//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - seniya

Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7 8 9 10 11 ... 228
46
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)
« on: 24 January 2021, 01:30:06 PM »
Mahānāma, suatu ketika aku sedang berdiam di dekat Rājagaha, di Gunung Vebhāra di Gua Sattapaṇṇi [yang sering dikunjungi oleh] para pertapa.<252> Mahānāma, pada saat sore menjelang malam, setelah bangkit dari duduk bermeditasi, aku mendekati lereng gunung itu.

Di sana aku melihat banyak Nigaṇṭha menjalankan latihan tidak duduk, berdiri terus-menerus tanpa duduk, mengalami kesakitan yang sangat hebat. Aku mendekati mereka dan bertanya, “Para Nigaṇṭha, karena alasan apakah kalian menjalankan latihan tidak duduk, berdiri terus-menerus tanpa duduk ini, mengalami kesakitan seperti ini?”

Mereka berkata, “Gotama, kami memiliki seorang guru, seorang Nigaṇṭha bernama Nātaputta, yang mengajarkan kami, dengan berkata,<253> ‘Para Nigaṇṭha, apa pun karma tidak bermanfaat yang dilakukan dalam kehidupan lampau kalian pasti akan dihancurkan melalui latihan keras. Jika kalian mempertahankan ucapan jasmani dan perilaku batin yang baik, maka karena hal itu kalian tidak akan melakukan karma jahat dan tidak bermanfaat lebih lanjut’.”

Mahānāma, aku bertanya kepada mereka lebih lanjut, “Para Nigaṇṭha, apakah kalian memiliki keyakinan kepada guru kalian dan apakah kalian bebas dari keragu-raguan?”<254> Mereka menjawab, “Ya tentu saja, Gotama. Kami memiliki keyakinan kepada guru kami dan bebas dari keragu-raguan.”

Mahānāma, aku bertanya kepada mereka lebih lanjut, “Para Nigaṇṭha, jika demikian, maka [apakah ini berarti bahwa] dalam kehidupan lampau kalian dan guru Nigaṇṭha kalian berulang-ulang melakukan perbuatan jahat dan tidak bermanfaat,<255> dan setelah sebelumnya melakukan [perbuatan demikian] kalian para Nigaṇṭha, pada saat meninggal dunia dan terlahir kembali sekarang di alam manusia, pergi meninggalkan keduniawian sebagai para Nigaṇṭha untuk menjalankan latihan tidak duduk, berdiri terus-menerus tanpa duduk, mengalami kesakitan seperti ini, seperti halnya yang sedang kalian dan para siswa kalian lakukan?”

Mereka menjawab, “Gotama, kebahagiaan dicapai tidak melalui kebahagiaan tetapi melalui kesakitan. Kebahagiaan yang dialami oleh pertapa Gotama tidak dapat menyamai kebahagiaan Raja Bimbisāra.”

Aku berkata lebih lanjut, “Kalian kebingungan. Apa yang kalian katakan tidak bermakna. Mengapakah demikian? Tidak terampil, tanpa pemahaman, dan tidak mengetahui waktu yang tepat, kalian telah membuat pernyataan ini:<256> ‘Kebahagiaan yang dialami oleh pertapa Gotama tidak dapat menyamai kebahagiaan Raja Bimbisāra.’ Para Nigaṇṭha, kalian seharusnya pertama-tama bertanya, ‘Siapakah [yang mengalami] kebahagiaan yang lebih tinggi, Raja Bimbisāra atau pertapa Gotama?’ Para Nigaṇṭha, aku akan menjawab seperti ini, ‘Aku [mengalami] kebahagiaan yang lebih tinggi; Raja Bimbisāra tidak dapat menyamainya.’ Namun, para Nigaṇṭha, kalian menyatakan bahwa ‘Kebahagiaan yang dialami oleh pertapa Gotama tidak dapat menyamai kebahagiaan Raja Bimbisāra’.”

Kemudian para Nigaṇṭha berkata, “Gotama, kami sekarang bertanya kepada pertapa Gotama: Siapakah [yang mengalami] kebahagiaan yang lebih besar, Raja Bimbisāra atau pertapa Gotama?”

Aku menjawab lebih lanjut, “Para Nigaṇṭha, aku sekarang akan bertanya kepada kalian. Jawablah sesuai dengan pemahaman kalian. Para Nigaṇṭha, apakah yang kalian pikirkan? Dapatkah Raja Bimbisāra, menurut keinginannya, berdiam dalam keheningan, tidak berkata sepatah kata pun, dan dengan demikian memperoleh sukacita dan kebahagiaan selama tujuh hari dan tujuh malam?” Para Nigaṇṭha menjawab, “Tidak, Gotama.”

[Aku bertanya lebih lanjut, “Dapatkah ia, menurut keinginannya, berdiam dalam keheningan, tidak berkata sepatah kata pun, dan dengan demikian] memperoleh sukacita dan kebahagiaan selama enam hari, … lima, … empat, … tiga, … dua hari, … atau satu hari dan satu malam?” Para Nigaṇṭha menjawab, “Tidak, Gotama.”

Aku bertanya lagi, “Para Nigaṇṭha, dapatkah aku, menurut keinginanku, berdiam dalam keheningan, tidak berkata sepatah kata pun, dan dengan demikian memperoleh sukacita dan kebahagiaan selama satu hari dan satu malam?”<257> Para Nigaṇṭha menjawab, “Ya tentu saja, Gotama.”

[Aku bertanya lagi, “Dapatkah aku, menurut keinginanku, berdiam dalam keheningan, tidak berkata sepatah kata pun, dan dengan demikian] memperoleh sukacita dan kebahagiaan selama dua, … tiga, … empat, … lima, … enam, … atau tujuh hari dan tujuh malam?” Para Nigaṇṭha menjawab, “Ya tentu saja, Gotama.”

Aku bertanya lagi, “Para Nigaṇṭha, apakah yang kalian pikirkan, siapakah yang [mengalami] kebahagiaan yang lebih tinggi, Raja Bimbisāra atau diriku?” Para Nigaṇṭha menjawab, “Gotama, seperti yang kami terima dan pahami apa yang dikatakan pertapa Gotama, Gotama [mengalami] kebahagiaan yang lebih tinggi; Raja Bimbisāra tidak dapat menyamainya.”<258>

Mahānāma, karena alasan ini ketahuilah bahwa tidak ada kebahagiaan dalam kenikmatan indria; hanya terdapat penderitaan dan kesedihan tak terhitung. [Jika] seorang siswa mulia tidak melihat hal ini sebagaimana adanya, maka ia diselubungi oleh kenikmatan indria, terjerat dalam apa yang jahat dan tidak bermanfaat, dan tidak akan mencapai kebahagiaan pelepasan dan kedamaian tiada bandingnya.

Mahānāma, dengan cara ini seorang siswa mulia mengalami kemunduran karena kenikmatan indria. Mahānāma, aku mengetahui bahwa tidak ada kebahagiaan dalam kenikmatan indria; hanya terdapat penderitaan dan kesedihan tak terhitung. Mengetahui hal ini sebagaimana adanya, aku tidak diselubungi oleh kenikmatan indria, tidak terjerat oleh keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, serta dengan demikian mencapai kebahagiaan pelepasan dan kedamaian tiada bandingnya. Mahānāma, karena alasan ini aku tidak mengalami kemunduran karena kenikmatan indria.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Mahānāma orang Sakya dan para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat

47
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)
« on: 24 January 2021, 01:28:12 PM »
100. Kotbah [Kedua] tentang Kumpulan Dukkha<244>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di antara orang-orang Sakya di Kapilavatthu, di Taman Nigrodha.

Pada waktu itu Mahānāma orang Sakya, ketika sedang berjalan-jalan setelah tengah hari, mendekati Sang Buddha. Setelah memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha, mengundurkan diri, dan duduk pada satu sisi, ia berkata:

Sang Bhagavā, seperti aku memahami ajaran Sang Bhagavā, aku harus melenyapkan tiga kekotoran dalam pikiranku: kekotoran pikiran oleh keserakahan, kekotoran pikiran oleh kebencian, dan kekotoran pikiran oleh delusi.

Sang Bhagavā, [walaupun] aku memahami ajaran seperti ini, tetapi keadaan-keadan keserakahan, keadaan-keadaan kebencian, dan keadaan-keadaan delusi masih muncul dalam pikiranku. Sang Bhagavā, aku berpikir: Apakah kondisi yang belum kuhancurkan yang masih menyebabkan keadaan-keadaan keserakahan, keadaan-keadaan kebencian, dan keadaan-keadaan delusi muncul dalam pikiranku?

Sang Bhagavā berkata:

Mahānāma, [di dalam] dirimu terdapat satu kondisi yang belum dihancurkan, yaitu [di mana karenanya] engkau tetap seorang perumah tangga, alih-alih meninggalkan kehidupan berumah tangga demi keyakinan dan menjadi seorang tanpa rumah untuk berlatih sang jalan. Mahānāma, jika engkau telah menghancurkan satu kondisi ini, engkau pasti tidak akan tetap seorang perumah tangga tetapi pasti akan meninggalkan kehidupan berumah tangga demi keyakinan dan menjadi seorang tanpa rumah untuk berlatih sang jalan. Adalah karena satu kondisi ini belum dihancurkan sehingga engkau tetap seorang perumah tangga alih-alih meninggalkan kehidupan berumah tangga demi keyakinan dan menjadi seorang tanpa rumah untuk berlatih sang jalan.

Atas hal ini Mahānāma orang Sakya bangkit dari tempat duduknya, mengatur jubahnya sehingga memperlihatkan satu bahu, merentangkan tangannya dengan telapak tangannya disatukan terhadap Sang Buddha, dan berkata kepada Sang Bhagavā, “Semoga Sang Bhagavā mengajarkanku Dharma, sehingga pikiranku menjadi murni, membebaskannya dari keragu-raguan, dan mencapai sang jalan!”<245>

Sang Bhagavā berkata:<246>

Mahānāma, terdapat lima utas kenikmatan indria yang diinginkan, dipikirkan, disenangi, berhubungan dengan nafsu, dan dinikmati oleh orang-orang. Apakah lima hal itu? Mereka adalah bentuk-bentuk terlihat yang dikenali oleh mata, suara-suara yang dikenali oleh telinga, bebauan yang dikenali oleh hidung, rasa-rasa yang dikenali oleh lidah, dan sentuhan yang dikenali oleh badan.

Dari hal-hal ini, raja dan para pengiring raja memperoleh kenikmatan dan kegembiraan. Mahānāma, ini adalah kepuasan tertinggi dalam kenikmatan indria. Tiada yang melampauinya, [tetapi] ia diliputi oleh banyak bahaya.

Mahānāma, apakah bahaya dalam kenikmatan indria? Mahānāma, seorang anggota keluarga dapat menggunakan apa pun kemampuan atau keterampilan yang ia miliki untuk memperoleh penghidupan, apakah itu pertanian, perdagangan, menggunakan pengetahuan akademis, keterampilan dalam pembukuan, pengetahuan berhitung, keterampilan dalam mengukir cap, menulis naskah, membuat alat tulis, memahami kitab-kitab suci, bertugas sebagai panglima pemberani, atau melayani raja.

Ketika cuaca dingin, ia [diserang oleh] rasa dingin; ketika cuaca panas, ia [diserang oleh] rasa panas; ia menjadi lapar, haus, dan lelah, serta digigit oleh nyamuk dan serangga pengganggu ketika ia menjalankan pekerjaan demikian dalam pencariannya atas kekayaan. Mahānāma, jika anggota keluarga itu, yang melakukan usaha demikian, menjalankan kegiatan demikian dan perjuangan demikian, tidak memperoleh kekayaan, maka ia mengalami dukacita dan ketidakbahagiaan, ia khawatir dan bersedih, kecewa dan jengkel, serta kebingungan muncul dalam pikirannya. Ia berkata [pada dirinya sendiri], “Pekerjaanku sia-sia, penderitaanku sia-sia, perjuanganku tidak berhasil!”

[Namun,] Mahānāma, jika anggota keluarga itu, yang melakukan usaha demikian, menjalankan kegiatan demikian dan perjuangan demikian, memperoleh kekayaan, maka ia menyayangi dan menghargai kekayaan itu, dengan menjaganya dalam ruang penyimpanan yang tersembunyi. Mengapakah demikian?

[Karena ia berpikir,] “Semoga kekayaanku ini tidak diambil secara paksa oleh raja, dicuri oleh pencuri, atau terbakar dalam api; semoga ia tidak rusak dan hancur atau hilang! Semoga tidak ada uangku yang keluar tanpa [menghasilkan] keuntungan, atau digunakan untuk apa pun pekerjaan yang gagal!” [Karena alasan ini,] ia menjaga [kekayaannya] demikian dalam ruang penyimpanan yang tersembunyi.

Jika kekayaan itu diambil secara paksa oleh raja, dicuri oleh pencuri, terbakar dalam api; jika ia rusak atau hancur atau hilang, maka dukacita dan ketidakbahagiaan muncul. Ia khawatir dan bersedih, kecewa dan jengkel, dan kebingungan muncul dalam pikirannya, dan ia berkata [pada dirinya sendiri,] “Yang kusimpan selama waktu yang lama sekarang hilang!” Seperti ini, Mahānāma, adalah kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya.<247>

Selanjutnya, Mahānāma, [di antara] makhluk-makhluk hidup, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai kondisi, dan kenikmatan indria sebagai sumber, seorang ibu berselisih dengan anaknya, atau seorang anak berselisih dengan ibunya, seorang ayah [berselisih dengan] anaknya, ... seorang kakak laki-laki dengan adik laki-lakinya, ... seorang kakak perempuan dengan adik perempuannya, ... atau para sanak keluarga berselisih satu sama lainnya.

Setelah berselisih seperti ini, seorang ibu berkata buruk terhadap anaknya, seorang anak berkata buruk terhadap ibunya, seorang ayah [berkata buruk] terhadap anaknya, ... seorang kakak laki-laki terhadap adik laki-laki, ... seorang kakak perempuan terhadap adik perempuannya, ... atau para sanak keluarga berkata buruk satu sama lainnya, apalagi orang lain.<248> Ini, Mahānāma, adalah apa yang dimaksud dengan kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya.

Selanjutnya, Mahānāma, [di antara] makhluk-makhluk hidup, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai kondisi, dan kenikmatan indria sebagai sumber, raja berselisih dengan raja, brahmana berselisih dengan brahmana, perumah tangga berselisih dengan perumah tangga, warga kota berselisih dengan warga kota, dan negeri berselisih dengan negeri.

Karena mereka berselisih dan membenci satu sama lain, mereka mengambil berbagai jenis senjata untuk melukai satu sama lain, menyerang [satu sama lain] dengan tinju, atau melempar batu [satu sama lain], atau memukul [satu sama lain] dengan tongkat, atau melukai [satu sama lain] dengan pedang. Selama perselisihan mereka mungkin tewas atau ketakutan, mengalami penderitaan hebat. Ini, Mahānāma, adalah apa yang dimaksud dengan kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya.

Selanjutnya, Mahānāma, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai kondisi, dan kenikmatan indria sebagai sumber, makhluk-makhluk hidup mengenakan baju zirah dan mantel [logam], mengambil tombak atau busur dan anak panah, atau mengayunkan pedang dan perisai serta pergi berperang. Mereka bertempur di atas gajah, kuda, atau kereta, atau sebagai pasukan pejalan kaki, atau mereka bertempur sebagai orang [biasa].<249> Selama pertempuran mereka mungkin tewas atau ketakutan, mengalami penderitaan hebat. Ini, Mahānāma, adalah apa yang dimaksud dengan kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya.

Selanjutnya, Mahānāma, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai kondisi, dan kenikmatan indria sebagai sumber, makhluk-makhluk hidup mengenakan baju zirah dan mantel [logam], mengambil tombak atau busur dan anak panah, atau mengayunkan pedang dan perisai, serta [berangkat untuk] menaklukkan negeri lain. Mereka mengepung sebuah kota dan menghancurkan bentengnya, berbaris dalam barisan perang sampai memukul genderang, meniup terompet, dan berteriak keras. Mereka menyerang dengan palu, atau mereka menggunakan tombak dan tombak berkapak, atau mereka menggunakan roda pemotong, atau mereka menembakkan anak panah, atau mereka melemparkan batu, atau mereka menggunakan katapel besar, atau mereka menuangkan butiran tembaga cair. Selama pertempuran mereka mungkin tewas atau ketakutan, mengalami penderitaan hebat. Ini, Mahānāma, adalah apa yang dimaksud dengan kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya.

Selanjutnya, Mahānāma, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai kondisi, dan kenikmatan indria sebagai sumber, makhluk-makhluk hidup mengenakan baju zirah dan mantel [logam], mengambil tombak atau busur dan anak panah, atau mengayunkan pedang dan perisai, dan maju memasuki desa, kota kecil, kampung, atau kota. Mereka menerobos dinding dan membuka ruang penyimpanan untuk mencuri harta kekayaan. Mereka memutus jalan raya raja atau menjangkau jalan lainnya. Mereka menghancurkan pedesaan, merusak kota-kota kecil, memusnahkan perkampungan, dan memporak-porandakan kota-kota.

Dalam proses itu mereka mungkin ditangkap oleh orang-orang raja, yang menjatuhkan mereka berbagai hukuman, seperti memotong tangan mereka, kaki mereka, atau baik tangan maupun kaki; memotong telinga mereka, hidung mereka, atau baik hidung maupun telinga; atau mengiris potongan [daging] mereka, atau menarik janggut atau rambut mereka, atau menarik baik janggut maupun rambut, atau menempatkan mereka dalam kurungan dan membakar pakaian mereka, atau menyelimuti mereka dalam jerami dan membakarnya; atau menempatkan mereka dalam perut “keledai besi” atau mulut “babi besi” atau mulut “macan besi” dan kemudian memanaskannya; atau menempatkan mereka dalam ketel tembaga atau besi dan merebus mereka; atau memotong mereka menjadi potongan-potongan, atau menusuk mereka dengan garpu tajam, atau mengaitkan mereka dengan kait besi, atau membaringkan mereka di atas ranjang besi dan membuat mereka melepuh dengan minyak panas, atau mendudukkan mereka dalam lumpang besi dan menumbuk mereka dengan alu besi, atau membiarkan mereka digigit oleh ular atau ular besar, atau mencambuk mereka dengan cambuk, atau memukul mereka dengan tongkat, atau memukul mereka dengan gada, atau menusuk mereka hidup-hidup pada tonggak tinggi, atau memenggal mereka.

Dalam proses itu mereka akan tewas atau ketakutan, mengalami penderitaan hebat. Ini, Mahānāma, adalah apa yang dimaksud dengan kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya.

Selanjutnya, Mahānāma, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai kondisi, dan kenikmatan indria sebagai sumber, makhluk-makhluk hidup melakukan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang jahat. Pada waktu belakangan mereka terserang oleh penyakit dan berbaring di atas tempat tidur, atau duduk atau berbaring di atas tanah, dengan kesakitan menekan tubuh mereka, mengalami kesakitan yang sangat berat yang sama sekali tidak diinginkan.

Pada saat kematian perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran mereka yang jahat muncul di hadapan mereka dan menyelubungi mereka. Seperti halnya ketika matahari tenggelam, bayangan puncak gunung besar menyelubungi bumi, dengan cara yang sama perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran mereka yang jahat muncul di hadapan mereka dan menyelubungi mereka.<250>

Mereka berpikir: “Sebelumnya aku melakukan perbuatan-perbuatan jahat, yang [sekarang] muncul di hadapanku dan menyelubungiku. Sebelumnya aku tidak melakukan perbuatan-perbuatan bajik; aku melakukan banyak perbuatan jahat. Jika terdapat tempat di mana orang-orang terlahir kembali yang melakukan apa yang jahat, buruk, dan berbahaya, yang hanya melakukan kejahatan, yang tidak berbuat kebajikan dan tidak melakukan perbuatan baik, yang tanpa ketakutan [terhadap akibatnya], tanpa kebergantungan, tanpa perlindungan – aku pasti akan terlahir kembali di sana.”

Dari hal ini mereka merasakan penyesalan, dan karena menyesal mereka mengalami kematian yang buruk, dan kehidupan mereka berakhir tanpa kebajikan. Ini, Mahānāma, adalah apa yang dimaksud dengan kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya.

Selanjutnya, Mahānāma, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai kondisi, dan kenikmatan indria sebagai sumber, makhluk-makhluk hidup melakukan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang jahat. Karena perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang jahat tersebut, dengan hal ini sebagai sebab, dengan hal ini sebagai kondisi, ketika hancurnya jasmani pada saat kematian mereka pasti akan pergi menuju alam yang buruk dan terlahir kembali di neraka. Ini, Mahānāma, adalah apa yang dimaksud dengan kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya.

Mahānāma, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa tidak ada kebahagiaan dalam semua kenikmatan indria; [hanya terdapat] penderitaan dan kesedihan tak terhitung. [Jika] seorang siswa mulia tidak melihat hal ini sebagaimana adanya, maka ia diselubungi oleh kenikmatan indria dan tidak akan mencapai kebahagiaan pelepasan dan kedamaian tiada bandingnya.

Mahānāma, dengan cara ini seorang siswa mulia mengalami kemunduran karena kenikmatan indria. Mahānāma, aku mengetahui bahwa tidak ada kebahagiaan dalam kenikmatan indria, tetapi hanya kesedihan tak terhitung. Mengetahui hal ini sebagaimana adanya, Mahānāma, aku tidak diselubungi oleh kenikmatan indria dan tidak dikuasai oleh apa yang jahat, dan dengan demikian aku mencapai kebahagiaan pelepasan dan kedamaian tiada bandingnya. Mahānāma, karena alasan ini aku tidak mengalami kemunduran karena kenikmatan indria.<251>

48
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)
« on: 24 January 2021, 01:23:02 PM »
Apakah kepuasan dalam perasaan? Terasing dari keinginan indria, terasing dari keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, seorang bhikkhu berdiam setelah mencapai ... sampai dengan ... jhāna keempat. Pada saat itu ia tidak memiliki kehendak menyakiti dirinya sendiri ataupun kehendak menyakiti orang lain. Tanpa kehendak menyakiti adalah apa yang dimaksud dengan kenikmatan dan kepuasan dalam perasaan. Mengapakah demikian? [Karena] ia yang tanpa kehendak menyakiti menyempurnakan kebahagiaan demikian. Ini adalah apa yang dimaksud dengan kepuasan dalam perasaan.
Apakah bahaya dalam perasaan? Perasaan adalah bersifat tidak kekal, bersifat tidak memuaskan, bersifat mengalami kelenyapan. Ini adalah apa yang dimaksud dengan bahaya dalam perasaan.

Apakah jalan membebaskan diri dari perasaan? Ditinggalkannya dan dibuangnya perasaan, pelepasan dan penolakan perasaan, lenyapnya perasaan, penghancuran perasaan, melampaui dan membebaskan diri dari perasaan – ini adalah apa yang dimaksud dengan jalan membebaskan diri dari perasaan.

Siapa pun para pertapa atau brahmana yang tidak mengetahui, sebagaimana adanya, kepuasan dalam perasaan, bahaya dalam perasaan, dan jalan membebaskan diri dari perasaan sepenuhnya tidak dapat meninggalkan perasaan mereka sendiri. Bagaimana mungkin kemudian mereka menyebabkan orang lain meninggalkan perasaan?

Siapa pun para pertapa atau brahmana yang mengetahui, sebagaimana adanya, kepuasan dalam perasaan, bahaya dalam perasaan, dan jalan membebaskan diri dari perasaan pasti dapat membuang [perasaan] mereka sendiri dan juga dapat menyebabkan orang lain meninggalkan perasaan.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

49
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)
« on: 24 January 2021, 01:22:51 PM »
99. Kotbah [Pertama] tentang Kumpulan Dukkha<238>

Demikianlah telah kudengar. Pada satu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu, setelah makan siang, para bhikkhu sedang duduk bersama di aula perkumpulan karena suatu hal kecil, ketika banyak para praktisi ajaran lain sedang berjalan-jalan di sekeliling setelah makan siang, mendekati para bhikkhu.<239> Setelah bertukar salam, mengundurkan diri, dan duduk pada satu sisi, mereka berkata kepada para bhikkhu:

Teman-teman yang mulia, pertapa Gotama menjelaskan pengetahuan penetratif atas kenikmatan indria, beliau menjelaskan pengetahuan penetratif atas bentuk jasmani, dan beliau menjelaskan pengetahuan penetratif atas perasaan. Teman-teman yang mulia, kami juga menjelaskan pengetahuan penetratif atas kenikmatan indria,  menjelaskan pengetahuan penetratif atas bentuk jasmani, dan menjelaskan pengetahuan penetratif atas perasaan.

Sehubungan dengan dua pengetahuan ini dan dua penembusan ini [yang dijelaskan oleh] pertapa Gotama dan oleh kami sendiri, manakah yang lebih tinggi [atau lebih rendah] dan apakah perbedaannya?

Kemudian para bhikkhu, yang mendengar apa yang dikatakan banyak praktisi ajaran lain itu, tidak menyetujui ataupun membantah tetapi dengan berdiam diri bangkit dan pergi, dengan berpikir: “Dari Sang Bhagavā kami akan memperoleh pemahaman apa yang telah demikian dikatakan.” Kemudian mereka mendekati Sang Buddha. Setelah memberikan penghormatan dengan kepala mereka [pada kaki beliau], mengundurkan diri, dan duduk pada satu sisi, mereka menceritakan kepada Sang Buddha seluruh diskusi yang mereka lakukan dengan banyak praktisi ajaran lain itu.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Kalian seharusnya langsung bertanya kepada banyak praktisi ajaran lain itu demikian: “Teman-teman yang mulia, apakah kepuasan (assāda) dalam kenikmatan indria, apakah bahaya (ādīnava) dalam kenikmatan indria, dan apakah jalan membebaskan diri (nissaraṇa) dari kenikmatan indria? Apakah kepuasan dalam bentuk jasmani, apakah bahaya dalam bentuk jasmani, dan apakah jalan membebaskan diri dari bentuk jasmani? Apakah kepuasan dalam perasaan, apakah bahaya dalam perasaan, dan apakah jalan membebaskan diri dari perasaan?”

Para bhikkhu, jika kalian menanyakan mereka hal ini, maka ketika mendengar [pertanyaan-pertanyaan ini] mereka akan kesulitan menjawabnya. Mereka akan [mengalihkan] pembicaraan pada topik lain, akan menjadi semakin kebingungan, dan [pada akhirnya] pasti akan bangkit dari tempat duduk mereka dan mengundurkan diri dengan diam. Mengapakah demikian?
Aku tidak melihat di dunia ini, dengan para dewa dan māra, para Brahmā, para pertapa, dan para brahmana, dan semua perkumpulan lainnya, siapa pun yang dapat memahami dan menguraikan makna hal ini, kecuali Sang Tathāgata, seorang siswa Sang Tathāgata, atau seseorang yang telah mendengarnya dari mereka.

Sang Buddha berkata:

Apakah kepuasan dalam kenikmatan indria? Ia adalah kenikmatan dan kegembiraan yang muncul bergantung pada lima utas kenikmatan indria. Ini adalah kepuasan tertinggi dalam kenikmatan indria dengan tiada yang melampauinya, [tetapi] ia diliputi oleh banyak bahaya.

Apakah bahaya dalam kenikmatan indria? Seorang anggota keluarga menggunakan apa pun kemampuan atau keterampilan yang ia miliki untuk memperoleh penghidupan, apakah itu pertanian, perdagangan, menggunakan pengetahuan akademis, keterampilan dalam pembukuan, pengetahuan berhitung, keterampilan dalam mengukir cap, menulis naskah, membuat alat tulis, memahami kitab-kitab suci, bertugas sebagai panglima pemberani, atau melayani raja.

Ketika cuaca dingin, ia [diserang oleh] rasa dingin; ketika cuaca panas, ia [diserang oleh] rasa panas; ia menjadi lapar, haus, dan lelah, serta digigit oleh nyamuk dan serangga pengganggu ketika ia menjalankan pekerjaan demikian dalam pencariannya atas kekayaan.

Jika anggota keluarga itu, yang melakukan usaha demikian, menjalankan kegiatan demikian dan perjuangan demikian, tidak memperoleh kekayaan, maka ia mengalami dukacita dan kesakitan, ia khawatir dan bersedih, kecewa dan jengkel, serta kebingungan muncul dalam pikirannya. Ia berkata [kepada dirinya sendiri], “Pekerjaanku sia-sia, penderitaanku sia-sia, perjuanganku tidak berhasil!”

[Namun,] jika anggota keluarga itu, yang melakukan usaha demikian, menjalankan kegiatan demikian dan perjuangan demikian, memperoleh kekayaan, maka ia menyayangi dan menghargai kekayaan itu, dengan menjaganya dalam ruang penyimpanan yang tersembunyi. Mengapakah demikian?

[Karena ia berpikir,] “Semoga kekayaanku ini tidak diambil secara paksa oleh raja, dicuri oleh pencuri, atau terbakar dalam api; semoga ia tidak rusak dan hancur atau hilang! Semoga tidak ada uangku yang keluar tanpa menghasilkan keuntungan, atau digunakan untuk apa pun pekerjaan yang gagal!” [Karena alasan ini,] ia menjaga [kekayaannya] demikian, dalam ruang penyimpanan yang tersembunyi.

Jika kekayaan itu diambil secara paksa oleh raja, dicuri oleh pencuri, terbakar dalam api, rusak, hancur, runtuh, atau hilang, maka dukacita dan kesakitan muncul. Ia khawatir dan bersedih, kecewa dan jengkel, dan kebingungan muncul dalam pikirannya, seraya ia berkata [pada dirinya sendiri,] “Yang kusimpan selama waktu yang lama sekarang runtuh dan hilang.” Ini adalah apa yang dimaksud dengan kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya.<240>

Selanjutnya, [di antara] makhluk-makhluk hidup, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai kondisi, dan kenikmatan indria sebagai sumber, seorang ibu berselisih dengan anaknya, atau seorang anak berselisih dengan ibunya, seorang ayah [berselisih] dengan anaknya, ... seorang kakak laki-laki dengan adik laki-lakinya, ... seorang kakak perempuan dengan adik perempuannya, ... atau para sanak keluarga berselisih satu sama lainnya.

Setelah berselisih seperti ini, seorang ibu berkata buruk terhadap anaknya, seorang anak berkata buruk terhadap ibunya, seorang ayah [berkata buruk] terhadap anaknya, ... seorang kakak laki-laki terhadap adik laki-laki, ... seorang kakak perempuan terhadap adik perempuannya, ... dan para sanak keluarga berkata buruk satu sama lainnya, apalagi orang lain.<241> Ini adalah apa yang dimaksud dengan kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya.

Selanjutnya, [di antara] makhluk-makhluk hidup, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai kondisi, dan kenikmatan indria sebagai sumber, raja berselisih dengan raja, brahmana berselisih dengan brahmana, perumah tangga berselisih dengan perumah tangga, warga kota berselisih dengan warga kota, dan negeri berselisih dengan negeri.

Karena mereka berselisih dan membenci satu sama lain, mereka mengambil berbagai jenis senjata untuk melukai satu sama lain, menyerang [satu sama lain] dengan tinju, atau melempar batu [satu sama lain], atau memukul [satu sama lain] dengan tongkat, atau melukai [satu sama lain] dengan pedang. Selama perselisihan mereka mungkin tewas atau ketakutan, mengalami penderitaan hebat. Ini adalah apa yang dimaksud dengan kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya.

Selanjutnya, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai kondisi, dan kenikmatan indria sebagai sumber, makhluk-makhluk hidup mengenakan baju zirah dan mantel [logam], mengambil tombak atau busur dan anak panah, atau mengayunkan pedang dan perisai serta pergi berperang. Mereka bertempur di atas gajah, kuda, atau kereta, atau sebagai pasukan pejalan kaki, atau mereka bertempur sebagai orang [biasa].<242> Selama pertempuran mereka mungkin tewas atau ketakutan, mengalami penderitaan hebat. Ini adalah apa yang dimaksud dengan kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya.

Selanjutnya, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai kondisi, dan kenikmatan indria sebagai sumber, makhluk-makhluk hidup mengenakan baju zirah dan mantel [logam], mengambil tombak atau busur dan anak panah, atau mengayunkan pedang dan perisai, serta [berangkat untuk] menaklukkan negeri lain. Mereka mengepung sebuah kota dan menghancurkan bentengnya, berbaris dalam barisan perang sampai memukul genderang, meniup terompet, dan berteriak keras. Mereka menyerang dengan palu, atau mereka menggunakan tombak dan tombak berkapak, atau mereka menggunakan roda pemotong, atau mereka menembakkan anak panah, atau mereka melemparkan batu, atau mereka menggunakan katapel besar, atau mereka menuangkan butiran tembaga cair. Selama pertempuran mereka mungkin tewas atau ketakutan, mengalami penderitaan hebat. Ini adalah apa yang dimaksud dengan kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya.

Selanjutnya, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai kondisi, dan kenikmatan indria sebagai sumber, makhluk-makhluk hidup mengenakan baju zirah atau mantel [logam], mengambil tombak atau busur dan anak panah, atau mengayunkan pedang dan perisai, serta maju memasuki sebuah desa, kota kecil, kampung, atau kota. Mereka menerobos dinding dan membuka ruang penyimpanan untuk mencuri harta kekayaan. Mereka mencegat [para pelancong] pada jalan raya raja atau menjangkau jalan lainnya. Mereka menghancurkan pedesaan, merusak kota-kota kecil, memusnahkan perkampungan, dan memporak-porandakan kota-kota.

Dalam proses itu mereka mungkin ditangkap oleh orang-orang raja, yang menjatuhkan mereka berbagai hukuman, seperti memotong tangan mereka, kaki mereka, atau baik tangan maupun kaki; memotong telinga mereka, hidung mereka, atau baik hidung maupun telinga; atau mengiris potongan [daging] mereka, atau menarik janggut mereka, rambut mereka, atau baik janggut maupun rambut; atau menempatkan mereka dalam kurungan dan membakar pakaian mereka, atau menyelimuti mereka dalam jerami dan membakarnya, atau menempatkan mereka dalam perut “keledai besi” atau mulut “babi besi” atau mulut “macan besi” dan kemudian memanaskannya; atau menempatkan mereka dalam ketel tembaga atau besi dan merebus mereka; atau memotong mereka menjadi potongan-potongan, atau menusuk mereka dengan garpu tajam, atau mengaitkan mereka dengan kait besi, atau membaringkan mereka di atas ranjang besi dan membuat mereka melepuh dengan minyak panas, atau mendudukkan mereka dalam lumpang besi dan menumbuk mereka dengan alu besi, atau membiarkan mereka digigit oleh ular atau ular besar, atau mencambuk mereka dengan cambuk, atau memukul mereka dengan tongkat, atau memukul mereka dengan gada, atau menusuk mereka hidup-hidup pada tonggak tinggi, atau memenggal mereka.

Dalam proses itu mereka akan tewas atau ketakutan, mengalami penderitaan hebat. Ini adalah apa yang dimaksud dengan kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya.

Selanjutnya, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai kondisi, dan kenikmatan indria sebagai sumber, makhluk-makhluk hidup melakukan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang jahat. Pada waktu belakangan mereka terserang oleh penyakit dan berbaring di atas tempat tidur mereka, atau duduk atau berbaring di atas tanah, dengan kesakitan menekan tubuh mereka, mengalami kesakitan yang sangat berat yang sama sekali tidak diinginkan.

Pada saat kematian perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran mereka yang jahat muncul di hadapan mereka dan menyelubungi mereka. Seperti halnya ketika matahari tenggelam, bayangan puncak gunung besar menyelubungi bumi – dengan cara yang sama perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran mereka yang jahat muncul di hadapan mereka dan menyelubungi mereka.<243>

Mereka berpikir: “Sebelumnya aku melakukan perbuatan-perbuatan jahat, yang [sekarang] muncul di hadapanku dan menyelubungiku. Sebelumnya aku tidak melakukan perbuatan-perbuatan bajik; aku melakukan banyak perbuatan jahat. Jika terdapat tempat di mana orang-orang terlahir kembali yang melakukan apa yang jahat, buruk, dan berbahaya, yang hanya melakukan kejahatan, yang tidak berbuat kebajikan dan tidak melakukan perbuatan baik, yang tanpa ketakutan [terhadap akibat perbuatan mereka], tanpa kebergantungan, tanpa perlindungan, maka aku pasti akan terlahir kembali di sana.”

Dari hal ini mereka merasakan penyesalan, dan karena menyesal mereka mengalami kematian yang buruk, dan kehidupan mereka berakhir tanpa kebajikan. Ini adalah apa yang dimaksud dengan kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya.

Selanjutnya, dengan kenikmatan indria sebagai sebab, kenikmatan indria sebagai kondisi, dan kenikmatan indria sebagai sumber, makhluk-makhluk hidup melakukan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang jahat. Karena perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang jahat tersebut, dengan hal ini sebagai sebab, dengan hal ini sebagai kondisi, ketika hancurnya jasmani pada saat kematian mereka pasti akan pergi menuju alam yang buruk dan terlahir kembali di neraka. Ini adalah apa yang dimaksud dengan kumpulan dukkha pada masa sekarang, yang memiliki kenikmatan indria sebagai sebabnya, kenikmatan indria sebagai kondisinya, dan kenikmatan indria sebagai sumbernya. Ini adalah apa yang dimaksud dengan bahaya dari kenikmatan indria.

Apakah jalan membebaskan diri dari kenikmatan indria? Ditinggalkannya dan dibuangnya kenikmatan indria, pelepasan dan penolakan kenikmatan indria, lenyapnya kenikmatan indria, penghancuran kenikmatan indria, melampaui dan membebaskan diri dari kenikmatan indria – ini adalah apa yang dimaksud dengan jalan membebaskan diri dari kenikmatan indria.

Siapa pun para pertapa atau brahmana yang tidak mengetahui, sebagaimana adanya, kepuasan dalam kenikmatan indria, bahaya dalam kenikmatan indria, dan jalan membebaskan diri dari kenikmatan indria sepenuhnya tidak dapat meninggalkan kenikmatan indria mereka sendiri. Bagaimana mungkin kemudian mereka menyebabkan orang lain meninggalkan kenikmatan indria?

Siapa pun para pertapa atau brahmana yang mengetahui, sebagaimana adanya, kepuasan dalam kenikmatan indria, bahaya dalam kenikmatan indria, dan jalan membebaskan diri dari kenikmatan indria dapat membuang [kenikmatan indria] mereka sendiri dan juga dapat menyebabkan orang lain untuk meninggalkan kenikmatan indria.

Apakah kepuasan dalam bentuk jasmani? Seumpamanya terdapat seorang gadis dari [kasta] ksatria, brahmana, pedagang, atau pekerja, berusia empat belas atau lima belas tahun. Pada waktu itu kecantikan jasmaninya sedang pada titik terbaiknya. Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan kecantikan jasmaninya sebagai sebabnya, dengan kecantikan jasmaninya sebagai kondisinya, itu adalah kepuasan tertinggi dalam bentuk jasmani. Tiada yang melampauinya, [tetapi] ia diliputi oleh banyak bahaya.

Apakah bahaya dalam bentuk jasmani? Seumpamanya seseorang melihat gadis cantik itu pada waktu belakangan ketika ia menjadi sangat tua dan lemah, rambutnya berubah putih dan giginya tanggal, dengan punggung bungkuk dan goyah kakinya, bersandar pada tongkat untuk berjalan, dengan kesehatan yang menurun, masa kehidupannya mendekati akhirnya, tubuhnya bergemetar, dan indria-indrianya merosot.

Apakah yang kalian pikirkan? Apakah kecantikan jasmaninya yang sebelumnya telah lenyap dan bahayanya muncul?

[Para bhikkhu] menjawab, “Ya benar.”

[Sang Buddha berkata:]

Selanjutnya, seumpamanya seseorang melihat gadis cantik [sebelumnya] itu terserang penyakit, berbaring di atas tempat tidur, atau duduk atau berbaring di atas tanah, dengan kesakitan menekan tubuhnya, mengalami penderitaan yang sangat parah. Apakah yang kalian pikirkan? Apakah kecantikan jasmaninya yang sebelumnya telah lenyap dan bahayanya muncul?

[Para bhikkhu] menjawab, “Ya benar.”

[Sang Buddha berkata:]

Selanjutnya, seumpamanya seseorang melihat [mayat] gadis cantik [sebelumnya] itu, meninggal selama satu, dua hari, atau sampai dengan enam atau tujuh hari, dipatuk oleh burung gagak dan elang, dimangsa oleh anjing hutan dan serigala, terbakar oleh api atau dikuburkan dalam tanah, atau sepenuhnya membusuk dan terurai. Apakah yang kalian pikirkan? Apakah kecantikannya yang sebelumnya telah lenyap dan bahayanya muncul?

[Para bhikkhu] menjawab, “Ya benar.”

[Sang Buddha berkata:]

Selanjutnya, seumpamanya seseorang melihat [mayat] gadis cantik [sebelumnya] itu di tanah pekuburan sebagai bangkai yang berwarna kebiruan, terurai dan setengah dimakan [oleh hewan], dengan kerangka tergeletak di atas tanah yang masih tersambung bersama. Apakah yang kalian pikirkan? Apakah kecantikannya yang sebelumnya telah lenyap dan bahayanya muncul?

[Para bhikkhu] menjawab, “Ya benar.”

[Sang Buddha berkata:]

Selanjutnya, seumpamanya seseorang melihat [kerangka] gadis cantik itu di tanah pekuburan tanpa kulit, daging, atau darah, yang dipertahankan bersama hanya oleh urat. Apakah yang kalian pikirkan? Apakah kecantikannya yang sebelumnya telah lenyap dan bahayanya muncul?

[Para bhikkhu] menjawab, “Ya benar.”

[Sang Buddha berkata:]

Selanjutnya, seumpamanya seseorang melihat [tulang-tulang] gadis cantik [sebelumnya] itu di tanah pekuburan, tulang-tulang yang tidak tersambung yang berserakan ke segala arah: tulang kaki, tulang kering, tulang paha, tulang panggul, tulang belakang, tulang bahu, tulang leher, dan tulang tengkorak, semuanya di tempat-tempat yang berbeda. Apakah yang kalian pikirkan? Apakah kecantikannya yang sebelumnya telah lenyap dan bahayanya muncul?

[Para bhikkhu] menjawab, “Ya benar.”

[Sang Buddha berkata:]

Selanjutnya, seumpamanya seseorang melihat [tulang-tulang] gadis cantik [sebelumnya] itu di tanah pekuburan, tulang-tulang berwarna putih bagaikan kulit kerang, atau kebiruan seperti warna seekor burung merpati, atau merah seakan-akan berlumuran darah, yang membusuk dan terurai, [hancur] berkeping-keping. Apakah yang kalian pikirkan? Apakah kecantikannya yang sebelumnya telah lenyap dan bahayanya muncul?

[Para bhikkhu] menjawab, “Ya benar.”

[Sang Buddha berkata:]

Ini adalah apa yang dimaksud dengan bahaya dalam bentuk jasmani.

Apakah jalan membebaskan diri dari bentuk jasmani? Ditinggalkannya dan dibuangnya bentuk jasmani, pelepasan dan penolakan bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, penghancuran bentuk jasmani, melampaui dan membebaskan diri dari bentuk jasmani – ini adalah apa yang dimaksud dengan jalan membebaskan diri dari bentuk jasmani.

Siapa pun para pertapa atau brahmana yang tidak mengetahui, sebagaimana adanya, kepuasan dalam bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan membebaskan diri dari bentuk jasmani sepenuhnya tidak dapat meninggalkan bentuk jasmani mereka sendiri. Bagaimana mungkin kemudian mereka dapat menyebabkan orang lain meninggalkan bentuk jasmani?

Siapa pun pertapa atau brahmana yang mengetahui, sebagaimana adanya, kepuasan dalam bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan membebaskan diri dari bentuk jasmani dapat membuang [bentuk jasmani] mereka sendiri dan juga dapat menyebabkan orang lain meninggalkan bentuk jasmani.

50
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)
« on: 24 January 2021, 01:16:21 PM »
Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seperti halnya ia sebelumnya telah melihat [tulang-tulang] di tanah pekuburan, [demikianlah] seorang bhikkhu [mengingat] tulang-tulang yang berwarna putih bagaikan kulit kerang, atau kebiruan seperti warna seekor burung merpati, atau merah seakan-akan berlumuran darah, yang membusuk dan terurai, hancur menjadi debu. Melihat hal ini, ia membandingkan dirinya sendiri dengan tulang-tulang itu: “Jasmaniku sekarang ini juga seperti ini. Ia memiliki sifat yang sama dan pada akhirnya tidak dapat lolos [dari takdir ini].”

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni merenungkan jasmani dengan cara ini bahkan selama waktu yang singkat, maka ini adalah apa yang dimaksud dengan penegakan perhatian dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani.<231>

Apakah penegakan perhatian dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan? Ketika mengalami perasaan menyenangkan, seorang bhikkhu mengetahui ia sedang mengalami perasaan menyenangkan; ketika mengalami perasaan menyakitkan, ia mengetahui ia sedang mengalami perasaan menyakitkan; ketika mengalami perasaan netral, ia mengetahui ia sedang mengalami perasaan netral; ketika mengalami perasaan jasmani yang menyenangkan, ia mengetahui ia sedang mengalami [perasaan] jasmani yang menyenangkan, [ketika mengalami perasaan] jasmani yang menyakitkan, ... [perasaan] jasmani yang netral, ... [perasaan] batin yang menyenangkan, ... [perasaan] batin yang menyakitkan, ... [perasaan] batin yang netral, ... [perasaan] duniawi yang menyenangkan, ... [perasaan] duniawi yang menyakitkan, ... [perasaan] duniawi yang netral, ... [perasaan] non-duniawi yang menyenangkan, ... [perasaan] non-duniawi yang menyakitkan, ... [perasaan] non-duniawi yang netral, ... [perasaan] menyenangkan [yang berhubungan dengan] kenikmatan indria, ... [perasaan] menyakitkan [yang berhubungan dengan] kenikmatan indria, ... [perasaan] netral [yang berhubungan dengan] kenikmatan indria, ... [perasaan] menyenangkan [yang tidak berhubungan dengan] kenikmatan indria, ... [perasaan] menyakitkan [yang tidak berhubungan dengan] kenikmatan indria ... ; ketika [mengalami perasaan] netral [yang tidak berhubungan dengan] kenikmatan indria, ia mengetahui ia sedang mengalami perasaan netral yang tidak berhubungan dengan kenikmatan indria.<232>

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal [atau] ia merenungkan perasaan sebagai perasaan secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap perasaan dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan perasaan sebagai perasaan. Jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni merenungkan perasaan dengan cara ini bahkan selama waktu yang singkat, maka ia adalah apa yang dimaksud dengan penegakan perhatian dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan.

Apakah penegakan perhatian dengan merenungkan keadaan pikiran sebagai keadaan pikiran? Seorang bhikkhu mengetahui, sebagaimana adanya, keadaan pikiran dengan nafsu sebagai keadaan pikiran dengan nafsu; ia mengetahui, sebagaimana adanya, keadaan pikiran tanpa nafsu sebagai keadaan pikiran tanpa nafsu; [ia mengetahui, sebagaimana adanya, keadaan pikiran] dengan kebencian, ... [keadaan pikiran] tanpa kebencian, ... [keadaan pikiran] dengan delusi, ... [keadaan pikiran] tanpa delusi, ... [keadaan pikiran] yang terkotori, [keadaan pikiran] yang tidak terkotori, ... [keadaan pikiran] yang mengerut, ... [keadaan pikiran] yang kacau, ... [keadaan pikiran] yang rendah, ... [keadaan pikiran] yang mulia, ... [keadaan pikiran] yang terbatas, ... [keadaan pikiran] yang luas, ... [keadaan pikiran] yang terkembang, .... [keadaan pikiran] yang tidak berkembang, ... [keadaan pikiran] yang terkonsentrasi, ... [keadaan pikiran] yang tidak terkonsentrasi ... ; ia mengetahui, sebagaimana adanya, [keadaan pikiran] yang tidak terbebaskan sebagai [keadaan pikiran] yang tidak terbebaskan; ia mengetahui, sebagaimana adanya, [keadaan pikiran] yang terbebaskan sebagai [keadaan pikiran] yang terbebaskan.<233>

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan keadaan pikiran sebagai keadaan pikiran secara internal [atau] ia merenungkan keadaan pikiran sebagai keadaan pikiran secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap keadaan pikiran dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan keadaan pikiran sebagai keadaan pikiran. Jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni merenungkan keadaan pikiran dengan cara ini bahkan selama waktu yang singkat, maka ini adalah apa yang dimaksud dengan penegakan perhatian dengan merenungkan keadaan pikiran sebagai keadaan pikiran.

Apakah penegakan perhatian dengan merenungkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma?<234> Dengan bergantung pada mata dan bentuk, suatu belenggu internal [dapat] muncul. [Ketika] suatu belenggu internal [demikian] benar-benar ada, seorang bhikkhu mengetahui, sebagaimana adanya, bahwa suatu belenggu internal ada; [ketika] suatu belenggu internal benar-benar tidak ada, seorang bhikkhu mengetahui, sebagaimana adanya, bahwa suatu belenggu internal tidak ada; ia mengetahui, sebagaimana adanya, bagaimana suatu belenggu internal yang belum muncul muncul; ia mengetahui, sebagaimana adanya, bagaimana suatu belenggu internal yang telah muncul lenyap dan tidak muncul kembali.<235>
Dengan cara yang sama untuk telinga, ... hidung, ... lidah, ... badan, ... Dengan bergantung pada pikiran dan objek pikiran suatu belenggu internal [dapat] muncul. [Ketika] suatu belenggu internal [demikian] benar-benar ada, seorang bhikkhu mengetahui, sebagaimana adanya, bahwa suatu belenggu internal ada; [ketika] suatu belenggu internal benar-benar tidak ada, ia mengetahui, sebagaimana adanya, bahwa suatu belenggu internal tidak ada; ia mengetahui, sebagaimana adanya, bagaimana suatu belenggu internal yang belum muncul muncul; ia mengetahui, sebagaimana adanya, bagaimana suatu belenggu internal yang telah muncul lenyap dan tidak muncul kembali.

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma secara internal [atau] ia merenungkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma secara ekternal. . Ia menegakkan perhatian terhadap dharma-dharma dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma, yaitu [sehubungan dengan] enam landasan [indria] internal.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma: [Ketika] nafsu indria benar-benar ada secara internal, seorang bhikkhu mengetahui, sebagaimana adanya, bahwa nafsu indria ada; [ketika] nafsu indria benar-benar tidak ada secara internal, ia mengetahui, sebagaimana adanya, bahwa nafsu indria tidak ada; ia mengetahui, sebagaimana adanya, bagaimana nafsu indria yang belum muncul muncul; ia mengetahui, sebagaimana adanya, bagaimana nafsu indria yang telah muncul lenyap dan tidak muncul kembali.

Dengan cara yang sama untuk kemarahan, ... kelambanan dan ketumpulan, ... kegelisahan dan kekhawatiran .... [Ketika] keragu-raguan benar-benar ada secara internal, seorang bhikkhu mengetahui, sebagaimana adanya, bahwa keragu-raguan ada; [ketika] keragu-raguan benar-benar tidak ada secara internal, ia mengetahui, sebagaimana adanya, bahwa keragu-raguan tidak ada; ia mengetahui, sebagaimana adanya, bagaimana keragu-raguan yang belum muncul muncul; ia mengetahui, sebagaimana adanya, bagaimana keragu-raguan yang telah muncul lenyap dan tidak muncul kembali.

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma secara internal [atau] ia merenungkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma secara ekternal. . Ia menegakkan perhatian terhadap dharma-dharma dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma, yaitu [sehubungan dengan] lima rintangan.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma: [Ketika] faktor pencerahan perhatian benar-benar ada secara internal, seorang bhikkhu mengetahui, sebagaimana adanya, bahwa faktor pencerahan perhatian ada; [ketika] faktor pencerahan perhatian benar-benar tidak ada secara internal, ia mengetahui, sebagaimana adanya, bahwa faktor pencerahan perhatian tidak ada; ia mengetahui, sebagaimana adanya, bagaimana faktor pencerahan perhatian yang belum muncul muncul; ia mengetahui, sebagaimana adanya, bagaimana faktor pencerahan perhatian dipertahankan tanpa kehilangan atau kemerosotan, dan bagaimana ia lebih lanjut dikembangkan dan ditingkatkan.

Dengan cara yanng sama penyelidikan dharma,<236> ... semangat, ... sukacita, ... ketenangan, ... konsentrasi .... [Ketika] faktor pencerahan keseimbangan benar-benar ada secara internal, seorang bhikkhu mengetahui, sebagaimana adanya, bahwa faktor pencerahan keseimbangan ada; [ketika] faktor pencerahan keseimbangan benar-benar tidak ada secara internal, ia mengetahui, sebagaimana adanya, bahwa faktor pencerahan keseimbangan tidak ada; ia mengetahui, sebagaimana adanya, bagaimana faktor pencerahan keseimbangan yang belum muncul muncul; ia mengetahui, sebagaimana adanya, bagaimana faktor pencerahan keseimbangan dipertahankan tanpa kehilangan atau kemerosotan, dan bagaimana ia lebih lanjut dikembangkan dan ditingkatkan.

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma secara internal [atau] ia merenungkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma secara ekternal. . Ia menegakkan perhatian terhadap dharma-dharma dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma, yaitu [sehubungan dengan] tujuh faktor pencerahan. Jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni merenugkan dharma-dharma dengan cara ini bahkan selama waktu yang singkat, maka ini disebut sebagai penegakan perhatian dengan merenungkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma.

Jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni dengan pikiran yang tenang mempertahankan dengan baik empat penegakan perhatian selama tujuh tahun, maka ia pasti akan mencapai [salah satu dari] dua buah: pengetahuan akhir di sini dan saat ini atau, jika terdapat sisa [kemelekatan], pencapaian yang tidak-kembali. Jangankan tujuh tahun, ... enam [tahun], ... lima [tahun], ... empat [tahun], ... tiga [tahun], ... dua [tahun], ... [atau] satu tahun, jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni dengan pikiran yang tenang mempertahankan dengan baik empat penegakan perhatian selama tujuh bulan, maka ia pasti akan mencapai [salah satu dari] dua buah: pengetahuan akhir di sini dan saat ini atau, jika terdapat sisa [kemelekatan], pencapaian yang tidak-kembali.

Jangankan tujuh bulan, ... enam [bulan], ... lima [bulan], ... empat [bulan], ... tiga [bulan], ... dua [bulan], ... [atau] satu bulan, jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni dengan pikiran yang tenang mempertahankan dengan baik empat penegakan perhatian selama tujuh hari dan malam, ia pasti akan mencapai salah satu dari dua buah: pengetahuan akhir di sini dan saat ini atau, jika terdapat sisa [kemelekatan], pencapaian yang tidak-kembali.

Jangankan tujuh hari dan malam, ... enam [hari dan malam], ... lima [hari dan malam], ... empat [hari dan malam], ... tiga [hari dan malam], ... dua [hari dan malam], ... [atau] satu hari dan malam, jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni dengan pikiran yang tenang mempertahankan dengan baik empat penegakan perhatian bahkan selama waktu yang singkat, maka, berlatih dengan cara ini pada pagi hari, ia pasti akan memperoleh kemajuan pada malam hari yang sama, [atau] berlatih dengan cara ini pada malam hari, ia pasti akan memperoleh kemajuan pada pagi hari [berikutnya].<237>

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

51
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)
« on: 24 January 2021, 01:12:53 PM »
98. Kotbah tentang Penegakan Perhatian<215>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di antara orang-orang Kuru di sebuah kota Kuru bernama Kammāsadhamma.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Terdapat satu jalan untuk pemurnian makhluk-makhluk, untuk melampaui dukacita dan ketakutan,  untuk melenyapkan penderitaan dan kesedihan, untuk meninggalkan ratapan dan tangisan, untuk mencapai Dharma sejati, yaitu empat penegakan perhatian.

Jika terdapat para Tathāgata dari masa lampau, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mereka semua telah mencapai realisasi pencerahan sempurna dan tiada bandingnya dengan meninggalkan lima rintangan yang mengotori pikiran dan melemahkan kebijaksanaan, dengan berdiam dengan pikiran yang ditenangkan dengan baik dalam empat penegakan perhatian, dan dengan mengembangkan tujuh faktor pencerahan.<216>

Jika akan ada para Tathāgata dari masa yang akan datang, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mereka semua akan mencapai realisasi pencerahan sempurna dan tiada bandingnya dengan meninggalkan lima rintangan yang mengotori pikiran dan melemahkan kebijaksanaan, dengan berdiam dengan pikiran yang ditenangkan dengan baik dalam empat penegakan perhatian, dan dengan mengembangkan tujuh faktor pencerahan.

Aku sekarang, yang merupakan Sang Tathāgata dari masa sekarang, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, telah mencapai realisasi pencerahan sempurna dan tiada bandingnya dengan meninggalkan lima rintangan yang mengotori pikiran dan melemahkan kebijaksanaan, dengan berdiam dengan pikiran yang ditenangkan dengan baik dalam empat penegakan perhatian, dan dengan mengembangkan tujuh faktor pencerahan.

Apakah empat [penegakan perhatian]? [Mereka adalah] penegakan perhatian dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani; dan hal yang sama penegakan perhatian dengan merenungkan perasaan, ... [keadaan] pikiran, ... dan dharma-dharma sebagai dharma-dharma.<217>

Apakah penegakan perhatian dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani?<218> Ketika berjalan, seorang bhikkhu mengetahui ia sedang berjalan; ketika berdiri, ia mengetahui ia sedang berdiri; ketika duduk, ia mengetahui ia sedang duduk; ketika berbaring, ia mengetahui ia sedang berbaring; ketika tidur, ia mengetahui ia sedang tidur; ketika terjaga, ia mengetahui ia sedang terjaga; ketika tidur atau terjaga, ia mengetahui ia sedang tidur atau terjaga.<219>

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal.<220> Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani. Ketika pergi dan datang, seorang bhikkhu dengan jernih mengetahui, merenungkan, dan memahami [tindakan ini] dengan baik; ketika membengkokkan atau merentangkan [lengannya], ketika menundukkan atau mengangkat [kepalanya], ia melakukannya dengan sikap yang seharusnya; ketika mengenakan jubah luar dan jubah lainnya serta [membawa] mangkuk[nya], ia melakukannya dengan tepat; ketika berjalan, berdiri, duduk, berbaring, tidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri – semua [aktivitas ini] ia ketahui dengan jernih.<221>

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani. [Ketika] pemikiran-pemikiran yang jahat dan tidak bermanfaat muncul, seorang bhikkhu mengendalikan, meninggalkan, melenyapkan, dan menghentikannya dengan mengingat dharma-dharma bermanfaat.<222>

Seperti halnya seorang tukang kayu atau murid tukang kayu dapat menerapkan seutas benang bertinta pada sepotong kayu [untuk menandai garis lurus] dan kemudian memotong kayu itu dengan sebuah kapak yang tajam untuk membuatnya lurus.<223> Dengan cara yang sama, [ketika] pemikiran-pemikiran jahat yang tidak bermanfaat muncul, seorang bhikkhu mengendalikan, meninggalkan, melenyapkan, dan menghentikannya dengan mengingat dharma-dharma yang bermanfaat.

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani. Dengan gigi yang digertakkan dan lidah yang ditekan terhadap langit-langit mulutnya, seorang bhikkhu menggunakan [kekuatan kemauan dari] pikiran[nya sendiri] untuk mengendalikan pikirannya, untuk mengendalikan, meninggalkan, melenyapkan, dan menghentikan [pemikiran-pemikiran jahat].

Seperti halnya dua orang yang kuat dapat mencengkeram seorang yang lemah dan mendorongnya ke sana kemari, mereka memukulinya sesuai keinginan mereka. Dengan cara yang sama, dengan gigi yang digertakkan dan lidah yang ditekan terhadap langit-langit mulutnya, seorang bhikkhu menggunakan [kekuatan kemauan dari] pikiran[nya sendiri] untuk mengendalikan pikirannya, untuk mengendalikan, meninggalkan, melenyapkan, dan menghentikan [pemikiran-pemikiran jahat].

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu memperhatikan napas masuk dan mengetahui ia sedang menarik napas dengan penuh perhatian; ia memperhatikan napas keluar dan mengetahui ia sedang menghembuskan napas dengan penuh perhatian. [Ketika] menarik napas panjang, ia mengetahui ia menarik napas panjang; [ketika] menghembuskan napas panjang, ia mengetahui ia sedang menghembuskan napas panjang. [Ketika] menarik napas pendek, ia mengetahui ia sedang menarik napas pendek; [ketika] menghembuskan napas pendek, ia mengetahui ia sedang menghembuskan napas pendek.

Ia berlatih [dalam mengalami] keseluruhan tubuh ketika menarik napas; ia berlatih [dalam mengalami] keseluruhan tubuh ketika menghembuskan napas. Ia berlatih dalam menenangkan aktivitas-aktivitas jasmani ketika menarik napas; ia berlatih dalam menenangkan aktivitas-aktivitas <jasmani> ketika menghembuskan napas.<224>

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dari dalam dengan sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan [yang dialami dalam jhāna pertama], sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan.<225>

Seperti halnya seorang petugas pemandian, setelah memenuhi wadah dengan bubuk mandi, dapat mencampurnya dengan air dan meremas-remasnya sehingga tidak ada bagian [bubuk itu] yang tidak sepenuhnya dibasahi dan diliputi dengan air. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dari dalam dengan sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan, sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan.

Dengan cara ini seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dengan sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi [yang dialami dalam jhāna kedua], sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi.

Seperti halnya sebuah mata air gunung yang penuh dan meluap dengan air yang jernih dan bersih sehingga air yang datang dari empat arah mana pun tidak dapat memasukinya, dengan air mata air memancar ke atas dari bawah dengan sendirinya, mengalir keluar dan membanjiri sekelilingnya, sepenuhnya membasahi dan meliputi setiap bagian gunung itu. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dengan sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi.

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dari dalam dengan kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita [yang dialami dalam jhāna ketiga], sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita.

Seperti halnya ketika seroja biru, merah, atau putih yang lahir di dalam air dan telah tumbuh besar dalam air, tetap terendam dalam air dengan setiap bagian dari akar, batang, bunga, dan daunnya sepenuhnya dibasahi dan diliputi [olehnya], dengan tidak ada bagian yang tidak diliputi oleh [air]. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dari dalam dengan kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita.

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu bertekad dalam batin untuk berdiam setelah meliputi dengan sempurna tubuhnya dengan kemurnian batin [yang dialami dalam jhāna keempat], sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh kemurnian batin.

Seperti halnya seseorang dapat menutupi dirinya sendiri dari kepala sampai kaki dengan sehelai kain yang berukuran tujuh atau delapan hasta, sehingga setiap bagian tubuhnya tertutupi. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu sepenuhnya meliputi tubuhnya dari dalam dengan kemurnian batin [yang dialami dalam jhāna keempat], sehingga tidak ada bagian [tubuhnya] yang tidak diliputi oleh kemurnian batin.

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu memperhatikan persepsi cahaya (ālokasannā), dengan baik menggenggamnya, dengan baik mempertahankannya, dan mengingatnya dengan baik dengan perhatian penuh, [sehingga] apa yang di belakang adalah seperti apa yang di depan, apa yang di depan adalah seperti apa yang di belakang, malam seperti siang, siang seperti malam, apa yang di atas seperti apa yang di bawah, dan apa yang di bawah seperti apa yang di atas. Dengan cara ini, ia mengembangkan keadaan pikiran yang tidak menyimpang dan tidak terkotori yang cemerlang dan jernih, keadaan pikiran yang sepenuhnya tidak terhalangi oleh halangan-halangan.<226>

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu dengan baik menggenggam tanda peninjauan kembali.<227> mengingatnya dengan baik dengan perhatian penuh. Seperti halnya seseorang yang duduk dapat merenungkan orang lain yang berbaring, atau seseorang yang berbaring dapat merenungkan orang lain yang duduk. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu dengan baik menggenggam tanda peninjauan kembali, mengingatnya dengan baik dengan perhatian penuh.

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini dari kepala sampai kaki, berdasarkan posisinya dan berdasarkan [sifat]nya yang menarik dan menjijikkan, sebagai penuh dengan berbagai jenis ketidakmurnian, [dengan merenungkan]: “Di dalam jasmaniku ini terdapat rambut kepala, rambut tubuh, kuku, gigi, kulit ari kasar dan halus, kulit, daging, urat, tulang, jantung, ginjal, hati, paru-paru, usus besar, usus kecil, limpa, perut, kotoran, otak dan batang otak, air mata, keringat, lendir, air liur, nanah, darah, lemak, sumsum, dahak, empedu, dan air seni.”

Seperti halnya seseorang yang memiliki penglihatan, ketika melihat sebuah wadah yang penuh dengan berbagai biji-bijian, dapat dengan jelas membedakannya semua, dengan mengenalinya sebagai biji padi, biji jawawut, biji lobak, atau biji moster.<228> Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini dari kepala sampai kaki, berdasarkan posisinya dan berdasarkan [sifat]nya yang menarik dan menjijikkan, sebagai penuh dengan berbagai jenis ketidakmurnian, [dengan merenungkan:] “Dalam jasmani[ku] ini terdapat rambut kepala, rambut tubuh, kuku, gigi, kulit ari kasar dan halus, kulit, daging, urat, tulang, jantung, ginjal, hati, paru-paru, usus besar, usus kecil, limpa, perut, kotoran, otak dan batang otak, air mata, keringat, lendir, air liur, nanah, darah, lemak, sumsum, dahak, empedu, dan air seni.”

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu merenungkan jasmani [sebagai terbentuk dari] unsur-unsur: “Dalam jasmaniku ini terdapat unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran.”<229>

Seperti halnya seorang tukang daging, setelah menyembelih dan menguliti seekor sapi, dapat membaginya menjadi enam bagian dan menghamparkannya di atas tanah [untuk diperlihatkan guna dijual]. Dengan cara yang sama seorang bhikkhu merenungkan jasmani [sebagai terbentuk dari] unsur-unsur: “Dalam jasmaniku ini terdapat unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran.”

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seorang bhikkhu merenungkan sesosok mayat yang telah meninggal selama satu, dua, atau sampai dengan enam atau tujuh hari, yang dipatuk oleh burung gagak, dimangsa oleh anjing hutan dan serigala, terbakar oleh api, atau dikuburkan dalam tanah,<230> atau yang sepenuhnya membusuk dan terurai. Melihat hal ini, ia membandingkan dirinya sendiri dengan mayat itu: “Jasmaniku sekarang ini juga seperti ini. Ia memiliki sifat yang sama dan pada akhirnya tidak dapat lolos [dari takdir ini].”

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seperti halnya ia sebelumnya telah melihat [sesosok mayat] di tanah pekuburan, [demikianlah] bhikkhu itu [mengingat] bangkai berwarna kebiruan, yang terurai dan setengah dimakan [oleh hewan], tulang-tulang yang tergeletak di atas tanah masih tersambung bersama. Melihat hal ini, ia membandingkan dirinya sendiri dengan [mayat itu]: “Jasmaniku sekarang ini juga seperti ini. Ia memiliki sifat yang sama dan pada akhirnya tidak dapat lolos [dari takdir ini].”

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seperti halnya ia sebelumnya telah melihat [sesosok kerangka] di tanah pekuburan, [demikianlah] seorang bhikkhu [mengingatnya] tanpa kulit, daging, atau darah, yang dipertahankan bersama hanya oleh urat. Melihat hal ini, ia membandingkan dirinya sendiri dengan kerangka itu: “Jasmaniku sekarang ini juga seperti ini. Ia memiliki sifat yang sama dan pada akhirnya tidak dapat lolos [dari takdir ini].”

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani: Seperti halnya ia sebelumnya telah melihat [tulang-tulang] di tanah pekuburan, [demikianlah] seorang bhikkhu [mengingat] tulang-tulang yang tidak tersambung yang telah berserakan ke segala arah: tulang kaki, tulang kering, tulang paha, tulang panggul, tulang belakang, tulang bahu, tulang leher, dan tulang tengkorak, semuanya di tempat-tempat yang berbeda. Melihat hal ini, ia membandingkan dirinya sendiri dengan tulang-tulang itu: “Jasmaniku sekarang ini juga seperti ini. Ia memiliki sifat yang sama dan pada akhirnya tidak dapat lolos [dari takdir ini].”

Dengan cara ini seorang merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal [atau] ia merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal. Ia menegakkan perhatian terhadap jasmani dan memiliki pengetahuan, penglihatan, pemahaman, dan penembusan. Ini adalah [bagaimana] seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani.

52
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)
« on: 24 January 2021, 12:01:02 PM »
[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] stasiun kesadaran kedua, [di mana] terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan berbagai jasmani dan persepsi yang seragam, yaitu para dewa Brahmā yang lahir dari [jhāna] pertama, yang berumur panjang; jika seorang bhikkhu mengetahui stasiun kesadaran itu, mengetahui munculnya stasiun kesadaran itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam stasiun kesadaran itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam stasiun kesadaran itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] stasiun kesadaran ketiga, [di mana] terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan jasmani yang seragam dan persepsi yang beranekaragam, yaitu para dewa bercahaya yang memancar; jika seorang bhikkhu mengetahui stasiun kesadaran itu, mengetahui munculnya stasiun kesadaran itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam stasiun kesadaran itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam stasiun kesadaran itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] stasiun kesadaran keempat, [di mana] terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan jasmani yang seragam dan persepsi yang seragam, yaitu para dewa dengan kemuliaan yang berkilauan; jika seorang bhikkhu mengetahui stasiun kesadaran itu, mengetahui munculnya stasiun kesadaran itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam stasiun kesadaran itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam stasiun kesadaran itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] stasiun kesadaran kelima, [di mana] terdapat makhluk-makhluk tanpa materi yang dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi penolakan, tidak memperhatikan persepsi keanekaragaman, [menyadari] landasan ruang tanpa batas, berdiam setelah mencapai landasan ruang tanpa batas, yaitu para dewa landasan ruang tanpa batas; jika seorang bhikkhu mengetahui stasiun kesadaran itu, mengetahui munculnya stasiun kesadaran itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam stasiun kesadaran itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam stasiun kesadaran itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] stasiun kesadaran keenam, [di mana] terdapat makhluk-makhluk tanpa materi yang dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [menyadari] landasan kesadaran tanpa batas, berdiam setelah mencapai landasan kesadaran tanpa batas, yaitu para dewa landasan kesadaran tanpa batas; jika seorang bhikkhu mengetahui stasiun kesadaran itu, mengetahui munculnya stasiun kesadaran itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam stasiun kesadaran itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam stasiun kesadaran itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] stasiun kesadaran ketujuh, [di mana] terdapat makhluk-makhluk tanpa materi yang, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [menyadari] landasan kekosongan, berdiam setelah mencapai landasan kekosongan, yaitu para dewa alam kekosongan; jika seorang bhikkhu mengetahui stasiun kesadaran itu, mengetahui munculnya stasiun kesadaran itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam stasiun kesadaran itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam stasiun kesadaran itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] landasan pertama, [di mana] makhluk-makhluk bermateri tanpa persepsi dan tanpa perasaan, yaitu para dewa yang tidak memiliki persepsi; jika seorang bhikkhu mengetahui landasan itu, mengetahui munculnya landasan itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam landasan itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam landasan itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] landasan kedua, [di mana] terdapat para makhluk tanpa materi yang, dengan sepenuhnya melampaui landasan ketiadaan, [menyadari] landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, berdiam setelah mencapai landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi; jika seorang bhikkhu mengetahui landasan itu, mengetahui munculnya landasan itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam landasan itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam landasan itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, jika seorang bhikkhu mengetahui tujuh stasiun kesadaran dan dua landasan ini sebagaimana adanya, jika pikirannya tidak terkotori oleh kemelekatan dan ia telah mencapai pembebasan, maka ia disebut sebagai seorang bhikkhu arahant yang “terbebaskan melalui kebijaksanaan.”

Ānanda, terdapat delapan pembebasan. Apakah delapan hal itu? [Bersifat] materi, ia melihat bentuk. Ini disebut sebagai pembebasan pertama.

Selanjutnya, tidak mempersepsikan bentuk secara internal, ia melihat bentuk secara eksternal. Ini disebut sebagai pembebasan kedua.

Selanjutnya, ia berdiam setelah secara langsung merealisasikan dan menyempurnakan pembebasan melalui kemurnian. Ini disebut sebagai pembebasan ketiga.

Selanjutnya, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi penolakan, tidak memperhatikan persepsi keanekaragaman, [menyadari] landasan ruang tanpa batas, ia berdiam setelah mencapai landasan ruang tanpa batas. Ini disebut sebagai pembebasan keempat.

Selanjutnya, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [menyadari] landasan kesadaran tanpa batas, ia berdiam setelah mencapai landasan kesadaran tanpa batas. Ini disebut sebagai pembebasan kelima.

Selanjutnya, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [menyadari] landasan kekosongan, ia berdiam setelah mencapai landasan kekosongan. Ini disebut sebagai pembebasan keenam.

Selanjutnya, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, [menyadari] landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, ia berdiam setelah mencapai landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi. Ini disebut sebagai pembebasan ketujuh.

Selanjutnya, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, ia berdiam setelah secara langsung dan menyempurnakan pembebasan lenyapnya persepsi dan perasaan, dan melihat dengan kebijaksanaan ia berdiam setelah mengetahui bahwa semua noda-noda telah dihancurkan. Ini disebut sebagai pembebasan kedelapan.

Ānanda, jika seorang bhikkhu mengetahui tujuh stasiun kesadaran dan dua landasan ini sebagaimana adanya, jika pikirannya tidak terkotori oleh kemelekatan dan ia telah mencapai pembebasan, serta jika ia berdiam setelah secara langsung merealisasikan dan menyempurnakan delapan pembebasan ini dalam urutan maju dan mundur, dan melihat dengan kebijaksanaan mengetahui bahwa semua noda-noda telah dihancurkan, maka ia disebut sebagai seorang bhikkhu arahant yang “terbebaskan melalui kedua cara.”

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda dan para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

53
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)
« on: 24 January 2021, 11:51:01 AM »
[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab kesadaran, sumber kesadaran, asal mula kesadaran, kondisi bagi kesadaran, yaitu nama-dan-bentuk. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh nama-dan-bentuk terdapat kesadaran.

Maka, Ānanda, dikondisikan oleh nama-dan-bentuk terdapat kesadaran, dan dikondisikan oleh kesadaran terdapat nama-dan-bentuk. Dari hal ini muncul penyebutan, suatu pernyataan tentang penyebutan yang diteruskan, suatu pernyataan yang diteruskan yang dapat dikonseptualisasikan, yaitu kesadaran bersama-sama dengan nama-dan-bentuk.<207>

Ānanda, mengapakah [seseorang] menganut pandangan bahwa suatu diri ada?

Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma; Sang Bhagavā adalah guru Dharma; Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini! Mendengarkannya sekarang, aku akan memperoleh pemahaman penuh atas maknanya.

Kemudian Sang Buddha berkata, “Ānanda, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikanlah dengan baik. Aku akan menganalisis maknanya untukmu.” Yang Mulia Ānanda mendengarkan untuk menerima pengajaran.

Sang Buddha berkata:<208>

Ānanda, mungkin terdapat [seseorang yang menganut] pandangan bahwa perasaan adalah diri. Atau selanjutnya, mungkin terdapat [seseorang yang] tidak [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah diri, tetapi [menganut] pandangan bahwa diri dapat merasakan, karena adalah sifat alami diri dapat merasakan. Atau selanjutnya, mungkin terdapat [seseorang yang menganut] bukan pandangan bahwa perasaan adalah diri maupun pandangan bahwa diri dapat merasakan, karena adalah sifat alami diri dapat merasakan, tetapi [sebaliknya menganut] pandangan bahwa diri adalah tanpa perasaan.

Ānanda, jika terdapat [seseorang yang menganut] pandangan bahwa perasaan adalah diri, maka seseorang seharusnya bertanya kepadanya: “Engkau memiliki tiga [jenis] perasaan: perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan perasaan netral. Dari tiga [jenis] perasaanmu ini, perasaan manakah yang engkau anggap sebagai diri?”

Ānanda, seseorang seharusnya lebih jauh mengatakan kepadanya bahwa ketika ia merasakan perasaan menyenangkan, pada waktu itu dua perasaan telah lenyap, perasaan menyakitkan dan perasaan netral, dan pada waktu itu ia hanya mengalami perasaan menyenangkan. Perasaan menyenangkan adalah bersifat tidak kekal, bersifat tidak memuaskan, bersifat mengalami kelenyapan. [Tetapi] ketika perasaan menyenangkan lenyap, ia tidak berpikir, “Apakah ini bukan lenyapnya diri?”<209>

Selanjutnya, Ānanda, ketika seseorang mengalami perasaan menyakitkan, pada waktu itu dua perasaan telah lenyap, perasaan menyenangkan dan perasaan netral, dan pada waktu itu ia hanya mengalami perasaan menyakitkan. Perasaan menyakitkan adalah bersifat tidak kekal, bersifat tidak memuaskan, bersifat mengalami kelenyapan. [Tetapi] ketika perasaan menyakitkan telah lenyap, ia tidak berpikir, “Apakah ini bukan lenyapnya diri?”

Selanjutnya, Ānanda, ketika seseorang mengalami perasaan netral, pada waktu itu dua perasaan telah lenyap, perasaan menyenangkan dan perasaan menyakitkan, dan pada waktu itu ia hanya mengalami perasaan netral. Perasaan netral adalah bersifat tidak kekal, bersifat tidak memuaskan, bersifat mengalami kelenyapan. [Tetapi] ketika perasaan netral telah lenyap, ia tidak berpikir, “Apakah ini bukan lenyapnya diri?”

Ānanda, [karena] hal-hal ini adalah fenomena yang tidak kekal dengan cara ini, semata-mata suatu percampuran kenikmatan dan kesakitan,<210> apakah tepat baginya untuk berlanjut [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah diri?

[Ānanda] menjawab, “Tidak.”

[Sang Buddha berkata:]

Oleh sebab itu, Ānanda, [karena] hal-hal ini adalah fenomena yang tidak kekal dengan cara ini, semata-mata suatu percampuran kenikmatan dan kesakitan, ia tidak seharusnya berlanjut [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah diri.
Selanjutnya, Ānanda, jika terdapat [seseorang] yang tidak [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah diri tetapi sebaliknya [menganut] bahwa diri dapat merasakan, pandangan bahwa adalah sifat alami diri dapat merasakan, maka seseorang seharusnya berkata kepadanya, “Jika engkau tidak memiliki perasaan dan tidak dapat mengalami perasaan, tidak tepat [bagimu] untuk mengatakannya: ‘Ini adalah milikku’.”

Ānanda, apakah tepat baginya untuk berlanjut seperti ini [menganut] pandangan bahwa [walaupun] perasaan adalah bukan diri, tetapi diri dapat merasakan, pandangan bahwa adalah sifat alami diri dapat merasakan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak.”

[Sang Buddha berkata:]

Oleh sebab itu, Ānanda, ia tidak seharusnya [menganut] pandangan bahwa [walaupun] perasaan adalah bukan diri, [tetapi] diri dapat merasakan, pandangan bahwa adalah sifat alami diri dapat merasakan.

Selanjutnya, Ānanda, jika terdapat [seseorang yang menganut] bukan pandangan bahwa perasaan adalah diri, maupun pandangan bahwa diri dapat merasakan, yang adalah sifat alami diri dapat merasakan, tetapi sebaliknya [menganut] pandangan bahwa diri adalah tanpa perasaan, maka seseorang seharusnya berkata kepadanya, “Jika engkau tidak memiliki perasaan dan sepenuhnya tidak dapat mengalami [perasaan], diri yang terpisah dari perasaan, maka tidak akan ada [latihan yang demikian seperti] pemurnian diri.”<211>

Ānanda, apakah tepat baginya [sementara] berlanjut [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah bukan diri, dan [sementara] tidak [menganut] pandangan bahwa diri dapat merasakan, yang adalah sifat alami diri dapat merasakan, untuk alih-alih [menganut] pandangan bahwa diri adalah tanpa perasaan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak.”

[Sang Buddha berkata:]

Oleh sebab itu, Ānanda, adalah tidak tepat baginya, [walaupun] dengan demikian berlanjut [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah bukan diri, dan [walaupun] tidak [menganut] pandangan bahwa diri dapat merasakan, yang adalah sifat alami diri dapat merasakan, untuk alih-alih [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah tanpa diri. Ini adalah apa yang dimaksud dengan mengatakan bahwa [seseorang] menganut pandangan bahwa suatu diri ada.

Ānanda, bagaimanakah [seseorang] tidak menganut pandangan bahwa suatu diri ada?

Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma, Sang Bhagavā adalah guru Dharma, Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini! Mendengarkannya sekarang, aku akan memperoleh pemahaman penuh atas maknanya.
Kemudian Sang Buddha berkata, “Ānanda, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik. Aku akan menganalisis maknanya untukmu.” Yang Mulia Ānanda mendengarkan untuk menerima pengajaran.

Sang Buddha berkata:

Ānanda, mungkin terdapat [seseorang yang] tidak [menganut] pandangan bahwa perasaan adalah diri, atau pandangan bahwa diri dapat merasakan, yang adalah sifat alami diri dapat merasakan, atau pandangan bahwa diri adalah tanpa perasaan. Tidak menganut pandangan-pandangan demikian, ia tidak melekat pada [apa pun] di dunia ini; tidak melekat, ia tidak gelisah; tidak gelisah, ia [mencapai] nirvana, dengan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri bagiku; kehidupan suci telah dikembangkan; apa yang harus dilakukan telah dilakukan; tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Ānanda, ini disebut [sebagai semata-mata] penyebutan, pernyataan tentang penyebutan yang untuk diteruskan, pernyataan yang diteruskan yang dapat dikonseptualisasikan, di mana seseorang yang mengetahui tidak melekatinya.

Ānanda, jika seorang bhikkhu telah sepenuhnya terbebaskan dengan cara ini, ia tidak lagi [menganut] pandangan bahwa Sang Tathāgata ada setelah kematian, [atau] pandangan bahwa Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian, [atau] pandangan bahwa Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian, [atau] pandangan bahwa Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian. Ini adalah apa yang dimaksud dengan mengatakan bahwa [seseorang] tidak menganut pandangan bahwa suatu diri ada.<212>

Ānanda, bagaimanakah [seseorang] membayangkan konsep suatu diri?<213>

Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma, Sang Bhagavā adalah guru Dharma, Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini! Mendengarkannya sekarang, aku akan memperoleh pemahaman penuh atas maknanya.

Kemudian Sang Buddha berkata, “Ānanda, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik. Aku akan menganalisis maknanya untukmu.” Yang Mulia Ānanda mendengarkan untuk menerima pengajaran.

Sang Buddha berkata:

Ānanda, mungkin terdapat [seseorang yang] membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas. Atau selanjutnya, mungkin terdapat [seseorang yang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas [tetapi] membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas.

Atau selanjutnya, mungkin terdapat [seseorang yang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas maupun membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas, [tetapi] membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas. Atau selanjutnya, mungkin terdapat [seseorang yang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas, maupun membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas, maupun membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas [tetapi] membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas.

Ānanda, jika terdapat [seseorang yang] membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas, maka ia membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia akan membuat pernyataan dan [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu muncul terpisah dari materialitas yang terbatas.”<214> Ia mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya adalah seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas; dengan cara ini seseorang tetap melekat pada pandangan suatu diri yang bermateri terbatas.

Selanjutnya, Ānanda, jika [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermaterial terbatas [tetapi] membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas, maka ia membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia akan membuat pernyataan dan [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu akan muncul terpisah dari materialitas yang tanpa batas.” Ia mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya adalah seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas; dengan cara ini seseorang tetap melekat pada pandangan suatu diri yang bermateri tanpa batas.

Selanjutnya, Ānanda, jika terdapat [seseorang yang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas maupun membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas, [tetapi] membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas, maka ia membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia akan membuat pernyataan dan [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu akan muncul terpisah dari tanpa materialitas yang terbatas.” Ia mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya adalah seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas; dengan cara ini seseorang tetap melekat pada pandangan suatu diri yang tidak bermateri terbatas.

Selanjutnya, Ānanda, jika terdapat [seseorang yang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas, tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas, dan tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas [tetapi] membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas, maka ia membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia akan membuat pernyataan dan [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu akan muncul terpisah dari tanpa materialitas yang tanpa batas.” Ia mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya adalah seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas; dengan cara ini seseorang tetap melekat pada pandangan suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas. Ini adalah apa yang dimaksud dengan mengatakan bahwa seseorang membayangkan konsep suatu diri.

Ānanda, bagaimanakah [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri?

Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma, Sang Bhagavā adalah guru Dharma, Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini! Mendengarkannya sekarang, aku akan memperoleh pemahaman penuh atas maknanya.
Kemudian Sang Buddha berkata, “Ānanda, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik. Aku akan menganalisis maknanya untukmu.” Yang Mulia Ānanda mendengarkan untuk menerima pengajaran.

Sang Buddha berkata:

Ānanda, mungkin terdapat [seseorang yang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas, tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas, tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas, dan tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas.

Ānanda, jika [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas, ia tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia tidak akan membuat pernyataan atau [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu akan muncul terpisah dari materialitas yang terbatas.” Ia tidak mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya tidak seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri terbatas; dengan cara ini seseorang tidak melekat pada pandangan suatu diri yang bermateri terbatas.

Selanjutnya, Ānanda, jika [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas, maka ia tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia tidak akan membuat pernyataan atau [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu akan muncul terpisah dari materialitas yang tanpa batas.” Ia tidak mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya tidak seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang bermateri tanpa batas; dengan cara ini seseorang tidak melekat pada pandangan suatu diri yang bermateri tanpa batas.

Selanjutnya, Ānanda, jika [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas, maka ia tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia tidak akan membuat pernyataan atau [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu akan muncul terpisah dari tanpa materialitas yang terbatas.” Ia tidak mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya tidak seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri terbatas; dengan cara ini seseorang tidak melekat pada pandangan suatu diri yang tidak bermateri terbatas.

Selanjutnya, Ānanda, jika [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas, maka ia tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas pada masa sekarang; dan [sehubungan dengan] hancurnya jasmani pada saat kematian ia tidak akan membuat pernyataan atau [menganut] pandangan seperti ini: “Terdapat suatu diri yang pada waktu itu akan muncul terpisah dari tanpa materialitas yang tanpa batas.” Ia tidak mengkhayalkan seperti ini dan itu; pemikirannya tidak seperti ini. Ānanda, dengan cara ini [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas; dengan cara ini seseorang tidak melekat pada pandangan suatu diri yang tidak bermateri tanpa batas.

Ānanda, ini adalah apa yang dimaksud dengan mengatakan bahwa [seseorang] tidak membayangkan konsep suatu diri.

Ānanda, terdapat tujuh stasiun kesadaran dan dua landasan. Apakah tujuh stasiun kesadaran? Terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan berbagai jasmani dan persepsi yang beranekaragam, yaitu manusia dan para dewa dari [alam] nafsu. Ini disebut sebagai stasiun kesadaran pertama.

Selanjutnya, Ānanda, terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan berbagai jasmani dan persepsi yang seragam, yaitu para dewa Brahmā yang lahir dari [jhāna] pertama, yang berumur panjang. Ini disebut sebagai stasiun kesadaran kedua.

Selanjutnya, Ānanda, terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan jasmani yang seragam dan persepsi yang beranekaragam, yaitu para dewa bercahaya yang memancar (ābhassara). Ini disebut sebagai stasiun kesadaran ketiga.

Selanjutnya, Ānanda, terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan jasmani yang seragam dan persepsi yang seragam, yaitu para dewa dengan kemuliaan yang berkilauan (subhakiṇṇa). ini disebut sebagai stasiun kesadaran keempat.

Selanjutnya, Ānanda, terdapat makhluk-makhluk tanpa materi yang dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi penolakan, tidak memperhatikan persepsi keanekaragaman, [menyadari] landasan ruang tanpa batas, berdiam setelah mencapai landasan ruang tanpa batas, yaitu para dewa landasan ruang tanpa batas. Ini disebut sebagai stasiun kesadaran kelima.

Selanjutnya, Ānanda, terdapat makhluk-makhluk tanpa materi yang dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [menyadari] landasan kesadaran tanpa batas, berdiam setelah mencapai landasan kesadaran tanpa batas, yaitu para dewa landasan kesadaran tanpa batas. Ini disebut sebagai stasiun kesadaran keenam.

Selanjutnya, Ānanda, terdapat makhluk-makhluk tanpa materi yang dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [menyadari] landasan kekosongan, berdiam setelah mencapai landasan kekosongan, yaitu para dewa landasan kekosongan. Ini disebut sebagai stasiun kesadaran ketujuh.

Ānanda, apakah dua landasan? Terdapat makhluk-makhluk bermateri tanpa persepsi dan tanpa perasaan, yaitu para dewa yang tidak memiliki persepsi. Ini disebut sebagai landasan pertama.

Selanjutnya, Ānanda, terdapat makhluk-makhluk tanpa materi yang dengan melampaui landasan kekosongan, [menyadari] landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, berdiam setelah mencapai landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, yaitu para dewa landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi. Ini disebut sebagai landasan kedua.

Ānanda, [sehubungan dengan] stasiun kesadaran pertama, [di mana] terdapat makhluk-makhluk bermateri dengan berbagai jasmani dan persepsi yang beranekaragam, yaitu manusia dan para dewa dari [alam] nafsu; jika seorang bhikkhu mengetahui stasiun kesadaran itu, mengetahui munculnya stasiun kesadaran itu, mengetahui lenyapnya, mengetahui keuntungannya, mengetahui kerugiannya, dan mengetahui jalan keluar darinya sebagaimana adanya, Ānanda, apakah bhikkhu ini akan bergembira dalam stasiun kesadaran itu? Apakah ia akan menghargainya atau menjadi melekat untuk berdiam dalam stasiun kesadaran itu?

[Ānanda] menjawab, “Ia tidak akan [demikian].”

54
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)
« on: 24 January 2021, 11:42:49 AM »
Bagian 9
Tentang Sebab Akibat

97. Kotbah Panjang tentang Sebab Akibat<197>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di antara orang-orang Kuru di sebuah kota Kuru bernama Kammāsadhamma.

Pada saat itu Yang Mulia Ānanda, ketika duduk bermeditasi sendirian dan dalam keterasingan, memiliki pemikiran ini, “Kemunculan bergantungan ini adalah mengagumkan. Ia sangat mendalam dan juga tampak mendalam; tetapi ketika merenungkannya, aku melihatnya sebagai sangat mudah, sangat mudah [untuk dipahami.”

Kemudian pada saat sore menjelang malam hari Yang Mulia Ānanda bangkit dari meditasinya dan mendekati Sang Buddha. Ia memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha, mengundurkan diri pada satu sisi, dan berkata:

Sang Bhagavā, ketika duduk bermeditasi sendirian dan dalam keterasingan, aku berpikir: “Kemunculan bergantungan ini adalah mengagumkan. Ia sangat mendalam dan tampak mendalam; tetapi ketika merenungkannya, aku melihatnya sebagai sangat mudah, sangat mudah [untuk dipahami].”

Sang Bhagavā berkata:

Ānanda, janganlah berpikir demikian: “Kemunculan bergantungan ini sangat mudah, sangat mudah [untuk dipahami]”! Mengapakah demikian? Kemunculan bergantungan ini sangat mendalam dan tampak sangat mendalam.

Ānanda, karena tidak mengetahui kemunculan bergantungan sebagaimana adanya, tidak melihatnya sebagaimana adanya, tidak merealisasikannya, tidak menembusnya, makhluk-makhluk hidup, bagaikan alat tenun yang tersangkut,<198> [atau] bagaikan kumpulan tanaman menjalar yang sepenuhnya terlilitkan, dengan tergesa-gesa dan riuh datang dan pergi dari dunia ini menuju dunia itu dan dari dunia itu menuju dunia ini, tidak dapat melampaui kelahiran dan kematian. Oleh sebab itu, Ānanda, sadarilah bahwa kemunculan bergantungan ini sangat mendalam dan tampak sangat mendalam.

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi bagi usia tua dan kematian?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi usia tua dan kematian”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi usia tua dan kematian?” maka ia seharusnya menjawab “Kelahiran adalah kondisinya.”

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi bagi kelahiran?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi kelahiran”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi kelahiran?” maka ia seharusnya menjawab “Penjelmaan adalah kondisinya.”

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi bagi penjelmaan?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi penjelmaan”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi penjelmaan?” maka ia seharusnya menjawab “Kemelekatan adalah kondisinya.”

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi kemelekatan?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi kemelekatan”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi kemelekatan?” maka ia seharusnya menjawab “Ketagihan adalah kondisinya.”<199>

Demikialah, Ānanda, dikondisikan oleh ketagihan terdapat kemelekatan, dikondisikan oleh kemelekatan terdapat penjelmaan, dikondisikan oleh penjelmaan terdapat kelahiran, dikondisikan oleh kelahiran terdapat usia tua dan kematian, dikondisikan oleh usia tua dan kematian terdapat kekhawatiran dan kesedihan, ratapan dan tangisan, dukacita dan kesakitan, kesengsaraan dan kekesalan – semua ini muncul dikondisikan oleh usia tua dan kematian. Dengan cara ini keseluruhan kumpulan besar dukkha ini muncul.

Ānanda, dikondisikan oleh kelahiran terdapat usia tua dan kematian. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh kelahiran terdapat usia tua dan kematian,” seharusnya dipahami bahwa apa yang dimaksud dengan mengatakan, “dikondisikan oleh kelahiran terdapat usia tua dan kematian.”

Ānanda, jika tidak ada kelahiran ikan-ikan pada kelompok ikan, burung-burung pada kelompok burung, ular-ular pada kelompok ular,<200> nāga-nāga pada kelompok nāga, makhluk-makhluk halus pada kelompok makhluk halus, hantu-hantu pada kelompok hantu, dewa-dewa pada kelompok dewa, manusia-manusia pada kelompok manusia;<201> Ānanda, jika tidak ada kelahiran berbagai makhluk hidup dalam berbagai tempat [kehidupan] mereka, tidak ada satu pun kelahiran – seumpamanya bahwa kelahiran tidak ada, apakah akan ada usia tua dan kematian?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab usia tua dan kematian, sumber usia tua dan kematian, asal mula usia tua dan kematian, kondisi bagi usia tua dan kematian, yaitu kelahiran. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh kelahiran terdapat usia tua dan kematian.

Ānanda, dikondisikan oleh penjelmaan terdapat kelahiran. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh penjelmaan terdapat kelahiran,” seharusnya dipahami apa yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh penjelmaan terdapat kelahiran.”

Ānanda, jika tidak ada penjelmaan ikan-ikan pada kelompok ikan, burung-burung pada kelompok burung, ular-ular pada kelompok ular, nāga-nāga pada kelompok nāga, makhluk-makhluk halus pada kelompok makhluk halus, hantu-hantu pada kelompok hantu, dewa-dewa pada kelompok dewa, manusia-manusia pada kelompok manusia; <202> Ānanda, jika tidak ada penjelmaan berbagai makhluk hidup dalam berbagai tempat [kehidupan] mereka, tidak ada satu pun penjelmaan – seumpamanya bahwa penjelmaan tidak ada, apakah akan terdapat kelahiran?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab kelahiran, sumber kelahiran, asal mula kelahiran, kondisi bagi kelahiran, yaitu penjelmaan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh penjelmaan terdapat kelahiran.

Ānanda, dikondisikan oleh kemelekatan terdapat penjelmaan. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh kemelekatan terdapat penjelmaan,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh kemelekatan terdapat penjelmaan.”

Ānanda, jika tidak ada kemelekatan, tidak ada satu pun kemelekatan; seumpamanya bahwa kemelekatan tidak ada,<203> apakah akan terdapat penjelmaan atau konsep menjelma?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab penjelmaan, sumber penjelmaan, asal mula penjelmaan, kondisi bagi penjelmaan, yaitu kemelekatan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh kemelekatan terdapat penjelmaan.

Ānanda, dikondisikan oleh ketagihan terdapat kemelekatan. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh ketagihan terdapat kemelekatan,” seharusnya dipahami apa yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh ketagihan terdapat kemelekatan.”

Ānanda, jika tidak ada ketagihan, tidak ada satu pun ketagihan; seumpamanya bahwa ketagihan tidak ada,<204> apakah terdapat kemelekatan, apakah kemelekatan menjadi berkembang?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan.”


[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab kemelekatan, sumber kemelekatan, asal mula kemelekatan, kondisi bagi kemelekatan, yaitu ketagihan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh ketagihan terdapat kemelekatan.<205>

Ānanda, dikondisikan oleh ketagihan terdapat pencarian, dikondisikan oleh pencarian terdapat perolehan, dikondisikan oleh perolehan terdapat pembedaan, dikondisikan oleh pembedaan terdapat kekotoran melalui nafsu, dikondisikan oleh kekotoran melalui nafsu terdapat keterikatan, dikondisikan oleh keterikatan terdapat kekikiran, dikondisikan oleh kekikiran terdapat penimbunan, dikondisikan oleh penimbunan terdapat penjagaan [kepemilikan seseorang].

Ānanda, dikondisikan oleh penjagaan terdapat [pengambilan] pedang dan tongkat pemukul, terdapat pertengkaran, sanjungan, tipu daya, kebohongan, ucapan yang memecah belah, dan munculnya tak terhitung keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat. Dengan cara ini keseluruhan kumpulan besar dukkha ini muncul.

Ānanda, jika tidak terdapat penjagaan, tidak ada satu pun penjagaan; seumpamanya bahwa penjagaan tidak ada, apakah akan terdapat [pengambilan] pedang dan tongkat pemukul, apakah akan terdapat pertengkaran, sanjungan, tipu daya, kebohongan, ucapan yang memecah belah, dan munculnya tak terhitung keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab [pengambilan] pedang dan tongkat pemukul, pertengkaran, sanjungan, tipu daya, kebohongan, ucapan yang memecah belah, munculnya tak terhitung keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat; ini adalah sumbernya, ini adalah asal mulanya, ini adalah kondisinya, yaitu penjagaan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh penjagaan terdapat [pengambilan] pedang dan tongkat pemukul, pertengkaran, sanjungan, tipu daya, kebohongan, ucapan yang memecah belah, munculnya tak terhitung keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat. Dengan cara ini keseluruhan kumpulan besar dukkha ini muncul.

Ānanda, dikondisikan oleh penimbunan terdapat penjagaan. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh penimbunan terdapat penjagaan,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh penimpunan terdapat penjagaan.”

Ānanda, jika tidak ada penimbunan, tidak ada satu pun penimbunan; seumpamanya bahwa penimbunan tidak ada, apakah akan ada penjagaan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab penjagaan, sumber penjagaan, asal mula penjagaan, kondisi bagi penjagaan, yaitu penimbunan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh penimpunan terdapat penjagaan.

Ānanda, dikondisikan oleh kekikiran terdapat penimbunan. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh kekikiran terdapat penimbunan,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh kekikiran terdapat penimbunan.”

Ānanda, jika tidak ada kekikiran, tidak ada satu pun kekikiran; seumpamanya bahwa kekikiran tidak ada, apakah akan ada penimbunan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab penimbunan, sumber penimbunan, asal mula penimbunan, kondisi bagi penimbunan, yaitu kekikiran. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh kekikiran terdapat penimbunan.

Ānanda, dikondisikan oleh keterikatan terdapat kekikiran. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh keterikatan terdapat kekikiran,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh keterikatan terdapat kekikiran.”

Ānanda, jika tidak ada keterikatan, tidak ada satu pun keterikatan; seumpamanya bahwa keterikatan tidak ada, apakah akan ada kekikiran?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab kekikiran, sumber kekikiran, asal mula kekikiran, kondisi bagi kekikiran, yaitu keterikatan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh keterikatan terdapat kekikiran.

Ānanda, dikondisikan oleh nafsu terdapat keterikatan. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh nafsu terdapat keterikatan,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh nafsu terdapat keterikatan.”

Ānanda, jika tidak ada nafsu, tidak ada satu pun nafsu; seumpamanya bahwa nafsu tidak ada, apakah akan ada keterikatan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab keterikatan, sumber keterikatan, asal mula keterikatan, kondisi bagi keterikatan, yaitu nafsu. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh nafsu terdapat keterikatan.

Ānanda, dikondisikan oleh pembedaan terdapat kekotoran melalui nafsu. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh pembedaan terdapat kekotoran melalui nafsu,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh pembedaan terdapat kekotoran melalui nafsu.”

Ānanda, jika tidak ada pembedaan, tidak ada satu pun pembedaan; seumpamanya bahwa pembedaan tidak ada, apakah akan ada kekotoran melalui nafsu?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab kekotoran melalui nafsu, sumber kekotoran melalui nafsu, asal mula kekotoran melalui nafsu, kondisi bagi kekotoran melalui nafsu, yaitu pembedaan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh pembedaan terdapat kekotoran melalui nafsu.

Ānanda, dikondisikan oleh perolehan terdapat pembedaan. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh perolehan terdapat pembedaan,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh perolehan terdapat pembedaan.”

Ānanda, jika tidak ada perolehan, tidak ada satu pun perolehan; seumpamanya bahwa perolehan tidak ada, apakah akan ada pembedaan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab pembedaan, sumber pembedaan, asal mula pembedaan, kondisi bagi pembedaan, yaitu perolehan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh perolehan terdapat pembedaan.

Ānanda, dikondisikan oleh pencarian terdapat perolehan. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh pencarian terdapat perolehan,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh pencarian terdapat perolehan.”

Ānanda, jika tidak ada pencarian, tidak ada satu pun pencarian; seumpamanya bahwa pencarian tidak ada, apakah akan ada perolehan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab perolehan, sumber perolehan, asal mula perolehan, kondisi bagi perolehan, yaitu pencarian. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh pencarian terdapat perolehan.

Ānanda, dikondisikan oleh ketagihan terdapat pencarian. [Sehubungan dengan] pernyataan ini, “dikondisikan oleh ketagihan terdapat pencarian,” seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh ketagihan terdapat pencarian.”

Ānanda, jika tidak ada ketagihan, tidak ada satu pun ketagihan; seumpamanya bahwa ketagihan tidak ada, apakah akan ada pencarian?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab pencarian, sumber pencarian, asal mula pencarian, kondisi bagi pencarian, yaitu ketagihan. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh ketagihan terdapat pencarian.
Ānanda, ketagihan [terhadap] kenikmatan indria dan ketagihan terhadap penjelmaan, dua faktor ini memiliki perasaan sebagai sebabnya, dikondisikan oleh perasaan mereka muncul.

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi bagi perasaan?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi perasaan”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi perasaan?” maka ia seharusnya menjawab “Kontak adalah kondisinya.” Seharusnya dipahami apa yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh kontak terdapat perasaan.”

Ānanda, jika tidak ada kontak mata, tidak ada satu pun kontak mata; seumpamanya bahwa kontak mata tidak ada; apakah akan terdapat munculnya perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, atau perasaan netral yang dikondisikan oleh kontak mata?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, jika tidak ada kontak telinga, ... [kontak] hidung, ... [kontak] lidah, ... kontak [badan], ... kontak pikiran, tidak ada satu pun kontak pikiran; seumpamanya bahwa kontak pikiran tidak ada, apakah akan ada munculnya perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan perasaan netral yang dikondisikan oleh kontak pikiran?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab perasaan, sumber perasaan, asal mula perasaan, kondisi bagi perasaan, yaitu kontak. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh kontak terdapat perasaan.

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi bagi kontak?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi kontak”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi kontak?” maka ia seharusnya menjawab “Nama-dan-bentuk adalah kondisinya.” Seharusnya dipahami apa yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh nama-dan-bentuk terdapat kontak.”

Ānanda, [sehubungan dengan] bentukan-bentukan dan kondisi-kondisi untuk kelangsungan kelompok nama, jika bentukan-bentukan dan kondisi-kondisi itu tidak ada, apakah akan ada kontak [dengan cara] <penyebutan>?<206>

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, [sehubungan dengan] bentukan-bentukan dan kondisi-kondisi untuk kelangsungan kelompok bentuk, jika bentukan-bentukan dan kondisi-kondisi itu tidak ada, apakah akan ada kontak [dengan cara] <penolakan>?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:] “[Ānanda], seumpamanya kelompok nama dan kelompok bentuk tidak ada, apakah akan ada kontak atau konsep kontak?”

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab kontak, sumber kontak, asal mula kontak, kondisi bagi kontak, yaitu nama-dan-bentuk. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh nama-dan-bentuk terdapat kontak.

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi bagi nama-dan-bentuk?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi nama-dan-bentuk”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi nama-dan-bentuk?” maka ia seharusnya menjawab, “Kesadaran adalah kondisinya.” Seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh kesadaran terdapat nama-dan-bentuk.”

Ānanda, jika kesadaran tidak memasuki rahim ibu, apakah nama-dan-bentuk akan terwujud sebagai tubuh ini?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan.”

[Sang Buddha berkata:] “Ānanda, jika setelah memasuki rahim ibu, kesadaran akan pergi, apakah nama-dan-bentuk akan bergabung dengan air mani?”

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, jika kesadaran seorang anak laki-laki atau perempuan dipotong pada awalnya, dihancurkan dan dibuat tidak ada, apakah nama-dan-bentuk akan mengalami pertumbuhan?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan.”

[Sang Buddha berkata:]

Ānanda, karena alasan ini seharusnya dipahami bahwa ini adalah sebab nama-dan-bentuk, sumber nama-dan-bentuk, asal mula nama-dan-bentuk, kondisi bagi nama-dan-bentuk, yaitu kesadaran. Mengapakah demikian? Karena dikondisikan oleh kesadaran terdapat nama-dan-bentuk.

Ānanda, jika seseorang ditanya “Apakah terdapat kondisi bagi kesadaran?” maka ia seharusnya menjawab “Terdapat kondisi bagi kesadaran”; dan jika seseorang ditanya “Apakah kondisi bagi kesadaran?” maka ia seharusnya menjawab, “Nama-dan-bentuk adalah kondisinya.” Seharusnya dipahami apakah yang dimaksud dengan mengatakan “dikondisikan oleh nama-dan-bentuk terdapat kesadaran.”

Ānanda, jika kesadaran tidak memperoleh nama-dan-bentuk, jika kesadaran tidak berkembang dalam nama-dan-bentuk dan bergantung padanya, maka apakah, bagi kesadaran, akan ada kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, dan dukkha?

[Ānanda] menjawab, “Tidak akan ada.”

55
DhammaCitta Press / Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)
« on: 24 January 2021, 11:30:28 AM »
Berikut adalah terjemahan Madhyama Agama bagian 9 yang terdiri dari kotbah 97-106.

56
Dhammacitta telah mengadakan diskusi Dhamma online dengan berbagai topik (pembahasan sutta dari buku Kumpulan Kotbah Sang Buddha, studi historis dalam diskusi berseri Tradisi & Historis, bahkan topik tentang Borobudur). Namun mungkin selama ini para peserta memiliki pertanyaan, kritik atau saran yang belum sempat disampaikan. Oleh sebab itu kami membuka kesempatan bagi para peserta untuk berdiskusi dan bertanya bebas dalam kegiatan diskusi Dhamma online sbb:

Hari / Tgl: Sabtu / 21 November 2020
Waktu: 19.00 WIB s/d selesai
Topik: "Obrolan Santai dan Tanya Jawab Bebas"
Zoom Meeting ID: 82111126070

Link Zoom: https://us02web.zoom.us/j/82111126070

Bagi yang ingin bertanya, selain dapat disampaikan secara langsung saat live, juga dapat menyampaikannya melalui Google form berikut:
http://dhct.org/tanyazoom

Pertanyaan-pertanyaan yang masuk akan dijawab oleh para panelis yang terdiri dari para pembicara yang telah mengisi kegiatan diskusi Dhamma online DC. Karena diskusi ini bersifat interaktif, para peserta juga dapat memberikan tanggapan atas pertanyaan dari yang lain.

Hal yang perlu diperhatikan pada saat sesi berlangsung:

1. Standby 10 menit sebelum sesi dimulai
2. Voice harap dimute pada saat sesi berlangsung dan dapat di-unmuted jika ingin bertanya (pada saat sesi Q n A)
3. Posisi duduk jauh dari keramaian dan suara ribut (pilih tempat tenang agar bisa fokus)
4. Mengikuti sesi hingga selesai agar penerimaan materi didapat secara menyeluruh.

Mari kita bersama-sama mengikuti dan menyebarkan kegiatan diskusi Dhamma yang bermanfaat ini kepada orang-orang agar semakin banyak yang bisa belajar dan mendapatkan pengetahuan baru dalam Dhamma....

57
Kitab Buddhis yang kita kenal sekarang terdiri dari 3 bagian/keranjang (Tipitaka/Tripitaka), yaitu Vinaya Pitaka, Sutta/Sutra Pitaka, dan Abhidhamma/Abhidharma Pitaka. Umumnya semua aliran Buddhis awal sepaham menerima Vinaya dan Sutta (Nikāya/Āgama) sebagai ajaran Buddha, namun berbeda penafsiran terhadap Abhidhamma, bahkan ada yang menolaknya. Apakah kitab Buddhis itu hanya terdiri dari Vinaya dan Sutta (atau sering disebut Dwipitaka)? Mengapa Abhidhamma dipermasalahkan di antara aliran-aliran, bahkan di masa modern ini, sedangkan Sutta dan Vinaya tidak?

Dapatkan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dalam diskusi Dhamma online DhammaCitta di malam minggu ini, yang masih dengan format tanya jawab interaktif seperti sebelumnya:

Hari / Tgl: Sabtu / 14 November 2020
Waktu: 19.00 WIB s/d selesai
Pembicara:  Bpk. Fernando
Topik: "Tradisi & Historis: Dwipitaka vs Tripitaka"
Zoom Meeting ID: 82111126070

Link Zoom: https://us02web.zoom.us/j/82111126070

Link Youtube:


Hal yang perlu diperhatikan pada saat sesi berlangsung:

1. Standby 10 menit sebelum sesi dimulai
2. Voice harap dimute pada saat sesi berlangsung dan dapat di-unmuted jika ingin bertanya (pada saat sesi Q n A)
3. Posisi duduk jauh dari keramaian dan suara ribut (pilih tempat tenang agar bisa fokus)
4. Mengikuti sesi hingga selesai agar penerimaan materi didapat secara menyeluruh.

Mari kita bersama-sama mengikuti dan menyebarkan kegiatan diskusi Dhamma yang bermanfaat ini kepada orang-orang agar semakin banyak yang bisa belajar dan mendapatkan pengetahuan baru dalam Dhamma....

58
Studi Sutta/Sutra / Dua Unsur Nibbana menurut EA 16.2
« on: 04 November 2020, 09:53:59 AM »
Ekottarāgama 16.2
涅槃
Nibbāna

聞如是:
Demikianlah telah kudengar:

一時,佛在舍衛國祇樹給孤獨 園。
Suatu ketika, Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Jetavana, taman milik Anāthapiṇḍika.

爾時,世尊告諸比丘:「有此二法涅槃界。 云何為二?有餘涅槃界、無餘涅槃界。
Pada waktu itu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Terdapat dua unsur Nibbāna ini. Apakah dua hal itu? Unsur Nibbāna dengan sisa dan unsur Nibbāna tanpa sisa.

彼云 何名為有餘涅槃界?於是,比丘滅五下分 結,即彼般涅槃,不還來此世,是謂名為 有餘涅槃界。
Apakah yang disebut sebagai unsur Nibbāna dengan sisa? Di sini, seorang bhikkhu, [dengan] melenyapkan lima belenggu yang lebih rendah, mendekati Nibbāna akhir [di alam Suddhavasa], tidak kembali lagi ke dunia ini. Ini disebut sebagai unsur Nibbāna dengan sisa.

彼云何名為無餘涅槃界? 於 是,比丘盡有漏成無漏,意解脫、智慧解脫, 自身作證而自遊戲:生死已盡,梵行已立, 更不受有,如實知之,是謂為無餘涅 槃界。此二涅 槃界,當求方便,至無餘涅槃 界。如是,諸比丘!當作是學。」
Apakah yang disebut sebagai unsur Nibbāna tanpa sisa? Di sini, seorang bhikkhu melenyapkan noda-noda (asava) dan mencapai yang tidak ternoda, terbebaskan dalam pikiran (cetovimutti) dan terbebaskan melalui kebijaksanaan (paññāvimutti). Ia secara pribadi merealisasikan dan menembus untuk dirinya sendiri: ‘Kelahiran dan kematian telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, tidak akan mengalami kelangsungan lagi.’ Demikianlah ia memahami sebagaimana adanya. Ini disebut sebagai unsur Nibbāna tanpa sisa. Ini adalah dua unsur Nibbāna, yang seharusnya dicari dengan [pengerahan] usaha, sampai [mencapai] unsur Nibbāna tanpa sisa. Demikianlah, para bhikkhu, seharusnya kalian berlatih.

爾時,諸比丘聞 佛所說,歡喜奉行。
Pada waktu itu, setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.

59
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 08:45:56 PM »
Catatan Kaki:

<141> Mengambil varian yang menambahkan 穢 sebelum 經. Padanan Pāli adalah Anaṅgaṇa-sutta, MN 5 dalam MN I 24, yang memiliki Hutan Jeta di Sāvatthī sebagai lokasinya; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 42–45.

<142> Dalam Anaṅgaṇa-sutta orang yang menanyakan pertanyaan ini adalah Mahāmoggallāna.

<143> Di sini dan di bawah, Anaṅgaṇa-sutta tidak memiliki pernyataan tentang alam kelahiran kembali seseorang.

<144> Anaṅgaṇa-sutta memiliki hal ini sebagai empat topik yang berbeda, yaitu keinginan menjadi seseorang yang memberikan ajaran kepada masing-masing dari empat perkumpulan.

<145> Keinginan ini tidak memiliki padanan dalam Anaṅgaṇa-sutta.

<146> Anaṅgaṇa-sutta memiliki agar dihormati oleh masing-masing dari empat perkumpulan sebagai empat keinginan yang berbeda.

<147> Dalam Anaṅgaṇa-sutta empat keinginan yang berhubungan adalah atas jubah yang sangat baik, makanan yang sangat baik, tempat peristirahatan yang sangat baik, dan obat-obatan yang sangat baik. Keinginan agar orang lain tidak mendapatkan hal yang sama oleh sebab itu hanya untuk kebutuhan yang sangat baik demikian, bukan agar orang lain tidak mendapatkan kebutuhan sama sekali. Karena tampaknya tidak masuk akal bahwa seorang monastik akan berharap agar teman-temannya dalam kehidupan suci tidak menerima kebutuhan apa pun, kualifikasi “[yang sangat baik]” telah ditambahkan pada terjemahan MĀ 87.

<148> Anaṅgaṇa-sutta mencatat bahwa orang lain tidak akan menghormati seorang bhikkhu yang demikian bahkan jika ia melakukan berbagai latihan keras; sebaliknya, seorang bhikkhu tanpa kekotoran akan dihormati bahkan jika ia tidak mengambil gaya hidup keras.

<149> Alih-alih kotoran, dalam Anaṅgaṇa-sutta bangkai hewan mati atau mayat manusia diletakkan ke dalam piring itu.

<150> Peringatan demikian tidak ditemukan dalam Anaṅgaṇa-sutta.

<151> Dalam Anaṅgaṇa-sutta orang-orang yang menyaksikan hanya ingin tahu apakah di dalamnya, tanpa mengharapkannya mengandung sesuatu yang menjijikkan.

<152> Anaṅgaṇa-sutta mengatakan tentang ājīvika Paṇḍuputta yang mengamati Samīti, putra seorang pembuat kereta, sedang bekerja; ia tidak menunjuk pada suatu rumah milik Paṇḍuputta

<153> Aslinya di sini menunjuk pada seorang “pertapa”, agaknya suatu kesalahan yang disebabkan penunjukan berulang pada istilah yang sama dalam bacaan sebelumnya.

<154> Perumpamaan menerima kalungan bunga dalam Anaṅgaṇa-sutta berhubungan dengan seorang wanita atau pria.

<155> Padanan Pāli adalah Dhammadāyāda-sutta, MN 3 dalam MN I 12, yang memiliki Hutan Jeta di Sāvatthī sebagai lokasinya; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 34–37.

<156> Dhammadāyāda-sutta tidak mendaftarkan nama para bhikkhu yang hadir dalam kesempatan ini.

<157> Dalam Dhammadāyāda-sutta menjadi pewaris dalam Dharma dilawankan dengan menjadi pewaris dalam hal-hal materi secara umum, bukan hanya dalam makanan dan minuman.

<158> Pemaparan yang sebanding dalam Dhammadāyāda-sutta memiliki Sāriputta sebagai pembicaranya.

<159> Dalam Dhammadāyāda-sutta Sang Buddha telah mengundurkan diri sebelumnya, tanpa penunjukan pada mengalami sakit punggung dan tanpa meminta Sāriputta untuk melanjutkan pengajaran.

<160> Dalam Dhammadāyāda-sutta Sāriputta menguraikan hal tersebut sendiri, tanpa bertanya kepada para bhikkhu untuk menyatakan pemahaman mereka terhadapnya.

<161> Di sini dan di bawah, terjemahan didasarkan pada perbaikan 捨離 untuk membaca 遠離, sesuai dengan ungkapan yang digunakan di tempat lain dalam kotbah ini.

<162> Dhammadāyāda-sutta ditutup dengan para bhikkhu bergembira atas apa yang dikatakan Sāriputta, tanpa penunjukan lebih jauh apa pun pada Sang Buddha.

<163> Padanan Pāli adalah Anumāna-sutta, MN 15 dalam MN I 95, yang memiliki Hutan Bhesakalā di negeri Bhagga sebagai lokasinya; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 124–127.

<164> Anumāna-sutta tidak menunjuka pada pengasingan musim hujan.

<165> Daftar kualitas-kualitas dalam Anumāna-sutta menunjukkan beberapa perbedaan, lihat peninjauan dalam Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 126, tabel 2.8.

<166> Anumāna-sutta mengambil kasus seseorang yang mudah untuk ditegur sebelum berbalik pada perenungan yang sebanding sehubungan dengan kualitas-kualitas diri sendiri yang membuat seseorang sulit untuk ditegur.

<167> Anumāna-sutta tidak memiliki perenungan sehubungan dengan kualitas-kualitas diri sendiri yang membuat seseorang mudah untuk ditegur.

<168> Anumāna-sutta tidak memiliki padanan pada penjelasan berikutnya tentang bagaimana kegembiraan membawa menuju faktor-faktor pencerahan lainnya, menuju kebosanan, dan menuju pembebasan.

<169> Padanan Pāli adalah Mahācunda-sutta, AN 10.24 dalam AN V 41, yang memiliki Sahajāti di antara orang-orang Ceti sebagai lokasinya.

<170> Mahācunda-sutta mengutip tiga pernyataan yang berhubungan. Pertama adalah pernyataan tentang pengetahuan seseorang, nāṇavāda, yaitu suatu pernyataan mengetahui dan melihat Dharma. Kedua adalah pernyataan tentang pengembangan seseorang, bhāvanāvāda, yaitu suatu pernyataan memiliki pengembangan jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketiga menggabungkan dua sebelumnya menjadi satu pernyataan.

<171> Di sini dan di bawah, terjemahan didasarkan pada perbaikan 無惡欲 menjadi 惡欲. Yang belakangan adalah versi yang ditemukan segera setelah ini pada kalimat yang sama.

<172> Mahācunda-sutta tidak menyebutkan sifat tidak komunikatif, tipu daya, sanjungan, dan ketiadaan rasa malu dan takut. Kualitas-kualitas yang disebutkan hanya dalam Mahācunda-sutta adalah delusi, sikap merendahkan, dan sikap kurang ajar.

<173> Pernyataan oleh sanak keluarga dan teman-teman tidak dikisahkan dalam Mahācunda-sutta, yang menutup penggambarannya atas orang miskin itu dengan mengatakan bahwa ia akan diketahui miskin walaupun pernyataannya.

<174> Padanan Pāli adalah Sallekha-sutta, MN 8 dalam MN I 40, yang memiliki Hutan Jeta di Sāvatthī sebagai lokasinya; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 59–66.

<175> Kualitas ini dan beberapa lainnya yang disebutkan dalam MĀ 91 tidak ada pada daftar dalam Sallekha-sutta; untuk perbandingan atas kedua daftar lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 62, tabel 1.9.

<176> Seperti dalam versi Pāli, penunjukan saat ini pada “pemadaman” melibatkan istilah pari-nirvāṇa, 般涅槃; lihat pembahasan dalam Bhikkhu Nāṇamoli, The Middle Length Discourses of the Buddha, A Translation of the Majjhima Nikāya (Boston: Wisdom Publications, 1995, cetakan ulang 2005), hal. 1184, catatan no. 111.

<177> Padanan Pāli adalah Vatthūpama-sutta, MN 7 dalam MN I 36, yang memiliki Hutan Jeta di Sāvatthī sebagai lokasinya; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 49–59.

<178> Vatthūpama-sutta tidak menghubungkan kotbah ini dengan waktu segera setelah pencerahan Sang Buddha.

<179> Vatthūpama-sutta tidak memperkenalkan sang brahmana pada titik ini dan tidak menyebutkan pemaparan Sang Buddha tentang kekotoran-kekotoran berhubungan dengan brahmana itu.

<180> Vatthūpama-sutta memberikan daftar enam belas kekotoran; untuk studi perbandingan daftar kekotoran lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 51, tabel 1.7.

<181> Perumpamaan dalam Vatthūpama-sutta menggambarkan sehelain kain kotor yang tidak mendapatkan pencelupan dengan benar. Dalam Vatthūpama-sutta perumpamaan ini dan yang berikutnya bersama-sama mendahului pemaparan tentang kekotoran-kekotoran.

<182> Perumpamaan dalam Vatthūpama-sutta menggambarkan sehelai kain bersih yang mendapatkan pencelupan dengan benar.

<183> Sebelum beralih pada brahmavihāra, Vatthūpama-sutta menyebutkan keyakinan kepada Buddha, Dharma, dan Sangha, dan ketidakmelekatan sehubungan dengan makanan. Ia berlanjut dari brahmavihāra ke topik pembebasan, yang dalam penyajiannya berhubungan dengan mandi secara internal.

<184> Dalam Vatthūpama-sutta sang brahmana pergi meninggalkan keduniawian dan akhirnya menjadi seorang arahant.

<185> Padanan Pāli adalah Adhikaraṇa-sutta, AN 10.87 dalam AN V 164.

<186> Adhikaraṇa-sutta tidak mengisahkan bahwa bhikkhu tersebut, yang karenanya Sang Buddha menyampaikan kotbah ini, telah mendekati Sang Buddha.

<187> Adhikaraṇa-sutta memberikan daftar sepuluh kualitas buruk yang demikian: menjadi pembuat masalah yang berhubungan dengan disiplin, tidak menginginkan latihan, memiliki keinginan jahat, marah, merendahkan orang lain, licik, penuh tipu daya, tidak memperhatikan ajaran-ajaran, tidak menjalankan keterasingan, dan tidak menunjukkan kebaikan terhadap para monastik lainnya. Dalam kotbah Pāli daftar akibat yang tidak bermanfaat tidak menunjuk pada pencapaian nirvana.

<188> Padanan Pāli adalah Ṭhiti-sutta, AN 10.53 dalam AN V 96.

<189> Dalam Ṭhiti-sutta Sang Buddha sebaliknya menyatakan bahwa beliau memuji hanya pertumbuhan dalam keadaan-keadaan bermanfaat, bukan hanya pemeliharaannya, apalagi kemundurannya.

<190> Kualitas-kualitas yang didaftarkan dalam Ṭhiti-sutta adalah keyakinan, moralitas, pembelajaran, kedermawanan, kebijaksanaan, dan kelancaran berbicara.

<191> Ṭhiti-sutta memperkenalkan daftar keadaan-keadaan batinnya dengan perumpamaan seorang wanita atau pria muda yang melihat ke sebuah cermin; daftar yang sebenarnya kemudian terdiri atas sepuluh keadaan batin, yang adalah lima rintangan (yang keempat hanya kegelisahan), serta kejengkelan, keadaan-keadaan batin yang terkotori, gejolak jasmani, kemalasan, dan tidak memiliki konsentrasi.

<192> Menurut Ṭhiti-sutta, seseorang yang bebas dari keadaan-keadaan ini seharusnya mengerahkan usaha untuk maju menuju nirvana. Ṭhiti-sutta tidak menggunakan perumpamaan kepala atau pakaian yang terbakar untuk menggambarkan kasus ini, yang hanya ia miliki untuk menggambarkan kasus seseorang di bawah pengaruh keadaan-keadaan batin yang terkotori.

<193> Padanan Pāli adalah Parihāna-sutta, AN 10.55 dalam AN V 102.

<194> Dalam Parihāna-sutta, Sāriputta pertama-tama menyatakan topik tentang “seseorang yang tunduk pada kemunduran” dan kemudian, atas permintaan para bhikkhu lainnya, menjelaskannya.

<195> Parihāna-sutta memperkenalkan daftar keadaan-keadaan batinnya dengan perumpamaan seorang wanita atau pria muda yang melihat ke sebuah cermin; daftar yang sebenarnya kemudian terdiri dari sepuluh keadaan batin, yang adalah bebas dari lima rintangan (yang keempat hanya tanpa kegelisahan), serta tidak jengkel, tidak memiliki keadaan-keadaan batin yang terkotori, bergembira dalam Dharma, memperoleh ketenangan pikiran internal, dan memperoleh kebijaksanaan yang lebih tinggi dan pandangan terang ke dalam fenomena.

<196> Menurut Parihāna-sutta, seseorang yang bebas dari keadaan-keadaan batin ini seharusnya mengerahkan usaha untuk maju menuju nirvana. Parihāna-sutta tidak menggunakan perumpamaan kepala atau pakaian yang terbakar untuk menggambarkan kasus ini, yang hanya ia miliki untuk menggambarkan kasus seseorang di bawah pengaruh keadaan-keadaan batin yang terkotori.

60
DhammaCitta Press / Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 8)
« on: 21 October 2020, 08:40:45 PM »
96. Kotbah tentang Tidak Adanya<193>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu:<194>

Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni tidak mendengarkan suatu ajaran yang belum ia dengar; jika ia melupakan ajaran-ajaran yang telah ia dengar; jika ia tidak dapat mengingat suatu ajaran yang telah ia latih, kembangkan, ulangi, dan pahami melalui kebijaksanaan, jika ia tidak lagi mengetahui apa yang ia ketahui, maka, teman-teman yang mulia, ini disebut penurunan keadaan-keadaan murni dalam bhikkhu atau bhikkhuni itu.

Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu atau bhikkhuni mendengarkan suatu ajaran yang belum ia dengar; jika ia tidak melupakan ajaran-ajaran yang telah ia dengar; jika ia sering mengingat ajaran-ajaran yang telah ia latih, kembangkan, ulangi, dan pahami melalui kebijaksanaan, jika ia masih tidak mengetahui apa yang ia ketahui, maka ini disebut peningkatan keadaan-keadaan murni dalam bhikkhu atau bhikkhuni itu.

Teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu seharusnya merenungkan seperti ini:<195> “Apakah aku memiliki ketamakan, atau apakah aku tidak memiliki ketamakan? Apakah aku memiliki kebencian, atau apakah aku tidak memiliki kebencian? Apakah aku memiliki kelambanan dan ketumpulan, atau apakah aku tidak memiliki kelambanan dan ketumpulan? Apakah aku memiliki kegelisahan dan kesombongan, atau apakah aku tidak memiliki kegelisahan dan kesombongan? Apakah aku memiliki keragu-raguan, atau apakah aku tidak memiliki keragu-raguan? Apakah aku menyebabkan perselisihan, atau apakah aku tidak menyebabkan perselisihan? Apakah aku memiliki pikiran yang terkotori dan ternoda, atau apakah aku tidak memiliki pikiran yang terkotori dan ternoda?

“Apakah aku memiliki keyakinan, atau apakah aku tidak memiliki keyakinan? Apakah aku memiliki semangat, atau apakah aku tidak memiliki semangat? Apakah aku memiliki perhatian penuh, atau apakah aku tidak memiliki perhatian penuh? Apakah aku memiliki konsentrasi, atau apakah aku tidak memiliki konsentrasi? Apakah aku memiliki kebijaksanaan yang cacat, atau apakah aku tidak memiliki kebijaksanaan yang cacat?”

Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seorang bhikkhu, ketika merenungkan, mengetahui, “Aku memiliki ketamakan, ... aku memiliki kebencian, ... aku memiliki kelambanan dan ketumpulan, ... aku memiliki kegelisahan dan kesombongan, ... aku memiliki keragu-raguan, ... aku menyebabkan perselisihan, ... aku memiliki pikiran yang terkotori dan ternoda, ... aku tidak memiliki keyakinan, ... aku tidak memiliki semangat, ... aku tidak memiliki perhatian penuh, ... aku tidak memiliki konsentrasi, ... aku memiliki kebijaksanaan yang cacat.”

Teman-teman yang mulia, bhikkhu itu, yang berharap untuk melenyapkan keadaan-keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat ini, seharusnya dengan cepat mencari cara untuk berlatih dengan ketekunan besar, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, dengan gigih agar tidak mundur.

Teman-teman yang mulia, seperti halnya seseorang yang kepalanya terbakar atau pakaiannya terbakar akan dengan cepat mencari cara untuk menyelamatkan kepalanya dan menyelamatkan pakaiannya. Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu, yang berharap untuk melenyapkan keadaan-keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat ini, akan dengan cepat mencari cara untuk berlatih dengan ketekunan besar, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, dengan gigih agar tidak mundur.

Teman-teman yang mulia, seumpamanya bahwa seorang bhikkhu, ketika merenungkan, mengetahui, “Aku bebas dari ketamakan, ... bebas dari kebencian, ... bebas dari kelambanan dan ketumpulan, ... bebas dari kegelisahan dan kesombongan, ... bebas dari keragu-raguan; ... aku tidak menyebabkan perselisihan, ... aku tidak memiliki pikiran yang terkotori dan ternoda, ... aku memiliki keyakinan, ... aku memiliki semangat, ... aku memiliki perhatian penuh, ... aku memiliki konsentrasi; ... dan aku bebas dari kebijaksanaan yang cacat.”

Bhikkhu itu, berharap untuk mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat ini, berharap untuk tidak kehilangannya, untuk tidak mundur tetapi mengembangkannya lebih jauh, akan dengan cepat mencari cara untuk berlatih dengan ketekunan besar, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, dengan gigih agar tidak mundur.

Seperti halnya seseorang yang kepalanya terbakar atau pakaiannya terbakar akan dengan cepat mencari cara untuk menyelamatkan kepalanya dan menyelamatkan pakaiannya. Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, seorang bhikkhu, yang berharap untuk mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat ini, berharap untuk tidak kehilangannya, untuk tidak mundur tetapi mengembangkannya lebih jauh, akan dengan cepat mencari cara untuk berlatih dengan ketekunan besar, dengan perhatian penuh dan pemahaman benar, dengan gigih agar tidak mundur.<196>

Demikianlah yang diucapkan Yang Mulia Sāriputta. Setelah mendengar apa yang dikatakan Yang Mulia Sāriputta, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7 8 9 10 11 ... 228