//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Mokau Kaucu

Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7 8 9 10 11 ... 87
46
next, mampir ke sini om: 7°36'25.81"S 110°10'39.06"E
pas di belakang Brobudur hanya +/- 3km, max.


Di Menoreh?  mesti bangun jam 3 pagi untuk mengejar matahari terbit. 


47
Hari ke – 5.

   Pagi hari setelah berjalan jalan keliling Borobudur, dan sempat memotret  Borobudur dalam kondisi tanpa turis.  Barulah kami berdua santap pagi di pendopo .   



 Pada saat santap pagi,  saya melihat 2 bhiksu, yang kemudian saya ketahui berasal dari Korea.    Entah karena saling tertarik, saya sering berpandangan dengan salah satu bhiksu tersebut; dan akhirnya saya memberikan satu piring penuh krasikan sebagai persembahan untuk mereka berdua.  Yang disambut dengan gembira, dan dayaka mereka adalah seorang wanita Korea yang lumayan fasih berbahasa Indonesia, meminta saya untuk duduk  bersama mereka; yang saya penuhi setelah saya menghabiskan sarapan pagi, dan berpindah ke meja mereka. 
Kami bercakap cakap , saling bertukar informasi mengenai perkembangan Buddhism di negara masing masing;  Buddhism di Korea juga sedang mengalami masa yang sulit, karena agresivitas penjaja agama dari kelompok samawi; tetapi pada sisi yang lain juga mendapatkan perkembangan yang baik  berupa tumbuhnya ketertarikan pada meditasi; yang diikuti oleh orang dari berbagai agama; sama seperti di Indonesia.
   Bincang bincang dengan mereka tanpa terasa hampir 2 jam dan berakhir dengan undangan dari mereka agar saya menghadiri acara ceramah meditasi di Jakarta ;  2 minggu kemudian.  (Saya berkesempatan hadir diacara tersebut , yg ternyata adalah acara bagi para ibu ibu dutabesar dan korps diplomat  mancanegara yang tinggal di Indonesia; saya dan istri adalah satu satunya non – diplomat yang diundang khusus oleh bhiksu tsb; pantas pada waktu masuk ke ruang acara,  kami diperiksa dengan pengamanan ketat, pakai metal detector segala).  Entah kapan ,  bisa jumpa lagi dengan mereka.

   Selesai bincang bincang, hari sudah makin siang, dan setelah bebenah, membersihkan kendaraan, kami check out, kami segera meluncur ke arah Yogya untuk mencari tempat santap siang.  Dan setelah memilih milih, akhirnya kami mampir di Rumah Makan Jejamuran, yang menyediakan santapan semua terbuat dari berbagai jamur.

Makanan yg dipesan

Pepes Jamur,  Cah Jamur,  Sate Jamur ;  Gule Jamur


Berbagai jenis Jamur yang dijual , dan bisa dibudidayakan sendiri di rumah








Selesai santap di Resto Jejamuran, perjalanan di lanjut ke Bandara Adisucipto; dan disana kami sudah ditunggu oleh pemilik mobil.  Setelah membereskan pembayaran, kami langsung check ini;  saya berangkat terlebih dahulu dgn pesawat jam 18:00 sedangkan sahabat saya menuju Denpasar dgn pesawat jam 19:15.

Selesailah sudah kisah keluyuran sambil reuni ke Yogya, Salatiga dan Borobudur.

48
Hari ke-4.


   Pagi hari dimulai dengan santap pagi di Soto Garasi Esto yang terkenal (sdh pernah di ulas dalam tulisan terdahulu : Travelling ke Jawa Timur pp via darat ;  [url]]http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23250.msg421232.html#msg421232)[/url


   Usai sarapan, segera balik ke hotel untuk berkemas dan checkout.

   Dari hotel , kami mampir ke rumah rekan wanita yang tidak bisa ikut ke Salatiga, dan pesan dengan serius agar mampir ke rumahnya di Salatiga, karena sudah dipesankan penganan yang tidak ada di Jakarta,  Sego Jagung, dan jajanan pasar.  Bahkan pagi hari sebelum kami keluar sarapan Soto, sudah telepon mengingatkan :”Ojo lali yo, mampir nang omahku, wis disiapke panganan sing ora ono ning Jakarta”.   Putar putar sejenak di Salatiga , akhirnya kami menemukan rumah yang dimaksud, rumah kuno jaman kolonial Belanda, dengan luas tanah  lebih dari 2000 meter persegi; memang luar biasa besar kalau ukuran Jakarta.

Ini penampakan rumahnya




   Kami disambut oleh sepasang pembantu,  yang keduanya sudah berusia lanjut, dan dengan ramah mempersilahkan kami untuk masuk .
   Rumah tersebut terawat dengan baik, meskipun keluarga yang empunya tinggal di Jakarta dan Bandung, dan hanya sekali sekali ditengok.

   Tidak berapa lama ditampilkan santapan Sego Jagung, atau nasi jagung; meskipun nasi jagung nya sendiri terasa hambar bagi saya, tapi dengan lauk penyertanya, teruma wader goreng kering, terasa sedap juga.



Hidangan tsb di tutup dengan desert berbagai jajan pasar, seperti getuk, klepon, jenang, + kopi.
Saking semangatnya menghabiskan berbagai penganan kuno, lupa memotret!

Setelah itu, kami diajak ke pekarangan yang luas dengan berbagai pohon buah buahan; ada satu pohon yang belum pernah saya lihat, pohon buah Kepel, seperti tampak pada gambar dibawah ini.




Penampakan G. Merbabu dari rumah tersebut.




Kami pun pamit dari sepasang kakek nenek itu, dengan penuh rasa terima kasih karena ketulusan mereka yang telah berupaya agar kami senang;  walaupun komunikasi antara saya dengan mereka ngga nyambung, kalau saya pakai bahasa Indonesia, mereka ngga ngerti; kalau saya pakai bahasa Jawa (yg tergolong bahasa Jawa kasar), dijawab pakai bahasa Jawa halus, giliran saya yang ngga ngerti); sampai dibantu oleh teman saya sambil tertawa tawa karena banyak salah tafsir yang lucu-lucu.

Perjalanan menuju Borobudur sebenarnya hanya alasan kita berdua untuk ber-bincang bincang berbagai hal dari bisnis, kondisi ekonomi, perkembangan sosial spiritual, termasuk tukar pengalaman spiritual masing masing; jadi kita memilih rute yang lebih sepi tapi indah.  Dari Salatiga menuju Kopeng, setelah itu belok menuju Selo karena ingin melihat Merapi dari  Selo setelah meletus di tahun 2010.
   Di Selo kami mampir sejenak di tempat peristirahatan milik Pemda, yang sekarang sudah ditambah fasilitas berupa penginapan sederhana tapi berharga mahal Rp 750.000,- - per malam.  Kami pesan:  ubi rebus – tidak ada  ; pisang rebus – tidak ada juga.  Yang ada pisang goreng, ya sudah pesan pisang goreng + kopi untuk masing masing; sambil menikmati hawa dingin Selo sambil memandang keangkuhan Merapi yang terlihat sangat jelas darii gardu pandang Selo.

Merapi yg perkasa




Karena masih iseng , kami mencoba pergi ke Gardu Pandang Selo yang baru, yang terletak persis dikaki gunung Merapi, perjalanan yang terus mendaki , walaupun jaraknya hanya sekitar 3 km; dan udara makin dingin.

Tempat yang mirip terminal bus ini, dipenuhi pedagang jajanan, termasuk jagung rebus dan bakar; dan juga dipadati oleh pemuda bermotor yang awalnya saya khawatir mereka geng motor yg brutal; tetapi ternyata mereka baik-baik saja.  Dan ada yang bertanya : “Dari Jakarta oom?”  ‘Ya’ jawab saya.  “Main oom”  ‘Ya, nyari yang ngga ada di Jakarta,  hawa seperti ini dan pemandangan seperti ini ngga ada’.   Yang disusul oleh ketawanya.  Saya balik bertanya :  “Dari mana dik?”  “ Oh dari Yogya”  “Sekolah di mana dik?”  “Mahasiswa oom,  di UGM”,  “Wah, kebetulan nih senior alumni UGM”. Berikutnya rekan saya yang asik ngobrol dengan mereka, karena ternyata dari satu almamater,  UGM.
Sedangkan saya asyik memotret gunung Merbabu dikejauhan.



Panoramic View




Kami hanya sekitar 20 menit disitu, dan menuju Gardu Pandang Ketep Pass yang bisa melihat gunung Merbabu dan Merapi.

Ketep Pass lebih tertata daripada Selo, karena terletak di jalur Wisata,  Salatiga – Kopeng – Magelang.   Di Ketep Pass, ada fasilitas parkir untuk kendaraan bus wisata , dan kendaraan pribadi + motor.  Ada restoran yang kalau dari tempat duduk dekat jendela bisa melihat pemandangan indah diluar.

Beberapa foto dari Ketep Pass.




Merapi





Merbabu

Dari Ketep Pass, kami melanjutkan perjalanan ke Muntilan, dan mampir sebentar ke toko oleh oleh Muntilan, untuk membeli perbekalan, antara lain : Krasikan, Wajik, Getuk, tape ketan.

Setelah istirahat ngopi di toko tersebut, kami putuskan untuk pergi ke Magelang terlebih dahulu, dengan tujuan mencari makan chinese food di Resto Kondang.   

Muntilan ke Magelang memerlukan waktu tempuh sekitar 30 menit karena jalanan sangat padat.  Santap malam yang betul betul mengenyangkan karena enak.  Menjelang jam 21:00 kami berangkat menuju Borobudur, yang dapat ditempuh dalam waktu 30 menit, karena jalanan sdh sepi.

Hotel Manohara yang menjadi langganan kami, sudah menyiapkan segala sesuatu termasuk kamar favorit saya, sehingga proses check in berjalan lancar. Yang lama adalah berkangen ria dengan pegawai pegawai hotel yang saya kenal sejak belasan tahun yg lalu dan masih bekerja disitu.  Sedangkan teman seperjalanan saya,  segera mandi dan langsung ke pendopo yang menghadap candi Borobudur ; dan tancap gas , meditasi disana.

Saya sendiri menyusul setengah jam kemudian.

Sekitar pk 24:00 ,  kami semua  kembali ke kamar untuk istirahat.


49
Hari ke 3


Setelah santap nasi gudeg di jl. Taman sari ,  lalu mengantarkan 3 rekan yg dari solo, + 1 lagi yang ikut ke solo utk mudik karena rumah orang tua beliau memang di solo.
Sekitar jam 10:00 Kami antar mereka ke stasiun Lempuyangan, untuk naik Prameks, sambil bercanda sepanjang jalan, mesti di potret nih para direktur yang blusukan naik Prameks Yogya – Solo, alasannya riset pasar!.  Jadi para karyawan marketing dan sales , perlu mencontoh para boss, tidak perlu menuntut kendaraan roda 4 untuk operasioanal, haahaha.

   Selesai  mengantar,  tinggal bertiga (karena yg satu lagi, si empunya SorSawo ada tugas yang lain) kami berangkat menuju Kaliurang, ke museum Ulensentalu, yang memuat berbagai koleksi dari kerajaan kerajaan di Jogya  dan Solo.  Sebagian besar koleksinya berupa foto, lukisan , pakaian dan barang barang lain, yg lebih cenderung ke perlengkapan wanita. 
   Guide rombongan turis yang kami ikuti, sangat bersemangat menjelaskan kisah Gusti Nurul, salah satu putri Mangkunegaran yang  lahir di awal abad lampau; dan katanya terkenal selain melanggar pakem budaya Jawa juga ditaksir oleh banyak bangsawan termasuk HB IX, dan Bung Karno.
   Melanggar pakem karena sebagai putri Jawa, beliau malah senang naik kuda, pakai pakaian joki pula; dan ini dijaman kisah Siti Nurbaya.; saat adat masih sangat mengekang kebebasan wanita.
Dikatakan oleh guide, bahwa sampai sekarang Gusti Nurul masih hidup, sehat di usia menjelang 90 tahun.

   Selesai keliling museum, kami mampir ke gedung Teahouse yang satu kompleks dipekarangan museum.; Bangunan rumah  peristirahatan peninggalan Belanda ini direnovasi dan dijadikan Teahouse; sehingga kamar kamar dijadikan ruang makan/minum teh para tamu yang datang berombongan; sedangkan dibagian yang lebih luas, disediakan banyak meja dan kursi.  Variasi teh yang disediakan cukup lengkap, tetapi sesuai dengan mereknya yg British, sangat bergaya British; walaupun menu makanan yang disediakan mengacu pada budaya Belanda/Hindia Belanda + Jawa; seperti poffertjes, biterbalen, frenchfries, pisang dan ubi goreng.   Udara yang sejuk membuat kami senang berbincang bincang disitu sambil menyantap hidangan yg tersaji, sehingga tidak terasa sudah mendekati jam 15:00 sore. 
Sayang sekali,  hp yg saya bawa, benar benar boros batere, baru 4 jam sdh low batt, dan tidak bisa mengambil foto apapun, hiks.

   Kamipun bergegas turun, lalu mengantarkan rekan putri ke rumah adiknya yang terletak disekitar hotel Grand Hyatt Yogya; dan tinggalah saya dan teman saya dari Denpasar yang melanjutkan perjalanan, bergantian nyetir mobil; menuju Salatiga.

   Salatiga ditempuh dari Yogya melalui Klaten, kemudian mblusuk lewat jalan pintas menuju Boyolali sehingga tidak perlu memutar melalui Kartasura, dan dari Boyolali ke Salatiga bisa ditempuh dalam waktu 20 menit saja.  Klaten sudah sangat berkembang, daerah yang dulu berupa sawah yang hijau , kini pada dipenuhi perumahan penduduk.

   Kami berdua tiba di Salatiga sekitar pk 20:00 dan check in di hotel Le Beringin, hotel bintang 3,  yang bersih, dan terletak di pusat kota, serta dekat dengan salah satu warung ronde jahe favorit teman saya yang pernah tinggal di Salatiga waktu masih SD.

   Perut yang belum terisi, memaksa kami untuk keluar mencari santapan; dan menjelang 21:00 Salatiga sudah mulai sepi. Kami menanyakan kepada resepsionis rumah makan terdekat yang masih buka.  Sesuai saran dari resepsionis, kami berjalan kaki ke sebuah warung sate Kantil, yg terletak di sebelah Sekolah kr****n Ebenhezer.  Untunglah warung sate ini masih buka, dan kami bisa memesan sate, gulai dan semangkuk makanan yang kami pesan karena namanya aneh : Gecok kambing,

Ini dia penampakkannya.  Gecok Kambing yang paling kanan, sdh ludess duluan




Walaupun namanya aneh, tetapi rasanya mak nyuss, mengalahkan gulai yang berada disebelahnya.
Rasanya berada ditengah tengah antara gulai kambing dengan Rogan Josh, itu kari kambing India dengan bumbu pekat.
Jangan heran kalau Gecok ludes terlebih dahulu.
Dan biaya yang dikeluarkan termasuk 2 gelas jeruk hangat : Rp 53.000,- 

Selesai makan, teman saya mengajak untuk berjalan kaki ke warung ronde , kalau yang pernah kuliah di Salatiga pasti tahu katanya.  Nah berjalan kaki tidak sampai 15 menit, melalui gang sempit sebelah pasar, tibalah di Warung Ronde Jahe Djago yang dijagokan oleh teman saya.   Ingin pesan ronde jahe, tetapi ternyata sudah habis,  maka terpaksa pilih opsi ke -2 ;  sekoteng.  Tidak berapa lama pesananpun tiba; penampakan ya sama  seperti sekoteng yang di Jakarta, tetapi ditambahi ronde 2 butir yg berisi kacang, yg terakhir ada.
Dan memang rasanya enak, jauh berbeda kalau dibandingkan dengan sekoteng yang biasa dijajakan kalau malam di Jakarta.  Recommended bagi rekan rekan yang kebetulan mampir di Salatiga.



Selesai bincang bincang, eh sudah mendekati jam 23:00 , kamipun berjalan kaki, balik menuju hotel dan istirahat untuk keesokan harinya menuju Borobudur.


   


50
Humor / Re: ketawa akhir pekan
« on: 10 May 2014, 08:15:50 PM »
Matematika



51
Seremonial / Re: Happy Birthday to Cumi Polos (Sacheng) ;D
« on: 10 May 2014, 08:10:04 PM »
Happy Birthday Bro 3000.

 ;D

52
Bro apakah anda pernah melihat ada binatang hidup (sebangsa "otis" bhs jawa nya, oma kgk tau bhs indonesia nya, binatang yg berwarna hitam dan kulitnya sangat keras) berjalan2 didalam tubuh manusia ? pernahkah anda melihat bola pingpong berjalan2 didalam tubuh manusia...sebentar di perut...sebentar di dada...sebentar di tenggorokan (klo sedang ditenggorokan dia sampe melotot2 n kelojotan krn kgk bs nafas).... #medis tdk bisa menjelaskan penyakit ini tp sembuh hny dengan sentuhan tangan seseorang#

Belum pernah lihat,  anda sudah pernah? 
Serem juga ya

53
Seremonial / Re: Waisak 2014, tanggal berapa? 13 Mei atau 15 Mei?
« on: 06 May 2014, 10:03:40 AM »
Berkaitan dengan Meditasi pada detik detik Waisak, apakah ini tradisi khas Indonesia?
Atau juga dilaksanakan di negara negara lain dgn tradisi Theravada seperti Myanmar, Srilanka, Thailand , Cambodia , Laos?

Bila ada yang punya info,  dimohon kesediaannya berbagi disini.

 _/\_

54
beberapa hari yg lalu TM (telemarketing...) menyungsup ke hp.....

dgn gesit menawarkan ini dan itu.....

cumi : bagiamana bisa tao klo mbak ini ASLI ?....
x: ya... dst dst....

cumi : klo tdk ketemu orangnya mana bisa PERCAYA ?

x: ini ....begini begitu....

cumi : alamat kantornya dimana....nama dan ruang kantornya mana... kapan bisa ketemu...

x: ini di Jakarta...

cumi : gak masalah lahhh kan bisa pakai web cam... atao apalah....

x:....?  ? ? ?...... (mulai sebel n mau marahhhhh)


.................
akhirnya setelah 1/2 jam.... wah cumi kena serangan dari rekan2nya......
ha ha haaaaa ^:)^

Diserang dgn telepon lagi?   Baguslah, daripada digoreng tepung.   ;D

55
Hari ke – 2.



Pagi hari setelah mandi yg segar, diawali dengan sarapan yg disediakan tuan rumah, ada nasi gudeg pincuk, sego goreng (kalau di tempat lain, namanya nasi goreng; karena di Yogya namanya berubah jadi sego goreng) dan beliau sangat berbaik hati, mengundang pedagang soto ayam berikut gerobaknya untuk melayani kami.

Soto ayam yg murah meriah, dengan rasa yg cukup lumayan , untuk menghangatkan perut dipagi hari, ditutup dengan teh panas, legi , kentel yg disediakan si mbak di pendopo; kasihan juga si mbak, sego gorengnya tidak ada yang menyentuh.


Tidak berapa lama kami selesai makan, tibalah rombongan ke 2 yg berangkat dari Solo pagi hari, dengan demikian total kami ber -8.

Acara berikutnya adalah ingin melihat museum budaya yang terletak di daerah  Bantul sambil mencari makan siang.

Perjalanan ke Bantul yg tidak terlalu jauh, kira kira satu jam perjalanan; dan teman yang dari Solo protes, sudah lapar! Karena mereka berangkat sejak subuh, dan hanya makan sedikit roti dan kue diperjalanan.  Maka diputuskan untuk cari tempat makan dulu; penawaran sate Klatak yang berbahan dasar daging kambing, secara aklamasi ditolak oleh rekan rekan yang takul kolesterolnya naik; terutama oleh yang mempunyai gejala hipertensi.

Teman yang berasal dari Yogya menyarankan makan Mangut Lele; yang bagi saya terdengar aneh, nama yang umum diketahui di Jakarta adalah Pecel Lele.  Tetapi dia lupa , dimana tempatnya yang terkenal enak.  Akhirnya setelah tanya kiri kanan, sampailah ke TKP yang dituju.  (TKP = Tempat Kenikmatan Perut).

Santapan yang dihidangkan seperti tampak dibawah ini:


Meja penuh hidangan


[imghttp://i1138.photobucket.com/albums/n537/Darsono12C/Reuni%20Yogyakarta%202013/photo2_zps1b5156a9.jpg[/img]http://Penampakan lele goreng dan mangut lele.


Sayur terancam;  ya iyalah , terancam dihabisi.



Penampakan dapur tempat mengolah, pantesan enak, pakai kuali lengkap dengan jelaga dan asap


Total pengeluaran untuk ber delapan, lengkap dengan kerupuk,  es jeruk, kopi panas dll,  Rp 161.000,-  dengan perut kekenyangan.

Perjalanan menuju museum budaya, ternyata gagal, karena lokasi dipakai untuk acara Jagong Manten, alias pernikahan.

Dengan rasa kecewa + ngantuk, kami berkeliling mencari cafe; dan menemukan sebuah cafe dengan beberapa turis berambut pirang duduk di cafe tersebut yang menghadap ke hamparan sawah.  Ternyata cafe tersebut adalah bagian dari Lodge atau homestay d’Omah di Bantul.
Untuk ukuran Yogya tentunya cukup mahal dengan tarif 100US$ per malam.  Setelah menikmati kopi, kami penasaran ingin melihat apa yang keistimewaan rumah tinggal ini, sehingga bisa ramai dihuni turis mancanegara.

Berikut ini adalah beberapa foto penampakan rumah tinggal tsb.


Halaman ditengah kompleks homestay d'Omah.


Lengkap dengan kolam renang


Ruang duduk ditepi kolam


Teras didepan sebuah kamar homestay

 
Sebuah Gazebo untuk duduk duduk  yang diteduhi pohon pohon besar


Merak peliharaan dalam kompleks homestay.


Ternyata design hotel/homestay tersebut dibangun dari rumah penduduk yang direnovasi dan tetap menyatu dengan desa setempat, sehingga antara satu rumah dengan rumah yang lain, kita melewati jalan setapak yang berbatasan dengan rumah penduduk di desa tersebut; rupanya konsep tinggal di pedesaan Yogya inilah yg bisa dijual dengan harga mahal kepada turis manca negara yang sudah bosan dengan hotel kinclong gemerlap, full service dan kemudahan.    Karena di pedesaan, ya otomatis kalau malam menjadi gelap gulita, karena itu dibeberapa tempat dalam kompleks, ada lentera minyak model kuno, oncor(obor) untuk penerangan; rupanya hal hal semacam ini yang dianggap exotis dan rela dibayar mahal oleh turis.
Istilah teman saya : “ Menjual ketidaknyamanan yang bisa dihargai dengan harga mahal.”  Smart business, kalau melihat bangunan yang ada, adalah perumahan di desa biasa, bahkan kalau di Jakarta dengan konstruksi atap seperti itu, bisa bisa IMB tidak akan diperoleh.

Setelah puas inspeksi di homestay tersebut, hari sudah menjelang sore, dan pertanyaan berikutnya adalah: Mau kemana kita?

Malioboro?  NO!  karena sedang ada pagelaran OVJ; jalanan macet!.
Akhirnya, pulang saja ke SorSawo yang teduh, dan tenang.  Makan malam?  Secara aklamasi bilang skip saja,  ngga usah pakai dinner, pesan mie baso disamping SorSawo dan minta angkringan sisihkan beberapa SGKC(Sego Kucing).

Setelah mandi dan istirahat; kami kumpul lagi di pendopo,  kali ini jauh lebih ramai dibandingkan kemarin karena ada tambahan 3 orang dari Solo.  Sambil menyantap mie baso, yang lumayan enak; dan menghabiskan SGPC berikut penganan lainnya yang disediakan angkringan.

 Menjelang tengah malam, kami semua beristirahat.

56
Hari ke – 2.



Pagi hari setelah mandi yg segar, diawali dengan sarapan yg disediakan tuan rumah, ada nasi gudeg pincuk, sego goreng (kalau di tempat lain, namanya nasi goreng; karena di Yogya namanya berubah jadi sego goreng) dan beliau sangat berbaik hati, mengundang pedagang soto ayam berikut gerobaknya untuk melayani kami.

Soto ayam yg murah meriah, dengan rasa yg cukup lumayan , untuk menghangatkan perut dipagi hari, ditutup dengan teh panas, legi , kentel yg disediakan si mbak di pendopo; kasihan juga si mbak, sego gorengnya tidak ada yang menyentuh.


Tidak berapa lama kami selesai makan, tibalah rombongan ke 2 yg berangkat dari Solo pagi hari, dengan demikian total kami ber -8.

Acara berikutnya adalah ingin melihat museum budaya yang terletak di daerah  Bantul sambil mencari makan siang.

Perjalanan ke Bantul yg tidak terlalu jauh, kira kira satu jam perjalanan; dan teman yang dari Solo protes, sudah lapar! Karena mereka berangkat sejak subuh, dan hanya makan sedikit roti dan kue diperjalanan.  Maka diputuskan untuk cari tempat makan dulu; penawaran sate Klatak yang berbahan dasar daging kambing, secara aklamasi ditolak oleh rekan rekan yang takul kolesterolnya naik; terutama oleh yang mempunyai gejala hipertensi.

Teman yang berasal dari Yogya menyarankan makan Mangut Lele; yang bagi saya terdengar aneh, nama yang umum diketahui di Jakarta adalah Pecel Lele.  Tetapi dia lupa , dimana tempatnya yang terkenal enak.  Akhirnya setelah tanya kiri kanan, sampailah ke TKP yang dituju.  (TKP = Tempat Kenikmatan Perut).

Santapan yang dihidangkan seperti tampak dibawah ini:


Meja penuh hidangan




Penampakan lele goreng dan mangut lele.


Sayur terancam;  ya iyalah , terancam dihabisi.



Penampakan dapur tempat mengolah, pantesan enak, pakai kuali lengkap dengan jelaga dan asap



Total pengeluaran untuk ber delapan, lengkap dengan kerupuk,  es jeruk, kopi panas dll,  Rp 161.000,-  dengan perut kekenyangan.


Perjalanan menuju museum budaya, ternyata gagal, karena lokasi dipakai untuk acara Jagong Manten, alias pernikahan.

Dengan rasa kecewa + ngantuk, kami berkeliling mencari cafe; dan menemukan sebuah cafe dengan beberapa turis berambut pirang duduk di cafe tersebut yang menghadap ke hamparan sawah.  Ternyata cafe tersebut adalah bagian dari Lodge atau homestay d’Omah di Bantul.
Untuk ukuran Yogya tentunya cukup mahal dengan tarif 100US$ per malam.  Setelah menikmati kopi, kami penasaran ingin melihat apa yang keistimewaan rumah tinggal ini, sehingga bisa ramai dihuni turis mancanegara.

Berikut ini adalah beberapa foto penampakan rumah tinggal tsb.


Halaman ditengah kompleks homestay d'Omah.


Lengkap dengan kolam renang



Ruang duduk ditepi kolam



Teras didepan sebuah kamar homestay

 
Sebuah Gazebo untuk duduk duduk  yang diteduhi pohon pohon besar


Merak peliharaan dalam kompleks homestay.


Ternyata design hotel/homestay tersebut dibangun dari rumah penduduk yang direnovasi dan tetap menyatu dengan desa setempat, sehingga antara satu rumah dengan rumah yang lain, kita melewati jalan setapak yang berbatasan dengan rumah penduduk di desa tersebut; rupanya konsep tinggal di pedesaan Yogya inilah yg bisa dijual dengan harga mahal kepada turis manca negara yang sudah bosan dengan hotel kinclong gemerlap, full service dan kemudahan.    Karena di pedesaan, ya otomatis kalau malam menjadi gelap gulita, karena itu dibeberapa tempat dalam kompleks, ada lentera minyak model kuno, oncor(obor) untuk penerangan; rupanya hal hal semacam ini yang dianggap exotis dan rela dibayar mahal oleh turis.
Istilah teman saya : “ Menjual ketidaknyamanan yang bisa dihargai dengan harga mahal.”  Smart business, kalau melihat bangunan yang ada, adalah perumahan di desa biasa, bahkan kalau di Jakarta dengan konstruksi atap seperti itu, bisa bisa IMB tidak akan diperoleh.

Setelah puas inspeksi di homestay tersebut, hari sudah menjelang sore, dan pertanyaan berikutnya adalah: Mau kemana kita?

Malioboro?  NO!  karena sedang ada pagelaran OVJ; jalanan macet!.
Akhirnya, pulang saja ke SorSawo yang teduh, dan tenang.  Makan malam?  Secara aklamasi bilang skip saja,  ngga usah pakai dinner, pesan mie baso disamping SorSawo dan minta angkringan sisihkan beberapa SGKC(Sego Kucing).

Setelah mandi dan istirahat; kami kumpul lagi di pendopo,  kali ini jauh lebih ramai dibandingkan kemarin karena ada tambahan 3 orang dari Solo.  Sambil menyantap mie baso, yang lumayan enak; dan menghabiskan SGPC berikut penganan lainnya yang disediakan angkringan.

 Menjelang tengah malam, kami semua beristirahat.


57
Bakmi Jowo yg enak, dan ditutup dengan segelas Juice jambu yg walaupun harganya hanya Rp 3000,- betul betul dari buah jambu merah asli, dan kental pula.  Sedangkan bakmi Jowo, sepiring bertarif Rp 7.500,-   Tidak terasa sudah mendekati jam 9 malam, maka kamipun beramai ramai menuju Sor Sawo utk bermalam disana.  Tetapi namanya juga temu kangen, selesai mandi semua berkumpul di ruang utama yang berisi sebuah meja bundar yg besar; dan beberapa kursi model jawa dengan tempat duduk lebar, yg bisa dipakai untuk berbaring.  Sang penguasa setempat ternyata sudah memesan seorang pedagang angkringan, yg menjual berbagai penganan kecil, seperti segokucing, kacang goreng, pisang goreng, kacang rebus, ubi dan ketela rebus dll; berikut kopi joss (kopi hitam yang saat akan dihidangkan diberi arang bara api, sehingga berbunyi joss); wedang jahe, teh manis pahit .
Dan kali ini juga lupa memotret, selain ponsel sdg di charge; juga betul betul lupa karena sibuk berbincang bincang.
Acara ngobrol baru berakhir menjelang jam 12:00.





58
Ini catatan keluyuran ke Yogya pada saat Idul Adha di tahun 2013 yg lalu.
Baru sekarang sempat membenahi tulisan yg acak acakan.

Saat memutuskan untuk ikut reuni di Yogya dengan 7 teman yang lain, saya baru saja pulih dari sakit jantung yg ototnya ngambek; katanya karena ada virus yang mondok tanpa bayar di otot jantung saya sebelah kiri.

Acara reuni ini sdh direncanakan cukup lama,  tetapi akhirnya diputuskan di Yogya karena lebih santai daripada di Jakarta, yg terkenal sibuk dan macet. Sedangkan usulan rekan rekan yg tinggal di Solo, ditolak oleh rekan yg lain, karena dianggap curang, yg lain keluar kota, tapi yg di Solo tidak keluar kota, bahkan saat bermalam, mereka akan kabur pulang ke rumah masing masing; jadi akhirnya di sepakati di Yogya




Hari ke – 1,  Jakarta – Yogya.

Dengan menggunakan Batik Air yg tarifnya sama dengan Lion, saya tiba di bandara Adisucipto jam 9 pagi, dan ditunggu oleh seorang rekan saya yg tiba lebih dulu dari Denpasar.  Tujuan pertama sekeluarnya dari bandara Adisucipto adalah ke sebuah warung kecil yg menjual Pecel Wader,  Wader adalah ikan kecil kecil sejenis teri, tapi dari sungai/danau.
 Menurut saya, pecelnya ini biasa saja, tetapi wader goreng nya memang betul enak. Dan sesuai standar Yogya, sepincuk nasi pecel  + wader hanya Rp 9.000,-; memang porsinya tidak mengenyangkan, tapi cukup utk menahan lapar sampai jam 12 nanti.

Dari warung pecel wader,  dengan menggunakan sebuah mobil Avanza sewaan, kami menuju homestay yg baru saja dibuka , milik teman kuliah kami.  Lokasinya di Jl. Taman Siswa; dengan halaman yg luas dan rumah joglo yg diteduhi pohon sawo besar besar, dan sangat rindang.   Karena itu dinamai juga Sor Sawo



Rumah Joglo di Sor Sawo



View dari lt 2 home stay

Setelah menitipkan koper; berangkatlah kita menuju sebuah toko yg menjual berbagai perlengkapan pakaian untuk upacara ala Jawa Tengah/Yogya;  dan disambut sepasang patung yg berukuran se manusia hidup.



  Teman saya sibuk memilih baju beskap, blangkon dll entah untuk upacara dimana. Sedangkan saya memilih milih stiker logo kota Ngayogyakarta yg bisa ditempel di mobil; untuk oleh oleh teman saya yg tidak bisa ikutan ke Yogya.  Saat asyik memilih, ponsel pun berdering; salah satu rekanita yg sdh tiba di Yogya, minta dijemput di Novotel.
Setelah membereskan pembayaran dikasir, kami berdua langsung berangkat menuju Novotel;  dan setelah masuk ke lobby, kami berdua tengok kanan dan kiri mencari subjek termaksud; ngga ketemu.  Tiba tiba salah satu tamu yg ada di lounge memanggil nama saya; ternyata rekanita yang kita cari; karena sudah berubah rupa maupun bentuk dibandingkan 32 tahun yang lalu; maka kita berdua tidak mengenalinya; tapi beliau mengenali saya karena tidak banyak perubahan rupa, kalau bentuk ya pasti berubah, ada tambahan one medium size pack, bukan six packs, yah.  :))
     Dari Novotel, langsung berangkat untuk menjemput satu lagi rekanita yg sdh ada di Yogya , dan menginap di rumah saudari nya di sekitar Grand Hyatt Yogya.  Tiba disana, kami bertiga disambut hangat dengan berbagai jajan pasar yang sudah disiapkan dengan selengkap lengkapnya oleh teman kita itu; yg tahu kalau jajan pasar yg enak, di Jakarta susah dicari, kalau ada pun harganya mihil.

Karena sudah lapar, dan sangat bersemangat menghabiskan yg namanya arem-arem, nogosari, getuk, kue talam, apem dan kawan kawannya ; lupa memotret!
Hasil sudah di duga, kekenyangan berisi makanan yg ngga jelas asal usulnya, tetapi enak.

   Setelah bicara bicara dan minum kopi, waktu terasa berjalan lambat di Yogyakarta,  masih jam 14:00 dan hawa terasa makin panas.  Runding punya runding, akhirnya diputuskan untuk melaju ke Kaliurang, dan dalam perjalanan ; mampir sebentar membeli penganan khas di jl. Kaliurang, namanya  Jadah Tempe (jangan ditambahi Haram didepannya); bagi saya yg dibesarkan di Jawa Barat, itu seperti kombinasi antara gemblong ketan yg belum digoreng, dengan sepotong tempe bacem goreng.
    Perjalanan dilanjutkan menuju sebuah rumah milik kenalan dari rekanita saya, sayang sekali si empunya rumah tidak ada; tetapi kami dipersilahkan untuk mampir ke rumahnya yg betul betul besar, dengan halaman luas dan rindang ; lengkap dengan gazebo untuk duduk duduk.
   Maka dikeluarkanlah penganan jadah tempe yg tadi dibeli, plus bekal nogosari dan kacang rebus yang tadi masih tersisa; dan asisten rumah tangga si pemilik rumah dengan sigap menghidangkan kopi serta teh (manis).  Kamipun berbincang bincang melepaskan kangen , karena ada yg sejak lulus di sekolah manajemen, tidak pernah bertemu muka; hanya say hello dan telponan belaka.
             Tidak terasa sudah menjelang magrib, dan kali ini berderinglah telpon rekan saya yg dari Denpasar; mendapat telepon dari teman, yg mendirikan homestay Sor Sawo, beritanya adalah dia baru saja mendarat di bandara Adisucipto dan bertanya apa acara kita malam itu.   
Karena tujuan utama ke Yogya adalah temu kangen dan kuliner; jelas jawabnya adalah cari makanan enak, kali ini bakmi Jowo.  Sang penguasa Yogya yang memiliki Sor Sawo menyarankan mencari kuliner rakyat ,  bakmi Jowo lesehan di sebuah pasar dekat Grand Hyatt; maka kami pun beramai ramai mencari pasar yg gelap gulita dan sepi di dekat Grand Hyatt; eh ternyata tutup.   Alternatif berikutnya, adalah bakmi Jowo di pasar Sambilegi; seingat saya tidak jauh dari pertigaan ringroad utara Yogya dengan jl. Adisucipto, kearah Kalasan.


Bakmi Jowo di emperan toko Pasar Sambilegi

   Dan betul, ada bakmi Jowo; dengan tempat duduk diemper toko yg sdh tutup; sambil menanti matangnya bakmi Jowo yang dibuat secara seri, alias one-by-one; potret potret, terutama menggoda rekanita yg masih aktif bekerja dan memiliki jabatan direktur disebuat perusahaan farmasi; yg kita katakan akan dimuat di facebook, biar para bawahan tahu, si ibu direktur kalau makan malam sangat sederhana, di emperan toko. :))

59
Kesehatan / Otot Jantung Bermasalah
« on: 30 March 2014, 04:44:09 PM »
Otot Jantung Bermasalah  (sekedar sharing)


Demikianlah  telah kualami.

Pada bulan Juni tahun yg lalu, saat berkunjung ke Dili saya sedang terserang penyakit batuk yg sudah cukup lama, sekitar 3 bulan,tetapi sudah membaik; , tiba tiba saat berada di Dili saya merasa gampang sesak nafas, naik tangga sedikit saja , nafas sudah tersengal sengal.  Kemudian kembali ke Bali, mulai terasa mual, makan sedikit keluar lagi.  Sedangkan perut makin lama makin buncit membesar.

Ketika balik ke Jakarta, langsung berobat ke dokter spesialis penyakit dalam, diagnosa pertama adalah kalau bukan sakit lambung, empedu yang bermasalah . Dari hasil pemotretan thorax,  terlihat paru paru sedikit berair.  Lalu diberi rujukan untuk ke dokter spesialis paru paru untuk disedot airnya.  Saat dicheck ulang oleh dokter spesialis paru paru, ternyata tidak ada air, untung belum dilubangi.  Balik lagi ke dokter spesialis penyakit dalam, dianjurkan untuk dirawat di RS, tetapi karena saya menolak (karena “feeling” saya menyatakan dokter ini kurang teliti) , lalu diberi obat saja .

Seminggu kemudian perut makin besar, dan kondisi makin menurun, karena tidak bisa makan makanan padat; saya kembali ke dokter spesialis penyakit dalam, kebetulan dokter yang minggu lalu cuti; jadi saya pergi ke dokter yg lain di RS yg sama.  Dokter ini tidak mau melihat hasil diagnosa dokter sebelumnya yg tercatat dalam buku pasien, dan dia berkata: ‘saya mau periksa , mulai dari nol dan tidak terganggu oleh opini diagnosa sebelumnya’; suatu sikap yang sangat saya hargai.
Dokter ini sangat teliti,  ditanya macam macam,  termasuk kebiasaan olahraga, pola makan dll.  Saya diperiksa selama kurang lebih 40 menit, dan dia berkata, yang bermasalah adalah pada jantung, untuk memastikan, dia menggunakan monitor EKG.
Ternyata selain denyut jantung yg terlalu cepat, juga irama jantung tidak teratur.

Singkat kata perlu segera dirawat.  Saat itu dia tanya, tadi ke ruang praktek, pakai kursi roda?  Saya jawab, tidak; saya jalan kaki; dan tadi juga naik tangga.; dia bilang,: ‘dengan kondisi jantung anda, seharusnya anda sudah tidak mampu jalan’.  Padahal saya cuma merasa sedikit lemas saja.  Dokter ini sangat fair, dia mengatakan bahwa urusan jantung, bukan bidangnya, dan dia merujuk saya ke dokter spesialis jantung.

Maka ditempatkanlah saya di ICU,  dan penderitaan yang sebenarnya di mulai di ICU, karena sama sekali tidak bisa tidur; sebentar sebentar ada pasien yang kritis, atau ada pasien baru yg masuk.  Praktis selama 5 hari 5 malam di ICU saya sama sekali tidak bisa tidur.  Pada hari ke 3 di ICU, karena saya merasa makin lemas karena tidak bisa makan, saya minta ke dokter jaga untuk infusnya tidak hanya glucosa  dan saline solution, tetapi ditambah amino acid dan lipid.  (Pengetahuan yg didapat waktu jadi direktur sebuah perusahaan cairan infus, hehehe).   Setelah konsultasi dengan dokter spesialis jantung, saya diberikan infus amino acid, glucosa dan lipid; produk dari perusahaan yg pernah saya pimpin, dan selain harganya mahal, eh sakit pula.

Pada malam ke 3,  kondisi bukannya makin baik, tapi makin lemas karena tidak bisa istirahat sama sekali; meskipun kondisi jantung sudah menjadi makin baik.
Pada saat setengah tertidur, saya merasa ada yang memijat bagian perut saya dengan sentuhan yg halus sekali, entah hanya sekedar perasaan saja atau sungguhan, yg jelas tidak ada manusia yang memijat saya.
Hari ke 4, saya sdh jauh lebih baik, tapi masih lemas karena di ICU sama sekali tidak bisa istirahat, memusatkan pikiran pun sangat sulit.  Pada saat dokter spesialis jantung memeriksa, saya ngotot minta pindah ke ruang rawat inap karena di ICU tidak bisa istirahat sama sekali. Dan baru diijinkan ke esokan siangnya.- dihari ke 6.

Di rawat inap, saya lebih bisa beristirahat, dihari ke 7, dokter spesialis jantung yg rutin memeriksa saya, mengatakan bahwa melihat hasil lab, yg menunjukkan kadar kholesterol saya bagus, riwayat kesehatan yg bagus selama ini, dan juga gaya hidup yg baik (makan makanan yg rendah lemak, jarang makan makanan yg di goreng, olahraga teratur, berenang 3 kali seminggu  [at]  1000 meter minimal; makan supplement secara teratur);  dia mengatakan tidak menemukan penyebab jantung saya bermasalah,  kalau mau memastikan tidak ada penyumbatan, perlu di kateter.  Saya segera setuju, karena dengan pola hidup sehat selama ini, saya yakin tidak akan ada yg namanya penyumbatan.
Hari ke 8 , saya dikateter, dan dibuatkan video sehingga bisa melihat aliran butir darah merah di pembuluh jantung.  Hasilnya: dokter sangat puas, jangankan penyumbatan, penyempitan pun tidak ada.  Meskipun kondisi otot jantung masih lemah, volume pompa hanya 29%, tetapi akan lambat laun akan membaik dengan istirahat yang cukup

Ketika ditanya , apa penyebabnya : beliau hanya menduga ada virus yang mengganggu otot jantung bagian kiri, sehingga denyut menjadi tidak teratur serta lemah.  Kalau mau tahu di biopsi;  tetapi waktu saya tanyakan apa bisa diobati tanpa di biopsi, beliau bilang, ngga perlu di biopsi, karena toh harus diobati juga,  misalkan tahu apa penyebabnya, juga tetap harus diobati.
Kemudian  saya diijinkan pulang pada keesokan harinya. Dengan bekal obat obatan selama 2 minggu; apa saja boleh dimakan kecuali yg asin/terlalu asin. (Horee, babi panggang tidak dilarang).

2 minggu kemudian, saya periksa lagi, dengan kondisi yg lebih baik.; diberi lagi obat utk 2 minggu, dgn dosis yg ditambah katanya supaya istirahat.  Memang setelah mengkonsumsi obatnya, jadi makin lemas.

2 minggu berikutnya , periksa lagi , kondisi sudah makin baik lagi. Dan saya minta ijin untuk berenang, ; masih belum boleh, cuma boleh jalan 200 meter saja per hari.

2 minggu berikutnya, periksa lagi, kali ini sudah boleh berenang, dengan maksimal 200 meter, dan tidak boleh sampai terengah engah. Periksa lagi setelah sebulan.

Selama 2 minggu saya berenang 3 kali seminggu, hanya 200 meter, kecuali yg terakhir, 300 meter.
Periksa lagi,  dan ditambah lagi obatnya; kali ini berenang hanya sanggup 200 meter.   Tetapi kalau lupa minum obatnya, malah bisa berenang 400 meter tanpa susah payah.

Setelah sebulan,  periksa lagi ke dokter tersebut, dan saya sudah bisa berenang 500 meter. ; sudah boleh kerja yang ringan. (padahal ngga pernah kerja berat, seperti angkat karung beras, paling juga angkat komputer).
Nyetir masih belum boleh,  tapi saya langgar juga, karena sudah ngga betah disuruh diam saja.

Bulan berikutnya sudah mulai keluar kota. Bahkan reuni dgn teman teman kuliah MBA dikota Yogya, tapi karena tidak boleh bawa mobil, ya sudah naik pesawat, meskipun waktu di Yogya, sewa mobil juga dan gantian nyetir dengan teman teman.

Begitulah selama 3 bulan berikutnya, tiap bulan periksa, dosis obat tertentu ditambah.

Ketika ada kesempatan ke Srilanka dan mampir di Singapore, saya dianjurkan oleh teman teman yg di Singapore untuk mendapatkan second opinion dari dokter spesialis jantung disana.  Hasilnya :  buang semua obat obatan dari dokter di Indonesia, ngga berguna untuk penyakit saya, malah side effectnya berbahaya.  Bingung kan?  :o
Dan saya dianjurkan untuk mengembalikan olah raga renang saya ke 1000 meter sampai 1500 meter, 3 kali seminggu.

Karena saya penganut paham evolusi selalu lebih baik daripada revolusi, saya mulai mengurangi dosis obat yang dikonsumsi. Dan pada saat yg sama menaikkan dosis renang menjadi 1000 meter tiap kali.

Sekarang sih sudah  berenang1300 meter – 1500 meter.  Dan obat yg diminum hanya lasix + isosorbid itupun hanya setengah tablet,  bulan depan mestinya sudah tidak perlu lagi.

Menurut dokter di Singapore, pola hidup sehat yang saya jalani selama ini, sangat membantu pemulihan ;  biasanya kalau otot jantung lemah, semua penyakit degeneratif seperti ada penyumbatan pembuluh darah, diabetes, hipertensi, liver yg kurang sehat, akan bermunculan sekaligus dan memperparah kondisi pasien.

Sekian sharing dari saya.

 _/\_





60
Sahabat DC-er , jika ada yang punya informasi mengenai acara peringatan Waisak 2014 di Candi Borobudur dan Candi Sewu; mohon disharing di sini.

 _/\_

Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7 8 9 10 11 ... 87
anything