//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - Mokau Kaucu

Pages: 1 2 3 [4]
46
Mau share pengalaman pribadi saat meditasi Waisak di Borobudur.

Sejak 1987 sampai 2001, ir hampsetiap tahun saya pasti ikut Waisak di Borobudur dengan beberapa teman.
Mulai dari 1987 dengan hanya 1000 an orang peserta sampai terakhir 2001 menjadi pesta rakyat yg tumpah ruah dan hiruk pikuk puluhan ribu penonton.

Pada Waisak ke 3 yg saya ikuti, thn 1989, saat meditasi Waisak menjelang berakhir kira kira 1 atau 2 menit, selalu ada henbusan angin sejuk yang agak kuat sebanyak 3 kali.

Angin ini berbeda dengan angin yang bisa dirasakan, karena umumnya angin berhembus dengan kekuatan dan waktu yang tidak sama, kalau yg ini, kekuatan dan lama tiap hembusan kurang lebih sama.

Hal ini saya ceritakan pada teman saya, yg pd thn 1989 ikut lagi dan dia mengalami juga hal itu. Makin lama teman yang ikut makin bertambah sampai belasan,  dan sebagian besar bisa merasakan adanya angin yg berembus menjelang berakhirnya meditasi.

Tahun 1998 dan 1999 , kami tidak berangkat karena kondisi yang kurang pas, thn 2000 kami pergi lagi dan terakhir tahun 2001, angin seperti itupun masih bisa dirasakan.

Kalau hanya saya sendiri yang merasakan, tentunya mungkin hanya halusinasi atau sekedar perasaan saja. Tetapi ini sampai belasan orang yang bisa merasakan.

Apakah ada rekan rekan yang mengalami hal yang sama?
 
 _/\_


47
Gadget dan Toys / Notebook/Netbook dgn GPU AMD - 350
« on: 03 April 2011, 09:30:14 PM »
Rekan rekan DC,

Saya terpaksa mengganti PC Jangkrik yang telah lapuk, sakit dan "terseberangkan"  Hiks.  :'(.
Daripada beli CPU lagi, mikir mikir mau beli Netbook/Notebook aja dgn processor teranyar AMD E 350.

Bagaimana pendapat rekan rekan?

Kalau ada yg pernah nyoba? Tolong sharing disini ya. :)

Terimakasih.
 _/\_

48
Diskusi Umum / Pengalaman Pribadi : Aki (kakek) yang bisa menghilang.
« on: 10 March 2011, 10:36:07 PM »
Ini pengalaman pribadi yang terjadi beberapa puluh tahun yang lampau.

Kami serombongan belasan pemuda pemudi mengadakan acara Cross country , dari Dago Utara melintasi perbukitan dan hutan lindung menuju Maribaya. Berangkat pagi hari , dan mulai perjalanan yang lumayan jauh, mendaki, melintasi hutan lindung.

Ditengah perjalanan, kami memutuskan istirahat sebentar di tepi hutan lindung , makan bekal yang dibawa sambil foto foto.  Setelah dirasa cukup, pemimpin rombongan memerintahkan untuk bergerak lagi; saat itu para rekan masih sibuk ber foto ria dan bebenah, saya mendahului berjalan keluar dari hutan lindung. Jalan setapak dihadapan saya sekitar 200 meter dengan dinding tebing yg curam disebelah kanan, dan lembah berumput yang curam lumayan dalam disebelah kiri, jalan itu lurus dan datar dengan ujungnya masuk kedalam hutan lindung beriikutnya. 

Ketika saya mulai melangkah ke jalan setapak itu, kira kira dipertengahan jalan saya melihat Aki-aki (kakek dlm bhs Sunda), yg sedang jongkok menghadap lembah sambil merokok. Kakek tersebut memakai jas tutup dengan warna ungu gelap dan kepalanya memakai blangkon Sunda. (Blangkon/tutup kepala Jawa dan Sunda berbeda).  Sambil berjalan mendekati, saya bisa mengenali dari bau asap rokoknya yg khas, bahwa rokoknya adalah rokok kawung (rokok buatan sendiri yg menggunakan daun kawung sebagai pengganti kertas).

Kira kira 4 meter dari Kakek tersebut, saya menyapa dengan santun :" Aki, punten , permisi abdi sarombongan bade lewat". (Kakek, maaf, permisi saya serombongan ingin lewat).  Dan sambil menggeser badannya maju sedikit, kakek tersebut :"Mangga, mangga Neng" (Silahkan silahkan, Nak).  Dan saya pun berjalan melewati kakek tersebut, kira kira  sudah berjalan 20 meteran, saya teringat teman teman saya tadi masih belum melanjutkan perjalanan, saya pun menengok kebelakang, dan ..... tidak ada seorangpun disitu; kakek yang duduk merokok itu tidak ada.

Dinding tebing tidak mungkin di daki, kalau seandainya kakek tersebut berjalan kebawah, saya pasti bisa melihatnya, karena lembah rumput yang curam itu hanya tertutup rumput pendek.

Setelah kaget hilang, dengan penuh rasa takut saya berteriak memanggil rekan rekan yang lain, untuk melanjutkan perjalanan.

Baru setelah acara selesai dan dengan selamat kembali ke kota Bandung, saya baru ceritakan apa yg terjadi; beberapa rekan menyesalkan mengapa ngga bilang saat diatas sana, karena mereka melihat muka saya sangat pucat.  Pertimbangan saya waktu itu adalah kalau saya ceritakan lalu mereka panik, akan menjadi lebih berbahaya karena berada di jalan setapak yg sempit.

Sampai sekarang, saya sendiri tidak tahu, siapa dan mahluk apa kakek itu. :-?



49
Kalyanamitta yang baik,

Saya ingin tahu mengenai  :
                  1. Pada saat Sang Buddha Gotama masih hidup, apakah ada upacara/pujabakti dengan pembacaan Paritta?
                  2. Bagaimanakah cara umat awam menghormati Beliau, jika umat datang ke vihara tempat Beliau tinggal.
                  3. Sejarah/asal muasal paritta Buddhanussati.
                  4. Apakah ada di Tipitaka? Atau ditambahkan belakangan pd komentar?
                 

Kesediaan anda anda semua untuk menambah pengertian saya, semoga berbuah karma baik dengan segera dan untuk waktu yang lama.

 _/\_



50
Pojok Seni / Creative shopping bag
« on: 08 December 2010, 10:31:29 PM »

Your Six packs
-
-
-
-
-




Kekejaman terhadap binatang.
-
-
-
-


Kabel.




51
Dari The Jakarta Globe.

http://www.thejakartaglobe.com/lifeandtimes/the-rise-of-indonesian-atheism/410166

Embedded within Indonesia’s constitution are the following two lines: “all persons have the right to worship according to their own religion or belief” and “the nation is based upon belief in one supreme God.”

Placed side by side, it’s almost as if those two lines take on a new meaning. Feel free to worship however you choose, but make sure you choose to worship.

However one interprets it, there is no question that inter-religious conflict is on the rise in Indonesia.

Recent confrontations over faith have been allowed to turn the ideal of tolerance on its head with violent and ugly results.

And while finding common religious ground among those of different faiths has always been a delicate dance, it seems there are some people who are interested in changing the tune entirely. I

n greater numbers than ever before, they are standing up and doing the unthinkable: they are proclaiming that they no longer have any religious faith at all.

They are members of a small community of non-believers, otherwise known as atheists, and it seems that many of them are no longer content being silent.

More and more Indonesian non-believers are taking a stance against what they perceive is an archaic and repressive system.

Of course, this being Indonesia, these outspoken non-believers are still relatively few and many choose to mull their rational queries quietly in their own minds rather than submit themselves to becoming outcasts and freaks in their own neighborhoods, communities and even among their own families and friends.

Still, despite the overwhelming odds, the rank of non-believers is growing — largely thanks to the Internet which offers an anonymous meeting place where non-believers can gather without the fear of reprisal.

By utilizing social networking tools such as blogs and Facebook groups, Indonesian non-believers are discovering that there is a considerable amount of like-minded people in the country.

Some of these social networking-based collectives include Indonesian Atheists, Indonesian Freethinkers and Indonesian Atheist Community, just to name a few.

Most of the Web sites are run by outspoken, young men who do not shy away from letting it rip with some of the most lively and heated discussion boards on the Internet.

Most of the sites also have a fair share of scholarly articles on topics related to atheism and like-minded beliefs including universalism, existentialism, agnosticism, and the like.

Whatever you call it, the sheer number of people visiting these sites indicates that they have become a gathering ground for all sorts of people and opinions, most of which fall squarely into the less-than-conventional category by Indonesian standards.

Graduate School student Karl Karnadi is a 27-year-old non-believer who co-founded the online community Indonesian Atheists and has become an outspoken proponent of atheism.

After two years of existence, his online group has more than 400 members.

Karl explained the process of building an online community as a means of “survival” for Indonesian non-believers, calling his site “a safe haven.”

“We share stories regarding the difficulties and discrimination we face for being non-religious and we support and console each other. The discussions, debates, sharing and learning process that we receive from our community makes us stronger and, therefore, better able to deal with discrimination we face in our daily lives,” Karl said.

For Karl, the rules set up by Indonesian establishments are senseless and forceful. He is baffled by laws that make religion a prerequisite to being a an official member of the society.

“One would wonder why we have to be a member of a religion before we can marry. We are similarly forced to choose a religion on our ID cards. By law, we cannot publicly criticize a religion or religious beliefs in general,” Karl said.

“I refuse to submit to such restrictions which I view as a clear violation of my human rights.”

Qosbil Alc, who co-founded Indonesian Atheists along with Karl, said he holds no personal disdain for religion or religious groups.

What he dreads are fundamentalist groups’ increasing hold on the country.

“I regret the existence of those fundamentalist groups who, since the Reformation Era began 12 years ago, have increased their influence on the country’s politics,” he said.

Like most Indonesian non-believers, both Karl and Qosbil had religious upbringings. Karl was raised in what he refers to as “a very religious” Christian household, while Qosbil came from an “un-harmonious” Muslim family.

“At some point in my life I began to read a lot about science, skepticism, rationality and about the many diverse types of religions in the world. What I found out was that, while there are many religions out there, they all basically consist of the same dogma and teaching that says you should not question anything that religion tells you,” Karl said.

Qosbil said that prior to the worldwide spread of social networking Internet sites like Facebook, he had to endure the baffled queries of family members and friends who considered him a Muslim but did not understand why he never went to the mosque on Fridays or took part in fasting.

Rizky Tanuwijaya, 22, is an active member of various online communities including Indonesian Atheists.

He fancies himself an existentialist, which means he does believe in a spiritual god but does not consider himself a “pure atheist.”

Raised as a Hindu, Rizky found himself unable to stop questioning his faith as he grew older.

“When I was a child, I was taught ancestral beliefs, which consisted of worshipping Bodhisattvas and the like,” Rizky said.

Once he discovered books written by the likes of Christian existentialist Soren Kierkegaard as well as Jean Paul Sartre, Nietzsche and Jacques Derrida, Rizky decided to put his religious days behind him.

To say the least, spreading the word is an uphill battle. Even a cursory glance at the message board of any of the online community shows that for every intelligent back-and-forth or urbane discussion, there are 10 posts that defame, threaten and insult.

Karl understands where such derision for atheism springs from, and he is out to face it head on. “Religion in Indonesia is definitely on the rise. There are even movements to make Indonesia a country of Sharia law,” he said.

Karl argues that those who think that religious teaching is the solution to all problems are wrong. He claims that all one needs to do is look at the recent tension between Christian and Islamic factions in Jakarta.

According to Karl, the incorporation of religious law into the government (which includes the Anti-Pornography Law and many Sharia-inspired regional laws in various provinces and cities) would “exacerbate the religious tension between Muslims and non-Muslims.”

For Karl, the issue goes back to the danger of bowing down to religion-based laws which “lead the country to a system of deluded policy making.”

Karl said his main fear is that public policy will one day be made based not on fact, but on blind obedience to holy scriptures. “That is a great danger to Indonesia that all of us have to prevent.”

For Karl, Qosbil and the other non-believers and alternative-thinkers, living in a religious country like Indonesia will never be without its challenges.

But they also all firmly believe that the benefits of being an atheist in Indonesia outweigh the hardships of being considered outcasts.

“The reality is, the more you learn and question things, the harder it becomes to believe in religious dogma,” Karl said.

“One can choose to believe in something because they were taught to believe in it. But I choose to keep questioning things because I want to progress. This is my path to a happy life.”

52
Politik, ekonomi, Sosial dan budaya Umum / Kesultanan Majapahit?
« on: 21 November 2010, 08:35:56 PM »
Pernah dengar Kesultanan Majapahit?


http://sejarah.kompasiana.com/2010/10/22/kesultanan-majapahit/


Klaim yang aneh.

Apa karena punya penyakit inferiority complex?


53
Kafe Jongkok / Ada yg pernah ke Big Buddha Phuket
« on: 21 November 2010, 09:07:09 AM »
Sahabat DC,

          Minggu ini kami ke Phuket, pingin ke Big Buddha ini di Phuket, ada yg pernah kesana?
          Katanya utk Buddha Rupang dlm posisi duduk , yg di Phuket ini yg paling tinggi, selain yg di Le Shan China.

          Krn dari paket tournya cuman ke Wat Chalong, jauh ngga ya dari Wat Chalong ke Big Buddha.
         
          Mohon info dari yg sdh berpengalaman

         

         Terima kasih,

          _/\_



54
Pojok Seni / Lukisan menarik di truck Jerman
« on: 15 November 2010, 03:38:43 PM »


Truck yg membawa beer di Jerman
Kalau di negeri kita masih sebatas gambar pemandangan dan awewe.  :-[  :-[  :-[

55
Hallo para sobat Dhammacitta

Saya lagi mau beli Notebook yg ringan dijinjing dan ringan di kantong.
Sudah lihat lihat netbook, tapi ukuran terlalu kecil, hurufnya juga jadi kecil kecil, dgn mata yg sdh +2 ini, tidak kompatibel dan tidak nyaman.

Pemakaian yg terbanyak hanyalah sebatas Excel, MSWord, Powerpoint, Adobe reader, Autocad (hanya utk lihat gambar, pakai menggambar sih tidak becus), Internetan pakai Safari.

Mohon saran dari anda semua, dan semoga kebaikan anda dalam memberi saran segera membuahkan karma baik dan untuk waktu yang lama.
 _/\_

56
Bro & Sis semuanya,

bulan lalu saya seminar di Pattaya, dan saat ada kesempatan senggang setengah hari, saya ngeluyur ke Wat Yan Sang, Wat yg sangat megah, dengan Chedi yang besar pula.

Di dalam Chedi, selain ada gambar gambar bhikkhu pendiri Wat tsb, (beliau skrg adalah Sangharaja), di meja samping ada patung wanita berambut panjang ( kl 50 cm tingginya) yg memegang pedang sedang memotong rambutnya (pose spt dlm gambar P. Sidharta memotong rambut ).  Ini patung siapa yah, karena saya lihat banyak sekali dupa yg tertancap, berarti banyak pengunjung yang menghormati.

Saya mencoba cari tulisannya, tetapi tidak terbaca krn pakai huruf Thai.  Dan tidak ada orang yg menunggu disitu yg bisa saya tanya.

Mohon pencerahan dari yang mengetahui.

Salam sejahtera.


57
Diskusi Umum / Bhikkhu nongkrong di kafe, pantaskah?
« on: 04 May 2010, 12:37:29 AM »
Namo Buddhaya,

Mungkin topik ini sudah ada yang membahas, tetapi saya ingin angkat lagi jika sudah pernah dibahas.

Tahun lalu saya jalan jalan ke salah satu mall di Jakarta, dan saya melihat ada 2 orang bhikkhu ditemani oleh umat sedang duduk duduk ngopi di kafe.  Sebagai umat Buddha yang bertahun tahun diberi pengertian bahwa bhikkhu adalah orang yang telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dengan satu tujuan yaitu membina diri hingga mencapai Nibbana; saya koq merasa kurang nyaman melihat mereka.

Jika dalam perjalanan para bhikkhu tersebut makan di sebuah rumah makan atau restoran, saya bisa memaklumi, tetapi ini kafe, minum kopi yang bukan merupakan hal esensial bagi kehidupan, dan lebih sebagai minuman iseng atau untuk kesenangan.

Bagaimana tanggapan rekan rekan?

Pages: 1 2 3 [4]
anything