T № 802*/Skt*.

[53] SN 47.18/SA 607/SA 1189/SA2 102/SA3 4.

[54] SA 1189/SA2 102/SA3 4.

[55] SA 1189, SA2 102.

[56] SN 47.18, SN 47.43.

[57] Versi Mandarin sebagian tumpang tindih SN 47.8/SA 616.

[58] Gethin (2001), pg. 61.

[59] Kemunculan kedua menambahkan bahan, khususnya menekankan keabadian dari Diri, dan memasukkan penggambaran yang terkenal dari Diri seperti: “Bukan ini! Bukan ini!”

[60] BU 2.4, 4.5.

[61] Wijesekera, pg. 282.

[62] SN 3.1.8, seperti yang ditunjukkan Bhikkhu Bodhi. Anehnya, ini tidak memiliki kesamaan sumber.

[63] Komentar mengatakan bahwa muta di sini berarti dikenali oleh hidung, lidah, atau tubuh; yaitu, mereka menghubungkan daftar ini dengan enam indera; dengan demikian beberapa penerjemah yang sezaman menerjemahkannya sebagai “yang dirasakan”. Tetapi muta hanyalah sebuah bentuk lampau dari kata normal “berpikir”, dan tidak pernah berarti “yang dirasakan”. Konteks Upaniṣad membuatnya sederhana bahwa maknanya di sini adalah apa yang telah “dipikirkan” atau “dipahami”.

[64] MN 1/MA 106/T № 56.

[65] DN 23.19/DA 7/MA 71/ T № 45.

[66] SN 35.246/SA 1169.

[67] AN 8.157.

[68] MN 72.17/SA 962/SA2 196.

[69] BU 4.5.14.

[70] Lihat Gethin (2001), hal. 62 catatan 142.

[71] 云何名為一入。所謂專一心 (T02, № 125, p. 568, a4–5).

[72] Hubungan antara satipaṭṭhāna  dan kemunculan bergantungan bersifat implisit dalam Samudaya Sutta, yang akan kita bahas di bawah ini, dan dibuat eksplisit dalam Śāriputrābhidharma.

[73] AN 3.75/EA 21.4, AN 4.35, AN 4.194/SA 565, AN 6.26/SA 550, AN 6.30/T № 1536.16, AN 9.37/SA 557.

[74] MN 76.43/SA 973*/SA2 207*.

[75] DN 18.28/DA 4/T № 9.

[76] Tidak ada teks-teks ini ditemukan dalam Ekottara Āgama. Namun ini bernilai kecil mempertimbangkan perbedana yang sangat besar antara kumpulan ini dan Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama lainnya. Ekāyana Sūtra tampaknya satu-satunya kotbah penting dalam Ekottara yang berhubungan dengan satipaṭṭhāna.

[77] AN 6.117ff.

[78] AN 8.63.

[79] AN 6.29.

[80] Cp. MN 32/MA 184, MN 123/MA 78.

[81] AN 5.122.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #51 on: 28 September 2014, 03:37:16 PM »
Bab 12
Saṁyutta

Satipaṭṭhāna-saṁyutta adalah sebuah kumpulan yang kaya, dengan kisah perumpamaan dan kiasan, sekilas pandang ke dalam kehidupan Sangha, yang menginspirasi para meditator awam, yang bersifat humor dan tragedy, dan sebuah unsur naratif yang kuat. Beberapa teks menerangi satipaṭṭhāna melampaui rumusan dasar; tetapi tanpa analisis terperinci. Kita akan menganalisa struktur dan isi dari kumpulan ini kemudian melihat pada beberapa saṁyutta yang berkaitan yang juga menonjolkan satipaṭṭhāna.

11.2 Satipaṭṭhāna-saṁyutta

Satipaṭṭhāna-saṁyutta Theravāda mengandung lima bab (vagga) yang persisnya terdiri dari sepuluh kotbah masing-masing, yang diikuti oleh “Rangkaian Pengulangan Sungai Gangga” yang tidak dapat dihindari. Untuk memulai, marilah mengelompokkan teks-teks ke dalam aṅga-aṅga, seperti yang kita lakukan pada Sacca-saṁyutta. Walaupun terdapat beberapa blok yang penting dari teks-teks yang dikelompokkan menurut aṅga-aṅga, masih pembentukannya kurang mencolok daripada Saccasaṁyutta. Terdapat beberapa petunjuk atas struktur sutta/vyākaraṇa yang pokok. Tujuh dari delapan teks pertama merupakan sutta; dan dari 22 teks antara 47.9-30, 17 merupakan vyākaraṇa. Ini mungkin mewakili suatu kumpulan pokok dari satu vagga sutta dan dua vagga vyākaraṇa. Sisa dari kumpulan itu tidak mendukung hal ini, karena banyak sutta dimasukkan dalam bagian yang belakangan, di mana kita berharap menemukan vyākarana. Pada sisi lain, banyak dari teks-teks ini hanyalah pengulangan artifisial, maka tidak mewakili kumpulan nenek moyangnya.

Tabel 12.1 Aṅga-aṅga dalam Satipaṭṭhāna-saṁyutta Theravāda

SN 47
Sutta
Geyya
Vyākaraṇa
1-2
3
4-8
9-13
14
15-16
17
18
19
20-23
24
25-30
31-39
40
41
42
43
44-45
46-47
48-104

Marilah lihat apa yang diberikan SA kepada kita. Struktur sutta/vyākaraṇa dari kumpulan ini adalah jelas. Empat belas dari delapan belas teks pertama adalah sutta, dan ini diikuti dengan suatu urutan dari sembilan vyākaraṇa sebenarnya. Kita bahkan memiliki keanggunan dari tiga geyya yang muncul kurang lebih antara dua aṅga utama, seperti halnya yang kita lihat dalam Sacca–saṁyutta. Struktur sutta/vyākaraṇa jauh lebih jelas dalam kumpulan Sarvāstivāda.

Tabel 12.2 Aṅga-aṅga dalam Smṛtyupasthāna-saṁyukta Sarvāstivāda

SA
Sutta
Geyya
Vyākaraṇa
605
606
607
608
609
610
611
612
613
614
615
616
617
618
619
620
621
622
623
624
625
626
627
628
629
630
631
632
633
634
635
636
637
638
639

Marilah kita menggabungkan kedua kumpulan itu, dan menghilangkan kotbah-kotbah yang tidak sama dalam keduanya, dengan demikian memperkirakan kumpulan pra-sektariannya. Beberapa teks muncul sebagai sebuah sutta dalam satu kumpulan dan sebuah vyākaraṇa dalam kumpulan yang lain; ini dicatat. Saya juga mencatat kotbah-kotbah dalam bentuk kisah perumpamaan yang saya sebut “kisah”; ini dibahas di bawah.

Tabel 12.3 Kesesuaian dari Dua Satipaṭṭhāna-saṁyutta

SASN 47SuttaGeyyaVyākaraṇa
60664
6071
60833*
60942
61039
6115
61411
61510
6168
6176✓ (SN) (kisah) ✓ (SA) (kisah)
61919✓ (kisah)
6207✓ (kisah)
6214✓ (SN)✓ (SA)
6222, 44*✓ (SN)✓ (SA)
62320✓ (SA) (kisah)✓ (SN)
62416
62515
62726*
62821*
63417
63534*
63813
63914

Struktur sutta/vyākaraṇa masih terlihat, dan sebagai tambahan ciri khas lain menjadi menonjol. Terdapat sepuluh sutta, tiga geyya, dan sepuluh vyākaraṇa. Mungkin kumpulan nenek moyang terdiri dari dua vagga, satu terdiri dari sutta-sutta dan satu dari vyākaraṇa-vyākaraṇa, dan sedikit geyya.

Setelah mempertimbangkan struktur kumpulan itu, marilah melihat pada isinya.

12.1.1 Kisah-Kisah

Dua karakteristik kesusasteraan dari Satipaṭṭhāna-saṁyutta yang layak dipertimbangkan lebih jauh: kisah-kisah dan narasi.

Kisah-kisah meragikan kumpulan itu dengan humor dan aksi yang bersahaja. Mereka memuji satipaṭṭhāna sebagai sebuah tempat aman, sebuah perlindungan, yang mencerminkan pengajaran dalam bacaan narasi untuk berdiam dengan diri sendiri sebagai pelindung seseorang melalui praktek satipaṭṭhāna. Secara psikologis, mereka menekankan bahwa seseorang “tertangkap” jika ia tersesat di luar ranah alaminya, dan “terbebaskan” jika seseorang mengetahui bagaimana untuk “melepas”; dan bahwa kebebasan ini, tampaknya secara bertentangan, muncul dari mengetahui perhatian seseorang dalam konteks yang tepat - satipaṭṭhāna.

SN 47.8/SA 616 Tukang Masak: Versi Pali dan Mandarin di sini sangat mirip. Tukang masak yang bodoh tidak mengetahui bagaimana mempersiapkan jenis makana yang benar untuk menyenangkan majikannya, maka tidak mendapatkan hadiah. Sama halnya, bhikkhu yang bodoh tidak memahami jalan dari pikirannya, berlatih satipaṭṭhāna, tetapi pikirannya “tidak memasuki samādhi, ia tidak meninggalkan kekotoran-kekotoran...”. Tetapi bagi tukang masak yang ahli dan bhikkhu yang terampil ini sebaliknya – ia memasuki samādhi dan meninggalkan kekotoran-kekotoran.

SN 47.6/SA 617 Burung Elang: Mengisahkan seekor burung puyuh yang tertangkap oleh seekor elang jika ia berkeliaran di luar “habitat alami”-nya, tetapi ia aman ketika di dalamnya. Wilayah yang tidak aman bagi seorang bhikkhu adalah dunia nafsu indera, dan habitat alaminya adalah satipaṭṭhāna. Di sini lagi-lagi satipaṭṭhāna, sebagai lawan dari lima utas kesenangan indera, berperan sama seperti empat jhāna. Versi Mandarin sangat dekat, berbagi beberapa ungkapan yang persis sama dengan versi Pali, dan juga menambahkan sebuah syair. Ini mengulangi kisah itu, kemudian mengatakan bahwa mengetahui pikiran diri sendiri adalah lebih baik daripada kekuatan 100.000 ekor naga.

SN 47.19/SA 619 Sedaka: Sebuah kisah perumpamaan tentang kerukunan dan sokongan bersama, yang digambarkan dengan kisah dua orang acrobat, satu menyokong yang lain di atas sebatang galah bamboo. Versi Pali mengandung suatu keanehan di sini, karena ia memiliki sang murid yang mengatakan “anda melindungi diri anda sendiri dan aku akan melindungi diri saya sendiri”. Sang Buddha kemudian menyetujui pernyataan ini, tetapi mengubahnya menjadi “dengan melindungi diri sendiri, seseorang melindungi orang lain, dengan melindungi orang lain, seseorang melindungi diri sendiri.” Versi Mandarin tidak memiliki masalah ini, karena ia memiliki sang murid mengatakan hanya itu.

SN 47.7/SA 620 Kera: Kisah tentang seekor kera bodoh yang menyebabkan tangannya terjebak dalam perangkap bergetah. Dengan berusaha membebaskan dirinya sendiri, ia membuat tangan lainnya terjebak juga, kemudian kedua kakinya dan bahkan mulutnya. Terjebak dalam lima titik, pemburu melakukan terhadapnya apa yang akan ia lakukan. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu seharusnya berdiam dalam habitat alaminya, sama seperti dalam “Burung Elang”. Versi Mandarin menambahkan penjelasan lebih jauh tentang seorang bhikkhu bodoh yang pergi ke kota dengan indera-inderanya tidak terkendali.

SN 47.20/SA 623 Gadis Paling Cantik di Negeri: Pada satu sisi terdapat sekumpulan keramaian yang bergembira; pada sisi yang lain terdapat seorang gadis penari; di antaranya anda harus berjalan membawa sebuah mangkuk yang penuh dengan minyak, dengan seseorang dengan sebuah pedang terhunus mengikuti tepat di belakang anda, bersiap-siap untuk memenggal kepala anda jika anda menumpahkan setetes minyak! Dengan cara yang sama anda seharusnya mengembangkan “perhatian terhadap tubuh”. Teks ini unik sebagai sebuah “kisah” yang memasukkan sebuah vyākaraṇa. Versi Pali bersifat anomali karena ia menyebutkan “perhatian terhadap tubuh”, dan ini satu-satunya teks dalam Satipaṭṭhāna-saṁyutta yang menghilangkan satipaṭṭhāna. SA, di sisi lain, memasukkan keempat satipaṭṭhāna. Ia juga menambahkan beberapa syair, yang menyebutkan belanga minyak dan menganjurkan konsentrasi. Perbedaan lainnya adalah bahwa versi Theravāda berlatarkan di Sedaka. Lokasi yang tidak lazim ini sama dengan kotbah sebelumnya dan telah secara sengaja disalin dari sana, suatu fenomena yang kita lihat sangat umum dalam Satya-saṁyukta Sarvāstivāda. Versi Sarvāstivāda berlatarkan di Taman Rusa di Benares.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #52 on: 28 September 2014, 03:40:17 PM »
12.1.2 Narasi

Narasi masuk dalam dua kelompok utama: narasi yang mengingat kembali pencerahan Sang Buddha, dan narasi yang mengingat kembali wafat-Nya. Terdapat suatu hubungan yang rumit antara teks-teks ini – beberapa di antaranya memasukkan narasi, dan beberapa di antaranya hanya menyatakan suatu konteks naratif – dan narasi panjang (apadāna) dari Dīgha dan Vinaya.

Dari narasi-narasi yang mengingat kembali pencerahan Sang Buddha, terdapat sutta-sutta “Brahmā”. Seperti yang dibahas di atas, ini ditemukan dalam Sagāthāvagga dalam versi Mandarin, tetapi Satipaṭṭhāna-saṁyutta dalam Theravāda. Mereka mengingat kembali “Permohonan Brahmā” yang telah kita perlakukan sebagai contoh bacaan geyya.[1] Kedua peristiwa berlatarkan di “Pohon Banyan Penggembala Kambing”, tetapi saya tidak dapat menemukan jejak dari teks kita saat ini dalam kisah periode pasca-pencerahan mana pun yang ada pada saya. Di antara keduanya terdapat suatu perbedaan yang penting dalam peran yang dimainkan oleh Brahmā. Dalam “Permohonan Brahmā” sang dewa berperan sebagai tokoh mitos kuno yang mengambil inisiatif atas tindakan, suatu personifikasi dari inspirasi kedewaan. Di sini, sesuai dengan kedudukan para dewa yang rendah yang lebih umum dalam Buddhisme, ia hanya menggemakan dan mendukung Sang Buddha. Ingatan lainnya dari periode ini ditemukan dalam Satipaṭṭhānasaṁyutta berjudul “Yang Tidak Pernah Terdengar Sebelumnya”, yang memperlakukan satipaṭṭhāna sehubungan dengan tiga perputaran dan dua belas cara dari Dhammacakkappavattana Sutta.[2] Ini menyatakan bahwa pemahaman satipaṭṭhāna adalah menyatu pada pengalaman pencerahan. Pernyataan serupa dibuat hampir semua kategori ajaran yang familiar, yang mencerminkan sifat saling berhubungan dari Dhamma. Teks ini tidak ditemukan dalam Mandarin, maka kita mencurigai ini sebagai suatu teks yang belakangan; tetapi isinya tidak kontroversial.

Lebih banyak bahan yang ditemukan pada masa wafatnya Sang Buddha. Kita telah menunjuk pada kotbah yang berlatarkan di hutan mangga Ambapālī, di mana Sang Buddha berdiam sejenak sebelum Parinibbāna, menganjurkan para bhikkhu untuk “penuh perhatian dan memahami dengan jernih”. Bacaan ini muncul dalam Mahā Parinibbāna Sutta, dalam versi Theravāda dan Mūlasarvāstivāda. Kecocokan dari peringatan ini, sebagai antisipasi atas kunjungan oleh seorang pelacur terkenal, adalah jelas dalam konteksnya, dan ini lebih eksplisit dalam Sarvāstivāda daripada Theravāda.

SN 47.9 “Sakit” mengisahkan kepada kita kisah yang mengharukan dari penyakit Sang Buddha sejenak sebelum wafat-Nya.[3] Ini adalah salah satu dari bacaan yang menyedihkan dalam kanon yang sebenarnya bertentangan dengan sifat manusiawi Sang Buddha yang rapuh. Bacaan ini juga mengandung pernyataan Sang Buddha yang terkenal bahwa ia tidak memiliki “jurus tertutup dari seorang guru”. Ini menjadi masalah yang kontroversial, khususnya bagi aliran-aliran yang belakangan mengklaim berasal dari suatu transmisi esoterik di luar silsilah kitab utama.

SN 47.11-14 membentuk biografi mini Yang Mulia Sāriputta. Dalam teks pertama kita melihat ia berdiskusi dengan Sang Buddha tentang sifat seorang yang tercerahkan. Berikutnya kita melihat Yang Mulia Sāriputta di kota kelahirannya Nāḷandā, mendekati Sang Buddha, dan menyatakan bahwa dengan suatu “penarikan kesimpulan berdasarkan dhamma”, ia memahami semua Buddha, masa lalu, masa depan, dan masa sekarang, menjadi tercerahkan dengan meningggalkan lima rintangan, dengan baik menegakkan empat satipaṭṭhāna, dan mengembangkan tujuh faktor pencerahan.[4] Kejadian ini terjadi selama perjalanan terakhir Sang Buddha ke utara dari Rājagaha, dan mencatat pertemuan terakhir Sang Guru dan siswa terbaiknya. Perhatikan bahwa tujuh faktor pencerahan hampir sinonim dengan samādhi, pengelompokkan ini sejajar dengan tahap meditasi dari pelatihan bertahap: seseorang “menegakkan perhatian”, meninggalkan rintangan-rintangan, dan mengembangkan jhāna-jhāna. Kumpulan yang serupa muncul seringkali dalam Sutta-Sutta; di bawah ini kita akan melihat bahwa “penarikan kesimpulan berdasarkan Dhamma” ini adalah isi awal mula dari perenungan terhadap dhamma dalam satipaṭṭhāna. Meskipun demikian, hubungan dengan satipaṭṭhāna relatif lemah – mereka hanya disebutkan sekilas lalu – maka tidak mengejutkan untuk menemukan Sarvāstivāda lebih menyukai menempatkan teks ini dalam Sāriputta-saṁyutta mereka. Kejadian ini ditemukan dalam Mahā Parinibbāna Sutta Theravāda, tetapi bukan dalam versi Sarvāstivāda atas Dharmaguptaka dari teks itu.[5] Ini juga membentuk inti untuk percakapan yang jauh lebih
panjang dalam Sampasādanīya Sutta.[6]

SN 47.13/SA 638, teks berikutnya dalam kumpulan Theravāda, mengisahkan bagaimana Yang Mulia Sāriputta menjadi sakit dan meninggal dunia. Ini terjadi di “Nālakagāma”. Kisah komentar menyatakan bahwa Yang Mulia Sāriputta, menyadari bahwa waktunya telah dekat, kembali ke kota kelahirannya untuk mengubah ibunya, seorang Brahmin yang taat, ke Buddhisme. Samanera Cunda – dikatakan oleh komentar adalah adik termuda Yang Mulia Sāriputta – merupakan pelayannya selama sakitnya. Pada saat meninggal dunia, ia membawa mangkuk dan jubah Yang Mulia Sāriputta dan pergi ke tempat di mana Sang Buddha berdiam. Theravāda mengatakan Beliau berada di Sāvatthī, yang tidak cocok – Sāvatthī berada 200 km ke arah barat laut, dan tidak dapat dibayangkan bahwa Sang Buddha membuat perjalanan memutar yang berlebihan dalam perjalanan terakhir-Nya, yang lemah, suatu perjalanan memutar yang tidak terbukti dari teks lain. Sarvāstivāda mengatakan Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha, di Veḷuvana. Tetapi ini sedikit lebih baik, karena Mahā Parinibbāna Sutta mengatakan bahwa Sāriputta mengunjungi Sang Buddha di Nāḷandā, setelah ia telah mengambil jalan ke utara dari Rājagaha. Yang Mulia Ānanda, yang pertama kali mendengar berita buruk itu, menjadi kalut, dan Sang Buddha bertanya kepadanya apakah Sāriputta mengambil darinya kumpulan dari moralitas, samādhi, pemahaman, pembebasan, dan pengetahuan dan penglihatan dari pembebasan; versi Mandarin menambahkan 37 sayap menuju pencerahan. Ānanda mengatakan tidak, tetapi Sāriputta sangat banyak membantu bagi sahabat-sahabatnya dalam kehidupan suci. Sang Buddha mengajarkannya: “Bagaimana mungkin terjadi bahwa apa yang dilahirkan, muncul, berkondisi, memiliki sifat untuk hancur tidak akan lenyap? Itu tidak mungkin! Oleh sebab itu, Ānanda, berdiamlah dengan dirimu sendiri sebagai pulau dirimu sendiri, pelindung dirimu sendiri, dengan tiada pelindung lainnya.” Seseorang melakukan ini melalui praktek satipaṭṭhāna. Ini sangat mirip dengan Mahā Parinibbāna Sutta, dan mengejutkan bahwa teks ini tidak menemukan tempat dalam kisah itu.

Teks ini membentuk pasangan dengan SN 47.14/SA 639, yang mengikuti segera setelahnya dalam kedua kumpulan. Versi Theravāda berlatarkan di Republik Vajjī, di Ukkacelā pada tepi sungai Gangga. Tetapi versi Mandarin menempatkan kejadian ini di Madhura, di dekat sungai Bhadra. Vajjī adalah latar yang masuk akal, yang berada di sepanjang rute menuju Parinibbāna. Sang Buddha mengatakan Sangha terlihat kosong baginya karena Sāriputta dan Moggallāna telah mencapai Nibbana akhir, bagaikan cabang-cabang terbesar yang jatuh dari inti pohon besar.[7] Dalam ajaran-ajaran, teks ini pada umumnya mengulangi teks sebelumnya. Namun, ia memasukkan beberapa ciri khas kesusasteraan, yang bersifat aṅga-aṅga yang belakangan. Sang Buddha mengatakan bahwa semua Buddha di masa lampau dan masa depan akan memilki sepasang siswa utama seperti Sāriputta dan Moggallāna; ini mengingatkan kita pada sebuah avadāna. Berikutnya ia memuji kualitas yang “mengagumkan dan menakjubkan” dari keduanya, sebuah abbhūtadhamma; tetapi, bagian ini tidak ada dalam versi Mandarin.

Terdapat beberapa teks lagi yang mungkin juga berlatarkan pada masa setelah Parinibbāna, walaupun konteks naratifnya tidak disebutkan dalam teks itu sendiri, atau mereka dimasukkan dalam narasi Dīgha danVinaya yang dikembangkan lebih panjang. Ini adalah kotbah-kotbah yang menonjolkan Yang Mulia Ānanda dan Yang Mulia Bhadda di Vihara Ayam Jantan di Pāṭaliputta.[8] Teks Sarvāstivāda satu-satunya yang sumbernya sama berdiri pada kepala dari seluruh rangkaian teks pada lokasi yang sama; dengan cara yang serupa dengan Satya-saṁyukta, kita menyimpulkan bahwa hanya latar pertama yang asli, dan sisanya secara sengaja diulang. Teks-teks Theravāda tidak menyebutkan Sang Buddha masih hidup pada waktu itu; walaupun versi Sarvāstivāda menyebutkan Sang Buddha, ini mungkin hanyalah hasil dari standarisasi yang disengaja. Lokasinya tidak lazim, sebuah vihara yang kurang dikenal di Pāṭaliputta antara Kusinārā, di mana Sang Buddha wafat, dan Rājagaha. Adalah dari Rājagaha di mana Sang Buddha berangkat dalam perjalanan terakhirnya, dan kembali ke Rājagaha di mana para bhikkhu, termasuk Yang Mulia Ānanda, kembali untuk membacakan kitab-kitab dalam Konsili Pertama setelah Sang Buddha wafat. Kotbah-kotbah “Durasi”, secara khusus menyatakan keprihatinan yang nyata atas wafatnya Sang Buddha. Mungkin bahwa di sini kita memiliki suatu catatan tentang diskusi dan debat yang terjadi di dalam Sangha karena, ketika beristirahat dalam perjalanan kembali dari Kusinārā ke Rājagaha, mereka merenungkan masa depan Buddhisme tanpa Sang Buddha. Mengejutkan bahwa kotbah-kotbah “Durasi”, yang mengatakan bahwa Buddhisme akan bertahan lama disebabkan oleh praktek satipaṭṭhāna, tidak menemukan sumber yang sama dalam Sarvāstivāda, karena bertahan lamanya sasana merupakan salah satu karakteristik perhatian mereka.

Menarik bahwa beberapa kejadian yang terjadi selama masa pencerahan dan wafatnya Sang Buddha tidak muncul dalam narasi-narasi yang berkembang dari kejadian-kejadian itu. Hubungan antara teks-teks pendek ini dan narasi-narasi yang panjang telah diperdebatkan para sarjana. Beberapa berpendapat bahwa narasi-narasi yang lebih panjang muncul pertama kali, dan teks-teks yang lebih pendek diringkas dari mereka. Ini tidak masuk akal, dan situasi saat ini mendukung hal ini: jika teks-teks yang lebih pendek diringkas dari teks-teks yang lebih panjang, dari manakah teks-teks pendek yang tidak ada dalam narasi-narasi panjang berasal? Terdapat banyak kejadian dan ajaran yang diingat sepanjang masa-masa kritis ini, yang diceritakan kembali dengan penunjukan yang kurang lebih sambil lalu pada keadaan historis. Kebutuhan untuk kisah yang definitif menjadi lebih kuat dalam ketiadaan Buddha yang hidup. Maka kejadian-kejadian itu secara perlahan-lahan dihubungkan dalam suatu narasi yang garis besarnya adalah sangat tua dan telah berubah sangat sedikit dalam ribuan tahun penceritaan kembali, tetapi bentuk spesifiknya diuraikan sepanjang waktu. Tidak semua kejadian-kejadian yang diingat menemukan rumahnya dalam kisah itu; agaknya pilihan didiktekan oleh kebutuhan penceritaan kembali.

Narasi-narasi ini memperkaya dan memberitahukan penyajian satipaṭṭhāna, yang mengkontekstualkan rumusan meditasi abstrak dalam drama kehidupan dan kematian. Kotbah lain yang juga menekankan satipaṭṭhāna dalam konteks kematian. Kotbah ini, SN 47.30/SA 1038 Mānadinna, menggambarkan Yang Mulia Ānanda mendekati perumah tangga Mānadinna, yang sakit parah. Ānanda mengajarkannya, bahkan dalam kondisi ekstrem terakhir itu, untuk mengembangkan satipaṭṭhāna. Mānadinna menjawab bahwa ia sesungguhnya telah berlatih satipaṭṭhāna; dan lebih jauh, ia telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah. Ānanda kemudian memujinya sebagai seorang yang telah menyatakan pencapaian dari yang-tidak-kembali, tahap pencerahan kedua dari terakhir.[9]

Seperti biasanya dalam Sutta-Sutta, kematian dan ketidakkekalan berhubungan erat; kekhawatiran atas kematian menimbulkan pencarian spiritual; dan ketika sutta-sutta mengatakan tentang ketidakkekalan, mereka seringkali berarti kematian. Contoh-contoh dari Satipaṭṭhāna-saṁyutta termasuk “muncul” (bhūta) dan “berkondisi” (saṅkhata). Kematian adalah bentuk utama dari ketidakkekalan dalam satipaṭṭhāna. Tetapi dalam narasi-narasi ini kita hanya melihat hubungan antara satipaṭṭhāna dan kematian dengan asosiasi. Tidak ada petunjuk tentang bagaimana ini dapat disatukan ke dalam meditasi, yang tidak menyebutkan ketidakkekalan sama sekali.

12.1.3 Pemahaman Jernih

Keterangan lebih jauh tentang hal ini diberikan oleh SN 47.35, yang menyajikan suatu variasi pada topik tentang “perhatian penuh dan pemahaman jernih”. Bacaan standar tentang pemahaman jernih adalah penggambaran dari kewaspadaan terhadap aktivitas-aktivitas sehari-hari, yang biasanya muncul dalam pelatihan bertahap yang membawa pada empat jhāna. Sarvāstivāda memasukkan dua kotbah tentang pelatihan bertahap yang tidak memiliki padanan Theravāda. SA 636 memberikan penjelasan standar tentang seseorang yang mendengar Dhamma, kemudian memutuskan untuk meninggalkan keduniawian berdasarkan keyakinan. Ia lalu memperbaiki perilaku tubuhnya, melindungi empat jenis ucapan benar, memurnikan pencaharian, menjaga pintu-pintu indera, dan berlatih pemahaman jernih ketika pergi dan kembali, dan seterusnya. Kemudian ia beristirahat di sebuah pohon atau suatu tempat yang sunyi, duduk dan mengembangkan pikiran dalam “kediaman yang damai”. Ia meninggalkan lima rintangan yang menjerat kekuatan pikiran yang cerah, dan berlanjut berlatih empat satipaṭṭhāna. Ini disebut “pengembangan empat satipaṭṭhāna.” Teks berikutnya, SA 637 sangat mirip (dalam kenyataannya ia meringkas, dan mengajarkan pembaca untuk memperinci seperti kotbah sebelumnya). Ia menambahkan beberapa faktor tambahan dari pelatihan bertahap, seperti pengendalian Pāṭimokkha dan kepuasan terhadap kebutuhan, seperti halnya seekor burung yang puas dengan sayap-sayapnya. Dalam kedua kotbah ini, satipaṭṭhāna mengambil tempat yang biasanya ditempati oleh empat jhāna.

Praktek pemahaman jernih dalam aktivitas sehari-hari seseorang disajikan lebih sederhana dalam sebuah kotbah, yang ditemukan dalam kedua kumpulan, yang mengajarkan agar para bhikkhu “penuh perhatian dan memahami sepenuhnya”. “Perhatian” didefinisikan sebagai empat satipaṭṭhāna, dan “pemahaman jernih” sebagai kewaspadaan atas aktivitas-aktivitas.[10]

SN 47.35 tidak memiliki padanan SA, maka ia mungkin pembentukan sekunder dan imitasi hal ini. Dalam kotbah ini, perhatian adalah, seperti biasanya, empat satipaṭṭhāna, tetapi pemahaman jernih mencakup terus-menerus menyadari perasaan, persepsi, dan pikiran-pikiran ketika mereka muncul, bertahan, dan lenyap. Ini oleh sebab itu adalah “perenungan terhadap objek-pikiran”, suatu label yang biasanya tidak tepat dianggap berasal dari satipaṭṭhāna keempat.
Di tempat lain, praktek ini adalah yang ketiga dari empat jenis “pengembangan samādhi”.[11] “Pengembangan samādhi” ini bersifat progresif, dan kenyataan bahwa mereka mulai dari jhāna menunjukkan mereka adalah latihan-latihan yang lebih maju, “pengembangan” samādhi yang lebih tinggi. Dua yang pertama berada pada sisi samatha: empat jhāna, yang membawa pada suatu kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini; dan persepsi cahaya, yang membawa pada “pengetahuan dan penglihatan” (= kekuatan batin). Yang ketiga, latihan kita yang saat ini, membawa pada “perhatian dan pemahaman jernih”. Yang keempat adalah latihan standar mengamati asal mula dan lenyapnya lima kelompok unsur kehidupan, yang membawa pada akhir kekotoran-kekotoran. Kedua hal ini memusatkan perhatian pada ketidakkekalan, dan oleh sebabnya merupakan vipassanā. Apakah perbedaan di antara mereka? Mengapa satu membawa pada pencerahan, dan satu hanya membawa pada perhatian dan pemahaman jernih?

Ketika merenungkan muncul, bertahan, dan lenyapnya perasaan, persepsi, dan pikiran-pikiran, bidang pengetahuan mendalam belum selesai. Tubuh ditinggalkan. Makna utama dari ketidakkekalan sehubungan dengan tubuh adalah masalah besar, kehidupan dan kematian. Kematian diri sendiri, seperti halnya demikian, tidak dapat direnungkan secara langsung, tetapi harus melibatkan beberapa jenis penarikan kesimpulan dalam waktu. Latihan ini mengeluarkan hal ini. Ia hanya memperhatikan pengalaman dalam momen saat ini, dan belum diperdalam ke suatu pemahaman terhadap prinsip yang mendasari pengalaman. Menggunakan istilah yang berasal dari tempat lain dalam Sutta-Sutta, ini melibatkan dhamme ñāṇaṁ (pengetahuan tentang fenomena), tetapi bukan anvaye ñāṇaṁ (pengetahuan yang dapat disimpulkan).[12] Batasan yang penting lainnya adalah bahwa latihan ini “dengan jernih memahami” yang diketahui, bukan mengetahui itu sendiri, yang adalah kunci dari pengetahuan yang sangat mendalam. Ini juga karena latihan ini melibatkan hanya pengamatan langsung atas fenomena ketika mereka muncul, bukan penarikan kesimpulan atas prinsip sebab-akibat yang menggambarkan bagaimana kejadian-kejadian ini terungkap sepanjang waktu. Menurut Sutta-Sutta, kesadaran (yang mengetahui) muncul bergantung pada objek-objek mental (yang diketahui). Jika kesadaran secara langsung mengamati dirinya sendiri, ini akan membawa kesalahan tentang sesuatu yang menyebabkan dirinya sendiri. Maka kesadaran tidak pernah menyokong dirinya sendiri; dengan kata lain, seseorang tidak dapat secara langsung mengamati tindakan kesadaran. Pengetahuan mendalam ke dalam kesadaran memerlukan, pada beberapa tingkatan, suatu proses penarikan kesimpulan yang melibatkan waktu. Jadi perenungan terhadap objek-pikiran kita, walaupun penting, tidak akan membawa pada pada pembebasan hingga ia memperdalam ke dalam suatu pemahaman yang lebih lengkap terhadap keseluruhan bidang pengalaman, masa lampau dan masa depan, serta saat ini.

Baik pengembangan meditatif dari pemahaman jernih dan kewaspadaan terhadap aktivitas-aktivitas tubuh ini jelas berbeda dari satipaṭṭhāna seperti demikian; mereka berhubungan, bukan sama. Tidak diragukan lagi dalam praktek mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tetapi Saṁyutta tidak memasukkan praktek pemahaman jernih dalam empat satipaṭṭhāna di mana pun.

Terlebih lagi, praktek meditatif pemahaman jernih memiliki objek yang berbeda dibandingkan satipaṭṭhāna. Hanya perasaan yang secara langsung berhubungan. Walaupun seseorang mungkin berusaha menyamakan persepsi dan pikiran dengan salah satu atau yang lain dari empat satipaṭṭhāna (secara tradisional mereka akan dimasukkan dalam dhamma-dhamma), penggambaran sebenarnya dari praktek-praktek itu, dalam semua versi, tidak mendukung hal ini. Lagi-lagi, alasannya sudah dapat disimpulkan. Salah satu latihan kunci satipaṭṭhāna adalah ānāpānasati. Fungsi khusus dari meditasi ini adalah untuk mengatasi pemikiran-pemikiran. Ini diperkuat dalam Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda, yang memasukkan latihan untuk mengatasi dan menekan pemikiran-pemikiran. Jadi tujuan utama satipaṭṭhāna bukan untuk perhatian waspada terhadap pemikiran-pemikiran ketika mereka memasuki pikiran; ia adalah untuk melenyapkan pemikiran-pemikiran sehingga pikiran dapat dibawa ke dalam ketenangan.

Pengembangan meditatif pemahaman jernih yang digambarkan di sini jelas bernilai sekunder; bacaan itu muncul hanya sekali dalam masing-masing dari Saṁyutta, Majjhima, dan Dīgha Nikāya, dan tiga kali dalam Aṅguttara. Banyak dari konteks di mana bacaan ini muncul tidak menginspirasi keyakinan sehubungan nilai penting historisnya. Dalam Dīgha ia muncul dalam Saṅgīti Sutta (sebuah susunan proto-Abhidhamma yang berprinsip-aṅguttara); pada Majjhima dalam Acchariya-abbhūta Sutta (abbhūtadhamma); dan pada Aṅguttara dalam konteks paṭisambhidā, sebuah kategori yang tidak penting. Dalam Satipaṭṭhāna-saṁyutta Theravāda, ia muncul pada pertengahan vagga keempat, sebuah bab yang memiliki sedikit sumber yang sama dalam Sarvāstivāda, dan tampaknya tersusun atas sebagian besar teks-teks artifisial.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #53 on: 28 September 2014, 03:43:58 PM »
12.1.4 Vibhaṅga Sutta

Beberapa kotbah yang diidentik di atas berhubungan dengan aspek samādhi dari satipaṭṭhāna. Ini telah bertahan dalam berbagai uji otentisitas yang dapat saya berikan padanya, dan harus berdiri sebagai yang mewakili suatu konsepsi yang utama dari satipaṭṭhāna. Namun akhirnya, kita berbalik pada dua teks yang tersisa dalam Satipaṭṭhāna-saṁyutta yang menghubungkan secara langsung satipaṭṭhāna sebagai vipassanā: SN 47.40 Vibhaṅga dan SN 47.42/SA 609 Samudaya (“Asal Mula”).

Vibhaṅga Sutta tidak terbukti dalam kanon Mandarin. Ini sendiri membuat ia terlihat seperti suatu perkembangan sekunder; sebuah peninjauan dekat menegaskan hal ini. Seperti kotbah tentang perhatian dan pemahaman jernih yang telah kita bahas baru saja, ia ditemukan pada akhir vagga keempat, yang merupakan bab yang meragukan karena hampir semua kotbahnya kelihatannya artifisial, atau setidaknya dapat dihasilkan dengan cara yang artifisial.  Vibhaṅga Sutta, yang berada pada akhir vagga ini, didahului oleh sebuah kotbah yang tidak berhubungan yang disebut “Keabadian”, yang diikuti oleh Samudaya. Dengan demikian “Keabadian” secara sembarangan disisipkan antara Vibhaṅga dan Samudaya yang berhubungan erat.

Vibhaṅga Sutta memulai dengan Sang Buddha mengatakan: “Aku akan mengajarkan kalian...”. Pembukaan standar ini tampaknya cukup tidak berbahaya. Namun, umumnya ajaran (desanā) secara ringkas berlawanan dengan “analisis” (vibhaṅga) dalam rinciannya. Maka judul dan teks itu sendiri tampaknya mengatakan pada kita dua hal yang berbeda. Status judul kotbah seringkali meragukan, karena dalam teks-teks Pali judul biasanya tidak menyertai teks itu sendiri, tetapi hanya disimpulkan dari syair-syair pengingat pada akhir vagga. Jadi pernyataan dari teks itu sendiri seharusnya diberikan lebih banyak kepercayaan. Dan sesungguhnya, sesuai dengan teks itu sendiri, dan berlawanan dengan judulnya, kotbah itu tampaknya lebih mirip sebuah ajaran (secara ringkas) daripada analisis (secara terperinci). Tidak ada proses menganalisis “vibhaṅga” unsur-unsur satu per satu yang sesuai. Alih-alih, suatu ajaran berunsur tiga diberikan: satipaṭṭhāna (rumusan yang biasanya), pengembangan satipaṭṭhāna (merenungkan sifat dari kemunculan dan kelenyapan sehubungan dengan tubuh, dst.), dan jalan menuju pengembangan satipaṭṭhāna (jalan mulia berunsur delapan).

Ini harus dibandingkan dengan Iddhipāda-saṁyutta. Di sana, satu kotbah menyajikan sebuah “Ajaran” berunsur empat: kekuatan batin; landasan kekuatan batin (hanya dijelaskan sebagai latihan yang membawa pada kekuatan batin); “pengembangan” landasan kekuatan batin (seseorang “mengembangkan” empat landasan kekuatan batin menurut rumusan standar); dan jalan menuju pengembangan kekuatan batin (jalan mulia berunsur delapan).[13] Koherensi internal dalam penggunaan istilah “ajaran” dan “pengembangan” membuktikan keotentikan teks ini. Kotbah berikutnya memberikan suatu “Analisis” dari ajaran ini, yang berada dalam gaya klasik vibhaṅga.[14] Ini berbagi beberapa ciri khas yang penting dan tidak biasa yang sama dengan Satipaṭṭhāna Sutta. Istilah “pikiran yang mengerut” dan “pikiran yang kacau balau” muncul dalam perenungan terhadap pikiran, dan 31 bagian tubuh muncul dalam perenungan terhadap tubuh. Beberapa bacaan lainnya dalam Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda bahkan lebih dekat dengan Analisis terhadap Landasan Kekuatan Batin:

“Dan lagi para bhikkhu, dengan merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh, seorang bhikkhu mengembangkan suatu pikiran yang cerah cemerlang, disambut dengan baik, digenggam dengan baik, diingat dengan baik: seperti sebelumnya, demikianlah setelahnya; seperti setelahnya, demikianlah sebelumnya; seperti pada siang hari, demikianlah pada malam hari; seperti pada malam hari, demikianlah pada siang hari; seperti di bawah, demikianlah di atas; seperti di atas, demikianlah di bawah. Dengan cara ini ia tidak bingung dalam pikirannya, ia tidak memiliki kekusutan. Ia mengembangkan suatu pikiran yang cerah cemerlang, suatu pikiran yang akhirnya tidak disamarkan oleh kegelapan.”[15]

Mungkin Vibhaṅga Sutta dari Satipaṭṭhāna-saṁyutta seharusnya disebut “Ajaran”. Ia telah dilengkapi dengan suatu kotbah yang lebih luas bergaya vibhaṅga. Satu-satunya teks yang mungkin sesuai dengan aturan adalah Satipaṭṭhāna Sutta, atau lebih tepatnya *Satipaṭṭhāna Mūla, yang sangat mirip dengan bab tentang satipaṭṭhāna dalam Vibhaṅga Abhidhamma, dan memiliki kesejajaran yang kuat dengan Vibhaṅga dari Iddhipāda Saṁyutta. Beberapa vibhaṅga lainnya tentang topik-topik Saṁyutta sekarang ditemukan dalam Majjhima.[16] Ini dibedakan dari vibhaṅga yang tersisa dalam Saṁyutta berdasarkan panjangnya: vibhaṅga yang lebih pendek berada dalam Saṁyutta, yang lebih panjang dalam Majjhima. Saya menduga bahwa Satipaṭṭhāna Sutta lebih awal merupakan sebuah vibhaṅga dari Saṁyutta, tetapi dengan perluasan tambahan dipindahkan ke Majjhima.

Masalah lain dengan Vibhaṅga Sutta adalah bahwa di sini pengamatan terhadap muncul dan lenyapnya yang disebut “pengembangan”. Umumnya, seperti yang digambarkan dalam kotbah dari Iddhipāda-saṁyutta di atas, pengembangan (bhāvanā) digambarkan sehubungan dengan “pelatihan, pengembangan, dan menjadikan banyak dari” dhamma-dhamma yang relevan. Tetapi terdapat tiga teks dalam Satipaṭṭhāna-saṁyutta Pali yang menggambarkan “pengembangan”, dan masing-masing melakukannya dalam caranya sendiri. Terdapat dua teks yang menggunakan judul “Pengembangan” untuk judul mereka. Hanya yang pertama dari dua “Pengembangan” dengan penuh makna menunjuk pada “pengembangan” dalam kotbah itu sendiri: “Inilah empat satipaṭṭhāna, yang ketika dikembangkan dan dilatih, membawa dari yang dekat menuju pantai yang jauh.”[17] Sarvāstivāda mengandung beberapa kotbah bertipe ini, beberapa darinya hanya didaftarkan dalam rangkuman, masing-masing menggantikan suatu ungkapan cadangan yang menggambarkan manfaat dari pengembangan satipaṭṭhāna; ia membawa pada pelenyapan sepenuhnya penderitaan, atau pada buah dan manfaat yang besar, dst. Sutta Pengembangan yang kedua dalam Theravāda memiliki tipe yang ditempat lain berjudul “Ajaran”.[18] Ia memulai dengan Sang Buddha mengatakan: “Para bhikkhu, aku akan mengajarkan kalian pengembangan empat satipaṭṭhāna.” Kotbah itu hanya memberikan rumusan dasar satipaṭṭhāna dan mengatakan ini adalah pengembangan empat satipaṭṭhāna. Versi Sarvāstivāda yang sumbernya sama dengan ini, SA 610, menguraikan pengembangan sebagai perenungan satipaṭṭhāna secara internal dan eksternal. Pemahaman pengembangan ini ditemukan dalam karya-karya yang belakangan seperti Abhidharmasamuccaya oleh Asaṅga, yang menambahkan pada tubuh bukti bahwa Asaṅga menggunakan suatu Saṁyukta yang sangat mirip dengan yang kita miliki dalam Mandarin.[19]

Jadi kita sekarang memiliki empat penggambaran dari “pengembangan satipaṭṭhāna”: satu adalah “melatih dan mengembangkan” latihan dasar; kedua hanya memberikan rumusan dasar; ketiga, yang ditemukan hanya dalam Sarvāstivāda, adalah merenungkan secara internal dan eksternal; dan keempat, yang hanya ditemukan dalam Theravāda, adalah merenungkan objek-objek dari satipaṭṭhāna sebagai tidak kekal. Hanya yang pertama dari keempat ini sesuai dengan penggunaan yang biasanya dari “pengembangan”. Praktek internal/eksternal, walaupun bukan bagaimana pengembangan disajikan pada umumnya, cukup sesuai, karena ia mengajarkan bagaimana memperlebar dan memperluas praktek dasar, sesuai dengan yang umumnya ditemukan dalam kotbah-kotbah satipaṭṭhāna yang utama. Perenungan yang berkaitan dengan ketidakkekalan cocok dalam beberapa pengertian, karena ia menggambarkan latihan untuk mereka yang telah berpengalaman dalam pokok-pokok dasarnya.

Jadi penilaian akhir kita terhadap Vibhaṅga Sutta adalah bahwa ia adalah belakangan karena kedudukannya dalam Saṁyutta, tanpa padanan Sarvāstivādin, dan ketidaksesuaian internal. Mungkin terdapat suatu versi awal, yang lebih tepat disebut “Ajaran”, yang menggambarkan “pengembangan” sebagai “pelatihan, pengembangan, dan membuat banyak” dari empat satipaṭṭhāna, atau perenungan internal/eksternal, dan kemudian ini digantikan dengan bagian tentang muncul dan lenyapnya.

12.1.5 Samudaya Sutta

Kita sekarang melanjutkan untuk menyelidiki Samudaya Sutta. Versi Sarvāstivādin pada pokoknya lebih panjang daripada Pali, yang menimbulkan pertanyaan mengenai manakah yang awal mulanya. Sejumlah pertimbangan dibuat bersama membuatnya hampir pasti bahwa pasti bahwa versi Sarvāstivādin lebih awal. Untuk membuat bahasan berikutnya sejelas mungkin, saya pertama kali akan menyajikan di sini unsur ajaran pokok dalam versi Mandarin, yang mengadaptasikan terjemahan Mandarin agar sesuai lebih jelas dengan terjemahan standar Pali.

1) Aku akan mengajarkan kalian, para bhikkhu, asal mula dan lenyapnya empat satipaṭṭhāna. Dengarkan baik-baik dan perhatikan; aku akan mengatakan... Apakah asal mula dan lenyapnya empat satipaṭṭhāna?
2a) Disebabkan oleh asal mula makanan terdapat asal mula tubuh; disebabkan lenyapnya makanan terdapat lenyapnya tubuh.
2b) Dengan cara ini, para bhikkhu, seorang bhikkhu merenungkan sifat asal mula dalam tubuh, ia merenungkan sifat lenyapnya dalam tubuh, ia merenungkan sifat asal mula dan lenyapnya dalam tubuh.
2c) Ia berdiam tidak bergantung, tidak menggenggam apa pun di dunia.
3a) Disebabkan asal mula kontak terdapat asal mula perasaan-perasaan;[20] disebabkan oleh lenyapnya kontak terdapat lenyapnya perasaan-perasaan.
3b) Dengan cara ini, para bhikkhu, seorang bhikkhu merenungkan sifat asal mula dalam perasaan-perasaan, ia merenungkan sifat lenyapnya dalam perasaan-perasaan, ia merenungkan sifat asal mula dan lenyapnya dalam perasaan-perasaan.
3c) Ia berdiam tidak bergantung, tidak menggenggam apa pun di dunia.
4a) Disebabkan asal mula nama dan bentuk terdapat asal mula pikiran; disebabkan oleh lenyapnya nama dan bentuk terdapat lenyapnya pikiran.
4b) Dengan cara ini, para bhikkhu, seorang bhikkhu merenungkan sifat asal mula dalam pikiran, ia merenungkan sifat lenyapnya dalam pikiran, ia merenungkan sifat asal mula dan lenyapnya dalam pikiran.
4c) Ia berdiam tidak bergantung, tidak menggenggam apa pun di dunia.
5a) Disebabkan asal mula perhatian terdapat asal mula dhamma-dhamma; disebabkan oleh lenyapnya kontak terdapat lenyapnya dhamma-dhamma.
5b) Dengan cara ini, para bhikkhu, seorang bhikkhu merenungkan sifat asal mula dalam dhamma-dhamma, ia merenungkan sifat lenyapnya dalam dhamma-dhamma, ia merenungkan sifat asal mula dan lenyapnya dalam dhamma-dhamma.
5c) Ia berdiam tidak bergantung, tidak menggenggam apa pun di dunia.

Isi ajaran yang utama adalah sebab bagi empat objek satipaṭṭhāna, dan dalam hal ini kedua tradisi bersepaham sepenuhnya. Namun banyak dari struktur sisanya berbeda. Theravāda memiliki bagian pendahuluan 1, tetapi alih-alih menanyakan “Apakah asal mula dan lenyapnya empat satipaṭṭhāna?” ia bertanya “Apakah asal mula tubuh?” Ini jelas suatu kesalahan pengeditan. Kita akan mengharapkan bahwa pertanyaan ini diulangi untuk tiga satipaṭṭhāna lainnya, tetapi tidak; juga, pertanyaan hanya menunjuk pada asal mula, tetapi teks menunjuk pada asal mula dan lenyapnya. Keganjilan pengeditan ini tidak ditemukan dalam versi Mandarin. Pengungkapannya juga menyimpang dari bentuk standar. Umumnya Sang Buddha mengatakan: “Aku akan mengajarkan kalian x... Dengarkanlah pada hal itu... Dan apakah x?” Tetapi di sini Beliau mengatakan: “Aku akan mengajarkan kalian x... Dengarkanlah pada hal itu... Dan apakah y?” Jenis perubahan ini dapat terjadi jika teks dituliskan separuh pada satu halaman dan separuh pada halaman berikutnya; pertanyaannya menjadi terpisahkan dari pendahuluan dan dimasukkan dengan bagian tentang tubuh (seperti dalam PTS Pali dan terjemahan-terjemahan), dan maka para penyalin yang belakangan menganggap pertanyaan itu pasti menunjuk pada isinya. Versi Mandarin lebih masuk akal dan dengan demikian mungkin lebih otentik.

Bagian b dan c tidak ada dalam Samudaya Sutta Theravāda; namun mereka sangat mirip dengan “pengulangan vipassanā” dari Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda. Di tempat lain dalam Saṁyutta Theravāda, bagian b muncul, tetapi bukan dalam hubungannya dengan bagian c. Ini menyatakan bahwa versi awal dari Samudaya Sutta yang dipertahankan dalam Mandarin suatu pengaruh yang menentukan pada pembentukan pengulangan vipassanā dari Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda; ini pasti terjadi sebelum pemecahan Samudaya Sutta.

Bagian b sekarang ditemukan dalam Vibhaṅga Sutta, yang seperti kita lihat mungkin suatu perkembangan yang belakangan. Ketika Samudaya Sutta dipecah, bagian b dan c dipindahkan ke dalam *Vibhaṅga Sutta awal mula, yang dipindahkan ke dalam Majjhima dan diberi judul ulang “Satipaṭṭhāna Sutta”. Entah bagaimana, *Desanā Sutta awal mula yang dipasangkan dengan *Vibhaṅga Sutta-nya tetap berada dalam Saṁyutta, tetapi mengambil judul “Vibhaṅga” dan juga bagian b dari Samudaya Sutta.

Setelah mengembangkan bahwa Sarvāstivāda lebih mungkin untuk mewakili teks pra-sektarian dari Samudaya Sutta, kita sekarang harus mempertimbangkan apakah ini mungkin telah ada dalam kumpulan awal mula. Ungkapan “prinsip asal mula, prinsip lenyapnya, prinsip asal mula dan lenyapnya” muncul berurutan dalam tiga kotbah dalam Khandhasaṁyutta.[21] Kotbah-kotbah ini, bersama-sama dengan dua berikutnya, digabungkan ke dalam satu kotbah dalam versi Mandarin. Penjelasan untuk “asal mula” dan “lenyapnya” dalam satipaṭṭhāna juga menyerupai sebab-sebab bagi muncul dan lenyapnya lima kelompok unsur kehidupan, seperti dalam Sutta Tujuh Kasus yang penting, yang adalah salah satu yang paling tersebar di antara semua kotbah; ia berfungsi seperti sebuah *Khandhavibhaṅga Sutta dalam ketiadaan suatu teks bertipe ini yang sesuai.[22] Ini mengatakan bahwa “disebabkan asal mula makanan terdapat asal mula bentuk fisik [= tubuh]... disebabkan asal mula kontak terdapat asal mula perasaan... [dan] persepsi... [dan] aktivitas konseptual... disebabkan asal mula nama dan rupa terdapat asal mula kesadaran...”. Karena ajaran-ajaran vipassanā jenis ini merata sepanjang Khandha-saṁyutta, mungkin bahwa itu merupakan rumah asal mereka dan mereka dimasukkan dalam Satipaṭṭhāna-saṁyutta sebagai suatu perkembangan sekunder. Ini ditunjukkan dengan hubungan sebagian antara empat satipaṭṭhāna dan lima kelompok unsur kehidupan: tubuh = bentuk fisik; perasaan = perasaan; pikiran = kesadaran; dhamma-dhamma = (persepsi dan aktivitas-aktivitas konseptual?). Hubungan ini dibuat eksplisit dalam teks-teks belakangan dari aliran-aliran, seperti yang akan kita lihat.

Walaupun meragukan, namun Samudaya Sutta adalah suatu teks pra-sektarian yang penting dan layak dipertimbangkan lebih dekat. Ia mengatakan bahwa asal mula tubuh adalah makanan; asal mula perasaan adalah kontak; asal mula pikiran adalah nama dan bentuk; dan asal mula dhamma adalah perhatian. Ini membuang gagasan bahwa ketidakkekalan dalam satipaṭṭhāna berarti kesementaraan. Makanan menyokong kehidupan; jika anda berhenti makan anda akan mati. Jelas di sini berhenti atau lenyapnya hanya berarti “kematian”. Kontak adalah asal mula perasaan baik dalam lima kelompok unsur kehidupan dan kemunculan bergantungan. Perhatian sebagai asal mula bagi dhamma-dhamma adalah menarik. Perhatian adalah landasan bagi kebijaksanaan, dan paling khas diperlakukan sebagai penyelidikan ke dalam sebab-sebab, khususnya sebab-sebab dhamma yang baik dan buruk. Ini menyatakan bahwa vipassanā adalah hal yang hakiki pada satipaṭṭhāna ini.

“Nama dan bentuk” dalam Samudaya Sutta dikatakan sebagai asal mula dari pikiran. “Nama” di tempat lain didefinisikan sebagai “perasaan, persepsi, kehendak, kontak, perhatian”.[23] Ini adalah kelompok faktor-faktor mental yang membentuk konsep-konsep, secara harfiah “penamaan”.[24] Umumnya (dalam kelompok-kelompok unsur kehidupan dan kemunculan bergantungan) “nama dan bentuk” dikatakan sebagai asal mula dari “kesadaran” (viññāṇa), alih-alih “pikiran” (citta). Jelasnya di sini citta dan viññāṇa adalah sinonim; tetapi mengapa pergeseran istilah ini diubah di sini? Secara khusus, viññāṇa digunakan dalam konteks vipassanā, seperti kemunculan bergantungan, lima kelompok unsur kehidupan, dan proses kesadaran indera. Oleh sebab itu ia diperlakukan di bawah kebenaran mulia pertama, dan “untuk dipahami”. Citta lebih sulit dijabarkan, karena ia digunakan secara luas dalam konteks non-teknis yang hanya bermakna “pikiran”, “pemikiran”, “suasana hati”, “keadaan pikiran”. Namun, ketika ia digunakan dalam suatu pengertian teknis ia sering merupakan suatu istilah untuk samādhi – “pikiran yang lebih tinggi” (adhicitta), “penyokongan dengan pikiran” (cittasampadā), dst. Oleh sebab itu ia diperlakukan di bawah kebenaran mulia keempat, dan “untuk dikembangkan”. Ini mengapa citta sesuai untuk satipaṭṭhāna – ia mencakup baik pikiran biasa dan pikiran yang berkembang dalam samādhi. Tetapi ketika konteks normal samatha dari satipaṭṭhāna diperluas untuk memasukkan vipassanā, kita berakhir dengan citta yang muncul dengan ciri-cirinya dalam suatu peran yang normalnya dimainkan oleh viññāṇa.[25]

Uniknya dalam Nikāya-Nikāya, teks ini memperlakukan “satipaṭṭhāna” dalam suatu pengertian objektif. Umumnya “satipaṭṭhāna” (“penegakan perhatian”) menunjuk pada tindakan subjektif menegakkan atau memusatkan perhatian pada salah satu dari empat landasan. Tetapi di sini satipaṭṭhāna menunjuk pada objek dari perhatian, yaitu, tubuh, dst. (“hal-hal di mana perhatian ditegakkan”). Pengertian objektif ini jika diambil secara harfiah tidak masuk akal – ini berarti bahwa tubuh adalah “jalan satu arah” menuju Nibbana. Ini dapat muncul sebagai kabar yang menyenangkan; karena makanan adalah nutrisi bagi tubuh, makan pastilah nutrisi bagi sang jalan! Kerancuan ini berasal dari pergeseran dalam perspektif karena kerangka yang dirancang untuk samatha diperluas untuk memasukkan vipassanā, di bawah pengaruh lima kelompok unsur kehidupan. Dalam satipaṭṭhāna yang biasanya seseorang berada “di dalam” keempat landasan, “memasuki” landasan meditasi, sedangkan di sini seseorang “ditarik” dari dan mewujudkan proses untuk tujuan analisis. Seperti perbedaan antara membaca sebuah cerita, di mana seseorang memasuki tokoh-tokoh dan emosi-emosinya – anda merasa marah atau sedih atau gembira – dan membaca sebuah tinjauan dari cerita, di mana seseorang mengembangkan suatu pengetahuan yang kritis, analitis ke dalam bagaimana cerita itu bekerja – anda memahami bagaimana teks itu membuat anda merasa marah atau sedih atau gembira. Kita akan melihat bahwa kerancuan ini menyebabkan cukup banyak kebingungan dalam tulisan-tulisan yang belakangan.

Jadi terdapat beberapa masalah dengan Samudaya Sutta: masalah pengeditan dalam Pali; tidak adanya kesesuaian yang dekat antara Sarvāstivāda dan Theravāda; kemungkinan pengaruh dari Khandha-saṁyutta; perlakukan yang tidak biasa atas subjek yang memunculkan kesulitan penafsiran yang serius. Jadi walaupun saya telah memberikannya suatu tempat yang sesuai, keotentikannya adalah meragukan. Namun satu ciri khas terbukti sifat awalnya, di mana perhatian adalah asal mula untuk dhamma-dhamma. Ini sangat sesuai dengan isi yang lebih awal dari bagian perenungan terhadap dhamma, tetapi tidak dengan perkembangan isi dari Satipaṭṭhāna Sutta yang ada. Juga, pernyataan ini tidak mungkin berasal dari Khandhasaṁyutta atau tempat lainnya. Jika Samudaya Sutta adalah penambahan sekunder, maka ia tidak begitu belakangan.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #54 on: 28 September 2014, 03:46:58 PM »
12.2 Anuruddha-saṁyutta

Kita sekarang dapat dengan singkat mempertimbangkan perlakuan terhadap satipaṭṭhāna dalam Saṁyutta sisanya. Anuruddha-saṁyutta berhubungan secara eksklusif dengan satipaṭṭhāna, kesatuan tematis yang didasari oleh kenyataan bahwa semua kotbahnya diucapkan oleh Yang Mulia Anuruddha.

Anuruddha-saṁyutta Theravāda memulai dari analisis vipassanā yang rumit sejauh ini.[26] Ini menggabungkan perenungan internal/eksternal dengan perenungan ketidakkekalan. Seseorang merenungkan prinsip kemunculan, kelenyapan, serta kemunculan dan kelenyapan sehubungan dengan tubuh secara internal. Kemudian ia merenungkan tubuh secara eksternal dengan cara yang sama, dan seterusnya. Masing-masing bagian lalu ditambahkan dengan rumusan standar pelengkap. Ini satu-satunya tempat di mana bagian vipassanā dilekatkan dalam rumusan satipaṭṭhāna itu sendiri. Kemudian ia memperkenalkan kerangka lain, yang familiar di tempat lain dalam sutta-sutta. Seseorang merenungkan yang menjijikkan dalam yang indah; yang indah dalam yang menjijikkan; kemudian mengabaikan keduanya dan berdiam dalam keseimbangan. Ingat bahwa dalam Theravāda Vibhaṅga Sutta Satipaṭṭhāna-saṁyutta seseorang pertama kali mengembangkan semua keempat satipaṭṭhāna, dan baru kemudian ketidakkekalan diperkenalkan. Namun sekarang, ketidakkekalan diperkenalkan terlebih dahulu, yang memberikan kesan, tanpa menyatakannya secara eksplisit, bahwa seseorang dapat menjalankan vipassanā dari awal latihan. Di sini kita melihat permulaan dari suatu tren yang dapat dilacak dalam uraian-uraian yang belakangan tentang satipaṭṭhāna.

Kotbah ini tidak memiliki sumber sama yang dekat. Terdapat satu teks dalam Anuruddha-saṁyutta Sarvāstivāda yang menyebutkan melihat yang menjijikkan dalam yang indah, dan seterusnya, yang dapat kita anggap sebagai yang sumbernya sama.[27] Tetapi ini memiliki latar yang sangat berbeda (seperti kotbah-kotbah “Brahmā” yang menyatakan “jalan yang menuju satu”) dan menghilangkan penyebutkan muncul dan lenyapnya. Pasangan dari kotbah ini, seperti yang disebutkan di atas, melengkapi “jalan yang menuju satu” dengan mengatakan ini membawa pada penyatuan pikiran, suatu pernyataan yang tidak ditemukan dalam Theravāda.[28] Mempertimbangkan reputasi Yang Mulia Anuruddha sebagai seorang yang menyenangi ketenangan, ini suatu pernyataan yang lebih masuk.

Kebanyakan dari Anuruddha-saṁyutta sisanya menekankan aspek samādhi dari satipaṭṭhāna, karena Anuruddha secara sistematis menghubungkan keberhasilannya dalam setiap jenis kekuatan batin dengan satipaṭṭhāna. Ini mengikuti secara alami dari fungsi dasar satipaṭṭhāna sebagai dukungan untuk jhāna. Banyak dari bacaan rumusan ini diringkas dalam Sarvāstivāda-saṁyukta.

12.3 Vedanā-saṁyutta

Vedanā-saṁyutta jelas berorientasi pada vipassanā, yang sering membicarakan pemahaman ketidakkekalan perasaan. Tetapi ini tidak berarti dimensi samatha diabaikan. Beberapa kotbah mengajarkan bahwa seseorang memahami lenyapnya perasaan melalui jhāna.[29] Semua kotbah jhāna dimasukkan dalam Sarvāstivāda, sedangkan dua yang menyebutkan satipaṭṭhāna tidak. Terdapat 31 kotbah dalam Vedanā-saṁyutta Theravāda; hanya lima yang hilang dalam Sarvāstivāda, semuanya berhubungan dengan vipassanā.[30]

Satipaṭṭhāna disebutkan dalam dua kotbah yang sangat mirip yang diajarkan untuk para bhikkhu yang sakit.[31] Seseorang seharusnya mengembangkan satipaṭṭhāna, memiliki pemahaman jernih, dan merenungkan kondisionalitas dan ketidakkekalan perasaan. Kotbah-kotbah ini muncul bergiliran satu sama lainnya dalam saṁyutta itu (walaupun dalam Sarvāstivāda mereka berada dalam saṁyutta lain, yang berhubungan dengan sakit), dan mereka keduanya diberikan latar yang sama, Aula Beratap Memuncak di Hutan Besar dari Vesali. Ini suatu lokasi yang tidak biasa, dan menimbulkan pertanyaan mengapa dua kotbah yang demikian mirip diberikan di sini dan tidak di tempat lain. Satu-satunya perbedaan antara keduanya adalah bahwa yang pertama menyatakan bahwa perasaan dikondisikan oleh tubuh, sedangkan yang kedua mengatakan perasaan dikondisikan oleh kontak. Yang kedua adalah posisi umum dari Sutta-Sutta, yang diulangi berkali-kali dalam Vedanā-saṁyutta itu sendiri, maka pernyataan bahwa perasaan bergantung pada tubuh dipertanyakan. Kita mungkin berhadapan dengan satu teks, dan cukup awal pada kata “tubuh” digantikan untuk “kontak”, mungkin karena kesalahan, untuk menghasilkan sepasang kotbah.

Urutan teks-teks ini menarik: empat satipaṭṭhāna; pemahaman jernih terhadap aktivitas-aktivitas tubuh; perenungan perasaan. Dengan kata lain mereka pertama kali menyajikan ajaran dasar tentang satipaṭṭhāna, kemudian memberikan penjelasan tentang dua yang pertama, tubuh dan perasaan. Ini ditunjukkan pada saya oleh Rod Bucknell, yang menyatakan bahwa ini adalah bukti bahwa perincian awal mula dari perenungan tubuh adalah pemahaman jernih atas aktivitas-aktivitas, alih-alih bagian-bagian tubuh, seperti yang saya argumentasikan dalam tulisan ini. Namun, suatu penyelidikan yang lebih dekat menyatakan bahwa kesimpulan ini tidak dibutuhkan.

Pertama-tama, teks-teks tidak mengatakan bahwa pemahaman jernih atas aktivitas-aktivitas tubuh, atau perenungan ketidakkekalan perasaan, jatuh di bawah satipaṭṭhāna yang berhubungan. Kotbah-kotbah mulai dari Sang Buddha mengunjungi para bhikkhu yang sakit dan mendorong mereka untuk “menantikan waktu mereka”, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, dengan mengatakan bahwa “inilah ajaran kami kepadamu.” Kemudian Beliau menjelaskan “penuh perhatian” sebagai empat satipaṭṭhāna, dan “memahami dengan jernih” sebagai kewaspadaan terhadap aktivitas-aktivitas. Ini sama seperti dalam Satipaṭṭhāna-saṁyutta, dan di sini seperti di sana, permukaan teks menyajikan hal ini sebagai dua praktek yang berbeda, dengan tidak ada upaya menyatukan mereka. Ini tidak untuk mengatakan bahwa mereka tidak terintegrasi atau berhubungan, tetapi hanya bahw teks tidak menyebutkan hal ini. Satu praktek dinyatakan; kemudian yang berikutnya dinyatakan; lalu Sang Buddha menyimpulkan dengan mengulangi bahwa “inilah ajaran kami kepadamu.” Jadi tubuh ajaran sama dengan Satipaṭṭhāna-saṁyutta, dan pengajaran yang berulang menutup bagian dari kotbah ini.

Berikutnya diperkenalkan perenungan perasaan, dengan suatu perubahan yang berbeda dalam suasananya. Sementara sebelumnya kita memiliki suatu nasehat yang langsung, sekarang teks bergeser menjadi suatu suasana hipotetis: “Jika, para bhikkhu, bagia seorang bhikkhu yang berdiam demikian penuh perhatian, memahami dengan jelas, rajin, tekun, berketetapan hati, muncul perasaan menyenangkan...”. Pergeseran ini mungkin disebabkan oleh konjungsi dua perikop tekstual yang berbeda. Walaupun ini tidak membuktikan bahwa teks yang kita miliki tidak otentik, ini menimbulkan pertanyaan tingkat kepercayaannya sebagai sebuah otoritas awal. Beberapa ungkapan di sini, seperti penggunaan berulang-ulang atas “perenungan” mengingatkan kita pada satipaṭṭhāna, tetapi beberapa rinciannya berbeda. Tidak seperti satipaṭṭhāna, penyelidikan ke dalam sebab-akibat dibuat eksplisit: “Pada apakah [perasaan ini] bergantung? Ia bergantung pada kontak.” Dan menariknya, sementara satipaṭṭhāna dengan terkenal menyuruh kita merenungkan “sebuah tubuh di dalam tubuh”, “sebuah perasaan di dalam perasaan”, dst., bacaan ini mengatakan: “Seseorang berdiam dengan merenungkan ketidakkekalan dalam kontak dan dalam perasaan yang menyenangkan.”[32] Jadi sementara satipaṭṭhāna adalah tentang memusatkan perhatian dengan sungguh-sungguh pada dan secara eksklusif pada salah satu aspek pengalaman, bacaan kita saat ini menggambarkan suatu meditasi yang lebih kompleks, yang bersegi banyak, dengan melihat berbagai jenis fenomena, hubungan dan kebergantungan mereka, dan sifat mereka yang tidak kekal.

Adalah dalam konteks seperti ini kita menemukan penggambaran jelas dari vipassanā sebagai penyelidikan ke dalam sebab-akibat, yang tidak sangat mengejutkan tidak ada dari latihan meditasi dasar dalam Satipaṭṭhāna Sutta itu sendiri. Di sini pengembangan vipassanā ke dalam perasaan dinyatakan setelah satipaṭṭhāna; dan ini dijelaskan sebagai penyelidikan kebergantungan sebab-akibat mereka, kemudian merenungkan ketidakkekalan mereka, lenyapnya, hancurnya, berakhirnya, pelepasannya. Istilah-istilah ini hampir identik dengan tetrad keempat dari ānāpānasati; dengan kata lain, perenungan terhadap dhamma-dhamma.

Perasaan adalah suatu bagian yang hakiki dari satipaṭṭhāna, maka tidak mengejutkan bahwa satipaṭṭhāna diperkenalkan dalam kumpulan yang berhubungan dengan perasaan. Namun, empat satipaṭṭhāna tidak disebutkan sama sekali dalam Saḷāyatana-saṁyutta dan hampir tidak ada dalam Khandha-saṁyutta, yang menyatakan bahwa alat indera dan kelompok-kelompok unsur kehidupan tidak dianggap secara khusus berhubungan dengan satipaṭṭhāna. Khandha-saṁyutta menyebutkan satipaṭṭhāna beberapa kali ketika memberikan daftar 37 sayap menuju pencerahan. Dalam satu kotbah lainnya mereka disebutkan, tetapi tidak dalam hubungan dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan:

“Dan di manakah, para bhikkhu, tiga pemikiran tidak bermanfaat ini berakhir tanpa sisa? Bagi seseorang yang berdiam dengan pikiran yang berkembang dengan baik dalam empat satipaṭṭhāna, atau yang mengembangkan konsentrasi tanpa tanda.”[33]

Pemikiran-pemikiran tidak bermanfaat berakhir dalam jhāna pertama;[34] ānāpānasati adalah latihan yang umum untuk memotong pemikiran-pemikiran. Mengendalikan pemikiran juga menonjol dalam Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda. Sesuai dengan tren yang muncul di atas, pernyataan atas sisi samatha dari satipaṭṭhāna juga ditemukan dalam Sarvāstivāda.

Walaupun empat satipaṭṭhāna seperti demikian tidak disebutkan dalam dalam Saḷāyatana-saṁyutta, tetapi terdapat suatu hubungan yang lebih dekat antara perhatian dan enam alat indera daripada antara perhatian dan lima kelompok unsur kehidupan. Ini mencerminkan suatu perbedaan mendalam dalam orientasi antara dua kerangka itu. Meditasi pada kelompok-kelompok unsur kehidupan secara khusus berhubungan dengan melenyapkan pandangan salah, sedangkan meditasi pada alat indera disesuaikan untuk melampaui nafsu. Oleh sebab itu ia menekankan pengendalian indera, yang berhubungan dekat dengan perhatian, khususnya perhatian terhadap tubuh. Bacaan standar dimasukkan di atas dalam jawaban Yang Mulia Mahā Kaccāna kepada Brahmana Lohicca.[35] Di sana urutan pengajarannya adalah: pengendalian indera; perhatian terhadap tubuh; pikiran tidak terukur (yaitu jhāna); pemahaman; pembebasan. Bacaan lain mengatakan bahwa seorang bhikkhu harus melatih dirinya sendiri sehubungan enam alat indera sedemikian sehingga mereka tidak menggoda pikirannya, semangatnya tidak kenal lelah, perhatiannya berkembang baik, tubuhnya menjadi tenang, dan pikiran memasuki samādhi.[36] Dengan demikian penggunaan perhatian di sini kurang lebih sama seperti yang telah kita lihat di atas.

12.4 Ānāpānasati-saṁyutta

Perhatian pada pernapasan merupakan meditasi yang Sang Buddha jalankan di bawah pohon Bodhi, dan tetap menjadi meditasi yang Beliau sukai bahkan setelah pencerahan-Nya. Karena hal ini ia selalu mengklaim suatu kedudukan yang khusus sebagai jalan utama menuju Nibbana. Sumber utamanya adalah Ānāpānasati Sutta dalam Majjhima Nikāya Theravāda.[37] Tidak ada Ānāpānasati Sutta seperti demikian dalam Madhyama Āgama Sarvāstivāda, tetapi ia muncul sebagai suatu teks tersendiri dalam kanon Mandarin.[38] Lebih lanjut, 16 langkah ditemukan dalam Madhyama and Saṁyukta Sarvāstivāda. Dalam Majjhima Theravāda dan Saṁyutta Theravāda dan Sarvāstivāda 16 langkah ānāpānasati dianalisis terhadap empat satipaṭṭhāna. Hubungannya adalah sebagai berikut.

Tabel 12.4: Satipaṭṭhāna & Ānāpānāsati

SatipaṭṭhānaĀnāpānāsati
1. Perenungan terhadap tubuhBernapas panjang
Bernapas pendek
Mengalami seluruh tubuh
Menenangkan aktivitas-aktivitas tubuh
2. Perenungan terhadap perasaanMengalami kegiuran
Mengalami kebahagiaan
Mengalami aktivitas-aktivitas mental
Menenangkan aktivitas-aktivitas mental
3. Perenungan terhadap pikiranMengalami pikiran
Menggembirakan pikiran
Memusatkan pikiran dalam samādhii
Membebaskan pikiran
4. Perenungan terhadap dhammaMerenungkan ketidakkekalan
Merenungkan lenyapnya nafsu
Merenungkan lenyapnya
Merenungkan pelepasan

Dalam konteks ānāpānasati, “tubuh” dan “aktivitas-aktivitas tubuh” didefinisikan sebagai napas, sedangkan “aktivitas-aktivitas mental” merupakan perasaan dan persepsi. Tetrad pertama jelas menggambarkan proses secara perlahan-lahan menenangkan napas. Perenungan terhadap perasaan digambarkan murni sebagai kebahagiaan samatha; tidak ada tempat untuk perenungan terhadap rasa sakit di sini, dan tampaknya tidak perlu. Perenungan terhadap pikiran bahkan lebih eksplisit dibingkai sehubungan dengan pengalaman samādhi.

Sesuai dengan ajaran-ajaran utama tentang satipaṭṭhāna, tidak sampai tetrad keempat, kesamaan dengan perenungan terhadap dhamma, kita menemukan vipassanā.[39] Istilah-istilah yang mirip menyatakan vipassanā muncul, dengan perbedaan kecil, di sepanjang Sutta-Sutta. Kelompok yang paling penting, seperti dalam Anattalakkhaṇa Sutta, dst., adalah pengetahuan dan penglihatan, kejijikan, lenyapnya nafsu, pembebasan. Sarvāstivāda memiliki ketidakkekalan, kejijikan, lenyapnya nafsu, berhentinya; lagi-lagi, suatu perbedaan kecil yang menggambarkan proses yang sama.

Dalam Ānāpānasati Sutta, baik Saṁyutta Theravāda dan Sarvāstivāda, dengan mengembangkan ānāpānasati mengembangkan satipaṭṭhāna, dengan mengembangkan satipaṭṭhāna mengembangkan tujuh faktor pencerahan, dan dengan mengembangkan tujuh faktor pencerahan membawa pada pembebasan. Ini mengingatkan kita pada “penarikan kesimpulan berdasarkan dhamma” yang kita temui di atas, dan juga tahapan meditatif dari pelatihan bertahap. Hubungan antara ānāpānasati dan faktor-faktor pencerahan juga membantu kita untuk memahami cara perenungan terhadap dhamma dalam ānāpānasati dan satipaṭṭhāna berhubungan. Di mana ānāpānasati memiliki “ketidakkekalan, lenyapnya nafsu, berhentinya, pelepasan”, satipaṭṭhāna memiliki suatu daftar dhamma-dhamma yang memasukkan tujuh faktor pencerahan; dan bacaan standar tentang hal ini mengatakan mereka “bergantung pada pengasingan, bergantung pada lenyapnya nafsu, bergantung pada berhentinya, matang dalam pelepasan”.

Tetrad keempat dari ānāpānasati merenungkan ketidakkekalan; tetapi ketidakkekalan dari apa? Kita harus menghubungkan ini dengan struktur internal dari meditasi itu sendiri. Keseluruhan pengajaran ānāpānasati menekankan suatu penenangan dan penghentian yang bertahap dan progresif atas aktivitas-aktivitas. Napas tenang dan menjadi sangat halus dan menyenangkan. Pemikiran yang berbicara tiada henti ditenangkan dan seseorang mengalami kebahagiaan dan ketenangan yang paling mendalam yang pernah ada. Rintangan-rintangan berakhir dan keramaian sentuhan indera lenyap. Penenangan yang berturut-turut ini adalah keseluruhan dunia pengalaman meditator pada waktu itu, dan adalah landasan di mana mereka menjadi paham akan ketidakkekalan. Sebuah perspektif yang menarik diberikan dalam ungkapan ini, yang telah kita kutip di atas, yang menggambarkan perenungan terhadap dhamma dalam ānāpānasati:

“Setelah melihat dengan pemahaman ditinggalkannya ketamakan dan penolakan, ia mengamati secara dekat dengan keseimbangan...”[40]

“Ketamakan dan penolakan” mengingatkan kembali pada rumusan pelengkap satipaṭṭhāna. Dalam Satipaṭṭhāna Sutta, perenungan terhadap dhamma memulai dengan lima rintangan. Dua yang pertama adalah keinginan indera dan kebencian, yang identik dengan “ketamakan dan penolakan”. Melihat ditinggalkannya keduanya “dengan pemahaman” memberikan fokus pada sebab-akibat yang adalah karakteristik dari bagian ini; kata yang sama “ditinggalkannya” juga muncul dalam perenungan terhadap dhamma, dalam penunjukan pada ditinggalkannya lima rintangan. Perenungan terhadap dhamma juga memasukkan tujuh faktor pencerahan, dan ini merupakan kekuatan yang dapat mengatasi lima rintangan. Maka teks kita berakhir dengan mengatakan bahwa seseorang harus “mengamati dengan keseimbangan”; karena keseimbangan adalah yang terakhir dari faktor-faktor pencerahan. Perenungan terhadap dhamma dalam ānāpānasati terpenuhi dengan memahami bagaimana rintangan-rintangan ditinggalkan melalui faktor-faktor pencerahan, dan dengan pemenuhan proses ini seseorang berdiam dalam keseimbangan.

Dibandingkan dengan evolusi ajaran-ajaran yang bersifat konservatif dan terus berkembang tentang satipaṭṭhāna yang dialami dalam Satipaṭṭhāna-saṁyutta, Satipaṭṭhāna Sutta dalam Majjhima Nikāya tampak seperti suatu loncatan kuantum yang tidak terprediksi. Adalah instruktif untuk membandingkan hal ini dengan Ānāpānasati Sutta. Ini tidak mengandung ajaran baru, yang hanyalah suatu penyajian dari bahan dari Ānāpānasati-saṁyutta dengan suatu latar yang lebih terperinci. Dengan kata lain ini adalah ajaran yang lebih umum, yang diajarkan lebih sering. Dalam Satipaṭṭhāna Sutta kita lihat, bukan suatu langkah mungil dalam ukuran seperti dalam ānāpānasati, tetapi sebuah ledakan besar dalam beberapa arah sekaligus. Pertama-tama, masing-masing dari empat satipaṭṭhāna diperluas ke dalam latihan atau rangkaian latihan yang terperinci, beberapa darinya muncul di tempat lain dalam konteks satipaṭṭhāna. Kemudian masing-masing latihan diikuti dengan sebuah bagian panjang lebar yang berhubungan dengan pengetahuan mendalam. Ini pada pokoknya mirip dengan bagian pengetahuan mendalam dalam Samudaya Sutta dari Saṁyukta Sarvāstivāda. Bagian tambahan ini tidak muncul bersamaan sekaligus: Satipaṭṭhāna Sutta seperti yang kita miliki adalah hasil akhir dari proses panjang penambahan tekstual.
« Last Edit: 28 September 2014, 09:21:09 PM by Shinichi »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #55 on: 28 September 2014, 09:21:59 PM »
Catatan Kaki:

[1] SN 47.18/SA 607/SA 1189/SA2 102/SA3 4; SN 47.43.

[2] SN 47.31.

[3] Sutta ini tidak muncul sebagai sutta tersendiri di luar Pali, tetapi versi yang sejajar sebagian ditemukan dalam beberapa teks dari Mahāparinibbāna Sutta.

[4] SN 47.12.

[5] DN 16.1.16–17.

[6] DN 28/DA 18/T № 18.

[7] Kematian Yang Mulia Moggallāna tidak tercatat dalam kanon, tetapi kisah Theravādin dan Tibetan yang belakangan bersesuaian dalam garis besar umumnya.

[8] SN 47.21*/SA 628; SN 47.22; SN 47.23.

[9] Kotbah ini ada dalam Sarvāstivāda, tetapi dalam saṁyutta yang lain, dan oleh sebab itu tidak berada dalam kesesuaian kita. Teks yang sebelumnya, yang hampir identik, dalam SN 47 tidak ada dalam Sarvāstivāda.

[10] SN 47.2/SA 610.

[11] AN 4.41/T № 1536.7.

[12] SN 12.33/SA 356, SN 12.34/SA 357.

[13] SN 51.19 (Tidak ada SA yang sumbernya sama, karena Iddhipāda Saṁyutta telah hilang dalam versi Mandarin.)

[14] SN 51.20.

[15] MA 98; cp. SN 51.20.

[16] Saccavibhaṅga, Dhatuvibhaṅga; Saḷāyatanavibhaṅga berada dalam MN tetapi padanan Sarvāstivāda-nya tetap berada dalam SA, yang tentu saja adalah rumah sebenarnya.

[17] SN 47.34/SA 634.

[18] SN 47.39/SA 610.

[19] Boin-Webb, pg. 160.

[20] CDB dengan salah memiliki bentuk tunggal “perasaan”.

[21] SN 126–128/SA 256.

[22] SN 22.57/SA 42/EA 41.3. Juga dalam “Terjemahan Lain” sebagian dari SA, dan membentuk dasar dari sebuah Sutta Tujuh Kasus yang panjang berdiri sendiri dalam versi Mandarin, yang muncul sebagai sebuah penyusunan bergaya Saṅgīti Sutta.

[23] SN 12.1/SA 298/T № 124/Skt dst. Mandrin kadangkala memiliki “empat kelompok unsur kehidupan tak berbentuk”, yang hampir pasti adalah suatu kerusakan yang belakangan; namun, ini tidak mempengaruhi argument yang saat ini.

[24] DN 15.20/DA 13/T № 14/MA 97/T № 52/Skt.

[25] Kebingungan yang serupa antara citta dan viññāṇa muncul dalam konteks lain di mana samatha dan vipassanā saling melengkapi, misalnya MN 138/MA 164 Uddesavibhaṅga.

[26] SN 52.1.

[27] SA 536.

[28] SA 535.

[29] SN 36.11, 36.15–20.

[30] SN 36.2, 36.7–10, 36.22.

[31] SN 36.7, 36.8.

[32] So phasse ca sukhāya ca vedanāya aniccānupassī viharati.

[33] SN 22.80.

[34] MN 78/MA 179 Samaṇamaṇḍikā.

[35] SN 35.132, dst.

[36] SN 35.134.

[37] MN 118.

[38] Chih-ching, menurut Minh Châu, hal. 347. Kotbah beranekaragam ini, yang ditemukan ditambahkan pada kumpulan-kumpulan utama, terdiri dari terjemahan-terjemahan alternative dan kadangkala teks-teks yang tidak ditemukan dalam Āgama-Āgama utama. Ikatan doktrinal mereka biasanya tidak diketahui dan mereka bahkan lebih sedikit dipelajari dibandingkan kumpulan-kumpulan utama.

[39] Komentar berusaha membaca tiga tetrad pertama sebagai yang berhubungan dengan baik samatha maupun vipassanā, tetapi ini tidak mendapatkan dukungan dalam teks.

[40] SN 54.10/SA 813, SN 54.13/SA 810, MN 118.23ff.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #56 on: 03 October 2014, 09:03:48 PM »
Bab 13
Abhidhamma Awal

Saya mengambil langkah yang tidak biasa mempertimbangkan teks-teks Abhidhamma sebelum Sutta-Sutta Satipaṭṭhāna, bahkan ini menjawab urutan historisnya. Ini adalah untuk dua alasan. Satu adalah bahan Abhidhamma tentang satipaṭṭhāna mempertahankan beberapa ciri khas yang lebih kuno daripada Sutta-Sutta. Kedua adalah bahwa saya ingin mendekontruksi persepsi tentang apakah satipaṭṭhāna, persepsi yang dikondisikan oleh penafsiran modern vipassanāvāda dari Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda.

Literatur Abhidhamma adalah sistemasi yang diformalisasikan, bersifat skolastik dari Dhamma berdasarkan perspektif aliran-aliran. Sementara literatur Sutta dan Vinaya sebagian besar sama pada semua aliran, Abhidhamma dari aliran-aliran berbeda sangat jauh. Ini karena Sutta-Sutta dan Vinaya berasal dari masa pra-sektarian, sedangkan literatur Abhidhamma bersifat sektarian. Namun dalam pembahasan GIST kita, kita mencatat suatu pengecualian dari aturan ini. Terdapat tiga teks Abhidhamma yang semuanya tampak berasal dari suatu sumber yang sama, yang kita sebut “*Vibhaṅga Mūla”. Teks-teks ini adalah Vibhaṅga dari Theravāda, Dharmaskandha dari Sarvāstivāda,[1] dan Śāriputrābhidharma dari Dharmaguptaka.[2] Inti bersama dari karya-karya ini adalah sebuah mātikā, matriks atau daftar dari pengelompokan-pengelompokan ajaran, yang dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan dari Sutta-Sutta dan definisi-definisi kata. Karena karya ini dimulai sebelum perpecahan dan Sutta-Sutta belum diselesaikan sampai kemudian, terdapat beberapa tumpang tindih dalam penyusunan Sutta-Sutta dan Abhidhamma-Abhidhamma.

13.1 Vibhaṅga

Vibhaṅga memasukkan suatu pembahasan tentang satipaṭṭhāna sebagai salah satu dari rangkaian bab yang berhubungan dengan 37 sayap menuju pencerahan. Pembahasan itu dibagi ke dalam sebuah “Penguraian Sutta” dan sebuah “Penguraian Abhidhamma”. Penguraian Sutta dalam Vibhaṅga tetap dekat dengan Sutta-Sutta. Penguraian Abhidhamma adalah belakangan dan mengandung bahan Abhidhammik yang tersendiri. Kita akan melihat pada Penguraian Sutta dari Vibhaṅga di sini, dengan menahan pembahasan tentang Penguraian Abhidhamma untuk bab berikutnya.

Vibhaṅga memulai dengan rumusan dasar satipaṭṭhāna, yang diuraikan dengan perenungan internal/eksternal. Struktur yang lebih terperinci kemudian diungkapkan sebagai berikut.

Dalam Vibhaṅga [perenungan terhadap] tubuh diperlakukan sama seperti 31 bagian tubuh. Ini lebih kuno daripada Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda. Meditasi unsur-unsur dan jenazah, yang ditemukan dalam semua ketiga versi Sutta, juga ditemukan dalam Dhammasaṅgaṇī, sehingga tidak jelas mengapa mereka tidak ada di sini. Penyebutan 31 bagian tubuh juga lebih awal, yang ditemukan dalam empat Nikāya; tetapi pada masa Khuddakapāṭha disusun (di Sri Lanka?), otak telah ditambahkan untuk melengkapi 32 bagian yang klasik saat ini. Saya akan membahas perenungan tubuh di bawah, dalam konteks dari Śāriputrābhidharma.

Sebagai tambahan pada analisis berunsur tiga atas perasaan, bahan satipaṭṭhāna memperkenalkan perbedaan antara perasaan “duniawi” dan “spiritual”. Perbedaan ini hanya dijelaskan dalam Vedanā-saṁyutta.[3] Karena “duniawi” dan “spiritual” adalah istilah yang tidak biasa dalam konteks ini, mungkin bacaan Vedanāsaṁyutta dimaksudkan untuk menjelaskan Satipaṭṭhāna Sutta. Ini ditegaskan oleh ciri khas yang tidak biasa lainnya, dimasukkannya “kegiuran” sebagai suatu jenis perasaan. Kegiuran tidak disebutkan dalam bagian perasaan dari Satipaṭṭhāna Sutta, tetapi ia jatuh di bawah perasaan dalam ānāpānasati. Ini menyatakan bahwa Vedanā-saṁyutta mensintesis dan menjelaskan bagian perasaan dalam satipaṭṭhāna dan ānāpānasati.

Tabel 13.1: Struktur dari Vibhaṅga

1. Tubuh2. Perasaan3. Pikiran4. Dhamma
Bagaimanakah merenungkan tubuh internal?Bagaimanakah merenungkan perasaan internal?Bagaimanakah merenungkan pikiran internal?Bagaimanakah merenungkan dhamma internal?
Bagian-bagian tubuh internal3 perasaan, spiritual/duniawi menyenangkan, dst. InternalPikiran dengan nafsu, dst. (16 jenis) internal5 rintangan dan 7 faktor pencerahan internal
Kembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan eksternalKembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan eksternalKembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan eksternalKembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan eksternal
Bagaimanakah merenungkan tubuh eksternal?Bagaimanakah merenungkan perasaan eksternal?Bagaimanakah merenungkan pikiran eksternal?Bagaimanakah merenungkan dhamma eksternal?
Bagian-bagian tubuh eksternal3 perasaan, dst. EksternalPikiran dengan nafsu, dst. eksternal5 rintangan dan 7 faktor pencerahan eksternal
Kembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan internal/eksternalKembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan internal/eksternalKembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan internal/eksternalKembangkan “nimitta itu”, bandingkan dengan internal/eksternal
Bagaimanakah merenungkan tubuh internal/eksternal?Bagaimanakah merenungkan perasaan internal/eksternal?Bagaimanakah merenungkan pikiran internal/eksternal?Bagaimanakah merenungkan dhamma internal/eksternal?
Bagian-bagian tubuh internal/eksternal3 perasaan, dst. internal/eksternalPikiran dengan nafsu, dst. internal/eksternal5 rintangan dan 7 faktor pencerahan internal/eksternal
Demikianlah seseorang merenungkan tubuh internal/eksternalDemikianlah seseorang merenungkan perasaan internal/eksternalDemikianlah seseorang merenungkan pikiran internal/eksternalDemikianlah seseorang merenungkan dhamma internal/eksternal
Mendefinisikan: merenungkan, berdiam, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, dunia, ketamakan, penolakan, melenyapkanMendefinisikanMendefinisikanMendefinisikan

Penjelasan-penjelasan yang kita perhatikan di sini adalah sebagai berikut. Perasaan duniawi adalah perasaan yang berhubungan dengan indera-indera. Kegiuran spiritual terdapat dalam dua jhāna pertama, perasaan menyenangkan spiritual terdapat dalam tiga jhāna pertama, sedangkan perasaan netral spiritual terdapat dalam jhāna keempat. Perasaan menyakitkan spiritual adalah tekanan yang muncul ketika seseorang merindukan pembebasan-pembebasan yang damai yang belum ia realisasikan (suatu perasaan yang saya rasakan lebih familiar ketika buku ini berkembang lebih panjang!). Perasaan-perasaan spiritual terutama didefinisikan sehubungan dengan jhāna, dan dengan demikian pengelompokan yang tidak standar ini diperkenalkan dalam satipaṭṭhāna untuk menekankan pentingnya kebahagiaan samādhi yang telah dimurnikan. Seperti halnya kita tidak dapat mengetahui kegelapan sampai kita telah melihat cahaya, kita tidak dapat mengetahui sifat alami perasaan-perasaan sensual sampai kita memiliki perspektif kebalikannya.

Perenungan terhadap pikiran mengatakan pertama kali pemahaman pikiran dengan dan tanpa keserakahan, kemarahan, dan delusi. Pada umumnya ditinggalkannya hal-hal ini adalah Kearahantaan, tetapi tidak perlu untuk menganggap hal itu di sini. Kadangkala pernyataan jenis ini digunakan dalam konteks samatha langsung, seperti bacaan dari Aṅguttara ini.

“Pada suatu ketika, teman-teman, ketika seorang siswa mulia merenungkan Sang Buddha, pada waktu itu pikiran tidak diliputi dengan nafsu, pikirannya tidak diliputi dengan kemarahan, pikiran tidak diliputi dengan delusi. Pada waktu itu pikirannya lurus – meninggalkan, terbebaskan, dan bangkit dari keserakahan. [“Keserakahan” adalah suatu istilah untuk lima jenis kesenangan indera.] Siswa mulia itu berdiam dengan pikiran sepenuhnya seperti angkasa, luas, mengagungkan, tidak terukur, bebas dari kebencian dan keinginan jahat. Setelah membuat ini sebagai dukungan, beberapa makhluk di sini dimurnikan.”[4]

Perhatikan kesamaannya dengan satipaṭṭhāna, khususnya perenungan terhadap pikiran: praktek itu adalah suatu “perenungan” (anussati); istilah “pikiran” (citta) tanpa nafsu, kebencian, dan delusi; dengan melakukan hal ini, pikiran seseorang “terbebaskan”; dan hasilnya adalah “pemurnian makhluk-makhluk”. Oleh sebab itu, aspek subjektif dari perenungan terhadap pikiran adalah sama dengan enam perenungan.

Kembali pada perenungan terhadap pikiran, keseluruhan konteks, struktur progresif dari kotbah itu, dan dimasukkannya pikiran yang “dimampatkan” (oleh kemalasan) dan “diserakkan” (oleh kegelisahan) semuanya menyatakan bahwa di sini kita berhubungan dengan meninggalkan rintangan-rintangan dengan samādhi, sebuah penafsiran yang ditegaskan oleh komentar. Sebuah segi dari bahan satipaṭṭhāna adalah pengalaman langsung dari pikiran yang “mengagungka”, pikiran yang “tak terkalahkan”, pikiran “dalam samādhi”, pikiran yang “terbebaskan” – semua istilah untuk jhāna.

Bagian tentang perasaan dan pikiran berbagi tata bahasa yang sama. Sebagai contoh: “Ketika merasakan suatu perasaan yang menyenangkan, seseorang memahami ‘Aku merasakan suatu perasaan yang menyenangkan’.” Atau dalam perenungan terhadap pikiran: “Seseorang memahami pikiran dengan nafsu sebagai ‘pikiran dengan nafsu’.” Struktur refleksif ini digunakan bersama dengan ānāpānasati: “Ketika menarik napas panjang, seseorang memahami ‘Aku sedang menarik napas panjang’.”

Ungkapan dalam “tanda kutip” (yang diwakili dengan partikel Pali iti) mendorong beberapa aliran untuk menyamakan meditasi satipaṭṭhāna dengan pencatatan mental. Tetapi ini adalah suatu penafsiran harfiah yang dibuat-buat. Penggunaan yang sama ditemukan, sebagai contoh, dalam bacaan standar tentang pencapaian-pencapaian tanpa bentuk. Disebabkan oleh cara pengungkapan dalam bahasa Pali, ini sangat sulit diterjemahkan; secara harfiah ini akan menjadi: “‘Ruang adalah tanpa terbatas’, seseorang memasuki dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.” Biasanya penerjemah akan mengatakan sesuatu seperti: “Menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas’, seseorang memasuki dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.” Jelas di sini meditator telah dengan baik melampaui pemikiran atau pencatatan apa pun. Penggunaan iti dengan pengulangan-pengulangan dalam konteks demikian mencerminkan sifat refleksif dari perenungan meditatif. Seseorang tidak hanya mengetahui perasaan, tetapi ia sadar bahwa ia sedang mengetahui perasaan itu.

Perenungan dhamma dalam Vibhaṅga hanya memiliki rintangan-rintangan dan faktor-faktor pencerahan, sepasang yang sekarang menjadi familiar. Tidak seperti Satipaṭṭhāna Sutta, di sini tidak ada kalimat pendahuluan dan penutup untuk memisahkan dan mendefinisikan setiap bagian, seperti: “Dan bagaimanakah seseorang berdiam merenungkan dhamma dalam dhamma sehubungan dengan lima rintangan?” Rintangan-rintangan dan faktor-faktor pencerahan hanya berlanjut ke dalam satu sama lain.[5] Namun selain itu, pengungkapannya sama dengan Sutta.

Perenungan terhadap lima rintangan dan tujuh faktor pencerahan terutama merupakan suatu praktek samatha, dan mengundang perhatian tentang bagaimana bagian ini berbeda dari bagian-bagian lainnya. Sebagai contoh, dua rintangan pertama adalah keinginan indera dan kebencian, yang tampaknya hanya mengulangi perenungan terhadap “pikiran dengan nafsu” dan “pikiran dengan kemarahan”. Tetapi jika kita lihat lebih dekat, beberapa perbedaan mendalam membuat mereka jelas. Hal pertama adalah bahwa dalam perenungan terhadap pikiran, objek langsung dari perenungan adalah pikiran itu sendiri; kualitas-kualitas pikiran, seperti nafsu, kebencian, dst., berfungsi sebagai kata sifat yang mencirikan pikiran. Ini menyatakan bahwa perhatian utama dalam perenungan ini adalah sifat dari yang mengetahui itu sendiri, kekuatan kognitif dari kesadaran dalam berbagai kondisi. Dalam perenungan terhadap dhamma, objek langsung dari perenungan bukanlah pikiran, tetapi kualitas-kualitas mental yang dihubungkan – keinginan indera, dst.

Suatu perbedaan yang jelas adalah pendahuluan dari penyelidikan ke dalam sebab-akibat dalam perenungan terhadap dhamma. Di sini kita membandingkan perenungan terhadap pikiran dan dhamma, dengan mempertahankan terjemahan seharfiah mungkin.

Tabel 13.2: Perenungan terhadap Pikiran dan Dhamma

Perenungan terhadap PikiranPerenungan terhadap Dhamma
Seseorang memahami pikiran dengan nafsu sebagai “pikiran dengan nafsu.”Terdapat keinginan indera internal, seseorang memahami “Terdapat dalam diriku keinginan indera internal.”
Seseorang memahami pikiran tanpa nafsu sebagai “pikiran tanpa nafsu.”Tidak terdapat dikuasai oleh keinginan indera internal, seseorang memahami “Tidak terdapat dalam diriku keinginan indera internal.”
Dan seseorang memahami bagaimana keinginan indera yang belum muncul menjadi muncul.
Dan seseorang memahami bagaimana keinginan indera yang telah muncul menjadi ditinggalkan.
Dan seseorang memahami bagaimana keinginan indera yang telah ditinggalkan menjadi tidak muncul di masa depan.

Perbedaan utama dalam cara perenungan adalah tiga kalimat terakhir dalam perenungan terhadap dhamma. Ini adalah penyelidikan ke dalam sebab-akibat, ke dalam sebab-sebab di balik muncul dan lenyapnya berbagai kualitas baik dan buruk; lebih lanjut, suatu penyelidikan yang disesuaikan tepatnya untuk melenyapkan sebab dan meninggalkan selamanya kualitas-kualitas buruk. Untuk faktor-faktor pencerahan, tentu saja, situasinya berubah: seseorang harus memahami bagaimana faktor-faktor pencerahan muncul, dan bagaimana mereka dikembangkan sampai pemenuhan. Sebab-sebab untuk meninggalkan rintangan-rintangan tepatnya adalah faktor-faktor pencerahan; dan sebab-sebab yang menghalangi faktor-faktor pencerahan tepatnya adalah rintangan-rintangan. Dengan demikian kedua kumpulan dhamma ini berjalinan, cahaya dan kegelapan pikiran. Maka inilah ciri khas yang membedakan dari perenungan terhadap dhamma: penyelidikan ke dalam sebab-akibat.

Ini tentu saja adalah vipassanā, dan adalah di sini dalam perenungan terhadap dhamma-dhamma bahwa vipassanā menemukan rumah yang tepat dalam satipaṭṭhāna. Tetapi ini tentu saja bukan vipassanā “kering”, bukan pandangan terang yang terpisah dari samatha. Sangat berkebalikan: ini adalah pandangan terang yang muncul dari pemahaman samādhi, mengapa pikiran kadangkala bercahaya dan tenang dan kadangkala tajam dan retak. Tetapi pikiran dalam meditasi, yang kita pelajari melalui latihan satipaṭṭhāna, tidak berbeda sifatnya dari pikiran di luar meditasi: ia hanyalah pikiran yang merespon kondisi-kondisi. Jadi dengan mempelajari untuk memahami proses dari meditasi seseorang belajar memahami pikiran. Seraya pandangan terang melalui perenungan terhadap dhamma matang dan menjadi lebih dalam ia akan secara alami meluas untuk mencakupi semua keadaan pikiran, semua yang dapat diketahui, dan akan matang dalam pandangan terang yang paling dalam. Jadi penyajian perenungan terhadap dhamma dalam Vibhaṅga sangat meyakinkan sebagai suatu penggambaran alami dari proses meditatif.

Dalam Vibhaṅga masing-masing bagian diintegrasikan denan perenungan internal/eksternal, yang di sini diuraikan sedikit dari bentuk standar dalam Saṁyutta. Seseorang harus melatih, mengembangkan, membuat banyak, dan dengan jelas mendefinisikan perenungan tubuh secara internal sebelum melangkah maju menuju perenungan tubuh secara eksternal, dan seterusnya masing-masing tahapan selangkah demi selangkah.

Kemudian diikuti dengan suatu definisi kata, suatu penambahan abhidhammik yang belakangan. Kebanyakan definisi itu, atau agaknya, untaian sinonim, cukup standar. “Dunia” didefinisikan demikian: “Tubuh [perasaan, pikiran, dhamma] ini juga adalah dunia; juga lima kelompok unsur kehidupan yang berhubungan dengan kemelekatan adalah dunia.” Sifat mekanis dari definisi ini ditunjukkan dengan penjelasan tentang domanassa, yang mengikuti makna umum dari “kesedihan”, gagal mengenali makna kontekstual dari “penolakan” di sini.

Beberapa bahan sutta tidak ada dalam Vibhaṅga: tidak ada perumpamaan-perumpamaan, yang diharapkan dalam literatur Abhidhamma. Lebih penting lagi, tidak ada pengulangan vipassanā, yang sangat berlawanan dengan pengulangan internal/eksternal yang telah menyatu dengan baik.

Ketiadaan ini memerlukan suatu penjelasan. Satu kemungkinan adalah bahwa para penyusun Vibhaṅga malas; tetapi karya itu sebagai suatu keseluruhan dipersiapkan sangat baik dan tidak memberikan kesan bahwa para penyusunnya tidak dapat membawa sebuah Sutta yang terkenal.

Penjelasan yang lebih masuk akal adalah bahwa bahan yang tidak ada tidak sesuai dalam konteks Abhidhamma. Ini berlaku untuk, katakanlah, latar-latar dan perumpamaan-perumpamaan. Tetapi kebanyakan bahan yang tidak ada sunggu berada di rumahnya dalam Abhidhamma: unsur-unsur, kelompok-kelompok unsur kehidupan, alat indera, dan kebenaran-kebenaran, masing-masing darinya memiliki babnya sendiri dalam Vibhaṅga, dan ditemukan di seluruh Abhidhamma.

Maka mungkin, kasusnya adalah sebaliknya: para penyusun dengan sengaja menghilangkan bahan bergaya Abhidhamma. Ini akan menjadi prosedur yang aneh; pengulangan bukanlah suatu halangan bagi para Ābhidhammika. Lebih lanjut, beberapa bahan yang hilang, seperti perenungan tanah perkuburan, atau kewaspadaan terhadap aktivitas-aktivitas, tidak bersifat Abhidhammik secara khusus. Sangat menggugah rasa ingin tahu adalah hilangnya pertanyaan pembuka yang mendefinisikan lima rintangan dan faktor-faktor pencerahan. Pertanyaan jenis ini sangat berkarakteristik metode Abhidhamma, sedemikian sehingga ini kadangkala didefinisikan sebagai metode “dengan pertanyaan”. Menghilangkan mereka untuk menyesuaikan suatu konteks Abhidhamma tidak dapat dipahami.

Masalah lainnya adalah lokasi dari praktek-praktek yang dipilih. Dalam perenungan terhadap tubuh, Vibhaṅga memiliki praktek keempat dari empat belas praktek dalam Sutta; dalam perenungan terhadap dhamma, ia memiliki yang pertama dan keempat dari lima praktek. Tampaknya aneh bahwa seorang penyunting entah bagaimana menghilangkan semua praktek dengan meninggalkan hanya keempat. Jika Vibhaṅga merupakan hasil dari pemilihan dari Satipaṭṭhāna Sutta, kita akan mengharapkan memiliki praktek pertama disisakan, yang akan menyatakan bahwa sisanya akan dipenuhi.

Kesimpulannya tidak dapat dihindari: ketiadaan bahan dalam Vibhaṅga tidak disebabkan oleh kehilangan dari Satipaṭṭhāna Sutta, tetapi karena para penyusun Vibhaṅga bekerja dengan suatu teks sumber yang lebih pendek.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #57 on: 03 October 2014, 09:29:30 PM »
13.2 Dharmaskandha

Dalam kebanyakan aspek Dharmaskanda mirip dengan Vibhaṅga. Hubungannya sangat kuat, bahkan sampai pada rincian-rinciannya. Sebagai contoh, Pali memiliki ungkapan standar “melatih, mengembangkan, dan membuat banyak”, diikuti dengan ungkapan abhidhamma yang bersifat penekanan “membuat terdefinisi, dengan baik didefinisikan” (svatthitaṁ vavattheti); Mandarin persis mengikuti dengan cocok. Dan juga termasuk hampir semua bahan dalam Vibhaṅga, Dharmaskandha menambahkan bahan tambahan berikut.

Dharmaskandha memberikan latar di Sāvatthī, seperti halnya dalam Sutta-Sutta. Klaim keotentikan ini tidak ditemukan dalam Abhidhamma Pali. Namun, tidak seperti tradisi Pali, yang belakangan mengklaim bahwa Abhidhamma disusun oleh Sang Buddha, tradisi Sarvāstivāda menganggap Abhidhamma mereka berasal dari para siswa; Dharmaskandha dianggap berasal dari Yang Mulia Sāriputta.[6] Maka, mungkin pembukaan bergaya Sutta hanyalah suatu petunjuk bahwa teks pembukaan telah dipotong dan ditempelkan dari Sutta-Sutta.

Rumusan dasar satipaṭṭhāna mengandung rumusan pelengkap standar, alih-alih versi Sarvāstivāda yang diringkas. Perenungan internal/eksternal diintegrasikan dari awal. Kemudian ia mengatakan bahwa pada masa lampau, masa sekarang, dan masa depan, para bhikkhu akan berlatih dengan cara yang sama. Ini menyerupai awal dari Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda, dan mencerminkan pandangan Sarvāstivādin tentang waktu.

Spesifikasi dari masing-masing keempat satipaṭṭhāna sangat mirip dengan Vibhaṅga. Semua perubahan pada Vibhaṅga adalah penambahan; dan hampir semua penambahan ini sama dengan Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda. Dalam perenungan tubuh, Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda memiliki empat unsur sedangkan Sarvāstivāda memiliki enam unsur. Ini sesuai dengan preferensi Sarvāstivādin untuk menambahkan ruang dan kesadaran pada empat unsur yang biasanya, walaupun kesadaran jelas tidak cocok dalam perenungan tubuh. Bagian tentang perasaan juga berbagi dengan Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda tetapi bukan dengan teks Pali mana pun. Dimasukkannya alat indera di antara rintangan-rintangan dan faktor-faktor pencerahan memperlemah kesatuan dari penyajian Vibhaṅga. Enam alat indera juga disajikan persis sama dengan Sarvāstivāda (walaupun posisinya seperti Theravāda). Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda menyajikan alat indera secara identik dengan rintangan-rintangan (masa sekarang, tidak adanya, munculnya, ditinggalkannya, ketidak-munculan masa depan) sedangkan Theravāda memiliki suatu pengungkapan yang khusus untuk alat indera: seseorang memahami, sebagai contoh, mata, bentuk-bentuk visual, dan belenggu yang muncul bergantung pada keduanya. Di sini Theravāda lebih tepat; versi Sarvāstivāda mungkin muncul melalui suatu penerapan salah yang disengaja dari ungkapan rintangan-rintangan pada alat indera.

Tabel 13.3: Struktur dari Dharmaskandha

1. Tubuh2. Perasaan3. Pikiran4. Dhamma
a. Apakah “merenungkan tubuh internal dengan tekun, dst.?”a. Apakah “merenungkan perasaan internal dengan tekun, dst.?”a. Apakah “merenungkan pikiran internal dengan tekun, dst.?”a. Apakah “merenungkan dhamma internal dengan tekun, dst.?”
b. Mendefinisikan internalb. Mendefinisikan internalb. Mendefinisikan internalb. Mendefinisikan internal
c. Bagian-bagian tubuh (tanpa perumpamaan)c. Tiga perasaan1c. Pikiran dengan/tanpa nafsu, dst. (11 pasang)c. Keinginan indera saat ini, tidak adanya, munculnya, ditinggalkannya, ketidak-munculan masa depan
d. Mendefisinikan: merenungkan, berdiam, tekun, paham dengan jernih, penuh perhatian, ketamakan, penolakand. Mendefinisikan (seperti 1.d)d. Mendefinisikan (seperti 1.d)d. Mendefinisikan (seperti 1.d)
e. Enam unsur (seperti Sūtra Sarv; tanpa perumpamaan) e. Sisanya dari lima rintangan (diringkas)
f. Mendefinisikan (seperti 1.d; dari sini teks diringkas.) f. Mata, bentuk-bentuk visual saat ini, tidak adanya, munculnya, ditinggalkannya, ketidak-munculan masa depan (seperti Sūtra Sarv)
g. Mendefinisikan (seperti 1.d)
h. Alat indera lainnya
i. Faktor pencerahan dari perhatian saat ini, tidak adanya, munculnya, berkembangnya
j. Mendefisinikan (seperti 1.d)
k. Faktor-faktor pencerahan lainnya (diringkas)
g. Kesulitan-kesulitan2e. Kesulitan-kesulitane. Kesulitan-kesulitanl. Kesulitan-kesulitan
h. Mendefinisikanf. Mendefinisikanf. Mendefinisikanm. Mendefinisikan
(mengulangi 1.a-h “eksternal”)(mengulangi 2.a-f “eksternal”)(mengulangi 3.a-f “eksternal”)(mengulangi 4.a-m “eksternal”)
(mengulangi 1.a-h “internal/eksternal”)(mengulangi 2.a-f “internal/eksternal”)(mengulangi 3.a-f “internal/eksternal”)(mengulangi 4.a-m “internal/eksternal”)

1 Seperti Sūtra Sarvāstivāda: [perasaan] biasa, tubuh/batin, duniawi/spiritual, sensual/non–sensual
2 Pengulangan vipassanā; lihat SN 22.122/SA 259.

Penambahan pada Dharmaskandha atas Vibhaṅga secara khusus adalah Sarvāstivādin. Pengecualian pada hal ini adalah dalam perenungan terhadap pikiran, di mana tiga faktor tambahan ditambahkan pada delapan faktor standar dalam Theravāda tidak berhubungan erat secara khusus dengan Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda. Di sini terdapat sebuah tabel yang membandingkan kedua sumber Sarvāstivāda, dibandingkan dengan teks Sanskrit dari Śrāmaṇyaphala Sūtra, yang juga Sarvāstivādin. Saya memasukkan faktor-faktor dalam perenungan terhadap pikiran yang diberikan daftarnya oleh Asaṅga dalam Śrāvakabhūmi untuk perbandingan.

Tabel 13.4: Empat Versi dari Perenungan terhadap Pikiran

Smṛtyupasthāna Sūtra Śrāmaṇyaphala Sūtra Dharmaskandha Śrāvakabhūmi
SerakahSerakahSerakahSerakah
MarahMarahMarahMarah
TerdelusiTerdelusiTerdelusiTerdelusi
Terkotori
MengerutMengerutMengerutMengerut
LambanLambanLambanLamban
Kecil Kecil
Lebih rendah
Berkembang
GelisahKacauKacau
TenangTenangTenang
SamādhiSamādhiSamādhiSamādhi
BerkembangBerkembangBerkembang
TerbebaskanTerbebaskanTerbebaskanTerbebaskan

Śrāmaṇyaphala Sūtra lebih dekat dengan Dharmaskandha daripada Smṛtyupasthāna Sūtra. Satu-satunya perbedaan penting adalah penghilangan “kecil/besar”, tetapi karena ini ditemukan dalam kebanyakan versi (termasuk Pali), ini kemungkinan besar suatu kehilangan dalam Śrāmaṇyaphala Sūtra, alih-alih suatu penambahan pada Dharmaskandha. Pada sisi lain, Śrāvakabhūmi, walaupun dalam semua hal lain identik, bersesuaian dengan Śrāmaṇyaphala Sūtra dalam menghilangkan pasangan ini, yang menyatakan bahwa Asaṅga menggunakan suatu versi perenungan terhadap pikiran dari silsilah yang sama seperti Śrāmaṇyaphala Sūtra versi ini. Mengabaikan pasangan ini, empat pasangan dalam Dharmaskandha dari “mengerut” sampai “tenang” adalah hampir sinonim. Komentar-komentar Pali mengatakan mengerut berarti “dengan kemalasan dan kelambanan”, sedangkan diserakkan berarti “dengan kegelisahan”. Istilah tambahan ini dalam Sarvāstivāda mungkin telah memulai hidupnya sebagai penjelasan komentar tentang “mengerut/diserakkan”, yang belakangan dibaca ke dalam teks. Ini akan menyatakan bahwa “kecil/besar” (amahaggatam/mahaggatam) seharusnya termasuk pada tenang/tidak tenang. Jika kita lebih jauh mengenali bahwa “berkembang/tidak berkembang” dari Sarvāstivāda adalah hampir sinomin lainnya dengan “tidak terkalahkan/terkalahkan” dari Theravāda, maka dua versi dari perenungan terhadap pikiran dalam dua aliran itu menjadi sangat dekat sebenarnya. Dalam segala hal, perbandingan itu menyatakan bahwa di sini Dharmaskandha lebih otentik bagi tradisi Sarvāstivāda kuno, sedangkan versi Smṛtyupasthāna Sūtra telah melenceng jauh. Selain membantu kita melacak pertalian tekstual, namun, perbedaan-perbedaannya semua sepele.

Jauh lebih penting adalah penambahan sebuah pengulangan vipassanā pada akhir dari masing-masing bagian:

“Lebih lanjut bhikkhu itu, sehubungan dengan tubuh internal ini, mengamati dan merenungkan semua kesulitannya, yaitu: tubuh ini bagaikan penyakit, bagaikan bisul, bagaikan anak panah, menyulitkan, tidak kekal, menderita, kosong, bukan-diri, berubah-ubah, melelahkan, suatu kekusutan besar. Ia bersifat akan lenyap dan melapuk, dengan cepat dan terus-menerus menjadi lemah, tidak bertahan. Ia tidak dapat disandarkan atau dipercaya. Ia bersifat terus berubah dan melapuk...”

Ini berasal dari bacaan-bacaan dalam Nikāya-Nikāya, khususnya Khandhasaṁyutta.[7] Ini tidak ditemukan dalam teks-teks awal dalam konteks satipaṭṭhāna, dan membuktikan kecenderungan yang terus bertumbuh untuk memperlakukan satipaṭṭhāna sehubungan dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan. Ini jelas sebuah bacaan yang berbeda dibandingkan pengulangan vipassanā dari Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda dan tidak mungkin berasal dari sumber yang sama. Perhatikan bahwa, sementara Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda menempatkan pengulangan vipassanā pada akhir masing-masing latihan, dalam Dharmaskandha ia muncul hanya pada akhir masing-masing bagian, dengan demikian kurang terintegrasi daripada pengulangan internal/eksternal, di mana Dharmaskandha konsisten dengan Vibhaṅga.

Demikianlah jauhnya bahan Sutta. Seperti yang ditunjukkan dalam tabel, isi abhidhammik tambahan dibatasi pada definisi-definisi kata. Definisi-definisi internal dan eksternal menariknya berbeda dari Theravāda dan jelas bersifat sektarian. Bagi Theravāda, sebagaimana Sutta-Sutta awal, “internal” berarti berhubungan dengan diri sendiri, khususnya tubuh dan pikiran diri sendiri, sedangkan “eksternal” adalah tubuh dan pikiran orang lain. Tetapi bagi Dharmaskandha “internal” adalah “tubuh [dst.] sendiri dari seseorang, yang dalam kelangsungan sekarang telah diperoleh dan tidak hilang.” Dengan kata lain “internal” menunjuk pada kehidupan saat ini. “Eksternal” adalah “tubuh [dst.] sendiri dari seseorang, yang dalam kelangsungan sekarang belum diperoleh atau telah hilang, bersama-sama dengan fenomena fisik dari orang lain, yang memiliki jiwa.” Ini menunjuk pada kehidupan-kehidupan lampau dan yang akan datang. Ungkapan “memiliki jiwa” adalah ganjil; ungkapan itu mungkin menerjemahkan saviññāṇaka, yang dapat kita hubungkan pada gagasan yang familiar dari “diperoleh [secara karma]” (upadinna), yaitu diterjemahkan secara bebas sebagai materi “organik” atau “hidup”. Bagaimana pun, pengubahan ini menyatakan perhatian Sarvāstivādin terhadap waktu.

Definisi-definisi dari internal dan eksternal mengatakan bahwa “dhamma-dhamma” di sini adalah kelompok unsur kehidupan persepsi dan aktivitas-aktivitas konseptual. Pendefinisian kembali yang penting ini juga diambil oleh komentar-komentar Theravāda, dan telah menjadi standar saat ini. Di sini kita melihat sebuah pola umum – berbagai aliran sektarian, meskipun berpolemik bersama-sama, seringkali berbagi banyak kesamaan satu sama lainnya dibandingkan yang mereka lakukan dengan Sutta-Sutta. Tidak ada sesuatu dalam penggambaran “dhamma” di sini yang memerlukan atau bahkan menyatakan definisi. Bagaimana mungkin, sebagai contoh, enam alat indera dijelaskan sebagai persepsi atau aktivitas-aktivitas konseptual?

Definisi ini tidak bertujuan menyimpulkan makna dari “dhamma-dhamma” di sini, tetapi menyatukan empat satipaṭṭhāna dengan lima kelompok unsur kehidupan.[8] Ini adalah asumsi yang penting terhadap rancangan Abhidhamma: bahwa berbagai kerangka ajaran dari Sutta-Sutta masing-masing memberikan suatu jalan yang berbeda mengelompokkan realitas yang sama; dan bahwa oleh sebab itu adalah mungkin untuk menyamakan dhamma-dhamma dalam satu kerangka dengan dhamma-dhamam pada yang lainnya. Hasil dari proses ini adalah mātikā-mātikā Abhidhamma yang kompleks, yang kemudian menggantikan kerangka-kerangka yang lebih awal. Kerangka-kerangka inti untuk rancangan ini adalah lima kelompok unsur kehidupan, enam alat indera, dan, yang kurang terstandarisasi, unsur-unsur. Bahkan dalam Sutta-Sutta kita melihat suatu kecenderungan untuk memperlakukan berbagai kemampuan dalam suatu cara yang sama, termasuk lima kemampuan spiritual, yang karenanya mulai keluar dari kebenaran mulia keempat menuju tiga yang pertama.[9] Sekarang kita melihat pola yang sama dalam satipaṭṭhāna. Suatu kelompok yang mulanya bagian dari kebenaran mulia keempat, sang jalan, disamakan dengan dhamma-dhamma dari kebenaran mulia pertama, lima kelompok unsur kehidupan. Ketidaksesuaian dari hasilnya mencerminkan ketidakcocokan metode itu. “Dhamma” di sini bukanlah “fenomena” tetapi alih-alih “prinsip-prinsip”; bukanlah “apa yang ada di sana” tetapi “bagaimana ia bekerja”. Sementara “fenomena” adalah salah satu dari banyak makna dari “dhamma” dalam Sutta-Sutta, terdapat suatu penyimpangan yang dinyatakan pada masa Abhidhamma untuk menekankan makna ini dengan mengorbankan yang lain, dan suatu penafsiran yang salah yang berhubungan atas konteks-konteks Sutta yang relevan.

Penambahan lain adalah sebuah definisi kata untuk rumusan dasar satipaṭṭhāna; ini adalah suatu daftar sinonim bergaya Abhidhamma. Penjelasan untuk anupassanā memberikan daftar istilah untuk kebijaksanaan, termasuk vipassanā; ini banyak kesamaan dengan Vibhaṅga. Definisi kata ini mendefinisikan rumusan dasar, tetapi diulangi setelah masing-masing bagian di sepanjang teks – kecuali rumusan dasar. Ini tidak konsisten, suatu contoh dari sistemasi Abhidhamma yang berlebihan. Kadangkala Abhidhamma luar biasa seperti sebuah kesalahan komputer.

Dibandingkan dengan Penguraian Sutta dari Vibhaṅga perbedaan-perbedaan dalam Dharmaskandha adalah:
1. Semuanya penambahan, tidak ada pengurangan;
2. Seringkali tidak konsisten (latar, enam unsur, alat indera, dhamma-dhamma sebagai persepsi/aktivitas-aktivitas konseptual, definisi-definisi);
3. Kadangkala menunjuk pada sektarianisme (masa lampau, masa sekarang, masa depan; pengaruh dari Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda).

Pertimbangan ini semuanya menyatakan bahwa Dharmaskandha di sini adalah lebih belakangan daripada Vibhaṅga. Mereka berbagi teks sektarian yang sama, *Vibhaṅga Mūla; Sarvāstivādin memperluas hal itu untuk Dharmaskandha, sedangkan Theravādin puas dengan versi sederhana untuk Penguraian Sutta, menulis suatu Penguraian Abhidhamma yang baru.

Perbedaan utama antara keduanya jelas. Selain perenungan terhadap dhamma, tidak ada bahan vipassanā dalam Vibhaṅga. Tidak ada muncul dan lenyapnya, tidak ada enam unsur, tidak ada alat indera, dan tidak ada dhamma-dhamma sebagai persepsi/aktivitas-aktivitas konseptual. Bahan vipassanā pasti telah ditambahkan kemudian. Tetapi kesamaan yang paling mengejutkan adalah baik isi latihan-latihan dan bentuk pengulangan-pengulangan lebih sederhana daripada Sutta-Sutta Satipaṭṭhāna. Ini jelas – dan dengan mengejutkan – menyatakan bahwa *Vibhaṅga Mūla lebih awal daripada Satipaṭṭhāna Sutta.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #58 on: 03 October 2014, 09:43:49 PM »
13.3 Śāriputrābhidharma

Ini adalah sebuah teks abhidhamma yang berukuran besar daripada Vibhaṅga dan Dharmaskandha. Ini mewakili keseluruhan bidang dari abhidhamma dalam sistem Dharmaguptaka, yang mengandung bahan yang dapat dibandingkan dengan yang ditemukan dalam Dhātukathā, Paṭṭhāna, Puggala Paññatti, dan Dhammasaṅgaṇī, serta Vibhaṅga Theravāda. Mātikā-mātikā dari Vibhaṅga dan Dharmaskandha dapat diketahui, walaupun bentuknya lebih divergen. Dengan demikian karya itu sebagai suatu keseluruhan lebih belakangan daripada Vibhaṅga dan Dharmaskandha, dan perlakuan satipaṭṭhāna mengandung hal ini.

Strukur eksentrik dari teks ini menjadi lebih jelas jika kita mengenali bahwa pola utamanya ditunjukkan dalam perenungan terhadap perasaan, pikiran, dan dhamma; [perenungan] tubuh bersifat divergen, sehingga kita akan mengabaikan itu sampai kemudian. Pertanyaan pertama. “apakah merenungkan perasaan [dst.]?” dijawab dengan mendefinisikan perasaan [dst.]. Ini tidak benar-benar menjawab pertanyaan itu; agaknya pertanyaan itu mulanya dimaksudkan untuk mencakupi seluruh bagian, dan definisi-definisi disisipkan kemudian.

Definisi dari tubuh adalah standar. Definisi dari perasaan juga standar, walaupun Sutta-Sutta tidak memperlakukan perasaan dalam satipaṭṭhāna berlandaskan pada enam alat indera; pergeseran ini juga ditemukan dalam komentar-komentar Theravāda.

Definisi pikiran mirip dengan perlakuan perenungan pikiran dalam ānāpānasati pada Paṭisambhidāmagga.
Definisi dhamma juga bersifat belakangan, dan mirip dalam maknanya dengan Dharmaskandha; tetapi pengungkapannya identik dengan Paṭisambhidāmagga.

Table 13.5: Struktur dari Śāriputrābhidharma

1. Tubuh2. Perasaan3. Pikiran4. Dhamma
a. Apakah merenungkan tubuh?a. Apakah merenungkan perasaan?a. Apakah merenungkan pikiran?a. Apakah merenungkan dhamma?
b. Tubuh adalah empat unsur b. Perasaan-perasaan berdasarkan enam inderab. Mendefinisikan pikiranb. Segala sesuatu, kecuali tubuh, perasaan, pikiran
c. Apakah merenungkan tubuh internal?c. Apakah merenungkan perasaan internal?c. Apakah merenungkan pikiran internal?c. Apakah merenungkan dhamma internal?
d. Ketidakkekalan, dst. Kemunculan bergantungan pada enam indera.d. Ketidakkekalan, dst. Kemunculan bergantungan pada perasaan.d. Ketidakkekalan, dst. Kemunculan bergantungan pada kesadaran.d. Ketidakkekalan, dst. Kemunculan bergantungan lengkap.
e. Posisi tubuh
f. Pergerakan
g. Ānāpānasati
h. Bagian-bagian tubuh
i. Empat unsur
j. Makanan
k. Ruang
l. Sembilan lubang tubuh
m. Mendefinisikan rumusan standare. Mendefinisikan “internal”; yang lain-lain “seperti di atas”e. Mendefinisikan “pikiran internal”e. Mendefinisikan “dhamma internal”
n. Seperti 1.d “eksternal”f. Seperti 2.d “eksternal”f. Seperti 3.d “eksternal”f. Seperti 4.d “eksternal”
o. Mendefinisikan “ekst”; yang lain-lain “seperti di atas”g. Mendefinisikan “eksternal”; yang lain-lain “seperti di atas”g. Mendefinisikan “pikiran eksternal”g. Mendefinisikan “dhamma eksternal”
p. Seperti 1.d “int/ekst”h. Seperti 2.d “int/ekst”h. Seperti 3.d “int/ekst”h. Seperti 4.d “int/ekst”
q. Tanah perkuburani. 3 perasaan, duniawi/spiritual, dst.i. Pikiran dengan/tanpa nafsu, dst.i. 5 rintangan, muncul & lenyapnya
j. Indera-indera, muncul & lenyapnya
k. Faktor-faktor pencerahan, muncul & lenyapnya
l. 4 kebenaran mulia
r. Merenungkan muncul & lenyapnya untuk mengetahui, melepaskan tubuhj. Merenungkan muncul & lenyapnya untuk mengetahui, melepaskan perasaanj. Merenungkan muncul & lenyapnya untuk mengetahui, melepaskan pikiranm. Merenungkan muncul & lenyapnya untuk mengetahui, melepaskan dhamma
s. Mengulangi rumusan untuk internal, dst.k. Mengulangi rumusan untuk internal, dst.k. Mengulangi rumusan untuk internal, dst.n. Mengulangi rumusan untuk internal, dst.

Perenungan internal digambarkan dalam istilah-istilah yang mirip dengan pengulangan vipassanā dari Khandha-saṁyutta, seperti halnya Dharmaskandha. Tidak jelas apakah Śāriputrābhidharma menyalin dari Dharmaskandha atau keduanya meminjam dari Khandha-saṁyutta. Pengulangan vipassanā diperluas dengan menambahkan faktor-faktor dari kemunculan bergantungan, sewajarnya disesuaikan dalam masing-masing kasus. Ini mungkin diinspirasi oleh Satipaṭṭhāna Vibhaṅga Sutta, yang seperti yang telah kita lihat memperlakukan sebab-akibat dalam satipaṭṭhāna dalam istilah-istilah yang sama dengan kemunculan kebergantungan; namun rinciannya berbeda. Keseluruhan separuh yang pertama dari bagian-bagian ini, menggambarkan “internal, dst.” sehubungan dengan vipassanā sebagian besar adalah suatu penambahan; vipassanā disatukan dari awal meditasi, alih-alih ditinggalkan sampai pada akhir seperti Dharmaskandha.

Anehnya, bahan satipaṭṭhāna yang otentik disajikan setelah penambahan-penambahan. Separuh yang kedua dari masing-masing bagian, yang menonjolkan objek-objek meditasi dan pengulangan, sangat mirip dengan Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda, dan tampaknya dipengaruhi oleh Satipaṭṭhāna Sutta Dharmaguptaka (yang sekarang hilang). Perbedaan yang paling penting dari Theravāda adalah tidak adanya lima kelompok unsur kehidupan dalam perenungan terhadap dhamma.

Struktur dari bagian tentang perenungan tubuh menyimpang dari pola tiga bagian lainnya. Daftar meditasi telah dipecah menjadi dua, dengan bagian terbesar yang disisipkan secara janggal dalam bagian “internal”, sedangkan perenungan tanah perkuburan sendiri mengikuti bagian internal/eksternal. Perenungan tanah perkuburan digambarkan dalam Sutta-Sutta sebagai membandingkan tubuh diri sendiri dengan sesosok tubuh jenazah, yang mungkin menyatakan penempatan latihan ini setelah bagian internal/eksternal. Ini sesuai dengan Sutta-Sutta; tetapi maka latihan-latihan lain harus pas di tempat lain. Menempatkan mereka di bawah perenungan internal menyatakan bahwa mereka tidak untuk dilatih secara eksternal, yang berbeda dari Sutta-Sutta. Latihan-latihan ini mungkin dipecah pada tahap Abhidhamma, dan tidak mencerminkan Satipaṭṭhāna Sutta Dharmaguptaka. Namun, kita akan melihat bahwa suatu pembedaan yang mirip dibuat dalam Prajñāpāramitā, walaupun di sana perenungan tanah perkuburan dikatakan sebagai ekternal, alih-alih internal/eksternal.

Daftar panjang perenungan tubuh jatuh ke dalam tiga kelompok. Dua latihan pertama sangat mirip, pada dasarnya “kewaspadaan terhadap pergerakan”. Dalam bacaan standar seperti pelatihan bertahap, hanya bacaan tentang pemahaman jernih muncul. Perikop empat posisi tubuh agak kurang umum. Karena keduanya sebagian besar tumpang tindih, dimasukkannya keduanya adalah berlebihan; namun semua turunan tentang bahan satipaṭṭhāna memasukkan salah satu dari kedua perikop ini atau tidak sama sekali. Bacaan empat posisi tubuh mungkin lebih original dalam konteks ini, karena ia selalu muncul sebelum pemahaman jernih, dan pengungkapannya lebih mirip dengan bagian lain dari satipaṭṭhāna. Ini memiliki suatu ruang lingkup meditatif yang lebih umum, alih-alih secara khusus menggambarkan suatu pelatihan gaya hidup. Mungkin bacaan yang lebih sederhana, lebih tidak jelas ini dirasakan perlu bagi pengggambaran konkret, maka bagian tentang pemahaman jernih dibawakan dari pelatihan bertahap.

Kelompok berikutnya adalah ānāpānasati. Ini mengikuti pemahaman jernih dengan cara yang mirip dengan urutan normal dari pelatihan bertahap. Dalam semua versi Satipaṭṭhāna Sutta, enam belas langkah yang biasanya telah diringkas menjadi empat. Inilah satu-satunya konteks di mana ini terjadi (selain dari Kāyagatāsati Sutta yang berhubungan). Versi enam belas langkah penuh lebih bersifat pokok. Ini jelas merangkum suatu urutan penuh dari pelatihan meditatif. Tetrad pertama menggambarkan penegakan perhatian pada objek meditasi dasar dan penenangannya; tetrad kedua mengatakan tentang pengembangan kebahagiaan dan kegiuran; yang ketiga, mencapai samādhi; dan keempat, perenungan ketidakkekalan. Tetrad pertama itu sendiri tidak lengkap; tidak di mana pun Sang Buddha mengatakan meditasi hanyalah untuk mencapai ketenangan secara fisik.

Gagasan bahwa pengembangan penuh atas ānāpānasati harus melibatkan semua keenam belas langkah dimunculkan dalam sebuah Sutta di mana Yang Mulia Ariṭṭha menggambarkan latihan ānāpānasati-nya telah melenyapkan nafsu indera atas hal-hal masa lampau dan masa depan, dan setelah melenyapkan persepsi penolakan terhadap hal-hal secara internal dan eksternal, hanya dengan penuh perhatian ia menarik napas masuk dan keluar.[10] Pelenyapan nafsu dan penolakan, dan penunjukan pada internal/eksternal, adalah sangat mirip dengan satipaṭṭhāna. Latihan Yang Mulia Ariṭṭha belum berkembang melampaui pengamatan sederhana atas napas, tanpa samādhi dan pandangan terang. Sang Buddha, walaupun mengakui bahwa ini sesungguhnya ānāpānasati, mendorong Yang Mulia untuk mengembangkan sepenuhnya ānāpānasati melalui keseluruhan enam belas langkah.

Kelompok ketiga terdiri dari latihan-latihan kontemplatif yang berbeda, mulai dari bagian-bagian tubuh. Banyak dari hal ini diajarkan di seluruh Sutta-Sutta, dan daftar-daftar seperti ini adalah upaya awal untuk menyusun dan mengorganisasikan latihan-latihan ini. Kita telah melihat bahwa Vibhaṅga hanya memiliki bagian-bagian tubuh, sedangkan Dharmaskandha menambahkan enam unsur juga. Śāriputrābhidharma juga memiliki bagian-bagian tubuh dan unsur-unsur, dan dalam urutan yang sama; kenyataannya urutan ini dipertahankan dalam semua versi bahan satipaṭṭhāna. Pengecualian (yang tidak dapat dihindarkan!) adalah Prajñāpāramitā, yang membalikkan urutan bagian-bagian tubuh dan unsur-unsur; saya akan menganggap ini hanya kesalahan editorial.

Karena bagian-bagian tubuh adalah satu-satunya latihan yang disebutkan dalam semua versi, dan karena ia hampir selalu muncul pada awal bagian ini, ia mendapatkan klaim terbesar atas keotentikan, walaupun unsur-unsur tidak jauh di belakang. Kedua praktek itu sangat mirip, karena unsur-unsur, ketika diajarkan secara terperinci, digambarkan dengan memberikan daftar bagian-bagian tubuh yang bersesuaian: unsur tanah adalah rambut kepala, rambut tubuh, dst., unsur air adalah darah, nanah, dst. Perenungan tanah perkuburan juga muncul dalam semua versi Sutta dan selalu berada di akhir. Latihan-latihan lainnya tidak begitu penting.[11]

Latihan-latihan yang beranekaragam ini diperlakukan dalam Sutta-Sutta sehubungan dengan samatha dan vipassanā. Tujuan utama dari perenungan terhadap tubuh adalah meninggalkan nafsu, yang adalah samatha. Kadangkala aspek samatha ini dibuat eksplisit, seperti ketika seseorang dikatakan mencapai suatu “pencapaian penglihatan” yang seperti itu, disebabkan pada usaha yang tepat, seseorang memperoleh “suatu bentuk samādhi yang sedemikian sehingga, dengan pikiran dalam samādhi, seseorang merenungkan tubuh ini juga” dengan cara dari bagian-bagian tubuh.[12] Tetapi bagian-bagian tubuh, khususnya ketika dimasukkan di bawah unsur-unsur, juga direnungkan sebagai “bukan milikku”, dst., yang adalah vipassanā.[13] Unsur-unsur, yang juga muncul dalam konteks vipassanā yang demikian, seringkali digunakan sebagai suatu landasan untuk mencapai samādhi, dan bahkan dapat digunakan sebagai referensi cepat pada empat jhāna “bentuk”. Perenungan tanah perkuburan juga adalah landasan yang kuat untuk merenungkan ketidakkekalan dari kehidupan; tetapi prakteknya digambarkan sebagai “menjaga suatu landasan yang halus dari samādhi” (samādhinimitta).[14] Dengan demikian semua praktek ini memiliki potensi untuk mengembangkan baik ketenangan maupun kebijaksanaan.

Pada bagian perenungan tubuh dalam tujuh versi bahan satipaṭṭhāna yang berbeda, tiga menyebutkan hanya kelompok ketiga ini (Vibhaṅga, Dharmaskandha, Ekāyana Sūtra), sedangkan empat menyebutkan semua ketiga kelompok (Śāriputrābhidharma, Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda dan Sarvāstivāda, Prajñāpāramitā). Dari empat versi panjang ini, Śāriputrābhidharma dan Prajñāpāramitā adalah yang paling terorganisasi dengan baik (mengabaikan tempat-tempat penampungan untuk pemisahan latihan-latihan menjadi “internal” dan “internal/eksternal”). Tidak seperti Satipaṭṭhāna Sutta mereka menjaga urutan standar dengan menempatkan kelompok “kewaspadaan pergerakan” terlebih dahulu; dan tidak seperti Sarvāstivāda mereka tidak membawakan praktek-praktek yang tidak berhubungan.

Terdapat alasan-alasan bagus untuk berpikir bahwa pemahaman jernih mulanya tidak dianggap sebagai meditasi itu sendiri. Sebagai contoh dalam Mahā Rāhulovāda Sutta, Yang Mulia Rāhula meminta Sang Buddha untuk mengajarkannya ānāpānasati.[15] Sang Buddha menyimpang dari pokok bahasan dengan suatu rangkaian meditasi lain – lima unsur, termasuk bagian-bagian tubuh, dan memuncak pada ruang; kemudian kediaman-kediaman luhur; kemudian kejijikan tubuh; kemudian ketidakkekalan – sebelum kembali ke ānāpānasati. Mungkin alasan Sang Buddha menyimpang dari topik adalah bahwa pikiran Rāhula memerlukan persiapan sebelum ia cukup matang untuk mendapatkan manfaat penuh dari suatu latihan yang halus seperti ānāpānasati.

Meghiya Sutta adalah mirip di mana ia menyajikan suatu rangkaian bertahap dari dhamma-dhamma untuk mematangkan pikiran.[16] Ia memuncak pada empat meditasi: kejijikan tubuh untuk meninggalkan nafsu; cinta kasih untuk meninggalkan kemarahan; ānāpānasati untuk memotong pemikiran; dan ketidakkekalan untuk mencabut kesombongan “Aku”. Ini selalu mengejutkan saya sebagai salah satu program yang paling masuk akal, seimbang untuk meditasi. Variasi lainnya muncul, seperti kejijikan tubuh, ānāpānasati, dan ketidakkekalan.[17] Dalam konteks ini dan yang lain kita melihat kejijikan tubuh, unsur-unsur, dst., diperlakukan berdampingan dengan ānāpānasati sebagai suatu praktek meditasi langsung. Tetapi pemahaman jernih dengan jelas tidak ada dalam konteks-konteks demikian – yang adalah mengapa mereka yang mengajukan suatu pendekatan yang demikian pada meditasi bergantung sepenuhnya pada Satipaṭṭhāna Sutta.

Jika, seperti yang dinyatakan kesesuian teks-teks, bagian tentang bagian-bagian tubuh, apakah sendirian atau sebagai kepala dari kelompok ketiga, merupakan tubuh awal mula perenungan tubuh, mengapa dua kelompok lainnya dimasukkan, dan mengapa mereka ditempatkan sebelum bagian aslinya? Saya menyarankan bahwa pengaruh dari pelatihan bertahap cukup untuk dipertimbangkan atas dimasukkannya pemahaman jernih pada tempat pertama. Pertimbangan lainnya adalah untuk mengumpulkan dalam satu teks yang dapat dicerna berbagai teks tentang perenungan tubuh yang tersebar di seluruh kanon.

Hubungan antara Sutta Dharmaguptaka dan Śāriputrābhidharma, sejauh yang saya ketahui, masih menanti penyelidikan yang terperinci. Namun Cheng Jinghua telah melakukan suatu studi perbandingan atas versi-versi dari Brahmajāla Sutta. Ini menyimpulkan bahwa, sementara versi Theravāda dan Dharmaguptaka sangat dekat, Sutta Dharmaguptaka bahkan lebih dekat, kenyataannya identik, dengan Śāriputrābhidharma. Oleh sebab itu mungkin bahwa rincian daftar dari perenungan tubuh dalam Śāriputrābhidharma mencerminkan bentuk dari versi Satipaṭṭhāna Sutta Dharmaguptaka yang sekarang hilang. Ini jauh dari pasti, karena baik Theravāda dan Sarvāstivāda menunjukkan banyak perbedaan antara penggambaran Sutta dan Abhidhamma awal tentang satipaṭṭhāna (walaupun bukan dari kebanyakan ajaran lainnya). Namun jika ini masalahnya, ia akan menyatakan bahwa kebalikan posisi dari kelompok pertama dan kedua dalam Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda terjadi setelah pemisahan dari Dharmaguptaka, lebih dari 200 tahun setelah Parinibbāna. Prinsip-prinsip yang sama akan berlaku pada perbedaan-perbedaan utama antara Śāriputrābhidharma dan Theravāda, khususnya penyisipan Theravāda atas lima kelompok unsur kehidupan ke dalam perenungan terhadap dhamma.

Catatan Kaki:

[1] T № 1537.

[2] T № 1548. Frauwallner (1995) membahas hubungan antara teks-teks ini secara terperinci. Lihat pp. 15ff., 43ff., and 97ff.

[3] SN 36.31/SA 483.

[4] AN 6.26/SA 550.

[5] Kalimat-kalimat demikian ditemukan dalam Dharmaskandha, tetapi Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda hanya memiliki kalimat-kalimat penutup; ini mungkin satu-satunya poin di mana Dharmaskandha lebih dekat dengan Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda.

[6] Beberapa kotbah yang digunakan sebagai teks dasar dalam Vibhaṅga kenyataannya diucapkan oleh Yang Mulia Sāriputta (Saccavibhaṅga Sutta, Mahā Hatthipadopama Sutta).

[7] SN 22.122/SA 259.

[8] Pergeseran yang sama terjadi pada nāma. Walaupun sutta-sutta biasanya mendefinisikan ini tidak termasuk kesadaran, skolastik yang belakangan menjelaskannya sebagai semua keempat kelompok unsur kehidupan, termasuk kesadaran. Penafsiran ini telah ditemukan dalam Nidāna Saṁyukta Sarvāstivāda, di mana ia tidak diragukan lagi membuat jalan mudah ke dalam Abhidhamma Sarvāstivāda. Jadi dalam kasus nāmarūpa, seperti halnya satipaṭṭhāna, kita melihat kecenderungan untuk menyatukan rumusan ajaran yang lain dengan kelompok-kelompok kehidupan pertama kali muncul dalam Sarvāstivāda, lalu belakangan dalam Theravāda.

[9] SN 48.2–7.

[10] SN 54.6/SA 805.

[11] Bandingkan bacaan Sutta yang menggambarkan unsur ruang internal sebagai ruang di mana makanan dimakan, dicernah, dan berlalu. MN 140.18/MA 162; MN 62.12/EA 17.1.

[12] DN 28.7/DA 18.

[13] MN 28.6/MA 30.

[14] Misalnya DN 33.1.11.10/DA 9.

[15] MN 62/EA 17.1.

[16] Ud 4.1.

[17] Iti 3.36.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #59 on: 04 October 2014, 08:45:05 AM »
Bab 14
Sutta-Sutta Satipaṭṭhāna

Terdapat tiga versi lengkap dari Satipaṭṭhāna Sutta yang tersedia, satu dalam bahasa Pali dan dua dalam bahasa Mandarin. Terdapat juga yang keempat, versi tidak lengkap dalam Prajñāpāramitā Sūtra yang panjang.

14.1 Prajñāpāramitā

Ini adalah salah satu teks dasar dari Mahāyāna, dan biasanya dianggap telah disusun sekitar 500 tahun setelah wafatnya Sang Buddha. Teks itu tersedia dalam versi-versi yang berbeda panjangnya dalam bahasa Tibet dan Mandarin, dan sebuah teks Sanskrit yang telah direkonstruksi telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Conze. Versi ini telah dikonstruksi dari sebuah gabungan dari fragmen-fragmen Sanskrti yang dibandingkan dengan terjemahan Tibet dan Mandarin. Menurut Conze, versi-versi yang berbeda terutama berbeda dalam jumlah pengulangan, sehingga mengenai isinya dapat kita perlakukan sebagai satu karya.

Suatu perbandingan dengan berbagai versi dari literatur Prajñāpāramitā dalam bahasa Mandarin mengungkapkan suatu konsistensi yang luar biasa dalam bacaan ini. Karena, seperti yang akan kita lihat, teks sangat asimetris dan tidak seimbang, hampir semua pastinya diakibatkan dari suatu penyingkatan dari sebuah versi Satipaṭṭhāna Sutta yang lebih awal, mungkin bahwa bacaan Prajñāpāramitā tentang satipaṭṭhāna berhubungan dengan sebuah sumber tunggal. Versi dari bahan satipaṭṭhāna ini menunjukkan suatu kesederhanaan yang menyegarkan yang mungkin mengindikasikan bahwa ia terletak dekat dengan sumber-sumber awal. Dalam tradisi Tibet dikatakan bahwa terdapat sebuah versi Prajñāpāramitā yang ditulis dalam bahasa Prakrit milik aliran Pūrvaśaila dan Aparaśaila.[1] Aliran-aliran ini adalah cabang dari Mahāsaṅghika, yang menyarankan bahwa catatan Prajñāpāramitā tentang bahan satipaṭṭhāna berasal dari sebuah teks Mahāsaṅghika. Namun, tidak ada hubungan dekat yang khusus antara versi ini dan Ekāyana Sūtra.

Walaupun Prajñāpāramitā, seperti Abhidhamma, jelas lebih belakangan daripada Āgama Sutta, saya tidak melihat alasan mengapa spesifikasi dari ajaran-ajaran umum kurang dapat dipercaya sebagai suatu panduan pada ajaran-ajaran awal. Ini tampaknya aneh untuk mengatakan bahwa literatur belakangan mempertahankan ciri-ciri khas awal, tetapi ini bukanlah suatu misteri yang demikian. Semua tradisi mewarisi kumpulan bahan Sutta awal yang sama. Para penyusun Nikāya-Nikāya /Āgama-Āgama menyusun bahan-bahan ini, dan dalam melakukan demikian tidak mengejutkan mereka akan menggerumit di sekeliling pinggirannya, memenuhi dan memperluas teks-teks sehingga tidak ada yang dihilangkan. Tetapi para penyusun Abhidhamma dan Prajñāpāramitā memiliki agenda yang berbeda. Mereka mengembangkan konsep dan cara mereka sendiri, sehingga perhatian mereka bukan pada bacaan-bacaan awal. Dalam beberapa kasus mereka hanya membiarkan bahan awal tidak disentuh kembali. Penambahan dan penguraian bersifat tambahan dan oleh sebabnya dapat dengan mudah dibedakan. Inilah kasusnya dalam Prajñāpāramitā, di mana ajaran-ajaran satipaṭṭhāna telah pada dasarnya “dipotong dan ditempelkan” dengan perubahan yang minimal.

Satipaṭṭhāna diperlakukan dalam dua tempat yang terpisah dalam Prajñāpāramitā. Kemunculan ini sangat terpisah dan tidak memiliki hubungan tekstual yang dekat. Keduanya muncul sebagai bagian dari suatu konteks yang lebih besar yang membahas jalan praktek seorang Bodhisattva, dan memperlakukan satipaṭṭhāna sebagai kelompok pertama dari 37 sayap menuju pencerahan. Seperti dalam Sutta-Sutta awal, di sini 37 hal tersebut hanya dibuatkan daftarnya, dengan tanpa upaya untuk mensintesis kelompok-kelompok itu ke dalam suatu keseluruhan pola progresif dari praktek, seperti halnya yang kemudian dikerjakan aliran-aliran Abhidhamma.

Bacaan pertama mulai dengan hanya mendefinisikan, sebagai bagian dari jalan Bodhisattva Mahāyāna, empat satipaṭṭhāna.[2] Kemudian muncul suatu variasi pada bacaan standar:

“Di sana Bodhisattva berdiam, sehubungan dengan tubuh, perasaan bagian dalam, dst., dalam perenungan terhadap tubuh, dst. Tetapi ia tidak membentuk pemikiran-pemikiran yang berpindah-pindah yang berhubungan dengan tubuh, dst. Ia tekun, sadar sepenuhnya, dan penuh perhatian, setelah meletakkan semua ketamakan dan kesedihan duniawi. Dan itu tanpa menganggap apa pun sebagai landasan. Dan demikian juga ia berdiam sehubungan dengan tubuh bagian luar, tubuh bagian dalam dan luar, dengan perasaan, pikiran, dan dhamma.”

Semua ciri khas yang familiar ada di sini: pengulangan refleksif “tubuh dalam [sehubungan dengan] tubuh”; empat objek; perenungan; internal/eksternal; dan rumusan standar pelengkap. Anjuran untuk tidak memikirkan pemikiran-pemikiran tentang tubuh ditemukan dalam Dantabhūmi Sutta, dan juga Pratyutpannabuddhasammukhāvaṣṭhitasamādhi Sūtra Mahāyāna. Di sini gagasannya terletak masih dalam benih. Ungkapan yang diterjemahkan Conze “tanpa menganggap apa pun sebagai landasan” tampaknya adalah ungkapan “seseorang berdiam tanpa bergantung”, yang ditemukan dalam Samudaya Sutta Sarvāstivāda dan Satipaṭṭhāna Sutta.

Teks melanjutkan dengan bertanya bagaimana seorang Bodhisattva berdiam sehuungan dengan tubuh bagian dalam dalam perenungan terhadap tubuh. Kemudian sebuah daftar perenungan tubuh diberikan: kewaspadaan atas empat posisi tubuh; pemahaman jernih dalam aktivitas-aktivitas sehari-hari; ānāpānasati; unsur-unsur; bagian-bagian tubuh; dan tanah perkuburan. Ini identik dengan praktek perenungan tubuh dalam Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda. Masing-masing praktek digambarkan dalam kata-kata dan ungkapan yang hampir sama, termasuk perumpamaan-perumpamaan yang ilustratif. Kewaspadaan terhadap aktivitas-aktivitas menambah pada daftar yang biasanya ungkapan “dan ketika beristirahat dari meditasi”. Terdapat penyimpangan yang kadangkala, sangat sedikit, dalam makna kata. Dalam perenungan tanah perkuburan, versi Theravāda mengatakan seseorang harus merenungkan “Tubuh ini juga memiliki dhamma yang sama, bhāva yang sama…”. Di sini dhamma dan bhāva adalah kata non-teknis yang bermakna hanya “sifat”. Tetapi terjemahan Prajñāpāramitā memiliki “ada dengan sendirinya”, sebagai ganti dari “sifat” untuk bhāva, yang berasal dari suatu kata svabhāva aslinya. Istilah teknis kunci ini dalam filosofi Abhidhamma akan lebih familiar bagi para penyusun Prajñāpāramitā daripada kata sehari-hari bhāva.

Sementara perbedaan dalam pengungkapan dari latihan-latihan tertentu adalah hal yang sepele, perbedaan yang jauh lebih signifikan terjadi dalam strukturnya. Prajñāpāramitā membuat daftar dua meditasi “kewaspadaan atas posisi tubuh” terlebih dahulu, sebelum ānāpānasati. Ini sama dengan setiap pemaparan lain dari sang jalan dalam semua aliran, kecuali Satipaṭṭhāna and Kāyagatāsati Sutta Theravāda.

Hampir tidak ada pengulangan apa pun. Pada akhir setiap meditasi ia hanya mengatakan, “Dan itu melalui tanpa-pemahaman.” Saya tidak yakin asal bahasa Sanskrit-nya, tetapi ini tampaknya suatu “penanda” Mahāyānis yang ditambahkan untuk mengidentifikasi dengan cara pandang Prajñāpāramitā tentang kekosongan. Ini sama dengan ungkapan lebih awal “tidak menggenggam apa pun di dunia”. Ini, dan penggantian “bodhisattva” untuk “bhikkhu”, adalah satu-satunya unsur Mahāyānis.

Mempertimbangkan kesukaan Mahāyāna atas penguraian yang penuh hiasan, tampaknya ganjil bahwa tidak ada pengulangan nyata yang diberikan di sini. Jika para penulis Mahāyāna menggunakan suatu versi Satipaṭṭhāna Sutta dengan sebuah pengulangan yang pokok, seperti versi-versi yang ada, seseorang akan mengharapkan mereka mengubah dan memperluasnya, alih-alih mengelupasinya. Ini menyatakan bahwa mereka memiliki suatu versi perenungan tubuh yang awal, yang (jika anda memaafkan permainan katanya!) bersifat dasar. Ini sangat mengejutkan bahwa versi ini sangat dekat pada Theravāda, walaupun Mahāyāna secara umum berhutang lebih banyak pada tradisi Sarvāstivāda dan Mahāsaṅghika.

Adalah sangat memalukan bahwa teks tidak menguraikan bagian-bagian sisanya. Ia hanya memberikan rumusan standar untuk perenungan perasaan secara internal, dst. Sifat asimetis ini menyatakan ketidakteraturan pengeditan. Pernyataan dari bacaan dasar pada awal teks memberikan rumusan satipaṭṭhāna untuk semua keempat satipaṭṭhāna. Kemudian ia memberikan rincian dari perenungan tubuh, tetapi tidak mengulangi bagian yang berhubungan dari rumusan satipaṭṭhāna. Tetapi untuk perasaan, dst. Situasinya sebaliknya: ia tidak memberikan rincian dari perenungan perasaan, dst., tetapi mengulangi bagian yang berhubungan dari rumusan itu. Ini tampak seakan-akan penguraian terperincinya hilang, kemudian rumusan dasar secara sengaja disisipkan untuk mengisi celah itu.

Bertahun-tahun yang lalu, Har Dayal berkomentar: “... para penulis Buddhis telah menulis suatu pembahasan yang panjang hanya untuk kāyasatipaṭṭhāna [perenungan tubuh]; mereka mengabaikan tiga yang lainnya dengan beberapa kata.”[3] Beberapa oleh karenanya menyimpulkan bahwa perenungan tubuh mulanya satu-satunya bagian dari satipaṭṭhāna. Namun, ini adalah suatu kesimpulan yang terburu-buru. Mempertimbangkan sifat pengulangan yang sangat banyak dari teks-teks Buddhis pada umumnya, adalah normal untuk menemukan suatu teks yang berhubungan dengan bagian pertama secara terperinci, kemudian meringkas sisanya. Kenyataannya, jika tiga satipaṭṭhāna sisanya merupakan tambahan yang belakangan, kita dapat mengharapkan situasi yang sebaliknya, bahwa mereka akan dijelaskan lebih terperinci. Sebagai contoh, dalam literatur Prajñāpāramitā yang sedang kita bahas, ajaran-ajaran dasar seperti satipaṭṭhāna diajarkan sangat ringkas, tetapi ajaran-ajaran khusus Prajñāpāramitā diuraikan secara panjang lebar. Tidak adanya penjelasan terperinci dari satipaṭṭhāna yang belakangan, maka, dapat dipahami sebagai suatu penghilangan yang belakangan. Penghilangan ini menyatakan bahwa para penulis Prajñāpāramitā tidak terlalu memperhatikan satipaṭṭhāna seperti demikian; mungkin mereka hanya menganggap pembaca mereka telah familiar dengan ajaran-ajaran dasar.

Sekarang kita dapat mempertimbangkan penguraian kedua tentang satipaṭṭhāna dalam Prajñāpāramitā. Ini mendefinisikan satipaṭṭhāna, bersama dengan sebuah daftar dari dhamma-dhamma lainnya baik unsur-unsur awal maupun belakangan, seperti “melampaui duniawi dan bukan duniawi”.[4] Kemudian bacaan dasar tentang satipaṭṭhāna diberikan, dengan tanpa penguraian terperinci dari berbagai praktek. Perenungan internal/ekternal yang menyatu diikuti dengan: “Sehubungan dengan tubuh ia berdiam sebagai seorang yang meninjau kembali kemunculannya, kelenyapannya, serta kemunculan dan kelenyapannya. Ia berdiam sebagai seseorang yang tidak bersandar pada apa pun, dan sebagai seseorang yang (tidak) menggenggam pada dunia.” Ini hampir sama dengan pengulangan vipassanā dari Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda, walaupun tidak ada  ungkapan “Atau perhatian yang dikembangkan sehingga ‘Terdapat suatu tubuh’, hanya demi kepentingan suatu ukuran dari pengetahuan dan perhatian.” Ini juga mirip dengan versi Sarvāstivāda dari Samudaya Sutta, walaupun tidak ada spesifikasi sebab dari masing-masing objek satipaṭṭhāna.

Terdapat sejumlah rincian tekstual yang berbeda dari bacaan yang lebih awal. Bodhisattva tidak disebutkan. Lebih penting lagi, pengaturan unsur-unsur tekstual berbeda. Dalam bacaan yang lebih awal urutannya adalah: merenungkan tubuh, perasaan, pikiran, dan dhamma internal; tekun, memahami dengan jernih, dst.; merenungkan tubuh eksternal, dst., dan seterusnya. Di sini urutannya adalah: merenungkan tubuh secara internal, eksternal, kemudian secara internal dan ekternal; tekun, memahami dengan jernih, dst. Dengan kata lain rumusan pelengkap ditambahkan pada setelah masing-masing satipaṭṭhāna alih-alih diletakkan pada akhir dari keempatnya. Tentu saja, variasi ini tidak memiliki nilai penting itu sendiri. Tetapi diambil bersama dengan ciri-ciri khas lainnya – pemisahan kedua bacaaan dalam teks, ketidakkonsistenan penggunaan “Bodhisattva” – ini menyatakan bahwa kedua bacaan diambil dari sumber-sumber yang berbeda. Itu untuk mengatakan, tidak ada alasan untuk meyakini bahwa Prajñāpāramitā mengambil suatu teks yang lebih awal, yang lebih panjang yang menyatukan kedua bacaan ini dan memisahkannya ke dalam potongan-potongan yang terpisah.

Ini menguatkan salah satu dari argumentasi dasar kita tentang pembentukan Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda. Ini mengandung dua aspek penting: daftar terperinci dari praktek-praktek meditasi, dan pengulangan vipassanā. Tetapi terdapat setidaknya tiga tradisi yang mempertahankan dua aspek ini sebagai kesatuan tekstual yang berdiri sendiri. Dalam Sarvāstivāda, daftar dari praktek-praktek meditasi ditemukan dalam Satipaṭṭhāna Sutta, sedangkan pengulangan vipassanā ditemukan dalam Samudaya Sutta. Prajñāpāramitā mirip. Bahkan Theravāda mempertahankan latihan-latihan meditasi dalam Vibhaṅga Abhidhamma dan pengulangan vipassanā dalam Vibhaṅga Sutta dan Samudaya Sutta Saṁyutta. Dengan demikian perlakukan dari kedua aspek ini secara terpisah mewakili suatu tradisi yang lebih awal dibandingkan dengan Satipaṭṭhāna Sutta yang terperinci.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #60 on: 04 October 2014, 09:06:07 AM »
14.2 Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda

Smṛtyupasthāna Sūtra dari aliran Sarvāstivāda dipertahankan dalam Madhyama Āgama dari Tripiṭaka Mandarin, yang diterjemahkan dari bahasa Sanskrit ke dalam bahasa Mandarin pada tahun 389 M oleh bhikkhu Cina Sanghadeva.[5] Smṛtyupasthāna Sūtra lebih terperinci dalam beberapa hal daripada Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda, dan kurang terperinci dalam hal lain. Oleh sebab itu ia mungkin bukan lebih awal ataupun lebih belakangan, tetapi berasal dari suatu tradisi yang sedikit berbeda seraya kedua aliran baru Theravāda dan Sarvāstivāda menyelesaikan rumusan tekstual dari ajaran-ajaran yang mereka warisi dari masa pra-sektarian. Pengeditan terakhir ini mengikuti pemisahan dari Sarvāstivāda, mungkin 200 tahun setelah Sang Buddha. Saya akan mengabaikan berbagai perbedaan kecil dalam pengungkapan antara kesatuan ajaran individual (“perikop”) dalam berbagai versi dan berkonsentrasi pada perbedaan-perbedaan yang penting dalam pemilihan latihan-latihan meditasi.

Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda membuka dengan cara yang sama dengan Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda: latarnya adalah di Kammassadamma di negeri Kuru, dan ajarannya dimulai dengan pernyataan tentang “jalan yang membawa ke satu titik”. Namun setelah ini, Smṛtyupasthāna Sūtra memperkenalkan pernyataan bahwa semua Tathāgata, masa lampau, masa depan, dan masa sekarang merealisasi pencerahan dengan mengembangkan empat satipaṭṭhāna, meninggalkan lima rintangan, dan mengembangkan tujuh faktor pencerahan.[6] Kita telah berjumpa dengan pengelompokan ini seringkali; pernyataan ini mungkin diambil dari SN 47.12/SA 498. Seperti yang dicatat di atas, penekanan tambahan pada sifat yang bertahan dalam waktu menyatakan kecenderungan sektarian dari Sarvāstivāda.

Rumusan satipaṭṭhāna disajikan dengan sederhana – seseorang menegakkan perhatian pada perenungan terhadap tubuh, perasaan, pikiran, dan dhamma. Kita telah mengembangkan dari Smṛtyupasthāna Saṁyukta Sarvāstivāda bahwa bentuk yang diringkas ini dimasukkan untuk diuraikan secara penuh. Dalam Saṁyukta, kenyataan bahwa terdapat banyak kotbah, satu demi satu, semuanya menonjolkan rumusan yang sama adalah suatu alasan yang bagus untuk penggunaan penyingkatan demikian. Tetapi bagaimanakah versi Madhyama ini? Kotbah tentang satipaṭṭhāna ini berdiri sendiri, bukan dalam suatu rangkaian, dan seseorang yang tidak familiar dengan Saṁyukta, ketika mempelajari Madhyama tidak akan menyadari rumusan yang lebih panjang. Dalam kotbah yang panjang ini, mengapa para penyuntingnya tidak menemukan ruang untuk memperluas rumusan itu? Terdapat satu jawaban sederhana untuk teka-teki ini: Smṛtyupasthāna Sūtra mulanya bagian dari kumpulan Saṁyukta. Terdapat rumusan yang diringkas sepanjang sisa kotbah-kotbah; kenyataannya panjang kotbah ini berperan sebagai alasan yang bagus untuk tidak menyebutkan rumusan itu secara lengkap, sehingga panjangnya tidak berbeda jauh dengan kotbah-kotbah sekelilingnya.

Marilah kita membandingkan latihan-latihan perenungan tubuh dengan versi Theravāda, pertama membahas faktor-faktor yang sama. Ini kebanyakan dalam urutan yang sama dalam teks-teks Theravāda dan Sarvāstivāda. Pengecualiannya adalah perhatian terhadap napas, yang dalam Smṛtyupasthāna Sūtra muncul dalam posisinya yang biasanya setelah pemahaman jernih. Namun, suatu rampasan dari praktek-praktek baru ditambahkan, semuanya agak tidak nyaman dalam konteks perenungan tubuh. Ini membangkitkan pertanyaan mengapa bacaan-bacaan yang tidak konsisten ini disisipkan.

Bagian dari jawabannya berada dalam Kāyagatāsati Sutta, versi-versi yang ditemukan dalam Majjhima Theravāda dan Sarvāstivāda.[7] Versi Theravāda dari Kāyagatāsati Sutta berpusat pada sebuah daftar dari 14 latihan perenungan tubuh yang identik dengan latihan-latihan dasar dalam perenungan tubuh dari Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda. Kumpulan latihan khusus ini tidak ditemukan di tempat lain dalam Nikāya-Nikāya Theravāda, dan oleh sebab itu menunjukkan suatu hubungan yang kuat antara kedua teks ini.[8]

Table 14.1: [Perenungan] Tubuh dalam Sarvāstivāda & Theravāda

Smṛtyupasthāna Sūtra SarvāstivādaSatipaṭṭhāna Sutta Theravāda
1. Empat posisi tubuh2.
2. Pemahaman jernih3.
3. Memotong pemikiran(lihat MN 20.3/MA 101)
4. Menekan pemikiran(lihat MN 20.7/MA 101)
5. Ānāpānasati1.
6. Perumpamaan jhāna ke-1(Perumpamaan-perumpamaan pada MN 119.18/MA 81, dst.)
7. Perumpamaan jhāna ke-2
8. Perumpamaan jhāna ke-3
9. Perumpamaan jhāna ke-4
10. Persepsi cahaya(Lihat SN 51.20)
11. Landasan peninjauan kembali(Lihat AN 5.28)
12. Bagian-bagian tubuh4.
13. Enam unsur5. (Empat unsur saja)
14-18. Tanah perkuburan6-14.

Namun, perbedaan paling penting antara Satipaṭṭhāna dan Kāyagatāsati Sutta adalah bahwa Satipaṭṭhāna Sutta, dengan pengulangannya yang berulang-ulang tentang penyelidikan muncul dan lenyapnya, menekankan vipassanā, sedangkan pengulangan dalam Kāyagatāsati Sutta Theravāda mengatakan:

“Ketika ia berdiam dengan rajin, tekun, dan berketetapan, ingatan-ingatan dan tujuannya yang bergantung pada kehidupan berumah tangga ditinggalkan. Dengan ditinggalkannya hal-hal itu pikirannya menjadi mantap secara internal, ditenangkan, menyatu, dan dibawa pada samādhi. Itulah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian terhadap tubuh.”

Pengulangan Sarvāstivāda mengatakan bahwa latihan yang rajin dari hal ini dalam sebuah tempat yang sunyi membebaskan pikiran dari tekanan, membawa samādhi, dan membawa pengetahuan berdasarkan kenyataan. Dalam kedua versi latihan-latihan perenungan tubuh kemudian membawa langsung menuju empat jhāna, masing-masing darinya juga dikatakan sebagai sebuah praktek perhatian pada tubuh.

Setelah jhāna-jhāna terdapat suatu daftar manfaat dari praktek, yang jatuh dalam empat kelompok. Pertama, perhatian pada tubuh memasukkan semua dhamma yang mengambil bagian realisasi, seperti halnya seseorang yang meliputi pikirannya dengan keseluruhan lautana memasukkan semua sungai yang mengalir ke dalamnya. Kedua, suatu daftara dari tiga perumpamaan dan kebalikannya (melempar bola berat/ringan, potongan kayu kering/basah, kendi air yang penuh/kosong), yang menggambarkan apakah Māra mendapatkan kesempatan atau tidak. Kedua kelompok ini ditemukan dalam Sarvāstivāda. Ketiga, perhatian terhadap tubuh membawa pada realisasi semua pengetahuan jernih, yang digambarkan lebih jauh dengan tiga perumpamaan – pot yang penuh, kolam yang penuh, dan kereta yang sudah dipersiapkan. Kelompok ini tidak ada dalam Sarvāstivāda. Keempat, perhatian terhadap tubuh, yang dikembangkan dan dilatih, membawa pada sepuluh manfaat: mengatasi ketidakpuasan dan kesenangan; ketakutan dan kekhawatiran; panas dan dingin, dst; seseorang mengembangkan empat jhāna; seseorang merealisasi enam jenis pengetahuan jernih. Daftar ini juga terdapat dalam Sarvāstivāda, yang menjangkau sampai 18 dengan memisahkan tambahan dari empat jhāna dan empat tahap pencerahan.

Empat kelompok ini masing-masing terpisah awalnya. Terdapat banyak tumpang tindih dari topik-topik dalam kotbah ini, khususnya jhāna-jhāna dan pengetahuan-pengetahuan jernih. Empat jhāna mungkin mulanya disebutkan, bukan sebagai suatu jenis praktek perhatian, tetapi sebagai manfaat dari praktek perhatian. Ini dinyatakan oleh pengulangan dasar dan oleh daftar manfat-manfaat dalam kedua versi.

Perumpamaan-perumpamaan menggunakan suatu penggambaran yang tersendiri – lautan, pot yang penuh, kolam yang penuh, kendi air yang penuh.[9] Ini konsisten dengan perumpamaan untuk perhatian terhadap tubuh yang ditemukan dalam Satipaṭṭhāna Saṁyutta (mangkuk yang penuh dengan minyak), dan juga penggambaran “yang sudah jenuh” dari perumpamaan-perumpamaan jhāna:

Jhāna ke-1: Ia basah kuyup dengan kegiuran dan kebahagiaan yang lahir dari keterasingan, menutupi, memenuhi, dan meliputi tubuhnya, sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya yang tidak diliputi oleh kegiuran dan kebahagiaan yang lahir dari keterasingan. Bagaikan seorang tukang reparasi kamar mandi yang terampil, atau murid tukang itu menumpuk bubuk mandi di dalam bak logam dan, dengan menyiraminya perlahan-lahan dengan air, meremasnya sampai uapnya membasahi bola bubuk mandi, membasahi dan meliputinya di dalam dan luar, tetapi bola itu sendiri tidak mengalir keluar...

Jhāna ke-2: Ia basah kuyup dengan kegiuran dan kebahagiaan yang lahir dari samādhi, menutupi, memenuhi, dan meliputi tubuhnya, sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya yang tidak diliputi oleh kegiuran dan kebahagiaan yang lahir dari samādhi. Bagaikan walaupun terdapat sebuah danau yang airnya mengalir keluar dari bawah, dan ia tidak memiliki pemasukan dari timur, barat, utara, atau selatan, dan tidak diisi ulang dari waktu ke waktu dengan air hujan, kemudian sumber air dingin mengalir keluar dalam danau akan basah kuyup dengan air dingin, menutupi, memenuhi, dan meliputi danau itu, sehingga tidak ada bagian dari seluruh danau yang tidak diliputi oleh air dingin...

Jhāna ke-3: Ia basah kuyup dengan kebahagiaan yang bebas dari kegiuran, menutupi, memenuhi, dan meliputi tubuh ini, sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya yang tidak diliputi oleh kebahagiaan yang bebas dari kegiuran. Bagaikan di dalam sebuah kolam dengan seroja berwarna biru atau putih atau merah, beberapa seroja lahir dan tumbuh di dalam air tumbuh pesat terbenam dalam air tanpa muncul darinya, dan air dingin membasahi, menutupi, memenuhi, dan meliputinya sampai ujung dan akarnya, sehingga tidak ada bagian dari seroja itu yang tidak diliputi oleh air dingin...

Jhāna ke-4: Ia duduk meliputi tubuhnya dengan pikiran yang cemerlang murni, sehingga tidak ada bagian dari seluruh tubuhnya yang tidak diliputi oleh pikiran yang cemerlang murni. Bagaikan jika terdapat seseorang yang ditutupi dari kepalanya dengan sehelai kain putih murni, sehingga tidak ada bagian tubuhnya yang tidak ditutupi oleh kain putih murni itu...[10]

Gambaran yang indah dari kebahagiaan yang terwujud melengkapi psikologis rumusan jhāna. Penekanan pada terbenamnya tubuh tidak diragukan lagi mendorong dimasukkannya mereka dalam Kāyagatāsati Sutta, dan oleh sebab itu dalam bagian perenungan tubuh dari Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda.

Suatu kesalahan untuk menganggap bahwa “tubuh” di sini menunjuk pada tubuh fisik biasa, yang sepenuhnya lenyap dalam jhāna. Sutta-Sutta menggunakan “tubuh” dalam suatu makna idiomatis untuk menekankan kedekatan pengalaman personal langsung; maknanya adalah sesuatu seperti “keseluruhan landasan kesadaran”.[11] Pengggunaan abstrak, yang hampir bersifat mistis, demikian dari “tubuh” – dicatat juga “tubuh ciptaan-pikiran”, “tubuh saksi”, “tubuh-dhamma” – membuka jalan untuk ajaran yang sangat belakangan dari “Tiga-tubuh” dari Sang Buddha, suatu perwujudan metafisik dan sifat adi-duniawi dari Sang Buddha dan Nibbana.

Kāyagatāsmṛti Sutta Sarvāstivāda, sebagai tambahan pada berbagai variasi yang disebutkan di atas, menyajikan suatu daftar yang berbeda dari latihan-latihan dasar. Ini berhubungan erat dengan bagian perenungan tubuh dalam Sarvāstivāda Smṛtyupasthāna Sūtra, seperti halnya Kāyagatāsati Sutta Theravāda berhubungan dengan Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda. Theravādin menambahkan pengulangan vipassanā pada Satipaṭṭhāna Sutta, tiga perumpamaan tambahan pada Kāyagatāsati Sutta, dan membalik urutan ānāpānasati dan pemahaman jernih dalam keduanya. Sarvāstivādin menambahkan latihan-latihan tambahan dan mengisi bagian terakhir dengan manfaat-manfaat. Ini menunjukkan bahwa rincian khusus dari daftar-daftar ini adalah bersifat sektarian. Masing-masing aliran pasti telah mengubah kotbah yang berpasangan ini bersamaan. Ini menimbulkan pertanyaan penting: ke manakah arah utama pengaruh, dari Kāyagatāsati Sutta ke Satipaṭṭhāna Sutta, atau sebaliknya? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus pertama-tama menyelidiki secara lebih terperinci latihan-latihan tambahan dalam Sarvāstivāda.

Nomor 3 dan 4, yang berhubungan dengan cara mengendalikan pikiran, adalah dua dari lima metode yang dianjurkan dalam versi Theravāda dan Sarvāstivāda dari Vitakkasaṇṭhāna Sutta (“Kotbah tentang Mengatasi Pemikiran-Pemikiran”), yang jelas suatu rumah yang cocok untuk mereka. Penjelasan dalam Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda, seperti yang diharapkan, lebih dekat pada penjelasan dalam versi Vitakkasaṇṭhāna Sutta dari Sarvāstivāda, dan tidak diragukan diambil dari sana. Kedua versi mengatakan bahwa praktek-praktek ini adalah untuk seseorang yang “mengejar pikiran yang lebih tinggi”, yaitu jhāna, dan dengan cara itu pikiran menjadi mantap secara internal, tenang, menyatu, dan dibawa pada samādhi. Dalam praktek pertama, pemikiran-pemikiran tidak bermanfaat digantikan dengan memikirkan pemikiran-pemikiran yang bermanfaat. Sarvāstivāda memberikan perumpamaan seorang tukang kayu yang menandai sepotong kayu dengan lurus dan kemudian memotongnya dengan sebuah kapak tajam; namun, perumpaman Theravāda mengatakan tentang seorang tukang kayu mengetukkan sebuah pasak kasar dengan menggunakan pasak halus, yang lebih cocok. Dalam praktek kedua menghancurkan dan menekan pikiran dengan pikiran, seperti dua orang kuat yang memukul seorang yang lemah. Pendekatan pada pengembangan mental yang keras ini tidak seperti kelembutan Sang Buddha yang biasanya. Praktek yang sama ini diberikan daftarnya dalam Mahā Saccaka Sutta di antara jalan kecil tidak berguna yang dikejar Bodhisatta sebelum pencerahannya.[12] Argumen Bronkhorst dari hal ini bahwa praktek itu pastilah sebuah praktek Jain, yang ditolak Sang Buddha, tetapi kemudian menyusup kembali dengan perlahan-lahan ke dalam Sutta-Sutta. Namun, praktek ini adalah yang pertama dan kurang bersifat pertapaan dari praktek-praktek Jain, dan yang terakhir dan paling bersifat pertapaan dari praktek Buddhis, sehingga mungkin di sini hanya ada sedikit tumpang tindih.

Kita telah berjumpa nomor 10, persepsi cahaya, bersama dengan beberapa perenungan tubuh, dalam Iddhipāda-saṁyutta dan Aṅguttara Nikāya. Dimasukkannya ini dalam satipaṭṭhāna mungkin juga dipengaruhi oleh bacaan standar tentang bagaimana seseorang meninggalkan rintangan kemalasan dan kelambanan, dengan “menangkap cahaya, penuh perhatian dan memahami dengan jernih.” Tidak ada alasan jelas dalam bacaan itu sendiri mengapa ini muncul di bawah perenungan tubuh. Penekanan pada persepsi cahaya dalam Iddhipādasaṁyutta, yang didukung oleh bacaan-bacaan lainnya, menyatakan bahwa di sini kita memasuki bidang yang eksotis dari kekuatan-kekuatan batin.

“Landasan peninjauan kembali”[13] disebutkan dalam Aṅguttara dan Dīgha sebagai faktor kelima dari samādhi benar yang mulia, penyelidikan dari seseorang yang telah bangkit dari jhāna “seperti halnya seseorang yang sedang berdiri melihat pada seseorang yang berbaring, atau seseorang yang berbaring melihat pada seseorang yang sedang berdiri.”[14] Kemungkinan penyebutan posisi-posisi tubuh di sini, walaupun jelas hanyalah sebuah kiasan, mendorong dimasukkannya di bawah perenungan tubuh. Situasi dengan perumpamaan-perumpamaan jhāna adalah serupa, tubuh dalam pengertian kiasan atau mistis disatukan dengan tubuh fisik secara harfiah.

Urutan internalnya samar-samar; mengapa persepsi cahaya dan pengetahuan peninjauan kembali disisipkan pada titik ini? Ini telah dipengaruhi oleh samādhi benar berunsur lima yang telah disebutkan di atas. Terdapat dua variasi dari hal ini: Aṅguttara menyebutkan empat jhāna (dengan perumpamaan-perumpamaan) dan “landasan peninjauan kembali” sebagai yang kelima. Dīgha menyebutkan lima faktor: “meliputi dengan kegiuran, meliputi dengan kebahagiaan, meliputi dengan pikiran, meliputi dengan cahaya, landasan peninjauan kembali.” Tiga yang pertama dari hal ini jelas menunjuk pada jhāna, dan secara khusus dekat dengan penggambaran dari perumpamaan jhāna.  Tentunya ungkapan “meliputi dengan pikiran (ceto)” agak tidak lazim dan berbeda dari bacaan ini dan perumpamaan jhāna keempat. Kemudian mengikuti persepsi cahaya dan landasan peninjauan kembali, semua ini dalam urutan yang sama dalam kedua samādhi benar berunsur lima dan Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda. Kesesuaian dari bacaan-bacaan yang agak tidak lazim ini terlalu dekat untuk dianggap kebetulan.[15]

Identifikasi dari pengaruh struktural dalam Smṛtyupasthāna and Kāyagatāsmṛti Sūtra Sarvāstivāda ini memungkinkan kita untuk membuat lebih masuk akal dari keseluruhan struktur bagian perenungan tubuh dari teks-teks ini. Mereka mulai dengan perenungan terhadap posisi dan pergerakan tubuh melalui aktivitas-aktivitas sehari-hari, persiapan standar untuk meditasi. Praktek lainnya yang berperan sebagai persiapan untuk meditasi dan dalam meditasi yang sebenarnya adalah pengendalian pemikiran-pemikiran; ini berhubungan dengan kehendak benar dari jalan mulia berunsur delapan. Kemudian mengikuti meditasi yang sebenarnya, ānāpānasati, yang membawa pada empat jhāna. Berikutnya adalah persepsi cahaya, yang dihubungkan dengan pengembangan kekuatan batin yang secara teratur mengikuti setelah jhāna. Akhirnya pengetahuan peninjauan kembali yang menyelidiki keseluruhan proses, khususnya kesadaran jhāna sehubungan dengan sebab dan akibat.

Bagian ini sejauh ini masuk akal sebagai sebuah penjelasan dari rangkaian umum praktek-praktek dalam Sutta-Sutta. Masalahnya terletak, bukan pada ketidaksesuaian internal, melainkan dalam dimasukkannya sebagai bagian dari perenungan tubuh. Hanya beberapa dari bagian itu merupakan perenungan tubuh yang sebenarnya; sisanya memperluas perenungan tubuh. Ketidaksesuaian itu dipersulit dengan penambahan perenungan tubuh yang sebenarnya – bagian-bagian tubuh, unsur-unsur, tanah perkuburan. Ini tidak ada hubungannya dengan struktur progresif dari bagian terdahulu dari bagian itu. Mereka dilampirkan pada akhir bagian, atau lebih mungkin merupakan suatu bagian awal dari teks, yang tetap seraya permulaannya diubah menjadi suatu program meditasi yang menyeluruh.

Di sini kita melihat suatu kecenderungan menggembungkan perhatian terhadap tubuh sampai ia mencakupi keseluruhan jalan. Satipaṭṭhāna menyediakan suatu contoh proses yang sama pada skala besar. Kenyataannya Satipaṭṭhāna Sutta mencakupi banyak dari landasan yang sama dalam bagian-bagian yang sama, dimasukkannya samādhi adalah contoh yang jelas; juga penyelidikan ke dalam sebab-sebab dalam perenungan terhadap dhamma sama dengan “landasan peninjauan kembali”. Jadi dimasukkannya praktek-praktek tambahan ini dalam Smṛtyupasthāna Sūtra sangatlah berlebihan, yang menyatakan bahwa mereka mulanya ditujukan untuk Kāyagatāsmṛti Sūtra, dan pemindahan ke dalam Smṛtyupasthāna Sūtra adalah perkembangan sekunder. Jika ini berlaku untuk Sarvāstivāda, ini mungkin berlaku juga untuk Theravāda, walaupun di sana, dengan mengabaikan jhāna-jhāna, pengaruhnya tidak sekuat itu.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #61 on: 04 October 2014, 10:05:20 AM »
Setelah mempertimbangkan secara terperinci bagian perenungan tubuh dari Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda, kita sekarang dapat berpindah pada sisanya. Pengulangan dalam Smṛtyupasthāna Sūtra mengatakan hanya tentang merenungkan secara internal dan eksternal, kemudian mengembangkan pikiran pada tubuh (perasaan, pikiran, dhamma) dan memperoleh pengetahuan, penglihatan, cahaya, pemahaman (有知有見。有明有達; ekivalen bahasa Pali-nya adalah ñāṇa, dassana, vijjā, paññā). Tidak ada penyebutan tentang ketidakkekalan.

Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda di sini memiliki: “Seseorang menegakkan perhatian hanya untuk suatu ukuran pengetahuan, ukuran perhatian”. Kata “ukuran” (matta) di sini mengejutkan saya karena sedikit aneh. Seseorang dapat berusaha menjelaskannya, tetapi makna umumnya adalah “semata-mata” atau “terbatas”. Apakah mungkin bahwa ada suatu kebingungan awal antara matta “ukuran” dan patti “pencapaian” atau attha “tujuan”? Ini juga sedikit janggal untuk mengatakan bahwa seseorang diharuskan untuk menegakkan perhatian (sati) untuk mencapai perhatian (patissati). Istilah Mandarin di sini berarti “penglihatan”. Mungkinkah ada suatu kebingungan yang lebih jauh antara passati dan patissati? (Tentu saja, passati adalah kata kerja dan patissati adalah kata benda, sehingga ini akan melibatkan suatu perubahan sintaksis dan bukan hanya perubahan fonetik.) Menggabungkan kedua pernyataan, kita dapat sampai pada: “Seseorang menegakkan perhatian hanya demi pengetahuan dan penglihatan.” Ini adalah suatu makna yang lebih bersifat langsung, tetapi tidak ditemukan dalam teks-teks yang ada mana pun.

Bagian-bagian tentang perasaan dan pikiran dalam Smṛtyupasthāna Sūtra mirip dengan Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda, tetapi sedikit lebih terperinci. Dari sini sampai akhir, teks menunjuk pada “para bhikkhu dan bhikkhunī”, keduanya sebagai pendengar kotbah itu, dan saya tidak tahu apakah ini bersifat mewakili Sutta-Sutta Sarvāstivādin secara umum. Pasti terdapat para bhikkhuni dan umat awam wanita hadir pada banyak ajaran, tetapi teks-teks diletakkan dalam suara pria. Dalam Theravāda, bahkan ketika suatu kotbah disampaikan semata-mata kepada para bhikkhuni, para praktisi hipotetis dari kotbah itu biasanya seorang bhikkhu. Hanya jarang praktisi wanita diakui. Ini agak memalukan. Bukti prasasti, menurut Schopen, membuktikan sejumlah para bhikkhu dan bhikkhuni yang kurang lebih sama dalam aliran-aliran awal. Banyak bhikkhuni dikatakan telah terpelajar dalam sebuah sutta, atau dalam sebuah Piṭaka, dan seterusnya, sehingga mereka berperan dalam penyebaran Dhamma. Prasasti-prasasti ini biasanya mencatat donasi yang penting, dari vihara-vihara dan sejenisnya. Para Jain, tidak seperti Buddhis, membuat pencatatan para pengikut mereka, dan tokoh-tokohnya secara konsisten mengenal lebih banyak biarawati daripada biarawan. Mempertimbangkan iklim yang bersifat patriark dari masa itu, ini situasi yang tidak mungkin mereka temukan, dan jumlah biarawati Buddhis mungkin juga telah melebihi para bhikkhu di India, seperti yang terjadi pada beberapa negera Buddhis modern.

Bagian tentang perenungan terhadap dhamma dibandingkan sebagai berikut.

Tabel 14.2: [Perenungan] Dhamma dalam Sarvāstivāda & Theravāda

Smṛtyupasthāna Sūtra SarvāstivādaSatipaṭṭhāna Sutta Theravāda
1. Alat indera internal dan eksternal
2. Lima rintangan1. Lima rintangan
2. Lima kelompok unsur kehidupan
3. Alat indera internal dan eksternal
3. Tujuh faktor pencerahan4. Tujuh faktor pencerahan
5. Empat kebenaran mulia

Semua latihan ini digambarkan hampir dalam istilah yang identik dalam kedua Sutta, seperti halnya dalam versi Abhidhamma. Sarvāstivāda menghilangkan kelompok-kelompok unsur kehidupan dan kebenaran-kebenaran mulia, dengan mempertahankan alat indera sebagai satu-satunya praktek vipassanā. Seperti yang telah kita lihat, ia berbagi ciri khas ini dengan Dharmaskandha. Terdapat satu teks, yang mungkin berkaitan, dalam Bojjhaṅga-saṁyutta yang menyebutkan alat indera.[16] Di sana, faktor-faktor pencerahan dikatakan sebagai “satu dhamma” untuk meninggalkan “hal-hal yang membelenggu”, yaitu enam alat indera. Sutta-Sutta Satipaṭṭhāna juga mengatakan alat indera sehubungan dengan belenggu-belenggu. Tetapi dalam Bojjhaṅga-saṁyutta faktor-faktor pencerahan, yang terutama berhubungan dengan samādhi, secara alamiah mendahului praktek kebijaksanaan dari alat indera. Namun dalam Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda, alat indera dipindahkan secara janggal ke awal bagian, sedangkan dalam Dharmaskandha mereka berada di pertengahan. Atas alasan ini di antara yang lainnya, saya tidak ragu-ragu dalam menyimpulkan bahwa ini adalah suatu penyisipan yang belakangan dan bahwa Satipaṭṭhāna Sutta awal mula hanya memasukkan rintangan-rintangan dan faktor-faktor pencerahan.

Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda menghilangkan pengulangan pernyataan “jalan menuju satu titik” pada akhirnya, tetapi memasukkan jaminan pencapaian dalam tujuh tahun, atau paling cepat tujuh hari; sesungguhnya, ia melanjutkan lebih jauh daripada Theravāda dan mengatakan seseorang dapat melihat hasilnya pada siang hari jika ia berlatih pada pagi harinya. Ia juga menghilangkan kalimat terakhir dari versi Pali, “Inilah apa yang dikatakan [yaitu satipaṭṭhāna adalah ‘jalan menuju satu titik’] dan inilah alasannya ia dikatakan [yaitu ia membawa pada hasil-hasil ini].” Karena kalimat ini tidak ditemukan dalam versi lain, ini mungkin sebuah upaya untuk mengikatkan bersama kumpulan bacaan yang longgar di mana Satipaṭṭhāna Sutta berasal.

Penekanan sepanjang Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda jelas tentang samatha. Seperti Vibhaṅga, ia menghilangkan hampir semua bahan berorientasi pada vipassanā secara terang-terangan dari Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda; dan juga menambahkan banyak bahan samatha. Ia memperlakukan vipassanā semata-mata sebagai perenungan terhadap dhamma. Kedua aliran bergerak maju menggunakan Satipaṭṭhāna Sutta sebagai suatu kompilasi teknik-teknik meditasi; tetapi bagi Sarvāstivādin ini adalah sebuah panduan samatha, sedangkan bagi Theravādin ia adalah sebuah panduan vipassanā.

14.3 Ekāyana Sūtra

Ekottara Āgama, di mana kotbah ini diambil, adalah yang paling kurang seragam di antara empat Āgama. Ia diterjemahkan, tampaknya, dari bahasa Prakrit alih-alih Sanskrit. Ia biasanya dipercayai milik Mahāsaṅghika, aliran yang memisahkan diri dari nenek moyang Theravādin pada perpecahan pertama. Dengan demikian, mereka memiliki ketertarikan khusus, karena bahan tekstual dan ajaran memiliki kesamaan antara silsilah Mahāsaṅghika dan silsilah Theravāda mungkin berasal dari periode pra-sektarian. Kita memiliki Vinaya mereka dalam bahasa Mandarin, dan beberapa teks yang belakangan, dan baru-baru ini sejumlah besar sūtra atau fragmen dalam bahasa Prakrit aslinya telah menjadi jelas, tampaknya berasal dari sebuah vihara di dekat Bamiyan di Afghanistan. Mahāsaṅghika, seperti Theravāda, terus terpecah-pecah ke dalam banyak sub-aliran, dengan berbagai tingkatan perkembangan ajaran.

Namun, ikatan Ekottara jauh dari pasti dan beberapa sarjana telah menyatakan keberatan pada identifikasi ini. Alasan utama menganggapnya berasal dari Mahāsaṅghika adalah dimasukkannya beberapa penunjukan pada Maitreya, dan aliran Ekottara mungkin memiliki ketaatan khusus kepada Buddha masa depan tersebut. Ini mungkin sebuah ciri dari suatu aliran Mahāsaṅghika, tetapi ini mungkin juga tidak. Ciri khas ajaran dan yang lainnya yang telah diidentifikasi tidak memiliki persamaan yang dekat secara khusus pada ajaran-ajaran Mahāsaṅghika; tetapi kumpulan itu terkenal istimewa, dan menyajikan banyak variasi bahkan pada rumusan ajaran standar seperti jalan mulia berunsur delapan. Mempertimbangkan ketidakkonsistenan yang sangat buruk dari teks itu, ia mungkin tidak layak diberikan terlalu banyak bobot konsistensi ajaran sebagai suatu panduan pada ikatan sektarian. Bahkan Theravādin yang ortodoks dan keras mempertahankan dalam Sutta-Sutta mereka sejumlah bacaan yang bertentangan dengan ajaran aliran itu (keadaan antara; jalan bertahap; perlunya jhāna; keutamaan Sutta-Sutta atas Abhidhamma; keutamaan praktek daripada studi, dst.). Jadi kita tidak benar-benar mengetahui aliran dari Ekottara, tetapi kita akan mengikuti pola umum dalam memperlakukannya sebagai Mahāsaṅghika.

Pengeditan yang asal-asalan dan perbedaan dari sumber-sumber lain menyatakan suatu masa yang lebih belakangan daripada Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda dan Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda. Latarnya, sama dengan Dharmaskandha, adalah Jetavana di Sāvatthī alih-alih Kammassadamma. Ini mungkin menyatakan bahwa ini sebenarnya suatu kotbah yang berbeda, yang disampaikan pada kesempatan yang berbeda. Namun, ini akan jelas bagi semua orang yang familiar dengan Sutta-Sutta bahwa mereka berlatarkan di Jevatana jauh lebih sering daripada tempat lainnya; Jetavana merupakan latar “default” untuk Sutta apa pun yang asalnya tidak diketahui. Ini didukung oleh dua bacaan yang disebutkan oleh Schopen. Satu bacaan dari Vinaya Mūlasarvāstivāda, mengisahkan Sang Buddha memberitahukan Yang Mulia Upāli bahwa, jika latar atau rincian lainnya dari suatu kotbah atau aturan pelatihan terlupakan, seseorang harus menyatakan bahwa latarnya berada pada salah satu dari enam kota besar, atau di mana Sang Buddha berdiam berulang kali; jika seseorang lupa nama rajanya, ia harus mengatakan bahwa ia adalah Pasenadi; jika seseorang lupa nama perumah tangganya, ia harus mengatakan ia adalah Anāthapiṇḍika; dan seterusnya.[17] Suatu pernyataan yang sama tercatat dalam Vinaya Mahāsaṅghika: dalam aturan-aturan yang berhubungan dengan pembacaan sembilan aṅga, jika seorang bhikkhu lupa latarnya, ia harus mengatakan itu adalah salah satu dari delapan tempat terkenal.[18] Pembahasan Schopen tentang prinsip ini dalam, dan, seperti yang ia katakan, penerapan prinsip demikian akan dengan cepat menghasilkan latar yang lazim di Jetavana yang merupakan suatu karakteristik dari kanon-kanon yang ada. Kita telah melihat dalam Saṁyukta Sarvāstivāda bahwa jenis penghubungan buatan atas latar ini sangat merata. Jadi ketik suatu kotbah dikatakan terjadi di Sāvatthī, kita seharusnya tidak menganggap ini terlalu serius. Dalam kasus-kasus seperti Satipaṭṭhāna Sutta, di mana versi-versi yang berbeda dari apa yang sepertinya teks yang sama berlatarkan kadangkala di Jetavana, kadangkala di tempat lain, kita seharusnya menganggap bahwa latar yang kurang umum mungkin otentik, dan pergeseran ke Sāvatthī terjadi sebagai bagian dari suatu normalisasi yang belakangan. Dengan demikian perbedaan latar tidak menyatakan bahwa teks-teks memiliki asal mula yang berbeda.

Bahasa Mandarin di sini menerjemahkan “satipaṭṭhāna” dengan dua karakter yang berarti “ketenangan pikiran” (意止). Bahasa India asalnya dari terjemahan ini mungkin sesuatu seperti manosamatha. Istilah ini tidak tampak seperti demikian dalam bahasa Pali, walaupun cetosamatha yang hampir sama tampaknya demikian. Ini adalah suatu terjemahan yang tidak biasa untuk satipaṭṭhāna; biasanya bahasa Mandarin memiliki “tempat perhatian” (念處) yang lebih harfiah. Namun, terjemahan ini ditemukan dalam beberapa tempat lain, seperti T № 101 (Saṁyukta SA3 sebagian), sebuah versi yang berdiri sendiri dari Daśottara Sūtra (T № 13), Vinaya Dharmaguptaka, dan beberapa versi dari literatur Prajñāpāramitā. Dengan demikian ini bukanlah hal yang khusus dalam Ekottara.

Setelah pembukaan dengan pernyataan “jalan yang menuju pada satu titik”, teks mengatakan jalan ini menghancurkan lima rintangan. Penyebutan rintangan di sini sesuai dengan pemahaman umum atas satipaṭṭhāna dan secara khusus mengingatkan pada Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda. “Jalan” adalah jalan mulia berunsur delapan, di sini diberikan dalam bentuk yang ganjil: pandangan benar, pencegahan benar, perilaku benar, pencaharian benar, keterampilan yang tepat dalam cara, ucapan benar, perenungan benar, konsentrasi benar.

Rumusan untuk empat satipaṭṭhāna memperlakukan masing-masing sebagai internal/eksternal; rumusan internal/eksternal kemudian dihilangkan di seluruh tubuh kotbah. Rumusan pelengkap juga dihilangkan. Namun nilai penting dari rumusan ini adalah bahwa satipaṭṭhāna dikembangkan dalam konteks sang jalan sebagai suatu keseluruhan, dan dalam Ekāyana Sūtra ini telah dinyatakan.

Berlawanan dengan konsistensi dari Sutta-Sutta Theravāda, pengulangan-pengulangan sepenuhnya sangat bervariasi. Demikianlah di sini dalam pendahuluan, perenungan tubuh dikatakan membawa pada berakhirnya pemikiran-pemikiran tidak bermanfaat dan pelenyapan kekhawatiran, sedangkan tiga perenungan sisanya membawa pada kedamaian dan kebahagiaan. Pengulangan dalam bagian-bagian tubuh dari bagian perenungan tubuh menggabungkan kedua hal ini, dengan mengatakan untuk “merealisasi kedamaian dan kebahagiaan, mengakhiri pemikiran-pemikiran buruk, dan melenyapkan kekhawatiran dan kesedihan”. Di tempat lain pengulangan memasukkan satu bagian atau yang lain dari ungkapan ini, yang membuat kita mencurigai bahwa inia adalah versi standar, yang kurang lebih diputar balik di seluruh teks. Ini adalah suatu jenis ungkapan yang sama pada rumusan pelengkap standar, tetapi tidak mudah untuk melihat suatu hubungan tekstual. Akhir dari bagian tentang meditasi jenazah, setelah mengatakan tentang membawa kedamaian, dst., mengatakan tentang pemahaman ketidakkekalan. Dengan demikian kita melihat sebuah kombinasi dari aspek samatha dan vipassanā.

Teks mengatakan ini adalah “jalan menuju satu titik” karena ia membawa pada kesatuan pikiran. Perkataan ini di sini diberikan keunggulan yang lebih besar daripada dalam versi-versi lainnya: pertama, karena ini secara eksplisit dijelaskan dalam teks itu sendiri; kedua, karena ini adalah judulnya; dan ketiga karena teks dimasukkan dalam [bagian] “Yang Satu” dari Ekottara Āgama. Saya mengatakan dalam GIST bahwa nilai penting yang bersifat simbolis dari angka mempengaruhi pembentukan Aṅguttara/Ekottara. Konotasi yang penting dari “satu” dalam Buddhisme adalah samādhi, dan ini jelas dicerminkan dalam Aṅguttara Theravāda. Jadi Ekāyana Sūtra dimasukkan dalam [bagian] “Yang Satu”, yang dikelompokkan dalam kata pertama dari teks, suatu kata yang merangkum tujuan spiritual utama dari jalan satipaṭṭhāna: pencapaian penyatuan pikiran.

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #62 on: 04 October 2014, 10:41:16 AM »
Dengan menghilangkan ānāpānasati dan kewaspadaan terhadap aktivitas-aktivitas, bagian tentang perenungan tubuh hanya memasukkan perenungan bagian-bagian tubuh,[19] empat unsur, dan tanah perkuburan. Ia menambah praktek lainnya – mengamati lubang-lubang tubuh di mana kekotoran mengalir. Ini sama dengan Śāriputrābhidharma. Sebuah perumpamaan dimasukkan untuk unsur-unsur (sapi yang disembelih) dan lubang-lubang tubuh (bagaikan persendian bambu atau buluh), tetapi dihilangkan untuk bagian-bagian tubuh. Karena perumpamaan ditemukan dalam semua versi Sutta lainnya, ini adalah suatu kasus kehilangan yang tidak disengaja.

Perenungan terhadap perasaan dan pikiran sama dalam isinya dengan versi-versi lainnya, tetapi pengulangannya berbeda dengan kedua versi lainnya dan dengan pengulangan dari bagian pertama dalam sūtra yang sama. Mereka menunjuk pertama-tama pada perenungan prinsip-prinsip muncul dan lenyapnya sehingga, “Sehubungan dengan perasaan yang muncul saat ini ia memiliki pengetahuan dan penglihatan, dengan kewaspadaan yang ditegakkan dengan baik, dengan tanpa apa pun untuk bergantung, seseorang memiliki kegembiraan dan kebahagiaan dan tidak memunculkan perasaan terhadap kemelekatan pada dunia.” Pengulangan di sini adalah sulit, dan terjemahan yang saya miliki sangat berbeda. Terjemahan di atas mengasumsikan bahwa ungkapan ini sama dengan versi Pali.

Kemudian mengikuti beberapa versi yang sedikit berbeda dari rumusan-rumusan untuk mencapai Kearahantaan yang umumnya ditemukan di sepanjang Sutta-Sutta, yang jelas merupakan penambahan yang belakangan. Bagian pengulangan memiliki beberapa persamaan dengan Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda.

Perenungan pikiran memasukkan suatu ungkapan yang lebih jauh yang membingungkan para penerjemah: 可思惟.不可思惟. Ini mengikuti ungkapan yang telah kita identifikasi menunjuk pada “pengetahuan dan penglihatan”. Thích Nhất Hạnh mengatakan bahwa ini menunjuk pada mengetahui apa yang tidak diketahui, dan menyatakan bahwa ini adalah sebuah paradox bergaya Prajñāpāramitā. Pasadika menerjemahkan “dari ini dapat disimak apakah seseorang benar-benar perhatian penuh atau tidak”. Tetapi ungkapan不可思惟, yang khusus pada Ekottara, di tempat lain menunjuk pada atakkāvacara (melampaui lingkup penalaran) atau acinteyya (tidak terpikirkan). Ini tidak benar-benar memberitahukan kita apakah maksud ungkapan itu (“seseorang mempertimbangkan itu yang melampaui pemikiran”?), tetapi ia menyatakan suatu hubungan dengan sebuah ungkapan yang ditemukan kadangkala ditemukan dalam satipaṭṭhāna, “seseorang tidak (atau tidak seharusnya) memikirkan pemikiran-pemikiran tentang tubuh”.

Berpindah ke bagian dhamma-dhamma dari Ekāyana Sūtra, kita menemukan hanya tujuh faktor pencerahan dan empat jhāna. Sebuah ukuran atas kesulitan teks ini adalah bahwa Pasadika menerjemahkan bagian ini bahkan tanpa menyadari bahwa itu menunjuk pada faktor-faktor pencerahan. Anehnya, terjemahan itu memiliki 念, terjemahan umum untuk perhatian, di sini untuk faktor pencerahan perhatian dan kegiuran. Faktor-faktor pencerahan disajikan sangat sederhana, dengan menghilangkan penyelidikan ke dalam sebab-sebab yang adalah karakteristik dari bagian dhamma dalam versi-versi lain. Ia hanya mengatakan seseorang mengembangkan masing-masing dari faktor pencerahan “bergantung pada awal pikiran, pada ketidak-tamakan, pada penghancuran pikiran yang tidak bermanfaat, dan ditinggalkannya dhamma-dhamma tidak bermanfaat”. Ini adalah suatu versi yang sedikit kacau dari rumusan umum: “bergantung pada keterasingan, pada lenyapnya nafsu, pada berhentinya, dan matangnya dalam pelepasan”. Versi Mandarin tampaknya membaca vitakka (awal pikiran) untuk viveka (keterasingan).

Jika kita menerima rekonstruksi ini, maka penggambaran dari faktor-faktor pencerahan di sini menjadi sangat mirip dengan empat cara perenungan dhamma dalam ānāpānasati: ketidakkekalan, lenyapnya nafsu, berhentinya, dan pelepasan.
Penutupan kotbah dengan empat jhāna mirip dengan Mahā Satipaṭṭhāna Sutta dari Dīgha Nikāya. Ini menegaskan kembali fungsi satipaṭṭhāna untuk membawa sampai pada jhāna.

Menarik bahwa penyelidikan ke dalam sebab-sebab, yang terkemuka dalam penguraian lainnya dari perenungan dhamma, tidak ada di sini. Sementara Theravāda mengubah aspek samatha dari satipaṭṭhāna ke dalam vipassanā, Ekāyana Sūtra mengubah aspek vipassanā ke dalam samatha. Karena versi ini lebih belakangan daripada Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda dan abhidhamma kanonik, mungkin ia dengan sengaja dibentuk berlawanan dengan penafsiran vipassanā terhadap satipaṭṭhāna yang disukai oleh para ābhidhammika. Implikasi samādhi dari pendahuluan yang terkenal ditarik keluar dan dibuat eksplisit. Kemudian rintangan-rintangan diselamatkan dari ketidakjelasan dalam perenungan dhamma dan ditempatkan pada awal dan akhirnya, yang selalu merupakan posisi untuk penekanan yang lebih besar. Ini menyatakan bahwa ditinggalkannya rintangan-rintangan bukan hanya satu latihan di antara banyak, tetapi adalah orientasi utama dari keseluruhan praktek. Kemudian empat jhāna dibawakan untuk memuncak pada perenungan dhamma, dengan menerjemahkan secara eksplisit apa yang dirasa para penyusunnya terlalu rancu dan tunduk pada penafsiran salah dalam versi asalnya.

Ekāyana Sūtra berakhir dengan mengulangi bahwa satipaṭṭhāna adalah “jalan menuju satu titik”, dan bahwa ia membebaskan dari lima rintangan. Ia menghilangkan jaminan pencapaian yang ditemukan dalam versi-versi lain.
Sebagai kesimpulan, Mahāsaṅghika mempertahankan suatu versi yang lebih sederhana dari Satipaṭṭhāna Sutta selama beberapa waktu, dengan menentang kecenderungan untuk menggunakannya sebagai suatu tempat penyimpanan segala hal untuk teknik-teknik meditasi. Tentu saja, mereka mungkin memiliki teks lain yang memenuhi fungsi ini. Perluasan itu, di mana tidak ada yang secara terang-terangan bersifat sectarian, cenderung berada dalam pengulangan-pengulangan daripada isi dari latihan meditasi itu sendiri. Sesuai dengan semua ajaran awal tentang satipaṭṭhāna yang telah kita selidiki sejauh ini, Ekāyana Sūtra dengan kuat menekankan aspek samatha, sementara juga memberikan pertimbangan yang seharusnya pada vipassanā.

14.4 Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda

Bagaimana teks ini dibentuk? Selain dari Sutta-Sutta Satipaṭṭhāna, tidak ada teks-teks dalam Majjhima, atau dalam Dīgha untuk hal itu, yang membahas satipaṭṭhāna secara rinci. Mengharapkan teks lengkap yang panjang tentang satipaṭṭhāna, para penyunting Majjhima memilih *Vibhaṅga Mūla dari vyākaraṇa-vyākaraṇa dalam Satipaṭṭhāna-saṁyutta sebagai yang paling menjanjikan. Namun, ini sangatlah pendek dan perlu diisi penuh jika ia mengambil tempatnya dalam Majjhima. Pemenuhan ini melibatkan perluasan daftar latihan-latihan meditasi dalam perenungan tubuh dan dhamma, dan pengembangan suatu pengulangan yang diperluas  dengan menambahkan perenungan muncul dan lenyapnya, yang diambil dari Samudaya Sutta, pada pengulangan internal/ekternal.

Bukti menyatakan bahwa 14 latihan ini yang muncul pertama kali dalam Kāyagatāsati Sutta Theravāda dan belakangan digunakan untuk menggemukkan Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda. Apakah perubahan, jika ada, yang dibuat dengan dimasukkannya 14 latihan ini?

Kita telah melihat bahwa satipaṭṭhāna umumnya dilihat sangat dekat atau sama dengan ānāpānasati, sehingga dimasukkannya ini di sini bukanlah masalah. Satu-satunya tanda tanya, seperti yang telah kita komentari, adalah apakah valid untuk memutus tetrad pertama dari sisa praktek itu; dan apakah perumpamaannya otentik, karena ia hanya ditemukan dalam Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda. Mungkin ia disisipkan di bawah pengaruh kelaziman kuat atas perumpamaan dan penggambaran dalam kedua Kāyagatāsati Sutta.

Sehubungan dengan unsur-unsur dan perenungan kematian, kita telah mencatat bahwa ini muncul berkelompok bersama di tempat lain dengan 31 bagian, sehingga lagi-lagi dimasukkannya mereka bukanlah masalah.
Perubahan utama dalam orientasi praktek adalah dimasukkannya bagian tentang pemahaman jernih dan posisi-posisi tubuh. Di tempat lain ini jelas berbeda dari satipaṭṭhāna sebagai meditasi. Dalam Saṁyutta mereka dipisah, dalam Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda, Śāriputrābhidharma, dan Prajñāpāramitā mereka muncul sebelum ānāpānasati, dan dalam Vibhaṅga, Dharmaskandha, dan Ekāyana Sūtra mereka tidak ditemukan. Secara konsisten, pemahaman jernih selama aktivitas-aktivitas sehari-hari tidak diperlakukan sebagai meditasi, tetapi sebagai pendahuluan pada meditasi. Hanya dalam Kāyagatāsati Sutta Theravāda dan Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda praktek ini ditempatkan setelah ānāpānasati.

Dalam kontek Sutta-Sutta sebagai suatu keseluruhan, variasi ini mungkin dimasukkan untuk mengagungkan ānāpānasati dengan memberikannya keutamaan tempat. Tetapi bagi seseorang yang tidak familiar dengan keseluruhan konteks ajaran ini dapat dianggap menyatakan bahwa pemahaman jernih atas aktivitas-aktivitas setiap hari seseorang itu sendiri adalah suatu meditasi alternatif, yang sama kuatnya dengan ānāpānasati. Ini membawa pada klaim bahwa ajaran meditasi yang paling penting dari Sang Buddha adalah sadar apa pun yang dilakukan. Tetapi pemahaman jernih sebagai bagian dari pelatihan bertahap adalah bagian dari pelatihan mental yang serba bisa yang diharapkan dari mereka yang telah menjalankan kehidupan monastik. Dengan demikian dari kesepahaman teks-teks, dan dari pertimbangan yang lebih luas atas bagaimana ia sesuai dengan jalan Sang Buddha, bagian tentang pemahaman jernih dan posisi-posisi tubuh tidak mungkin ada dalam *Satipaṭṭhāna Mūla. Namun jika mereka demikian, mungkin mereka ditempatkan dalam posisi biasanya pada awal. Di sana mereka secara alamiah membawa pada, seperti dalam pelatihan bertahap, bagi seorang bhikkhu yang telah “pergi ke hutan, di bawah pohon, atau di sebuah gubuk kosong” untuk mempersiapkan diri dalam meditasi.

Pengulangan dalam *Satipaṭṭhāna Mūla mulanya terdiri atas perenungan internal/eksternal dan sebuah pengajaran untuk penuh perhatian demi kepentingan pemahaman, ketidakbergantungan, dan pelepasan. Tetapi karena tidak ada tempat lain dalam Majjhima hubungan antara satipaṭṭhāna dan vipassanā yang disebutkan, para penyunting Majjhima berharap untuk memasukkan bagian tentang ketidakkekalan dari Samudaya Sutta dari Saṁyutta. Ini menjadi melekat pada pengulangan internal/eksternal pada akhir masing-masing latihan, dengan demikian memperjauh gagasan, yang telah diisyaratkan pada Anuruddha-saṁyutta, bahwa vipassanā dapat dijalankan dari awal praktek. Sementara ini mungkin mencerminkan orientasi aliran penyunting, mungkin bahwa ini mulanya adalah suatu efek samping yang tidak diharapkan dari evolusi formal murni Satipaṭṭhāna Sutta.[20]

Akibat lain dari pengulangan yang diperluas adalah bahwa masing-masing bagian, yang berakhir dengan ungkapan “seseorang berdiam tanpa bergantung, tidak menggenggam apa pun di dunia”, membawa semua jalan menuju Kearahantaan. Dengan demikian teks memiliki baik dimensi “horizontal”, suatu pendalaman progresif dari satu bagian ke berikutnya (seperti yang dinyatakan oleh ungkapan “lagi dan melampaui” yang mengawali setiap bagian), dan dimensi “vertikal”, pengembangan menuju pembebasan dalam masing-masing latihan. Struktur jenis ini adalah karakteristik Sutta-Sutta, dan tidak masalah sepanjang ia dipahami secara menyeluruh alih-alih secara terpisah. Yaitu, setiap subjek meditasi adalah lengkap, bukan karena ia menggantikan pendekatan yang lain tetapi karena ia memasukkan mereka. Seperti yang telah kita lihat, ini dibawa sangat jelas dalam konteks ānāpānasati. Tetapi poin mendalam ini mudah dilupakan, dan secara historis ia telah berkontribusi pada pengabaian dan pengecilan yang perlahan-lahan atas struktur progresif dari satipaṭṭhāna.

Bagian-bagian tentang perasaan dan pikiran adalah sama dengan semua versi lainnya.

Bagian tentang dhamma pada intinya diperpanjang; penambahan utama dalam versi Majjhima adalah perenungan kelompok-kelompok unsur kehidupan dan alat indera. Walaupun ini muncul seringkali dalam teks-teks awal, tidak ada di tempat lain mereka muncul sebagai bagian dari satipaṭṭhāna. Ingat bahwa Samudaya Sutta dari Saṁyutta mengatakan bahwa asal mula dhamma adalah “perhatian”. Tidak mungkin untuk memahami, dan dengan jelas melawan posisi normal dari Sutta-Sutta, bagaimana perhatian dapat memunculkan kelompok-kelompok unsur kehidupan dan alat indera. Komentar bahkan tidak berusaha, hanya dengan menyetujui bahwa memberikan perhatian yang tidak waspada memunculkan rintangan-rintangan dan memberikan perhatian yang waspada memunculkan faktor-faktor pencerahan. Ini bersepaham dengan salah satu dari tema yang terkemuka dari Bojjhaṅga-saṁyutta.

“Para bhikkhu, ketika seseorang memberikan perhatian yang tidak waspada, keinginan indera yang belum muncul menjadi muncul, dan keinginan indera yang telah muncul menjadi meningkat dan berkembang; keinginan jahat… kemalasan dan kelambanan… kegelisahan dan penyesalan… keragu-raguan yang belum muncul menjadi muncul, dan keragu-raguan yang telah muncul menjadi meningkat dan berkembang.”

“Para bhikkhu, ketika seseorang memberikan perhatian yang waspada, faktor pencerahan perhatian yang belum muncul menjadi muncul, dan faktor pencerahan perhatian yang telah muncul menjadi terpenuhi melalui pengembangan; faktor pencerahan penyelidikan dhamma… semangat… kegiuran… ketenangan… samādhi… keseimbangan yang belum muncul menjadi muncul, dan faktor pencerahan keseimbangan yang telah muncul menjadi terpenuhi melalui pengembangan.”[21]

Ini adalah praktek yang sama seperti dalam Satipaṭṭhāna Sutta. Tema-tema yang sama muncul dalam lebih dari selusin teks dalam Bojjhaṅga-saṁyutta.[22] Dalam Sarvāstivāda banyak dari teks-teks ini dikelompokkan tepat pada awal bab, yang menekankan tema ini bahkan lebih lagi. Bahkan ini sendiri dengan kuat menyatakan bahwa kelompok-kelompok unsur kehidupan dan alat media adalah suatu penambahan belakangan. Latihan-latihan vipassanā yang skematik bersifat sugestif ditempatkan setelah ditinggalkannya rintangan-rintangan tetapi sebelum pengembangan faktor-faktor pencerahan. Posisi biasanya adalah bahwa faktor-faktor pencerahan, yang sangat dekat dalam maknanya dengan samādhi, membawa pada ditinggalkannya rintangan-rintangan; tetapi di sini tampaknya kita dapat meninggalkan rintangan-rintangan tanpa mengembangkan samādhi dan kemudian melakukan vipassanā secara langsung – suatu gagasan yang terbukti sangat berpengaruh dalam meditasi Theravāda.

Terdapat faktor tertentu yang menyatakan bahwa enam alat indera lebih berada di rumah daripada lima kelompok unsur kehidupan. Pertama, seperti yang telah kita lihat, perhatian lebih secara karakteristik disebutkan bersama alat indera, dan alat indera muncul satu kali dalam Bojjhaṅga saṁyutta. Kedua, alat indera dimasukkan dalam versi-versi Sarvāstivāda dan Śāriputrābhidharma. Ketiga, cara pengungkapan perenungannya lebih sesuai dengan bagian-bagian tentang rintangan-rintangan dan faktor-faktor pencerahan. Saya masih yakin bahwa keduanya merupakan penyisipan yang belakangan, tetapi saya secara umum kurang yakin dalam kasus alat indera.

Terdapat ketidaksesuaian lainnya, yang tersirat di tempat lain, tetapi sangat terbukti di sini. Dalam setiap dari bagian lain, seperti yang telah kita lihat, tidak terdapaat penyebutan eksplisit tentang ketidakkekalan, sebab-akibat, dst. Kemudian ketidakkekalan dibawakan bersama pengulangan vipassanā yang mengikuti. Sementara mungkin bukan asalnya, ini sangat koheren. Tetapi dalam perenungan dhamma menurut Theravāda, setiap latihan meditasi mengatakan tentang ketidakkekalan. Dalam perenungan rintangan-rintangan, faktor-faktor pencerahan, dan alat indera, ini ditunjukkan dengan kata kunci seperti “munculnya” (uppāda), yang muncul sepanjang bagian-bagian ini. Perenungan lima kelompok unsur kehidupan sama halnya mengatakan tentang “asal mula” (samudaya). Tetapi kemudian, setelah membahas ketidakkekalan sekilas, ia memperkenalkan kembali dalam pengulangan vipassanā, yang juga mengatakan tentang “asal mula” (samudaya). Apakah kemudian seseorang merenungkan “munculnya kemunculan”? Pengulangan yang tidak perlu ini dapat dijelaskan; tetapi penjelasan yang paling langsung bahwa ia berasal dari pengeditan bersama dua teks yang berbeda.

Bagian dhamma dalam versi Majjhima ditutup dengan suatu pernyataan singkat tentang empat kebenaran mulia. Ini kemudian diperluas dengan panjang lebar dalam Mahā Satipaṭṭhāna Sutta dari Dīgha Nikāya.[23] Beberapa edisi Burma yang baru-baru ini telah menyisipkan kembali seluruh bagian dari Dīgha Nikāya ini kembali ke Majjhima Nikāya, dan bahkan mengakui pernyataan ini dengan mengubah judulnya menjadi “Mahā Satipaṭṭhāna Sutta”. Mungkin judul yang lebih baik adalah “Sutta Asli Tapi Palsu”. Inovasi kanonik ini luar biasa. Sementara adalah umum untuk sebuah kata atau ungkapan dimasukkan antara celah-celah, saya tidak mengetahui tempat lain mana pun di mana sebuah tubuh teks yang sangat panjang dipindahkan, yang jelas dalam waktu yang sangat baru-baru ini. Tidak diragukan inovasi editorial ini dirancang untuk lebih jauh melebih-lebihkan status Satipaṭṭhāna Sutta yang sudah dilebih-lebihkan. Tetapi akibatnya agak berkebalikan – penanganan salah yang janggal demikian meninggalkan sidik jari yang sangat-jelas-semuanya pada tempat kejadian perkara. Versi yang diubah ditemukan dalam yang disebut edisi “Konsili Keenam” yang diterbitkan oleh Vipassanā Research Institute, tetapi disisipkan lebih awal, karena catatan-catatan pada PTS Pali (yang diedit pada tahun 1888) menyatakan bahwa naskah Burma memasukkan dalam empat kebenaran mulia “sebuah bacaan yang agak panjang, yang diambil dari Mahā Satipaṭṭhāna Sutta dari Dīgha Nikāya”.[24] Ini mungkin menunjuk pada edisi Konsili Kelima.

Terdapat sebuah karya Pali yang disebut Saṁgāyanapucchāvissajjanā yang memberikan tanya jawab tentang teks-teks yang diucapkan dalam Konsili, walaupun ia tidak mengatakan Konsili yang mana – agaknya ini adalah Konsili Kelima atau Keenam. Ini juga memasukkan “Mahā Satipaṭṭhāna Sutta” dalam Majjhima, dan memiliki keberanian untuk memastikan bahwa karena manfaatnya yang sangat besar bagi para meditator teks ini dibacakan “dua kali” “secara terperinci” oleh para penyunting pada masa-masa kuno. Sementara kebanyakan kotbah lain berhak untuk disebutkan dalam karya ini, Mahā (sic!) Satipaṭṭhāna Sutta dibedakan dengan merincikan isi dari latihan-latihan meditasi.

Kecondongan jelas yang sama tampak dalam versi Tipitaka online Vipassanā Research Institute (VRI). Di bawah daftar ini dari Majjhima Nikāya, hampir semua kotbah hanya diberikan daftarnya dengan judul mereka; tetapi Mahā (sic!) Satipaṭṭhāna Sutta lagi-lagi satu-satunya secara tersendiri memberikan daftar semua ketigapuluh satu bagiannya. Kecondongan meditatif dari mereka yang telah menyatukan bersama edisi-edisi Tipitaka sangat dikenal: penanya pada Konsili Keenam adalah Mahāsi Sayadaw, pendiri sistem meditasi “vipassanā kering”; dan Tipitaka VRI dibuat oleh para pengikut tradisi Goenka, aliran vipassanā utama lainnya.

Pendukung manipulasi kitab suci yang demikian hanya memiliki satu akibat yang baik: tidak ada yang dapat dengan masuk akal mempertahankan bahwa Tipitaka harus tetap tidak berubah sepanjang waktu.
« Last Edit: 05 October 2014, 12:28:43 AM by Shinichi »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #63 on: 04 October 2014, 10:50:30 AM »
Mahā Satipaṭṭhāna Sutta adalah satu-satunya kotbah penting dalam Dīgha Nikāya yang tidak ditemukan dalam Dīrgha Āgama Dharmaguptaka. Ini bukanlah hanya terlewatkan, karena ia juga tidak ada dalam Dīrgha Sarvāstivāda. Oleh sebab itu saya menganggap Mahā Satipaṭṭhāna sebagai suatu pesaing utama untuk judul dari kotbah terbaru dalam empat Nikāya, seorang anak terlantar yang hilang yang tersesat dari abhidhamma awal. Layak dicatat bahwa inilah satu-satunya kotbah dalam semua kumpulan yang ada yang digandakan dalam Majjhima dan Dīgha, bukti yang lebih jauh atas karakteknya yang ganjil. Ia jelas hanyalah Satipaṭṭhāna Sutta yang diisi dengan bahan yang lebih jauh, dan lagi-lagi, penambahan itu bukanlah kecil.

Satipaṭṭhāna Sutta memperlakukan empat kebenaran mulia dengan hanya menyatakan mereka. Dalam Sutta-Sutta jenis rumusan ini sering menunjukkan, bukan vipassanā, tetapi realisasi pemasuk arus; dengan demikian ia mungkin mulanya ditujukan untuk menyatakan hasil praktek dari bagian-bagian sebelumnya. Tetapi Mahā Satipaṭṭhāna Sutta mengumpulkan banyak bahan dari tempat lain dalam Sutta-Sutta, yang berakhir dengan yang terpanjang dari semua penguraian tentang kebenaran-kebenaran mulia, hampir melipatgandakan panjang Satipaṭṭhāna Sutta, dan jelas menyajikan empat kebenaran mulia sebagai suatu pelajaran yang diperluas dalam vipassanā.

Bahan baru terutama identik dengan Saccavibhaṅga Sutta.[25] Mahā Satipaṭṭhāna Sutta menambahkan suatu analisis yang panjang lebar dari kebenaran mulia kedua dan ketiga pada bahan Saccavibhaṅga Sutta. Ini distrukturkan di sekeliling rangkaian dhamma berikut, yang disebutkan untuk masing-masing alat indera: alat indera eksternal, alat indera internal, kesadaran, kontak, perasaan, persepsi, kehendak, keinginan, awal pikiran, kelangsungan pikiran. Saṁyutta Nikāya memasukkan daftar yang serupa, walaupun ia memiliki unsur-unsur dan kelompok-kelompok unsur kehidupan untuk dua anggota daftar itu, alih-alih awal dan kelangsungan pikiran. Beberapa Saṁyutta yang mengandung rangkaian ini hilang dari Saṁyukta Sarvāstivāda.[26] Namun demikian, suatu daftar yang mirip, lagi-lagi dengan menghilangkan dua anggota terakhir, ditemukan dalam Satyavibhaṅga Sūtra Sarvāstivāda. Satu-satunya tempat di mana daftar Mahā Satipaṭṭhāna muncul secara kata demi kata dalam empat Nikāya adalah dalam “rangkaian pengulangan” yang dilampirkan pada Aṅguttara tujuh.[27] Bagian-bagian demikian adalah bersifat belakangan, dan dalam kasus saat ini keseluruhan bacaan diabaikan oleh komentar.

Daftar ini adalah suatu bentuk yang diperluas dari analisis psikologis atas proses kesadaran yang pertama kali dinyatakan dalam kotbah ketiga, Ādittapariyāya Sutta, dan diulangi berulang kali tak terhitung setelahnya. Akhirnya, rangkaian ini akan berevolusi menjadi cittavīthi, penguraian terakhir, yang definitif dari proses psikologis yang dikerjakan sangat terperinci oleh para ābhidhammika yang belakangan. Dengan demikian  Mahā Satipaṭṭhāna Sutta berdiri sebagai suatu jembatan yang penting menuju Abhidhamma. Kita telah membahas kenyataan bahwa hampir semua bahan empat kebenaran mulia ditemukan dalam penguraian Vibhaṅga Abhidhamma tentang kebenaran-kebenaran mulia.

Tidak perlu dikatakan, kebanyakan dari bahan baru dalam Mahā Satipaṭṭhāna Sutta adalah berorientasi vipassanā, yang melanjutkan kecenderungan yang telah kita amati secara konsisten dalam perkembangan teks-teks satipaṭṭhāna dalam kanon Pali. Namun demikian, penguraian kebenaran-kebenaran, dan oleh sebab itu Sutta sebagai suatu keseluruhan, berakhir dengan empat jhāna sebagai samādhi benar, yang menyatakan kembali fungsi dasar satipaṭṭhāna untuk membawa pada jhāna dalam jalan mulia berunsur delapan.

Nilai penting Mahā Satipaṭṭhāna Sutta dapat dipahami untuk memecahkan struktur Dīgha Nikāya sebagai suatu keseluruhan. Ajaran yang paling otentik dan sering diulangi dalam Dīgha berangkat dari jantung inti dari praktek Dhamma. Dalam pembahasan GIST kita melihat bahwa, dengan mengabaikan Brahmajāla Sutta, Dīgha Nikāya memulai dengan serangkaian dari dua belas kotbah yang menguraikan pelatihan bertahap secara terperinci, termasuk empat jhāna. Ini akan menghantam kepala para murid Dīgha berkali-kali sebagai jalan pelatihan. Kenyataannya GIST mengatakan bahwa bagian ini merupakan inti awal mula di mana Dīgha dibentuk. Dengan demikian keseluruhan Dīgha mungkin memulai sebagai sebuah panduan jhāna.

Terdapat sedikit bahan vipassanā dalam Dīgha. Sebuah contoh yang mengejutkan dari hal ini adalah jarangnya tentang lima kelompok unsur kehidupan. Dengan mengabaikan Mahā Satipaṭṭhāna Sutta, meditasi terhadap kelompok-kelompok unsur kehidupan disebutkan hanya dalam konteks legenda dari Mahāpadāna Sutta. Di tempat lain kelompok-kelompok unsur kehidupan mendapatkan hanya pernyataan sederhana dalam kompilasi proto-abhidhamma seperti Saṅgīti and Dasuttara Sutta.

Para penyusun Dīgha Nikāya Theravāda berharap untuk memasukkan lebih banyak bahan vipassanā untuk menyeimbangkan penekanan samādhi yang kuat. Sekarang, terdapat tiga teks yang memperlakukan praktek perhatian secara detail dalam Majjhima: Satipaṭṭhāna Sutta, Ānāpānasati Sutta, dan Kāyagatāsati Sutta. Dua yang terakhir jelas menekankan samādhi, sehingga dalam memilih mana dari ketiganya untuk “dipromosikan” pada Dīgha para penyusun memilih teks yang paling berorientasi vipassanā dan mengisinya dengan bahan vipassanā yang lebih jauh untuk memperbaiki ketidakseimbangan Dīgha Nikāya sebagai suatu keseluruhan. Dan dalam konteks, ini paling masuk akal. Tetapi ketika kotbah itu dipisahkan dari konteksnya dan diperlakukan sebagai sebuah cetak biru untuk sebuah teknik meditasi yang berbeda dari, bahkan lebih unggul dari, praktek samādhi yang umum, sebuah pergeseran penekanan menjadi sebuah penyimpangan yang radikal atas maknanya.

Kita dapat berpikir lebih tepat tentang masa pembentukan Mahā Satipaṭṭhāna Sutta. Kita telah mencatat bahwa ia tidak ada dalam Dīrgha Sarvāstivāda dan Dharmaguptaka. Aliran-aliran ini memisahkan diri setelah masa Aśoka. Misi Sri Lanka tiba pada periode Aśoka, dan Theravāda berbasis pada pulau itu sejak saat itu.[28] Mempertimbangkan kedekatan ajaran dan tekstual mereka, Theravāda dan Dharmaguptaka sebenarnya hanyalah cabang Utara dan Selatan, atau Gandhāri dan Sinhala, dari aliran yang sama.

Ini membangkitkan kemungkinan bahwa pengeditan terakhir Nikāya-Nikāya Pali dilakukan di negeri Sri Lanka. Kemungkinan ini disampaikan oleh Oliver Abeynayake dalam artikelnya “Sri Lanka’s Contribution to the Development of the Pali Canon.”[29] Merangkumkan beberapa poinnya, banyak dari Parivāra Vinaya disusun di Sri Lanka. Sebagai tambahan, restrukturisasi Vinaya Piṭaka, dari bentuk awal dari Bhikkhu Vibhaṅga dan Bhikkhunī Vibhaṅga yang terbukti dalam semua aliran termasuk Culavagga Vinaya Theravāda itu sendiri, menjadi pengelompokan yang sekarang bersama dengan baris-baris dari “Pārājika Pali” dan “Pācittiya Pali” adalah bersifat unik pada Sri Lanka, dan mungkin masuk akal dianggap sebagai suatu perkembangan Sinhala. Beberapa bagian dari Khuddaka Nikāya, termasuk Khuddakapāṭha, adalah berasal dari Sri Lanka. Dalam empat Nikāya utama, Yakkaduwe Sri Pragnarama, mantan kepala Vidyalankara Pirivena di Sri Lanka, telah mengidentifikasi, dalam Majjhima Theravāda, delapan kalimat dari Mūlapariyāya Sutta dan empat syair dari Sammādiṭṭhi Sutta yang dalam bahasa Prakrit Sinhala, bukan Pali. Komentar-komentar Theravāda itu sendiri menegaskan bahwa beberapa bahan dalam Dīgha ditambahkan oleh para sesepuh Sinhala, yaitu syair-syair penutup dari Mahā Parinibbāna Sutta, yang dimulai dengan “Terdapat delapan bagian dari relik-relik…”. Ini masuk akal, karena syair-syair adalah dalam irama yang belakangan; juga mereka memasukkan, tidak hanya pemujaan terhadap relik-relik, tetapi secara khusus relik gigi, yang merupakan salah satu ciri khas paling khusus dari Buddhisme Sinhala. Terlebih lagi, baris yang mendahului mereka adalah suatu slogan dalam Pali (evam’etaṁ bhūtapubbaṁ, “itulah bagaimana hal itu terjadi”) yang menunjuk pada kejadian-kejadian yang sangat lama dalam masa lampau legendaris, seperti bahasa Inggris “Once upon a time…”. Komentar bahkan mengakui bahwa ungkapan ini disisipkan pada Konsili Ketiga, pada masa Aśoka.

Namun, meskipun bukti yang kuat ini, beberapa syair dimasukkan dalam versi Sanskrit. Ini mengandung syair “Terdapat delapan bagian dari relik-relik…” dan yang ada pada relik gigi. Paling mustahil bahwa suatu penyusunan Sinhala menemukan jalannya ke dalam suatu teks Sanskrit di bagian utara dari India, sehingga mungkin syair-syair ini ditambahkan di India bagaimana pun. Tetapi syair-syair yang belakangan, yang memulai dengan “Dengan kekuatan mereka bumi yang subur ini…”, tidak ada dalam versi Sanskrit, dan mungkin benar ditambahkan di Sri Lanka.

Poin terakhir mungkin tidak langsung berhubungan dengan masa Mahā Satipaṭṭhāna. Syair-syair penutup dari Mahā Parinibbāna Sutta secara menonjol merupakan irama-irama yang belakangan seperti vaṁsattha. Salah satu dari beberapa tempat lain dalam kanon yang mengandung vaṁsattha dan gaya-gaya syair yang sama belakangannya, yang panjang lebar adalah Lakkhaṇa Sutta.[30] Teks hagiografis ini ditemukan dalam Majjhima Sarvāstivādin dan dalam Dīgha Theravāda, tetapi tidak dalam Dīgha Dharmaguptaka atau Sarvāstivāda. Oleh sebab itu ia pasti telah dipindahkan dari Majjhima ke Dīgha setelah perpecahan Dharmaguptaka, pada sekitar waktu yang sama ketika Mahā Satipaṭṭhāna Sutta dibuat. Pergeseran ini didorong oleh perluasan berskala besar dari teks. Versi Madhyama Sarvāstivāda hanya mengatakan tentang dua karir yang terbuka pada seorang Manusia Agung, dan memberikan daftar 32 ciri.[31] Komentar mengatakan syair-syair ditambahkan oleh Yang Mulia Ānanda. Walaupun ini tidak dapat diterima sebagai benar secara harfiah, ini menyatakan para komentator menyadari bahwa syair-syair itu ditambahkan belakangan dan oleh tangan yang berbeda. Mereka seharusnya dianggap berasal dari para bhikkhu yang mengikuti tradisi ketaatan Ānanda. Syair-syair ini sama dalam gaya pada syair-syair penutup Mahā Parinibbāna Sutta, di mana komentar mengatakan ditambahkan di Sri Lanka. Mempertimbangkan hal ini, dan juga sifat belakangan yang nyata dari syair-syair itu dan penghilangan dari Sarvāstivāda, mungkin bahwa mereka juga ditambahkan di Sri Lanka. Syair-syair itu mungkin ditambahkan pada Lakkhaṇa Sutta pada sekitar waktu yang sama ketika bahan tambahan empat kebenaran mulia ditambahkan pada Satipaṭṭhāna Sutta, dan maka kita menyatakan bahwa Mahā Satipaṭṭhāna Sutta yang dihasilkan disusun di Sri Lanka.

Kita kemudian mungkin bertanya kapan penambahan ini terjadi. Tidak ada bukti langsung, tetapi kita dapat mencari pasak yang cocok untuk menempelkan mereka. Setelah perkenalan teks-teks Buddhis pada masa Aśoka, aktivitas kesusasteraan pertama yang sangat penting di Sri Lanka adalah selama kekuasaan Vaṭṭagāminī. Pada waktu itu, disebabkan oleh perang dengan para Tamil, silsilah pewarisan oral dari Tipitaka hampir terputus. Sangha membuat keputusan penting untuk menuliskan Tipitaka, dengan memastikan bahwa studi dan pelestarian teks-teks lebih penting daripada praktek dari isinya (sebuah keputusan yang telah menetapkan agenda bagi Theravāda sampai saat ini). Menurut pendapat sarjana masa kini ini sekitar tahun 20 SM. Saya menyatakan bahwa inilah saat Mahā Satipaṭṭhāna Sutta diciptakan.

Terdapat suatu efek samping yang disayangkan dari jenis analisis tekstual ini. Adalah sulit untuk mendekonstruksi teks-teks kuno, yang banyak diedit seperti kitab-kitab Buddhis. Terdapat banyak baris kesalahan, keganjilan, dan ketidakjelasan jika seseorang berharap untuk melihatnya. Tetapi apa yang kita lakukan – menghancurkan istana dan meninggalkan tumpukan reruntuhan? Ini juga tidak benar terhadap teks-teks, karena, bagaimana pun, Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama memberikan kita sekumpulan besar ajaran yang berasal dari suatu pandangan yang sangat seragam, suatu kejelasan dan keharmonisan perspektif yang tiada bandingnya dalam tubuh tulisan yang sangat besar dan kuno mana pun. Untuk memberikan kesan bahwa situasinya membingungkan dan problematis tanpa harapan adalah untuk menolak kenyataan luar biasa ini. Sementara naif dan tidak dapat dipertahankan untuk berpura-pura tidak ada masalah, mengangkat tangan kita ke atas dalam keputusasaan menunjukkan sesuatu yang berlebihan dari apa yang disebut Satipaṭṭhāna Sutta sebagai “tekanan spiritual” (nirāmisa domanassa). Saya pikir baris-baris kesatuan dan konsistensi dalam satipaṭṭhāna jauh lebih penting dan kuat daripada keretakannya. Tetapi dalam buku ini sejauh ini, benang-benang hubungan dan kelanjutan terkubur dalam halaman-halaman analisis. Pertanyaannya adalah, bagaimana membuat kesatuan ini hidup?

Catatan Kaki:

[1] Dutt, hal. 254.

[2] Conze , pp. 153–155.

[3] Dayal, pg. 90.

[4] Conze, pg. 580.

[5] MA 98.

[6] Terjemahan Thích Nhất Hạnh menunjuk bentuk jamak pada “semua Tathāgata dari masa sekarang (termasuk Saya sendiri)”, yang bernada sangat Mahāyānis; tetapi teksnya bersifat tunggal.

[7] MN 119/MA 81.

[8] Kāyagatāsati Sutta menghilangkan perumpamaan untuk  ānāpānasati: seseorang menganati napas, panjang atau pendek, bagaikan seorang tukang bubut yang ahli membuat putaran panjang atau pendek. Perumpamaan ini tidak ada dalam Sarvāstivāda; dengan demikian satu-satunya tempat ia muncul, sejauh yang saya ketahui adalah dalam Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda.

[9] Anālayo, pg. 53ff., membahas berbagai perumpamaan satipaṭṭhāna lebih rinci.

[10] DN 2.76–82, dst.

[11] Lihat Sujato, Sepasang Utusan Cepat, Lampiran A.7.

[12] MN 36.20.

[13] Paccavekkhana nimitta. Minh Châu memiliki “perenungan gambaran”, yang menyatakan bahwa terjemahan Mandarin dipengaruhi oleh makna yang belakangan dari nimitta. Lihat pembahasan dalam Sujato, Sepasang Utusan Cepat, Lampiran A.14–16.

[14] Cp. AN 5.28, DN 34.1.6/DA 10.

[15] Situasinya diperumit dengan suatu ciri khas pengeditan, yang saya diberitahukan oleh Rod Bucknell. Dalam Aṅguttara, samādhi benar berunsur lima diikuti oleh perkataan bahwa seseorang kemudian dapat merealisasi pengetahuan jernih apa pun, yang digambarkan dengan 3 perumpamaan: sebuah pot yang penuh, sebuah kolam yang penuh, dan sebuah kereta yang sudah dipersiapkan. Bacaan ini ada dalam Kāyagatāsati Sutta Theravāda, tetapi tidak dalam versi Sarvāstivādin. Dengan demikian dari samādhi benar berunsur lima, jhāna-jhāna dengan perumpamaan dimasukkan dalam kedua Kāyagatāsati Sutta, praktek-praktek tambahan hanya dalam Sarvāstivāda, dan 3 perumpamaan hanya dalam Theravāda.

[16] SN 46.29.

[17] Schopen 2004, pp. 395ff.

[18] Schopen 2004, pg. 283, note 59. Catatan ini, yang sayangnya tidak berhubungan dengan pembahasan utama Schopen atas masalah itu, memberikan beberapa referensi yang lebih jauh.

[19] 24 jumlahnya. Theravāda memiliki 31. Saya memiliki tiga terjemahan dari daftar bagian-bagian tubuh yang tersedia pada saya dari teks Mandarin yang sama dari Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda. Mereka mencatat bagian-bagian tubuh sejumlah 29, 30, dan 31 masing-masing.

[20] Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda memiliki kesalahan ejaan kecil dalam pengulangan pada perenungan dhamma. Ungkapannya adalah “’Atthi dhammā’ti’ (‘terdapat dhamma-dhamma’)”, di mana atthi adalah tunggal dan dhamma adalah jamak. Agaknya ini hanyalah suatu kesalahan para pengulang, karena mereka secara otomatis mengulangi ungkapan dari bagian-bagian awal, tanpa memperhatikan perubahan dalam jumlah dari tunggal menjadi jamak. Cukup tidak berbahaya, namun suatu pengingat atas kekeliruan tradisi.

[21] SN 46.35.

[22] SN 46.2, 5, 7, 23, 24, 33, 34, 37, 39, 40, 49, 51, 52, 53, 55, 56.

[23] DN 22.

[24] Majjhima Nikāya, Vol . 1, PTS, hal. 534. Pendahuluannya memberikan daftar sejumlah penyisipan yang serupa dari Dīgha ke dalam Majjhima berbahasa Burma, tetapi tidak ada yang penting.

[25] MN 141.

[26] SN 18, SN 25, SN 26, SN 27.

[27] AN 7.80ff.

[28] Markas besar Theravāda pasti telah ada di Sri Lanka sejak masa yang lebih awal, karena sebuah prasasti di Nagarjunikonda di India Selatan menunjuk pada sebuah vihara milik “para guru Theravādin dari Sri Lanka”. Schopen 1997, hal. 5.

[29] Abeynayake, pp.163–183.

[30] DN 30/MA 59.

[31] Bahan ajaran dari versi Sarvāstivāda dengan demikian seluruhnya rumusan dasar, tanpa semua bahan unik yang khusus pada versi Theravāda. Tetapi latarnya lebih kompleks: ia memiliki para bhikkhu duduk bersama membahas tentang kualitas-kualitas yang “mengagumkan dan menakjubkan” dari Sang Tathāgata, kemudian Sang Buddha masuk dan bertanya topik pembicaraan mereka, dst. (seperti dalam Mahāpadāna Sutta). Jadi dalam aṅga-aṅga ia termasuk abbhūtadhamma. Theravāda hanya memiliki Sang Buddha memberikan kotbah secara langsung, dan identifikasi sebagai abbhūtadhamma tidak eksplisit. Komentar menjelaskan perlunya kotbah itu adalah pertanyaan apakah kamma yang memunculkan ciri-ciri itu, sebuah masalah yang tidak disampaikan sama sekali dalam Sarvāstivāda. Semua ini memunculkan pertanyaan apakah keduanya dapat dianggap sebagai teks-teks yang berasal dari sumber yang sama.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #64 on: 05 October 2014, 12:21:04 AM »
Bab 15
Sang Sumber

Penyelesaian saya adalah untuk menyajikan sebuah rekonstruksi dari mana bahan sumber otentik Satipaṭṭhāna Sutta berasal. Tentu saja ini problematis, tetapi tidak lebih problematis daripada hanya melangkah menjauh dan meninggalkan pekerjaan tidak diselesaikan. Tidak ada tradisi kitab suci yang memberikan kita reruntuhan yang bermakna, yang didekonstruksi. Membaca suatu teks yang direkonstruksi memberilkan lebih banyak kesan seperti apakah ajaran satipaṭṭhāna itu.

Tabel berikut merangkum isi satipaṭṭhāna. Ia menunjukkan untaian kelanjutan dan ketidaklanjutan antara edisi-edisi. Tabel itu tidak membedakan antara Dīgha dan Majjhima Theravāda.

Prinsip dasar dalam pengeditan *Satipaṭṭhāna Mūla adalah sederhana. Kita memiliki tujuh teks awal yang mengajarkan satipaṭṭhāna secara terperinci. Teks-teks ini memiliki banyak kesamaan yang umum. Penjelasan terbaik untuk hal ini adalah mereka diturunkan dari sebuah sumber bersama. Isi yang paling mungkin dari sumber ini adalah bahan yang digunakan bersama yang ditemukan dalam masing-masing teks.

Namun, kita tidak dapat secara otomatis menganggap bahwa bahan yang tidak digunakan bersama adalah belakangan. Sebagai contoh, Abhidhamma selalu menghilangkan perumpamaan-perumpamaan, sehingga ketiadaan mereka dari Vibhaṅga tidak menyatakan mereka tidak ada dari sumbernya. Kasus lainnya adalah Ekāyana Sūtra, yang belakangan dan diedit secara tidak beraturan. Maka umumnya, *Satipaṭṭhāna Mūla memasukkan bahan-bahan yang ditemukan dalam semua teks, tetapi kadangkala akan mengizinkan ungkapan-ungkapan yang hanya ada dalam empat atau lima teks.

Tabel 15.1: Bahan Satipaṭṭhāna

VibhaṅgaDharmaskandhaŚāriputrābhidharma
TubuhBagian-bagian tubuhBagian-bagian tubuh
6 unsur
4 posisi tubuh
Pemahaman jernih
Ānāpānasati
Bagian-bagian tubuh
4 unsur
Makanan
Ruang (unsur ke-5)
Lubang-lubang pengeluaran tubuh
Tanah perkuburan
PerasaaanMenyenangkan/menyakitkan/netral
Duniawi/spiritual
Menyenangkan/menyakitkan/netral
Fisik/batin
Duniawi/spiritual
Sensual/non-sensual
Menyenangkan/menyakitkan/netral
Duniawi/spiritual
PikiranSerakah
Marah
Terdelusi
Mengerut
Agung
Melampaui
Samādhi
Terbebaskan
Serakah
Marah
Terdelusi
Mengerut
Lamban
Kecil
Bingung
Tenang
Samādhi
Berkembang
Terbebaskan
Serakah
Marah
Terdelusi
Mengerut
Agung
Melampaui
Samādhi
Terbebaskan
Dhamma5 rintangan
7 faktor pencerahan
5 rintangan
6 alat indera
7 faktor pencerahan
5 rintangan
6 alat indera
7 faktor pencerahan
4 kebenaran mulia
PengulanganInternal/eksternalInternal/eksternal
Keburukan-keburukan
Internal/ekternal
Keburukan-keburukan
Muncul/lenyapnya
Pengetahuan
Ketidakbergantungan

Satipaṭṭhāna Sutta TheravādaSmṛtyupasthāna Sūtra SarvāstivādaEkāyana SūtraPrajñāpāramitā
Ānāpānasati
4 posisi tubuh
Pemahaman jernih
Bagian-bagian tubuh
4 unsur
Tanah perkuburan
4 posisi tubuh
Pemahaman jernih
Memotong pemikiran
Menekan pemikiran
Ānāpānasati
Perumpamaan 4 jhāna
Persepsi cahaya
Landasan peninjauan kembali
Bagian-bagian tubuh
6 unsur
Tanah perkuburan
Bagian-bagian tubuh
4 unsur
Lubang-lubang pengeluaran tubuh
Tanah perkuburan
4 posisi tubuh
Pemahaman jernih
Ānāpānasati
4 unsur
Bagian-bagian tubuh
Tanah perkuburan
Menyenangkan/menyakitkan/netral
Duniawi/spiritual
Menyenangkan/menyakitkan/netral
Fisik/batin
Duniawi/spiritual
Sensual/non-sensual
Menyenangkan/menyakitkan/netral
Duniawi/spiritual
Tanpa perasaan campuran
-
Serakah
Marah
Terdelusi
Mengerut
Agung
Melampaui
Samādhi
Terbebaskan
Serakah
Marah
Terdelusi
Terkotori
Mengerut
Kecil
Lebih rendah
Berkembang
Samādhi
Terbebaskan
Serakah
Marah
Terdelusi
Kasih sayang
Tercapai
Bingung
Mengerut
Universal
Agung
Melampaui
Samādhi
Terbebaskan
-
5 rintangan
5 kelompok unsur kehidupan
6 alat indera
7 faktor pencerahan
4 kebenaran mulia
6 alat indera
5 rintangan
7 faktor pencerahan
(5 rintangan dalam pendahuluan dan penutup)
7 faktor pencerahan
4 jhāna
-
Internal/eksternal
Muncul/lenyapnya
Pengetahuan
Ketidakbergantungan
Internal/eksternal
Pengetahuan
(Internal/ekternal hanya dalam pendahuluan. Tubuh: pengulangan berbeda-beda. Perasaan, pikiran, dhamma: ) Muncul/lenyapnya
Pengetahuan
Ketidakbergantungan
Kearahantaan
Interna/eksternal
Ketidakbergantungan

Dengan mengambil hanya bahan yang sama, kita berakhir dengan sebuah teks yang, sebagai akibatnya, sangat banyak kemiripan dengan Vibhaṅga Abhidhamma Theravāda, minus bahan Abhidhamma. Saya telah menunjukkan dalam pembahasan dari teks ini bahwa ia dengan menyegarkan bebas dari anomali-anomali dan masalah-masalah yang ditemukan di tempat lain.

*Satipaṭṭhāna Mūla bukanlah secara otomatis dihasilkan dengan menganggap bahwa kesesuaian teks-teks “pasti” merupakan inti awal mulanya. Saya telah mempertimbangkan kesesuaian internal dari bahan itu, hubungan antartekstual dengan sisa kitab-kitab, konteks cultural dan filosofis pada masa Sang Buddha, evolusi posisi-posisi sectarian, dan seterusnya. Dengan menggunakan kesesuaian bahan dari semua sumber kita berakhir dengan sebuah teks yang secara internal masuk akal dan konsisten, cocok dengan rapi dengan ajaran-ajaran satipaṭṭhāna dalam kanon sisanya, dan menyerupai dengan dekat suatu teks yang ada.

Tradisi menyediakan kita dengan suatu penjelasan rasional bagaimana Sutta-Sutta Satipaṭṭhāna menjadi bentuknya yang saat ini; yaitu, mereka diucapkan oleh Sang Buddha dan dipertahankan kata per kata oleh tradisi-tradisi. Itu mungkin demikian. Namun, saya menemukan ini tidak masuk akal, karena penjelasan tradisional tidak dapat dipercaya untuk perbedaan antara teks-teks yang ada. Jika saya berharap memberikan suatu alternative, saya harus menyediakan sebuah pertunjukan bagaimana Sutta-Sutta Satipaṭṭhāna dapat berevolusi yang: 1) rasional; 2) sesuai dengan metodologi historis kritis; 3) bertanggung jawab secara sistematis atas teks-teks yang ada tentang satipaṭṭhāna; 4) meningkatkan pemahaman atas pokok bahasan itu; 5) mengizinkan kita untuk menarik kesimpulan tentang evolusi ajaran dalam Buddhisme awal yang dapat diuji dengan perbandingan dengan teks-teks lain; dan 6), yang paling penting, berguna untuk praktek Dhamma-Vinaya. Saya percaya analisis ini memenuhi persyaratan-persyaratan ini.

Saya menyajikan rekonstruksi saya secara lengkap, tanpa penghilangan bunyi yang biasanya, untuk membuatnya seeksplisit mungkin. Namun, pertama-tama, saya akan dengan ringkas memberikan alasan-alasan saya untuk dimasukkan atau dikecualikannya beberapa bagian tertentu.

Latar: Saya pikir latar awal mula adalah di Kammassadamma, tetapi saya mengabaikan latar dari *Satipaṭṭhāna Mūla untuk menekankan bahwa bahan ini bukan benar-benar bagian dari kotbah, tetapi ditambahkan oleh para penyunting.

Pendengar: Saya mengikuti contoh Sarvāstivāda dan membuat kotbah itu disampaikan kepada para bhikkhu dan bhikkhuni. Sementara dukungan tekstual ini sedikit sekali, ini adalah suatu upaya kecil untuk memperbaiki efek dari 2500 tahun penyunting pria. Namun, untuk kenyamanan saya mempertahankan kata ganti pria, walaupun sedikit ketidaksesuaian yang diakibatkan.

Jalan menuju yang satu: Saya memiliki keraguan tentang hal ini, karena saya berpikir bukti dari Saṁyutta-Saṁyutta menyatakan bahwa ia dimaksudkan untuk suatu konteks Brahmanis secara khusus, dan yang tidak ada dalam *Satipaṭṭhāna Mūla. Namun, saya tunduk pada kesepahaman dari tiga Sutta utama dan memasukkannya.

Rumusan pelengkap: Walaupun tidak ada dari dua Sutta, saya memasukkannya karena kesepahaman teks-teks Abhidhamma dan Prajñāpāramitā, dan menganggap bahwa kehilangannya dalam Sutta-Sutta Sarvāstivāda dan Mahāsaṅghika disebabkan oleh penyingkatan, seperti yang ditunjukkan dalam Saṁyukta Sarvāstivāda.

Internal/eksternal: Saya tunduk pada bobot sumber-sumber dan menyajikan versi yang terintegrasi, alih-alih yang mengikuti masing-masing latihan.

Perenungan tubuh: Saya memasukkan perumpamaan, yang ditemukan dalam kebanyakan versi Sutta, termasuk Prajñāpāramitā, dan menganggap ketiadaannya dari Ekāyana Sutra adalah tidak disengaja.

Pengulangan: Semua pengulangan memiliki masalah-masalah mereka, tetapi terdapat cukup kesepahaman antara versi-versi Sutta untuk menunjukkan suatu nenek moyang yang sama, walaupun mungkin tidak benar-benar mencerminkan sumber itu. Unsur yang paling umum yang dapat dibedakan adalah bahwa seseorang menegakkan perhatian demi pengetahuan dan penglihatan; dan seseorang berdiam tidak bergantung, tidak menggenggam.

Penutup: Saya mengulang “jalan menuju yang satu”, tetapi menghilangkan jaminan pencapaian, yang hanya ditemukan dalam dua versi, dan dapat dengan mudah diambil dari tempat lain dalam kanon.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #65 on: 05 October 2014, 12:25:12 AM »
*Satipaṭṭhāna Mūla

Inilah jalan menuju yang satu, para bhikkhu dan bhikkhuni, untuk pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi kesedihan dan ratap tangis, untuk mengakhiri penderitaan fisik dan batin, untuk memahami sang jalan, untuk merealisasi Nibbana: yaitu, empat satipaṭṭhāna. Apakah empat hal itu?

Di sini, seorang bhikkhu atau bhikkhuni berdiam merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh secara internal, ia berdiam merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh secara eksternal, ia berdiam merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh secara internal dan eksternal – dengan tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan keinginan dan penolakan terhadap dunia. Ia berdiam merenungkan sebuah perasaan di dalam perasaan-perasaan secara internal, ia berdiam merenungkan sebuah perasaan di dalam perasaan-perasaan secara eksternal, ia berdiam merenungkan sebuah perasaan di dalam perasaan-perasaan secara internal dan eksternal – dengan tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan keinginan dan penolakan terhadap dunia. Ia berdiam merenungkan sebuah pikiran di dalam pikiran secara internal, ia berdiam merenungkan sebuah pikiran di dalam pikiran-pikiran secara eksternal, ia berdiam merenungkan sebuah pikiran di dalam pikiran-pikiran secara internal dan eksternal – dengan tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan keinginan dan penolakan terhadap dunia. Ia berdiam merenungkan sebuah dhamma di dalam dhamma-dhamma secara internal, ia berdiam merenungkan sebuah dhamma di dalam dhamma-dhamma secara eksternal, ia berdiam merenungkan sebuah dhamma di dalam dhamma-dhamma secara internal dan eksternal – dengan tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan keinginan dan penolakan terhadap dunia.

Dan bagaimanakah, para bhikkhu dan bhikkhuni, seorang bhikkhu atau bhikkhuni berdiam merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh?

Di sini, seorang bhikkhu atau bhikkhuni meninjau tubuh ini juga dari telapak kaki dan ke bawah dari ujung rambut, dibungkus oleh kulit dan penuh dengan berbagai jenis kekotoran demikian: “Dalam tubuh ini terdapat rambut kepala, rambut tubuh, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum tulang, ginjal, jantung, hati, limpa, paru-paru, rongga di antara dada dan perut, usus besar, usus kecil, isi perut, tinja, empedu, lendir, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak lemak, ludah, ingus, minyak sendi, dan air seni.” Bagaikan jika terdapat sebuah kantong dengan lubang terbuka di kedua ujungnya, penuh dengan berbagai jenis padi-padian, seperti padi bukit, beras merah, kacang hijau, kacang polong, jawawut, dan beras putih, seseorang dengan mata yang baik membukanya dan meninjaunya demikian: “Inilah padi bukit, inilah beras merah, inilah kacang hijau, inilah kacang polong, inilah jawawut, inilah beras putih.” Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu atau bhikkhuni meninjau tubuh ini juga dari telapak kaki dan ke bawah dari ujung rambut, yang dibungkus oleh kulit dan penuh dengan berbagai jenis kekotoran demikian: “Dalam tubuh ini terdapat rambut kepala, rambut tubuh, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum tulang, ginjal, jantung, hati, limpa, paru-paru, rongga di antara dada dan perut, usus besar, usus kecil, isi perut, tinja, empedu, lendir, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak lemak, ludah, ingus, minyak sendi, dan air seni.”

Perhatian terhadap tubuh dikembangkan dengan baik demi kepentingan pengetahuan dan penglihatan. Seseorang berdiam tidak bergantung, tidak menggenggam apa pun di dunia. Itulah bagaimana seorang bhikkhu atau bhikkhuni berdiam merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh.

Dan lebih jauh, para bhikkhu dan bhikkhuni, bagaimanakah seorang bhikkhu atau bhikkhuni berdiam merenungkan sebuah perasaan di dalam perasaan-perasaan?

Di sini, ketika merasakan suatu perasaan yang menyenangkan seorang bhikkhu atau bhikkhuni memahami: “Aku merasakan suatu perasaan yang menyenangkan.” Ketika merasakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan ia memahami: “Aku merasakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan.” Ketika merasakan suatu perasaan yang bukan menyenangkan ataupun bukan tidak menyenangkan ia memahami: “Aku merasakan suatu perasaan yang bukan menyenangkan ataupun bukan tidak menyenangkan.”

Ketika merasakan suatu perasaan duniawi yang menyenangkan ia memahami: “Aku merasakan suatu perasaan duniawi yang menyenangkan.” Ketika merasakan suatu perasaan spiritual yang menyenangkan ia memahami: “Aku merasakan suatu perasaan spiritual yang menyenangkan.”

Ketika merasakan suatu perasaan duniawi yang tidak menyenangkan ia memahami: “Aku merasakan suatu perasaan duniawi yang tidak menyenangkan.” Ketika merasakan suatu perasaan spiritual yang tidak menyenangkan ia memahami: “Aku merasakan suatu perasaan spiritual yang tidak menyenangkan.”

Ketika merasakan suatu perasaan duniawi yang bukan menyenangkan ataupun bukan tidak menyenangkan ia memahami: “Aku merasakan suatu perasaan duniawi yang bukan menyenangkan ataupun bukan tidak menyenangkan.”

Ketika merasakan suatu perasaan spiritual yang bukan menyenangkan ataupun bukan tidak menyenangkan ia memahami: “Aku merasakan suatu perasaan spiritual yang bukan menyenangkan ataupun bukan tidak menyenangkan.”

Perhatian terhadap perasaan-perasaan dikembangkan dengan baik demi kepentingan pengetahuan dan penglihatan. Seseorang berdiam tidak bergantung, tidak menggenggam apa pun di dunia. Itulah bagaimana seorang bhikkhu atau bhikkhuni berdiam merenungkan sebuah perasaan di dalam perasaan-perasaan.

Dan lebih jauh, para bhikkhu dan bhikkhuni, bagaimanakah seorang bhikkhu atau bhikkhuni berdiam merenungkan sebuah pikiran di dalam pikiran?

Di sini seorang bhikkhu atau bhikkhuni memahami pikiran dengan nafsu sebagai “pikiran dengan nafsu”. Ia memahami pikiran tanpa nafsu sebagai “pikiran tanpa nafsu”.

Ia memahami pikiran dengan kemarahan sebagai “pikiran dengan kemarahan”. Ia memahami pikiran tanpa kemarahan sebagai “pikiran tanpa kemarahan”.

Ia memahami pikiran dengan delusi sebagai “pikiran dengan delusi”. Ia memahami pikiran tanpa delusi sebagai “pikiran tanpa delusi”.

Ia memahami pikiran yang mengerut sebagai “pikiran yang mengerut”. Ia memahami pikiran yang bingung sebagai “pikiran yang bingung”.

Ia memahami pikiran yang agung sebagai “pikiran yang agung”. Ia memahami pikiran yang tidak agung sebagai “pikiran yang tidak agung”.

Ia memahami pikiran yang melampaui sebagai “pikiran yang melampaui”. Ia memahami pikiran yang tidak melampaui sebagai “pikiran yang tidak melampaui”.

Ia memahami pikiran dalam samādhi sebagai “pikiran dalam samādhi”. Ia memahami pikiran yang tidak dalam samādhi sebagai “pikiran yang tidak dalam samādhi”.

Ia memahami pikiran yang terbebaskan sebagai “pikiran yang terbebaskan”. Ia memahami pikiran yang tidak terbebaskan sebagai “pikiran yang tidak terbebaskan”.

Perhatian terhadap pikiran dikembangkan dengan baik demi kepentingan pengetahuan dan penglihatan. Seseorang berdiam tidak bergantung, tidak menggenggam apa pun di dunia. Itulah bagaimana seorang bhikkhu atau bhikkhuni berdiam merenungkan sebuah pikiran di dalam pikiran.

Dan lebih jauh, para bhikkhu dan bhikkhuni, bagaimana seorang bhikkhu atau bhikkhuni berdiam merenungkan sebuah dhamma di dalam dhamma-dhamma?

Di sini, ketika terdapat keinginan indera dalam dirinya, seorang bhikkhu atau bhikkhuni memahami: “Terdapat keinginan indera dalam diriku”. Ketika tidak terdapat keinginan indera dalam dirinya, ia memahami: “Tidak terdapat keinginan indera dalam diriku”. Dan ia memahami bagaimana kemunculan keinginan indera yang belum muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana ditinggalkannya keinginan indera yang telah muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana ketidakmunculan di masa depan keinginan indera yang belum muncul terjadi.

Ketika terdapat kemarahan dalam dirinya, ia memahami: “Terdapat kemarahan dalam diriku”. Ketika tidak terdapat kemarahan dalam dirinya, ia memahami: “Tidak terdapat kemarahan dalam diriku”.  Dan ia memahami bagaimana kemunculan kemarahan yang belum muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana ditinggalkannya kemarahan yang telah muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana ketidakmunculan di masa depan kemarahan yang belum muncul terjadi.

Ketika terdapat kemalasan dan kelambanan dalam dirinya, ia memahami: “Terdapat kemalasan dan kelambanan dalam diriku”. Ketika tidak terdapat kemalasan dan kelambanan dalam dirinya, ia memahami: “Tidak terdapat kemalasan dan kelambanan dalam diriku”.  Dan ia memahami bagaimana kemunculan kemalasan dan kelambanan yang belum muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana ditinggalkannya kemalasan dan kelambanan yang telah muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana ketidakmunculan di masa depan kemalasan dan kelambanan yang belum muncul terjadi.

Ketika terdapat kegelisahan dan penyesalan dalam dirinya, ia memahami: “Terdapat kegelisahan dan penyesalan dalam diriku”. Ketika tidak terdapat kegelisahan dan penyesalan dalam dirinya, ia memahami: “Tidak terdapat kegelisahan dan penyesalan dalam diriku”.  Dan ia memahami bagaimana kemunculan kegelisahan dan penyesalan yang belum muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana ditinggalkannya kegelisahan dan penyesalan yang telah muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana ketidakmunculan di masa depan kegelisahan dan penyesalan yang belum muncul terjadi.

Ketika terdapat keragu-raguan dalam dirinya, ia memahami: “Terdapat keragu-raguan dalam diriku”. Ketika tidak terdapat keragu-raguan dalam dirinya, ia memahami: “Tidak terdapat keragu-raguan dalam diriku”.  Dan ia memahami bagaimana kemunculan keragu-raguan yang belum muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana ditinggalkannya keragu-raguan yang telah muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana ketidakmunculan di masa depan keragu-raguan yang belum muncul terjadi.

Ketika terdapat faktor pencerahan perhatian dalam dirinya, ia memahami: “Terdapat faktor pencerahan perhatian dalam diriku”. Ketika tidak terdapat faktor pencerahan perhatian dalam dirinya, ia memahami: “Tidak terdapat faktor pencerahan perhatian dalam diriku”. Dan ia memahami bagaimana kemunculan faktor pencerahan perhatian yang belum muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana pemenuhan melalui pengembangan faktor pencerahan perhatian yang telah muncul terjadi.

Ketika terdapat faktor pencerahan penyelidikan dhamma dalam dirinya, ia memahami: “Terdapat faktor pencerahan penyelidikan dhamma dalam diriku”. Ketika tidak terdapat faktor pencerahan penyelidikan dhamma dalam dirinya, ia memahami: “Tidak terdapat faktor pencerahan penyelidikan dhamma dalam diriku”. Dan ia memahami bagaimana kemunculan faktor pencerahan penyelidikan dhamma yang belum muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana pemenuhan melalui pengembangan faktor pencerahan penyelidikan dhamma yang telah muncul terjadi.

Ketika terdapat faktor pencerahan semangat dalam dirinya, ia memahami: “Terdapat faktor pencerahan semangat dalam diriku”. Ketika tidak terdapat faktor pencerahan semangat dalam dirinya, ia memahami: “Tidak terdapat faktor pencerahan semangat dalam diriku”. Dan ia memahami bagaimana kemunculan faktor pencerahan semangat yang belum muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana pemenuhan melalui pengembangan faktor pencerahan semangat yang telah muncul terjadi.

Ketika terdapat faktor pencerahan kegiuran dalam dirinya, ia memahami: “Terdapat faktor pencerahan kegiuran dalam diriku”. Ketika tidak terdapat faktor pencerahan kegiuran dalam dirinya, ia memahami: “Tidak terdapat faktor pencerahan kegiuran dalam diriku”. Dan ia memahami bagaimana kemunculan faktor pencerahan kegiuran yang belum muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana pemenuhan melalui pengembangan faktor pencerahan kegiuran yang telah muncul terjadi.

Ketika terdapat faktor pencerahan ketenangan dalam dirinya, ia memahami: “Terdapat faktor pencerahan ketenangan dalam diriku”. Ketika tidak terdapat faktor pencerahan ketenangan dalam dirinya, ia memahami: “Tidak terdapat faktor pencerahan ketenangan dalam diriku”. Dan ia memahami bagaimana kemunculan faktor pencerahan ketenangan yang belum muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana pemenuhan melalui pengembangan faktor pencerahan ketenangan yang telah muncul terjadi.

Ketika terdapat faktor pencerahan samādhi dalam dirinya, ia memahami: “Terdapat faktor pencerahan samādhi dalam diriku”. Ketika tidak terdapat faktor pencerahan samādhi dalam dirinya, ia memahami: “Tidak terdapat faktor pencerahan samādhi dalam diriku”. Dan ia memahami bagaimana kemunculan faktor pencerahan samādhi yang belum muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana pemenuhan melalui pengembangan faktor pencerahan samādhi yang telah muncul terjadi.

Ketika terdapat faktor pencerahan keseimbangan dalam dirinya, ia memahami: “Terdapat faktor pencerahan keseimbangan dalam diriku”. Ketika tidak terdapat faktor pencerahan keseimbangan dalam dirinya, ia memahami: “Tidak terdapat faktor pencerahan keseimbangan dalam diriku”. Dan ia memahami bagaimana kemunculan faktor pencerahan keseimbangan yang belum muncul terjadi. Dan ia memahami bagaimana pemenuhan melalui pengembangan faktor pencerahan keseimbangan yang telah muncul terjadi.

Perhatian terhadap dhamma-dhamma dikembangkan dengan baik demi kepentingan pengetahuan dan penglihatan. Seseorang berdiam tidak bergantung, tidak menggenggam apa pun di dunia. Itulah bagaimana seorang bhikkhu atau bhikkhuni berdiam merenungkan sebuah dhamma di dalam dhamma-dhamma.

Inilah jalan menuju yang satu, para bhikkhu dan bhikkhuni, untuk pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi kesedihan dan ratap tangis, untuk mengakhiri penderitaan fisik dan batin, untuk memahami sang jalan, untuk merealisasi Nibbana: yaitu, empat satipaṭṭhāna.

***
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #66 on: 05 October 2014, 12:26:59 AM »
Jika ini dekat dengan bentuk asal mula dari Satipaṭṭhāna Sutta, apakah ia memberitahukan kita tentang metode satipaṭṭhāna? Analisis tekstual hanya membawa kita sejauh ini; pengujian sebenarnya adalah apakah ajaran-ajaran itu masuk akal sebagai suatu jalan praktek. Saya telah menggunakan pemahaman atas satipaṭṭhāna ini dalam praktek saya sendiri, dan di sini bagaimana kita menerapkannya.

Mulai dari tubuh. Inilah di mana kita dibelenggu pada dorongan paling dasar kita: seks dan makanan. Kita berusaha bermeditasi, tetapi tidak dapat berhenti memikirkan tentang tubuh kita dan keinginannya. Apakah yang harus dilakukan? Berjalanlah tanpa rasa takut ke dalam sarang singa. Terjunlah ke dalam isi perut dan urat-uratnya, darah dan tulang-belulang, yang membuat tubuh itu sendiri objek pertama meditasi kita. Ini bukanlah untuk menakut-nakuti atau membuat kengerian, tetapi berusaha untuk memahami, menerima, dan melepaskan rumah jasmani kita ini. Kita merenungkan prinsip kehidupan – napas yang rapuh, yang lembut – dan prinsip kematian – sesosok jenazah yang membusuk. Tubuh adalah landasan yang padat dan familiar bagi kesadaran, yang kurang dapat berubah-ubah daripada pemikiran. Jadi ia adalah suatu landasan yang ideal untuk memantapkan pikiran. Bawalah perhatian pada pernapasan, suatu gambaran bagian-bagian tubuh, atau pengalaman bagian dalam dari sifat-sifat fisik seperti kekerasan, kelembutan, panas, dan dingin. Kesadaran terus-menerus dipusatkan kembali dan diperhalus, dan pikiran tenggelam semakin dalam ke dalam objek yang dipilih, melihat seakan-akan untuk pertama kalinya tubuh ini yang biasanya tersamarkan di bawah keinginan, penolakan, dan ketakutan kita.

Gambaran tubuh dalam pikiran kita menjadi sangat halus; sedemikian halus sehingga aspek batin dari pengalaman fisik menjadi menonjol. Ia selalu ada di sana, tetapi kita tidak memperhatikannya. Kita sedang berpindah ke dalam perenungan terhadap perasaan. Perasaan terkenal samar-samar dan mudah berubah: perasaan jasmani cenderung dikalahkan oleh sentuhan fisik yang merangsangnya, dan perasaan batin membingungkan dan kompleks. Tetapi dengan memperlakukan perenungan terhadap perasaan seraya bangkit dari proses menenangkan perenungan tubuh masalah-masalah ini diperkecil. Untuk sementara perasaan kita menjadi lebih stabil, sederhana, dan jelas: suatu perasaan kegiuran dan kebahagiaan yang halus dan tenang mengalir dari dalam subjek meditasi. Jika kita sedang mengamati pernapasan, perasaan sukacita mengubah pernapasan dari udara yang tidak hidup menjadi aliran yang halus, yang indah. Jika kita sedang merenungkan bagian-bagian tubuh atau unsur-unsur, mereka juga akan menjadi jelas, bersinar, indah dengan anehnya.

Pikiran berdiam lebih jauh ke dalam kebahagiaan ini, dengan menjadi lebih nyaman dan lebih dipercaya sebenarnya. Perlahan-lahan kesadaran terbuka: pikiran mengetahui lebih baik. Dalam perenungan terhadap pikiran kita melihat bagaimana kesadaran bekerja di bawah kondisi-kondisi yang berbeda: terbakar oleh nafsu, dilumpuhkan oleh kebencian, digelapkan dan tertekan oleh kemalasan. Kita melihat bagaimana pikiran terbuka, berkembang, dan mengembang di bawah pengaruh-pengaruh yang bermanfaat, sehingga pengetahuan kita lebih jelas dan fokus. Kita menjadi sadar secara akurat atas pikiran sebagai kesadaran itu sendiri, lembut dan lunak seperti sebuah bunga atau seorang bayi, tetapi pada saat yang sama memiliki kekuatan dan ketahanan yang luar biasa. Pada tahapan pengembangan ini pikiran menjadi sesuatu yang kepekaannya tiada bandingnya.

Selama ini kita memiliki suatu kesadaran bermata jernih atas berbagai perasaan dan keadaan pikiran yang berbeda-beda yang secara langsung muncul dalam kesadaran. Dalam perenungan terhadap dhamma kita menjadi sadar tidak hanya kemunculan, tetapi juga ketiadaan; dan ini suatu hal yang lebih dalam, karena dalam melihat ketiadaan seseorang melihat ketidakkelan. Tetapi kemudian praktek itu masih menggali lebih dalam. Selidikilah mengapa pikiran seperti itu. Apakah bermanfaat bagi meditasi, dan apakah bersifat merintangi? Bagaimana kualitas-kualitas ini muncul, mengapa kita terjebak dalam pola-pola yang tidak bermanfaat, bagaimana kita dapat melepaskannya?

Dalam perenungan tubuh, kita menerapkan diri kita sendiri sebagai objek meditasi. Di sini, kita pada dasarnya hanya mengikuti petunjuk-petunjuk meditasi. Perlahan-lahan kita melihat perasaan yang lebih halus dan keadaan pikiran lebih jelas, dan selama praktek menjadi matang seseorang memasuki jhāna. Pada awalnya ini akan menjadi masalah tembak-dan-meleset. Tetapi selama kita mengulangi praktek terus-menerus kita memahami mengapa pikiran kadangkala damai dan kadangkala tidak. Ketika kebijaksanaan menjadi lebih dalam, samādhi menjadi lebih dapat diandalkan. Ini adalah proses utama yang disadari, yang paling jelas dan kuat dalam kesadaran spiritual kita, sehingga mereka secara alami membawa pada pemahaman sifat dari pengalaman yang berkondisi secara umum. Dalam perenungan terhadap dhamma, samatha matang ke dalam vipassanā. Keseluruhan proses sedemikian alami sehingga menyesatkan untuk menyebutnya sebuah “metode”. Seseorang tidak dengan sengaja menerapkan suatu pola yang dibuat-buat, yang telah diduga sebelumnya; tahapan-tahapan itu hanyalah papan petunjuk meditasi yang terbuka.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #67 on: 08 October 2014, 08:23:52 PM »
Bab 16
Sarvāstivāda & Theravāda

Kita sekarang memperlebar pusat perhatian, dengan mempertimbangkan suatu pernyataan yang dibuat lebih awal, bahwa analisis satipaṭṭhāna ini memungkinkan kit membuat kesimpulan yang dapat diuji tentang perkembangan ajaran. Dalam bab ini kita dapat mempertimbangkan beberapa bahan yang tidak digunakan bersama, yang mungkin bersifat sektarian, dalam kotbah-kotbah dua aliran utama yang teks-teksnya sebagian besar tersedia bagi kita, yaitu Sarvāstivāda dan Theravāda, dan juga beberapa perkembangan dalam masa Abhidhamma. Maka secara historis, kita di sini tertarik dalam periode Aśoka dan periode berikutnya. Upaya dibuat untuk memasukkan beberapa perspektif tentang bagaimana agama [Buddha] sebagai suatu keseluruhan berevolusi pada masa ini. Bab berikutnya akan melihat periode yang lebih belakangan dari Buddhisme India.

16.1 Theravāda and Vipassanā

Kita telah menyatakan bahwa perbedaan dalam karakter aliran-aliran yang muncul dicerminkan dalam perbedaan orientasi dalam versi-versi Satipaṭṭhāna Sutta mereka. Mahā Satipaṭṭhāna Sutta bergerak menuju suatu cara pandang proto-abhidhamma, di mana vipassanā dianggap sebagai suatu analisis sistematis atas susunan fenomena yang komprehensif. Suatu gagasan yang serupa muncul dalam Anupada Sutta,[1] yang adalah salah satu dari hanya sedikit kotbah dalam Majjhima Nikāya yang belum ditemukan sejauh ini dalam Āgama-Āgama yang ada. Di sana, Sang Buddha memuji Yang Mulia Sāriputta, yang secara khusus dihubungkan dengan aliran Theravāda, atas praktek pengetahuan analitisnya berdasarkan delapan pencapaian. Sebagai tambahan pada faktor-faktor jhāna yang biasanya, kotbah itu mengandung suatu daftar panjang unik dari faktor-faktor mental yang menariknya bergaya Abhidhammik; sesungguhnya, Anupada Sutta adalah salah satu teks kunci yang telah dilibatkan oleh para ābhidhammika untuk mendukung gagasan bahwa Sang Buddha, bahkan jika ia tidak benar-benar mengajarkan Abhidhamma Piṭaka itu sendiri, setidaknya mengajarkan dalam gaya Abhidhamma. Tetapi Anupada Sutta jelas belakangan. Ia mengandung terutama ungkapan dasar dan istilah-istilah teknis; jika ini diabaikan terdapat hanya sedikit baris yang membuat kosakata karakteristik dari Anupada Sutta. Baris-baris ini termasuk setidaknya tiga kata yang bernada suatu ungkapan yang belakangan (anupada, vavattheti, dan pāramī). Sebagai tambahan, teks itu diedit dengan kurang baik. Faktor-faktor jhāna dibuatkan daftarnya, seperti setiap ungkapan Sutta biasanya, dengan partikel penghubung ca. Tetapi faktor-faktor sisanya diberikan daftarnya dalam gaya Abhidhamma dengan tanpa ca; mereka jelas telah disisipkan dari sumber lain.

Contoh lain dilengkapi oleh Chachakka Sutta.[2] Versi Theravāda adalah salah satu teks yang paling jelas murni berhubungan dengan pandangan terang dalam kanon. Keluwesan bentuk dan kedalaman isinya membantah keotentikannya. Enam kelompok dari enam dhamma yang memberikan kotbah itu judul mirip dengan penguraian dari kebenaran mulia kedua dan ketiga dalam Mahā Satipaṭṭhāna Sutta, yang menyatakan suatu landasan Abhidhamma. Versi Theravāda merayakan kotbah itu dengan mengatakan 60 orang bhikkhu mencapai Kearahantaan pada penutupnya. Rincian ini hilang dari Sarvāstivāda, yang tidak mengejutkan, karena tradisi-tradisi jarang bersepahaman dalam kisah pencapaian ketika mendengarkan suatu kotbah. Baik latar dan isi dari versi Sarvāstivāda menunjukkan perbedaan yang besar, khususnya dimasukkannya banyak kelompok dhamma yang berhubungan dengan meditasi dan praktek samādhi, dengan demikian mengubah orientasi yang murni pandangan terang dari versi Theravāda. Teks itu jauh kurang seimbang dan elegan, dan menunjukkan semua tanda penambahan yang belakangan. Kenyataannya ia telah ditunjukkan oleh Watanabe bahwa faktor-faktor yang ditambahkan menunjukkan kesamaan pada mātikā dari Dharmaskandha.[3]

Kita telah menunjuk pada Mahā Hatthipadopama, yang mengakui pentingnya caranya dalam menyajikan empat unsur melalui pemusatan perhatian dengan sempurna pada satu aspek dari empat kebenaran mulia. Sebagai salah satu dengan kotbah yang paling berbobot yang diberikan Yang Mulia Sāriputta, yang diakui oleh Theravāda dan yang lain sebagai ābhidhammika pertama, kita tidak terkejut melihat bahwa, seperti dalam Anupada Sutta, beberapa aspek dari ajaran-ajarannya menyatakan suatu ikatan dengan Abhidhamma.[4] Kotbah ini adalah salah satu dari perlakuan yang paling terperinci atas unsur-unsur dalam Sutta-Sutta awal. Walaupun versi Theravāda dan Sarvāstivāda sangat mirip, terdapat sedikit perbedaan sektarian. Terdapat beberapa anomali pengeditan dalam Theravāda yang menyatakan bahwa Sarvāstivāda, khususnya dalam perlakukan umumnya atas unsur-unsur eksternal, mungkin sedikit lebih dapat dipercaya. Dalam konteks kita saat ini, kita tertarik pada apa yang tampaknya pergeseran yang halus dalam keseimbangan samatha/vipassanā. Di mana Theravāda memiliki Yang Mulia Sāriputta mengatakan bahwa setiap unsur harus direnungkan sebagai “ini bukan milikku...” dst., Sarvāstivāda tidak memiliki rincian ini.[5] Dan di mana kedua versi mendorong seseorang untuk menghindari kemarahan dengan merenungkan tentang perumpamaan gergaji, Sarvāstivāda melengkapi ini dengan menambahkan bacaan tentang pemancaran cinta kasih universal, suatu rincian yang tidak ada dalam Theravāda.[6] Jadi walaupun kedua versi menyatakan baik samatha dan vipassanā terdapat sedikit perbedaan dalam orientasinya.

Perbedaan kecil lainnya dapat diperhatikan dalam rincian bagaimana proses persepsi digambarkan.[7] Masing-masing memberikan tiga kondisi untuk munculnya kesadaran; tetapi Sarvāstivāda tidak menyajikan ketiganya sebagai ada atau tidak ada bersamaan, sedangkan Theravāda menyajikan kasus-kasus di mana beberapa kondisi dapat ada atau tidak ada. Ini adalah bacaan yang unik, seringkali dikutip, dan uraiannya menyatakan suatu perkembangan Abhidhammik yang belakangan, walaupun buktinya kurang kuat dibandingkan dalam kasus Anupada Sutta. Akan menarik untuk melihat apakah perbedaan khusus dikembangkan dalam Abhidhamma masing-masing.

Cara pandang sektarian lebih jauh muncul pada akhirnya. Theravāda mengakhiri hanya dengan mengatakan berakhirnya keserakahan, kebencian, dan delusi sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan. Tetapi Sarvāstivāda menekankan bahwa ketidakmelekatan demikian harus diarahkan pada kelompok-kelompok unsur kehidupan masa lampau, masa depan, dan masa kini, dengan demikian menekankan kelanjutan dalam waktu, tesis dasar aliran ini.
Kotbah-kotbah demikian menunjukkan suatu kecenderungan yang sedang tumbuh. Tidak hanya terdapat suatu pergeseran dalam penekanan dari samatha ke vipassanā, tetapi sifat vipassanā itu sendiri berubah. Kotbah-kotbah awal memperlakukan vipassanā sebagai pemahaman prinsip-prinsip dhamma, bukan sebagai informasi yang diakumulasikan. Mereka tidak memperlakukan vipassanā sehubungan dengan suatu analisis menyeluruh atas suatu kumpulan fenomena pikiran/tubuh yang secara objektif terdefinisi – itulah mengapa para ābhidhammika mendukung gagasan ini dengan melibatkan teks-teks ini. Pada waktunya, gagasan ini akan tumbuh bersama dengan gagasan suatu jalan yang murni pandangan terang yang tidak memerlukan jhāna. Tetapi di sini kita hanyalah memiliki permulaan dari proses perlahan-lahan yang panjang. Kenyataannya Anupada Sutta memperlakukan pengalaman jhana sebagai yang mendasar pada kemampuan untuk secara jernih dan tepat mendefinisikan masing-masing faktor mental; dalam hal ini ia mendahului para penyusun Dhammasaṅgaṇī.

Teks-teks demikian dirumuskan oleh Theravādin secara khusus untuk mengesahkan arah baru mereka. Yaitu untuk mengatakan, ini bukanlah bahwa meditasi “vipassanā kering” Theravādin adalah otentik karena ia diajarkan dalam Satipaṭṭhāna Sutta, tetapi bahwa Satipaṭṭhāna Sutta dikumpulkan untuk membuktikan perpindahan menuju pandangan terang kering. Tentu saja, kita harus memberikan para guru dari masa kuno manfaat dari keraguan. Mereka agaknya percaya mereka “menarik” implikasi dari bahan Sutta yang bersifat embrio yang mereka edit.

Setelah mengidenfikasi kecenderungan ini, dan setelah menunjukkannya dengan tepat pada Theravāda yang mulai lahir, ia dapat kemudian digunakan sebagai suatu contoh. Ajaran-ajaran dalam Sutta-Sutta yang sangat analitis dan menunjukkan gaya Abhidhamma Theravādin dari perulangan yang sistematis dan rumit mungkin belakangan. Dengan demikian analisis kita menyediakan kita dengan alat bantu interpretif yang lebih jauh.

16.2 Sarvāstivāda and Samādhi

Jika penekanan Theravādin terhadap vipassanā seperti yang dibuktikan dalam turunan Satipaṭṭhāna Sutta mereka dengan halus dapat dilihat dalam kanon Pali, demikian juga penekanan Sarvāstivādin terhadap samādhi tampak dalam Madhyama Āgama mereka. Sejumlah kotbah yang menarik dengan tanpa sumber Pali yang sama berhubungan dengan jhāna. Teks-teks ini sangat sedikit diketahui sehingga ia layak dirangkum di sini.

16.2.1 Pembebasan Bergantungan

MA 44, MA 54, dan MA 55 menyajikan versi dari kerangka ajaran yang saya sebut “pembebasan bergantungan”, yang dikenal di tempat lain sebagai “kemunculan bergantungan transendental”. Saṁyukta Āgama Sarvāstivāda memasukkan sebuah saṁyutta yang terdiri dari kotbah-kotbah dengan tema ini, yang kebanyakan dalam Pali telah dipindahkan ke Aṅguttara Nikāya. Unsur-unsur dari kerangka itu muncul dalam seluruh jangkauan dari ajaran-ajaran utama, namun suatu penguraian yang lengkap tidak ada dalam Majjhima Theravāda. Ia tampaknya seakan-akan ajaran penting ini dianggap kurang menarik oleh para Sesepuh dari Mahā Vihāra di Sri Lanka. Masing-masing dari berbagai versi dari pembebasan bergantungan menyajikan suatu rangkaian dari faktor-faktor yang terbentang dalam suatu urutan kondisional yang memuncak pada Nibbana. Urutan-urutan di sini sangat mirip dengan Pali, tetapi tidak memiliki sumber persis yang sama.

MA 44: Perhatian & pemahaman jernih[8] → perlindungan kemampuan indera → perlindungan sila → tanpa-penyesalan → kegembiraan → kegiuran → kebahagiaan → samādhi → pengetahuan & penglihatan atas hal-hal sebagaimana adanya → kejenuhan → memudarnya nafsu → pembebasan → Nibbana.[9]

MA 54: Menghormati dan menghadiri → mendekati → mendengarkan Dhamma yang benar → memberikan telinga[10] → perenungan atas makna dari Dhamma → mempelajari Dhamma dalam hati[11] → membacakan ulang → penerimaan melalui perenungan[12] → keyakinan → perenungan benar[13] → perhatian & pemahaman jernih → perlindungan kemampuan indera → perlindungan sila → tanpa-penyesalan → kegembiraan → kegiuran → kebahagiaan → samādhi → pengetahuan & penglihatan atas hal-hal sebagaimana adanya → kejenuhan → memudarnya nafsu → pembebasan → Nibbana.[14]

MA 55: Ketidaktahuan → aktivitas-aktivitas konseptual → kesadaran → nama & bentuk → enam indera → kontak → perasaan → keinginan → kemenjadian → kelahiran → usia tua & kematian → penderitaan → keyakinan → perenungan benar → perhatian & pemahaman jernih → perlindungan kemampuan indera → perlindungan sila → tanpa-penyesalan → kegembiraan → kegiuran → kebahagiaan → samādhi → pengetahuan & penglihatan atas hal-hal sebagaimana adanya → kejenuhan → memudarnya nafsu → pembebasan → Nibbana.[15]

16.2.2 Ajaran-Ajaran Anuruddha

Dalam Majjhima Nikāya Theravāda, Yang Mulia Anuruddha muncul dalam sedikit kotbah, khususnya yang berhubungan dengan samādhi, tetapi ia hanya menyampaikan satu kotbah yang panjang lebar. Dimasukkannya tiga kotbah utama tambahan oleh Anuruddha, seorang bijaksana tipikal yang bermeditasi dalam kesunyian, menyatakan bahwa cara pengajarannya lebih populer dalam Sarvāstivāda daripada dalam Theravāda. Kita telah melihat bahwa dua Anuruddha-saṁyutta berbeda dalam hal ini juga: Sarvāstivāda menekankan samādhi di mana Theravāda memiliki vipassanā.

MA 80 (*Kaṭhinadhamma Sutta): Walaupun kisah mengagumkan ini tidak ditemukan dalam Nikāya-Nikāya, kejadian latar belakangannya dimasukkan dalam komentar pada Dhammapāda 93. Atas permintaan Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Ānanda mengatur sekelompok bhikkhu untuk menjahit pergantian untuk jubah Anuruddha yang using. Sang Buddha melihat para bhikkhu menjahit, dan bertanya kepada Ānanda mengapa ia tidak memberitahukan Sang Buddha sehingga ia dapat membantu dalam menjahit jubah itu. Kemudian Sang Buddha bergabung dengan para bhikkhu untuk membantu menjahit jubah Anuruddha. Ketika mereka selesai, Sang Buddha berbaring untuk meredakan punggungnya yang sakit dan meminta Anuruddha untuk memberikan kotbah tentang kaṭhina kepada para bhikkhu. Anuruddha mengatakan tentang bagaimana ia menjalankan kehidupan seorang bhikkhu, menjaga sila, meninggalkan rintangan-rintangan, mengembangkan meditasi, mencapai empat jhāna, dan akhirnya enam pengetahuan jernih yang memuncak pada Kearahantaan. Sang Buddha duduk, memuji Anuruddha, dan mendorong para bhikkhu untuk mempraktekkan dhamma kaṭhina.

MA 218: Yang Mulia Anuruddha ditanya bagaimana seorang bhikkhu dikatakan meninggal sebagai seorang yang mulia. Ia menjelaskan bahwa jika seseorang mencapai empat jhāna ia akan meninggal sebagai seorang yang mulia, tetapi bukan yang benar-benar mulia. Namun jika seseorang mengembangkan enam pengetahuan jernih yang memuncak pada Kearahantaan ia dikatakan meninggal dengan suatu pikiran mulia yang tertinggi dan mutlak.

MA 219: Mirip, tetapi di sini pertanyaannya adalah bagaimana meninggal tanpa penderitaan. Yang Mulia Anuruddha kemudian mengajarkan bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dan sila yang disenangi oleh para orang mulia, empat satipaṭṭhāna, empat kediaman luhur, dan empat pencapaian tanpa bentuk akan meninggal tanpa penderitaan. Namun, hanya seseorang yang dapat melenyapkan sentuhan fisik (?)[16] dan melalui pemahaman mengakhiri kekotoran akan meninggal sepenuhnya tanpa penderitaan. Di sini penyebutan “pandangan benar” dan “sila” menggemakan Satipaṭṭhāna-saṁyutta. Empat satipaṭṭhāna muncul di sini pada tempat empat jhāna, seperti yang kadangkala dalam Nikāya-Nikāya juga.

16.2.3 Anekaragam

MA 176:
Menggambarkan empat orang: orang yang meditasinya mengalami kemunduran tetapi mereka berpikir itu mengalami kemajuan; orang yang meditasinya mengalami kemajuan tetapi mereka berpikir itu mengalami kemunduran; orang yang meditasinya mengalami kemunduran dan mereka berpikir itu mengalami kemunduran; orang yang meditasinya mengalami kemajuan dan mereka berpikir itu mengalami kemajuan.

MA 117: Menggambarkan empat jenis meditator lainnya. Pola berikut diulangi untuk masing-masing dari delapan pencapaian.

1) Mencapai jhāna pertama tetapi tidak berpegang pada prakteknya, tidak memberikan perhatian pada landasannya,[17] tetapi mempertahankan pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan nafsu. Mereka tidak akan menjadi mantap, ataupun tidak mengalami kemajuan, tetapi akan mengalami kemunduran.

2) Mencapai jhāna pertama, berpegang pada prakteknya, memberikan perhatian pada landasannya, mengembangkan pikiran mereka pada dhamma itu dan membuatnya terpusat. Mereka tidak akan mengalami kemunduran, ataupun tidak mengalami kemajuan, ataupun tidak menjadi jijik, tetapi akan menjadi mantap dengan samādhi yang bertahan lama.

3) Mencapai jhāna pertama tetapi tidak berpegang pada prakteknya, tidak memberikan perhatian pada landasannya, tetapi mencondongkan pikiran mereka pada jhāna kedua, dengan berharap untuk berlanjut lebih jauh. Mereka tidak akan mengalami kemunduran, ataupun tidak menjadi mantap, ataupun tidak menjadi jijik, tetapi tak lama akan berlanjut ke jhāna kedua.

4) Mencapai jhāna pertama tetapi tidak berpegang pada prakteknya, tidak memberikan perhatian pada landasannya, tetapi mencondongkan pikiran mereka pada padamnya, ketenangan, ketiadaan nafsu. Mereka tidak akan mengalami kemunduran, ataupun tidak menjadi mantap, tetapi tidak lama mereka akan mengalami kejenuhan dan menguapnya kekotoran-kekotoran.

MA 222: Untuk memahami masing-masing dari 12 mata rantai kemunculan bergantungan seseorang harus mengembangkan: empat satipaṭṭhāna; empat usaha benar; empat landasan kekuatan batin; empat jhāna; lima kemampuan spiritual; lima kekuatan spiritual; tujuh faktor pencerahan; jalan mulia berunsur delapan; sepuluh landasan totalitas;[18] sepuluh dhamma seorang ahli.

Jadi perbedaan dalam penekanan, betapa pun kecilnya, antara versi Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda dan Sarvāstivāda juga terlihat di tempat lain dalam teks-teks awal. Saya telah mencari atas petunjuk-petunjuk dalam Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama untuk mendukung pendapat ini, dan seperti yang dapat anda lihat, saya belum mendapatkan banyak. Jika perbedaan itu asli, ia bersifat kecil. Ia hanyalah bayangan dari pemisahan yang menyusahkan Buddhisme India yang belakangan.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #68 on: 08 October 2014, 08:30:37 PM »
Kita mungkin mempertimbangkan apakah perbedaan ini mencerminkan sesuatu dari orientasi religius dan filosofis dari aliran-aliran yang muncul. Terdapat sejangkauan petunjuk yang menyatakan sesuatu dari karakter-karakter yang berbeda dari aliran Theravāda dan Sarvāstivāda: Theravāda merupakan pergerakan yang lebih intelektual, bersifat cendikiawan, dan urban, sedangkan Sarvāstivāda menekankan ketaatan, meditasi, dan berdiam di hutan. Layak untuk disebutkan beberapa dari poin ini, karena pembahasan secara ilmiah atas Sarvāstivāda terpusat pada karya-karya Abhidhamma mereka yang belakangan dan dengan demikian cenderung melihat mereka sebagai suatu pergerakan skolastik, yang mungkin tidak begitu benar bagi aliran awal itu.[19]

1) Patriark: Patriark akar dari Sarvāstivāda adalah Yang Mulia Mahā Kassapa, yang adalah seorang pertapa hutan tipikal yang karismatik, yang menolak kehidupan monastik yang menetap dengan lebih menyukai kehidupan keras di dalam hutan. Namun Theravādin menganggap Yang Mulia Sāriputta sebagai patriark akarnya, yang terkemuka atas kebijaksanaan analitisnya yang mendalam, dan sebagai seorang guru Dhamma kedua setelah Sang Buddha sendiri; para Jain jelas melihatnya sebagai yang mendorong perpindahan dari hutan ke vihara pedesaan. Perbedaan ini jelas bahkan dalam Sutta-Sutta. Dalam versi Theravāda dari Mahā Gosiṅgavana Sutta,[20] Sāriputta dan Mahā Kassapa memanggil satu sama lain dengan sebutan akrab āvuso (“teman yang terhormat”), tetapi dalam versi Sarvāstivādin[21] Sāriputta memanggil Mahā Kassapa sebagai bhante (“yang mulia”). Perbedaan ini dipertahankan dalam patriark-patriark yang belakangan dari masa Aśoka. Moggaliputta Tissa dari Theravāda adalah seorang ahli debat filosofis, yang terampil dalam kecermatan logika dan ajaran yang mendalam, sedangkan Upagupta dari Sarvāstivāda adalah seorang pertapa hutan dan orang bijaksana yang eksentrik yang terkemuka atas metode-metode ajarannya yang tidak dapat ditebak dan pencapaian meditatifnya. Waktu demi waktu, para siswanya yang tak terhitung dikatakan telah merealisasi Dhamma setelah mengembangkan empat jhāna.[22]

2) Kain duduk: Kain duduk adalah tikar kecil yang mulanya digunakan untuk duduk bermeditasi di hutan. Madhyama Āgama Sarvāstivāda seringkali menggambarkan para bhikkhu mengambil kain duduk, melipatnya, menempatkannya di atas bahu, dan pergi ke dalam hutan untuk bermeditasi. Theravāda hampir selalu menghilangkan rincian ini; namun ia disebutkan, cukup menariknya, dalam kejadian terkenal di mana Sang Buddha menyatakan ia dapat hidup selama satu kappa.[23] Karena jenis gagasan ini adalah karakteristik mutlak dari Sarvāstivāda, mungkin bahwa ini adalah bukti pengaruh Sarvāstivāda pada kanon Theravāda. Tetapi, seperti yang sering terjadi, teks-teks tidak mengizinkan kesimpulan paling sederhana mana pun: versi lengkap Sarvāstivāda dari Mahā Parinirvāṇa Sūtra dalam bahasa Sanskrit menghilangkan penyebutan kain duduk, tetapi fragmen Sanskrit yang lebih pendek menyebutkannya. Jadi mungkin, referensi pada kain duduk menunjukkan bahwa Sarvāstivāda memiliki suatu preferensi pada berdiam di hutan dan meditasi.

3) Belas kasih: Empat kediaman luhur disebutkan seringkali dalam kedua aliran, tetapi terdapat beberapa kotbah dalam Majjhima di mana ini disebutkan dalam Sarvāstivāda tetapi tidak ada dalam Theravāda.[24]

4) Keajaiban: Madhyama Sarvāstivāda cenderung untuk menekankan hal-hal yang menakjubkan daripada kotbah-kotbah Theravāda yang agak tenang. Sebagai contoh, Theravāda menggambarkan Yang Mulia Raṭṭhapāla berjalan kaki dari rumahnya ke hutan, sedangkan Sarvāstivāda memiliki ia terbang melalui udara.[25]

5) Ketaatan: Dalam teks-teks Theravāda para bhikkhu biasanya memanggil Sang Buddha hanya sebagai “bhante”, tetapi Mandarin memiliki “Yang Dijunjungi Dunia” (lokanātha). Tetapi ini mungkin bahwa perubahan ini terjadi dalam terjemahan ke bahasa Mandarin. Beberapa kotbah Sarvāstivāda memasukkan banyak sekali penggambaran dari penampilan Sang Buddha, “yang bercahaya bagaikan sebuah gunung emas”, dst.[26] Juga teori Bodhisattva yang berada pada tahap yang sedikit lebih berkembang.

6) Abhidhamma awal: Lapisan awal Abhidharma Sarvāstivāda, seperti Dharmaskandha dan Saṅgītiparyāya, mempertahankan suatu cara analisis yang lebih kuno, yang kurang terspesialisasi daripada Abhidhamma Theravāda.

Perbedaan ini mencerminkan orientasi dari aliran-aliran yang muncul ini. Theravādin, dengan penekanan vipassanā mereka, lebih skolastik dan bersifat urban. Sarvāstivādin berorientasi pada keyakinan, dengan menekankan karisma yang tidak dapat ditebak dari pertapa hutan. Suatu perbedaan yang mirip dapat dikenali dalam Theravāda modern, dengan para bhikkhu hutan yang mengabdikan diri mereka pada samādhi, sedangkan saudara-saudara mereka di vihara-vihara kota melakukan vipassanā kering. Tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa kesungguhan yang keras dari tradisi hutan akan menjadi jinak dan beradab, dan akan berbalik dari praktek menuju studi. Kadangkala ini hanya memakan satu atau dua generasi. Dan demikianlah Sarvāstivādin yang kemudian berlanjut mengembangkan suatu literatur komentar Abhidhamma yang sangat banyak, di mana, seperti yang akan kita lihat dalam bab berikutnya, satipaṭṭhāna hanya menjadi vipassanā.

16. 3 Iblis Waktu

Perbedaan-perbedaan antara Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda dan Sarvāstivāda, dan pada tingkatan yang lebih kecil Saṁyutta, mencerminkan masalah perpecahan pokok yang memisahkan aliran-aliran ini – waktu. Sarvāstivādin, yang lebih menyukai keserasian dan ketetapan samatha, menghindar dari perenungan terhadap ketidakkekalan dalam satipaṭṭhāna, sedangkan Theravādin menekankan pengamatan berlalunya fenomena yang berturut-turut dalam pengalaman. Vipassanā melihat diskontinuitas dalam waktu, samatha melihat kontinuitas: diambil bersama, seseorang menyadari relativitas kontinuitas dan diskontinuitas; mengambil secara terpisah seseorang akan cenderung mewujudkan kontinuitas atau diskontinuitas ke dalam sesuatu yang mutlak. Dalam tahapan yang baru mulai ini perbedaan-perbedaan hanyalah masalah penekanan, belum secara sadar diungkapkan. Kebutuhan untuk pembenaran yang jelas dan meyakinkan dari pendekatan-pendekatan yang berbeda ini merupakan suatu kekuatan pendorong dalam perumusan metafisika tentang waktu. Theravādin melanjutkan dengan mengembangkan suatu versi teori kesementaraan yang radikal, dengan berpandangan bahwa setiap dhamma muncul, bertahan, dan berlalu dalam sekejap, tidak meninggalkan sisa pada momen berikutnya. Sarvāstivādin menerima suatu versi teori tentang momen-momen, tetapi mereka juga menganut gagasan, di mana mereka mendapatkan nama mereka, bahwa “semua dhamma – masa lampau, masa sekarang, dan masa depan – ada”. Momen saat ini dilihat sebagai perwujudan atau modus efektif dari fenomena. Dengan demikian ketidakkekalan diperkecil; realitas tertinggi menjadi tidak berubah. Kita telah melihat petunjuk-petunjuk dari perspektif yang sedang berkembang ini dalam Smṛtyupasthāna Sūtra and Dharmaskandha; Kośa menerapkan metafisika Sarvāstivādin tentang waktu pada satipaṭṭhāna.[27]

Awal mula dari gagasan misterius ini harus dicari dalam tanggapan emosional dari komunitas Buddhis pada rasa sakit dan kehilangan yang akut dengan wafatnya Sang Buddha. Sarvāstivādin dengan sengit merasa bahwa mereka hidup pada masa kemerosotan, bahwa hari-hari kejayaan agama [Buddha] tak dapat dihindari telah berlalu. Sebagai masalah emosional alih-alih intelektual, ini berartikulasi pada tingkatan mitos dan simbolis. Peranan patriark mereka Yang Mulia Upagupta adalah untuk menghentikan jalannya waktu dengan mempertahankan agama [Buddha].

Mitos kunci membuat ia mengikat Māra, Dewa Kematian, dengan tali dari mayat yang membusuk di sekeliling pundaknya. Māra tidak dapat melakukan apa pun untuk melepaskan mayat yang busuk itu, dan semua permohonannya diabaikan Upagupta. “Sang Buddha,” gumam Māra, “Beliau tidak pernah melakukan apa pun yang menjijikkan kepadaku seperti ini! Semua hal buruk yang telah kulakukan padanya, dan tidak pernah sekalipun ia menghukumku atau berusaha menyakitiku. Kamu tahu, ia sama sekali bukan orang jahat yang demikian.” Dan maka Māra memperoleh keyakinan kepada Sang Buddha. Dengan seketika, Upagupta melepaskan ikatannya dan mayat itu menghilang. Māra, dengan semangat dari orang yang baru berubah keyakinan, menawarkan apa pun yang ia dapat lakukan untuk melayani Upagupta, yang tiada bandingnya dalam cara-cara yang terampil. Upagupta mengatakan bahwa satu-satunya penyesalannya adalah bahwa ia tidak hidup pada masa Sang Buddha, dan tidak pernah melihat wajah agung itu, yang sayangnya telah meninggal dunia. “Tetapi engkau, Māra,” ia berkata, “Engkau hidup pada masa Sang Buddha. Engkau sering melihatnya, dan pasti ingat wujudnya juga. Dan, engkau seorang yang tiada tandingnya dalam mengubah wujudmu. Sekarang dapatkah engkau, demi berterima kasih padaku karena melepaskan dirimu dari jalan kejahatan, mengambil wujud seorang Buddha yang tertinggi!” Māra terkejut. “Aku tidak dapat melakukan hal yang lancang demikian!” ia protes. Tetapi Upagupta memohon dan mendesak, sampai akhirnya Māra setuju, dengan satu syarat: bahwa ketika ia berubah wujud menjadi Sang Buddha, Upagupta tidak, dengan alasan apa pun, bersujud kepadanya. Bagaimana pun, ia hanyalah Māra. Upagupta setuju; tetapi ketika ia menyaksikan kemuliaan wujud Sang Buddha yang diciptakan Māra ia tidak dapat menahan dirinya – diliputi oleh rasa kagum ia jatuh ke tanah dan bersujud di hadapan Māra.

Mitos brilian ini mengisahkan dilema tajam yang mengoyakkan komunitas Buddhis: kerancuan penghormatan Sang Buddha, dengan pemujaan patung; dan paradoks menginginkan untuk mempertahankan selamanya pengajaran Sang Buddha yang berharga, suatu pengajaran yang pesan pentingnya adalah bahwa semua hal harus berlalu di bawah pengaruh dewa kematian dan ilusi. Kerancuan ini muncul berbeda antara penekanan Jātaka-Jātaka pada kontinuitas karakter dalam waktu, dengan kerinduan mereka atas kembalinya dan hubungan pribadi dengan “masa keemasan” Sang Buddha, dan teori-teori atomik, yang tampaknya nihilistik dalam aliran-aliran Abhidhamma. Terdapat celah yang melebar dalam kesadaran antara bentuk populer dan skolastik dari Buddhisme.

Adalah dalam Buddhisme rakyat yang bersifat pan-sektarian, yang jauh terpisah dalam semangat dari sektarianisme para cendikiawan Abhidhamma yang berselisih, bahwa ajaran Bodhisatta perlahan-lahan muncul, dengan semua implikasinya untuk sejarah Buddhis. Tetapi para cendikiawan Abhidhamma Theravāda, karena semua desakannya pada kesementaraan yang radikal, memperlihatkan suatu kegelisahan, yang hampir sama dengan kegilaan, dalam teks-teks mereka yang berulang kali secara obsesif, suatu upaya besar-besaran untuk membekukan Dhamma dalam suatu matriks dari dhamma-dhamma yang abstrak, tidak berkonteks, tidak berubah, dan tanpa pertumpahan darah.

16.4 Penguraian Abhidhamma dari Vibhaṅga

Kita telah menyelidiki perlakuan atas satipaṭṭhāna dalam Pengurain Sutta dari Vibhaṅga, suatu lapisan awal dari Abhidhamma Piṭaka. Sekarang kita berbalik pada bagian kedua dari perlakuan Vibhaṅga, Penguraian Abhidhamma.
Ini memperlakukan satipaṭṭhāna murni seperti yang ia muncul dalam “jhāna transendental” yang bersifat abhidhammik. Dicatat bahwa gagasan “jhāna transendental” disajikan di sini, lebih tepat, sebagai suatu ajaran abhidhamma yang khusus. Jadi akan salah, menurut Abhidhamma Piṭaka itu sendiri, untuk menafsirkan Sutta-Sutta dengan cara ini. Namun, ini memiliki hal yang menariknya dalam menunjukkan betapa dekatnya aliran Theravāda, pada tahapan awal ini, menyamakan satipaṭṭhāna dengan konsepsi mereka tentang jhāna. Bacaan dasarnya adalah suatu adaptasi dari penggambaran jhāna transendental dalam Dhammasaṅgaṇī.

“Bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh? Di sini, pada saat ketika seorang bhikkhu mengembangkan jhāna transendental – yang membawa keluar [dari samsara], membawa pembubaran [kelahiran kembali], untuk meninggalkan pandangan-pandangan yang merusak, untuk pencapaian tingkat pertama [yaitu pemasuk arus] – cukup terasing dari kesenangan-kesenangan indera, terasing dari kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama, yang memiliki awal & kelangsungan pikiran dan kegiuran & kebahagiaan yang lahir dari keterasingan, pada jalan praktek yang menyakitkan dengan pengetahuan jernih yang lamban merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh; pada saat itu perhatian, perenungan... perhatian benar, faktor pencerahan perhatian, faktor jalan, yang dimasukkan dalam sang jalan – inilah yang disebut satipaṭṭhāna. Dhamma-dhamma sisanya dihubungkan dengan satipaṭṭhāna.”[28]

Ini diulangi dengan variasi yang sesuai untuk berbagai jhāna, tahapan pencerahan, dst. Kebanyakan variasi tidak dinyatakan dalam teks. Keseluruh hal kemudian diambil sepanjang dua putaran – satu untuk sang jalan, satu untuk buahnya. Pengungkapannya sejanggal dalam bahasa Pali seperti dalam terjemahan, karena bacaan ini pada hakekatnya hanyalah percampuran istilah-istilah teknis dari berbagai sumber.

Terdapat sejumlah kontinuitas dan diskontinuitas dengan catatan-catatan yang lebih awal. Penggambaran dasar dari jhāna dan satipaṭṭhāna adalah identik dengan Sutta-Sutta. Hubungan dekat antara keduanya juga karakteristik dari Sutta-Sutta, walaupun mereka tidak menyamakan keduanya sangat sekomprehensif dengan yang di sini. Penyebutan jalan praktek yang menyakitkan adalah janggal. Dalam Sutta-Sutta ini berbeda dengan jhāna-jhāna; sementara akan merupakan suatu kesalahan untuk melihat hal ini dalam konteks Sutta-Sutta seperti menyatakan suatu jalan yang terpisah dari jhāna, ini tidak sesuai untuk menyebut jhāna itu sendiri “menyakitkan”. “Satipaṭṭhāna” itu sendiri didefinisikan hanya sebagai sati; yaitu, satipaṭṭhāna hanya merupakan tindakan subjektif dari perhatian. Dhamma-dhamma lain “dihubungkan dengan satipaṭṭhāna”. Ungkapan yang tampaknya tidak berbahaya ini menyatakan suatu tekanan yang mendasari dalam perkembangan suatu penafsiran abhidhammik atas satipaṭṭhāna; karena “penghubungan” (sampayutta) adalah suatu istilah teknis abhidhamma yang hanya diterapkan pada fenomena batin yang saling bergantungan, tetapi di sini dianggap termasuk tubuh juga. Lebih lanjut di bawah ini.

Theravāda kemudian menafsirkan “jhāna transendental” yang dibahas di sini dan sepanjang Abhidhamma Piṭaka sebagai suatu “saat pikiran” tunggal (cittakkhaṇa) yang bercahaya sesaat sebelum pencerahan. Namun, teks ini seharusnya tidak dibaca sehubungan dengan teori atomik tentang momen-momen yang akan mendominasi metafisika yang belakangan. Teori tentang momen-momen belum dikembangkan pada masa Abhidhamma Piṭaka. Satu-satunya referensi pada “momen-momen” dalam Abhidhamma Piṭaka adalah pada “momen kelahiran kembali” dalam Vibhaṅga.[29] Terdapat banyak konteks dalam Abhidhamma yang memperlakukan waktu dalam pengertian sehari-hari.[30] Seperti biasanya dalam metode historis, kita harus berusaha menafsirkan, bukan dengan melihat ke belakang melalui lensa tradisi yang belakangan, tetapi melihat ke depan melalui lensa tradisi yang lebih awal. Abhidhamma Piṭaka ditulis oleh dan dimaksudkan bagi mereka yang telah familiar dengan dunia-pemikiran dari ajaran-ajaran awal. Vinaya Piṭaka mengawali setiap bacaan dengan “Pada waktu itu..” (tena samayena); Sutta Piṭaka memiliki “Pada suatu ketika...” (ekaṁ samayaṁ); Abhidhamma Piṭaka menggunakan “Pada saat kapan pun...” (yasmiṁ samaye). Semua ungkapan ini memperlakukan waktu dalam suatu cara pengertian yang umum, yang tidak jelas. Perbedaannya bukanlah pada durasi waktu yang mereka gambarkan, tetapi bahwa Sutta-Sutta dan Vinaya bersifat konstekstual sedangkan Abhidhamma bersifat universal. Ungkapan-ungkapan Sutta dan Vinaya dimaksudkan untuk mendaratkan ajaran-ajaran pada waktu dan tempat, untuk meminjamkan mereka kekonkretan dan historisitas, dengan menekankan bagaimana mereka berlaku dan bermanfaat relatif pada konteks. Abhidhamma ingin membuat universal, mende-kontekstualisasi seraya ia berpindah menuju suatu kebenaran yang abstrak, yang mutlak.

Tidak ada dalam penggambaran jhāna transendental yang menyatakan bahwa ia dimaksudkan untuk diterapkan murni pada saat segera sebelum pencerahan, yang adalah penafsiran yang dikembangkan. Sebaliknya, bahasanya jelas menyatakan durasi; kata kerja Pali dari durasi, viharati (berdiam), disebutkan dua kali. Waktu diperlakukan dalam jhāna transendental dengan cara yang sama seperti jhāna biasa membawa pada kelahiran kembali. Bagi Vibhaṅga, “selama” “jalan” transendental, seseorang “berdiam” “merenungkan tubuh”, “berlatih, mengembangkan, membuat banyak” suatu “jalan praktek” yang dapat berupa “lamban” atau “cepat”, dan yang “membawa” pada pencerahan.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #69 on: 08 October 2014, 08:35:46 PM »
“Jhāna transendental” tidak berlawanan dengan “jhāna non-transendental” sehubungan dengan waktu, tetapi sehubungan dengan objek dan hasil. Perlakuan hasil adalah bersifat langsung – jhāna non-transendental membawa pada kelahiran kembali, jhāna transendental membawa pada pencerahan dan pembubaran kelahiran kembali.

Perlakuan objek bersifat lebih sulit. Bagi Dhammasaṅgaṇī, jhāna biasa didasarkan pada salah satu dari berbagai subjek meditasi seperti kasiṇa, kediaman luhur, jenazah, dst.[31] Jhāna transendental pada sisi lain didasarkan pada kekosongan, ketanpa-tandaan, atau ketanpa-nafsuan.[32] Tetapi Vibhaṅga membingungkan perbedaan itu. Masalah muncul karena Vibhaṅga ingin menerapkan gagasan jhāna transendental ke dalam berbagai sayap menuju pencerahan. Dari kelompok-kelompok itu, satipaṭṭhāna adalah satu-satunya yang menentukan objek meditasi. Akan menjadi sulit untuk menjelaskan bagaimana, dalam jalan dan buah transendental, seseorang “merenungkan tubuh”, karena objek dari jhāna transendental dianggap sebagai Nibbana. Tradisi-tradisi belakangan ragu-ragu atas yang satu ini; sub-komentar pada Vibhaṅga menyatakan penyebutan tubuh, perasaan, pikiran, dan dhamma di sini membedakan berbagai satipaṭṭhāna dengan cara pendekatan.[33] Ini menyatakan bahwa seseorang tidak secara harfiah merenungkan tubuh pada titik ini, tetapi bahwa perenungan terhadap tubuh telah menjadi faktor persiapan yang utama. Namun ini bukanlah apa yang dikatakan bacaan itu. Visuddhimagga menyatakan masalah itu demikian.

“Ketika mereka [yaitu 37 sayap menuju pencerahan] ditemukan dalam satu kesadaran tunggal dengan cara ini [yaitu pada momen sang jalan], hanya satu perhatian yang memiliki Nibbana sebagai objeknya disebut “empat satipaṭṭhāna” dengan kebajikan dari penyelesaian fungsinya meninggalkan gagasan keindahan, dst., sehubungan dengan tubuh, dst.”[34]

Ini rapi; tetapi lagi-lagi, ini bukanlah apa yang Vibhaṅga bicarakan. Vibhaṅga terjebak dalam suatu tahap perkembangan yang janggal. Tidak jelas apakah jhāna transendental adalah suatu jenis “vipassanā samādhi” (jika kita masih dapat meminjam istilah yang belakangan) di mana seseorang terserap dalam perenungan terhadap tubuh sebagai kosong dari diri, atau sebagai suatu pengalaman pencerahan. Dhammasaṅgaṇī telah memaksakan suatu pasak antara jhāna non-transendental dan jhāna transendental serta mengidentifikasi sang jalan dengan yang terakhir. Tetapi Abhidhamma Piṭaka tetap cukup tertutup pada dunia-pemikiran Sutta-Sutta di mana ia berusaha menerapkan konsepsi ini dengan konsisten. Tidak sampai metafisik yang matang sepenuhnya dari fase komentarial abhidhamma yang berkembang implikasi-implikasi dari terobosan ini dibuat eksplisit.

Hampir tidak perlu mengatakan bahwa, selain dari penyebutan tersendiri dari kata “kekosongan”, vipassanā sepenuhnya berada pada latar belakang selama penguraian ini. Bahkan “kekosongan” tidak dapat benar-benar bermakna vipassanā di sini, karena ia menerapkan hanya sebanyak pada buah sehubungan dengan sang jalan. Kenyataannya penyajian ini menekankan bagaimana jhāna adalah melekat pada gagasan satipaṭṭhāna itu juga seraya ia menuju jalan itu sendiri. Para penyusun Abhidhamma tampaknya telah memasukkan ke dalam hati perkataan Sutta bahwa “samādhi adalah jalannya”.

Sedemikian banyak keanehaan sehingga, bahwa gagasan yang belakangan tentang jhāna transendental, yang bersifat ortodoks dari masa Visuddhimagga, pada waktunya menjadi salah satu alat bantu konseptual kunci untuk merontakan kebutuhan untuk mempraktekkan jhāna sebagai bagian dari jalan mulia berunsur delapan, dengan menggantikan meditasi pandangan terang kering berdasarkan satipaṭṭhāna: seseorang hanya perlu memasuki saat-pikiran jhāna pada waktu realisasi itu sendiri. Ini bukan hanya suatu penyimpangan yang parah dari Sutta-Sutta; ini adalah suatu salah pengertian terhadap jalan transendental. Ini hanyalah jalan yang disempurnakan, puncak dan penyempurnaan dari berbagai praktek yang menjadikan perjalanan spiritual kita. Jhāna transendental bukanlah suatu non-jhāna, ia bukanlah sesuatu hal lain yang dapat digantikan untuk jhāna; ia adalah intisari jhāna yang ideal, yang muncul ketika praktek jhāna matang sesuai dengan sisa dari sang jalan.

16.5 Teks-Teks Abhidhamma Lainnya

Sepengetahuan saya, gagasan bahwa jhāna dapat bersifat tidak bermanfaat dari sang jalan pertama kali dinyatakan dalam Puggala Paññatti.[35] Walaupun kebanyakan bahan dalam karya Abhidhamma kecil ini berasal dari Aṅguttara Nikāya dengan hanya sedikit perubahan dan oleh sebab itu bersifat awal, di sini penggunaan semata-mata ajaran-ajaran abhidhammik menunjukkan bahwa gagasan-gagasan yang mendasari Dhammasaṅgaṇī pasti telah beredar ketika bacaan ini disusun. Ia menggambarkan empat orang yang disebutkan dalam Aṅguttara Nikāya.[36] Seseorang yang memperoleh “samatha dalam pikiran” tetapi tidak “vipassanā ke dalam prinsip-prinsip yang berhubungan dengan pemahaman yang lebih tinggi”. Seseorang yang kedua memiliki vipassanā tetapi tidak samatha, yang ketiga tidak memiliki keduanya, dan yang keempat memiliki keduanya. Aṅguttara menjelaskan samatha di sini sebagai memantapkan, menetapkan, menyatukan, dan mengkonsentrasikan pikiran dalam samādhi, yang sama dengan penjelasan Puggala Paññatti sebagai seseorang yang memperoleh pencapaian bentuk atau tanpa bentuk. Tetapi sementara Aṅguttara menjelaskan vipassanā sebagai melihat, menjelajahi, dan memahami aktivitas-aktivitas, Puggala Paññatti mengatakan tentang seseorang yang memiliki jalan dan buah transendental. Ini tidak sesuai – kotbah itu sangat jelas mengatakan tentang penyelidikan kontemplatif atas fenomena yang berkondisi. Bagi Sutta-Sutta, baik samatha dan vipassanā harus dikembangkan dan hanya setelah itu seseorang akan memasuki sang jalan.[37] Tetapi jika seseorang telah memiliki pencapaian transendental, mengapa bersusah payah mengembangkan hanya jhāna biasa? Suatu ketidaksesuaian yang lebih jauh adalah bahwa jalan dan buah transendental, seperti yang telah kita lihat, selalu digambarkan dalam Abhidhamma sehubungan dengan jhāna, tetapi di sini seseorang dapat memperoleh sang jalan dan buah tanpa memiliki “samatha dalam pikiran”. Bacaan itu tidak menjelaskan bagaimana seseorang dapat memperoleh jhāna transendental tanpa jhāna non-transendental; dan penghilangan ini dibuat bahkan lebih ditunjukkan ketika kita memperhatikan bahwa bacaan pendek ini mengikuti dengan dekat suatu penguraian terperinci dari pelatihan bertahap, yang menyajikan jhāna-jhāna persis dalam jantung dari sang jalan, seperti halnya dalam Sutta-Sutta.[38]

Pembahasan berikutnya tentang satipaṭṭhāna adalah dalam Kathāvatthu, sebuah karya perdebatan dari aliran Theravāda yang didedikasikan untuk menyanggah pandangan-pandangan salah dari aliran-aliran Buddhisme yang lain. Ini adalah kitab terbaru dari Abhidhamma Piṭaka. Suatu perdebatan muncul, tampaknya disebabkan pada kerancuan yang kita catat di atas antara makna normal, yang subjektif dari satipaṭṭhāna (“tindakan menegakkan perhatian”) dan pengertian objektif dalam satu kotbah yang berhubungan dengan vipassanā (“hal-hal di mana perhatian ditegakkan”). Orang yang keliru menyatakan bahwa semua dhamma adalah satipaṭṭhāna. Pandangan ini dianggap berasal dari Andhaka (Mahāsaṅghika), dan juga dianut oleh Sarvāstivādin dan Mahīśāsaka. Theravādin sangat tepat menunjukkan ketidaksesuaian: empat satipaṭṭhāna hanya terwujud dengan kemunculan seorang Buddha; jika tidak ada Buddha bukankah semua dhamma akan lenyap? Jika segala hal adalah satipaṭṭhāna, maka apakah semua makhluk mempraktekkan satipaṭṭhāna?

Kitab berikutnya yang akan diselidiki adalah Paṭisambhidāmagga. Ini adalah sebuah risalah tentang jalan praktek dari perspektif Theravādin. Gayanya mirip dengan Abhidhamma Piṭaka, tetapi ia dimasukkan dalam Khuddaka Nikāya dari Sutta Piṭaka. Namun penyusunan terakhirnya adalah sekitar tahun 100 SM, yang membuatnya lebih belakangan daripada bagian terbesar dari Abhidhamma Piṭaka. Bhikkhu Nyanatiloka menyimpulkan untuk menempatkan Paṭisambhidāmagga lebih belakangan daripada Abhidhamma. Dan sesungguhnya, perlakuan terhadap satipaṭṭhāna menyatakan hal ini.

Bagian tentang tubuh memberikan suatu daftar unik: tanah, air, api, udara, rambut kepala, rambut tubuh, kulit luar, kulit dalam, daging, darah, urat, tulang, dan sumsum tulang. Perasaan hanyalah perasaan yang menyenangkan, menyakitkan, dan netral; dengan demikian “perasaan-perasaan spiritual” yang berhubungan dengan jhāna tidak disebutkan. Pikiran sama seperti dalam Satipaṭṭhāna Sutta, dengan penambahan enam jenis kesadaran indera; kita telah melihat bahwa perlakuan atas citta sehubungan dengan viññāṇa dalam satipaṭṭhāna memberi sinyal suatu pergeseran dari samatha ke vipassanā. Namun dalam bagian yang berhubungan dengan ānāpānasati, pikiran didefinisikan dengan suatu daftar sinonim yang diambil dari Dhammasaṅgaṇī. Dhamma-dhamma adalah semua dhamma selain tubuh, perasaan, dan pikiran; atau, dalam bagian ānāpānasati, suatu daftar dari 201 dhamma diturunkan dari awal Paṭisambhidāmagga. Kedua hal ini mirip dengan konsepsi dhamma yang berkembang yang ditemukan Mahā Satipaṭṭhāna Sutta, Dharmaskandha, dan Śāriputrābhidharma. Posisi Paṭisambhidāmagga dengan demikian sangat mirip dengan pandangan salah yang telah disanggah dalam Kathāvatthu.

Paṭisambhidāmagga keluar dari dilema itu dengan cara argumentasi yang samar-samar. Tubuh (dst.) adalah suatu penegakan, tetapi bukanlah perhatian; perhatian adalah baik suatu penegakan dan perhatian. Penyelesaiannya adalah suatu cara menghindari menghilangkan bahwa gagasan menganggap satipaṭṭhāna sebagai objek adalah sangat tidak sesuai. Ia menjelaskan kenyataan bahwa “penegakan” dan “perhatian” adalah semi-sinonim;[39] dan ia terdampar dalam konteks satipaṭṭhāna keempat: setidaknya satu dhamma adalah perhatian, yaitu faktor pencerahan perhatian. Perhatikan bahwa konteks yang menekankan aspek samatha dari satipaṭṭhāna – kebanyakan dari Sutta-Sutta dan Vibhaṅga Abhidhamma – memperlakukan satipaṭṭhāna murni bersifat subjektif, sedangkan konteks yang menekan aspek vipassanā – Vibhaṅga Sutta Saṁyutta dan Paṭisambhidāmagga – menyebutkan penafsiran yang bersifat objektif.

Paṭisambhidāmagga hampir membawa pada penyelesaian proses “me-vipassana-kan” satipaṭṭhāna. Pada awalnya satipaṭṭhāna terutama adalah samatha, jalan mencapai jhāna. Kemudian vipassanā terlihat muncul melalui pemahaman proses samādhi dalam perenungan terhadap dhamma saja. Kemudian, bagi seseorang yang telah berkembang dalam semua keempat satipaṭṭhāna, vipassanā diperkenalkan sebagai suatu cara lanjutan untuk merenungkan mereka.[40] Langkah berikutnya adalah menyisipkan vipassanā setelah masing-masing dari keempat bagian.[41] Dalam Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda ia menjadi melekat pada akhir dari masing-masing latihan dalam keempat bagian. Akhirnya dalam Paṭisambhidāmagga, masing-masing item dalam setiap bagian (“tanah”, “air”, dst.) direnungkan dari awal sehubungan dengan ketidakkekalan, penderitaan, bukan-diri, kejenuhan, lenyapnya, berakhirnya, dan pelepasan. Hasil akhir dari proses ini akan mengecilkan atau membuang keempat objek awal satipaṭṭhāna seluruhnya, mengabstrakkan aspek vipassanā dari satipaṭṭhāna yang merupakan inti praktek, dan memperlakukan satipaṭṭhāna semata-mata sebagai perenungan ketidakkekalan, dst., pada fenomena yang beranekaragam. Langkah ini diambil pada tingkatan berikutnya dalam literatur abhidhamma/komentar.

Terdapat sedikit referensi tentang satipaṭṭhāna dalam karya parakanonik Peṭakopadesa. Ini adalah sebuah risalah tentang teknik-teknik penafsiran, yang sejajar dengan Netti, dan berasal dari masa yang tidak pasti. Satipaṭṭhāna secara beraturan diperlakukan sebagai vipassanā, dengan menggunakan metode memperlawankan empat satipaṭṭhāna terhadap empat penyimpangan. Namun, satipaṭṭhāna, atau lebih tepatnya unsur kedua dari kata majemuk, upaṭṭhāna, disebutkan di bawah definisi samatha. Kata paṭṭhāna juga dimasukkan; walaupun ini bukan secara etimologis unsur kedua dari kata “satipaṭṭhāna”, komentar-komentar memperlakukannya sebagai demikian, sehingga ia mungkin dimaksudkan untuk membentuk satipaṭṭhāna di sini. Ini bukanlah salah satu dari definisi-definisi standar seperti yang ditemukan dalam Dhammasaṅgaṇī atau Paṭisambhidāmagga, dan tampaknya bersifat unik pada Peṭakopadesa. Ia mulai dengan serangkaian kata yang dibentuk dari √sthā, “berdiri”. Di sini terdapat suatu upaya untuk menyajikan kembali efeknya dalam bahasa Inggris:

“Apa pun, dari pikiran, yang berdiri tegak, mantap, stabil, tetap, pendirian [paṭṭhāna], penegakan [upaṭṭhāna], samādhi, mengkonsentrasikan, tanpa-gangguan, tanpa-pembubaran, ketenangan pikiran, keterpusatan pikiran; ini adalah samatha.”[42]

Saya akan menyebutkan secara singkat di sini Vimuttimagga, suatu risalah komentar yang merupakan model bagi Visuddhimagga. Ia hanya menyebutkan satipaṭṭhāna di bawah ānāpānasati, tidak menambahkan sesuatu yang baru. Namun, ia memperkenalkan suatu konsep baru, jalan “vipassanā kering”, yang menarik perhatian dengan ketiadaannya dari Sutta-Sutta dan keunggulannya dalam meditasi yang baru-baru ini. Namun, ini tidak berhubungan dengan satipaṭṭhāna.

Catatan Kaki:

[1] MN 111.

[2] MN 148/MA 86.

[3] Watanabe, hal. 54.

[4] MN 28/MA 30. Informasi berikutnya berasal dari Bhikkhu Anālayo (makalah yang tidak diterbitkan).

[5] MN 28.6.

[6] MN 28.9.

[7] MN 28.27.

[8] Untuk membantu perbandingan, di sini kesejajaran dengan Pali adalah dekat dan jelas yang saya gantikan dengan terjemahan yang lebih saya sukai sendiri dari istilah-istilah teknis untuk istilah-istilah yang diberikan oleh Minh Châu. Di sini dan di tempat lain Mandarin secara beraturan memiliki “pengetahuan benar”, yang jelas pembacaan  sammā ñāṇa alih-alih Pali sampajañña.

[9] Cp. AN 5.24, 5.168, 6.50, 7.61, 8.81, 10.3–5, 11.3–5.

[10] Mandarin memiliki “landasan-telinga”.

[11] Mandarin memiliki “menerima dan mendengarkan dhamma”.

[12] Mandarin memiliki “perenungan dengan kesabaran”, yang jelas salah terjemahan dari nijjhānakkhanti. Khanti dalam pengertian ini tampaknya disalahpahami di sepanjang tradisi Mandarin, yang membawa pada suatu pergeseran tersendiri dalam banyak bacaan.

[13] Mungkin yoniso manasikāra, “memberikan perhatian pada akarnya”.

[14] Cp. MN 95.

[15] Cp. SN 12.23.

[16] Mungkin suatu kebingungan yang berasal dari ungkapan kāyena phusati, “seseorang secara pribadi menghubungi”.

[17] Mandarin memiliki “memikirkan karakteristiknya”, yang jelas dari nimittaṁ manasikaroti.

[18] Kasiṇāyatana.

[19] Kebanyakan dari poin-poin ini dibahas lebih lengkap dalam Minh Châu.

[20] MN 32.

[21] MA 184.

[22] Lihat misalnya Li , Bab 8.

[23] DN 16.3.1.

[24] MN 31/MA 185 Cūḷagosiṅga; MN 25/ MA 178 Nivāpa; MN 99/MA 152 Subha.

[25] MN 82/ MA 132 Raṭṭhapāla.

[26] MN 75/MA 153 Māgandiya, MN 99/MA 152 Subha.

[27] Kośa 6.19d.

[28] Vibhaṅga hal. 374.

[29] Vibhaṅga pp. 411ff.

[30] Misalnya Dhs 597, 636, 642–646, 1115, 1366.

[31] Di sini kita melihat gerakan menuju peningkatan kasiṇa dari ketidakjelasan dalam Sutta-Sutta menuju keunggulan dalam Visuddhimagga.

[32] Kita telah menemukan di atas sebuah bacaan Sutta di mana konsentrasi tanpa tanda jelas dibedakan secara berbeda dari satipaṭṭhāna (SN 22.80), walaupun tidak jelas apakah hal-hal ini memiliki makna yang sama dalam Abhidhamma; perlakuan meditasi-meditasi ini dalam Sutta-Sutta agaknya tidak jelas dan berubah-ubah.

[33] Mūla Ṭīkā Be (1960) to Vibh-A 287; dikutip dalam Gethin hal. 323.

[34] Vsm 22.40.

[35] PP 4.187.

[36] AN 4.94.

[37] AN 4.170.

[38] PP 4.177ff.

[39] Lihat Vsm 20.120.

[40] SN 47.40.

[41] SN 52.2, dan pada beberapa MES yang diperluas.

[42] Peṭakopadesa 6.64.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #70 on: 10 October 2014, 06:39:26 PM »
Bab 17
Buddhisme Belakangan

Marilah kita menyelesaikan perjalanan kita dengan peninjauan singkat beberapa pernyataan tentang perhatian dalam teks-teks Buddhis yang belakangan. Daya tarik utama terletak pada baris-baris kelanjutan antara perspektif tentang satipaṭṭhāna yang dikembangkan dalam esai ini dan tradisi-tradisi yang belakangan.

17.1 Komentar-Komentar Theravāda

Bahan tentang satipaṭṭhāna ditemukan dalam komentar-komentar untuk Satipaṭṭhāna-saṁyutta dan Satipaṭṭhāna Sutta dalam Majjhima dan Dīgha, serta Vibhaṅga. Satipaṭṭhāna Sutta mendapatkan komentar yang luas, tetapi karena ini telah diterjemahkan ke bahasa Inggris dan gagasan-gagasannya ditemukan dalam banyak buku modern, saya akan membahasnya hanya secara singkat di sini.[1]

Tetapi pertama-tama saya akan melirik pada komentar Saṁyutta. Seperti bahan dalam Saṁyutta Nikāya/Āgama itu sendiri, ini lebih ringkas daripada komentar Satipaṭṭhāna Sutta, dan telah hanya mendapatkan sedikit perhatian. Tetapi untuk alasan ini ia menarik.

Seringkali komentar Saṁyutta akan memberikan penjelasan singkat untuk kata atau ungkapan tertentu. Majjhima akan mengulangi persis ungkapan yang sama, tetapi kemudian memberikan penguraian yang lebih panjang. Ini menyatakan bahwa komentar Majjhima mewakili suatu tahap perkembangan yang belakangan. Kedua komentar menyebutkan tempat-tempat atau orang-orang di Sri Lanka, tetapi Saṁyutta kurang sering, yang menyebabkan saya berpikir apakah ia lebih dekat dengan komentar India di mana tradisi menyatakan ia berasal.

Satu bacaan menyebutkan sejumlah Sesepuh memberikan pendapat yang berbeda-beda tentang apa yang dimaksud “satipaṭṭhāna”, “faktor-faktor pencerahan”, dan “pencerahan sempurna”. Semua Sesepuh itu menyamakan satipaṭṭhāna di sana dengan vipassanā; tetapi vipassanā tidak disebutkan dalam definisi satipaṭṭhāna pada awal komentar.
Referensi Satipaṭṭhāna-saṁyutta pada samādhi dijelaskan dengan menggunakan istilah komentarial yang sesuai “samādhi sementara” dan “samādhi permulaan”.

Berpindah ke komentar Satipaṭṭhāna Sutta Majjhima Nikāya, ia membahas masing-masing aspek satipaṭṭhāna dalam suatu penguraian yang terperinci mengunakan perlengkapan yang telah berkembang dari sistem abhidhammik dan komentarial yang telah matang. Versi-versi yang serupa diberikan untuk Satipaṭṭhāna Sutta dan Vibhaṅga Abhidhamma. Komentar Vibhaṅga tidak memberikan penjelasan tentang mengapa bahan satipaṭṭhāna di sana jauh lebih pendek daripada Satipaṭṭhāna Sutta; kadangkala ia menunjuk pada bahan Sutta, seperti contohnya ketika ia mengatakan tentang “14 jenis perenungan tubuh”, yang mungkin menunjukkan peminjaman dari komentar Sutta.

Terdapat penekanan yang kuat pada vipassanā seluruhnya; namun demikian, perspektif samatha tidak sepenuhnya diabaikan. Ketika menganjurkan pendekatan untuk jenis-jenis watak yang berbeda, tubuh dan perasaan dinyatakan untuk para yogi samatha, sedangkan pikiran dan dhamma sesuai untuk para yogi vipassanā.[2] Tetapi ia melanjutkan bertentangan dengan dirinya sendiri dengan menyatakan bahwa, sementara perenungan terhadap tubuh berhubungan dengan samatha dan vipassanā, tiga sisanya berhubungan dengan pandangan terang murni saja. Penyebutan perenungan terhadap pikiran sebagai hanya vipassanā tidak sesuai, karena komentar itu sendiri setuju bahwa dalam istilah dalam perenungan pikiran menunjuk pada jhāna.

Pada satu tempat, komentar mengatakan bahwa “perhatian” berarti samatha sedangkan “pemahaman jernih” berarti vipassanā.[3]

Dalam pembahasan tentang ānāpānasati ia mengatakan bahwa “empat jhāna muncul dalam tanda pernapasan. Setelah bangkit dari jhāna, ia tidak menggenggam baik napas ataupun faktor-faktor jhāna [untuk mengembangkan vipassanā]”.[4]

Bagian tentang pemahaman jernih memiliki potongan anjuran yang menarik untuk para yogi yang terlalu bersemangat:
Dalam hal ini, seseorang yang mengalami rasa sakit dalam setiap saat disebabkan oleh berdiri lama dengan tangan atau kaki yang dilekukkan atau direntangkan tidak mendapatkan konsentrasi pikiran, subjek meditasinya sepenuhnya menjauh, dan ia tidak mendapatkan pembedaan (jhāna dan seterusnya). Tetapi ia yang melekukkan atau merentangkan anggota tubuhnya selama waktu yang sesuai tidak mengalami rasa sakit, mendapatkan konsentrasi pikiran, mengembangkan subjek meditasinya, dan mencapai pembedaan.[5]

Sub-komentar menambahkan beberapa poin menarik:

Perhatian merupakan samādhi, juga, di sini dikarenakan dimasukkannya perhatian dalam kelompok samādhi.[6]
Kebingungan adalah keadaan pikiran yang, karena berputar-putar dalam berbagai objek, melompat dari satu hal ke hal lain, bermacam-macam arah, dan tidak menyatu.[7]

Jika kebijaksanaan tidak begitu kuat dalam pengembangan konsentrasi, tidak akan ada sebab pencapaian kontemplatif.[8]

Dengan demikian komentar dan sub-komentar, walaupun menekankan vipassanā, menyadari aspek samatha dari satipaṭṭhāna.

17.2 Perkembangan dalam Sarvāstivāda

Yang Mulia Śāṇakavāsin, guru pembimbing Yang Mulia Upagupta, patriark yang paling terkenal dari Sarvāstivāda, adalah seorang meditator hutan:[9]

“Berpakaian dari jubah rami
Aku telah mencapai lima tingkat jhāna.[10]
Duduk dalam jhāna di antara puncak-puncak gunung,
Dan lembah-lembah yang sunyi, aku bermeditasi.”[11]

Upagupta sendiri mengambil alih vihara Śāṇakavāsin di Gunung Urumuṇḍa, yang disebut “wilayah hutan yang terkemuka dari Sang Buddha, yang tempat berdiamnya bermanfaat bagi samatha.”[12] Para pertapa ini mewujudkan tradisi hutan yang keras – mengenakan kain rami yang usang, tinggal di dalam gunung dan hutan-hutan yang jauh, tidak dapat diprediksi, kadangkala digambarkan dengan rambut dan janggut panjang: para bhikkhu liar. Gaya hidup ini menginspirasi Mahāyāna awal, yang memulai sebagai suatu pergerakan “kembali-ke-alam” dari para yogi non-konvensional yang, sebagai “para bodhisattva”, mengambil sebagai inspirasi utama mereka pada gaya hidup meditatif, yang bersifat pertapa dari sang Bodhisattva. Pergerakan reformasi demikian berkembang dari waktu ke waktu sebagai tanggapan pada kecenderungan agama-agama yang terurbanisasi dan menjadi kaku.

Suatu perbedaan dalam perlakuan terhadap perhatian dalam Sarvāstivāda dan Theravāda dibuktikan dalam Abhidhamma mereka masing-masing. Bagi Theravādin, perhatian merupaka suatu kualitas mental yang secara eksklusif bermanfaat; ia tidak dapat muncul bersama dengan keadaan mental yang tidak bermanfaat. Ini meninggalkan suatu celah yang tidak menyenangkan. Walaupun pernyataannya secara sistematis memberikan daftar semua faktor mental, Abhidhamma Theravāda tidak memiliki istilah untuk memori. Jika sati berarti memori, ini akan berarti bahwa seseorang tidak dapat memiliki memori dari keadaan mental yang tidak bermanfaat, yang, sialnya, semuanya terlalu jelas bukan seperti itu. Yang Mulia Nyanaponika mungkin adalah ābhidhammika pertama yang memperhatikan keganjilan ini; ia menyatakan saññā dapat melakukan fungsi memori. Tetapi walaupun saññā memiliki beberapa hubungan dengan memori, ia tidak digunakan dalam pengertian yang dibutuhkan dari “ingatan”. Saññā selalu hadir dalam kesadaran, ingatan tidak.
Posisi problematis dari Theravādin berkembang dari keinginan untuk mengagungkan fungsi perhatian. Sarvāstivādin, dengan tanpa agenda demikian, gembira mengambil referensi Sutta pada “perhatian salah” secara harfiah dan memperlakukan sati sebagai baik dan buruk. Dalam kesepahaman umum dengan tradisi-tradisi India, mereka memperlakukan sati sebagai “tidak lupa” atau “ingatan” terhadap objek, seperti di sini, “pengulangan” dari objek yang membawa pada tanpa-kebingungan. Penggambaran ini menyatakan dimensi samatha dari perhatian.

Kita telah membahas secara rinci perlakuan satipaṭṭhāna dalam Dharmaskandha, yang mencatat hubungan dan perbedaan dengan Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda. Walaupun Dharmaskandha membentuk dasar-dasar untuk Abhidhamma kanonik dari aliran itu, Jñānapraṣṭhāna yang berukuran besar membentuk puncaknya.[13] Karya ini mencakup semua bidang Abhidhamma dalam ruang lingkup yang sangat luas; dalam pengertian ini ia tidak memiliki analogi yang dekat dalam Abhidhamma Theravāda. Ia disusun pada sekitar periode penutup Abhidhamma kanonik.

Bab tentang satipaṭṭhāna mengandung beberapa pengutipan secara harfiah dan beberapa komentar. Bagian tentang perenungan tubuh terutama diberikan pada empat jhāna. Ini aneh, dan tentu menunjukkan bahwa bacaan ini tidak bergantung pada Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda, alih-alih teks pra-sektarian mana pun, atau bahkan Dharmaskandha. Bagian-bagian tentang perasaan dan pikiran juga mirip dengan Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda. Perenungan dhamma memasukkan lima rintangan, enam alat indera dengan belenggu, dan tujuh faktor pencerahan. Di sini isinya sama dengan kedua sumber Sarvāstivāda yang lebih awal, tetapi urutannya hanya digunakan bersama dengan Dharmaskandha, sedangkan Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda menempatkan alat indera pada awal bagian ini, yang kurang meyakinkan. Bagaimana pun, kita dapat menegaskan bahwa Jñānapraṣṭhāna didasarkan pada Madhyama Āgama yang ada, yang menambahkan rincian lain pada bukti bahwa ini sebenarnya suatu kumpulan Sarvāstivādin. Juga penekanan Sarvāstivādin pada jhāna sebagai suatu bagian utama dari satipaṭṭhāna, khususnya perenungan tubuh, berlanjut sepanjang periode ini.

Ini membuat posisi teks kita berikutnya agak mengejutkan. Frauwallner memiliki pembahasan yang menarik tentang sebuah teks Sarvāstivāda, Abhidharmasāra oleh Dharmaśrī. Risalah pasca-kanonik ini adalah salah satu dari sistem Abhidharma paling awal, dan banyak dari ciri khasnya diambil oleh Abhidharmakośa yang belakangan dan bahkan Mahāyāna. Di sini beberapa komentar Frauwallner.

Jika kita sekarang membandingkan ini [penjelasan Sutta tentang satipaṭṭhāna] dengan penjelasan Dharmaśrī, mengejutkan bahwa bahkan dengan menganggap ringkasan dari yang terakhir, tidak ada kesesuaian individual. Perenungan tubuh sebagai tidak murni, tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri adalah penting dalam catatan Dharmaśrī sebagai persiapan untuk apa yang berikutnya, tetapi ia tidak memiliki padanannya dalam Satipaṭṭhāna Sutta. Perlakuan perenungan dhamma juga sepenuh berbeda… Tidak ada pertanyaan [dalam Satipaṭṭhāna Sutta] tentang penyatuan objek-objek dari semua satipaṭṭhāna dan perenungannya sebagai tidak kekal, kosong, bukan-diri, dan penderitaan seperti dalam karya Dharmasri. Namun ia penting dalam yang terakhir sebagai persiapan untuk apa yang berikutnya. Dalam keadaan ini ia akan tampak membenarkan untuk menganggap penggunaan satipaṭṭhāna dalam ajaran baru hanyalah sebagai suatu cara memperoleh suatu titik awal kanonik di mana ajaran baru dapat dihubungkan dan di mana ia dapat sejauh mungkin diturunkan.

... Dalam kanon, pencapaian kesadaran yang terbebaskan dan dengan demikian pelenyapan kekotoran-kekotoran didasarkan pada masuknya ke dalam keadaan jhāna.

Dalam versi ajaran baru Dharmaśrī tidak ada penyebutan hal ini. Tanpa penghentian satipaṭṭhāna, akar-akar bermanfaat, dan jalan penglihatan yang mengikuti satu sama lain tanpa penyebutan apa pun yang dibuat untuk masuk ke dalam meditasi [jhāna]... Ini adalah suatu inovasi yang radikal.[14]

Satu-satunya penyebutan jhāna dalam sistem Abhidharmasāra adalah “dhamma non-transendental puncak” (laukikagrādharma). Ini muncul, sebagai “yang tidak kembali”, “interval jhāna”, atau empat “jhāna akar” selama satu momen saja, segera sebelum pengalaman pencerahan. Dengan demikian, walaupun penamaan yang berbeda, “dharma non-transendental puncak” ini memenuhi fungsi yang sama dalam sistem Sarvāstivāda sebagai “jhāna transendental” dari Theravāda: untuk mempertahankan suatu kelanjutan istilah dengan Sutta-Sutta kuno sementara mengajarkan ajaran yang benar-benar baru.

Adalah sulit untuk memahami bagaimana perlakuan satipaṭṭhāna itu dapat berubah sangat banyak dalam suatu masa yang singkat. Karya kanonik utama Jñānaprasthāna memperlakukan perenungan tubuh terutama sebagai empat jhāna; kemudian lapisan paling awal dari literatur pasca-kanonik, yang disusun kira-kira pada periode yang sama, memperlakukan perenungan tubuh sebagai vipassanā sesungguhnya. Saya mencurigai bahwa jawabannya terletak pada cara dan fungsi dari penyajian satipaṭṭhāna dalam keseluruhan kerangka, dan harus dicari dalam studi kontekstual yang lebih rinci dari karya-karya ini.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #71 on: 10 October 2014, 06:49:13 PM »
17.3 Abhidharmakośa

Karya klasik Vasubandhu Abhidharmakośa (abad ke-4 M) menyajikan suatu penjelasan yang jernih dan menyeluruh tentang bidang Abhidharma Sarvāstivāda dari sudut pandang seorang penulis yang tidak menganut aliran itu, melainkan seorang Sautrāntika.

Kośa mendefinisikan satipaṭṭhāna bukan sebagai “perhatian”, tetapi sebagai “pemahaman” (paññā). Sarvāstivādin sampai pada definisi ini dengan mengambil istilah anupassanā untuk menyatakan inti dari satipaṭṭhāna. Kita telah melihat bahwa Theravādin sepaham dalam menganggap anupassanā sebagai “pemahaman”, tetapi mereka masih memperlakukan satipaṭṭhāna itu sendiri sebagai perhatian, bukan kebijaksanaan.

Di sini Sarvāstivādin bertabrakan dengan ketidakjelasan. Mereka harus menyimpulkan bahwa satipaṭṭhāna termasuk, bukan dalam faktor jalan dari perhatian benar, tetapi dengan pandangan benar; bukan dalam kemampuan spiritual dari perhatian, tetapi dalam pemahaman.[15] Masalah yang sama harus muncul bagi siapa pun yang menyamakan satipaṭṭhāna dengan vipassanā - satipaṭṭhāna sebagai kemampuan, kekuatan, faktor pencerahan, atau faktor jalan selalu dibedakan dari pemahaman, dan ketika faktor-faktor itu dikelompokkan bersama, ia dimasukkan dalam samādhi.

Namun, suatu peninjauan yang lebih dekat menyatakan bahwa masalahnya hanyalah kebingungan istilah. Penggambaran jalan menurut Sarvāstivāda, yang kemudian diambil oleh Mahāyānis juga, jatuh ke dalam lima tahap: jalan persiapan, pencapaian, penglihatan, pengembangan, dan ahli. Rangkuman yang sangat sederhana cukup untuk tujuan kita. Jalan persiapan termasuk semua tahapan awal pelatihan bertahap dari mempelajari ajaran, etika, dst., sampai jhāna; jalan pencapaian adalah vipassanā; penglihatan adalah pemasuk arus; pengembangan adalah pengembangan lebih jauh dari jalan mulia berunsur delapan oleh para orang mulia; dan ahli adalah tingkat Arahant. Dalam jalan persiapan pendekatan meditasi dicontohkan dengan ānāpānasati untuk memotong pemikiran dan kejijikan bagian-bagian tubuh untuk mengusir nafsu.[16] Ini diperlakukan terutama sebagai samatha; kejijikan secara khusus dikatakan bukan sebagai ketidakkekalan, dst.[17] Walaupun demikian, ānāpānasati didefinisikan sebagai “pemahaman”.[18] Definisi dari ānāpānasati dan satipaṭṭhāna sebagai “pemahaman” mencerminkan perlakuan yang sangat luas atas pemahaman dalam teori Sarvāstivādin. Jhāna itu sendiri juga didefinisikan sebagai “pemahaman”, dan dikatakan untuk memiliki samatha dan vipassanā dipasangkan bersama.[19] Jelas dalam konteks-konteks demikian kita harus menganggap “pemahaman” dalam pengertian “kewaspadaan jernih”, yang telah kita lihat adalah suatu tema yang menonjol dalam konteks-konteks ini dalam Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama juga.

Anehnya, Kośa mengatakan bahwa ānāpānasati dilatih dengan perasaan netral, karena:

... perasaan menyenangkan dan menyakitkan disukai oleh pemikiran; dengan demikian ānāpānasati, yang adalah lawan dari pemikiran, tidak dapat dihubungkan dengan perasaan menyenangkan atau menyakitkan. Pada sisa lain, dua sensasi yang disenangi [kegiuran & kebahagiaan dari jhāna, tampaknya] membentuk suatu rintangan pada penerapan pikiran pada objek apa pun, dan ānāpānasati hanya dapat direalisasi dengan penerapan ini.[20]

Saya tidak mengetahui bagaimana Vasubandhu dapat sampai pada kesimpulan ini, yang tampaknya sangat berbeda dari Sutta-Sutta dan dari pengalaman meditatif.[21] Bagian berikutnya sama anehnya. Sementara bagi Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama ānāpānasati dan perenungan tubuh adalah bagian dari satipaṭṭhāna, di sini mereka dianggap hanyalah permulaan.

Kita telah mengatakan tentang dua ajaran, visualisasi kejijikan tubuh dan ānāpānasati. Setelah mencapai samādhi dengan dua pintu gerbang ini, sekarang dengan suatu pandangan untuk merealisasi pandangan terang... Setelah mencapai ketenangan, ia akan berlatih satipaṭṭhāna.[22]

Dengan demikian satipaṭṭhāna diidentifikasi secara khusus dengan pandangan terang yang dikembangkan pada landasan jhāna. Dalam hal ini posisi Kośa sangat berbeda dari Abhidharmasāra, yang menghilangkan jhāna sepenuhnya untuk digantikan oleh vipassanā. Vipassanā satipaṭṭhāna berlanjut dengan melihat masing-masing dari empat satipaṭṭhāna sehubungan dengan “inti intrinsik” mereka, dan juga sehubungan dengan karakteristik umum mereka sebagai tidak kekal, dst. Namun teks berbicara sedikit tentang inti intrinsik, hanya mendefinisikan tubuh sebagai unsur-unsur utama dan materi turunan, dan dhamma sebagai segala sesuatu yang bukan ketiga lainnya; anehnya, perasaan dan pikiran dihilangkan. Pusat perhatian jelas pada karakteristik umum, dan ini sering disebutkan hanya sehubungan dengan dhamma.[23] Dengan demikian satipaṭṭhāna dalam Kośa hampir mengabaikan latihan-latihan dasar dari Sutta-Sutta dan memperlakukan satipaṭṭhāna hanya sehubungan dengan aspek vipassanā. Namun ini sebagian hanyalah perubahan dalam ungkapan, karena vipassanā satipaṭṭhāna ini diambil hanya setelah samādhi yang berdasarkan pada ānāpānasati atau perenungan bagian-bagian tubuh, dan jadi bukan “pandanga terang kering”.

Kita dapat melihat gema dari nilai penting yang lebih awal dari satipaṭṭhāna juga. Empat satipaṭṭhāna dikatakan harus diambil secara berurutan, karena:

... seseorang melihat pertama kali bahwa mana yang paling kasar. Atau alih-alih: tubuh adalah sokongan bagi keinginan indera, yang memiliki asal mulanya dalam nafsu atas perasaan; perasan ini muncul karena pikiran tidak ditenangkan, dan pikiran tidak ditenangkan karena kekotoran-kekotoran tidak ditinggalkan.[24]

Atau dalam konteks kemampuan spiritual:

Untuk mencapai hasil di mana seseorang memiliki keyakinan, seseorang membangkitkan semangat. Ketika berusaha keras, terdapat penegakan perhatian. Ketika perhatian ditegakkan, seseorang memantapkan pikiran [dalam samādhi] untuk menghindari gangguan. Ketika pikiran menjadi mantap, muncullah suatu kesadaran yang menyesuaikan dengan objek [paññā].[25]

Penguraian tentang jalan praktek dalam Kośa jatuh ke dalam kebingungan ketika ia berusaha memperlakukan berbagai kerangka seperti satipaṭṭhāna dan sayap-sayap menuju pencerahan lainnya sebagai tahap yang berbeda di sepanjang sang jalan, alih-alih masing-masing memberikan perspektif pelengkap pada sang jalan sebagai keseluruhan. Kośa memberikan dua penjelasan alternatif dari pengembangan progresif atas 37 sayap menuju pencerahan. Namun kedua urutan ini menempatkan satipaṭṭhāna sebelum samādhi, dengan demikian mempertahankan suatu jalinan yang penting dari kelanjutan dengan ajaran-ajaran awal.[26]

Arthaviniścaya Sūtra adalah suatu karya Abhidharma dari suatu afiliasi Sautrāntika/Sarvāstivāda seperti Kośa, yang diorganisasikan sekitar yang saat ini dikenal sebagai saṁyutta-mātikā. Versi Sanskrit telah diterbitkan bersama dengan komentarnya. Teks menyajikan suatu versi internal/eksternal yang terintegrasi dari rumusan satipaṭṭhāna, tanpa menyebutkan ketidakkekalan.[27] Kemudian, perhatian benar dijelaskan sehubungan dengan perenungan ketidakmurnian tubuh, secara internal dan eksternal.[28]

Komentar menyajikan pola umum dengan memperlawankan empat satipaṭṭhāna dengan empat penyimpangan dari keindahan, kebahagiaan, kekekalan, dan diri.[29] Merenungkan tubuh, dst., dijelaskan, seperti dalam Kośa, sebagai melihat baik karakteristik individual dan umum. Karakteristik umum adalah ketidakkekalan, penderitaan, kekosongan, dan bukan-diri (Sarvāstivāda, dari Āgama-Āgama ke depan, menambahkan kekosongan pada tiga yang lebih familiar dalam Theravāda). Karakteristik individual adalah sebagai berikut:

Tabel 17.1: Arthaviniścaya Sūtra

SatipaṭṭhānaKarakteristik individual
TubuhUnsur-unsur utama dan materi turunan (bhūtabhautikatvā)
PerasaanEksperiensialitas (anubhāvatvā)
PikiranMelihat (upalabdhitvā)
DhammaSemua kecuali ketiga di atas

“Internal” didefinisikan sebagai yang berhubungan dengan kelangsungan sendiri seseorang (santati), sedangkan “eksternal” berhubungan dengan orang lain. Ungkapan pengulangan “tubuh sebagai tubuh” dijelaskan dengan mengatakan bahwa ia berfungsi menghindari pikiran yang menyimpang yang akan muncul dari melihat “tubuh” sebagai “perasaan”, “pikiran”, atau “dhamma”. Mengikuti contoh Sarvāstivādin teks mengatakan bahwa pemahaman (paññā) adalah inti intrinsik (svabhāva) dari satipaṭṭhāna. Urutan satipaṭṭhāna dijelaskan sebagai urutan di mana mereka muncul. Mempertimbangkan semuanya, teks dan komentar menambah sedikit pada pemahaman kita tentang satipaṭṭhāna, kecuali dengan menunjukkan pengaruh dan konsistensi dari penafsiran aliran-aliran.

17.4 Aliran-Aliran Awal Lainnya

17.4.1 Bahuśrutīya

Richard Gombrich menyebutkan bahwa Satyasiddhiśāstra oleh Harvarman dari aliran Bahuśrutīya menggunakan Susīma Sutta untuk membenarkan suatu jalan yang memerlukan suatu tingkatan konsentrasi yang tanpa jhāna. Dalam hal ini mereka bersepaham dengan komentar-komentar Theravāda atau versi-versi Sarvāstivāda. Nama aliran ini (“Sangat Terpelajar”, atau “Pengikut dari yang Sangat Terpelajar”) menegaskan hubungan antara perpindahan ke arah pandangan terang kering dan perpindahan dari pertapaan hutan ke universitas-universitas skolastik perkotaan.

Namun demikian, tampaknya bahwa mereka tidak mendasari konsepsi jalan pandangan terang kering mereka pada satipaṭṭhāna. Satyasiddhiśāstra menganalisis 37 sayap menuju pencerahan sebagai salah satu dari samatha atau vipassanā. Ia mengatakan tiga satipaṭṭhāna pertama adalah samatha dan perenungan dhamma adalah vipassanā. Perhatian dalam kemampuan-kemampuan, kekuatan-kekuatan, dan faktor-faktor pencerahan juga diperlakukan di bawah samatha. Dalam hal ini teks ini bersepaham dengan Sutta-Sutta awal, *Vibhaṅga Mūla, dan mungkin, dalam semangat jika bukan dalam hurufnya, dengan Sarvāstivāda juga.

17.4.2 Puggalavāda

Puggalavāda (“Aliran Personalis”) adalah aliran awal yang penting lainnya, yang ajaran khususnya adalah bahwa terdapat suatu “pribadi” yang ada, bukan sama dengan ataupun bukan terpisah dari lima kelompok unsur kehidupan, yang mengalami kelahiran kembali, mengalami akibat-akibat kamma, dan mencapai Nibbana akhir. Mereka dikutuk oleh aliran-aliran lain, yang menyatakan mereka kembali pada “diri” dari ajaran-ajaran non-Buddhis. Namun, mereka membantah penyataan itu dengan keras, dan bertahan untuk mengerahkan banyak pengaruh atas ajaran-ajaran aliran selama lebih dari 1000 tahun.

Thích Thiện Châu telah menerbitkan suatu studi yang terperinci, The Literature of the Personalists of Early Buddhism. Hanya empat dari karya-karya mereka yang bertahan, semua dalam terjemahan Mandarin; salah satu dari karya-karya ini adalah Vinaya, yang berhubungan secara khusus dengan ajaran khusus mereka tentang pribadi, dan dua sisanya sangat mirip dengan versi risalah Abhidhamma mereka. Secara efektif, maka kita dibatasi pada satu karya, yang dikenal sebagai Tridharmakaśāstra.[30] Ini dianggap berasal dari seseorang tertentu bernama Giribhadra dari sub-aliran Vātsiputrīya dari Puggalavāda, dan mungkin berasal dari masa sekitar awal Masehi. Ia muncul bersama dengan sebuah komentar yang mungkin berasal dari beberapa abad kemudian, dan seluruhnya diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin oleh Gautama Sanghadeva pada tahun 391 M.

Karya itu pertama-tama membahas tentang tiga unsur klasik dari perbuatan baik: kedermawanan, etika, dan meditasi, yang terakhir dijelaskan sebagai jhāna- jhāna, kediaman luhur, dan pencapaian tanpa bentuk. Kemudian ia berlanjut membahas tentang akar-akar bermanfaat, penerimaan, pembelajaran, pikiran benar, praktek, praktek-praktek pertapaan, pengendalian indera, dan “samādhi akses”. Istilah terakhir dikenal dalam komentar-komentar Theravādin dalam pengertian suatu pendekatan pada jhāna; tetapi bagi Puggalavādin ia alih-alih menunjuk pada pendekatan pada pandangan terang. Semua topik ini, tentu saja, dikenal oleh semua aliran. Bagian berikutnya adalah tentang “cara-cara” (upāya), yang di sini adalah suatu istilah untuk tiga unsur etika, samādhi, dan pemahaman. Samādhi (di sini terjemahan Mandarin menyatakan suatu kata asal Sanskrit uttaraśamatha, “ketenangan yang mengagungkan”) dikatakan termasuk tiga faktor dari jalan mulia berunsur delapan: semangat, perhatian, dan kebijaksanaan. Perhatian didefinisikan sebagai tidak lupa sehubungan dengan empat satipaṭṭhāna dari tubuh, perasaan, pikiran, dan dhamma – internal, eksternal, dan baik internal dan eksternal. “Internal” berarti “diperoleh secara karma” (upadinna), suatu istilah yang sebagian besar bersifat abhidhammik yang menunjuk kumpulan dari kelompok-kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, dan alat indera yang telah diperoleh sebagai akibat dari perbuatan-perbuatan masa lampau. “Eksternal” menunjuk pada yang lain-lain. Praktek ini menghilangkan keserakahan, kebencian, dan delusi. Semua ajaran tentang satipaṭṭhāna ini sangat sesuai dengan Sutta-Sutta dan aliran-aliran.

Namun, perspektif sektarian dari aliran itu dibawa ketika teks berargumentasi bahwa ketika Sang Buddha mengatakan bahwa “ia merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh”, kata “ia” (so) menunjuk pada pribadi yang tidak terlukiskan.[31]

Berikutnya teks membahas tentang samādhi, dengan memusatkan perhatian pada tiga unsur dari “samādhi kekosongan”, “samādhi yang tidak diarahkan”, dan “samādhi tanpa tanda”. Kelompok ini menggantikan empat jhāna yang biasanya di sini, mungkin karena ini adalah suatu kelompok berunsur tiga; judul karya itu berarti “Risalah tentang Dhamma Berunsur Tiga”, dan karya itu sesungguhnya menggolongkan pokok bahasannya dalam kelompok-kelompok berunsur tiga. Empat jhāna dibahas lebih awal, di mana mereka didaftarkan bersama dengan kediaman luhur dan pencapaian tanpa bentuk, dengan demikian membentuk suatu kumpulan yang diperluas dari tiga kelompok dari empat dhamma. Jadi penggantian tiga samādhi untuk empat jhāna didiktekan oleh urgensi formal murni dari konteksnya (suatu penerapan dari prinsip aṅguttara), alih-alih suatu pergeseran doktrinal yang sebenarnya.

Berikutnya bagian tentang kebijaksanaan; inilah di mana penekanan sektarian tentang “pribadi” bersifat menonjol. Sisa karya itu membahas berbagai hal yang tidak berhubungan dengan tujuan kita saat ini. Namun, menarik untuk dicatat bahwa di bawah topik “keragu-raguan”, terdapat daftar menyeluruh dari pencapaian-pencapaian samādhi, semua dikenal dari Sutta-Sutta awal, dan jelas tanpa inovasi komentarial tentang samādhi “sementara” dan “akses”.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #72 on: 10 October 2014, 06:55:33 PM »
17.4.3 Komentar-Komentar Mandarin

Leon Hurvitz telah menerbitkan suatu terjemahan beberapa Āgama sūtra tentang satipaṭṭhāna bersama dengan sumber-sumber yang sama dari kanon Pali, dan komentar-komentar Mandarin oleh Fa Sheng dan yang lainnya. Teks itu memberikan vagga pertama dari sepuluh Sūtra dalam Smṛtyupasthāna-saṁyukta Sarvāstivāda (Hurvitz menambahkan sumber-sumber Pali yang sama, di mana tidak semuanya benar), dan kemudian memiliki suatu pembahasan yang sedikit hubungannya dengan teks-teks tertentu yang ada. Komentar-komentar untuk kebanyakan bagian bersepaham dengan Kośa. Vipassanā adalah suatu tema yang kuat di sepanjang, dengan penekanan khusus pada kemunculan bergantungan (yang mengingatkan kembali pada Śāriputrābhidharma), dan analisis bergaya Abhidhamma ke dalam “atom-atom” dan “momen-momen”. Tetapi, salah satu komentator berhati-hati mencatat bahwa pengetahuan benar dihasilkan oleh samatha.

Latihan perenungan tubuh yang disebutkan adalah ānāpānasati, kejijikan [tubuh], dan unsur-unsur. Awalnya seseorang mengkonsentrasikan pikirannya pada hal-hal ini secara internal saja; menurut salah seorang komentator hanya persepsi kejijikan yang dapat dikembangkan terhadap tubuh-tubuh orang lain.

Objek-objek lain dari satipaṭṭhāna tidak disebutkan, kecuali “dhamma”, yang sekali lagi, didefinisikan sebagai persepsi dan aktivitas-aktivitas konseptual. Satipaṭṭhāna sebagai objek lagi-lagi dibahas; teks menyatakan bahwa Sang Buddha mengatakan bahwa “semua dhamma” menunjuk pada empat satipaṭṭhāna; karena pernyataan ini tidak ditemukan dalam Nikāya Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama yang ada, ini dapat diabaikan. Tetapi teks itu dengan tepat memperingatkan bahaya-bahaya dalam pendekatan ini:

... walaupun ini semuanya inklusif, bidang-bidang persepsinya cenderung di luar kendali dan suatu pembatasan diperlukan jika tujuan yang sama, pemotongan kekotoran-kekotoran, akan dicapai.

Di sini para komentator lebih eksplisit daripada teks-teks lain yang telah kita lihat, memperlakukan perenungan dhamma termasuk tiga perenungan yang lain:

“Setelah memasuki dhamma-dhamma, ia melihat secara umum,
Memandang secara sama ciri-ciri dhamma-dhamma:
‘Empat [objek satipaṭṭhāna] ini adalah tidak kekal,
Kosong, bukan-diri, penderitaan’.”

17.4.4 Mūlasarvāstivāda

Mūlasarvāstivāda dikatakan oleh Warder dan yang lain sebagai cabang belakangan dari Sarvāstivāda (sekitar tahun 200 M), walaupun para sarjana saat ini telah mempertanyakan hal ini.[32] Adalah sulit untuk memisahkan perbedaan-perbedaan ajaran yang khusus dari Sarvāstivāda, dan mungkin bahwa inovasi utama mereka adalah karya literatur alih-alih ajaran. Mereka menyusun teks-teks yang panjang dan terperinci dalam gaya yang mengikuti ciri khas sūtra- sūtra Mahāyāna. Saddharmasmṛtyupasthāna Sūtra mereka (kadangkala disebut Mahā Smṛtyupasthāna Sūtra) mengambil keuntungan dari kecenderungan terhadap sifat ekspansif yang telah dimulai dalam perlakuan terhadap satipaṭṭhāna oleh aliran-aliran awal.[33] Selain banyak memberikan bahan ajaran dan meditatif ia memasukkan berbagai penggambaran surga-surga dan neraka-neraka dan juga menunjuk pada kesenian, lukisan, dan pertunjukan. Dengan demikian ia mempopulerkan topik itu, dengan menempatkan satipaṭṭhāna dalam gerakan cultural sezaman pada masa itu. Sesungguhnya, beberapa sarjana telah melihat dalam salah satu terjemahan Mandarin yang belakangan dari karya ini pengaruh versi Kasmir dari Rāmāyana. Saya tidak dapat menemukan teks Sanskrit-nya, tetapi dalam suatu penyelidikan sepintas lalu terhadap versi Mandarin saya tidak dapat menemukan perikop satipaṭṭhāna atau apa pun ciri khusus dari Satipaṭṭhāna Sutta. Saya telah menemukan bacaan menarik berikut.

Ketika waktu kematian mendekat, ia melihat tanda-tanda ini: ia melihat suatu gunung berbatu yang besar yang menurun di atas dirinya bagaikan sebuah bayangan. Ia berpikir dalam dirinya sendiri: “Gunung itu mungkin jatuh di atasku”, dan ia mengibaskan tangannya seakan-akan menangkis gunung ini. Saudara-saudara dan sanak keluarga serta tetangganya melihat ia melakukan hal ini; tetapi bagi mereka tampaknya bahwa ia hanya mengayunkan tangannya ke atas langit. Segera gunung itu terlihat terbuat dari kain putih dan ia merangkak ke atas kain ini. Kemudian tampaknya ia terbuat dari kain merah. Akhirnya, ketika waktu kematian mendekat, ia melihat seberkas cahaya cemerlang, dan karena tidak terbiasa dengannya ia terkejut dan bingung. Karena pikirannya bingung ia melihat semua hal seperti yang terlihat dalam mimpi. Ia melihat calon ayah dan ibunya berhubungan seks, dan ketika melihat mereka suatu pemikiran muncul dalam pikirannya, suatu kekotoran muncul dalam dirinya. Jika ia akan terlahir sebagai pria, ia melihat dirinya berhubungan seks dengan ibunya dan dihalangi oleh ayahnya; atau jika ia akan terlahir kembali sebagai wanita, ia melihat dirinya berhubungan seks dengan ayahnya dan dihalangi oleh ibunya. Pada waktu itu keadaan antara berakhir, kehidupan dan kesadaran muncul, dan sebab akibat mulai bekerja seketika itu juga.[34] Ini seperti kesan yang dibuat oleh seseorang yang meninggal dunia; sang almarhum kemudian lenyap, tetapi polanya telah tertanam.[35]

Sementara gaya dan pokok bahasan mungkin tampaknya jauh dari Satipaṭṭhāna Sutta awal, bacaan itu masih mempertahankan suatu ketertarikan yang mendesak dalam pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan, kematian, dan sebab akibat. Kenyataannya hubungan antara satipaṭṭhāna dan pemahaman kelahiran kembali telah bersifat implisit dalam Saṁyutta Nikāya, di mana sebab-sebab empat satipaṭṭhāna dapat semuanya dijelaskan sehubungan dengan kemunculan bergantungan. Mungkin mata rantai kunci adalah istilah “kebingungan”. Perhatian, penangkal untuk kebingungan, mempersiapkan kita untuk kematian, momen yang paling penting dalam kehidupan kita. Cahaya cemerlang muncul seperti nimitta samādhi; pengalaman yang tidak diharapkan dan tidak diketahui ini sering menyebabkan kebingungan dan ketakutan bagi para meditator yang tidak berpengalaman. Berbagai gambaran dan penglihatan muncul. Jika orang yang meninggal tersebut atau meditator kehilangan perhatian dan menjadi bingung, rintangan-rintangan seperti keinginan dan kebencian muncul, yang di sini diungkapkan dalam sangat kejam, bentuk Oedipal. Sejauh yang saya ketahui, Buddhisme adalah satu-satunya agama yang secara eksplisit mengenali situasi Oedipal. Ini dan aspek lainnya dari bacaan ini ditemukan dalam “Buku Kematian Orang Tibet”, dan mungkin merupakan suatu teks sumber untuk karya itu. Penggambaran kelahiran kembali dengan perumpamaan orang mati juga ditemukan dalam Visuddhimagga 17.166, yang menarik, karena pada waktu penyusunan teks-teks ini, kedua tradisi telah terpisah selama tujuh ratus tahun.

17.5 Mahāyāna

Akan cocok menyimpulkan penyelidikan ini dengan beberapa rincian dari perlakuan terhadap satipaṭṭhāna dalam aliran-aliran India utama dari Mahāyāna. Namun pertama-tama, kita dapat secara singkat melihat pada bagaimana pasangan samatha dan vipassanā diperlakukan dalam meditasi Mahāyāna secara umum. Teks-teks Mahāyāna menekankan sifat yang saling melengkapi dari samatha dan vipassanā, di mana Theravāda menekankan perbedaan mereka. Ini mencerminkan perbedaan dalam orientasi filosofis antara aliran-aliran itu. Theravāda, yang menekankan metode analisis, cenderung menuju suatu ontologi dari realisme pluralistik, dan dengan demikian melihat samatha dan vipassanā adalah “hal” yang pada pokoknya berbeda, sedangkan Mahāyāna, yang menekankan metode sintesis, cenderung menuju suatu idealisme monistik (atau “holistik”), dan dengan demikian melihat samatha dan vipassanā berkontribusi pada suatu keseluruhan yang lebih besar.

Di sini beberapa kutipan dari sekumpulan esai yang disusun oleh Minoru Kiyota berjudul Mahāyāna Buddhist Meditation.

... [beberapa mengatakan] tentang “vipassanā kering”, dengan kata lain, suatu vipassanā tanpa samatha, walaupun kehadiran samatha dikatakan suatu kondisi yang sangat dibutuhkan untuk semua vipassanā. (hal. 47)
Penyatuan sempurna kedua hal ini, penenangan mental dan penglihatan yang lebih tinggi (samathavipassanāyuganaddha) adalah tujuan segera dari praktek meditasi Buddhis, karena semua jalan Buddhisme – apakah Hīnayāna atau Mahāyāna termasuk Vajrayāna – bergantung pada pasangan ini. (hal. 47)

Geshe Sopa
“Śamathavipaśyanāyuganaddha: The Two Leading Principles of Buddhist Meditation.”

Dari permulaannya sekali, telah diterima bahwa pencapaian lebih tinggi dari kebijaksanaan (paññā) dicapai melalui atau disertai oleh meditasi ((jhāna, samādhi, dan seterusnya). Contoh-contoh gagasan ini dapat dilihat dari berbagai rumusan seperti “pasangan ketenangan dan pandangan terang” (samathavipassanāyuganaddha), dan dalam dua yang terakhir dari “tiga pelatihan disiplin” (sīla-samādhi-paññā), “lima kemampuan” (saddhā-viriya-sati-samādhi- paññā), dan “enam kesempurnaan” (dāna-sīla-khanti-viriya-jhānapaññā).

Gadjin M. Nagao
“‘What Remains’ in Śunyatā: A Yogacāra Interpretation of Emptiness”, hal. 66.

Meditasi, landasan dari jenis ketiga dari kebijaksanaan, dipraktekkan dengan cara berikut: (1) dengan menguasai samatha atau penenangan pikiran melalui menjalankan moral dan aturan-aturan yogi, sembilan tingkat samatha, empat jhāna, dan seterusnya; kemudian (2) dengan vipassanā (analisis objek meditasi dari titik pandang yang telah dipelajari oleh penyelidikan).

Yuichi Kajiyama
“Later Mādhyamakas”, hal. 135.

... kesadaran ini, yang tanpa kesalahan dan bebas dari konseptualisasi sehubungan dengan suatu objek nyata yang hakiki, bergantung pada suatu sebab pokok, yang adalah samatha yang menyatu dengan mendalam dengan vipassanā.

Charlene McDermott
“Yogic Direct Awareness”, hal. 149.

Sekarang, dalam Buddhisme India, vipassanā adalah suatu latihan dalam pengamatan yang cermat yang dekat atas karakteristik dari skandha-skandha, dharma-dharma, dan unsur-unsur bentukan lainnya, dan ia seharusnya dilakukan bersama-sama dengan latihan-latihan dalam ketenangan (samatha) atau penenangan aktivitas-aktivitas pikiran yang diarahkan ke luar. (hal. 178)

Dalam mengomentari bacaan sūtra [Hati], “O Sāriputta, bentuk tidak berbeda dari kekosongan, kekosongan tidak berbeda dari bentuk”, ia [Fa-tsang] pertama-tama mengatakan bahwa ketika seseorang melihat bentuk sama dengan kekosongan, ia menyempurnakan praktek samatha, dan ketika kekosongan direnungkan sebagai sama dengan bentuk, seseorang menyempurnakan praktek vipassanā, dan ia menyimpulkan bahwa ketika keduanya dipraktekkan bersama, mereka menjadi ideal. (hal. 179)

Francis H. Cook
“Fa Tsang’s Brief Commentary.”

... praktek melimpahkan jasa-jasa dituntun dengan pandangan terang (vipassanā), dan pandangan terang oleh meditasi (samatha). Dalam Upadeśa, pemujaan dan pujian [yang lebih awal diidentifikasi sebagai samatha] merupakan instrument untuk memurnikan pikiran; ikrar dan meditasi [= vipassanā] menunjuk pada keadaan yang telah merealisasi pikiran murni. Keduanya tidaklah berbeda dan terpisah.

Minoru Kiyota
“Buddhist Devotional Meditation”, hal. 259.

Demikianlah kebanyakan esai-esai dalam kumpulan ini mengatakan keselarasan samatha dan vipassanā. Aspek-aspek pokok dari meditasi diinterpretasikan ulang sesuai dengan perspektif tertentu dari alirannya.

Suatu contoh yang baik dari hal ini adalah dalam perlakuan Sūtra Hati di atas. Sūtra Hati dengan terus terang menghadapkan kita dengan serangkaian pernyataan yang, secara sepintas lalu, tampak bertentangan. Untuk membuat masuk akal teka-teki ini, para komentator membawakan dalam ajaran yang lebih familiar, sangat menyeluruh tentang samatha dan vipassanā. Ini menyelesaikan sejumlah hal: ia menjelaskan yang baru dan radikal dengan menunjukkan hubungan-hubungannya dengan yang telah diketahui; ia mencakup konsep-konsep Buddhis dasar, yang dengan demikian meyakinkan kita bahwa Sūtra Hati tidak benar-benar bermaksud menghancurkan Buddhisme; dan ia menunjukkan bahwa Sūtra Hati dimaksudkan untuk menginspirasi praktek, bukan spekulasi filosofis. Mungkin yang paling penting, penyajian komentator jelas bermaksud menunjukkan secara panjang lebar bahwa hubungan antara samatha dan vipassanā adalah bersifat menyatu, alih-alih terpisah, dan ia bekerja dari landasan ini untuk menunjukkan sifat menyatu dari ajaran Sūtra Hati juga. (Teks melakukan ini dengan sangat banyak kecermatan daripada kutipan pendek di atas.)
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #73 on: 10 October 2014, 07:04:24 PM »
Beberapa bacaan yang dikutip di atas mengatakan tentang “samatha yang bersamaan dengan vipassanā”, suatu ungkapan yang berasal dari sebuah kotbah oleh Yang Mulia Ānanda.[36] Kotbah ini mengatakan bahwa semua yang mengatakan mereka telah tercerahkan melakukannya dalam salah satu dari empat cara: samatha yang didahului vipassanā; vipassanā yang didahului samatha; samatha bersama-sama dengan vipassanā; atau selain itu pikiran yang dikuasai kegelisahan, tetapi kemudian menjadi mantap dalam samādhi. Dengan mempraktekkan masing-masing dari cara-cara ini, sang jalan muncul, kemudian berkembang menuju pencerahan. Keempat pilihan ini semuanya mencakup suatu keseimbangan dari samatha dan vipassanā, dan mengesampingkan pendekatan apa pun yang berusaha membuang samatha sepenuhnya. Tetapi bacaan itu memperlakukan masing-masing pilihan sebagai sama dan tidak, seperti yang dilakukan penafsiran Mahāyāna di atas, memuji “samatha yang bersamaan dengan vipassanā” sebagai yang terunggul dibandingkan pilihan lainnya. Jadi penafsiran-penafsiran ini menekankan pendekatan yang menyatu bahkan lebih banya daripada Sutta-Sutta awal.

Marilah melanjutkan dengan beberapa perkataan dari sedikit tulisan Mahāyāna.

Menekuni praktek (dari satipaṭṭhāna) disebut “samādhi”.

Nāgārjuna
Surat kepada Seorang Sahabat.

Ia yang menegakkan perhatian sebagai suatu penjaga pada pintu-pintu pikirannya tidak dapat dikuasai oleh nafsu-nafsu, bagaikan suatu kota yang dijaga dengan baik tidak dapat dikuasai oleh musuh.

Aśvaghoṣa[37]
Saundarānanda Kāvya.

... perhatian yang terus-menerus
Yang memperoleh ketajaman dengan semangat yang tercurahkan
Dan semangat muncul jika seseorang menjadi tahu
Keagungan yang terletak dalam ketenangan dari dalam

Śantideva
Śikṣāsamuccaya, Kārikās 7–8.

Jika suatu keasyikan dengan kegiatan-kegiatan eksternal telah dihindari dengan bantuan perhatian & pemahaman jernih, maka, berkat mereka, pikira dapat dengan mantap mempertahankan satu objek tunggal selama yang ia inginkan.

Śantideva
Śikṣāsamuccaya.

Demikianlah para guru besar ini semuanya mengakui aspek samādhi dari perhatian. Kita telah melihat bahwa Prajñāpāramitā Sūtra yang panjang, batu penjuru atas semua filosofi Mahāyāna, mengandung suatu penguraian tentang satipaṭṭhāna yang disisipkan hampir tidak berubah dari Satipaṭṭhāna Sutta suatu aliran awal. Kita sekarang dapat menyelidiki sedikit Sūtra Mahāyāna yang lain dalam perlakuan mereka terhadap satipaṭṭhāna.

Salah satu dari kumpulan awal Sūtra Mahāyāna yang penting adalah Mahā Ratnakūṭa (yang diterjemahkan sebagai Sebuah Bunga Rampai dari Sūtra-Sūtra Mahāyāna). Salah satu dari kotbah-kotbahnya yang terkandung di dalamnya, yang diterjemakan di bawah judul “Sūtra tentang Harta Karun yang Dikumpulkan”, memiliki suatu bacaan pendek tentang satipaṭṭhāna, yang dimasukkan sebagai bagian dari suatu daftar panjang dari berbagai dhamma.

Empat perhatian menyembuhkan kemelekatan pada tubuh, perasaan, pikiran, dan dhamma. Seseorang yang mempraktekkan Dharma dan merenungkan tubuh sebagaimana adanya tidak akan terjebak oleh pandangan tentang suatu diri yang nyata. Seseorang yang merenungkan perasaan... pikiran... dhamma sebagaimana adanya tidak akan terjebak oleh pandangan tentang suatu diri yang nyata. Empat perhatian ini, oleh sebab itu, menyebabkan seseorang jijik akan tubuh, perasaan, pikiran, dan dhamma, serta oleh karenanya membuka pintu menuju Nibbana.[38]

Di sini aspek vipassanā ditekankan. Bacaan itu tidak secara langsung diturunkan dari perikop satipaṭṭhāna awal. Penekanan atas bukan-diri familiar dari Sutta-Sutta, walaupun bukan dalam kontek satipaṭṭhāna. Sikap kejijikan (nibbidā?) muncul sebagai yang teramat kuat, walaupun ini mungkin hanyalah terjemahan. Sutta-Sutta awal memiliki pendekatan yang lebih seimbang, yang mencakup baik aspek yang bersifat menarik (pernapasan, perasaan-perasaan menyenangkan, pikiran yang dimurnikan, faktor-faktor pencerahan, dst.) dan tidak menarik (tanah perkuburan, perasaan-perasaan menyakitkan, pikiran yang terkotori, rintangan-rintangan) dari pengalaman-pengalaman dalam satipaṭṭhāna. Sifat negatif ini mengejutkan mempertimbangkan reputasi Mahāyāna atas pendekatan yang non-dualistik, tetapi ini hanyalah satu bacaan.

Avataṁsaka Sūtra adalah salah satu dari Sūtra-Sūtra Mahāyāna yang terbentang luas yang menemukan suatu tempat hampir untuk semua hal. Bab 26, dalam suatu pembahasan tentang sepuluh tingkat kemajuan Bodhisattva, menggambarkan tingkat keempat sebagai “Menyala”, dan memasukkan suatu daftar dhamma, termasuk 37 sayap menuju pencerahan kita yang familiar, yang mulai seperti biasanya dari rumusan satipaṭṭhāna.[39] Ini adalah rumusan internal/eksternal yang terintegrasi, dengan rumusan pelengkap standar. Ini identik dengan perikop pada SN 47.3/SA 636/MA 76*, satu-satunya perubahan adalah penggantingan “bodhisattva” untuk “bhikkhu”. Lagi-lagi kita melihat penggunaan penyisipan “potong-&-tempel” yang langsung dari Sutta-Sutta awal bahkan dalam kitab Mahāyāna lanjutan.

Śikṣāsamuccaya oleh Santideva, yang telah saya kutipkan secara ringkas di atas. Memasukkan banyak pernyataan yang sangat kuat tentang satipaṭṭhāna, yang sebagian dikumpulkan dari karya-karya Mahāyānis lainnya. Banyak dari bacaan-bacaan itu dikumpulkan dalam buku The Heart of Buddhist Meditation oleh Nyanaponika Thera yang tersedia secara luas, sehingga tidak perlu mengulangi mereka di sini secara rinci. Cukup dicatat dimasukkannya bahan sektarian, yang melanjutkan kecenderungan menggunakan wibawa satipaṭṭhāna untuk mendukung posisi seseorang dalam debat-debat ajaran yang bersemangat yang mengkarakteristikkan banyak sejarah Buddhis. Teks itu mengutip Ārya Ratnacūḍa Sūtra, yang memberikan suatu kecondongan Mahāyānis yang khas pada perenungan internal/eksternal terhadap perasaan.

Ketika mengalami suatu perasaan yang menyenangkan ia menaruh belas kasih yang mendalam bagi makhluk-makhluk yang berwatak sangat cenderung pada nafsu, dan ia sendiri melepaskan kecenderungan pada nafsu. Ketika mengalami suatu perasaan yang tidak menyenangkan ia menaruh belas kasih yang mendalam bagi makhluk-makhluk yang berwatak sangat cenderung pada kebencian, dan ia sendiri melepaskan kecenderungan pada kebencian. Ketika mengalami suatu perasaan netral ia menaruh belas kasih yang mendalam bagi makhluk-makhluk yang berwatak sangat cenderung pada delusi, dan ia melepaskan kecenderungan pada delusi.

Perenungan tubuh memasukkan suatu bacaan yang sangat kuat dari Dharmasaṅgīti Sūtra. Ini memasukkan suatu serangan pada ajaran Sarvāstivāda tentang waktu:

Tubuh ini tidak berasal dari masa lampau dan tidak akan berlanjut pada masa depan. Ia tidak memiliki keberadaan pada masa lampau atau masa depan kecuali dalam konsepsi-konsepsi khayalan dan salah.

17.5.1 Samādhi Bertemu dengan Para Buddha dari Masa Sekarang

Suatu perkembangan yang lebih menarik ditemukan dalam Pratyutpannabuddhasammukhāvaṣṭhitasamādhi Sūtra, yang berarti “Kotbah tentang Samādhi Bertemu Langsung dengan Para Buddha dari Masa Sekarang”. Saya akan menunjuknya lebih ringkas sebagai “Sūtra Para Buddha Masa Sekarang”. Di sini saya merangkumkan bacaan utama yang berhubungan dengan satipaṭṭhāna.[40]

[18B] “Lebih jauh, Bhadrapāla, para Bodhisattva yang berdiam merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh, tetapi tidak memikirkan pemikiran (vitakka) apa pun yang berhubungan dengan tubuh, dan yang berdiam merenungkan perasaan... pikiran... dhamma, tetapi tidak memikirkan pemikiran apa pun yang berhubungan dengan perasaan... pikiran... dhamma – para Bodhisattva itu memperoleh samādhi [yaitu samādhi dari judul sūtra itu]. Mengapa demikian, Bhadrapāla? Ini karena jika para Bodhisattva dan Mahasattva [mempraktekkan satipaṭṭhāna dengan cara yang digambarkan], maka mereka tidak mewujudkan dhamma apa pun... mereka tidak mengkonseptualisasikan atau memikirkan secara tidak berhubungan... mereka tidak melihat dhamma apa pun... yang diketahui sebagai kesadaran yang tidak terkaburkan. Bhadrapāla, tepatnya kesadaran yang tidak terkaburkan yang disebut samādhi. Bhadrapāla, para Bodhisattva yang memiliki samādhi ini melihat para Buddha yang tidak terbatas dan tidak terhitung, dan mereka juga mendengar Dhamma Sejati. Ketika mendengarnya mereka menguasainya. Mereka juga memperoleh kesadaran yang tidak terkaburkan dan penglihatan pembebasan serta kesadaran yang tanpa halangan dari para Tathāgata, Arahant, Buddha yang Sempurna itu.

[18C] “Lebih jauh, Bhadrapāla, para Bodhisattva berdiam merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh, dan dalam melakukan demikian tidak melihat dhamma apa pun juga. Tidak melihat dhamma-dhamma itu, mereka tidak mengkonseptualisasikan atau memikirkan secara tidak berhubungan, walaupun mereka tidak buta atau tidak tuli. Hal yang sama sehubungan dengan perasaan, pikiran, dan dhamma. Tidak melihatnya, mereka tidak bergantung; tidak bergantung, mereka mengembangkan sang jalan; dengan kebajikan dari mengembangkan sang jalan, mereka tidak memiliki keragu-raguan sehubungan dengan dhamma; dan tanpa keragu-raguan mereka melihat para Buddha. Dan dalam melihat para Buddha, dengan kebajikan dari kenyataan bahwa semua dhamma adalah tidak dihasilkan, pembebasan terjadi.

[18 D] “Mengapa demikian, Bhadrapāla? Jika para Bodhisattva mengambil persepsi terhadap dhamma-dhamma, bahwa itu sendiri bagi mereka adalah pandangan salah dari suatu objek pemahaman (upalambhadṛṣṭi). Bahwa itu sendiri adalah pandangan salah tentang keberadaan, tentang suatu diri, sosok makhluk, sosok jiwa, suatu pribadi. Bahwa itu sendiri  adalah pandangan salah tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, alat indera, tanda-tanda, hal-hal yang ada, sebab-sebab, kondisi-kondisi, dan penangkapan suatu objek pemahaman.”[41]

Rumusan dasar diambil dari Dantabhūmi Sutta,[42] yang memasukkan ungkapan khusus, ‘tidak memikirkan pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan tubuh, dst.” Pembacaan berbeda-beda antara “tubuh” (kāya) dan “keinginan indera” (kāma). Dalam Dantabhūmi Sutta konteksnya tidak menjelaskan maknanya; walaupun penafsirannya dapat berubah, kedua bacaan masih masuk akal. Tetapi dalam Sūtra Para Buddha Masa Sekarang teks jelas bergantung pada makna “tubuh” (dst.). Tujuan pokok mempraktekkan dengan cara ini adalah untuk mencapai samādhi, seperti halnya, dalam Dantabhūmi Sutta, praktek itu membawa pada jhāna-jhāna.

Di sini ditekankan bahwa seseorang dengan samādhi demikian tidak “mewujudkan” atau menjadi “bergantung” pada dhamma apa pun. Seperti yang kita lihat dalam pembahasan tentang satipaṭṭhāna dalam Prajñāpāramitā, gagasan tanpa “ketergantungan” menyatakan “tanpa ketergantungan” dari Satipaṭṭhāna Sutta. Argumentasinya adalah kecaman Mahāyāna yang standar terhadap aliran-aliran Abhidhamma, yang menganggap dhamma-dhamma sebagai “hal-hal” yang benar-benar ada. Dengan demikian pandangan-pandangan salah tentang dhamma dikatakan hanyalah suatu kesalahan yang sama dengan pandangan salah tentang diri. Akibatnya di sini bahwa seseorang hanya memikirkan tentang dhamma akan salah memahaminya, dengan salah menganggap pemahaman intelektual dari ajaran-ajaran sebagai kebijaksanaan ke dalam kekosongan dari semua fenomena. Satipaṭṭhāna diwajibkan untuk mengatasi pikiran yang berpikir sehingga seseorang dapat “melihat” tanpa “pandangan-pandangan”.

Adalah menakjubkan melihat bagaimana aliran-aliran dapat membuat teks-teks yang sama dan mengembangkan mereka dengan cara-cara yang berbeda. Karena dalam Theravāda, satipaṭṭhāna adalah untuk semakin menjadi suatu hal melihat dhamma-dhamma yang secara mutlak ada ini, dan seseorang diajarkan untuk “memikirkan pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan tubuh [dst.]” melalui kebiasaan  pencatatan mental.

Aspek yang menarik minat lainnya dari Sūtra Para Buddha Masa Sekarang adalah pernyataan bahwa seseorang dalam samādhi yang demikian akan melihat para Buddha yang tidak terbatas. Ini adalah suatu inovasi baru dalam satipaṭṭhāna, dan adalah tema utama dari kotbah itu. Meditasi terhadap Buddha dalam kotbah-kotbah awal adalah salah satu dari enam “perenungan” (anussati), dan penggunaan dari istilah ini menunjukkan hubungan dengan satipaṭṭhāna. Melihat para Buddha tampaknya menjadi sejenis penglihatan meditasi atau nimitta. Teks itu kemudian mengatakan bahwa seseorang akan “mendengar Dhamma Sejati. Ketika mendengarnya mereka akan menguasainya.” Ini menunjuk pada keyakinan bahwa seseorang dapat, dalam keadaan konsentrasi meditatif, mendengar para Buddha mengajar Dhamma yang otentik, suatu Dhamma yang harus dipelajari dalam hati.

Di sini kita memiliki bukti atas pernyataan yang diperdebatkan tentang awal mula Sūtra-Sūtra Mahāyāna. Sūtra-Sūtra Mahāyāna mengklaim telah diucapkan oleh Sang Buddha, walaupun ini secara historis tidak mungkin. Apakah kita mempercayai bahwa para Mahāyanis begitu teledor sehingga dengan sengaja menciptakan teks-teks baru dan menyatakan mereka sebagai otentik? Terdapat sejumlah hal umum yang harus dipikirkan di sini: dunia kuno, termasuk umat Buddhis awal, tidak memiliki suatu desakan individualistik atas kepemilikan dan kepengarangan atas karya-karya; mengubah Sutta-Sutta awal telah berlangsung, dengan demikian membuat orang-orang terbiasa pada gagasan yang agak berubah-ubah tentang apakah kanon kitab suci itu; dan, kebanyakan berkaitan dengan konteks ini, filosofi Mahāyāna mematahkan perbedaan antara dunia subjektif, dari dalam dan dunia objektif, dari luar, yang dengan demikian membuka jalan bagi imajinasi untuk dianggap sebagai yang kurang lebih sama dengan kenyataan historis. Keinginan untuk memasukkan Sūtra-Sūtra baru sebagai yang otentik berkembang bergandengan tangan dengan pandangan dunia yang anti-historis ini, oleh sebab itu latar-latar mitos Sūtra-Sūtra Mahāyāna. Menurut Sūtra Para Buddha Masa Sekarang, para bhikkhu Mahāyāna terinspirasi oleh penglihatan meditatif dan menafsirkan ini berasal dari Sang Buddha dalam beberapa pengertian mistis. Bahkan judul Sūtra itu menyatakan hal ini. ia memiliki kata sammukha, yang secara harfiah berarti “berhadapan muka”, yang adalah suatu ungkapan awal yang menekankan bahwa seseorang telah mendengar suatu ajaran di hadapan Sang Buddha sendiri secara langsung: “Berhadapan muka dengan Sang Bhagava aku telah mendengarkan hal ini, berhadapan muka aku telah mempelajarinya.”[43]

Bukanlah tidak umum saat ini, bahkan di antara para Theravādin, bagi para meditator melihat penampakan Sang Buddha, mendengarkan ajarannya, menerimanya sebagai otentik, dan mengajarkannya kepada orang lain sebagai ajaran Sang Buddha. Ajaran-ajaran yang “terinspirasi” demikian dapat berupa pernyataan kembali yang langsung atas ajaran-ajaran Buddhis, penguraian yang sangat mendalam, atau perumusan kembali yang sedikit eksentrik; tetapi kadangkala mereka hanyalah ucapan-ucapan kosong.

Status dan makna penglihatan meditatif lebih jauh dijelaskan di tempat lain dalam Sūtra Para Buddha Masa Sekarang, lagi-lagi bergantung pada satipaṭṭhāna, di sini latihan-latihan dalam perenungan tanah perkuburan. Bacaannya tidak persis sama dengan Satipaṭṭhāna Sutta, tetapi ia jelas menggambarkan praktek yang sama.

[3J] Sebagai contoh, Bhadrapāla, ketika seorang bhikkhu melakukan meditasi terhadap kejijikan melihat di hadapannya mayat – yang membengkak... pucat... membusuk... berdarah... digerogoti... dengan daging yang mengelupas... dengan tidak ada daging dan darah... putih... berwarna seperti kulit kerang... menjadi kerangka – kemudian mayat-mayat itu tidak berasal dari mana pun, ataupun tidak pergi ke mana pun, mereka tidak dibuat oleh siapa pun, ataupun tidak dibuat lenyap oleh siapa pun. Tetapi, Bhadrapāla, oleh penguasaan batin bhikkhu itu memusatkan perhatian ia melihat kerangka itu terbaring di hadapannya.

Dengan cara yang sama, Bhadrapāla, di arah mana pun para Tathāgata, Arahant, Buddha yang Sempurna berdiam, para Bodhisattva itu yang disokong oleh Sang Buddha dan berkembang dalam samādhi ini mengkonsentrasikan pikirannya pada arah itu untuk memperoleh penglihatan para Buddha. Dengan mengkonsentrasikan pikiran mereka pada arah itu mereka melihat para Tathāgata, Arahant, Buddha yang Sempurna pada arah itu. Mengapa demikian? Karena, Bhadrapāla, perolehan penglihatan para Buddha ini adalah hasil alami dari samādhi ini. Para Bodhisattva yang berkembang dalam samādhi ini melihat para Tathāgata, dan para Buddha muncul kepada mereka melalui gabungan dan kebersamaan dari tiga hal: kemuliaan (ānubhāva) Sang Buddha, penerapan dorongan kemampuan bermanfaat dari mereka sendiri, dan kekuatan dari pencapaian samādhi.[44]

Visualisasi para Buddha dikatakan sebagai suatu latihan imaginatif sama seperti visualisasi sesosok mayat. Analogi yang mengejutkan antara Sang Buddha dan sesosok mayat yang membusuk mungkin suatu kebetulan dari teks; meditasi mayat dapat dipilih sebagai contoh hanya karena ini adalah salah satu contoh yang paling jelas dari suatu latihan meditatif dalam visualisasi. Tetapi terdapat suatu ketajaman penjajaran, karena pada masa Sūtra Para Buddha Masa Sekarang ditulis, Sang Buddha historis telah lama menjadi Buddha dari Masa Lampau; kehadiran hidup telah menjadi sesosok mayat, yang terbakar dalam nyala api ketidakkekalan. Visualisasi meditatif terhadap para Buddha mungkin adalah yang paling keras dari banyak cara yang dikembangkan oleh umat Buddhis yang berkeyakinan untuk menghidupkan kembali Sang Buddha, untuk mempertahankan dorongan vital Sang Guru dan Ajaran-Nya. Dengan cara ini meditasi terhadap ketidakkekalan kehidupan berubah.
« Last Edit: 12 October 2014, 09:18:44 PM by Shinichi »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #74 on: 10 October 2014, 07:05:59 PM »
Catatan Kaki:

[1] Kotbah dan komentarnya, bersama dengan kutipan-kutipan dari sub-komentar, telah diterbitkan dalam terjemahan oleh Soma Thera dengan judul The Way of Mindfulness.

[2] Hal. 30

[3] Hal. 40

[4] Hal. 54

[5] Hal. 97

[6] Hal. 39

[7] Hal. 165

[8] Hal. 166

[9] Śāṇakavāsin disebutkan dalam Pali; Upagupta tidak diketahui. Mereka adalah para pahlawan setempat dari Mathura, yang kemudian dihormati oleh aliran Mahāsaṅghika dan Sarvāstivādin yang menyebar di daerah itu.

[10] “Lima tingkat” jhāna adalah empat yang biasanya, ditambah suatu tingkat terpisah antara jhāna pertama dan kedua yang dengan vicāra tetapi tanpa vitakka.

[11] Aśokarājavadāna 1206 [Przylyski 1923 a:363–364].

[12] Aśokarājavadāna hal. 3 [Strong 1983b:174; Przylyski 1923 a:363].

[13] T26, № 1023.

[14] Frauwallner (1995), pp. 179ff.

[15] Kośa 6.68.

[16] Kośa 6.9.

[17] Kośa 6.11.

[18] Kośa 6.12.

[19] Kośa 8.1.

[20] Kośa 6.12.

[21] Namun, komentar pada Arthaviniścaya tampaknya menganggapnya cukup serius untuk memberikan suatu penjelasan: walaupun ānāpānasati disertai dengan keseimbangan, meditator membalikkan kesadaran yang memiliki udara sebagai objeknya dan mengalami kegiuran dan kebahagiaan. Ini tidak menghentikan praktek, karena tujuan praktek tidak dilepaskan, atau karena ia dapat memperoleh kembali objeknya dengan cepat. (Lihat Samtani, hal. 102.)

[22] Kośa 6.13–14.

[23] Kośa 6.14, 15b, 16, dst.

[24] Kośa 6.15; cp. 6.2.

[25] Kośa 6.69.

[26] Kośa 6.70. Penjelasan yang mirip muncul, misalnya pada komentar Arthaviniścaya (Samtani, hal. 99).

[27] Samtani, hal. 48.

[28] Samtani, hal. 52.

[29] Samtani, hal. 96–97.

[30] San-fa-tu-lun, T 25, № 1506, pp. 15c–30a.

[31] Dutt, pg. 187.

[32] Enomoto menyatakan bahwa Sarvāstivāda dan Mūlasarvāstivāda sebenarnya sama. Walaupun ini tentunya kasus dalam beberapa bacaan yang ia kutip, argumentasinya tidak benar-benar meyakinkan. Salah satu dari bacaannya, yang dikutip dari Ārya-sarvāstivāda-mūlabhikṣunī- pratimokṣa-sūtra-vṛtti, mengatakan: “Sarvāstivāda juga memiliki akar (mūla) dan cabang-cabang. Dari mereka akar ada satu, yaitu Sarvāstivāda. Cabang-cabang yang diturunkan darinya ada tujuh, yaitu Mūlasarvāstivāda, Kaśyapīya, Mahīśasaka, Dharmaguptaka, Bahūśrutīya, Taṁraśātiya, dan Vibhajyavāda.” Ini jelas bersifat polemik, yang bertujuan untuk mengagungkan satu aliran di atas yang lain, dan nilai historisnya berkurang oleh sebabnya. Seperti keadaannya, bacaan ini jelas membedakan antara Sarvāstivāda dan Mūlasarvāstivāda. Apa yang tampaknya diklaim adalah bahwa Sarvāstivāda adalah akar (mūla) sebenarnya, dan mereka Mulasarvāstivādin, yang berpura-pura sebagai akarnya, hanyalah sebuah cabang. Enomoto berlanjut mengatakan bahwa Vinaya Mūlasarvāstivāda, yang berbeda dari Vinaya Sarvāstivāda lainnya, seharusnya dikenali bukan termasuk pada suatu aliran, tetapi suatu sub-aliran dari  Sarvāstivādin. Perbedaan antara sub-aliran dari suatu aliran dan aliran yang diturunkan yang berhubungan erat ini berubah-ubah, dan kita hanya perlu menerima bahwa gagasan dari apa yang merupakan suatu “aliran” tidak jelas. Terdapat juga banyak bukti tekstual yang diabaikan oleh Enomoto. Sebagai contoh, mātikā Mulasarvāstivādin yang disebutkan dalam Vinaya mereka, walaupun didasarkan pada  saṁyutta-mātikā, tidak ada hubungan dekat dengan topik-topik Dharmaskandha. Yang lain menyatakan bahwa Mūlasarvāstivāda sebenarnya sama dengan Sautrāntika. Ini juga saya temukan tidak mungkin, walaupun saya belum menyelidiki argumentasi-argumentasinya dengan rinci. Vinaya Mūlasarvāstivāda menyatakan Mahā Kassapa membacakan mātikā pada Konsili Pertama. Tidak mungkin bahwa Sautrāntika, yang ajaran utamanya adalah bahwa hanya Sutta-Sutta yang mewakili perkataan Sang Buddha, memiliki hal demikian yang mendukung Abhidhamma dengan mitos otoritas, sesuatu yang bahkan tidak dilakukan Vinaya Theravāda. Lebih lanjut, ajaran kunci Sautrāntika adalah menolak keberadaan dhamma-dhamma dalam tiga masa, yang meminta suatu versi yang radikal dari teori kesementaraan. Lagi-lagi, adalah tidak mungkin bahwa siapa pun yang menyebut diri mereka Sarvāstivāda, apakah “Mūla-“ atau sebaliknya, menolak ajaran utama aliran itu.

[33] T № 721/T № 722.

[34] Demikianlah terjemahannya; tetapi tidak ada aliran Buddhisme, sepengetahuan saya, yang pernah mengajarkan bahwa sebab akibat tidak bekerja selama periode antara kehidupan. Agaknya asalnya menunjuk pada awal dari suatu siklus baru dari kemunculan bergantungan, atau sesuatu yang semacam itu.

[35] Saddharmasmṛtyupasthāna Sūtra 34 (yang dikutip dalam The World’s Great Religions, hal. 63, diterbitkan oleh Time Inc., 1957). Terjemahan bahasa Perancis oleh Lin.

[36] AN 4.170/SA 560.

[37] Aśvaghoṣa mungkin bukan seorang Mahāyanis, tetapi karyanya terkenal dalam aliran itu.

[38] Chang, pg. 399.

[39] Cleary, hal. 729 (edisi satu volume), Vol 2, hal. 41 (edisi dua volume).

[40] Versi Sanskrit dari rumusan satipaṭṭhāna dari sūtra ini ada pada bab 11.67.

[41] Harrison, hal. 144, 145.

[42] MN 125/MA 198.

[43] Misalnya MN 123.3/MA 32.

[44] Harrison, hal. 41.

[bersambung...]
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #75 on: 12 October 2014, 01:48:50 PM »
17.6 Yogacāra

Sekarang marilah menyelidiki perhatian dalam beberapa risalah metodis, yang mulai dari aliran Yogacāra. Mereka adalah suatu aliran meditatif yang filosofis khususnya biasanya dikatakan sebagai pernyataan bahwa “hanya pikiran” yang ada, semua hal lainnya adalah ilusi. Ini membuka mereka pada kritik bahwa mereka kembali pada posisi Upaniṣad yang mendalilkan kesadaran sebagai landasan keberadaan, yang disamakan dengan Nibbana; namun Yogacārin awal seperti Vasubandhu dan Asaṅga menyatakan bahwa bahkan “kesadaran gudang penyimpanan” lenyap dalam Nibbana.[45] Sebenarnya, Yogacārin awal bukanlah idealis; mereka menekankan bagaimana pikiran mengubah dunia seperti yang dialami, tetapi tidak mengatakan bahwa tidak ada yang eksis di luar pikiran.

17.6.1 Asaṅga

Seorang tokoh kunci adalah Asaṅga, yang hidup pada abad ke-4 M di India Barat Laut.[46] Ia adalah kakak dari Vasubandhu dan mengubahnya dari Sautrāntika menjadi Yogacāra. Asaṅga diinspirasi oleh Maitreya, Bodhisattva yang saat ini berdiam di surga Tusita menanti kelahiran kembali untuk menjadi seorang Buddha. Karya utamanya adalah Yogacārabhūmiśāstra yang besar, tetapi di sini kita akan membahas Abhidharmasamuccaya yang lebih terkelola. Ini digambarkan sebagai “suatu karya yang penting dari Abhidharma Mahāyāna. Ia mengandung hampir semua ajaran utama Mahāyāna, dan dapat dianggap sebagai suatu ringkasan dari semua karya lain oleh Asaṅga. Metode perlakuan pokok bahasan dalam karya ini sama seperti metode tradisional yang ditemukan dalam teks-teks Abhidhamma Pali yang mendahuluinya beberapa abad, seperti Dhammasaṅgaṇī, Vibhaṅga, dan Dhātukathā: dengan mengajukan pertanyaan dan menjawabnya.”[47] Tidak hanya format tanya-jawab yang menyerupai Abhidhamma awal: bagian pertama membahas tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, dan alat indera, dengan menggunakan metode Abhidhamma seperti saṅgaha (“pengelompokan”) dan sampayoga (“konjungsi”); bagian kedua membahas empat kebenaran mulia, termasuk sang jalan secara terperinci; jadi dua bagian ini bersama-sama mirip dengan saṁyutta-mātikā. Walaupun teks itu dengan kuat mempertahankan perspektif Mahāyāna, ia kebanyakan berhubungan dengan hal yang familiar dari Sutta-Sutta awal, yang sangat kuat dipengaruhi oleh Sarvāstivāda/Sautrāntika.

Perhatian pertama-tama disebutkan di bawah suatu daftar umum dari 52 faktor mental yang dijelaskan di bawah payung kelompok unsur kehidupan aktivitas-aktivitas. Meskipun daftar ini hampir khusus, urutannya pada titik ini menyerupai Sutta-Sutta: perhatian, samādhi, pemahaman. Saya memberikan definisi-definisi untuk perhatian dan samādhi:

“Apakah perhatian? Ia adalah ketidak-lupaan oleh pikiran (cetas) sehubungan dengan objek yang dialami. Fungsinya adalah ketidak-bingungan.

Apakah samādhi? Ia adalah keterpusatan pikiran pada objek yang diselidiki. Fungsinya terdiri dari memberikan landasan pada pengetahuan (jñāna).”[48]

Ini adalah definisi ringkas yang paling singkat dari istilah-istilah ini yang kebetulan saya temukan. “Ketidak-lupaan” sehubungan dengan objek yang telah dialami menekankan pengamatan yang terus-menerus dari anupassanā. “Ketidak-bingungan” adalah fungsi dasar samatha; di sini ia mengingatkan pada konteks-konteks demikian seperti satipaṭṭhāna sebagai “jalan menuju yang satu”, “landasan bagi samādhi”, dan sebagainya, dan secara khusus ānāpānasati dalam fungsinya dari ketidak-bingungan. Dan sementara perhatian memunculkan samādhi, samādhi pada gilirannya memiliki fungsi yang sebenarnya memunculkan kebijaksanaan.

Sang jalan dijelaskan, dengan cara yang sama dengan Kośa, mulai dengan pelatihan bertahap: etika, pengendalian indera, secukupnya dalam makanan, mengerahkan usaha, pemahaman jernih, dst., dan juga kebijaksanaan dari mendengar, merenungkan, dan bermeditasi. Samatha dan vipassanā disebutkan tanpa penjelasan. Berikutnya adalah analisis yang panjang, lagi-lagi bersandar sepenuhnya pada penjelasan Sarvāstivāda, tentang proses menuju pada penglihatan empat kebenaran mulia. Kemudian “jalan pengembangan” dijelaskan, sebagian besar terdiri atas 37 sayap menuju pencerahan, yang diperlakukan secara eksklusif diterapkan pada para siswa mulia (dalam istilah Theravāda “jalan transendental”). Penjelasan satipaṭṭhāna jelas dan bersifat langsung, yang memberikan beberapa perspektif baru yang menarik. Saya akan merangkumkan aspek kuncinya.[49]

Objek: Tubuh, perasaam, pikiran, dhamma; “hal-hal yang berhubungan dengan diri sendiri”.

Inti intrinsik: Pemahaman dan perhatian.

Penyerta: Pikiran dan batin yang berhubungan.

Pengembangan: Merenungkan sebuah tubuh di dalam tubuh, dst., secara internal/secara eksternal/secara internal-eksternal.

Internal: Alat indera fisik internal.

Eksternal: Alat indera fisik eksternal.

Internal-eksternal: Alat indera eksternal, yang merupakan tempat kemampuan indera, dan yang berhubungan dengan alat indera internal; dan juga landasan fisik internal yang berhubungan dengan orang lain.

Penjelasan pertama untuk internal-eksternal menghubungkan internal dengan eksternal, dan menyatakan antarhubungan yang sintetik. Separuh berikutnya dari penjelasan ini menyatakan landasan internal dari orang lain adalah eksternal bagi diri sendiri, dan demikian diambil bersama mereka menjadi “internal-eksternal”. Penjelasan ini berbeda sedikit dari Theravāda.[50] Perasaan internal-eksternal, dst., dijelaskan sebagai perasaan-perasaan, dst., yang dihasilkan oleh tubuh internal-eksternal. Aspek yang paling menarik adalah perenungan “tubuh di dalam tubuh”: “perenungan dari identitas (atau kesamaannya, samatāpaśyanā) dari gambaran alami tubuh (prakṛtibimbakāyasya) dengan gambaran-lawan yang dibayangkan dari tubuh (vikalpapratibimbakāyena).” Ini menunjuk pada pengembangan suatu gambaran-refleks yang divisualisasikan dalam meditasi, yang dikenal dalam Theravāda sebagai “tanda imbangan” (paṭibhāganimitta). Ini muncul sebagai gambaran-cermin reflektif dari tubuh, atau dari suatu bagian tubuh seperti pernapasan, selama periode segera sebelum penyerapan penuh. Walaupun ini dapat dipahami dengan mudah, tidak semuanya jelas bagaimana suatu penjelasan yang mirip diterapkan pada satipaṭṭhāna lainnya. Teks tidak memberikan bantuan, hanya mengatakan bahwa perenungan perasaan, dst., harus dipahami dengan cara yang sama.

Perlakuan lima kemampuan dan kekuatan spiritual mengakui bahwa masing-masing faktor mendukung faktor berikutnya, termasuk perhatian sebagai dukungan untuk samādhi.[51] Dalam pembahasan jalan mulia berunsur delapan dikatakan bahwa “usaha benar adalah faktor yang melenyapkan rintangan dari kekotoran-kekotoran [utama] (kleśa), perhatian benar adalah faktor yang melenyapkan rintangan dari kekotoran-kekotoran kecil (upakleśa), samādhi benar adalah faktor yang melenyapkan rintangan pada kualitas-kualitas pembedaan.”[52] Dalam hal ini teks menunjukkan ketergantungan eratnya pada teks-teks awal, yang terlihat bahkan di antara banyak unsur yang belakangan.

Terdapat bacaan yang menarik lainnya tentang satipaṭṭhāna dalam Śrāvakabhūmi oleh Asaṅga, yang merupakan bagian dari Yogacārabhūmiśāstra yang membahas tentang pelatihan “para siswa”, dengan kata lain, Buddhisme awal. Kita telah melihat bahwa isi perenungan pikiran di sini sama dengan Śrāmaṇyaphala Sūtra Sarvāstivāda. Namun, perenungan tubuh sangat berbeda dari Sutta-Sutta, dengan mendaftarkan 35 dari berbagai jenis “tubuh”. Seperti biasa, satipaṭṭhāna dikatakan sebagai lawan dari empat penyimpangan. Kemudian teks memberikan suatu perenungan yang asli pada perbedaan antara empat satipaṭṭhāna:

Metode lainnya adalah: di mana seseorang melakukan perbuatan; tujuan untuk apa [seseorang berbuat]; siapa yang melakukan perbuatan itu; dan dengan cara apa seseorang berbuat. Dengan mengandung semua itu secara singkat, empat satipaṭṭhāna dikembangkan. Di sanalah: dalam tubuh seseorang bertindak; untuk kepentingan perasaan; dengan pikiran; dengan cara dhamma-dhamma yang bermanfaat dan tidak bermanfaat.[53]

Dhamma-dhamma “yang bermanfaat dan tidak bermanfaat” hanya dapat berupa rintangan-rintangan dan faktor-faktor pencerahan, bukan kelompok-kelompok unsur kehidupan dan alat indera, sehingga bacaan ini mengingatkan kembali isi awal mula perenungan terhadap dhamma-dhamma.

17.6.2 Vasubandhu

“Commentary on the Separation of the Middle from the Extremes” oleh Stefan Anacker memberikan terjemahan dari Madhyāntavibhāgabhāṣya, yang, menurut sang penerjemah, “salah satu karya yang paling menarik dalam literatur Mahāyāna”. Ini adalah komentar oleh Vasubandhu[54] pada syair-syair yang dianggap berasal dari “Maitreyanātha”.

Mengikuti contoh Sarvāstivādin teks itu berusaha merasionalisasikan urutan tradisional sayap-sayap menuju pencerahan sebagai suatu urutan progresif (sedangkan bagi Sutta-Sutta urutannya tidak penting daripada kelompok-kelompoknya dan hanya mengorganisasikan kumpulan-kumpulan itu menurut jumlah demi kepentingan kenyamanan). Terdapat suatu upaya untuk menyamakan empat satipaṭṭhāna dengan masing-masing kebenaran mulia; bagian ini memiliki suatu penjelasan yang secara menyegarkan sederhana atas perenungan terhadap dhamma: “tanpa kebingungan sehubungan dhamma-dhamma yang berperan menyebabkan penderitaan dan dhamma-dhamma yang berperan meringankan penderitaan.”[55] Ini sama dengan konsepsi perenungan dhamma yang telah kita lihat pada bahan awal. Setelah menyelesaikan ini, seseorang diharuskan mengambil empat usaha benar, dan kemudian mengembangkan samādhi melalui empat landasan kekuatan batin. Terdapat banyak pembahasan tentang berbagai rintangan dalam meditasi dan penangkalnya; perhatian didefinisikan sesuai dengan aliran-aliran sebagai “tanpa kehilangan gambaran, dst. dari objek meditasi.”[56] Di tempat lain fungsi perhatian adalah sebagai penangkal pada “penderitaan-penderitaan sekunder” karena “ketiadaan kelambanan dan kegairahan dalam perhatian yang dikembangkan dengan baik dalam persiapannya menjadi sebab bagi samatha, dst.”[57] Berikutnya, dengan melanjutkan kumpulan-kumpulan dari sayap menuju pencerahan, muncul lima kemampuan spiritual:

Setelah berpegang pada keyakinan, seseorang mengerahkan semangat, hasil dari sebab ini. Setelah mengerahkan semangat, perhatian muncul, dan melalui perhatian yang telah muncul, pikiran memasuki samādhi. Ketika pikiran berada dalam samādhi, seseorang mengetahui sebagaimana adanya.[58]

Di sini kita dengan mantap berada dalam wilayah Sutta. Perbedaan antara kemampuan spiritual dan kekuatan spiritual dijelaskan sehubungan dengan tahapan progresif dari sang jalan menurut sistem Sarvāstivāda; dan kemudian faktor-faktor pencerahan dan jalan mulia berunsur delapan muncul dalam urutan yang seharusnya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #76 on: 12 October 2014, 02:04:21 PM »
Walaupun perlakuan di atas pada dasarnya mirip dengan Kośa, sekarang teks menyatakan tiga ciri khas yang membedakan satipaṭṭhāna Mahāyānis[59]:

1) Objek meditasi untuk para siswa adalah tubuh-tubuh mereka sendiri, dst., sedangkan para bodhisattva adalah tubuh-tubuh mereka sendiri dan orang lain.

Ini salah; seperti yang telah kita lihat, semua teks dari Sutta-Sutta mengakui baik perenungan internal dan eksternal.

2) Para siswa merenungkan ketidakkekalan, dst., dari tubuh, dst., sedangkan para bodhisattva berlatih tanpa-pemahaman [terhadap tubuh-tubuh, dst.].

Ini menunjuk pada perbedaan filosofi penting antara aliran-aliran Abhidhamma dan Mahāyāna: para ābhidhammika, khususnya Sarvāstivādin, cenderung memperlakukan dhamma-dhamma sebagai entitas nyata yang memiliki karakteristik ketidakkekalan dan seterusnya. Tetapi “Aliran Kekosongan” (di mana sang penulis termasuk di dalamnya) menganut bahwa suatu dhamma, bagaikan ilusi sulap, “tidak ada seperti yang ia tampaknya, dengan keadaan memiliki [objek] yang dipahami dan aspek-aspek [subjektif] yang memahami, tetapi ia juga bukan tidak[60] ada, karena keberadaan dari ilusi itu sendiri.”[61] Ini adalah perdebatan filosofi yang paling penting dan rumit dalam Buddhisme India yang belakangan. Cukup untuk mengatakan bahwa, dalam pendapat saya, para ābhidhammika mengajukan sesuatu yang pada pokoknya melebihi Sutta-Sutta dalam perwujudan ontologis mereka atas dhamma-dhamma; tetapi tanggapan “kekosongan” pada umumnya tidak membedakan antara ajaran-ajaran dari Sutta-Sutta dan para ābhidhammika, dan oleh sebab itu cenderung mencap semua pengikut Buddhisme awal sebagai realis yang naif. Jadi kecaman ini, walaupun mungkin berhubungan dengan suatu konteks tertentu, tidak berlaku bagi mereka yang hanya mengikuti Sutta-Sutta.

3) Para siswa berlatih satipaṭṭhāna demi tujuan ketidak-melekatan pada tubuh-tubuh mereka, dst., sedangkan para bodhisattva berlatih bukan untuk tanpa kemelekatan ataupun bukan dengan kemelekatan, tetapi untuk Nirvana yang tidak memiliki tempat berdiam.

Ini membutuhkan beberapa penafsiran, karena tentu saja semua aliran Buddhisme berlatih untuk “Nirvana yang tidak memiliki tempat berdiam”. Agaknya ini dimaksudkan untuk menunjuk pada Kebuddhaan, tujuan tertinggi aliran-aliran Mahāyāna. Hanya ketidak-melekatan mungkin dianggap tanpa belas kasih. Tidak diragukan poin yang sama dibuat di sini ketika teks mengatakan bahwa belajar, merenungkan, dan mengajarkan sūtra-sūtra dari Kendaraan Besar saja yang bermanfaat besar, bukan [sutta-sutta] dari Kendaraan Kecil, sebab Kendaraan Besar dibedakan karena belas kasihnya kepada orang lain.[62] Ini adalah klise kuno tentang sifat mementing diri sendiri dari para siswa. Mempertimbangkan betapa tegasnya Mahāyāna mencap aliran-aliran awal bersifat mementingkan diri sendiri, pasti terdapat beberapa kebenaran dalam tuduhan itu, pada beberapa tempat dan waktu. Tetapi adalah naif untuk menerapkan ini pada semua umat Buddhis awal; saya tidak dapat melakukan yang lebih baik daripada mengutip kata-kata Sang Guru.

“Aku akan melindungi diriku sendiri,” para bhikkhu: demikianlah seharusnya satipaṭṭhāna dilatih. “Aku akan melindungi orang lain,” para bhikkhu: demikianlah seharusnya satipaṭṭhāna dilatih. Dengan melindungi diri sendiri, para bhikkhu, seseorang melindungi orang lain; dengan melindungi orang lain, seseorang melindungi diri sendiri.

Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan melindungi diri sendiri seseorang melindungi orang lain? Dengan pelatihan, pengembangan, dan membuat banyak [empat satipaṭṭhāna]. Adalah dengan cara demikian bahwa melindungi diri sendiri seseorang melindungi orang lain.

Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan melindungi orang lain seseorang melindungi diri sendiri? Dengan kesabaran, tanpa kekerasan, cinta kasih, dan simpati. Adalah dengan cara demikian bahwa melindungi orang lain seseorang melindungi diri sendiri.[63]

17.7 Mādhyamaka

Aliran Mahāyāna India utama lainnya adalah Mādhyamaka. Mereka muncul lebih awal daripada Yogacāra, tetapi di sini saya memperlakukan mereka belakangan, karena satu-satunya karya mereka yang saya memiliki akses padanya lebih belakangan daripada karya-karya Yogacāra yang dibahas di atas. Sementara Yogacāra lebih baik dikenal sebagai suatu aliran kontemplatif, Mādhyamaka terkemuka atas dialektika yang rumit dan kering. Namun, mereka tidak mengabaikan meditasi; Bhāvanākrama oleh Kamalaśīla adalah sebuah panduan meditasi dari aliran Mādhyamaka dari Śantarakṣita yang tampaknya telah disiapkan untuk memperkenalkan meditasi kepada orang-orang Tibet yang baru diubah. Karya ini dipelajari dalam sebuah esai oleh Yuichi Kajiyama berjudul “Later Mādhyamakas”.

17.7.1 Bhāvanākrama

Jalan umum dijelaskan dengan cara yang biasa sebagai pertama-tama menguasai aspek kitab suci dan teoritis, kemudian mengembangkan samādhi yang memuncak pada jhāna dan pencapaian tanpa bentuk sebelum menjalankan vipassanā. Seperti dalam catatan Yogacāra ia menyatakan bahwa hanya pada tingkatan vipassanā terdapat perbedaan pokok dari aliran-aliran awal. Apa yang sangat luar biasa adalah bahwa ajaran vipassanā diturunkan dari evolusi doktrinal dari aliran-aliran sepanjang sejarah. Seseorang bermeditasi pada realitas tertinggi seperti yang dipahami oleh masing-masing aliran utama, kemudian menyadari bahwa tingkatan realitas ini adalah kosong, dan berlanjut pada perspektif yang lebih tinggi, yang lebih halus, yang memuncak, tentu saja, pada kekosongan tertinggi dari Mādhyamaka. Dengan demikian kesadaran individual seseorang berevolusi mencerminkan kesadaran kolektif. Bahkan lebih luar biasa lagi, tahapan evolusi ini jelas sejajar dengan empat satipaṭṭhāna, walaupun satipaṭṭhāna tidak dilibatkan. Di sini saya akan mengutip dari rangkuman Kajiyama.

Dalam bagian-bagian yang terdahulu yang diambil dari Bhāvanākrama oleh Kamalaśīla, empat tahap dapat dibedakan dengan sederhana:

1) Tahap persiapan di mana realitas-realitas ekternal yang diakui dalam sistem Sarvāstivāda dan Sautrāntika disajikan sebagai objek kritik.

2) Tahap di mana hanya pikiran dengan gambaran-gambaran yang terwujud diakui – sistem dari aliran Satyākāravāda-Yogacāra membentuk objek meditasi.

3) Tahap meditasi di mana objek-objek kesadaran serta dualitas subjek dan objek dikutuk sebagai tidak nyata dan di mana pengetahuan tanpa dualitas dinyatakan sebagai nyata – ini adalah sudut pandang Alīkākāravāda-yogacārin.

4) Tahap di mana bahkan pengetahuan non-dual atau pencerahan kesadaran dinyatakan sebagai kosong dari sifat intrinsik. Tahap yang terakhir ini adalah yang tertinggi yang dinyatakan oleh Mādhyamaka.

Tahap pertama melihat dhamma-dhamma sebagai entitas yang pokok, yang sejajar dengan perenungan terhadap tubuh. Tahap kedua menerima “ciri-ciri khas” atau objek-objek dari pikiran, yang sejajar dengan perenungan terhadap perasaan, yang merupakan sifat yang paling terkemuka dari pikiran. Tahap ketiga hanya mengakui kesadaran itu sendiri, yang bersesuaian dengan perenungan terhadap pikiran. Dan yang terakhir melihat hanya kekosongan murni, yang didefinisikan sebagai “kemunculan bergantungan”, seperti halnya perenungan terhadap dhamma memusatkan perhatian bukan pada melihat dhamma-dhamma di dalam dan dari dirinya sendiri, tetapi sebagai suatu matriks dari kondisi-kondisi.

Kesamaannya tidak dapat disanggah dan penting. Urutan empat satipaṭṭhāna mewujudkan suatu kemajuan alami, dari yang kasar menuju yang halus, yang dapat dilihat dalam pengalaman. Seperti halnya banyak ajaran Buddhis lainnya ini suatu pola yang sederhana tetapi sangat mendalam yang dicerminkan dalam banyak perwujudan. Dengan demikian, bagi mereka yang mendalami ajaran-ajaran itu terdapat suatu kecenderungan, apakah disadari atau tidak, untuk mengasimilasikan prinsip-prinsip itu, mengabstrakkannya, dan menerapkannya dalam konteks yang sangat jauh dari yang aslinya. Ini membantu untuk melihat kelanjutan dan hubungan, tetapi ia membutuhkan suatu penegasan-kembali dari konteks aslinya jika kita tidak dipotong terpaut dari tambatan kita.

17.7.2 Meditasi pada Kekosongan

Untuk menyelidiki peran perhatian dalam Buddhisme Tibet yang belakangan, yang terutama diturunkan dari Mādhyamaka, saya akan bergantung pada karya cendikiawan modern Meditation on Emptiness oleh Jeffrey Hopkins. Ini didasarkan pada berbagai sumber, termasuk teks-teks Buddhis India, risalah-risalah Tibet, dan ajaran-ajaran oral oleh para bhikkhu Tibet masa kini. Di sini, perhatian diperlakukan secara eksklusif dengan cara samatha. Penjelasan dasar perhatian memperluas definisi Asaṅga yang diberikan di atas.

Perhatian adalah ketidak-lupaan sehubungan dengan suatu fenomena yang familiar; ia memiliki fungsi menyebabkan ketidak-bingungan. Perhatian memiliki tiga ciri khas:

1) Ciri khas objektif: suatu objek yang familiar. Perhatian tidak dapat dihasilkan dari suatu objek yang tidak diketahui.
2) Ciri khas subjektif: ketidak-lupaan dalam pengamatan terhadap objek itu. Walaupun seseorang mungkin menjadi familiar dengan objek itu sebelumnya, jika ia tidak segera muncul sebagai suatu objek pikiran, perhatian tidak dapat muncul.
3) Ciri fungsional: menyebabkan ketidak-lupaan. Karena kemantapan pikiran meningkat bergantung pada perhatian, ketidak-bingungan ditetapkan sebagai fungsi perhatian.

... semua pencapaian samādhi dalam Sūtra dan tantra dicapai melalui kekuatan perhatian.[64]

“Perhatian benar: kepenuh-perhatian terus-menerus pada objek-objek kesadaran dan pada cara-cara persepsi dari objek-objek itu yang diperlukan untuk menapaki sang jalan.”[65]

Hopkins menyajikan beberapa diagram yang merangkum konsepsi orang Tibet atas tahapan dalam pengembangan samatha. Di sini terdapat suatu daftar dari lima kecacatan dalam samatha bersama dengan obat penyembuhnya.[66]

Tabel 17.2: Kecacatan dan Obat Penyembuh dari Samatha

KecacatanObat Penyembuh
Kemalasan (kausīdya)Keyakinan (śraddhā), kemauan (chanda), upaya (vyāyāma), ketenangan (prasrabdhi)
Melupakan ajaran-ajaran (avavādasammoṣa)Perhatian (smṛti)
Kelambanan (laya) dan kegelisahan (auddhatya)Pemahaman jernih (samprajanya)
Kurangnya ketekunan (anabhisaṁskāra)Ketekunan (abhisaṁskāra)
Ketekunan (berlebihan) (abhisaṁskara)Keseimbangan (upekṣā)

Kebanyakan dari hal ini cukup masuk akal, walaupun ketenangan sebagai obat penyembuh untuk kemalasan agak tidak sesuai. Perhatian muncul dalam pengertian kunonya sebagai “ingatan”.

Daftar berikut, yang dibaca dari bawah ke atas, juga menempatkan perhatian di antara faktor-faktor untuk mengembangkan samatha.[67]

1) Konsentrasi (samādhāna)
2) Keterpusatan (ekotikaraṇa)
3) Kedamaian yang kuat (vūpaśamana)
4) Kedamaian (śamana)
5) Pengendalian (damana)
6) Penetapan yang dekat (upasthāpanā)
7) Penetapan-kembali (avasthāpanā)
8) Penetapan terus-menerus (samsthāpanā)
9) Penetapan pikiran (cittasthāpanā)

Sembilan aspek samatha identik dengan definisi samatha dalam Abhidharmasamuccaya, dan jelas diambil dari sana atau dari suatu sumber yang berhubungan.[68] Namun, dalam sumber awal tidak ada pernyataan bahwa urutan istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menjelaskan kemajuan dalam meditasi. Mereka hanyalah suatu daftar sinonim untuk samatha dalam gaya Abhidhamma yang khusus. Beberapa waktu belakangan mereka ditafsirkan kembali sebagai tahapan dalam meditasi dengan membaca secara sembarangan makna-makna ke dalam istilah-istilah.

Yang paling menarik adalah empat istilah pada landasan dari Sembilan aspek samatha. Mereka memuncak pada upasthāpanā (= upaṭṭhāna), suku kata kedua dari kata majemuk satipaṭṭhāna (smṛtyupasthāna). Tiga istilah yang pertama semuanya berasal dari akar kata yang sama, dan telah diturunkan dari upasthāna.[69] Sedikit dapat disimpulkan dari awalan-awalan yang digunakan untuk membedakan istilah-istilah ini. Penekanannya adalah pada makna akar dari “pendirian, kemantapan, kekokohan (standing, stability, steadiness)”, tiga kata bahasa Inggris juga terutama diturunkan dari akar kata Indo-Arya √sthā. “Penetapan”, atau “penegakan”, atau “penempatan” pikiran pada objek, secara mantap, berulang-ulang, terus-menerus, adalah jalan menuju penyatuan.

Catatan Kaki:

[45] Namun demikian, Vasubandhu membuat beberapa referensi sepintas lalu pada Nibbana sebagai diri sejati. Viṁśatikā-kārikā-vṛtti 10c (Anacker hal. 166).

[46] Boin-Webb, pg. xvii.

[47] Boin-Webb, hal. xviii.

[48] Boin-Webb, pg. 9.

[49] Boin-Webb, hal. 160–162.

[50] Lihat CDB, catatan 1, hal. 1397.

[51] Boin-Webb, hal. 166.

[52] Boin-Webb, hal. 168.

[53] Wayman, hal.97–98.

[54] Dugaan Frauwallner tentang “dua orang Vasubandhu” dengan penuh semangat dibantah oleh Anacker (pp. 7ff), tetapi dipertahankan oleh orang lain; cukup untuk dicatat bahwa  Abhidharmakośa oleh Vasubandhu berasal dari perspektif Śrāvakāyana (Sarvāstivāda/Sautrāntika), sedangkan Madhyāntavibhāgabhāṣya dari Mahāyāna (Yogacāra).

[55] MVB 4.1. Anacker telah menerbitkan suatu terjemahan sebagian, yang lebih awal, dari karya ini dengan judul “The Meditational Therapy of the Madhyāntavibhāgabhāṣya” dalam Kiyota, dan sebuah terjemahan lengkap yang direvisi dengan judul “Commentary on the Separation of the Middle from the Extremes” dalam Anacker. Untuk membantu para pembaca yang mungkin memiliki akses pada salah satu atau yang lain dari karya-karya ini, saya memberikan referensi pada bagian teks alih-alih nomor halaman; namun, ini tidak begitu konsisten dalam kedua versi. Referensi biasanya menunjuk pada komentar pada syair-syair yang dinomori.

[56] MVB 4.5b.

[57] MVB 4.11a.

[58] MVB 4.7.

[59] MVB 4.12b.

[60] Terjemahan Anacker yang lebih awal menghilangkan “tidak” yang kedua.

[61] MVB 5.17.

[62] MVB 5.9, 10.

[63] SN 47.19.

[64] Hopkins, hal. 247.

[65] Hopkins, hal. 289.

[66] Hopkins, hal. 72, diagram 2.

[67] Hopkins, hal. 81, diagram 3.

[68] Boin-Webb, hal. 170.

[69] Definisi Abhidhamma Theravāda terhadap samatha dengan mirip memasukkan serangkaian istilah yang diturunkan dari √sthā; ini memiliki awalan yang sama dalam urutan yang sama (ṭhiti, saṇṭhiti, avaṭṭhiti).
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #77 on: 12 October 2014, 02:12:57 PM »
Penutup

Saya ingin mengakhiri dengan merangkumkan beberapa wilayah penting di mana GIST dan sejarah tentang perhatian saling tumpang tindih.

Hal pertama untuk diperhatikan adalah nilai melihat kitab-kitab Buddhis dalam konteks historis dan kulturalnya. Dalam beberapa kasus ini membawa kita mengamankan kesimpulan-kesimpulan, yang tidak dapat kita capai bergantung pada sumber-sumber Buddhis saja. Suatu contoh bagus dari hal ini adalah analisis tentang ekāyana, di mana sumber-sumber Pali dan Mandarin tampaknya tidak yakin atas maknanya, tetapi konteks Upaniṣad sangat membantu pengungkapan maknanya.

Kasus ini juga menegaskan kembali perlunya untuk menyelidiki Saṁyutta sebagai sumber utama. Dari Satipaṭṭhana Sutta itu sendiri kita tidak memiliki gagasan bahwa ungkapan ekāyana memiliki hubungan Brahmanis apa pun, tetapi Saṁyutta jelas menyatakan hal ini.

Studi kita juga menekankan nilai penting yang krusial dari suatu pendekatan yang menyeluruh untuk mempelajari Dhamma. Kita tidak dapat memperlakukan anggota-anggota tubuh individual seakan-akan mereka tidak memiliki hubungan dengan organism yang lebih besar. Pola yang menyeluruh itu pasti berasal dari empat kebenaran mulia, dan kategori-kategori dhamma yang kebanyakan secara langsung diturunkan dari empat kebenaran mulia. Studi yang serius sepanjang baris demikian tidak dapat dihindari akan berakhir pada Saṁyutta sebelum terlalu lama, karena inilah di mana kebanyakan inti ajaran-ajaran ditemukan. Dengan demikian kita telah memperlakukan satipaṭṭhāna, bukan sebagai “satu-satunya jalan”, tetapi sebagai faktor ketujuh dari jalan mulia berunsur delapan. Satipaṭṭhāna Sutta tidak lebih – dan tidak kurang – daripada sebuah penguraian dari tahapan sang jalan ini.

Sementara sentralitas ajaran dari Saṁyutta pasti mendorong ia sendiri terhadap siswanya, kita juga membuat pernyataan yang lebih radikal, yang mengikuti Yin Shun, bahwa Saṁyutta juga mengandung lapisan yang tertua secara historis dari kitab-kitab Buddhis, dan bahkan menyatakan bahwa kumpulan ini telah ada selama masa kehidupan Sang Buddha, dan merupakan karya utama yang disusun pada Konsili Pertama. Ini tidak berarti bahwa segala sesuatu dalam Saṁyutta adalah bersifat awal dan segala yang lain adalah belakangan dan tidak otentik. Ini hanyalah berarti bahwa bahan saṁyutta mungkin, rata-rata, bersifat awal, dan penambahan terutama dibatasi pada pengulangan editorial, dst., alih-alih perluasan ajaran. Namun demikian, kita telah mencatat beberapa contoh di mana Saṁyutta menunjukkan sedikit pengaruh sektarian.

Pendekatan yang menyeluruh ini juga menegaskan kembali perlunya studi-studi perbandingan. Ketika kita mengalih perhatian dari perbedaan-perbedaan sektarian yang lebih jelas dan melihat lebih dekat pada ajaran-ajaran utama, kesamaan-kesamaan antara tradisi-tradisi adalah menonjol. Kita kebanyakan berhubungan dengan sumber-sumber Pali dan Mandarin, karena inilah di mana kebanyakan kitab-kitab awal ditemukan. Namun, kanon Tibet, walaupun tidak memiliki teks-teks sebenarnya, masih didasarkan pada sūtra-sūtra Āgama, yang dianggap sebagai kanonik dalam tradisi itu. Agak memalukan bahwa mereka yang terinspirasi oleh tradisi Tibet sebagian besar tetap tidak menyadari dan tidak menghargai sumber-sumber historis di mana ajaran-ajaran dan praktek mereka terutama berasal.

Kita telah menggunakan apresiasi kita terhadap peran utama Saṁyutta untuk menilai kembali Satipaṭṭhāna Sutta. Suatu penyelidikan sepintas lalu dari berbagai versi menunjukkan bahwa terdapat suatu masalah nyata yang harus diselesaikan. Sementara kita dapat dengan pasti berjalan pada suatu jalan panjang dengan studi perbandingan yang langsung dari versi-versi yang ada, pada beberapa poin hubungan saṁyutta memberikan bantuan yang penting. Dengan demikian, dalam memutuskan apakah rumusan pelengkap satipaṭṭhāna bersifat standar dalam Sarvāstivāda seperti dalam Theravāda, Sutta-Sutta Satipaṭṭhāna tidak bermanfaat, dan kuncinya hanya disediakan oleh sedikit catatan kaki dalam terjemahan Mandarin dari Saṁyutta. Lagi-lagi, adalah Saṁyutta yang menegaskan perincian awal dari perenungan terhadap dhamma.

Sementara menekankan pentingnya lingkungan pra-Buddhis, kita juga mengakui pentingnya mempertimbangkan sumber-sumber yang belakangan. Sumber-sumber pra-Buddhis mengatakan pada kita tentang para pendengar Sang Buddha, bahasanya, jenis-jenis masalah dan gagasan-gagasan yang ia sampaikan. Tetapi kita tidak dapat melupakan bahwa kenyataan bahwa Sutta-Sutta awal ada sama sekali disebabkan oleh upaya-upaya dari aliran-aliran; dan gagasan-gagasan dan agenda-agenda aliran-aliran hampir tidak dapat diharapkan tidak meninggalkan jejak sama sekali pada kitab-kitab suci. Dalam beberapa kasus ini hanyalah gema dari teknologi dan bahasa pada masa-masa itu; dalam kasus lain kita menemukan perkembangan ajaran yang penting.

Adalah penambahan yang belakangan dalam Satipaṭṭhāna Sutta – khususnya, pengulangan vipassanā dan penambahan dari kelompok-kelompok unsur kehidupan, alat indera, dan kebenaran-kebenaran mulia – yang paling ditekankan dalam karya-karya yang belakangan, hampir pada poin mengabaikan bahan otentiknya. Namun demikian, kita berulang kali menemukan, sepanjang aliran-aliran, bahwa aspek penting satipaṭṭhāna diingat dan dijelaskan secara akurat. Dengan demikian kita tidak dapat setuju sepenuhnya dengan para tradisionalis, yang menyatakan bahwa tradisi komentar dari aliran mereka sendiri telah membungkus semuanya, ataupun dengan para pembaharu modernis yang radikal, yang berpendapat bahwa tradisi-tradisi hanyalah sekumpulan kesalahan, yang lebih baik dibuang. Alih-alih, suatu penilaian yang hati-hati atas tradisi-tradisi dari sudut pandang Sutta-Sutta menunjukkan mereka banyak mengajarkan kita tentang Sutta-Sutta, dan bahkan ketika mereka salah mereka menunjukkan bagaimana komunitas-komunitas hidup mengadaptasikan Dhamma pada situasi mereka.

Dhamma tidak pernah hidup dalam kehampaan. Perbedaan-perbedaan dalam teknik-teknik meditasi, yang terbagi persisnya sepanjang baris samatha versus vipassanā, adalah di antara masalah-masalah yang paling bersifat memecah belah dalam Buddhisme. Kita menginvestasikan banyak hal dalam meditasi kita, banyak waktu, banyak usaha, banyak rasa sakit; dan demikianlah kita melekat, lebih mendalam daripada teori semata. Perbedaan-perbedaan dalam pendekatan dan penekanan pada meditasi mengeras menjadi dogma mengenai siapa yang menjalankan “sistem” yang benar, dan penafsiran ajaran kemudian dibentuk untuk menyesuaikan, dengan suatu desakan yang melengking pada anggapan seseorang terhadap “realitas tertinggi”.

Ini menjadi demikian, suatu pendekatan pada meditasi yang menekankan keharmonisan dan sifat saling melengkapi dari samatha dan vipassanā seharusnya menjadi suatu faktor yang manjur. Kita dapat menghargai berbagai pendekatan pada meditasi tanpa memaksakan yang mana pun dari mereka sebagai yang mutlak dan cukup untuk semua orang. Dalam hal ini kita seharusnya mengikuti langkah kaki yang toleran dari Sang Buddha.

“Menunjuk pada apakah, Bhante, ‘seseorang yang berdiam dalam Dhamma’ itu?”

“Di sini, seorang bhikkhu mempelajari Dhamma - sutta, geyya, vyākaraṇa, gāthā, udāna, itivuttaka, jātaka, abbhūtadhamma, vedalla. Ia tidak menghabiskan hari-harinya dengan Dhamma yang ia pelajari itu, ia tidak mengabaikan pengasingan diri, ia mencurahkan diri pada ketenangan (samatha) dalam pikiran. Demikianlah, bhikkhu, seorang bhikkhu adalah ‘seseorang yang berdiam dalam Dhamma’.”

“Demikianlah, bhikkhu, aku telah mengajarkan padamu seorang bhikkhu yang banyak belajar, yang banyak mengajar, yang banyak memikirkan, dan yang berdiam dalam Dhamma. Aku telah melakukan untuk kalian apa yang seharusnya dilakukan seorang Guru yang mencari kesejahteraan untuk para siswanya demi belas kasih. Di sini, bhikkhu, terdapat kaki pepohonan, di sini terdapat gubuk-gubuk kosong. Laksanakan jhāna, bhikkhu! Janganlah lalai! Janganlah menyesalinya kelak! Inilah pengajaranku kepada kalian.”
[70]

Catatan Kaki:

[70] AN 5.73.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: A History of Mindfulness
« Reply #78 on: 12 October 2014, 02:17:23 PM »
Singkatan-Singkatan

AN   Aṅguttara Nikāya
BU   Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad
CDB   Connected Discourses of the Buddha (terjemahan Saṁyutta Nikāya)
CU   Chāndogya Upaniṣad
DA   Dīrgha Āgama
Dhp   Dhammapāda
Dhs   Dhammasaṅgaṇī
DN   Dīgha Nikāya
EA   Ekottara Āgama
Iti   Itivuttaka
Kośa   Abhidharmakośabhāṣya
LDB   Long Discourses of the Buddha (terjemahan Dīgha Nikāya)
MA   Madhyama Āgama
MBh   Mahā Bhārata
MLDB   Middle Length Discourses of the Buddha (terjemahan Majjhima Nikāya)
MN   Majjhima Nikāya
MVB   Madhyāntavibhāgabhāṣya
PP   Puggala Paññatti
PED   Pali-English Dictionary (Pali Text Society)
SA   Saṁyukta Āgama
SED   Sanskrit-English Dictionary (Monier-Williams)
Skt MPS   Mahā Parinirvāṇa Sūtra Sanskrit
Skt CPS   Catuṣpariṣat Sūtra Sanskrit
Skt SPS   Śrāmaṇyaphala Sūtra Sanskrit
SN   Saṁyutta Nikāya
Sn   Sutta Nipāta
T   Edisi Taishō dari Tripiṭaka Mandarin
U   Udāna
Vsm   Visuddhimagga
YS   Yoga Sūtra

S E L E S A I

:lotus: :lotus: :lotus:
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

 

anything