chingik,
Sip deh. Tapi orang akan lihat luar dulu baru ke dalam.
Jika orang memang ber-ehipassiko dengan benar, maka dia melihat dalam tanpa terbias oleh yang di luar.
... Jika tetap menggunakan cara-cara duniawi seperti yang anda katakan, maka tidak akan ada yang dapat mencapai pemadaman nafsu, karena metode penyelidikannya tidak mendukung ke arah situ.
Maksudnya ehipassiko dengan cara dunia itu adalah menunjukkan hal2 yang memang bisa dibuktikan sendiri oleh orang itu, bukan hal2 yang belom bisa ataupun belom pernah diketahui orang itu. Contoh yang sangat sederhana, mungkin seperti kita mengajar pada seorang tukang kayu, tidak perlu langsung mengajarkan 'anicca' hal2 aneh macam paticca samuppada, ataupun evolusi semesta. Mungkin bisa diajarkan bagaimana kayu pun bersifat tidak kekal, bisa lapuk. Jadi tidak dengan hal2 yang tidak bisa dimengerti, tetapi justru menyadari dhamma dalam hal2 yang dilalui sehari-hari yang tidak disadari.
Indoktrinasi bukan isu yang tabu sejauh kita berpijak pada asas penyelidikan. Ini yang dilakukan Siddharta ketika belajar dengan sejumlah pertapa.
Saya tidak pernah membaca pengajaran doktrin bagi orang2 yang belum percaya pada Buddha-Dhamma. Dalam 'berdebat' dengan aliran lain, Buddha akan 'bermain dengan aturan main' orang itu dan membuat orang itu berpikir sendiri. Saya kasih contoh:
Dengan petapa Nigrodha yang mengatakan pertapaan adalah sudah sempurna dengan kelakuan pertapa seperti bertelanjang, menjilat tangan sendiri, makan makanan tertentu, dan lain sebagainya; Buddha bertanya, apakah dengan menjalankan semua perilaku itu, sementara menyimpan sifat munafik, mudah membenci, menjadi sombong karena pujian, menjadi serakah oleh pemberian, tetap tidak menodai kehidupan pertapaannya. Dan dijawab sendiri oleh Nigrodha bahwa sesungguhnya hal2 demikian menodai kehidupan pertapa, walaupun hal2 seperti bertelanjang, menjilat tangan dsb itu dilakukan.
Kita lihat di sini sama sekali Buddha tidak menjabarkan ajarannya, tidak menilai semua dari sudut pandangnya, tetapi 'ikut dalam permainan' orang itu dan membuat orang itu menyadarinya sendiri.
Di lain kali, ketika berdiskusi dengan pertapa Nigantha yang mempunyai kebiasaan menyiksa diri dengan kepercayaan untuk menghabiskan sisa kamma buruk di masa lampau, Buddha bertanya "apakah kamu tahu kamu ada di masa lampau?", "apakah kamu sendiri tahu ini akibatnya adalah itu?", "apakah kamu sendiri tahu seberapa banyak (kamma buruk) yang sudah kamu timbun?". Dan semuanya dijawab "tidak" dan kemudian mereka sendiri yang menyadari kesalahan dan kebodohannya. Di sini juga kita lihat Buddha tidak mengajarkan 'kamma' menurut ajarannya, tidak mengenalkan doktrin 'anatta' dan 'nibbana' menurutnya, tetapi hanya mengikuti 'aturan main' para Nigantha.
Lain halnya ketika seseorang memang bertanya bagaimana ajaran Buddha Gotama. Maka memang akan dijawab dan dijabarkan panjang lebar.
Jadi dari cara2 ini, saya memang melihat tidak ada indoktrinasi sama sekali, dan tidak ada penempatan diri sebagai yang paling benar dalam suatu diskusi.