Numpang komentar Om...
Guru saya (almarhum) pernah berkata bahwa kata-kata Sang Buddha itu tidak absolut. Karena Sang Buddha menggunakan kata-kata duniawi agar dapat dimengerti oleh kita-kita yang masih duniawi. Sedangkan segala hal yang duniawi itu tidak ada yang absolut (sankhara anicca). Namun, kata-kata Sang Buddha yang tidak absolut tadi dimaksudkan untuk mengarahkan pengertian kita ke Sang Jalan. Setelah kita mengerti dan berada pada Sang Jalan, maka kata-kata yang tidak absolut tadi tidak ada lagi manfaatnya baginya (tapi tentu saja masih bermanfaat bagi orang lain yg masih di luar Sang Jalan).
Kata-kata Sang Buddha bukanlah Sang Jalan, apalagi tulisan di Tipitaka. Seperti perumpamaan yg sering kita dengar, mengenai jari yang menunjuk ke bulan, jari tersebut bukanlah bulan. Karenanya, tidak ada gunanya jika kita membaca tipitaka tetapi tidak pernah mempraktikkan dalam keseharian kita. Tipitaka hanya akan menjadi buku dongeng anak-anak tanpa kita pernah mempraktikkannya. Apalagi kalo kita menyimpan tipitaka dalam lemari yang indah, dihiasi bunga2, diberi persembahan, dsb. dan ga pernah dibaca... itu lebih parah lagi.
Sang pelestari Dhamma sejati itu adalah sotapatiphala, sakadagamiphala, anagamiphala, dan arahattaphala. Selama masih ada makhluk2 seperti itu di muka Bumi ini, selama itu pula Dhamma sejati masih berkumandang. Bukan tipitaka yang menjadi pelestari Dhamma, bukan buku-buku Buddhis, bukan agamawan Buddhis, bukan pelajar Buddhis, bukan demonstran Buddhis, bukan departemen agama, bukan museum, karena semua itu masih duniawi, masih bercampur dengan urusan duniawi, urusan politik, urusan ego, bisa rusak, bisa hancur, bisa berubah dsb.
Jika benar Dhamma akan berkumandang 5000 tahun lamanya, maka selama selang waktu itu pula masih ada di dunia ini salah satu dari empat makhluk mulia tersebut. Setelah lewat 5000 tahun, mungkin masih ada agama Buddha, masih ada Tipitaka, bahkan masih ada bhikkhu, tapi tidak ada satu pun di antara manusia yang merupakan makhluk suci, semuanya sudah korup, bhikkhu pun korup, tipitaka ditafsirkan melenceng (mungkin karena evolusi bahasa), tidak ada manusia yang dapat menembus maksud dari kata-kata dalam tipitaka, karena batinnya sudah korup, kurang bersih, dst. Hingga suatu saat nanti akan muncul "the next Sammasambuddha".
Makasi...