//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain  (Read 31221 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline kullatiro

  • Sebelumnya: Daimond
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.155
  • Reputasi: 97
  • Gender: Male
  • Ehmm, Selamat mencapai Nibbana
Re: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain
« Reply #90 on: 06 March 2010, 08:45:47 PM »
tull kan tidak perlu jadi anggota sangha untuk mendapatkan tingkat kesucian/ariya.

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain
« Reply #91 on: 06 March 2010, 09:48:59 PM »
Tidak semua keyakinan tentang seseorang itu ariya adalah salah dan membuta. Hal yg terpenting melakukan penyelidikan dengan seksama yg didasarkan pengertian benar. Kalau menerka2 tanpa dasar pengertian benar tentu itu tidak baik...tetapi benar apa yg dikatakan bro hendrako bahwa fenomena itu hal yg wajar...sesuai dhamma atau tidak, kita sulit menilai...selama kita masih putthujana walau demikian tentu ada batas2an dasar tentang ariya....misal kalo ariya pake perhiasan...hidupnya wah...nah itu patut dipertanyakan.

Saya rasa tulisan samanera Peacemind sangatlah bijaksana dan bukan untuk diperdebatkan tetapi untuk direnungkan bagi yg mau merenungkan, berikut dibawah ini :

Quote

Pertama saya tekankan di sini bahwa keyakinan pada seseorang bahwa ia telah mencapai kesucian bukan hal yang salah. Hal ini sah-sah saja, apalagi jika keyakinan itu muncul setelah kita berasosiasi dengan orang tersebut dalam jangka waktu yang lama. Selama berasosiasi, kita melihat bagaimana tindak tanduk orang tersebut baik perkataan maupun jasmani benar2 mencerminkan tanda2 seorang mulia. Kita yang belum pernah melihat secara langsung bagaimana tindak-tanduk Bhikkhu Sāriputta, Bhikkhu Mahā Mogallana, Mahā Kassapa atau bhikkhu2 terkenal lainnya yang hidup pada jaman Sang Buddha saja percaya 100 persen bahwa mereka adalah arahat. Tentu tidak ada salahnya bagi kita untuk yakin bahwa seseorang merupakan seorang mulia / ariya terutama setelah kita berasosiasi dengan beliau dalam jangka waktu yang lama. Sang Buddha sendiri pernah mengatakan bahwa kebijaksanaan seseorang akan tampak hanya ketika kita telah berasosiasi dengannya dalam jangka waktu yang tidak sedikit.

Jadi masalah ini memang kompleks....sehingga kembali kepada pribadi masing2.

1.Ada yg meyakini karena telah berasosiasi dgn mereka...walau tidak mengetahui dengan pasti kondisi batin mereka tapi secara simbolik penghargaan itu ada, melalui keyakinan dengan dasar pengertian benar tanpa pengkultusan. Dan ini biasanya berhubungan dengan aspek praktek langsung

2. Ada yg hanya yakin karena katanya dan desas-desus.

3. ada yg meyakini karena mau mendapatkan pahala.

4. Ada yg selalu meragukan/mempertanyakan tanpa meneliti lebih lanjut...ini juga bentuk ekstrem lainnya..

5. Ada yg mempertanyakan tapi ia meneliti lebih lanjut sampai tuntas dan ada juga yg melakukan penelitian terbatas tapi tidak tuntas, dan terjebak dalam pandangannya.

6. ada yg netral sampai terbukti atau ada sinyalemen kesana baru menyimpulkan...

7.   Tidak  percaya atau tidak mau percaya sama sekali, bisa karena katanya/desas-desus, atau karena penilitian tuntas atau penelitian yg terbatas dan terjebak didalamnya.

Nah silakan dipilih dibagian manakah diri kita ....
dari pilihan itu semua kenapa tidak ada pilihan atau sangat sedikit yang menginginkan menjadi ariya itu sendiri.

Maksudnya tidak ada pilihan untuk menjadi ariya..?kalau memang itu dimaksud...masih ada korelasi point 1.  dan saya tidak langsung membuat tulisan dengan pilihan ingin menjadi ariya karena topik yg dibahas adalah mengenai menerka-->keyakinan-->bisa benar bisa juga salah....tapi kalau bro ryu mau memasukan pilihan itu dengan menambah point itu..tidak ada masalah juga, saya pikir itu point yg bagus.
« Last Edit: 06 March 2010, 09:56:08 PM by bond »
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain
« Reply #92 on: 06 March 2010, 11:45:30 PM »
Tidak semua keyakinan tentang seseorang itu ariya adalah salah dan membuta. Hal yg terpenting melakukan penyelidikan dengan seksama yg didasarkan pengertian benar. Kalau menerka2 tanpa dasar pengertian benar tentu itu tidak baik...tetapi benar apa yg dikatakan bro hendrako bahwa fenomena itu hal yg wajar...sesuai dhamma atau tidak, kita sulit menilai...selama kita masih putthujana walau demikian tentu ada batas2an dasar tentang ariya....misal kalo ariya pake perhiasan...hidupnya wah...nah itu patut dipertanyakan.

Saya rasa tulisan samanera Peacemind sangatlah bijaksana dan bukan untuk diperdebatkan tetapi untuk direnungkan bagi yg mau merenungkan, berikut dibawah ini :

Quote

Pertama saya tekankan di sini bahwa keyakinan pada seseorang bahwa ia telah mencapai kesucian bukan hal yang salah. Hal ini sah-sah saja, apalagi jika keyakinan itu muncul setelah kita berasosiasi dengan orang tersebut dalam jangka waktu yang lama. Selama berasosiasi, kita melihat bagaimana tindak tanduk orang tersebut baik perkataan maupun jasmani benar2 mencerminkan tanda2 seorang mulia. Kita yang belum pernah melihat secara langsung bagaimana tindak-tanduk Bhikkhu Sāriputta, Bhikkhu Mahā Mogallana, Mahā Kassapa atau bhikkhu2 terkenal lainnya yang hidup pada jaman Sang Buddha saja percaya 100 persen bahwa mereka adalah arahat. Tentu tidak ada salahnya bagi kita untuk yakin bahwa seseorang merupakan seorang mulia / ariya terutama setelah kita berasosiasi dengan beliau dalam jangka waktu yang lama. Sang Buddha sendiri pernah mengatakan bahwa kebijaksanaan seseorang akan tampak hanya ketika kita telah berasosiasi dengannya dalam jangka waktu yang tidak sedikit.

Jadi masalah ini memang kompleks....sehingga kembali kepada pribadi masing2.

1.Ada yg meyakini karena telah berasosiasi dgn mereka...walau tidak mengetahui dengan pasti kondisi batin mereka tapi secara simbolik penghargaan itu ada, melalui keyakinan dengan dasar pengertian benar tanpa pengkultusan. Dan ini biasanya berhubungan dengan aspek praktek langsung

2. Ada yg hanya yakin karena katanya dan desas-desus.

3. ada yg meyakini karena mau mendapatkan pahala.

4. Ada yg selalu meragukan/mempertanyakan tanpa meneliti lebih lanjut...ini juga bentuk ekstrem lainnya..

5. Ada yg mempertanyakan tapi ia meneliti lebih lanjut sampai tuntas dan ada juga yg melakukan penelitian terbatas tapi tidak tuntas, dan terjebak dalam pandangannya.

6. ada yg netral sampai terbukti atau ada sinyalemen kesana baru menyimpulkan...

7.   Tidak  percaya atau tidak mau percaya sama sekali, bisa karena katanya/desas-desus, atau karena penilitian tuntas atau penelitian yg terbatas dan terjebak didalamnya.

Nah silakan dipilih dibagian manakah diri kita ....
dari pilihan itu semua kenapa tidak ada pilihan atau sangat sedikit yang menginginkan menjadi ariya itu sendiri.

Maksudnya tidak ada pilihan untuk menjadi ariya..?kalau memang itu dimaksud...masih ada korelasi point 1.  dan saya tidak langsung membuat tulisan dengan pilihan ingin menjadi ariya karena topik yg dibahas adalah mengenai menerka-->keyakinan-->bisa benar bisa juga salah....tapi kalau bro ryu mau memasukan pilihan itu dengan menambah point itu..tidak ada masalah juga, saya pikir itu point yg bagus.
itu adalah tugas dhammaduta untuk memberikan atau mengarahkan umat Buddha khususnya kepada inti ajaran Buddha yang berusaha untuk melenyapkan Dukkha dan melahirkan ariya2 yang benar2 sejalan dengan jalan yang ditunjukan oleh Buddha :)
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain
« Reply #93 on: 08 March 2010, 09:02:38 AM »
 [at]  ryu

Benar itu tugas Dhammaduta, untuk melahirkan ariya yang sejalan dengan inti ajaran.  Dan bila Dhammaduta itu sudah menjadi ariya....bukankah lebih baik....diluar kita mengetahui atau tidak secara pasti...tetapi paling tidak ada petunjuk perilakunya tanpa cela yg sesuai Dhamma dan bukan karena persepsi kita yg salah. Hal ini pun sebenarnya kembali kepada kecocokan kita dalam cara yg dipilih untuk mengembankan batinnya yg sesuai dhamma.
« Last Edit: 08 March 2010, 09:04:34 AM by bond »
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain
« Reply #94 on: 08 March 2010, 09:16:27 AM »
[at]  ryu

Benar itu tugas Dhammaduta, untuk melahirkan ariya yang sejalan dengan inti ajaran.  Dan bila Dhammaduta itu sudah menjadi ariya....bukankah lebih baik....diluar kita mengetahui atau tidak secara pasti...tetapi paling tidak ada petunjuk perilakunya tanpa cela yg sesuai Dhamma dan bukan karena persepsi kita yg salah. Hal ini pun sebenarnya kembali kepada kecocokan kita dalam cara yg dipilih untuk mengembankan batinnya yg sesuai dhamma.
ya sesuai dengan salekha sutta _/\_
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain
« Reply #95 on: 08 March 2010, 12:13:54 PM »
Segala yang terjadi adalah hal yg alami.
Tak terhindarkan karena hal seperti ini hampir selalu ada.
Saya lebih setuju menggunakan kata "wajar" ketimbang "alami". Kalau orang keliru itu adalah wajar, selalu terjadi. Tetapi kalau dikatakan "alami", berarti membenarkan manusia selalu keliru.


Quote
Dari pengalaman pribadi........sikap awal yg baik adalah berusaha memahami daripada mencoba secara langsung dan frontal "meluruskan".
Kembali lagi di sini tidak ada satu mengajar/meluruskan yang lain, apalagi secara frontal. Yang ada hanyalah pembahasan tentang suatu ide. Dalam diskusi, kalau menurut saya benar, saya katakan benar, kalau salah ya salah, karena ini menyangkut ide, bukan pribadi. Kalau dalam kehidupan, seperti yang sering saya katakan, apa yang mau dilakukan oleh Umat Buddha, tidak ada hubungannya dengan saya sendiri. Saya tidak punya kepentingan dan keperluan mengubah/meluruskan orang lain.

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain
« Reply #96 on: 08 March 2010, 04:19:59 PM »
jadi inget dulu wkt lagi rame2nya Luang Pu Am Dhammakaro (cmiiw) yg katanya sudah jadi arahat

ada rekan dari luar kota yg bertanya : apakah saya datang dan berdana kepada beliau?

saya jawab : jika memang anda berkesempatan, itu akan sangat baik. Namun jika anda tidak berkesempatan, tidaklah perlu melekati "harus berdana" karena itu adalah manifestasi dari lobha yg ingin mendapat pahala yg berlimpah

jika kembali ke bertanya : apakah sudah mencapai arahat atau belum? hendaknya kita bisa sadari bhw itu adalah "mana cetasika" yg notabene merupakan akusala cetasika

semoga bermanfaat utk kita semua

Offline dewi_go

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.848
  • Reputasi: 69
  • Gender: Female
Re: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain
« Reply #97 on: 08 March 2010, 07:36:29 PM »
Ya nih kalau mau berdana y ga usah di lihat donk kepada siapa, ntar malah milih2
Sweet things are easy 2 buy,
but sweet people are difficult to find.
Life ends when u stop dreaming, hope ends when u stop believing,
Love ends when u stop caring,
Friendship ends when u stop sharing.
So share this with whom ever u consider a friend.
To love without condition... ......... .........

Offline hendrako

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.244
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
Re: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain
« Reply #98 on: 08 March 2010, 09:47:27 PM »
Segala yang terjadi adalah hal yg alami.
Tak terhindarkan karena hal seperti ini hampir selalu ada.
Saya lebih setuju menggunakan kata "wajar" ketimbang "alami". Kalau orang keliru itu adalah wajar, selalu terjadi. Tetapi kalau dikatakan "alami", berarti membenarkan manusia selalu keliru.


Segala sesuatu merupakan proses. Dan proses itu adalah hal yg alami.....terlepas dari benar dan keliru, wajar atau tidak wajar, selama itu adalah bagian dari proses maka itu adalah hal yang alami.

Sebagai contoh yg sering salah kaprah adalah pengrusakan hutan karena penebangan oleh manusia yg sering dikatakan sebagai hal yg tidak alami. Kerusakan hutan di Kalimantan tetap harus dipandang sebagai suatu kealamian karena manusia sendiri adalah bagian dari alam itu sendiri. Kerusakan hutan oleh kebakaran yg bersumber pada petir misalnya, tidak jauh berbeda dengan tindakan penebangan oleh manusia, keduanya sama2 merupakan bagian dari alam terlepas dari pandangan benar atau keliru.

Se-keliru2-nya tindakan penebangan hutan oleh manusia dipandang, hutan yg telah rusak tersebut tetap merupakan ke-alami-an.

Quote from: Kainyn_Kutho
Quote
Dari pengalaman pribadi........sikap awal yg baik adalah berusaha memahami daripada mencoba secara langsung dan frontal "meluruskan".
Kembali lagi di sini tidak ada satu mengajar/meluruskan yang lain, apalagi secara frontal. Yang ada hanyalah pembahasan tentang suatu ide. Dalam diskusi, kalau menurut saya benar, saya katakan benar, kalau salah ya salah, karena ini menyangkut ide, bukan pribadi. Kalau dalam kehidupan, seperti yang sering saya katakan, apa yang mau dilakukan oleh Umat Buddha, tidak ada hubungannya dengan saya sendiri. Saya tidak punya kepentingan dan keperluan mengubah/meluruskan orang lain.


Saya tidak menuduh anda mempunyai keinginan untuk meluruskan orang2 yg berlaku sebagaimana topik thread.

Melainkan sharing.....oleh karena itu saya menggunakan kata2 pembuka....dari pengalaman pribadi.... dimana saya pernah merasa terganggu atas pandangan orang lain yg menurut saya keliru dan mencoba secara langsung mengingatkan...........

Dan dari pengalaman tersebut saya menjadi sadar bahwa masing2 orang mempunyai pandangan masing2 terlepas dari benar atau salah, dan memang pengertian seperti itulah yg ada pada diri orang tsb pada saat itu, masing2 orang memiliki waktunya masing2........

Kesimpulan saya dari hal tersebut adalah...lebih baik berusaha memahami mengapa orang tersebut sampai memiliki pandangan seperti itu.....bukan untuk membenarkan tetapi hanya sekedar untuk memahami.
yaa... gitu deh

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain
« Reply #99 on: 09 March 2010, 09:15:55 AM »
Segala sesuatu merupakan proses. Dan proses itu adalah hal yg alami.....terlepas dari benar dan keliru, wajar atau tidak wajar, selama itu adalah bagian dari proses maka itu adalah hal yang alami.

Sebagai contoh yg sering salah kaprah adalah pengrusakan hutan karena penebangan oleh manusia yg sering dikatakan sebagai hal yg tidak alami. Kerusakan hutan di Kalimantan tetap harus dipandang sebagai suatu kealamian karena manusia sendiri adalah bagian dari alam itu sendiri. Kerusakan hutan oleh kebakaran yg bersumber pada petir misalnya, tidak jauh berbeda dengan tindakan penebangan oleh manusia, keduanya sama2 merupakan bagian dari alam terlepas dari pandangan benar atau keliru.

Se-keliru2-nya tindakan penebangan hutan oleh manusia dipandang, hutan yg telah rusak tersebut tetap merupakan ke-alami-an.
Jika demikian, berarti membunuh orang lain juga adalah hal alami, karena perbedaan pendapat adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial. Dan juga, tidak dibunuh juga toh manusia mati juga pada akhirnya. Dengan demikian sekeliru-kelirunya Buddha menetapkan larangan pembunuhan, sebetulnya pembunuhan adalah hal yang alami. Bagaimana menurut Bro hendrako?


Quote
Saya tidak menuduh anda mempunyai keinginan untuk meluruskan orang2 yg berlaku sebagaimana topik thread.

Melainkan sharing.....oleh karena itu saya menggunakan kata2 pembuka....dari pengalaman pribadi.... dimana saya pernah merasa terganggu atas pandangan orang lain yg menurut saya keliru dan mencoba secara langsung mengingatkan...........
Saya setuju. Sebagaimana kita terganggu kalau orang lain yang merasa mengerti kebenaran memaksa meluruskan kita, maka berarti sedemikian pula mengganggunya kita ketika memaksakan pandangan yang kita rasa benar kepada orang lain.


Quote
Dan dari pengalaman tersebut saya menjadi sadar bahwa masing2 orang mempunyai pandangan masing2 terlepas dari benar atau salah, dan memang pengertian seperti itulah yg ada pada diri orang tsb pada saat itu, masing2 orang memiliki waktunya masing2........

Kesimpulan saya dari hal tersebut adalah...lebih baik berusaha memahami mengapa orang tersebut sampai memiliki pandangan seperti itu.....bukan untuk membenarkan tetapi hanya sekedar untuk memahami.
Ini juga saya setuju. Seperti sebelumnya saya katakan ada sebab dan akibat. Kalau kita memahami sebabnya, mungkin kita bisa mengubah yang kurang baik menjadi lebih baik.

Dalam hal menerka pencapaian kesucian ini, saya rasa memang kurangnya informasi pengetahuan dhamma yang menyebabkan kecenderungan spekulasi umat. Sementara keserakahan dan ketidaktahuan manfaat dari dana yang menyebabkan pilih-memilih dalam berdana, yang sebetulnya, menurut dhamma, juga keliru. Saya rasa kita semua juga masih banyak keserakahan dan kebodohan, tetapi alangkah baiknya jika sedikitnya kita menyadari keserakahan dan juga tidak terjebak dalam pandangan salah. Itulah tujuan saya memulai topik ini.


Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain
« Reply #100 on: 09 March 2010, 01:01:29 PM »
Ya nih kalau mau berdana y ga usah di lihat donk kepada siapa, ntar malah milih2

walau udah tahu, tapi ternyata tetap kita lakukan khan sis??? 

kalo kata mentor sih, jika ingin berdana, segeralah dilakukan, tanpa timbang2
tapi jika udah tahu kalau obyeknya "tidak baik", lebih baik tidak perlu berdana

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain
« Reply #101 on: 09 March 2010, 01:11:22 PM »
Segala sesuatu merupakan proses. Dan proses itu adalah hal yg alami.....terlepas dari benar dan keliru, wajar atau tidak wajar, selama itu adalah bagian dari proses maka itu adalah hal yang alami.

Sebagai contoh yg sering salah kaprah adalah pengrusakan hutan karena penebangan oleh manusia yg sering dikatakan sebagai hal yg tidak alami. Kerusakan hutan di Kalimantan tetap harus dipandang sebagai suatu kealamian karena manusia sendiri adalah bagian dari alam itu sendiri. Kerusakan hutan oleh kebakaran yg bersumber pada petir misalnya, tidak jauh berbeda dengan tindakan penebangan oleh manusia, keduanya sama2 merupakan bagian dari alam terlepas dari pandangan benar atau keliru.

Se-keliru2-nya tindakan penebangan hutan oleh manusia dipandang, hutan yg telah rusak tersebut tetap merupakan ke-alami-an.
Jika demikian, berarti membunuh orang lain juga adalah hal alami, karena perbedaan pendapat adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial. Dan juga, tidak dibunuh juga toh manusia mati juga pada akhirnya. Dengan demikian sekeliru-kelirunya Buddha menetapkan larangan pembunuhan, sebetulnya pembunuhan adalah hal yang alami. Bagaimana menurut Bro hendrako?


IMO, pada dasarnya “wajar” dan “alami” memiliki pengertian yang sama. Kata wajar menurut KBBI yaitu: biasa sebagaimana adanya tanpa tambahan apa pun. Tapi dalam keseharian, ternyata dua kata tersebut tidak sama persis. Ada frasa “batas kewajaran” tapi gak ada “batas kealamiahan”. Perbedaan inilah yang menyebabkan kata “wajar” biasanya dipakai pada sesuatu yang bisa berubah/diubah (makanya bisa muncul kata “sewajarnya, semestinya, selayaknya”). Lalu akhirnya kata “alami” pun dipandang sebagai sesuatu yang “memang demikian” dan tidak dapat/tidak perlu diubah.
« Last Edit: 09 March 2010, 01:15:36 PM by Mayvise »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain
« Reply #102 on: 09 March 2010, 02:19:35 PM »
IMO, pada dasarnya “wajar” dan “alami” memiliki pengertian yang sama. Kata wajar menurut KBBI yaitu: biasa sebagaimana adanya tanpa tambahan apa pun. Tapi dalam keseharian, ternyata dua kata tersebut tidak sama persis. Ada frasa “batas kewajaran” tapi gak ada “batas kealamiahan”. Perbedaan inilah yang menyebabkan kata “wajar” biasanya dipakai pada sesuatu yang bisa berubah/diubah (makanya bisa muncul kata “sewajarnya, semestinya, selayaknya”). Lalu akhirnya kata “alami” pun dipandang sebagai sesuatu yang “memang demikian” dan tidak dapat/tidak perlu diubah.
Menurut saya, makna kata tersebut berbeda. Definisi "wajar" adalah juga "menurut keadaan yg ada" yang berarti kondisional, entah ditinjau dari tempat atau waktu. Sedangkan "alami" adalah bersifat seperti dari alam, tidak ditambahkan.

Hujan setiap hari di Jakarta pada musim hujan adalah wajar, sementara hujan setiap hari di Sahara bukanlah hal yang wajar, walaupun keduanya tetap merupakan hal yang alami. 
« Last Edit: 09 March 2010, 02:21:15 PM by Kainyn_Kutho »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain
« Reply #103 on: 09 March 2010, 03:06:55 PM »
^ ^ ^ Jadi, hujan setiap hari di Gurun Sahara adalah alami (walaupun tidak wajar). Atau dengan kata lain, bila kita menegaskan sesuatu sebagai alami tanpa menerangkan wajar atau tidak wajarnya, bisa mengaburkan apakah sesuatu yang alami itu wajar atau tidak wajar?

Misalnya hujan setiap hari di Gurun Sahara adalah alami. Jadi terkesan bahwa hujan di Gurun Sahara wajar-wajar aja?

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Menerka Pencapaian Kesucian Orang Lain
« Reply #104 on: 09 March 2010, 03:52:18 PM »
^ ^ ^ Jadi, hujan setiap hari di Gurun Sahara adalah alami (walaupun tidak wajar). Atau dengan kata lain, bila kita menegaskan sesuatu sebagai alami tanpa menerangkan wajar atau tidak wajarnya, bisa mengaburkan apakah sesuatu yang alami itu wajar atau tidak wajar?

Misalnya hujan setiap hari di Gurun Sahara adalah alami. Jadi terkesan bahwa hujan di Gurun Sahara wajar-wajar aja?
Ya kira-kira begitu. Bukannya mau main kata-kata atau bersifat kaku, tetapi perkataan itu mempengaruhi pola pikir seseorang. "Alami" itu memberikan kecenderungan mind-set bahwa hal tersebut tidak bisa diubah karena memang sudah terbatasi hukum alam, "sudah dari sononya begitu". Sedangkan "wajar" lebih bersifat relatif terhadap kondisinya yang dengan pembanding berbeda, yang wajar bisa jadi tidak wajar, dan sebaliknya.

Dalam topik ini, saya tidak melihat orang memilih-milih berdana dan berspekulasi adalah hal yang alami, karena memang bukan hukum alam yang menentukan seseorang berperilaku demikian. Seseorang terlahir tanpa mengenal Agama Buddha pun belum tentu memilih-milih dalam berdana. Tetapi kalau dilihat dari kurangnya pengetahuan tentang dhamma dan keinginan untuk mendapatkan yang lebih baik, perilaku demikian adalah wajar. Lain lagi misalnya jika seseorang yang (katanya) telah mengikis habis keserakahan dan kebodohan, namun masih diskriminatif dalam pemberian dana tersebut, itu menjadi tidak wajar.
« Last Edit: 09 March 2010, 03:54:16 PM by Kainyn_Kutho »