//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !  (Read 20127 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« Reply #15 on: 23 May 2008, 11:07:05 AM »
chingik,

Quote
Semuanya jika tidak dibawah bimbingan guru berpengalaman, bisa saja dia berhasil dan itu memang ada, bukan tidak ada. Tapi harus memiliki ketrampilan yang menonjol baru akan berhasil, dan tentu sangat langka orang yang memiliki ketrampilan seperti itu.

Karena hal itu 'langka', maka diabaikan? Maaf, chingik, tetapi Jika begitu, tentulah dhamma yang kamu katakan itu tidak universal. Sebab orang 'langka' itu bisa hadir di manapun, sedangkan 'silsilah' yang menurut saya sempit tersebut, hanyalah ada dalam garis keturunan tertentu.



Quote
... belajar melalui garis silsilah itu juga bukan jaminan ...
Quote
... persentasi keberhasilan tetap ada pada orang yang belajar dengan guru yang kompeten ...

Pernyataan ini tidak konsisten, kecuali kamu katakan bahwa guru yang memiliki silsilah pasti lebih kompeten. Dan jika memang kamu katakan demikian, maka pernyataan 'pembiasan penilaian ehipassiko' saya menjadi relevan.


Quote
Pola hubungan antara guru dan murid dalam pembelajaran dharma itu dibangun atas dasar rasa saling menghormati (dari sang murid) dan cinta kasih (dari sang guru). Jika fondasi ini runtuh, maka tentu tidak layak lagi disebut pembelajaran. Makanya mengapa devadatta akhirnya gagal? karena sense utk menganggap Sang Buddha sebagai guru telah hilang dalam dirinya.

Apa ada hubungannya antara interaksi guru-murid, rasa saling menghormati dan kepentingan 'silsilah'? Saya tidak melihatnya.


Quote
Maka secara alami, devadatta pun tidak sah lagi disebut mengikuti garis silsilah guru Buddha, jadi wajar saja jika dia akhirnya melenceng dari ajaran, karena fondasi pola hubungan guru/murid telah diruntuhkan oleh dirinya sendiri. Jadi tidak mungkin lagi mengatakan dia mengikuti garis silsilah, malahan dia berpaling dari situ dan belajar sendiri, alhasil sama seperti orang yang tidak mau mengikuti garis silsilah, maka kemungkinan berhasilnya menjadi kecil.

Saya beri contoh:
Anggaplah ada orang yang sama sekali tidak tahu dhamma/Buddha-Dhamma ataupun agama Buddha.
Lalu ada 10 aliran yang memiliki ajaran berbeda. Semua memiliki silsilah. Menurutmu, darimana dia tahu aliran yang ini adalah "sudah otomatis putus", dan aliran yang lain adalah "masih nyambung dengan Buddha"? Semua juga ngakunya "nyambung" dan "asli" kok.
Apakah kemudian dalam menyelidiki kebenarannya, silsilah ini masih berguna?





Offline nyanadhana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.903
  • Reputasi: 77
  • Gender: Male
  • Kebenaran melampaui batas persepsi agama...
Re: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« Reply #16 on: 23 May 2008, 11:14:11 AM »
boleh bertanya mengenai reinkarnasi para guru-guru seperti yang terkenal di Tibet, bukankah ini menjelaskan atman yang abadi? karena dikatakan bahwa setiap guru itu akan berlatih sebuah ilmu sehingga pada saat kematiannya,dia udah tahu rohnya akan lahir di keluarga mana.
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one’s own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« Reply #17 on: 23 May 2008, 11:25:56 AM »
nyanadhana,

Melatih ilmu demikian itu belum tentu merupakan kepercayaan akan 'atman' yang kekal. Sama seperti jika kita percaya bahwa tidak ada 'atman' yang kekal, namun sebelum pencapaian kesucian, kita akan terlahir kembali. Nah, bedanya adalah mereka mempunyai kemampuan untuk mengetahui ke mana tujuan mereka terlahir selanjutnya, dan untuk orang yang tidak mengembangkan kemampuan tersebut, tidak bisa tahu.

Offline Saddha_vinita05

  • Teman
  • **
  • Posts: 62
  • Reputasi: 5
  • Gender: Female
  • KeEp sMILe EvEnToUgH MAnY PEOPLe WhO HuRtS YoU....
Re: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« Reply #18 on: 23 May 2008, 11:41:52 AM »
just EHIPASSIKO!!!! Datang dan buktikan.. setiap ajaran, setiap ilmu, atau apapun yg dilihat,bibaca,didengar,... coba untuk berehipassiko... buktikan dan baik or buruk tinggal penilaian dari individu masing2... kita bisa bertanya maka kita dapat jawaban,, tapi teliti terlebih dahulu,, baru accept it...

 _/\_ ;D ;D ;D ;D
ThE HAppiEST oF PEoPLe dOn't NEcessARily HAve tHE  BeST oF Every ThiNg, TheY juSt MAke tHe MosT Of EVeRY ThiNG tHAt Comes aLOng TheIr Way

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« Reply #19 on: 23 May 2008, 03:15:00 PM »
Quote
Karena hal itu 'langka', maka diabaikan? Maaf, chingik, tetapi Jika begitu, tentulah dhamma yang kamu katakan itu tidak universal. Sebab orang 'langka' itu bisa hadir di manapun, sedangkan 'silsilah' yang menurut saya sempit tersebut, hanyalah ada dalam garis keturunan tertentu.
Saya tidak bilang diabaikan, saya cuma mengatakan ada perbedaan tingkat kemungkinan untuk berhasil dan gagal. Buktinya jaman kemunculan Buddha, orang2 memiliki kesempatan mencapai kesucian lebih tinggi dari pada jaman tidak ada Buddha, karena orang2 ini mengikuti garis silsilah ajaran Buddha secara langsung.
 

Quote
.. belajar melalui garis silsilah itu juga bukan jaminan ...
yang saya maksudkan adalah seandainya pembelajarannya tidak mengikuti secara benar.
Seandainya anda tidak mengenal agama Buddha, anda ingin ehipassiko berdasarkan apa? dimanakah pijakan anda? Itulah konteks yang saya maksudkan mengenai silsilah.

Quote
Saya beri contoh:
Anggaplah ada orang yang sama sekali tidak tahu dhamma/Buddha-Dhamma ataupun agama Buddha.
Lalu ada 10 aliran yang memiliki ajaran berbeda. Semua memiliki silsilah. Menurutmu, darimana dia tahu aliran yang ini adalah "sudah otomatis putus", dan aliran yang lain adalah "masih nyambung dengan Buddha"? Semua juga ngakunya "nyambung" dan "asli" kok.
Apakah kemudian dalam menyelidiki kebenarannya, silsilah ini masih berguna?

Mungkin interpretasi kita tentang silsilah itu tidak sama. Bagi saya, silsilah itu bukan semata-mata garis otentik dari guru ke murid secara langsung. Misalnya dari guru Buddha, lalu Ananda, lalu murid Ananda, dst...hingga suatu saat garis ini putus, maka tidak ada silsilah ini lagi. Ini adalah konteks kronologisnya, tetapi bila kita mengikuti ajarannya, maka secara tersirat kita tetap mengikuti dan menyambung kembali garis silsilahnya. Contohnya Buddha Gotama disebut mengikuti garis silsilah para Buddha masa lalu, (makanya kitab Buddhavamsa disebut Silsilah para Buddha), padahal kan tidak dibimbing Buddha masa lalu.   

Mengenai begitu banyaknya pilihan aliran, secara turun temurun dharma itu mungkin  bisa terdistorsi di dalam garis aliran itu-kita juga tidak bisa menjudge. Jadi saya setuju juga bahwa kita harus menilai dengan kebijaksanaan dan tentu ini sangat diperlukan.
Bila memiliki timbunan karma baik yang banyak, syukur2 bisa mengikuti garis silsilah yang benar. Tetapi secara umum 3 aliran besar seperti Thera, Maha dan Tantra memiliki posisi yang sejajar.
Silahkan memilih dengan kebijakan masing masing.







Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« Reply #20 on: 23 May 2008, 03:47:53 PM »
chingik,

Quote
Buktinya jaman kemunculan Buddha, orang2 memiliki kesempatan mencapai kesucian lebih tinggi dari pada jaman tidak ada Buddha, karena orang2 ini mengikuti garis silsilah ajaran Buddha secara langsung.

Bedanya, dulu emang ada Buddhanya, dan bisa dicari langsung dan di-interview. Kalo sekarang, 'kan Buddhanya udah ga ada, dan yang jadi masalah, muncul ajaran yang macem2 ragamnya, yang masing2 klaim sebagai ajaran 'asli' dan punya silsilah. Jadi keadaannya tentu berbeda, sama sekali tidak bisa disamakan.



Quote
yang saya maksudkan adalah seandainya pembelajarannya tidak mengikuti secara benar.
Seandainya anda tidak mengenal agama Buddha, anda ingin ehipassiko berdasarkan apa? dimanakah pijakan anda? Itulah konteks yang saya maksudkan mengenai silsilah.

Memangnya umat Buddha dan orang non-Buddhis ber-ehipassiko dengan cara berbeda?
Apa yang dimaksud dengan 'pijakan'? Apakah semua orang harus menyamakan 'pijakan'-nya sebelum berehipassiko?



Quote
Mungkin interpretasi kita tentang silsilah itu tidak sama. Bagi saya, silsilah itu bukan semata-mata garis otentik dari guru ke murid secara langsung. Misalnya dari guru Buddha, lalu Ananda, lalu murid Ananda, dst...hingga suatu saat garis ini putus, maka tidak ada silsilah ini lagi. Ini adalah konteks kronologisnya, tetapi bila kita mengikuti ajarannya, maka secara tersirat kita tetap mengikuti dan menyambung kembali garis silsilahnya.

Sekali lagi, bagaimana cara mengetahui 'ajaran' mana yang benar?
Kalo emang sudah tahu yang mana ajaran yang benar, tentu gampang dicari silsilahnya.
Berbeda dengan mengetahui silsilah lalu mengerti ajaran yang benar. Oleh karena itulah saya katakan silsilah tidak penting.





Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« Reply #21 on: 23 May 2008, 04:29:26 PM »
Quote
Bedanya, dulu emang ada Buddhanya, dan bisa dicari langsung dan di-interview. Kalo sekarang, 'kan Buddhanya udah ga ada, dan yang jadi masalah, muncul ajaran yang macem2 ragamnya, yang masing2 klaim sebagai ajaran 'asli' dan punya silsilah. Jadi keadaannya tentu berbeda, sama sekali tidak bisa disamakan.
Makanya saya katakan bahwa perlu memiliki kebijaksanaan juga dalam memilih.

Quote
Memangnya umat Buddha dan orang non-Buddhis ber-ehipassiko dengan cara berbeda?
Apa yang dimaksud dengan 'pijakan'? Apakah semua orang harus menyamakan 'pijakan'-nya sebelum berehipassiko?
Menurut saya cukup berbeda. Seorang umat Buddha setelah mempelajari dhamma, dia akan berehipassiko berdasarkan petunjuk dhamma. Ehipassiko tentu ada cara2nya. Umat Buddha berepassiko melalui tiga pelatihan Sila, Samadhi, dan Panna.
Dalam samadhi, umat Buddha menggunakan samatha dan vipassana. Melalui langkah2 seperti itulah umat Buddha berehipassiko utk membuktikan secara langsung kebenaran dhamma.

Jika seseorang tidak pernah mengenal ajaran Buddha, maka dia tentu akan berehipassiko dengan seribu satu cara seperti meraba-raba dalam samudera, seperti para pertapa ekstrim, para penganut theisme, dll. Jadi Bagaimana bisa dikatakan memiliki pijakan yang sama?

Quote
Sekali lagi, bagaimana cara mengetahui 'ajaran' mana yang benar?
Kalo emang sudah tahu yang mana ajaran yang benar, tentu gampang dicari silsilahnya.
Berbeda dengan mengetahui silsilah lalu mengerti ajaran yang benar. Oleh karena itulah saya katakan silsilah tidak penting.
Sejauh ini, patokan kita hanya Tipitaka/tripitaka. Jika guru bersangkutan tidak melenceng dari Tipitika/tripitaka maka layak kita berguru padanya. Maka kita boleh menganggap guru berada pada silsilah yang benar. Penting atau tidak tentang silsilah itu kan tergantung kemampuan kita masing2. Jika kita merasa tidak mampu belajar sendiri, maka belajar dibawah asuhan guru adalah penting. Apakah guru itu berasal dari garis silsilah yang sah? Patokan penilaiannya adalah sikap dan perilaku guru itu apakah sesuai dengan dhamma dan vinaya. Sejauh guru bersangkutan tidak melenceng, maka boleh disebut telah mengikuti garis silsilah yang benar.
Lalu bila merasa diri sendiri mampu, maka silsilah otomatis tidak penting.

   
 


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« Reply #22 on: 23 May 2008, 04:53:50 PM »
chingik,

Quote
Makanya saya katakan bahwa perlu memiliki kebijaksanaan juga dalam memilih.
Makanya saya katakan ga perlu silsilah dalam memilih.  ;D


Quote
Menurut saya cukup berbeda. Seorang umat Buddha setelah mempelajari dhamma, dia akan berehipassiko berdasarkan petunjuk dhamma. Ehipassiko tentu ada cara2nya. Umat Buddha berepassiko melalui tiga pelatihan Sila, Samadhi, dan Panna.
Dalam samadhi, umat Buddha menggunakan samatha dan vipassana. Melalui langkah2 seperti itulah umat Buddha berehipassiko utk membuktikan secara langsung kebenaran dhamma.

Jika seseorang tidak pernah mengenal ajaran Buddha, maka dia tentu akan berehipassiko dengan seribu satu cara seperti meraba-raba dalam samudera, seperti para pertapa ekstrim, para penganut theisme, dll. Jadi Bagaimana bisa dikatakan memiliki pijakan yang sama?
Kalo begitu kita tidak bisa sepaham dalam hal ini. Saya menganggap 'ehipassiko' adalah bisa diterapkan dalam hidup, bisa dibuktikan oleh semua orang dan tidak berdasarkan 'doktrin' apapun termasuk sila-samadhi-panna. Jika harus mengikuti pola pikir tertentu baru bisa membuktikan, menurut saya adalah "indoktrinasi", dan ajaran seperti itu tidak perlu dicari, tetapi akan mencari kita.


Quote
Sejauh ini, patokan kita hanya Tipitaka/tripitaka. Jika guru bersangkutan tidak melenceng dari Tipitika/tripitaka maka layak kita berguru padanya. Maka kita boleh menganggap guru berada pada silsilah yang benar. Penting atau tidak tentang silsilah itu kan tergantung kemampuan kita masing2. Jika kita merasa tidak mampu belajar sendiri, maka belajar dibawah asuhan guru adalah penting. Apakah guru itu berasal dari garis silsilah yang sah? Patokan penilaiannya adalah sikap dan perilaku guru itu apakah sesuai dengan dhamma dan vinaya. Sejauh guru bersangkutan tidak melenceng, maka boleh disebut telah mengikuti garis silsilah yang benar.
Lalu bila merasa diri sendiri mampu, maka silsilah otomatis tidak penting.

Hal ini juga saya tidak setuju. Ini juga sama seperti ajaran lain yang menggantungkan hidup dan matinya demi tulisan2 yang dianggap sebagai paling benar.

Dan kembali lagi, boleh dilihat perilaku, boleh dilihat kebijaksanaannya, juga boleh dilihat kemampuannya. Tetapi kualitas guru sama sekali tidak tergantung pada silsilahnya. Silsilah yang benar tidak menjamin kebenaran dari guru itu. Sedangkan jika perilaku dan kebijaksanaannya baik, maka silsilah menjadi tidak ada artinya.






Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« Reply #23 on: 23 May 2008, 06:12:09 PM »
Quote
Makanya saya katakan ga perlu silsilah dalam memilih. 
Saya juga tidak katakan mutlak perlu, jika saya katakan mutlak perlu maka saya telah mengabaikan orang yang berjalan sendiri sendiri. Tapi saya tidak mengabaikan orang2 seprti itu juga bukan? :)

Quote
Kalo begitu kita tidak bisa sepaham dalam hal ini. Saya menganggap 'ehipassiko' adalah bisa diterapkan dalam hidup, bisa dibuktikan oleh semua orang dan tidak berdasarkan 'doktrin' apapun termasuk sila-samadhi-panna. Jika harus mengikuti pola pikir tertentu baru bisa membuktikan, menurut saya adalah "indoktrinasi", dan ajaran seperti itu tidak perlu dicari, tetapi akan mencari kita.
Kalau begitu untuk apa para Thera mengadakan konsili? Untuk apa Buddha mengajarkan dhamma, untuk apa dhamma diperkenalkan di mana-mana, ceramah dilakukan di mana-mana, toh semua orang seperti kita2 juga bisa berehipassiko. Saya tidak katakan bahwa ehipassiko tidak bisa dilakukan orang2 lain, tetapi ketika mereka belum menemukan hakikat hidup yang sesungguhnya, bagaimana mereka bisa berehipassiko, dan itulah sebabnya mengapa ajaran Buddha sangat perlu dilestarikan, kecuali mereka punya potensi meraih pacceka bodhi itu sudah lain cerita. Yang disebut doktrin hanya ada dalam konteks tataran orang yang baru belajar. Seorang praktisi yang sudah memasuki level tertentu tidak perlu merasa doktrin atau indokrinasi itu adalah sebuah keburukan, karena memang ada tahap2 yang perlu dilalui selama mencari kebenaran.

Quote
Hal ini juga saya tidak setuju. Ini juga sama seperti ajaran lain yang menggantungkan hidup dan matinya demi tulisan2 yang dianggap sebagai paling benar.

Dan kembali lagi, boleh dilihat perilaku, boleh dilihat kebijaksanaannya, juga boleh dilihat kemampuannya. Tetapi kualitas guru sama sekali tidak tergantung pada silsilahnya. Silsilah yang benar tidak menjamin kebenaran dari guru itu. Sedangkan jika perilaku dan kebijaksanaannya baik, maka silsilah menjadi tidak ada artinya.
Bukan menggantungkan hidup dan matinya demi tulisan2. Tapi sebagai tuntunan, dan tentu harus diselidiki dengan kepala dingin juga. Kita sudah disuguhi Kalama Sutta, maka kita tentu memahami apa yang perlu kita lakukan selanjutnya. Tampaknya para praktisi sejati awal2nya memang melekat pada tulisan2 itu, tapi bila memasuki level tertentu semua ini tentu harus dibuang jauh2.  Ini kan sebuah proses pembelajaran. Awalnya anda juga memahami kebenaran dhamma dari buku2 atau wejangan lisan juga bukan? Dan para guru2 terdahulu juga demikian.





Offline SandalJepit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 425
  • Reputasi: 3
Re: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« Reply #24 on: 23 May 2008, 08:24:56 PM »
maybe someone bisa bantu saya untuk menentukan siapa yang memegang silsilah asli dari kedua orang ini.... terus terang saya makin baca makin bingung dan ruwet...

http://en.wikipedia.org/wiki/Karmapa_controversy


The recognition of the 17th Karmapa has been the subject of controversy.[1] Since the death of the 16th Karmapa in 1981 two candidates have been put forward:

    * Ogyen Trinley Dorje (also spelled Urgyen Trinley Dorje)
    * Trinley Thaye Dorje

Both have already been enthroned as 17th Karmapa, and both independently have been performing ceremonial duties in the role of a Karmapa. They have not met. The situation has led to deep division among Kagyu followers all over the world. As one academic expert in the field testified in court, while the recognition of Urgyen Trinley "appears to have been accepted by a majority of Karma Kagyu monasteries and lamas, there remains a substantial minority of monasteries and lamas who have not accepted Urgyen Trinley as Karmapa. In particular, these include the Shamar Rinpoche, who historically has been the person most directly involved in the process of recognition."[2] It is difficult to produce an objective description of the events because the most important developments are known only from conflicting accounts by those involved.

The Karmapa lineage is the most ancient tulku lineage in Tibetan Buddhism, pre-dating the Dalai Lama lineage by more than two centuries. The lineage is an important one as the Karmapa is traditionally the head of the Karma Kagyu school, one of the four main schools of Tibetan Buddhism.


Offline SandalJepit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 425
  • Reputasi: 3
Re: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« Reply #25 on: 23 May 2008, 08:25:47 PM »
gw sendiri sampai hari ini tidak mengerti apa yang dimaksud dengan silsilah asli atau palsu. ?

Offline SandalJepit

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 425
  • Reputasi: 3
Re: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« Reply #26 on: 23 May 2008, 08:37:29 PM »
kalau menurut prediksi saya, suatu saat salah satu kandidat yang berhasil mendapatkan dukungan paling banyak dari dua orang inilah yang akan dianggap silsilah asli, sedangkan sisanya mendapat gelar "silsilah palsu" .

kasus perebutan silsilah ini hanyalah sebuah contoh kecil, maybe kalau rekan-rekan sudah sering masuk ke forum antar agama, kondisi ini sudah sering kali terjadi di agama manapun....  saya harap semoga rekan-rekan sedharma disini, dapat menyelami dengan penuh makna apa yang terkandung di kalama sutta.


Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« Reply #27 on: 24 May 2008, 10:07:41 AM »
chingik,


Quote
Saya juga tidak katakan mutlak perlu,

Kalo penampilan baik, perlu atau tidak?
Kalo fasilitas bagus, perlu atau tidak?
Kalo nama besar, perlu atau tidak?




Quote
Kalau begitu untuk apa para Thera mengadakan konsili? Untuk apa Buddha mengajarkan dhamma, untuk apa dhamma diperkenalkan di mana-mana, ceramah dilakukan di mana-mana, toh semua orang seperti kita2 juga bisa berehipassiko.

Saya rasa pengertian ehipassiko kita juga berbeda. Saya percaya 'ehipassiko' itu maksudnya bagi orang yang mo belajar silahkan datang dan buktikan, bukan membuktikan 'dengan cara buddhis'. Itu namanya indoktrinasi. Ibarat membuktikan dukkha, tetapi harus 'dengan cara buddhis, yaitu percaya kamma'. Hal begitu bukanlah 'ehipassiko'. Seperti saya katakan, di mana2 juga banyak, seperti 'buktikan kebesaran Tuhan', tetapi sudah dengan asumsi Tuhan itu ada, maka orang yang 'tidak percaya Tuhan' sudah tidak mungkin 'ehipassiko' di sana, kecuali dia memegang 'doktrin adanya Tuhan' tersebut.



Quote
Yang disebut doktrin hanya ada dalam konteks tataran orang yang baru belajar. Seorang praktisi yang sudah memasuki level tertentu tidak perlu merasa doktrin atau indokrinasi itu adalah sebuah keburukan, karena memang ada tahap2 yang perlu dilalui selama mencari kebenaran.

Menurut pendapat saya, 'ehipassiko' tidak terbatas pada orang baru belajar ataupun level. Dalam Dhamma, anak SD BISA ber-ehipassiko dalam jangkauan anak SD, dan mahasiswa BISA ber-ehipassiko dalam jangkauan mahasiswa. Itulah mengapa murid Buddha Gotama dari kasta Ksatria sampai kasta terbuang semua bisa mencapai kesucian; dari Brahmana sangat terpelajar, sampai pada pengemis tak berpendidikan bisa merealisasikan kebenaran.



Quote
Bukan menggantungkan hidup dan matinya demi tulisan2. Tapi sebagai tuntunan, dan tentu harus diselidiki dengan kepala dingin juga. Kita sudah disuguhi Kalama Sutta, maka kita tentu memahami apa yang perlu kita lakukan selanjutnya. Tampaknya para praktisi sejati awal2nya memang melekat pada tulisan2 itu, tapi bila memasuki level tertentu semua ini tentu harus dibuang jauh2.  Ini kan sebuah proses pembelajaran. Awalnya anda juga memahami kebenaran dhamma dari buku2 atau wejangan lisan juga bukan? Dan para guru2 terdahulu juga demikian.

Menurut saya, seharusnya kebenaran dibuktikan dahulu, baru dijalani. Jika tidak, maka itu namanya fanatik. Saya memang mengenal yang namanya dhamma dari buku dan bukan dari satu agama saja, tetapi saya tidak/belum menerima itu sebagai kebenaran sampai saya buktikan sendiri. Yang saya baca, hanya dijadikan pengetahuan saja, bukan sumber acuan hidup.



Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« Reply #28 on: 24 May 2008, 01:31:18 PM »
Quote
Kalo penampilan baik, perlu atau tidak?
Kalo fasilitas bagus, perlu atau tidak?
Kalo nama besar, perlu atau tidak?
hehe..masak sih perlu?

Quote
Saya rasa pengertian ehipassiko kita juga berbeda. Saya percaya 'ehipassiko' itu maksudnya bagi orang yang mo belajar silahkan datang dan buktikan, bukan membuktikan 'dengan cara buddhis'. Itu namanya indoktrinasi. Ibarat membuktikan dukkha, tetapi harus 'dengan cara buddhis, yaitu percaya kamma'. Hal begitu bukanlah 'ehipassiko'.
Kalau terlalu melekat pada buddhis secara konseptual tentu akan menganggap pembuktian ala buddhis itu adalah indoktrinasi. Tapi jika kita memahami prinsip2 Buddhist sebenarnya adalah tentang prinsip2 universal, maka kita tidak akan dikacaukan oleh sebutan indoktrinasi atau bukan. Membuktikan dukkha dengan cara buddhis, saya tidak katakan harus percaya dengan kamma, dan dalam Buddhis sendiri toh kan sudah menjelaskan bahwa kita juga harus menyelidiki hakikat kebenaran kamma, bukan sekedar percaya. Jadi asumsi 'harus percaya dengan kamma' itu terlalu dipaksakan untuk penyanggahan masalah ini.
Ehipassiko (datang dan buktikan) tentu memiliki cara2 dan langkah2 yang tepat baru disebut ehipassiko.  Jika tidak maka mereka akan berehipassiko ala hukum rimba, ala materialistis, dll., Akibatnya ada yang mengatakan bahwa dukkha itu adalah pandangan pesimis, bahkan ada saja orang yang tidak merasa atau tidak menyadari kehidupan ini adalah dukkha.
Menggunakan langkah2 ajaran Buddha utk berehipassiko itu tidak dapat disebut indoktrinasi, karena Buddha telah menjelaskannya dalam Kalama Sutta, jadi untuk apa merasa takut dicap indoktrinasi, yang penting kita menyadari bahwa Buddha telah mengajarkan kita utk menganggap ajarannya sebagai rakit, dari fondasi ini kita tentu dituntun pada pandangan yang benar, dan dari situ juga kita tahu bagaimana berehipassiko. secara tepat sasaran.


Quote
Seperti saya katakan, di mana2 juga banyak, seperti 'buktikan kebesaran Tuhan', tetapi sudah dengan asumsi Tuhan itu ada, maka orang yang 'tidak percaya Tuhan' sudah tidak mungkin 'ehipassiko' di sana, kecuali dia memegang 'doktrin adanya Tuhan' tersebut.
JIka mengasumsikan Tuhan itu ada tentu tidak perlu pembuktian. Toh mindsetnya telah mensahkan ada sosok Tuhan.
Pendekatan Buddhis tentu tidak seperti itu, dan ehipassiko yang benar dalam buddhis itu adalah suatu sistem penyelidikan yang menggunakan cara2 yang tepat seperti diantaranya adlah samatha dan vipassana. Apakah samatha dan vipassana lantas disebut indoktrinasi?
Ya jika melekatinya secara konseptual, tapi jika menyelaminya secara langsung baru menyadari efektifitasnya. Sedangkan ehipassiko ala duniawi itu tetap tidak membawa jalan menuju pembebasan. Dan kebanyakan orang menggunakan ehipassiko ala duniawi. Apa yang disebut ala duniawi, mereka menyelidiki kebenaran berdasarkan persepsi2 yang diterima dari indera mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, pikiran, kemudian melekatinya erat2 dan mengira bahwa inilah cara penyelidikan yang tepat.

Quote
Menurut saya, seharusnya kebenaran dibuktikan dahulu, baru dijalani. Jika tidak, maka itu namanya fanatik. Saya memang mengenal yang namanya dhamma dari buku dan bukan dari satu agama saja, tetapi saya tidak/belum menerima itu sebagai kebenaran sampai saya buktikan sendiri. Yang saya baca, hanya dijadikan pengetahuan saja, bukan sumber acuan hidup.
Memang demikian dalam prinsip Buddhisme. Saya tidak menampiknya kok. :)



 

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: HATI-HATI belajar Dhamma : Silsilah palsu !
« Reply #29 on: 24 May 2008, 02:20:05 PM »
chingik,

Quote
Quote
Kalo penampilan baik, perlu atau tidak?
Kalo fasilitas bagus, perlu atau tidak?
Kalo nama besar, perlu atau tidak?
hehe..masak sih perlu?

Kalo penampilan seperti garong, siapa yang minat belajar?
Kalo ada fasilitas bagus, 'kan lebih memudahkan untuk belajar/mengajar. Kalo di gunung 'kan susah.
Kalo ada nama besar, 'kan kredibilitasnya terjamin seperti tidak komersil, tidak demi kepentingan politik, 'kan lebih bona fide  ;D

Saya katakan perlu, tapi tidak mutlak perlu. Sama seperti kamu katakan silsilah perlu, tetapi tidak mutlak perlu. Tetapi dalam pandangan saya, yang tidak mutlak perlu ini tidak perlu diikutsertakan dalam melihat ajaran secara objektif. Bukannya yang tampang garong pasti garong, kadang tampang deva juga bisa garong. Bukan juga fasilitas banyak menjamin kita lebih cepat berkembang dalam belajar. Nama besar pun bukan berarti apa2, belum tentu nama besar hanyalah omong besar. Demikian juga silsilah, yang menurut saya tidak menjamin kebenaran ajaran.  :)


Quote
Membuktikan dukkha dengan cara buddhis, saya tidak katakan harus percaya dengan kamma, dan dalam Buddhis sendiri toh kan sudah menjelaskan bahwa kita juga harus menyelidiki hakikat kebenaran kamma, bukan sekedar percaya. Jadi asumsi 'harus percaya dengan kamma' itu terlalu dipaksakan untuk penyanggahan masalah ini.

Ini tentu hanya contoh ekstrim bahwa 'ehipassiko' itu seharusnya sama bagi semua orang, tanpa 'indoktrinasi kepercayaan', jangan dianggap kenyataan.

Quote
Dan kebanyakan orang menggunakan ehipassiko ala duniawi. Apa yang disebut ala duniawi, mereka menyelidiki kebenaran berdasarkan persepsi2 yang diterima dari indera mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, pikiran, kemudian melekatinya erat2 dan mengira bahwa inilah cara penyelidikan yang tepat.

Wah, saya juga kok ber-ehipassiko dengan cara itu. Emangnya ada dengan cara 'luar dunia'??  ;D 



Quote
Apakah samatha dan vipassana lantas disebut indoktrinasi
Ya, itu adalah indoktrinasi ketika dikatakan pada orang yang belum mengenal dukkha dan sebabnya. Vipassana rasanya merupakan "jalan lenyapnya dukkha". Kalo orang tidak percaya akan kebenaran "dukkha", maka anda katakan, "Vipassana dulu baru ehipassiko lenyapnya dukkha", adalah indoktrinasi.
Sama saja saya katakan "31 alam itu PASTI ADA!! Tapi untuk ehipassiko, kamu harus mencapai jhana dan mengembangkan mata dewa dulu!".
Pernyataan seperti ini, tidaklah universal. Seperti saya katakan, saya seringkali bertemu dengan ajaran yang lucu2, lalu dikatakan kalo mo ngerti, harus ikut mereka dulu. Secara kasar saya katakan, "itu sama saja saya menjanjikan sorga, tapi kamu harus nge-ganja dulu! nanti liat sorga deh"  ;D ;D ;D 

Kembali lagi saya katakan, jika bertemu dengan "anak SD", maka harus disesuaikan dengan cara "anak SD" ber-ehipassiko. Tidak ada gunanya memberi ajaran hebat2 yang tidak bisa dibuktikan oleh "anak SD" itu, jika dia tidak percaya, dia akan menganggap kamu berbohong, jika dia percaya, maka akan membuatnya fanatik tanpa dasar. Dengan alasan itu juga dhamma harus diajarkan secara bertahap.