Moralitas adalah nilai universal. Dan ironisnya, nilai dari moralitas ini berbeda dalam konsep-konsepnya. Moralitas dalam Buddhisme tidak seratus persen selaras dengan moralitas dalam Non-Buddhisme. Di sini ada kontradiksi...
Jika seorang Buddhis, ia cenderung akan memiliki pandangan bahwa moralitas dalam Buddhisme adalah moralitas yang 'benar'. Namun jika seorang Non-Buddhis, ia pun akan cenderung memiliki pandangan bahwa moralitas dalam Non-Buddhisme itu yang benar.
Lantas kalau sudah begini, moralitas mana yang paling 'benar'...?
Ini sudah menunjukkan bahwa kesepakatan akan nilai sejati dari moralitas diwadahkan dalam konsep-konsep yang berbeda. Lantas, apakah mungkin kesepakatan moralitas yang saling bertentangan ini pada akhirnya akan bermuara pada satu tujuan?
Betul, memang ada kontradiksi. Bahkan sesama Buddhis pun, masih ada lain pendapat, bukan?
Bagi saya, asal moralitas bukanlah dari sebuah larangan dan anjuran yang diatur oleh ajaran agama, melainkan berasal dari sebuah kesadaran. Saya pernah diskusi dengan seorang Atheis yang mengatakan bahwa jika seseorang melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan hanya karena disuruh oleh agamanya, orang itu tidaklah menjalankan moralitas sesungguhnya, namun hanya anak-anak yang ditakut-takuti dengan neraka, dan diiming-imingi sorga. Saya langsung setuju dengannya.
Semua kesadaran ini, secara umum, pasti bersesuaian satu dengan lainnya. Intinya adalah tidak merugikan diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
JMB8 bisa dijalankan oleh semua orang, tanpa terikat oleh status agamanya. Sebelumnya... kalau kita semua yakin bahwa JMB8 adalah jalan universal, maka sudah seharusnya kita memandang bahwa JMB8 adalah jalan yang mampu mengantar kita mencapai "tujuan". Saya harap kita semua setuju dengan hal ini. Namun sayangnya, konsep-konsep di luar Buddhisme sering kali bertentangan dan tidak selaras dengan JMB8. Oleh karena itu, dengan sangat menyesal saya harus menyatakan bahwa "selama seseorang masih menjalankan konsep yang tidak sejalan dengan perbuatan, ucapan dan pikiran di Buddhisme, maka dengan sendirinya orang itu tidak menjalankan JMB8".
Ini saya setuju. Menghafalkan & mengerti secara teoritis dan realisasinya adalah hal yang sama sekali berbeda. Ini yang sepertinya tidak akan diakui oleh sebagian besar umat Buddha kalau sebenarnya kita masih "belum tahu apa2". Saya beri contoh yang sangat sederhana. Kita tahu bahwa semua keinginan indriah tidak mengantarkan kita pada pembebasan. Semua juga tahu teorinya. Lalu, mengapa masih sibuk mencari pasangan?
Namun, apakah berarti mengejar kenikmatan indriah secara benar tidak sesuai dengan Buddhisme? Tidak juga. Hanya saja itu sebenarnya membuktikan bahwa kita sendiri belum merealisasikan apa itu "pandangan benar/kebenaran mutlak" tersebut, maka kita masih berputar-putar dalam nafsu yang fana.
Misalnya : Dalam JMB8, perhatian benar adalah salah satu poin pentingnya. Perhatian benar ini berbicara mengenai meditasi, yang erat kaitannya dengan poin berikutnya, yaitu konsentrasi benar. Bagaimana mungkin seseorang yang menjalankan konsep Non-Buddhisme untuk mencapai "tujuan" (baca : menjalankan JMB8), jika ia tidak menjalankan perhatian benar dan konsentrasi benar?
Saya telah melakukan keempat Satipatthana sebelum saya mengenal Buddhisme sama sekali. Dengan begitu saya tidak akan mengklaim menjalankan dhamma harus mengenal Buddhisme terlebih dahulu. Dan saya pun sangat-sangat ragu kalau saya hanya satu-satunya yang demikian. Seperti saya bilang, "benar" atau tidaknya jalan seseorang, bukan dari agamanya, tetapi dari kecenderungan pola pikir dan perilakunya. Menurut saya, hal itulah yang dimaksud "sedikit/banyak debu di matanya".
JMB8 adalah panduan sistematis dari Sang Buddha untuk khalayak ramai. Tentunya semua orang juga bisa menjalankan JMB8 ini, meski ia sendiri tidak menyusun sistematikanya. Seorang Pacceka Buddha mungkin saja tidak bisa menyusun panduan sistematis ini. Atau seumpamanya beliau mampu, mungkin beliau tidak mampu menjelaskannya secara detil kepada khalayak ramai. Namun pada hakikatnya, Pencerahan itu bersifat universal. Orang yang belum mencapai Pencerahan sudah tentu adalah orang yang 'tersesat'. Ketika dia mampu merealisasi kenyataan, maka ia dikatakan telah mencapai Pencerahan. Dengan kata lain, orang yang mencapai Pencerahan pada akhirnya ia telah bertindak-tanduk selaras dengan Buddhisme.
Inilah pandangan yang saya jabarkan dari kacamata Buddhisme.
Ini juga saya setuju. Seperti saya katakan, (dari sudut pandang Buddhis,) semua yang melakukan kebenaran, pasti perilakunya bersesuaian dengan JMB 8, walaupun dia sendiri tidak tahu format ajaran JMB 8 atau Buddhisme. Dan kalaupun dia bertemu dengan ajaran itu, pasti akan menyetujuinya.
Kalau menurut saya, jika mengacu pada Ajaran Sang Buddha, maka seharusnya pola pandang tentang adanya "Buddhis" dan "Non-Buddhis" itu justru akan bertambah kuat; namun tidak tepat apabila kita malah melekat dan menjadi fanatik padanya. Kenapa saya katakan justru akan bertambah kuat? Karena kita seharusnya menjadi semakin jeli tentang konsep dan perilaku dari orang lain; "apakah hal ini sesuai dengan Ajaran Sang Buddha", "apakah hal ini selaras dengan JMB8", "apakah dia berperangai sebagai seorang yang baik", dsb. Kepekaan akan berbagai perihal ini seharusnya akan tumbuh dengan sendirinya seiiring semakin kita mendalami Dhamma. Yang harus kita hindari, adalah kemelekatan dan kefanatikan akan status sebagai "Buddhis". Jadi, bukannya kepekaan untuk melihat adanya "Buddhis" dan "Non-Buddhis".
Misalnya : YA. Sariputta pasti melihat perbedaan perilaku antara seorang bhikkhu junior yang serius mendalami Dhamma dengan seorang bhikkhu junior yang kurang serius mendalami Dhamma. Terlebih lagi, membandingkan seorang siswa pengikut Sang Buddha yang baik dengan seorang siswa pengikut petapa lain.
Membandingkan seseorang dengan objektif memang tidak bertentangan dengan Buddha-dhamma. Jika orang bodoh, ketahuilah dia sebagai bodoh; jika orang bijaksana, ketahuilah dia sebagai bijaksana. Sikap ini juga membantu kita agar jangan bergaul dengan orang bodoh dan sebaliknya, mendekati orang bijaksana. Tetapi kalau mendiskriminasikan seseorang karena kepercayaannya (karena Buddhis, baru bisa mencapai nibbana) saya rasa kurang tepat.
Di sini muncul lagi mengenai nilai konsep yang ditawarkan oleh Buddhisme dengan Non-Buddhisme. Saya sungkan untuk menyatakan hal ini. Karena itu, jika ada rekan-rekan yang tersinggung, saya minta maaf sebelumnya...
Sudah saya katakan bahwa beberapa konsep antara Buddhisme dan Non-Buddhisme itu berseberangan, bahkan tidak jarang pula saling bertentangan. Karena itu, jika kita melihatnya dari kacamata Buddhisme, maka dapat kita simpulkan bahwa konsep di agama lain seringkali tidak membawa kita pada JMB8. Saya setuju dengan komentar Anda mengenai : "semua orang yang belum mencapai Pencerahan, pada dasarnya adalah sama-sama tersesat". Namun perbedaan mayornya terlihat : "bahwa Buddhisme membimbing kita untuk menyelami pemahaman benar, sehingga kita memiliki pola pandangan yang benar, untuk selanjutnya kita dapat berbuat dan berucap benar, menjalani penghidupan dengan benar, dan menumbuhkan kecenderungan untuk berdaya-upaya benar, sehingga mengkondisikan kita untuk memiliki perhatian benar yang juga ditunjang oleh konsentrasi benar". Delapan poin ini akan saling berkaitan dan menguatkan. Inilah yang ditawarkan dalam Buddhisme. Kita benar-benar diarahkan untuk masuk dengan mempraktikkan jalan ini. Dan hal ini tidak ditawarkan oleh konsep-konsep di agama lain.
Oleh karena itu, menurut saya orang Non-Buddhis yang bisa merealisasi Pencerahan adalah "para pemikir bebas" ataupun "orang Non-Buddhis yang tidak terstigma oleh konsep agamanya". Orang Non-Buddhis hanya sedikit kurang beruntung. Orang Buddhis lebih beruntung karena memiliki peta yang benar. Yang harus diwaspadai oleh seorang Buddhis adalah keakuannya (fanatisme pada Buddhisme).
Saya tidak akan menyangkal kalau saya berpendapat "Buddhis memang cenderung lebih terbuka dan tidak dogmatis". Tetapi dari pengalaman saya, minoritas di agama lain juga rata-rata begitu. Karena biasanya mereka tidak terlalu mendapatkan tempat di komunitasnya (dikucilkan sebagai setengah sesat), maka kita jarang bertemu dengan mereka. Saya beruntung telah bertemu banyak dari mereka. Karena itu, walaupun hanya 1 di antara 1 juta, saya tetap menghitung itu "ada". Demikian juga mengapa saya katakan bahwa umat lain bisa mencapai kesucian.