Saya quote: "Betulkan Buddhist itu tidak mungkin fanatik?"
Jika kita mendiskusikan secara leterlek; "Buddhis" = umat Buddha, alias manusia. "Mungkin" = bisa iya & bisa tidak (selalu memiliki nilai probabilitas) ~ jadi, "tidak mungkin" = TIDAK bisa iya & bisa tidak...
Entahlah, kiranya lebih tepat gak jika dibalik menjadi: 'mungkin tidak' yang artinya kemungkinan besarnya tidak.
Nah, jika berbicara tentang sosok individual dengan segala potensinya; tidak peduli apa latar belakang agama, gender, dll. Selama bathin masih belum terbebas dari kekotorannya, maka potensi utk menjadi fanatik masih sangat besar sekali.
Saddha atau keyakinan itu sendiri pun memiliki tingkatannya masing²: sejauh/sedalam apa pengertiannya, secara konseptual atau praktikal, apakah dilandasi dengan kebijaksanaan, apakah sudah terbiasa dilatih, dll... Yang pernah saya dengar & baca, saddha merupakan salah satu dari Pancabala ~ yang di dalam praktik meditasi perlu perimbangan dengan kebijaksanaan sehingga menjadi optimum dalam praktik meditasi itu sendiri.
Nampaknya hal ini juga sangat aplikatif dalam keseharian kita; saddha yang kurang optimum karena tidak disertai dengan panna, inilah yang kemudian disebut dengan fanatik.
Idealnya, saddha diharapkan muncul dari suatu perenungan akan suatu ajaran (misalnya berdana), kemudian karena tune-in dengan prinsip berdana itu, maka diarahkan ke dalam bentuk perbuatan nyata. Ketika itu dilakukan dan menerima manfaat sesuai dengan yang diajarkan, maka muncullah keyakinan akan ajaran tersebut, itulah saddha. Mirip pasien yang berobat ke dokter, setelah diperiksa, diberikan pengobatan, menjalankan nasihat dokter, kemudian mengalami kesembuhan; si pasien menjadi yakin akan keterampilan pengobatan di dokter.
Dari berbagai tingkatan saddha, manakah yang paling rentan mengkondisikan timbulnya kefanatikan? Kalau kita perhatikan dalam bathin masing², kayanya keyakinan konseptuallah yang paling berpotensi menimbulkan kefanatikan atau kesombongan, yah? Setidaknya ini yang pernah saya alami sendiri ~ bahkan potensi itu masih kuat hingga detik ini.
Yah, bahkan praktikal pun masih berpotensi untuk menimbulkan kefanatikan dan kesombongan. Apakah kita pernah bersinggungan dengan sosok yang aktiv di Buddhis, kedermawanan yang menonjol, suka mengajak pihak lain berdana. Namun ketika "disentil" dengan penolakan berdana oleh pihak yang diajak, plus omongan: "Ngapain juga dana utk vihara, kan sudah banyak ~ ke dunia pendidikan dong..."
Nah, yang ngajak berdana ini bisa seketika juga naik pitam lho... Perdebatan sengit pun memasuki babak baru. Yah begitu lah, ketika berdana maupun mengajak pihak lain berdana, kualitas bathin saat itu memang bersekutu dengan saddha & metta. Namun kala ada ungkapan yang menkondisikan munculnya hal yang tidak berkenan dengan kebiasaan baik yang sudah rutin dilakukan, ego-nya tersinggung berat sekali...
Di atas saya singgung "apakah sudah biasa terlatih?" ~ karena, perbuatan baik, pun, jika dilekati maka akan menimbulkan penderitaan juga. Selama berbuat baik dan tidak ada tantangan negativ dari kondisi luar; maka selama itu juga kefanatikan & kesombongan belum menemukan obyek rivalnya yang riil. Ketika kondisinya pas dan muncul, maka itulah ujian sesungguhnya: apakah kita fanatik akan keyakinan berbuat baik kita? Apakah kita sombong atau tidak dengan keyakinan berbuat baik kita?
Ehipassiko identikal dengan pengembangan kualitas bathin ~ kualitas bathin yang idealnya akan terbebas dari kefanatikan dan kesombongan (yang berakhir kepada perealisasian kesempurnaan bathin). Ehipassiko akan Buddha Dhamma ~ yang di dalam konteksnya sendiri juga menyatakan bahwa kefanatikan & kesombongan masih berpotensi besar sebelum akar penderitaan tercabut tuntas. Bahwa dalam proses menerapkan ehipassiko itu sendiri, bathin ini masih sangat rentan untuk menjadi fanatik dan sombong juga.
Meyakini prinsip Ehipassiko dan Kalama Sutta sendiri, tidak sekoyong² menjadikan kita sosok yang terbebas dari kefanatikan dan kesombongan ~ justru dengan kurangnya pemahaman komprehensif serta kurangnya mutual-sharing seperti media komunitas seperti Forum Dhammacitta ini. Seseorang akan sangat (malah) rentan terpelosok dalam kefanatikan & kesombongan. Makanya, kita perlu saling A³ (asah, asih, & asuh) ~ saling mengingatkan lah, karena kita semua (khususnya saya pribadi) masih sangat rentan akan hal tersebut.
Contoh paling sederhana adalah: ketika kita sharing tentang betapa scientificnya Kalama Sutta atau prinsip Ehipassiko yang menjadi salah satu karakteristik utama dari Buddha Dhamma ~ kepada seseorang non-Buddhis. Kemudian orang tersebut respon: "Ah... itu mah pandai²nya suhu/sesepuh pendahulumu saja yang bikin retorika begitu, supaya kelihatan Agama Buddha gak kuno kan? Itu mah marketing murahan..."
Setenang apakah bathin kita sesaat setelah ungkapan itu diujarkan? Real time, menentukan apakah kita fanatik/sombong atau tidak dengan pernyataan yang kita share kepada dia. Kita mungkin bisa tenang kemudian, dan tahapan berikutnya bisa sangat fluktuatif ~ demikianlah bathin kita dilatih saat itu.
Ketidaksombongan dan ketikakfanatikan tidak perlu ditunggu hingga akar penderitaan kita padam total. Karena padam totalnya akar penderitaan itu justru bisa terealisasi dari cicilan² penempaan bathin kita. Yakni ketika ada obyek yang mengondisikan kefanatikan & kesombongan muncul, bisa kita atasi (bahkan jika sudah telat sekalipun)... Sikit-sikit, lamo-lamo jadi bukit...
Nah... jika kita sebagai Buddhis 'berasumsi' bahwa Kalama Sutta plus Ehipassiko (prinsipnya) bisa membebaskan kita dari kefanatikan & paling ilmiah dari agama lain... Meminjam ungkatapan sakti dari "pemilik" Cakkavala Dhammacita yang kita cintai ini: SATI-lah, karena saat itu pula sudah ditanamkan enerji potensiil untuk munculnya kefanatikan & kesombongan itu sendiri menjadi lebih rentan.
Anyway, by the way, & bus way... semua tulisan ini sekadar kutip² dari rekan lain, serta teori² "semata" ~ kenyataannya, praktiknya masih sangat sulit. Untuk itu, dengan rendah hati saya juga memohon kesediaan rekan Kalyana-Mitta lainnya untuk saling sharing, serta mengingatkan saya juga. Mari kita melatih secara mandiri di dalam kebersamaan ini; saling A³ (asah, asih, & asuh)...
Semoga berkenan...
[attachment deleted by admin]