Yang dicontohkan bro williamhalim itulah yang saya maksudkan.
Kalau cuma sekedar teori mungkin kita bisa mengatakan orang bodoh juga bisa begini juga bisa begitu.Tapi dalam keseharian yang saya lihat sendiri.Mereka jauh bahagia dalam hidup karena keadaannya.
Mereka tidak menjadi serakah karena keterbatasan pikirannya.Coba Bro mayvise memperhatikan dan berdiskusi dengan orang bodoh.Coba suruh mereka mencuri dan lihat berapa takutnya mereka.Bahkan lebih besar rasa takut dari pada orang yang pintar/jenius.Kenapa???Orang pintar mempunyai kemampuan berpikir luas dan jauh.mereka melakukan sesuatu dan mencari jalan keluarnya.orang bodoh tidak sampai berpikir seperti itu.
Kalau dari pernyataan di atas, saya rasa (mohon dikoreksi bila salah), bro menilai orang bodoh sama dengan orang bijak, dan orang pintar sama dengan orang tidak bijak. Jadi saya rasa kita harus meluruskan pengertiannya dulu. Ada perbedaan antara “bodoh vs pintar” dan “bijak vs tidak bijak”.
1.Bodoh vs pintar: Perbedaan antara bodoh dan pintar adalah dari kecerdasan intelektual (IQ). Contoh: orang bodoh adalah orang yang tidak tamat SD (karena tidak mampu belajar, bukan karena tidak ada biaya), sedangkan orang pintar adalah seorang Cumlaude atau pemenang olimpiade matematika.
2.Bijak vs tidak bijak: Kita tidak menilai seseorang bijak atau tidak dari indeks prestasinya, tapi dari karakternya, dari bagaimana dia bersikap, dan memecahkan masalah. Kalau mau lebih dalam lagi, bagaimana dia mengendalikan pikirannya.
Nah, kita ambil contohnya bro Williamhalim. Sebut saja kenalannya itu dengan A. Si A tidak begitu pintar secara intelektual. Dia tidak tamat SD namun di sisi lain, dia tidak pernah marah, selalu mengalah, tidak pernah membenci, dsb.
Kalau si A tau alasan bahwa marah adalah sesuatu yang buruk, dia tau alasan untuk selalu mengalah, dan dia tau alasan untuk tidak membenci, maka sekalipun dia bodoh secara intelektual, saya katakan dia adalah orang yang bijak.
Tapi kalau si A itu, karena “kepolosannya”, dia selalu mengalah tapi dia tidak tau mengapa dia selalu mengalah. Mungkin karena dia “pecinta damai”. Dia mungkin selalu mengalah atau tidak pernah marah, karena dia takut dan tidak mau terjadi perselisihan dengan orang lain. Bahkan ekstrimnya, dia merasa bahwa gak apa kepentingannya diinjak-injak yang penting dia tidak menambah musuh. Nah, kalau seperti ini, belum bisa disebut bijaksana.
Saya pernah baca, ada seorang gadis yang terkenal sangat baik, manis, dan penolong. Kenapa? Karena dia tidak pernah mengatakan “Tidak”. Ada yang minta tolong, dia selalu menolong kapanpun, dimanapun. Ada yang marah, dia mengalah. Ada yang curhat, dia bersabar mendengarkan sekalipun dia sedang ada urusan penting. Dikatakan dalam cerita itu bahwa gadis itu terkenal seperti seorang peri yang baik hati. Ternyata jauh di lubuk hatinya dia tidak berbahagia. Dia merasa dia tidak pernah menyayangi dirinya sendiri. Dia selalu berkorban untuk orang lain. Dan ketika dia mulai belajar untuk berkata “tidak” pada hal-hal yang tidak bisa dia penuhi, dia pun merasa berbahagia.
Jadi, di sini saya hanya ingin menekankan bahwa bodoh vs pintar, tidak menentukan apakah dia bahagia atau tidak, dan tidak menentukan apakah dia bisa merealisasikan Dhamma atau tidak.
Tapi bijak vs tidak bijak, menentukan apakah dia bahagia atau tidak, dan menentukan apakah dia bisa merealisasikan Dhamma atau tidak.
Kalau misalnya ada orang yang saya suruh mencuri tapi dia gak mau. Jangan buru-buru menilai bahwa karena dia bodoh, maka dia tidak serakah. Tapi mungkin juga dia takut digebukin. Kalau misalnya saya bilang, “tenang aja” gak bakal ketahuan karena saya punya alat canggih ini itu. Ups, dia mungkin mau. Jadi harus tau juga alasan di balik tindakan. Jangan buru-buru menilai.
Akar dari keserakahan adalah keinginan. Semakin besar keinginan, semakin serakahlah jadinya. Bahkan orang bodohpun bisa sangat serakah lho, bukan hanya orang pintar. Kalau misalnya di suatu daerah miskin dan orang-orangnya bodoh. Coba kita bagikan beras, pasti berebutan bahkan ada yang terinjak-injak. Mengapa bisa terjadi? Karena keinginan mereka untuk makan, seringkali tidak terpenuhi. Dan api keinginan ini, makin lama makin besar. Atau ketika lagi nungguin busway dalam keadaan panas dan banyak polusi. Ketika bus datang, langsung dorong-dorongan, tidak peduli orang bodoh atau orang pintar semua mau didahulukan. Jadi intinya, bijak atau tidak bijak, lebih penting diperhatikan, daripada bodoh atau pintar.
Dan orang bodoh tidak berpikir macam-macam.Orang bodoh yang hidup dalam lingkungan tidak baik sangat susah diluruskan.Begitu juga orang bodoh yang hidup dilingkungan Buddhisme akan susah dibelokkan.
Mungkin kalimat ini perlu diperbaiki. Orang yang memegang suatu keyakinan atau prinsip dan dia punya alasan kuat untuk mempertahankannya, dia tidak percaya secara membuta, maka dia tidak mudah dibelokkan. Tapi orang yang memegang suatu prinsip atau keyakinan tanpa punya alasan yang kuat, maka dia mudah dibelokkan.
Kenapa saya bilang orang bodoh akan mati dalam persaingan???Orang bodoh umumnya mengambil jalan itu cuma lurus saja.Jadi dia jika dia percaya,dia tidak akan berpikir panjang.Sangat mudah ditipu..
Kalo yang ini sih, dia mudah ditipu karena kurangnya pengalaman. Coba nanti kalo kena tipu terus, lama-lama dia bisa bikin buku “tips tolak penipu”. Tapi bila dia tidak bijaksana, dia malah belajar jadi penipu.
Maaf yah,saya masih belajar.Jadi mungkin ada yang bisa melengkapi...
Ya, saya juga masih belajar. Kalau bro punya banyak pertanyaan yang melintas di benak, tidak apa. Orang kritis itu bagus. Semakin banyak dia menemukan jawaban yang memuaskan, semakin kuat keyakinannya. Tapi ya, jangan melupakan praktik kalau gak nanti pikiran hanya penuh dengan konsep dan teori. Sama seperti dua orang sahabat, Sariputta dan Moggalana. Mengapa Moggallana lebih cepat mencapai pencerahan? Karena sariputta “terlalu banyak mikir”. Tapi itu semua tidak masalah karena selama berada di jalur yang benar, kita akhirnya bisa merealisasikan Nibbana.