Di sini saya melihat anda masih membedakan antara “mengharapkan” dan “melakukan”, seolah-olah keduanya memisahkan antara Metta Bhavana dan Ikrar Bodhisattva. Anda melupakan bahwa keinginan untuk menolong makhluk lain pada Bodhisattva juga dilandasi oleh Metta-karuna –mudita yang sama, yang tentunya juga dilandasi oleh Prajna sehingga tidak ada kemelakatan. Mengharapkan semua makhluk lepas dari samsara adalah aspirasi tertinggi dari kata “semoga makhluk berbahagia” karena ‘kebahagiaan’ tertinggi yang bisa diraih makhluk hidup adalah Nirvana. Selain itu, calon Bodhisattva juga memperkuat harapan tersebut dalam sebuah visi jelas.
Saya sudah mengatakan pada anda bahwa, pembangkitan pikiran “bodhicitta” adalah yang terpenting dalam Ikrar Bodhisattva bukan logika tentang mungkin atau tidaknya ikrar tersebut diwujudkan, seperti halnya dalam Metta Bhavana pembangkitan Metta itu paling penting dibandingkan apakah akhirnya semua makhluk hidup bebahagia seperti yang diharapkan atau tidak. Dalam hal ini, yang penting adalah kedua-duanya membangkitkan tekad dan semangat yang kurang lebih sama. Kalau anda kemudian mempertanyakan Ikrar Bodhisattva semata-mata agar terkesan elegan, maka anda seharusnya mempertanyakan hal yang sama pula pada Metta Bhavana. Di sini saya kembali bertanya pada anda, buat apa mengharapkan semua makhluk berbahagia padahal tidak ada kemungkinan hal ini terjadi?
Saya kan berada jauh ribuan kilometer dari Anda. Oleh karena itu, saya mengharapkan Anda dapat hidup berbahagia. Karena saya tidak bisa membahagiakan Anda, jadi saya hanya mampu ’mendoakan’ Anda untuk berbahagia.
Anda berada jauh ribuan kilometer dari saya. Oleh karena itu, sebaiknya Anda mengaharapkan agar saya dapat hidup berbahagia. Karena Anda memegang konsep Bodhicitta, seharusnya Anda turut mampu menolong dan membahagiakan saya. Berhubung saat ini saya sedang butuh bantuan tenaga dan materi yang cukup besar, saya harap Anda mau membantu saya. Mau ya, Bro? Jangan cuma memancarkan maitri-karuna-mudita lewat pikiran saja loh… Saya tunggu kesedian bantuan dari Anda.
Untuk uraian mengenai Metta Bhavana, saya
skip dulu deh. Percuma saya jelaskan juga, nanti tetap saja Anda akan mengidentikannya dengan Ikrar Bodhisattva.
sebaliknya anda sering membahas dharma dengan kacamata ekonomi saya perlu mengingatkan itu supaya anda tidak kembali terjebak pada perspektif yang sama.
Jadi kalau membahas Dharma, kita tidak boleh membicarakan mengenai kusala (menguntungkan) dan akusala (merugikan) yah...?
Jika semua makhluk mulai memasuki Jalan Bodhisattva berarti cita-cita semua makhluk hidup merealisasi nirvana akan segera terwujud. Lalu apa yang harus dicemaskan? Koq pusing2 banget.
Bro Upasaka, logika demikian hanya menimbulkan keragu-raguan dan tidak bermanfaat, kenapa harus terus dipertahankan? Coba kalau anda bertanya terus dengan logika anda apa bukti logis bahwa Sakyamuni benar-benar mencapai Kebuddhaan dan terus meragukan hal tersebut atau apakah realisasi nirvana itu mungkin terjadi atau tidak, saya rasa pertanyaan demikian tidak ada gunanya. Dalam Dharma, tidak semua pertanyaan perlu dijawab saat ini juga.
Saya tidak ragu mengenai jalan pencapaian Nirvana-nya. Yang saya tekankan di postingan sebelumnya adalah kemustahilan semua makhluk pada satu masa bisa serentak merealisasi jalan itu.
Dan jika semua makhluk menapaki Jalan Bodhisttva pada saat yang bersamaan, maka...
- Ekologi sistem tidak lagi seimbang.
- Planet Bumi menjadi sebuah lokasi hunian yang sempit.
- Semua makhluk harus mengantri untuk menjadi Samyaksambuddha. Karena meski semua makhluk menapaki Jalan Bodhisattva secara serentak, namun tidak mungkin ada lebih dari satu Samyaksambuddha dalam satu masa.
- Pada akhirnya, Samyaksambuddha terakhir tidak layak disebut sebagai seorang Samyaksambuddha. Karena Beliaulah makhluk terakhir di samsara ini, sehingga Beliau tidak bisa mengajarkan Dharma pada makhluk lain. Ujung-ujungnya... Hal ini kontradiksi dengan Konsep Mahayana. Karena kalau hal ini terjadi, maka Samyaksambuddha terakhir ini lebih pantas diberi gelar Pratyeka Buddha.
Mudah-mudahan saya tidak diiming-imingi dengan iman lagi...
Realisasi nirvana tidak sama dengan” kesuksesan” sesaat di dunia ini. Dalam realisasi nirvana jika saat ini anda tidak memiliki kualitas kesuksesan, maka berusahalah untuk membangun kualitas itu terlebih dahulu. Untuk itu, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mulai membangun kualitas sukses tersebut apalagi jika ia dibantu untuk membangun kualitas-kualitas tersebut. Jika paramita dalam kehidupan ini belum mencukupi, maka teruslah berlatih mengembangkannya meski dalam kehidupan selanjutnya.
Saya tidak bilang kesuksesan duniawi. Saya pakai kata ”kesuksesan” itu dalam lingkup generalisasi, yaitu bersifat luas dan komprehensif. Mencapai Nirvana pun merupakan kesuksesan merealisasi Pembebasan, Bro. Dan di dalam Hukum Alam, yang ada adalah konsekuensi. Konsekuensi dari orang yang memiliki kualitas dalam bidang yang digeluti adalah KESUKSESAN.
Untuk bisa SUKSES MEREALISASI NIRVANA, seseorang harus mempunyai kualitas yang memadai. Bukan dengan berusaha dalam kebajikan secara membabi-buta dan tanpa
systematic planning yang jelas.
Tergantung bagaimana kalimat ini diucapkan; apakah si pengucap mengatakannya dengan sungguh-sungguh atau diucapkan sekadar untuk merayu. Jika diucapkan dengan sungguh-sungguh, maka muncullah kemelekatan ia pada pasangannya yang sangat kuat, dengan adanya kelekatan tersebut maka tidak mungkin dalam kehidupan selanjutnya ia kembali mencintai orang yang sama. Ingat apa yang dialami oleh Yasodara. Bukan hanya 1.000 tahun saja, mungkin berkalpa-kalpa lamanya ia akan terus terikat pada orang yang sama.
Yang saya maksudkan adalah mustahil untuk mencintai 1.000 tahun lamanya, jika umurnya saja tidak mencapai 1.000 tahun. Kalau sudah begitu, itu namanya kalimat / syair yang ’manis’ di telinga bukan?
Saya katakan itu metafora , meski demikian kekuatan bodhicitta yang bangkit melalui tekad yang sungguh-sungguh bukannya hal yang tidak mungkin bertahan untuk waktu yang tak terhitung lamanya. Saya katakan kata “abadi” semata-mata adalah metafora karena pemahamannya bukan dalam makna permanen dan tetap sebagaimana yang dikira orang yang membacanya sepintas, namun kata tersebut berusaha menggambarkan kuatnya dampak yang muncul dari bodhicitta.
Itu dia Bro. Ketika membaca Ikrar Bodhisattva itu, jantung saya terhentak keras oleh syair emas itu sehingga membuatnya berdegup haru. Namun setelah saya selidiki, rupanya itu hanyalah permainan pikiran. Dan saya tidak boleh mudah hanyut dalam ucapan-ucapan manis orang lain.
Kalau sejak semula semua yang anda katakan memang “tidak ada”: penderitaan ada tapi tidak ada yang menderita, lalu apa yang perlu dicemaskan?
Hmm... Saya tidak mengerti atau Anda yang tidak mengerti yah.
Saya ulangi lagi pertanyaannya dengan sudut pandang berbeda...
”Apakah menurut Anda, suatu saat nanti mungkin ada masa kehidupan di mana semua makhluk menapaki Jalan Bodhisattva, sehingga tidak lagi diperlukan mikroorganisme pengurai untuk membusukkan bangkai?”
Kalau hanya masalah “mungkin” dan “tidak mungkin”, kita hanya berbicara tentang probabilitas bukan? Kalau gitu kita hanya bicara tentang sesuatu yang sangat acak. Konon, bahkan sebagian sainstis meyakini ada “kemungkinan” jika semua Alam Semesta hancur. Saya menggunakan contoh ini bukan berarti saya setuju pandangan jika suatu saat alam semesta akan hancur. Namun saya hanya hendak berkata kalau sebatas “mungkin” atau “tidak mungkin”, probabilitas yang muncul dalam dunia ini adalah tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, buat apa meributkan probabilitas semacam demikian?
Anda terlalu banyak berpikir bro
Kalau Buddha bisa terbang, menembus tembok, menggandakan diri dan melakukan banyak keajaiban, mengapa kita bicara tentang hukum fisika lagi?
Menurut konsep Mahayana, apakah tersirat bahwa semua makhluk akan lepas dari Samsara?
Kita tidak perlu berspekulasi “mungkin” atau “tidak mungkin” deh. Kalau di konsep Mahayana dinyatakan tidak mengenai “YA” atau “TIDAK”…?
Yang bisa ditelaah lewat logika dan ilmu eksak (setidaknya sampai detik ini), maka lebih baik ditelaah terlebih dahulu. Kemampuan gaib Sang Buddha pun sebenarnya masih memiliki kolerasinya dengan Iptek. Namun suatu masa di mana Hukum Relativitas Fisika tidak lagi eksis, di mana Hukum Rantai Makanan tidak lagi eksis, di mana Hukum Kausalitas tidak lagi eksis, menurut saya itu tidak mungkin ada. Dengan kata lain, filsafat ilmu eksak bertolak-belakang dengan “konsep Penapakan Jalan Bodhisattva secara serentak”.
Selanjutnya terserah Anda…
Ingin bersandar pada pemikiran logis (akal sehat) atau berbahagia dengan percaya namun tidak melihat (iman).
Sifat Kebuddhaan tidak mengenal dewasa atau anak, bodoh atau pintar, suci atau awam. Mebeda-bedakannya berarti adalah tindakan diskriminatif (bersifat membeda-bedakan)
Sifat orang yang belum mencapai kebuddhaan itu masih mengenal kematangan mental, Bro. Yang saya tekankan adalah perbedaan kualitas batin antar orang yang satu dengan orang yang lain, ketika belum mencapai kebuddhaan.
Kurang teliti neh bacanya…
Itu asumsi anda
Dengan membantu seseorang meningkatkan kualitas-kualitas yang dibutuhkan untuk merealisasi nirvana, maka saya akan membantu seseorang merealisasi nirvana. Jika kualitas yang ada sudah terbentuk sempurna maka pada tahap tertentu seseorang pasti akan merealisasi nirvana.
Jadi dengan membantu orang lain maka kita bisa merealisasi Nirvana toh...?
Hmmm.... Begitu yah. Pantas saja deh.
Saya tidak mengatakan dengan demikian Theravadin egois, saya hanya mengatakan jika sebagian Theravadin berpandangan bahwa realisasi nirvana tergantung pada kemampuan setiap individu berarti lebih mementingkan pencerahan yang sifatnya individual. Hal mana pandangan demikian tidak muncul dalam Mahayana karena selalu mementingkan pencerahan kolektif tanpa peduli apapun kemampuan yang dimilikinya. (Coba anda baca lagi posting saya sebelumnya)
Saya ingin jujur mengatakan hal ini…
Sebenarnya di Umat Theravada, ada sebagian umatnya yang memang secara halus tersirat pemikiran egoisnya. Dan ini sangat sulit diketahui, terutama oleh dirinya sendiri.
Jadi apakah Jalan Theravada itu egois atau tidak? Jawabannya adalah sangat bergantung dari praktisi Theravada itu sendiri. Karena sebenarnya Konsep Theravada itu tidak dibangun atas dasar kepentingan individual. Jadi yang memberi kesan egois atau tidak itu berasal dari pola pandang praktisi yang bersangkutan, dan pola pandang orang lain terhadap praktisi yang bersangkutan itu.
Btw… Bro Sobat-Dharma, selamat Hari Raya Trisuci Waisak yah.
”Happy Vesakh to all Mahayanis and Theravadin”