//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, Bagian III (Lima puluh khotbah terakhir)  (Read 37249 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
137 Salayatanavibhanga Sutta
« Reply #45 on: 17 October 2010, 02:22:12 PM »
137  Saḷāyatanavibhanga Sutta
Penjelasan tentang Enam Landasan




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian suatu penjelasan tentang enam landasan. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: [216]

3. “Enam landasan internal harus dipahami. Enam landasan eksternal harus dipahami. Enam kelompok kesadaran harus dipahami. Delapan belas jenis eksplorasi pikiran harus dipahami. Tiga puluh enam posisi makhluk-makhluk harus dipahami. Di sana, dengan bergantung pada ini, tinggalkanlah itu. Ada tiga landasan perhatian yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Seorang Mulia menjadi seorang guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok. Di antara guru-guru yang memberikan latihan adalah Beliau yang disebut pemimpin yang tiada bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan. Ini adalah ringkasan dari penjelasan tentang enam landasan.

4. “’Enam landasan internal harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan-mata, landasan-telinga, landasan-hidung, landasan-lidah, landasan-badan, dan landasan-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Enam landasan internal harus dipahami.’

5. “’Enam landasan eksternal harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan-bentuk, landasan-suara, landasan-bau, landasan-rasa kecapan, landasan-obyek sentuhan, dan landasan- obyek pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Enam landasan eksternal harus dipahami.’

6. “Enam kelompok kesadaran harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, dan kesadaran-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Enam kelompok kesadaran harus dipahami.’

7. “Enam kelompok kontak harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada kontak-mata, kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-lidah, kontak-badan, dan kontak-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Enam kelompok kontak harus dipahami.’

8. “’Delapan belas jenis eksplorasi pikiran harus dipahami.’  Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, seseorang mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kesedihan, ia mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan keseimbangan.  Ketika mendengar suatu suara dengan telinga ... Ketika mencium suatu bau dengan hidung ... Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah ... [217] Ketika menyentuh suatu obyek-sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali suatu obyek-pikiran dengan pikiran, seseorang mengeksplorasi obyek-pikiran yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi obyek-pikiran yang menghasilkan kesedihan, ia mengeksplorasi obyek-pikiran yang menghasilkan keseimbangan. Demikianlah ada enam jenis eksplorasi dengan kegembiraan, enam jenis eksplorasi dengan kesedihan, dan enam jenis eksplorasi dengan keseimbangan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Delapan belas jenis eksplorasi pikiran harus dipahami.’

9. “’Tiga puluh enam posisi makhluk-makhluk harus dipahami.’  Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada enam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga dan enam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.  Ada enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga dan enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Ada enam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga dan enam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

10. “Di sini, apakah enam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga? Ketika seseorang menganggap sebagai keuntungan atas suatu perolehan akan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, memuaskan, dan berhubungan dengan keduniawian – atau ketika ia ingat apa yang sebelumnya telah diperoleh yang telah berlalu, telah lenyap, dan telah berubah – kegembiraan muncul. Kegembiraan demikian disebut kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

“Ketika seseorang menganggap sebagai keuntungan atas suatu perolehan akan suara-suara yang dikenali oleh telinga … perolehan akan bau-bauan yang dikenali oleh hidung … perolehan akan rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … perolehan akan obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan … perolehan akan obyek-obyek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, memuaskan, dan berhubungan dengan keduniawian – atau ketika ia ingat apa yang sebelumnya telah diperoleh yang telah berlalu, telah lenyap, dan telah berubah – kegembiraan muncul. Kegembiraan demikian disebut kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Ini adalah enam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

11. “Di sini, apakah enam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian? Ketika, dengan mengetahui ketidak-kekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya bentuk-bentuk, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa bentuk-bentuk baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, kegembiraan muncul. Kegembiraan demikian adalah kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

“Ketika, dengan mengetahui ketidak-kekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya suara-suara … bau-bauan … rasa kecapan … obyek-obyek sentuhan … [218] obyek-obyek pikiran, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa obyek-obyek pikiran baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, kegembiraan muncul. Kegembiraan demikian adalah kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

12. “Di sini, apakah enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga? Ketika seseorang menganggap sebagai bukan keuntungan atas suatu bukan perolehan akan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, memuaskan, dan berhubungan dengan keduniawian – atau ketika ia ingat apa yang sebelumnya tidak diperoleh yang telah berlalu, telah lenyap, dan telah berubah – kesedihan muncul. Kesedihan demikian disebut kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

“Ketika seseorang menganggap sebagai bukan keuntungan atas suatu bukan perolehan akan suara-suara yang dikenali oleh telinga … bukan perolehan akan bau-bauan yang dikenali oleh hidung … bukan perolehan akan rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … bukan perolehan akan obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan … bukan perolehan akan obyek-obyek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, memuaskan, dan berhubungan dengan keduniawian – atau ketika ia ingat apa yang sebelumnya tidak diperoleh yang telah berlalu, telah lenyap, dan telah berubah – kesedihan muncul. Kesedihan demikian disebut kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Ini adalah enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

13. “Di sini, apakah enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian? Ketika, dengan mengetahui ketidak-kekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya bentuk-bentuk, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa bentuk-bentuk baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, ia memunculkan kerinduan akan kebebasan tertinggi sebagai berikut: ‘Kapankah aku dapat masuk dan berdiam dalam landasan yang saat ini telah dimasuki dan didiami oleh para mulia?’  Pada seseorang yang memunculkan kerinduan akan kebebasan tertinggi demikian, muncul kesedihan dengan kerinduan itu sebagai kondisi. Kesedihan demikian disebut kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

“Ketika, dengan mengetahui ketidak-kekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya suara-suara … bau-bauan … rasa kecapan … obyek-obyek sentuhan … obyek-obyek pikiran, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa obyek-obyek pikiran baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, [219] ia memunculkan kerinduan akan kebebasan tertinggi sebagai berikut: ‘Kapankah aku dapat masuk dan berdiam dalam landasan yang saat ini telah dimasuki dan didiami oleh para mulia?’ Pada seseorang yang memunculkan kerinduan akan kebebasan tertinggi demikian, muncul kesedihan dengan kerinduan itu sebagai kondisi. Kesedihan demikian disebut kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Ini adalah enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

14. “Di sini, apakah enam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga? Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, keseimbangan muncul pada seseorang biasa dungu yang tergila-gila, pada seorang biasa yang tidak terlatih yang belum menaklukkan keterbatasannya atau menaklukkan akibat [perbuatan] dan yang buta akan bahaya. Kesimbangan seperti ini tidak melampaui bentuk; itulah sebabnya mengapa disebut keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

“Ketika mendengar suatu suara dengan telinga ... Ketika mencium suatu bau dengan hidung ... Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah ... Ketika menyentuh suatu obyek-sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali suatu obyek-pikiran dengan pikiran, keseimbangan muncul pada seseorang biasa dungu yang tergila-gila, pada seorang biasa yang tidak terlatih yang belum menaklukkan keterbatasannya atau menaklukkan akibat [perbuatan] dan yang buta akan bahaya. Kesimbangan seperti ini tidak melampaui obyek-pikiran; itulah sebabnya mengapa disebut keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Ini adalah enam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga.

15. “Di sini, apakah enam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian? Ketika, dengan mengetahui ketidak-kekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya bentuk-bentuk, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa bentuk-bentuk baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, keseimbangan muncul. Keseimbangan ini melampaui bentuk; itulah sebabnya mengapa disebut keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

“Ketika, dengan mengetahui ketidak-kekalan, perubahan, peluruhan, dan lenyapnya suara-suara … bau-bauan … rasa kecapan … obyek-obyek sentuhan … obyek-obyek pikiran, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa obyek-obyek pikiran baik yang sebelumnya maupun yang sekarang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, keseimbangan muncul. Keseimbangan ini melampaui obyek pikiran; itulah sebabnya mengapa disebut keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Ini adalah enam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.

Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Tiga puluh enam posisi makhluk-makhluk harus dipahami.’ [220]



----------------------
*** Bersambung

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
137 Salayatanavibhanga Sutta (Lanjutan)
« Reply #46 on: 17 October 2010, 02:25:39 PM »
Lanjutan 137  Saḷāyatanavibhanga Sutta
----------------------------------------------------



16. “’Di sana, dengan bergantung pada ini, tinggalkanlah itu.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, Para bhikkhu, dengan bergantung dan mengandalkan keenam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian, tinggalkan dan lampauilah keenam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Adalah demikian kegembiraan-kegembiran itu ditinggalkan; Adalah demikian kegembiraan-kegembiran itu dilampaui. Dengan bergantung dan mengandalkan keenam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian, tinggalkan dan lampauilah keenam jenis kesedihan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Adalah demikian kesedihan-kesedihan itu ditinggalkan; Adalah demikian kesedihan-kesedihan itu dilampaui. Dengan bergantung dan mengandalkan keenam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian, tinggalkan dan lampauilah keenam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga. Adalah demikian keseimbangan-keseimbangan itu ditinggalkan; Adalah demikian keseimbangan-keseimbangan itu dilampaui.

“Dengan bergantung dan mengandalkan keenam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian, tinggalkan dan lampauilah keenam jenis kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Adalah demikian kesedihan-kesedihan itu ditinggalkan; Adalah demikian kesedihan-kesedihan itu dilampaui. Dengan bergantung dan mengandalkan keenam jenis keseimbangan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian, tinggalkan dan lampauilah keenam jenis kegembiraan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian. Adalah demikian kegembiraan-kegembiraan itu ditinggalkan; Adalah demikian kegembiraan-kegembiraan itu dilampaui.

17. “Ada, Para bhikkhu, keseimbangan yang beraneka-ragam, berdasarkan pada keberagaman; dan ada keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada kesatuan.

18. “Dan apakah, para bhikkhu, keseimbangan yang beraneka-ragam, berdasarkan pada keberagaman? Ada keseimbangan sehubungan dengan bentuk-bentuk, suara-suara, bau-bauan, rasa kecapan, dan obyek-obyek sentuhan. Ini, Para bhikkhu, adalah keseimbangan yang beraneka-ragam, berdasarkan pada keberagaman.

19. “Dan apakah, Para bhikkhu, keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada kesatuan? Ada keseimbangan sehubungan dengan landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, landasan kekosongan, dan landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini, para bhikkhu, adalah keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada kesatuan.

20. “Di sini, Para bhikkhu, dengan bergantung dan mengandalkan keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada kesatuan, tinggalkan dan lampauilah keseimbangan yang beraneka-ragam, berdasarkan pada keberagaman. Demikianlah ini ditinggalkan; demikianlah ini dilampaui.

“Para bhikkhu, dengan bergantung dan mengandalkan ketiadaan-identifikasi,  tinggalkan dan lampauilah keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada kesatuan. Demikianlah ini ditinggalkan; demikianlah ini dilampaui. [221]

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Di sana, dengan bergantung pada ini, tinggalkanlah itu.’

21. “’Ada tiga landasan perhatian yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Seorang Mulia menjadi seorang guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok.’  Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

22. “Di sini, Para bhikkhu, dengan berbelas kasihan dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswa demi belas kasihan: ‘Ini demi kesejahteraan kalian; ini demi kebahagiaan kalian.’ Beberapa dari para siswaNya tidak mau mendengarkan atau mengerahkan pikiran untuk memahami; mereka tersesat dan berbelok dari Pengajaran Sang Guru. Beberapa dari para siswaNya mau mendengarkan dan mengerahkan pikiran untuk memahami; mereka tidak tersesat dan berbelok dari Pengajaran Sang Guru. Dengan itu Sang Tathāgata tidak puas dan merasakan ketidak-puasan; namun Beliau tidak-tergerak, penuh perhatian, dan penuh kewaspadaan. Ini, para bhikkhu, disebut landasan perhatian pertama yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Yang Mulia itu adalah guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok.

23. “Lebih lanjut, Para bhikkhu, dengan berbelas kasihan dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswa demi belas kasihan: ‘Ini demi kesejahteraan kalian; ini demi kebahagiaan kalian.’ Beberapa dari para siswaNya tidak mau mendengarkan atau mengerahkan pikiran untuk memahami; mereka tersesat dan berbelok dari Pengajaran Sang Guru. Beberapa dari para siswaNya mau mendengarkan dan mengerahkan pikiran untuk memahami; mereka tidak tersesat dan tidak berbelok dari Pengajaran Sang Guru. Dengan itu Sang Tathāgata tidak puas dan tidak merasakan kepuasan, dan Beliau tidak kecewa dan tidak merasakan kekecewaan; dengan senantiasa bebas dari kepuasan dan kekecewaan, Beliau berdiam dalam keseimbangan, penuh perhatian, dan penuh kewaspadaan. Ini, para bhikkhu, disebut perhatian ke dua yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Yang Mulia itu adalah guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok.

24. “Lebih lanjut, Para bhikkhu, dengan berbelas kasihan dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswa demi belas kasihan: ‘Ini demi kesejahteraan kalian; ini demi kebahagiaan kalian.’ Para siswaNya mendengarkan dan mengerahkan pikiran untuk memahami; mereka tidak tersesat dan tidak berbelok dari Pengajaran Sang Guru. Dengan itu Sang Tathāgata puas dan merasakan kepuasan; namun Beliau tidak-tergerak, penuh perhatian, dan penuh kewaspadaan. Ini, para bhikkhu, disebut perhatian ke tiga yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Yang Mulia itu adalah guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok. [222]

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Ada tiga landasan perhatian yang dilatih oleh Seorang Mulia, yang dengan melatihnya Seorang Mulia menjadi seorang guru yang layak untuk memberikan instruksi kepada suatu kelompok.’

25. “’Di antara guru-guru yang memberikan latihan adalah Beliau yang disebut pemimpin yang tiada bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan.’  Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Dengan dituntun oleh penjinak gajah, Para bhikkhu, gajah yang akan dijinakkan berjalan ke satu arah – timur, barat, utara, atau selatan. Dengan dituntun oleh penjinak kuda, Para bhikkhu, kuda yang akan dijinakkan berjalan ke satu arah – timur, barat, utara, atau selatan. Dengan dituntun oleh penjinak sapi, Para bhikkhu, sapi yang akan dijinakkan berjalan ke satu arah – timur, barat, utara, atau selatan.

26. “Para bhikkhu, dengan dituntun oleh Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, orang yang akan dijinakkan berjalan ke delapan arah.

“Dengan memiliki bentuk materi, ia melihat bentuk-bentuk: ini adalah arah pertama. Tanpa melihat bentuk-bentuk secara internal, ia melihat bentuk-bentuk secara eksternal: ini adalah arah ke dua. Ia bertekad hanya pada yang indah: ini adalah arah ke tiga. Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, manyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas: ini adalah arah ke empat. Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas: ini adalah arah ke lima. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan: ini adalah arah ke enam. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi: ini adalah arah ke tujuh. Dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan: ini adalah arah ke delapan.

“Para bhikkhu, dengan dituntun oleh Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, orang yang akan dijinakkan berjalan ke delapan arah.

28. ““Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Di antara guru-guru yang memberikan latihan adalah Beliau yang disebut pemimpin yang tiada bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan.’

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
138 Uddesavibhanga Sutta
« Reply #47 on: 17 October 2010, 02:26:39 PM »
138  Uddesavibhanga Sutta
Penjelasan suatu Ringkasan




[223] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian suatu ringkasan dan penjelasan. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu harus memeriksa segala sesuatu sedemikian sehingga ketika ia sedang memeriksanya, kesadarannya tidak kacau dan berhamburan secara eksternal juga tidak melekat secara internal, dan dengan ketidak-melekatan ia tidak menjadi terganggu. Jika kesadarannya tidak kacau dan berhamburan secara eksternal juga tidak melekat secara internal, dan jika dengan ketidak-melekatan ia tidak menjadi terganggu, maka baginya tidak ada asal-mula penderitaan – kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan.”

4. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna bangkit dari duduknya dan memasuki kediamannya.

5. Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, para bhikkhu berpikir: “Sekarang, teman-teman, Sang Bhagavā telah bangkit dari dudukNya dan masuk ke dalam kediamanNya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan makna terperinci. Sekarang siapakah yang akan menjelaskan secara terperinci?” Kemudian mereka berpikir: “Yang Mulia Mahā Kaccāna dipuji oleh Sang Guru dan dihargai oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci. Ia mampu menjelaskan maknanya secara terperinci. Bagaimana jika kita mendatanginya dan menanyakan makna dari hal ini.”

6-8. [224,225] (Seperti Sutta 133, §§8-10.)

9. “Maka dengarkanlah, Teman-teman, dan perhatikanlah pada apa yang akan aku katakan.”

“Baik, Teman,” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Mahā Kaccāna berkata sebagai berikut:

10. “Bagaimanakah, Teman-teman, kesadaran disebut ‘kacau dan berhamburan secara eksternal’?  Di sini, ketika seorang bhikkhu telah melihat suatu bentuk dengan mata, jika kesadarannya mengikuti gambaran bentuk, terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran bentuk,  terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran bentuk, maka kesadarannya disebut ‘kacau dan berhamburan secara eksternal.’

“Ketika ia telah mendengar suatu suara dengan telinga … mencium suatu aroma dengan hidung … mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … menyentuh suatu obyek sentuhan dengan badan … mengenali suatu obyek pikiran dengan pikiran, jika kesadarannya mengikuti gambaran obyek pikiran, terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran obyek pikiran, terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran obyek pikiran, maka kesadarannya disebut ‘kacau dan berhamburan secara eksternal.’

11. “Dan bagaimanakah, Teman-teman, kesadaran disebut ‘tidak kacau dan berhamburan secara eksternal’? Di sini, ketika seorang bhikkhu telah melihat suatu bentuk dengan mata, jika kesadarannya tidak mengikuti gambaran bentuk, tidak terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran bentuk, tidak terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran bentuk, maka kesadarannya disebut ‘tidak kacau dan berhamburan secara eksternal.’ [226]

“Ketika ia telah mendengar suatu suara dengan telinga … mencium suatu aroma dengan hidung … mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … menyentuh suatu obyek sentuhan dengan badan … mengenali suatu obyek pikiran dengan pikiran, jika kesadarannya tidak mengikuti gambaran obyek pikiran, tidak terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran obyek pikiran, tidak terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran obyek pikiran, maka kesadarannya disebut ‘tidak kacau dan berhamburan secara eksternal.’

12. “Dan bagaimanakah, Teman-teman, pikiran disebut ‘melekat secara internal’?  Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Jika kesadarannya mengikuti kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, terbelenggu oleh kepuasan dalam kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan maka pikirannya disebut ‘melekat secara internal.’

13. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikrian dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Jika kesadarannya mengikuti kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, maka pikirannya disebut ‘melekat secara internal.’

14. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan dengan penuh perhatian dan kewaspadaan penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Jika kesadarannya mengikuti keseimbangan … maka pikirannya disebut ‘melekat secara internal.’

15. “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Jika kesadarannya mengikuti gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, maka kesadarannya disebut ‘melekat secara internal.’ Itu adalah bagaimana pikiran disebut ‘melekat secara internal.’ [227]

16. “Dan bagaimanakah, Teman-teman, pikiran disebut ‘tidak melekat secara internal’? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Jika kesadarannya tidak mengikuti kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, tidak terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, tidak terbelenggu oleh kepuasan dalam kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan maka pikirannya disebut ‘tidak melekat secara internal.’

17. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Jika kesadarannya tidak mengikuti kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi … maka pikirannya disebut ‘tidak melekat secara internal.’

18. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam … masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Jika kesadarannya tidak mengikuti keseimbangan … maka pikirannya disebut ‘tidak melekat secara internal.’

19. “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Jika kesadarannya tidak mengikuti gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, tidak terikat dan terkekang oleh kepuasan dalam gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, tidak terbelenggu oleh kepuasan dalam gambaran bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, maka kesadarannya disebut ‘tidak melekat secara internal.’ Itu adalah bagaimana pikiran disebut ‘tidak melekat secara internal.’

20. “Bagaimanakah, Teman-teman, terjadinya gangguan karena kemelekatan?  Di sini seorang biasa yang tidak terlatih, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Bentuk materinya itu berubah dan menjadi sebaliknya. Dengan perubahan bentuk materi dan bentuk materi yang menjadi sebaliknya itu, kesadarannya terlena dengan perubahan bentuk materi itu. Kondisi-kondisi pikiran yang terganggu yang muncul dari keterlenaan dengan perubahan bentuk materi muncul bersama-sama  dan menetap di sana menguasai pikirannya. Karena pikirannya dikuasai, ia menjadi gelisah, sedih, dan cemas, dan karena kemelekatan ia menjadi terganggu.  [228]

“Ia menganggap perasaan sebagai diri … Ia menganggap persepsi sebagai diri … Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai diri … Ia menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran,  atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadaranya itu berubah dan menjadi sebaliknya. Dengan perubahan kesadaran dan kesadaran yang menjadi sebaliknya itu, kesadarannya terlena dengan perubahan kesadaran itu. Kondisi-kondisi pikiran yang terganggu yang muncul dari keterlenaan dengan perubahan kesadaran muncul bersama-sama dan menetap di sana menguasai pikirannya. Karena pikirannya dikuasai, ia menjadi gelisah, sedih, dan cemas, dan karena kemelekatan ia menjadi terganggu. Itu adalah bagaimana terjadinya gangguan karena kemelekatan.

21. “Dan bagaimanakah, Teman-teman, terjadinya ketanpa-gangguan karena ketidak-melekatan?  Di sini seorang siswa mulia yang terlatih, yang  menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Bentuk materinya itu berubah dan menjadi sebaliknya. Dengan perubahan bentuk materi dan bentuk materi yang menjadi sebaliknya itu, kesadarannya tidak terlena dengan dengan perubahan bentuk materi itu. Kondisi-kondisi pikiran yang terganggu yang muncul dari keterlenaan dengan perubahan bentuk materi tidak muncul bersama-sama dan tidak menetap di sana menguasai pikirannya. Karena pikirannya tidak dikuasai, ia tidak menjadi gelisah, sedih, dan cemas, dan karena ketidak-melekatan ia menjadi tidak terganggu.

“Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … Ia tidak menganggap persepsi sebagai diri … Ia tidak menganggap bentukan-bentukan sebagai diri … Ia tidak menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran,  atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadaranya itu berubah dan menjadi sebaliknya. Dengan perubahan kesadaran dan kesadaran yang menjadi sebaliknya itu, kesadarannya tidak terlena dengan dengan perubahan kesadaran itu. Kondisi-kondisi pikiran yang terganggu yang muncul dari keterlenaan dengan perubahan kesadaran tidak muncul bersama-sama dan menetap di sana menguasai pikirannya. Karena pikirannya tidak dikuasai, ia tidak menjadi gelisah, sedih, dan cemas, dan karena ketidak-melekatan ia menjadi tidak terganggu. Itu adalah bagaimana terjadinya ketanpa-gangguan karena ketidak-melekatan.

22. “Teman-teman, ketika Sang Bhagavā bangkit dari duduknya dan memasuki kediamanNya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu: ‘Para bhikkhu, seorang bhikkhu harus memeriksa segala sesuatu sedemikian sehingga ketika ia sedang memeriksanya, kesadarannya tidak kacau dan berhamburan secara eksternal juga tidak melekat secara internal, dan dengan ketidak-melekatan ia tidak menjadi terganggu. Jika kesadarannya tidak kacau dan berhamburan secara eksternal juga tidak melekat secara internal, dan jika dengan ketidak-melekatan ia tidak menjadi terganggu, maka baginya tidak ada asal-mula penderitaan – kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan,’ aku memahami maknanya secara terperinci seperti demikian. [229] Sekarang, Teman-teman, jika kalian menghendaki, temuilah Sang Bhagavā dan tanyakan kepada Beliau tentang makna ini. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”

23. Kemudian para bhikkhu, dengan merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Mahā Kaccāna, bangkit dari duduk dan mendatangi Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā segalanya yang telah terjadi setelah Beliau pergi, dengan menambahkan: “Kemudian, Yang Mulia, kami mendatangi Yang Mulia Mahā Kaccāna dan bertanya kepadanya tentang makna ini. Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskan makna ini kepada kami dengan kata-kata, kalimat-kalimat, dan frasa-frasa ini.”

24. “Mahā Kaccāna bijaksana, Para Bhikkhu, Mahā Kaccāna memiliki kebijaksanaan luas. Jika kalian bertanya kepadaKu tentang makna ini, maka Aku akan menjelaskannya kepada kalian dengan cara yang sama seperti yang telah dijelaskan oleh Mahā Kaccāna. Demikianlah maknanya, dan demikianlah kalian harus mengingatnya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 17 October 2010, 02:32:58 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
139 Aranavibhanga Sutta
« Reply #48 on: 17 October 2010, 02:32:09 PM »
139  Araṇavibhanga Sutta
Penjelasan tentang Tanpa-Konflik



[230] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian suatu penjelasan. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakana.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Seseorang seharusnya tidak mengejar kenikmatan indria, yang rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; dan seseorang seharusnya tidak mengejar penyiksaan-diri, yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat. Jalan Tengah yang ditemukan oleh Sang Tathāgata menghindari kedua ekstrim ini; memberikan penglihatan, memberikan pengetahuan, mengarah menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.  Seseorang seharusnya mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela, dan dengan mengetahui keduanya, ia seharusnya tidak memuji dan juga tidak mencela melainkan seharusnya hanya mengajarkan Dhamma. Seseorang seharusnya mengetahui bagaimana mendefinisikan kenikmatan, dan dengan mengetahui hal itu, ia seharusnya mengejar kenikmatan di dalam dirinya sendiri. Seseorang seharusnya tidak mengucapkan kata-kata yang tersamar, dan ia seharusnya tidak mengucapkan kata-kata terus-terang yang tajam. Seseorang seharusnya berbicara dengan tidak terburu-buru, bukan dengan terburu-buru. Seseorang seharusnya tidak memaksakan bahasa setempat, dan tidak mengabaikan penggunaan umum. Ini adalah ringkasan dari penjelasan tentang tanpa-konflik.

4. “’Seseorang seharusnya tidak mengejar kenikmatan indria, yang rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; dan seseorang seharusnya tidak mengejar penyiksaan-diri, yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indria  - yang rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaat – adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang salah.  [231] Terlepas dari pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indria - yang rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaat – adalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang benar.

“Pengejaran penyiksaan-diri – yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat - dalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang salah. Terlepas dari pengejaran penyiksaan-diri - yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat - dalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang benar.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Seseorang seharusnya tidak mengejar kenikmatan indria, yang rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, dan tidak bermanfaat; dan seseorang seharusnya tidak mengejar penyiksaan-diri, yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat.’

5. “’Jalan Tengah yang ditemukan oleh Sang Tathāgata menghindari kedua ekstrim ini; memberikan penglihatan, memberikan pengetahuan, mengarah menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’ Jalan Tengah yang ditemukan oleh Sang Tathāgata menghindari kedua ekstrim ini … menuju Nibbāna.’

6. “’Seseorang seharusnya mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela, dan dengan mengetahui keduanya, ia seharusnya tidak memuji dan juga tidak mencela melainkan seharusnya hanya mengajarkan Dhamma.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

7. “Bagaimanakah Para bhikkhu, terjadinya memuji dan mencela dan kegagalan dalam hanya mengajarkan Dhamma? Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang melibatkan diri dalam pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indria - yang rendah … dan tidak bermanfaat - dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang salah,’ dengan demikian ia mencela beberapa orang. Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang terlepas dari pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indria - yang rendah … dan tidak bermanfaat – adalah tanpa penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang benar,’ dengan demikian ia memuji beberapa orang.

“Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang melibatkan diri dalam pengejaran penyiksaan-diri – yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat – [232] dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang salah,’ dengan demikian ia mencela beberapa orang. Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang terlepas dari pengejaran penyiksaan-diri – yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat – adalah tanpa penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang benar,’ dengan demikian ia memuji beberapa orang.

“Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang belum meninggalkan belenggu penjelmaan  dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang salah,’ dengan demikian ia mencela beberapa orang. Ketika seseorang mengatakan: ‘Mereka semua yang telah meninggalkan belenggu penjelmaan adalah tanpa penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan mereka memasuki jalan yang benar,’ dengan demikian ia memuji beberapa orang. Ini adalah bagaimana terjadinya memuji dan mencela dan kegagalan dalam hanya mengajarkan Dhamma.

8. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu. terjadinya tidak memuji dan tidak mencela dan hanya mengajarkan Dhamma? Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang melibatkan diri dalam pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indria … telah memasuki jalan yang salah,’ tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Pengejaran itu adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan merupakan jalan yang salah,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma.  Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang terlepas dari pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indria … telah  memasuki jalan yang benar,’ tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Terlepasnya itu adalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan merupakan jalan yang benar,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma.

“Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang melibatkan diri dalam pengejaran penyiksaan-diri … telah memasuki jalan yang salah,’ tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Pengejaran itu adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan merupakan jalan yang salah,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma. Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang terlepas dari pengejaran penyiksaan-diri … telah memasuki jalan yang benar,’ tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Terlepasnya itu adalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan merupakan jalan yang benar,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma.

“Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang belum meninggalkan belenggu penjelmaan … telah memasuki jalan yang salah,’ [233] tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Selama belenggu penjelmaan belum ditinggalkan, maka penjelmaan juga belum ditinggalkan,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma. Ketika seseorang tidak mengatakan: ‘Mereka semua yang telah meninggalkan belenggu penjelmaan … telah memasuki jalan yang benar,’ tetapi sebaliknya mengatakan: ‘Ketika belenggu penjelmaan ditinggalkan, maka penjelmaan juga ditinggalkan,’ maka ia hanya mengajarkan Dhamma.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Seseorang seharusnya mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela, dan dengan mengetahui keduanya, ia seharusnya tidak memuji dan juga tidak mencela melainkan seharusnya hanya mengajarkan Dhamma.’

9. “’Seseorang seharusnya mengetahui bagaimana mendefinisikan kenikmatan, dan dengan mengetahui hal itu, ia seharusnya mengejar kenikmatan di dalam dirinya sendiri.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Para bhikkhu, terdapat lima utas kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria. Sekarang kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria ini disebut kenikmatan indria – suatu kenikmatan kotor, suatu kenikmatan kasar, suatu kenikmatan tidak mulia. Aku katakan jenis kenikmatan ini adalah yang seharusnya tidak dikejar, seharusnya tidak dikembangkan, seharusnya tidak dilatih, dan seharusnya ditakuti.

“Di sini, Para bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat. Ini disebut kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan. Aku katakan jenis kenikmatan ini adalah yang seharusnya dikejar, seharusnya dikembangkan, seharusnya dilatih, dan seharusnya tidak ditakuti. [234]

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Seseorang seharusnya mengetahui bagaimana mendefinisikan kenikmatan, dan dengan mengetahui hal itu, ia seharusnya mengejar kenikmatan di dalam dirinya sendiri.’

10. “’Seseorang seharusnya tidak mengucapkan kata-kata yang tersamar, dan ia seharusnya tidak mengucapkan kata-kata terus terang yang tajam.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang mengetahui kata-kata tersamar adalah tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, maka ia seharusnya tidak mengucapkannya dengan alasan apa pun. Ketika ia mengetahui kata-kata tersamar adalah benar, tepat, dan tidak bermanfaat, maka ia seharusnya berusaha untuk tidak mengucapkannya. Tetapi ketika ia mengetahui kata-kata tersamar adalah benar, tepat, dan bermanfaat, maka ia boleh mengucapkannya, dengan mengetahui waktu yang tepat untuk mengucapkannya.

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang mengetahui kata-kata terus terang yang tajam adalah tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat, maka ia seharusnya tidak mengucapkannya dengan alasan apa pun. Ketika ia mengetahui kata-kata terus terang yang tajam adalah benar, tepat, dan tidak bermanfaat, maka ia seharusnya berusaha untuk tidak mengucapkannya. Tetapi ketika ia mengetahui kata-kata terus terang yang tajam adalah benar, tepat, dan bermanfaat, maka ia boleh mengucapkannya, dengan mengetahui waktu yang tepat untuk mengucapkannya.

 “Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Seseorang seharusnya tidak mengucapkan kata-kata yang tersamar, dan ia seharusnya tidak mengucapkan kata-kata terus terang yang tajam.’

11. “’Seseorang seharusnya berbicara dengan tidak terburu-buru, bukan dengan terburu-buru.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang berbicara dengan terburu-buru, tubuhnya menjadi lelah dan pikirannya menjadi bergairah, suaranya menjadi tegang dan tenggorokannya menjadi serak, dan ucapan dari seorang yang berbicara dengan terburu-buru adalah tidak jelas dan sulit dimengerti.

“Di sini, Para bhikkhu, ketika seseorang berbicara dengan tidak terburu-buru, tubuhnya tidak menjadi lelah dan pikirannya tidak menjadi bergairah, suaranya tidak menjadi tegang dan tenggorokannya tidak menjadi serak, dan ucapan dari seorang yang berbicara dengan tidak terburu-buru adalah jelas dan mudah dimengerti.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Seseorang seharusnya berbicara dengan tidak terburu-buru, bukan dengan terburu-buru.’

12. “’Seseorang seharusnya tidak memaksakan bahasa setempat, dan tidak mengabaikan penggunaan umum.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Bagaimanakah, Para bhikkhu, terjadi pemaksaan bahasa setempat dan mengabaikan penggunaan umum? Di sini, Para bhikkhu, di tempat berbeda mereka menyebut benda yang sama sebagai sebuah ‘piring’ [pāti], [235] sebuah ‘mangkuk’ [patta], sebuah ‘wadah’ [vittha], sebuah ‘cawan’ [serāva], sebuah ‘panci’ [dhāropa], sebuah ‘kendi’ [poṇa], atau sebuah ‘baskom’ [pisīla]. Jadi bagaimanapun mereka menyebutnya dalam bahasa setempat, ia mengucapkannya sesuai itu, dengan kokoh melekati [ungkapan itu] dan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar; yang lainnya adalah salah.’ Ini adalah bagaimana terjadinya pemaksaan bahasa setempat dan mengabaikan penggunaan umum.

“Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, terjadinya tanpa pemaksanan atas bahasa setempat dan tidak mengabaikan penggunaan umum? Di sini, Para bhikkhu, di tempat berbeda mereka menyebut benda yang sama sebuah ‘piring’ … atau sebuah ‘baskom’. Jadi bagaimanapun mereka menyebutnya dalam bahasa setempat, tidak dengan kokoh melekati [ungkapan itu] ia mengucapkannya sesuai itu, dan berpikir: ‘Para mulia ini, tampaknya, sedang berbicara sehubungan dengan ini.’ Ini adalah bagaimana terjadinya tanpa pemaksanan atas bahasa setempat dan tidak mengabaikan penggunaan umum.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Seseorang seharusnya tidak memaksakan bahasa setempat, dan tidak mengabaikan penggunaan umum.’

13. “Di sini, Para bhikkhu, pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indria – yang rendah … dan tidak bermanfaat – adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang salah. Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, terlepas dari pengejaran kesenangan dari seseorang yang kenikmatannya terhubung pada keinginan indria – yang rendah … dan tidak bermanfaat – adalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang benar. Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, Pengejaran penyiksaan-diri – yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat - dalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang salah. Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, Terlepas dari pengejaran penyiksaan-diri - yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak bermanfaat - dalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam, dan ini adalah jalan yang benar. [236] Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, Jalan Tengah yang ditemukan oleh Sang Tathāgata menghindari kedua ekstrim ini; memberikan penglihatan, memberikan pengetahuan, mengarah menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Ini adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … dan adalah jalan yang benar. Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, memuji dan mencela dan kegagalan dalam hanya mengajarkan Dhamma adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … dan adalah jalan yang salah. Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, tidak memuji dan tidak mencela dan hanya mengajarkan Dhamma adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … dan adalah jalan yang benar. Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kenikmatan indria – suatu kenikmatan kotor, suatu kenikmatan kasar, suatu kenikmatan tidak mulia - adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … dan adalah jalan yang salah. Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan, adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … dan adalah jalan yang benar. Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.
 
“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata tersamar yang tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata tersamar yang benar, tepat, dan tidak bermanfaat adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata tersamar yang benar, tepat, dan bermanfaat adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata terus terang yang tajam yang tidak benar, tidak tepat, dan tidak bermanfaat adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata terus terang yang tajam yang benar, tepat, dan tidak bermanfaat adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata terus terang yang tajam [237] yang benar, tepat, dan bermanfaat adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata seseorang berbicara dengan terburu-buru adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam. Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, kata-kata seseorang berbicara dengan tidak terburu-buru adalah suatu kondisi tanpa penderitaan … Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, pemaksaan bahasa setempat dan mengabaikan penggunaan umum adalah suatu kondisi yang dikepung oleh penderitaan … Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi dengan konflik.

“Di sini, Para bhikkhu, tanpa-pemaksaan bahasa setempat dan tanpa-mengabaikan penggunaan umum adalah suatu kondisi tanpa penderitaan, kesulitan, keputus-asaan, dan demam. Oleh karena itu ini adalah suatu kondisi tanpa konflik.

14. “Oleh karena itu, Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus mengetahui kondisi dengan konflik dan kami harus mengetahui kondisi tanpa konflik, dan dengan mengetahui hal-hal ini, kami akan memasuki jalan tanpa konflik.’ Sekarang, Para bhikkhu, Subhūti adalah anggota keluarga yang telah memasuki jalan tanpa konflik.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
140 Dhatuvibhanga Sutta
« Reply #49 on: 17 October 2010, 02:34:57 PM »
140  Dhātuvibhanga Sutta
Penjelasan tentang Unsur-Unsur




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di negeri Magadha dan akhirnya sampai di Rājagaha. Di sana Beliau mendatangi pengrajin tembikar Bhaggava dan berkata kepadanya:

2. “Jika tidak menyusahkanmu, Bhaggava, Aku akan bermalam satu malam di  tempat kerjamu.”

“Sama sekali tidak menyusahkan bagiku, Yang Mulia, tetapi ada petapa lain yang telah berdiam di sini. Jika ia setuju, maka silahkan tinggal selama yang Engkau kehendaki, Yang Mulia.” [238]

3. Pada saat itu seorang anggota keluarga bernama Pukkusāti yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan pada Sang Bhagavā dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan pada saat itu ia telah mendiami tempat kerja si pengrajin tembikar.  Kemudian Sang Bhagavā mendatangi Yang Mulia Pukkusāti dan berkata kepadanya: “Jika tidak menyusahkanmu, Bhikkhu, Aku akan bermalam satu malam di tempat kerja ini.”

“Tempat kerja pengrajin tembikar ini cukup luas, Sahabat.  Silahkan Yang Mulia tinggal selama yang Beliau kehendaki.”

4. Kemudian Sang Bhagavā memasuki rumah tempat kerja si pengrajin tembikar, mempersiapkan hamparan rumput di satu sudut, dan duduk bersila, menegakkan tubuhNya, dan menegakkan perhatian di depannya. Kemudian Sang Bhagavā melewatkan hampir semalam suntuk dengan duduk [bermeditasi], dan Yang Mulia Pukkusāti juga melewatkan hampir semalam suntuk dengan duduk [bermeditasi]. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Orang ini berperilaku sedemikian sehingga membangkitkan keyakinan. Bagaimana jika Aku menanyainya.” Maka Beliau bertanya kepada Yang Mulia Pukkusāti:

5. “Di bawah siapakah engkau meninggalkan keduniawian, Bhikkhu? Siapakah gurumu? Dhamma siapakah yang engkau anut?”

“Sahabat, ada Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya. Sekarang berita baik sehubungan dengan Gotama yang Terberkahi itu telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’ Aku meninggalkan keduniawian di bawah Sang Bhagavā itu; Sang Bhagavā adalah guruku; aku menganut Dhamma dari Sang Bhagavā itu.”

“Tetapi, Bhikkhu, di manakah Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna itu menetap sekarang?”

“Ada, Sahabat, sebuah kota di negeri utara bernama Sāvatthī. Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna itu menetap di sana sekarang.”

“Tetapi, Bhikkhu, pernahkah engkau bertemu Sang Bhagavā itu sebelumnya? Apakah engkau mengenalinya jika engkau bertemu dengannya?” [239]

“Tidak, Sahabat, aku belum pernah bertemu Sang Bhagavā itu sebelumnya, juga tidak akan mengenalinya jika aku bertemu dengannya.”

6. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Orang ini telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawahKu. Bagaimana jika aku mengajarkan Dhamma kepadanya.” Maka Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Pukkusāti sebagai berikut: “Bhkkhu, Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakana.” – “Baik, Sahabat,” Yang Mulia Pukkusāti menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

7. “Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam unsur, enam landasan kontak, dan delapan belas jenis eksplorasi pikiran, dan ia memiliki empat landasan.  Arus pasang penganggapan tidak menyapu seseorang yang berdiri di atas [landasan-landasan] ini, dan ketika arus pasang penganggapan tidak lagi menyapunya maka ia disebut seorang bijaksana damai. Seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan, seharusnya melestarikan kebenaran, seharusnya melatih pelepasan, dan seharusnya berlatih demi kedamaian. Ini adalah ringkasan penjelasan enam unsur.

8. “’Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam unsur.’  Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam unsur.’

9. “’Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam landasan kontak.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan kontak-mata, landasan kontak-telinga, landasan kontak-hidung, landasan kontak-lidah, landasan kontak-badan, landasan kontak-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam landasan kontak.’

10. “’Bhikkhu, manusia ini terdiri dari delapan belas jenis eksplorasi pikiran.’  Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, seseorang mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kesedihan, ia  mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan keseimbangan. Ketika mendengar suatu suara dengan telinga … [240] Ketika mencium suatu aroma dengan hidung … Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Ketika menyentuh suatu obyek sentuhan dengan badan … Ketika mengenali suatu obyek pikiran dengan pikiran,  seseorang mengeksplorasi obyek pikiran yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi obyek pikiran yang menghasilkan kesedihan, ia  mengeksplorasi obyek pikiran yang menghasilkan keseimbangan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Bhikkhu, manusia ini terdiri dari delapan belas jenis eksplorasi pikiran.’

11. “’Bhikkhu, manusia ini memiliki empat landasan.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan kebijaksanaan, landasan kebenaran, landasan pelepasan, dan landasan kedamaian.  Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Bhikkhu, manusia ini memiliki empat landasan.’

12. “’Seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan, seharusnya melestarikan kebenaran, seharusnya melatih pelepasan, dan seharusnya berlatih demi kedamaian.’  Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

13. “Bagaimanakah, Bhikkhu, seseorang tidak melalaikan kebijaksanaan?  Ada enam unsur ini: unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran.

14. “Apakah, Bhikkhu, unsur tanah? Unsur tanah dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur tanah internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati; yaitu rambut-kepala, bulu-badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sum-sum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, kotoran, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati: ini disebut unsur tanah internal. Sekarang baik unsur tanah internal maupun unsur tanah eksternal adalah unsur tanah. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur tanah dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur tanah.

15. “Apakah, Bhikkhu, unsur air? Unsur air dapat berupa [241] internal maupun eksternal. Apakah unsur air internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati; yaitu cairan empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati: ini disebut unsur air internal. Sekarang baik unsur air internal maupun unsur air eksternal adalah unsur air. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur air dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur air.

16. “Apakah, Bhikkhu, unsur api? Unsur api dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur api internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati; yaitu yang dengannya seseorang menjadi hangat, menua, dan terhabiskan, dan yang dengannya apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap sepenuhnya dicerna, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati: ini disebut unsur api internal. Sekarang baik unsur api internal maupun unsur api eksternal adalah unsur api. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur api dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur api.

17. “Apakah, Bhikkhu, unsur udara? Unsur udara dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur udara internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati; yaitu udara yang naik ke atas, udara yang turun ke bawah, udara dalam perut, udara dalam usus, udara yang mengalir melalui bagian-bagian tubuh, nafas masuk, nafas keluar, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati: ini disebut unsur udara internal. Sekarang baik unsur udara internal maupun unsur udara eksternal adalah unsur udara. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur udara dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur udara.

18. “Apakah, Bhikkhu, unsur ruang? Unsur ruang dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur ruang [242] internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati, yaitu, lubang telinga, lubang hidung, pintu mulut, dan [lubang] itu di mana apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap tertelan, dan di mana benda-benda itu terkumpul, dan di mana benda-benda itu keluar dari bawah, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati: ini disebut unsur ruang internal. Sekarang baik unsur ruang internal maupun unsur ruang eksternal adalah unsur ruang. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur ruang dan batinnya menjadi bosan terhadap unsur ruang.

19. “Maka di sana hanya tersisa kesadaran, yang murni dan cerah.  Apakah yang dikenali seseorang pada kesadaran itu? ia mengenali: ‘[Ini adalah] menyenangkan’; ia mengenali: ‘[Ini adalah] menyakitkan’; ia mengenali: ‘[Ini] adalah bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan maka muncul perasaan menyenangkan.  Ketika seseorang merasakan suatu perasaan menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyenangkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai menyenangkan, maka perasaan yang bersesuaian itu – perasaan menyenangkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan – juga lenyap dan sirna.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai menyakitkan maka muncul perasaan menyakitkan. Ketika seseorang merasakan suatu perasaan menyakitkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyenangkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai menyakitkan, maka perasaan yang bersesuaian itu – perasaan menyakitkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyakitkan – juga lenyap dan sirna.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan maka muncul perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan. Ketika seseorang merasakan suatu perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan, maka perasaan yang bersesuaian itu – perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan – juga lenyap dan sirna.’ Bhikkhu, seperti halnya dari kontak dan gesekan kedua batang kayu-api maka panas dan api dihasilkan, dan dengan terpisahnya dan terlepasnya kedua kayu-api ini maka panas yang dihasilkan itu juga lenyap dan sirna; demikian pula, [243] dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan … yang dirasakan sebagai menyakitkan … yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan maka muncul perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan … Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyakitkan, maka perasaan yang bersesuaian itu …  juga lenyap dan sirna.’

20. “Kemudian di sana hanya tersisa kesadaran, yang murni dan cerah, lunak, lentur, dan bersinar.  Misalkan, Bhikkhu, seorang pengrajin emas yang terampil atau muridnya mempersiapkan sebuah tungku, memanaskan wadah, mengambil sejumlah emas dengan penjepit, dan memasukkannya ke dalam wadah. Dari waktu ke waktu ia meniupnya, dari waktu ke waktu ia memercikkan air ke atasnya, dan dari waktu ke waktu ia hanya melihatnya. Emas itu akan menjadi murni, lebih murni, dan sangat murni, tanpa cacat, bebas dari kotoran-kotoran logam, lunak, lentur, dan bersinar. Kemudian jenis perhiasan apapun yang ingin ia buat dari emas itu, apakah rantai emas atau anting-anting, atau kalung, atau kalung-bunga, maka keinginannya akan terpenuhi. Demikian pula, Bhikkhu, kemudian di sana hanya tersisa kesadaran, yang murni dan cerah, lunak, lentur, dan bersinar.



----------------------
*** Bersambung

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
140 Dhatuvibhanga Sutta (Lanjutan)
« Reply #50 on: 17 October 2010, 02:35:45 PM »
Lanjutan 140  Dhātuvibhanga Sutta
----------------------------------------------

21. “Ia memahami sebagai berikut: ‘Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan ruang tanpa batas dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka keseimbanganku ini, dengan didukung oleh landasan itu, akan menetap di sana untuk waktu yang lama.  Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan kesadaran tanpa batas … [244] … pada landasan kekosongan … pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi, maka keseimbanganku ini, dengan didukung oleh landasan itu, akan menetap di sana untuk waktu yang lama.’

22. “Ia memahami sebagai berikut: ‘Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan ruang tanpa batas dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka ini adalah terkondisi.  Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan kesadaran tanpa batas … pada landasan kekosongan … pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka ini adalah terkondisi.’ Ia tidak membentuk kondisi apa pun atau menghasilkan kehendak apa pun yang condong mengarah baik pada penjelmaan atau pada tanpa-penjelmaan.  Karena ia tidak membentuk kondisi apa pun atau menghasilkan kehendak apa pun yang condong mengarah baik pada penjelmaan atau pada tanpa-penjelmaan, maka ia tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Ketika ia tidak melekat, ia tidak terganggu. Ketika ia tidak terganggu, ia secara pribadi mencapai Nibbāna. Ia memahami sebagai berikut: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

23. “Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyenangkan,  ia memahami: ‘Ini tidak kekal; tidak mencengkeramnya; tidak bergembira di dalamnya.’ Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyakitkan, ia memahami: ‘Ini tidak kekal; tidak mencengkeramnya; tidak bergembira di dalamnya.’ Jika ia merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Ini tidak kekal; tidak mencengkeramnya; tidak bergembira di dalamnya.’

24. “Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyenangkan, ia melepaskan; “Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyakitkan, ia melepaskan; Jika ia merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia melepaskan. Ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya jasmani, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya jasmani.’ [245] Ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan.’  Ia memahami: ‘Ketika hancurnya jasmani, dengan berakhirnya kehidupan, semua yang dirasakan, yang tidak untuk disenangi, akan menjadi dingin di sini.’  Bhikkhu, seperti halnya lampu minyak yang membakar dengan bergantung pada minyak dan sumbu, dan ketika minyak dan sumbunya habis, jika lampu itu tidak mendapatkan bahan bakar lagi, maka lampu itu akan padam karena kekurangan bahan bakar; demikian pula, ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya jasmani … perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan.’ Ia memahami: ‘Ketika hancurnya jasmani, dengan berakhirnya kehidupan, semua yang dirasakan, yang tidak untuk disenangi, akan menjadi dingin di sini.’

25. “Oleh karena itu seorang bhikkhu yang memiliki [kebijaksanaan ini] memiliki landasan kebijaksanaan tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah kebijaksanaan mulia tertinggi, yaitu, pengetahuan hancurnya segala penderitaan.

26. “Pembebasannya, karena didirikan di atas kebenaran, adalah tidak tergoyahkan. Karena itu adalah salah, Bhikkhu, yang memiliki sifat menipu, dan itu adalah benar, yang memiliki sifat tidak menipu – Nibbāna. Oleh karena itu seorang bhikkhu yang memiliki [kebenaran] ini memiliki landasan kebenaran yang tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah kebenaran mulia tertinggi, yaitu, Nibbāna, yang memiliki sifat tidak menipu.

27. “Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia menjalani dan menerima perolehan;  sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Oleh karena itu seorang bhikkhu yang memiliki [pelepasan ini] memiliki landasan pelepasan yang tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah pelepasan mulia yang tertinggi, yaitu, pelepasan segala perolehan.

28. “Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia mengalami ketamakan, keinginan, dan nafsu; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia mengalami kemarahan, niat buruk, dan kebencian; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia mengalami kebodohan dan khayalan; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya [246] di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Oleh karena itu seorang bhikkhu yang memiliki [kedamaian ini] memiliki landasan kedamaian yang tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah kedamaian mulia yang tertinggi, yaitu, damainya nafsu, kebencian, dan khayalan.

29. “Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan, seharusnya melestarikan kebenaran, seharusnya melatih pelepasan, dan seharusnya berlatih demi kedamaian.’

30. “’Arus pasang penganggapan tidak menyapu seseorang yang berdiri di atas [landasan-landasan] ini, dan ketika arus pasang penganggapan tidak lagi menyapunya maka ia disebut seorang bijaksana damai.’  Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

31. “Bhikkhu, ‘aku’ adalah anggapan; ‘aku adalah ini’ adalah anggapan; ‘aku akan menjadi’ adalah anggapan; ‘aku tidak akan menjadi’ adalah anggapan; ‘aku akan memiliki bentuk’ adalah anggapan; ‘aku akan tidak memiliki bentuk’ adalah anggapan; ‘aku akan memiliki persepsi’ adalah anggapan; ‘aku akan tidak memiliki persepsi’ adalah anggapan; ‘aku akan bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi’ adalah anggapan. Anggapan adalah penyakit, anggapan adalah tumor, anggapan adalah anak panah. Dengan mengatasi segala anggapan, Bhikkhu, maka seseorang disebut seorang bijaksana damai. Dan sang bijaksana damai itu tidak dilahirkan, tidak menua, tidak mati; ia tidak tergoyahkan dan tidak merindukan. Karena tidak ada apa pun padanya yang dengannya ia dapat terlahir.  Karena tidak terlahir, bagaimana mungkin ia dapat menjadi tua? Karena tidak menjadi tua, bagaimana mungkin ia mati? Karena tidak mati, bagaimana mungkin ia dapat tergoyahkan? Karena tidak tergoyahkan, mengapa ia harus merindukan?

32. “Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Arus pasang penganggapan tidak menyapu seseorang yang berdiri di atas [landasan-landasan] ini, dan ketika arus pasang penganggapan tidak lagi menyapunya maka ia disebut seorang bijaksana damai.’ Bhikkhu, ingatlah penjelasan singkat tentang enam unsur ini.”

33. Pada saat itu Yang Mulia Pukkusāti berpikir: “Sungguh, Sang Guru telah mendatangiku! Yang Sempurna telah mendatangiku! Yang Tercerahkan Sempurna telah mendatangiku!” Kemudian ia bangkit dari duduknya dan merapikan jubahnya di salah satu bahunya, dan bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, ia berkata: “Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, karena bagaikan seorang dungu, bingung [247] dan bodoh, aku menyapa Sang Bhagavā sebagai ‘Sahabat.’ Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā memaafkan pelanggaranku yang terlihat demikian demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Bhikkhu, suatu pelanggaran menguasaimu, karena bagaikan seorang dungu, bingung [247] dan bodoh, engkau menyapaKu sebagai ‘Sahabat.’ Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu demikian dan memperbaiki sesuai Dhamma, maka kami memaafkan engkau. Karena adalah kemajuan dalam Disiplin Para Mulia ketika seseorang melihat pelanggarannya demikian, melakukan perbaikan sesuai Dhamma, dan menjalani pengendalian di masa depan.”

34. “Yang Mulia, aku ingin menerima penahbisan penuh di bawah Sang Bhagavā.”

“Tetapi apakah mangkuk dan jubahmu sudah lengkap, Bhikkhu?”

“Yang Mulia, mangkuk dan jubahku masih belum lengkap.”

“Bhikkhu, Para Tathāgata tidak memberikan penahbisan penuh kepada siapa pun yang mangkuk dan jubahnya belum lengkap.”

35. kemudian Yang Mulia Pukkusāti, dengan merasa gembira dan bersukacita mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap berada di sisi kanannya, ia pergi untuk mencari mangkuk dan jubah. Kemudian, sewaktu Yang Mulia Pukkusāti sedang mencari mangkuk dan jubahnya, seekor sapi liar membunuhnya.

36. Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahu Beliau: “Yang Mulia, anggota keluarga Pukkusāti, yang telah menerima instruksi singkat dari Sang Bhagavā, telah meninggal dunia. Di manakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya berikutnya?”

“Para bhikkhu, anggota keluarga Pukkusāti adalah seorang bijaksana. Ia berlatih sesuai Dhamma dan tidak menyusahkanKu dalam menginterpretasikan Dhamma. Dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, anggota keluarga Pukkusāti telah muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan akan mencapai Nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
141 Saccavibhanga Sutta
« Reply #51 on: 17 October 2010, 02:36:44 PM »
141  Saccavibhanga Sutta
Penjelasan tentang Kebenaran-Kebenaran




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Benares di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Di Benares, Para bhikkhu, di Taman Rusa di Isipatana Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya,  yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di dunia – yaitu, mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia. Apakah empat ini?

3. ”Mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan kebenaran mulia penderitaan. Mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan kebenaran mulia asal-mula penderitaan … kebenaran mulia lenyapnya penderitaan … kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.

4. “Di Benares, Para bhikkhu, di Taman Rusa di Isipatana Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di dunia – yaitu, mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia ini.

5. “Kembangkanlah persahabatan dengan Sāriputta dan Moggallāna, Para bhikkhu; bergaullah dengan Sāriputta dan Moggallāna. Mereka bijaksana dan sangat membantu bagi teman-teman mereka dalam kehidupan suci. Sāriputta bagaikan seorang ibu; Moggallāna bagaikan seorang perawat. Sāriputta melatih orang-orang lain mencapai buah memasuki-arus, Moggallāna melatih untuk mencapai tujuan tertinggi.  Sāriputta, Para bhikkhu, mampu mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia.”

6. Demikianlah Sang Bhagavā berkata. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna bangkit dari duduknya dan memasuki kediamannya. [249]

7. Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Teman-teman, Para bhikkhu.” – “Teman,”para bhikkhu menjawab Yang Mulia Sāriputta. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

8. “Di Benares, Teman-teman, di Taman Rusa di Isipatana Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya …  dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia. Apakah empat ini?

3. ”Mengumumkan … dan memperlihatkan kebenaran mulia penderitaan ... kebenaran mulia asal-mula penderitaan … kebenaran mulia lenyapnya penderitaan … kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.

10. “Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan; penuaan adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah penderitaan.

11. “Dan apakah, Teman-teman, kelahiran itu?  Kelahiran makhluk-makhluk adalah berbagai urutan penjelmaan, akan terlahir, berdiam [dalam rahim], pembentukan, perwujudan kelompok-kelompok unsur kehidupan, memperoleh landasan-landasan kontak – ini disebut kelahiarn.

12. “Dan apakah, Teman-teman, penuaan itu? Penuaan makhluk-makhluk dalam berbagai urutan penjelmaan, usia tua, gigi tanggal, rambut memutih, kulit keriput, kehidupan menurun, indria-indria melemah – ini disebut penuaan.

13. “Dan apakah, Teman-teman, kematian itu? Berlalunya makhluk-makhluk dalam berbagai urutan makhluk-makhluk, kematiannya, terputusnya, lenyapnya, sekarat, selesainya waktu, hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, terbaringnya tubuh – ini disebut kematian.

14. “Dan apakah, Teman-teman, dukacita itu? Dukacita, menyedihkan, kesedihan, dukacita batin, kesedihan batin, dari seseorang yang mengalami kemalangan atau diakibatkan oleh kondisi-kondisi menyakitkan – ini disebut dukacita.

15. “Dan apakah, Teman-teman, ratapan itu? mengeluh dan meratap, mengeluhkan dan meratapi, [250] keluhan dan ratapan, dari seseorang yang mengalami kemalangan atau diakibatkan oleh kondisi-kondisi menyakitkan – ini disebut ratapan.

16. “Dan apakah, Teman-teman, kesakitkan itu? Kesakitan jamani, ketidak-nyamanan jasmani, sakit, perasaan tidak menyenangkan yang muncul dari kontak jasmani – ini disebut kesakitan.

17. “Dan apakah, Teman-teman, kesedihan itu? kesedihan batin, ketidak-nyemanan batin, perasaan tidak menyenangkan yang muncul dari kontak batin – ini disebut kesedihan.

18. “Dan apakah, Teman-teman, keputus-asaan itu? Kesulitan dan keputus-asaan, kesulitan besar dan kehilangan harapan, dari seseorang yang mengalami kemalangan atau diakibatkan oleh kondisi-kondisi menyakitkan – ini disebut keputus-asaan.

19. “Dan apakah, Teman-teman, ‘tidak memperolah apa yang diinginkan adalah penderitaan adalah penderitaan’? Bagi makhluk-makhluk yang tunduk pada kelahiran muncul keinginan: ‘Oh, semoga kami tidak tunduk pada kelahiran! Semoga kelahiran tidak terjadi pada kami!’ Tetapi hal ini tidak diperoleh dengan cara menginginkan, dan tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan. Bagi makhluk-makhluk yang tunduk pada penuaan … tunduk pada penyakit … tunduk pada kematian … tunduk pada dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan, muncul keinginan: ‘Oh, semoga kami tidak tunduk pada dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan! Semoga dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan tidak terjadi pada kami!’ Tetapi hal ini tidak diperoleh dengan cara menginginkan, dan tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan.

20. “Dan apakah, Teman-teman, kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan, secara singkat, adalah penderitaan? Yaitu: kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, dan kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Ini adalah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan, secara singkat, adalah penderitaan. Ini disebut kebenaran mulia penderitaan.

21. “Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia asal-mula penderitaan? Adalah keinginan, yang membawa penjelmaan baru, yang disertai dengan kesenangan dan nafsu, dan kesenangan dalam ini dan itu; yaitu, keinginan akan kenikmatan indria, keinginan untuk menjelma, [251] keinginan untuk tidak menjelma. Ini disebut kebenaran mulia asal-mula penderitaan.

22. “Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia lenyapnya penderitaan? Adalah peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya, berhentinya, lepasnya, membiarkan, dan menolak keinginan yang sama ini. Ini disebut kebenaran mulia lenyapnya penderitaan.

23. “Dan apakah, Teman-teman, kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

24. “Dan apakah, Teman-teman, pandangan benar itu? Pengetahuan tentang penderitaan, pengetahuan tentang asal-mula penderitaan, pengetahuan tentang lenyapnya penderitaan, pengetahuan tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan – ini disebut pandangan benar.

25. “Dan apakah, Teman-teman, kehendak benar itu? Kehendak meninggalkan keduniawian, kehendak tanpa niat buruk, dan kehendak tanpa kekejaman – ini disebut kehendak benar.

26. “Dan apakah, Teman-teman, ucapan benar itu? Menghindari kebohongan, menghindari ucapan jahat, menghindari ucapan kasar, dan menghindari obrolan tanpa tujuan – ini disebut ucapan benar.

27. “Dan apakah, Teman-teman, perbuatan benar itu? Menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria – ini disebut perbuatan benar.

28. “Dan apakah, Teman-teman, penghidupan benar itu? Di sini seorang siswa mulia, setelah meninggalkan penghidupan salah, mencari penghidupannya melalui penghidupan benar – ini disebut penghidupan benar.

29. “Dan apakah, Teman-teman, usaha benar itu? Di sini seorang bhikkhu membangkitkan semangat untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang belum muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan semangat untuk meninggalkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang telah muncul … Ia membangkitkan semangat untuk memunculkan kondisi-kondisi yang bermanfaat yang belum muncul, [252] dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya. Ia membangkitkan semangat untuk mempertahankan kelangsungan, ketidak-lenyapan, memperkuat, meningkatkan, dan memenuhi dengan pengembangan atas kondisi-kondisi yang bermanfaat yang telah muncul, dan ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berupaya.

30. “Dan apakah, Teman-teman, perhatian benar? Di sini seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ia berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. … Ia berdiam dengan merenungkjan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran, tekun, penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan terhadap dunia. Ini disebut perhatian benar.

31. “Dan apakah, Teman-teman, konsentrasi benar itu? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Dengan meluruhnya kegembiraan, ia berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini disebut konsentrasi benar.

“Ini disebut kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.

32. “Di Benares, Teman-teman, di Taman Rusa di Isipatana Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di dunia – yaitu, mengumumkan, mengajarkan, menjelaskan, menegakkan, mengungkapkan, membabarkan, dan memperlihatkan Empat Kebenaran Mulia ini.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta.



 

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
142 Dakkhinavibhanga Sutta
« Reply #52 on: 17 October 2010, 02:38:02 PM »
142  Dakkhiṇāvibhanga Sutta
Penjelasan tentang Persembahan



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Kemudian Mahāpajāpatī Gotamī membawa sepasang jubah baru dan mendatangi Sang Bhagavā,.  Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, sepasang jubah baru ini telah dipintal oleh saya, ditenun oleh saya, khusus untuk Sang Bhaagvā. Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menerima ini demi belas kasihan.”

Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Persembahkanlah kepada Sangha, Gotami. Jika engkau mempersembahkannya kepada Sangha, maka baik Aku maupun Sangha telah dihormati.”

Untuk ke dua kali dan ke tiga kalinya ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, … menerima ini demi belas kasihan.”

Untuk ke dua kali dan ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Persembahkanlah kepada Sangha, Gotami. Jika engkau mempersembahkannya kepada Sangha, maka baik Aku maupun Sangha telah dihormati.”

3. Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menerima sepasang jubah baru ini dari Mahāpajāpatī Gotamī. Mahāpajāpatī Gotamī telah sangat berjasa bagi Sang Bhagavā, Yang Mulia. Sebagai adik ibuNya, ia adalah perawatNya, ibu tiriNya, seorang yang memberiNya susu. Ia menyusui Sang Bhagavā ketika ibunya meninggal dunia. Sang Bhagavā juga telah sangat berjasa bagi Mahāpajāpatī Gotamī, Yang Mulia. Adalah berkat Sang Bhagavā maka Mahāpajāpatī Gotamī telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Adalah berkat Sang Bhagavā maka Mahāpajāpatī Gotamī menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perialku salah dalam kenikmatan indria, menghindari kebohongan, dan menghindari arak, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Adalah berkat Sang Bhagavā maka Mahāpajāpatī Gotamī memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan ia memiliki [254] moralitas yang disenangi oleh para mulia.  Adalah berkat Sang Bhagavā maka Mahāpajāpatī Gotamī terbebas dari keragu-raguan terhadap penderitaan, terhadap asal-mula penderitaan, terhadap lenyapnya penderitaan, dan terhadap jalan menuju lenyapnya penderitaan. Sang Bhagavā telah sangat berjasa bagi Mahāpajāpatī Gotamī.

4. “Demikianlah, Ānanda, demikianlah! Ketika seseorang, berkat orang lain, berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha, Aku katakan adalah tidak mudah bagi orang pertama itu membalas orang ke dua dengan cara memberikan penghormatan, bangkit untuknya, memberikan salam penghormatan dan pelayanan sopan., dan dengan memberikan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.

“Ketika seseorang, berkat orang lain, telah menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari kebohongan, dan menghindari arak, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, Aku katakan adalah tidak mudah bagi orang pertama itu membalas orang ke dua dengan cara memberikan penghormatan …  dan obat-obatan.

“Ketika seseorang, berkat orang lain, memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan memiliki moralitas yang disenangi oleh para mulia, Aku katakan adalah tidak mudah bagi orang pertama itu membalas orang ke dua dengan cara memberikan penghormatan …  dan obat-obatan.

“Ketika seseorang, berkat orang lain, terbebas dari keragu-raguan terhadap penderitaan, terhadap asal-mula penderitaan, terhadap lenyapnya penderitaan, dan terhadap jalan menuju lenyapnya penderitaan, Aku katakan adalah tidak mudah bagi orang pertama itu membalas orang ke dua dengan cara memberikan penghormatan …  dan obat-obatan.

5. “Terdapat empat belas jenis persembahan pribadi, Ānanda.  Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna; ini adalah persembahan pribadi jenis pertama. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang Paccekabuddha; ini adalah persembahan pribadi jenis ke dua. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang Arahant siswa Sang Tathāgata; ini adalah persembahan pribadi jenis ke tiga. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah Kearahatan; ini adalah persembahan pribadi jenis ke empat. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang-tidak-kembali; ini adalah persembahan pribadi jenis lima. [255] Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah yang-tidak-kembali; ini adalah persembahan pribadi jenis ke enam. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang-kembali-sekali; ini adalah persembahan pribadi jenis tujuh. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah yang-kembali-sekali; ini adalah persembahan pribadi jenis ke delapan. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang pemasuk-arus; ini adalah persembahan pribadi jenis sembilan. Seseorang yang memberikan suatu pemberian kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah memasuki-arus;  ini adalah persembahan pribadi jenis ke sepuluh. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada seseorang di luar [Pengajaran] yang bebas dari nafsu akan kenikmatan indria;  ini adalah persembahan pribadi jenis ke sebelas. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada seorang biasa yang bermoral; ini adalah persembahan pribadi jenis ke dua belas. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada seorang biasa yang tidak bermoral; ini adalah persembahan pribadi jenis ke tiga belas. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada binatang: ini adalah persembahan pribadi jenis ke empat belas.

6. “Di sini, Ānanda, dengan memberikan suatu pemberian kepada seekor binatang, maka persembahan itu diharapkan akan menghasilkan balasan seratus kali lipat.  Dengan memberikan suatu pemberian kepada seorang biasa yang tidak bermoral, maka persembahan itu diharapkan akan menghasilkan balasan seribu kali lipat. Dengan memberikan suatu pemberian kepada seorang biasa yang bermoral, maka persembahan itu diharapkan akan menghasilkan balasan seratus ribu kali lipat. Dengan memberikan suatu pemberian kepada seseorang di luar [Pengajaran] yang bebas dari nafsu akan kenikmatan indria, maka persembahan itu diharapkan akan menghasilkan balasan seratus ribu kali seratus ribu kali lipat.

“Dengan memberikan suatu pemberian kepada seorang seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah memasuki-arus, maka persembahan itu diharapkan akan menghasilkan balasan yang tidak terhitung, tidak terukur. Apakah lagi yang harus dikatakan tentang pemberian kepada seorang pemasuk-arus? Apakah lagi yang harus dikatakan tentang pemberian kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah yang-kembali-sekali … kepada yang-kembali-sekali … kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah yang-tidak-kembali … kepada seorang yang-tidak-kembali … kepada seorang yang telah memasuki jalan untuk mencapai buah Kearahatan … kepada seorang Arahant … kepada seorang Paccekabuddha? Apakah lagi yang harus dikatakan tentang pemberian kepada seorang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna?

7. “Terdapat tujuh jenis persembahan yang diberikan kepada Sangha, Ānanda. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada kedua kelompok Sangha [baik bhikkhu maupun bhikkhunī] yang dipimpin oleh Sang Buddha; ini adalah persembahan kepada Sangha jenis pertama.  Seseorang memberikan suatu pemberian kepada kedua kelompok Sangha [baik bhikkhu maupun bhikkhunī] setelah Sang Tathāgata mencapai Nibbāna akhir; ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke dua. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada Sangha para bhikkhu; ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke tiga. Seseorang memberikan suatu pemberian kepada Sangha para bhikkhunī; ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke empat. Seseorang memberikan suatu pemberian, dengan mengatakan: ‘Tunjuklah untukku sejumlah tertentu para bhikkhu dan bhikkhunī dari Sangha; [256] ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke lima. Seseorang memberikan suatu pemberian, dengan mengatakan: ‘Tunjuklah untukku sejumlah tertentu para bhikkhu dari Sangha; [256] ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke enam. Seseorang memberikan suatu pemberian, dengan mengatakan: ‘Tunjuklah untukku sejumlah tertentu para bhikkhunī dari Sangha; [256] ini adalah persembahan kepada Sangha jenis ke tujuh.

8. “Di masa depan, Ānanda, akan ada anggota-anggota kelompok yang, ‘berleher-kuning,’ tidak bermoral, dan berkarakter jahat.   Orang-orang akan memberikan pemberian kepada orang-orang tidak bermoral itu demi Sangha. Bahkan meskipun begitu, Aku katakan, suatu persembahan yang diberikan kepada Sangha adalah tidak terhitung, tidak terukur.  Dan Aku katakan bahwa tidak mungkin suatu persembahan yang diberikan kepada seorang individu akan lebih berbuah daripada persembahan yang diberikan kepada Sangha.

9. “Terdapat, Ānanda, empat jenis pemurnian persembahan. Apakah empat ini? Ada persembahan yang dimurnikan oleh si pemberi, bukan oleh si penerima.  Ada persembahan yang dimurnikan oleh si penerima, bukan oleh si pemberi. Ada persembahan yang dimurnikan bukan oleh si pemberi juga bukan oleh si penerima. Ada persembahan yang dimurnikan baik oleh si pemberi maupun oleh si penerima.

10. “Dan bagaimanakah persembahan yang dimurnikan oleh si pemberi, bukan oleh si penerima? Di sini si pemberi adalah bermoral, berkarakter baik, dan si penerima adalah tidak bermoral, berkarakter jahat. Demikianlah persembahan yang dimurnikan oleh si pemberi, bukan oleh si penerima.

11. “Dan bagaimanakah persembahan yang dimurnikan oleh si penerima, bukan oleh si pemberi? Di sini si pemberi adalah tidak bermoral, berkarakter jahat, dan si penerima adalah bermoral, berkarakter baik. Demikianlah persembahan yang dimurnikan oleh si penerima, bukan oleh si pemberi.

12. “Dan bagaimanakah persembahan yang dimurnikan bukan oleh si pemberi juga bukan oleh si penerima? Di sini si pemberi adalah tidak bermoral, berkarakter jahat, dan si penerima adalah tidak bermoral, berkarakter jahat. Demikianlah persembahan yang dimurnikan bukan oleh si pemberi juga bukan oleh si penerima.

13. “Dan bagaimanakah persembahan yang dimurnikan baik oleh si pemberi maupun oleh si penerima? Di sini si pemberi adalah bermoral, berkarakter baik, dan si penerima adalah bermoral, berkarakter baik. [257] Demikianlah persembahan yang dimurnikan baik oleh si pemberi maupun oleh si penerima. Ini adalah empat jenis pemurnian persembahan.”

14. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Ketika Yang Sempurna telah mengatakan hal itu, Sang Guru berkata lebih lanjut:

   “Ketika seorang bermoral memberi kepada seorang yang tidak bermoral
   Suatu pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan,
   Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
   Moralitas si pemberi memurnikan persembahan itu.

   Ketika seorang tidak bermoral memberi kepada seorang yang bermoral
   Suatu pemberian yang diperoleh dengan tidak benar dengan tanpa keyakinan,
   Juga tidak meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
   Moralitas si penerima memurnikan persembahan itu.

   Ketika seorang tidak bermoral memberi kepada seorang yang tidak bermoral
   Suatu pemberian yang diperoleh dengan tidak benar dengan tanpa keyakinan,
   Juga tidak meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
   Moralitas keduanya tidak memurnikan persembahan itu.

   Ketika seorang bermoral memberi kepada seorang yang bermoral
   Suatu pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan,
   Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
   Pemberian itu, Aku katakan, akan berbuah sepenuhnya.

   Ketika seorang yang tanpa nafsu memberi kepada seorang yang tanpa nafsu
   Suatu pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan,
   Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
  Pemberian itu, Aku katakan, adalah yang terbaik di antara pemberian-pemberian duniawi.”
 
« Last Edit: 17 October 2010, 02:39:34 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
143 Anathapindikovada Sutta
« Reply #53 on: 17 October 2010, 06:56:47 PM »
143  Anāthapiṇḍikovāda Sutta
Nasihat kepada Anāthapiṇḍika




[258] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu perumah tangga Anāthapiṇḍika jatuh sakit, menderita, sakit parah. Kemudian ia menyuruh seseorang: “Pergilah, temui Sang Bhagavā, bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan katakan: ‘Yang Mulia, Perumah tangga Anāthapiṇḍika jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.’ Kemudian pergilah menemui Yang Mulia Sāriputta, bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kakinya, dan katakan: ‘Yang Mulia, Perumah tangga Anāthapiṇḍika jatuh sakit, menderita, dan sakit parah; ia bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Sāriputta.’ Kemudian katakan sebagai berikut: ‘Baik sekali, Yang Mulia, jika Yang Mulia Sāriputta sudi datang ke rumah Perumah tangga Anāthapiṇḍika, demi belas kasihan.’”

“Baik, Tuan,” orang itu menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan menyampaikan pesannya. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan setelah bersujud kepada Yang Mulia Sāriputta, ia menyampaikan pesannya, dan berkata: ‘Baik sekali, Yang Mulia, jika Yang Mulia Sāriputta sudi datang ke rumah Perumah tangga Anāthapiṇḍika, demi belas kasihan.’” Yang Mulia Sāriputta menyanggupi dengan berdiam diri.

3. Kemudian Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia mendatangi kediaman Perumah tangga Anāthapiṇḍika bersama dengan Yang Mulia Ānanda sebagai pelayannya. Setelah sampai di sana, [259] ia duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan berkata kepada Perumah tangga Anāthapiṇḍika: “Aku harap engkau lebih baik, Perumah tangga, aku harap engkau cukup nyaman. Aku harap perasaan sakitmu mereda dan tidak bertambah, dan bahwa meredanya, bukan bertambahnya, menjadi nyata.”

4. “Guru Sāriputta, aku tidak lebih baik, aku tidak nyaman. Perasaan sakitku bertambah, bukan mereda; bertambahnya dan bukan meredanya menjadi nyata. Seolah-olah seorang kuat membelah kepalaku dengan pedang tajam, demikian pula, angin kencang menembus kepalaku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah seorang kuat mengikat kepalaku dengan tali kulit yang kuat, demikian pula, ada kesakitan hebat di kepalaku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah seorang penjagal terampil atau muridnya membelah perut sapi dengan pisau daging yang tajam, demikian pula, angin kencang membelah perutku. Aku tidak lebih baik … Seolah-olah dua orang kuat mencengkeram seorang yang lemah pada kedua lengannya dan memangganggnya di atas celah bara api panas menyala, demikian pula, ada kebakaran hebat dalam tubuhku. Aku tidak lebih baik, aku tidak nyaman. Perasaan sakitku bertambah, bukan mereda; bertambahnya dan bukan meredanya menjadi nyata.”

5. “Maka, Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada mata, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada mata.’  Demikianlah engkau harus berlatih. Engkau harus belatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada telinga … Aku tidak akan melekat pada hidung … Aku tidak akan melekat pada lidah … Aku tidak akan melekat pada badan … Aku tidak akan melekat pada pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

6. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada bentuk-bentuk, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada bentuk-bentuk.’ Demikianlah engkau harus berlatih. Engkau harus belatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada suara-suara … Aku tidak akan melekat pada bau-bauan … Aku tidak akan melekat pada rasa kecapan … Aku tidak akan melekat pada obyek-obyek sentuhan … Aku tidak akan melekat pada obyek-obyek pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada obyek-obyek pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

7. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada kesadaran-mata … Aku tidak akan melekat pada kesadaran-telinga … Aku tidak akan melekat pada kesadaran-hidung … Aku tidak akan melekat pada kesadaran-lidah … Aku tidak akan melekat pada kesadaran-badan … Aku tidak akan melekat pada kesadaran-pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada kesadaran-pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

8. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada kontak-mata … Aku tidak akan melekat pada kontak-telinga … Aku tidak akan melekat pada kontak-hidung … Aku tidak akan melekat pada kontak-lidah … Aku tidak akan melekat pada kontak-badan … Aku tidak akan melekat pada kontak-pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada kontak -pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

9. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-mata … Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-telinga … Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-hidung … Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-lidah … Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-badan … Aku tidak akan melekat pada perasaan yang timbul dari kontak-pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada kontak-pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

10. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada unsur tanah … Aku tidak akan melekat pada unsur air … Aku tidak akan melekat pada unsur api … Aku tidak akan melekat pada unsur udara … Aku tidak akan melekat pada unsur ruang … Aku tidak akan melekat pada unsur kesadaran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada unsur kesadaran. Demikianlah engkau harus berlatih.

11. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada bentuk materi … Aku tidak akan melekat pada perasaan … Aku tidak akan melekat pada persepsi … Aku tidak akan melekat pada bentukan-bentukan … Aku tidak akan melekat pada kesadaran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada kesadaran.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

12. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada landasan ruang tanpa batas … Aku tidak akan melekat pada landasan kesadaran tanpa batas … Aku tidak akan melekat pada landasan kekosongan … [261] … Aku tidak akan melekat pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

13. “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada dunia ini, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada dunia ini. ‘Aku tidak akan melekat pada dunia setelah ini, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada dunia setelah ini.‘ Demikianlah engkau harus berlatih.

14.  “Perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada apa yang dilihat, didengar, dicerap, dikenali, diperoleh, dicari, dan diperiksa oleh pikiran, dan kesadaranku tidak akan bergantung pada itu.’ Demikianlah engkau harus berlatih.

15. Ketika hal ini dikatakan, Perumah tangga Anāthapiṇḍika menangis dan meneteskan air mata. Kemudian Yang Mulia Ānanda bertanya kepadanya: “Apakah engkau terjatuh, Perumah tangga, apakah engkau merosot?”

“Aku tidak terjatuh, Yang Mulia Ānanda, aku tidak merosot. Tetapi walaupun aku telah lama melayani Sang Guru dan para bhikkhu yang layak dihormati, tidak pernah sebelumnya aku mendengarkan khotbah Dhamma seperti ini.”

“Khotbah Dhamma demikian, perumah tangga, tidak dibabarkan kepada umat-umat awam berpakaian putih. Khotbah Dhamma demikian dibabarkan kepada mereka yang telah meninggalkan keduniawian.”

“Baiklah, Yang Mulia Sāriputta, mohon agar khotbah Dhamma demikian dibabarkan kepada umat-umat awam berpakaian putih. Ada anggota-anggota keluarga dengan sedikit debu di mata mereka yang akan sia-sia karena tidak mendengarkan [khotbah] Dhamma ini. Akan ada di antara mereka yang akan memahami Dhamma ini.

16. Kemudian, setelah memberikan nasihat ini kepada Perumah tangga Anāthapiṇḍika, Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Ānanda bangkit dari duduk dan pergi. Segera setelah mereka pergi, [262] Perumah tangga Anāthapiṇḍika meninggal dunia dan muncul kembali di alam surga Tusita.

17. Kemudian, ketika malam telah larut, Anāthapiṇḍika, sekarang adalah dewa muda berpenampilan indah, mendatangi Sang Bhagavā, dengan menerangi seluruh Hutan Jeta. Setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

   “Oh Hutan Jeta ini sungguh terberkahi,
   Didiami oleh Sangha yang bijaksana
   Di mana berdiam Sang Raja Dhamma,
   Sumber seluruh kebahagiaanku.

   Dengan perbuatan, pengetahuan dan Dhamma,
   Dengan moralitas dan gaya hidup mulia –
   Dengan hal-hal ini makhluk-makhluk dimurnikan,
   Bukan dengan silsilah atau kekayaan.

   Oleh karena itu seorang bijaksana yang melihat
   Apa yang sesungguhnya menuntunnya menuju kebaikannya,
   Seharusnya menyelidiki Dhamma
   Dan memurnikan dirinya sendiri di dalamnya.

   Sāriputta telah mencapai puncak
   Dalam hal moralitas, kedamaian, dan cara-cara bijaksana;
   Bhikkhu manapun yang telah menyeberang
   Paling jauh hanya dapat menyamainya.”

18. Itu adalah apa yang dikatakan oleh dewa muda Anāthapiṇḍika, dan Sang Guru menyetujuinya. Kemudian dewa muda Anāthapiṇḍika, dengan berpikir: “Sang Guru telah menyertujuiku,” memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan dengan Beliau di sisi kanannya, ia lenyap seketika.

19. Ketika malam telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, tadi malam ketika malam telah larut, muncul satu dewa muda berpenampilan indah yang menerangi seluruh Hutan Jeta. Setelah memberi hormat kepadaKu, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepadaKu dalam syair sebagai berikut:

   ‘Oh Hutan Jeta ini sungguh terberkahi …
   Paling jauh hanya dapat menyamainya.’ [263]

Itu adalah apa yang dikatakan oleh dewa muda itu. Kemudian dewa muda itu, dengan berpikir: “Sang Guru telah menyertujuiku,” memberi hormat kepadaKu, dan dengan  Aku di sisi kanannya, ia lenyap seketika.”

20. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Tentu saja, Yang Mulia, dewa muda itu pasti adalah Anāthapiṇḍika. Karena Perumah tangga Anāthapiṇḍika memiliki keyakinan sempurna pada Yang Mulia Sāriputta.”

“Bagus, bagus, Ānanda! Sejauh menarik kesimpulan engkau telah menarik kesimpulan dengan benar. Dewa muda itu memang adalah Anāthapiṇḍika, bukan yang lain.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
144 Channovada Sutta
« Reply #54 on: 17 October 2010, 06:57:33 PM »
144  Channovāda Sutta
Nasihat kepada Channa




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta, Yang Mulia Mahā Cunda, Yang Mulia Channa sedang menetap di Gunung Puncak Nasar.

3. Pada saat itu Yang Mulia Channa jatuh sakit, menderita, dan sakit parah. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Sāriputta bangkit dari duduknya, mendatangi Yang Mulia Mahā Cunda, dan berkata kepadanya: “Teman Cunda, marilah kita mendatangi Yang Mulia Channa dan menanyakan tentang penyakitnya.” – “Baik, Teman,” Yang Mulia Mahā Cunda menjawab.

4. Kemudian Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahā Cunda mendatangi Yang Mulia Channa dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika [264] ramah tamah ini berakhir, mereka duduk di satu sisi dan Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Channa:
“Aku harap engkau lebih baik, Teman Channa, aku harap engkau cukup nyaman. Aku harap perasaan sakitmu mereda dan tidak bertambah, dan bahwa meredanya, bukan bertambahnya, menjadi nyata.”

5. “Teman Sāriputta, aku tidak lebih baik, aku tidak nyaman. Perasaan sakitku bertambah, bukan mereda; … (seperti Sutta 143, §4) … bertambahnya dan bukan meredanya menjadi nyata. Aku akan menggunakan pisau,  Teman Sāriputta; aku tidak memiliki keinginan untuk hidup.

6. “Mohon Yang Mulia Channa tidak menggunakan pisau. Mohon Yang Mulia Channa tetap hidup. Kami ingin Yang Mulia Channa tetap hidup. Jika ia tidak memiliki  makanan yang sesuai, maka aku akan pergi mencarikan makanan yang sesuai untuknya. Jika ia tidak memiliki obat yang sesuai, aku akan pergi mencarikan obat yang sesuai untuknya. Jika ia tidak memiliki pelayan yang baik, aku akan melayaninya. Mohon Yang Mulia Channa tidak menggunakan pisau. Mohon Yang Mulia Channa tetap hidup.

7. “Teman Sāriputta, bukan karena aku tidak memiliki makanan yang sesuai; aku memiliki makanan yang sesuai. Bukan karena aku tidak memiliki obat-obatan yang sesuai; aku memiliki obat-obatan yang sesuai. Bukan karena aku tidak memiliki pelayan yang baik; aku memiliki pelayan yang baik. Terlebih lagi, Teman, sejak lama Sang Guru telah dilayani olehku dengan cara yang baik, bukan dengan cara yang tidak baik; karena adalah selayaknya seorang siswa melayani Sang Guru dengan cara yang baik, bukan dengan cara yang tidak baik. Ingatlah ini, Teman Sàriputta: Bhikkhu Channa akan menggunakan pisau dengan tanpa noda.”

“Kami akan bertanya kepada Yang Mulia Channa mengenai hal tertentu, jika ia sudi menjawab pertanyaan kami.”

“Tanyalah, Teman Sāriputta. Ketika mendengarnya aku akan mengetahui.”

“Teman Channa, apakah engkau menganggap mata, kesadaran-mata, dan bentuk-bentuk yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-mata sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, [265] ini diriku’? Apakah engkau menganggap telinga … hidung … lidah … badan … pikiran, kesadaran-pikiran, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-pikiran sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”

“Teman Sāriputta, aku menganggap mata, kesadara-mata, bentuk-bentuk yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-mata sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Aku menganggap telinga … hidung … lidah … badan … pikiran, kesadaran-pikiran, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-pikiran sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’”
 
10. “Teman Channa, apakah yang telah engkau lihat dan ketahui secara langsung dalam mata, dalam kesadaran-mata, dan dalam bentuk-bentuk yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-mata, yang engkau anggap sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’? apakah yang telah engkau lihat dan ketahui secara langsung dalam telinga … dalam hidung … dalam lidah … dalam badan … dalam pikiran, dalam kesadaran-pikiran, dan dalam hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-pikiran, yang engkau anggap sebagai: Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’?”

“Teman Sāriputta, melalui melihat dan mengetahui secara langsung lenyapnya di dalam mata, di dalam kesadaran-mata, dan di dalam bentuk-bentuk yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-mata, maka aku menganggapnya sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’? karena aku telah melihat dan mengetahui secara langsung lenyapnya di dalam telinga … di dalam hidung … di dalam lidah … di dalam badan … di dalam pikiran, di dalam kesadaran-pikiran, dan di dalam hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-pikiran, [266] maka aku menganggapnya sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’”

11. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Cunda berkata kepada Yang Mulia Channa:  “Oleh karena itu, Teman Channa, ajaran Sang Bhagavà ini harus terus-menerus diperhatikan: ‘Ada keraguan bagi seseorang yang tergantung, tidak ada keraguan bagi seseorang yang tidak tergantung. Ketika tidak ada keraguan, maka ada ketenangan; ketika ada ketenangan, maka tidak ada anggapan; ketika tidak ada anggapan, maka tidak ada datang dan pergi; ketika tidak ada datang dan pergi, maka tidak ada meninggal dunia dan terlahir kembali; ketika tidak ada meninggal dunia dan terlahir kembali, maka tidak ada di sini juga tidak ada di sana juga tidak ada di antara keduanya. Inilah akhir penderitaan.’”

12. Kemudian, ketika Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahā Cunda telah memberikan nasihat kepada Yang Mulia Channa, mereka bangkit dari duduk dan pergi. Kemudian, tidak lama setelah mereka pergi, Yang Mulia Channa menggunakan pisau.

13. Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendekati Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, Yang Mulia Channa telah menggunakan pisau. Ke manakah alam tujuannya, di manakah ia dilahirkan kembali?”

“Sāriputta, bukankah Bhikkhu Channa menyatakan ketanpa-nodaannya kepadamu?”

“Yang Mulia, ada desa Vajji bernama Pubbavijjhana. Di sana Yang Mulia Channa memiliki keluarga yang bersahabat, keluarga yang akrab, keluarga yang dapat didekati [sebagai penyokongnya].” 

“Yang Mulia Channa memang memiliki keluarga yang bersahabat, keluarga yang akrab, keluarga yang dapat didekati [sebagai penyokongnya]; tetapi Aku tidak mengatakan sehubungan dengan hal ini bahwa ia menjadi tercela. Sāriputta, ketika seseorang melepaskan tubuh ini dan mengambil tubuh lainnya, maka Aku katakan bahwa ia tercela. Ini tidak terjadi dalam kasus Bhikkhu Channa. Bhikkhu Channa menggunakan pisau dengan tanpa noda. Demikianlah, Sāriputta, engkau harus mengingatnya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Sāriputta merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
145 Punnovada Sutta
« Reply #55 on: 17 October 2010, 06:58:26 PM »
145  Puṇṇovāda Sutta
Nasihat kepada Puṇṇa



[267] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Puṇṇa bangkit dari meditasinya dan mendatangi Sang Bhagavā.  Setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

2. “Yang Mulia, baik sekali jika Sang Bhagavā sudi memberikan nasihat singkat kepadaku. Setelah mendengarkan Dhamma dari Sang Bhagavā, aku akan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh.”

“Baiklah, Puṇṇa, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Puṇṇa menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Puṇṇa, ada Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Jika seorang bhikkhu bergembira di dalamnya, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya, maka kegembiraan muncul dalam dirinya. Dengan munculnya kegembiraam, Puṇṇa, maka muncul pula penderitaan, Aku katakan.  Ada, Puṇṇa, suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan … obyek-obyek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, [268] dan merangsang nafsu. Jika seorang bhikkhu bergembira di dalamnya, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya, maka kegembiraan muncul dalam dirinya. Dengan munculnya kegembiraam, Puṇṇa, maka muncul pula penderitaan, Aku katakan.

4. “Puṇna, ada bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan … obyek-obyek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Jika seorang bhikkhu tidak bergembira di dalamnya, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya, maka kegembiraan lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kegembiraam, Puṇṇa, maka lenyap pula penderitaan, Aku katakan.

5. “Sekarang Aku telah memberikan nasihat singkat kepadamu, Puṇṇa, di negeri manakah engkau akan menetap?”

“Yang Mulia, karena sekarang Sang Bhagavā telah memberikan nasihat singkat kepadaku, aku akan menetap di negeri Sunāparanta.”

“Puṇṇa, orang-orang Sunāparanta ganas dan kasar. Jika mereka mencaci dan mengancam engkau, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta mencaci dan mengancam aku, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak memukulku dengan tinju.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta memukulmu dengan tinju, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta memukulku dengan tinju, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak memukulku dengan bongkahan tanah.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta memukulmu dengan bongkahan tanah, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta memukulku dengan bongkahan tanah, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak memukulku dengan tongkat kayu.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta memukulmu dengan tongkat kayu, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta memukulku dengan tongkat kayu, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak menusukku dengan pisau.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menusukmu dengan pisau, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta menusukku dengan pisau, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak membunuhku dengan pisau tajam.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta membunuhmu dengan pisau tajam, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta membunuhku dengan pisau tajam, maka aku akan berpikir: ‘Ada para siswa Sang Bhagavā yang, karena merasa muak, dan malu, dan jijik dengan jasmani ini dan dengan kehidupan, telah mencari penyerang. Tetapi aku telah memperoleh penyerang ini bahkan tanpa mencari.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

6. “Bagus, bagus, Puṇṇa! Dengan memiliki pengendalian diri dan kedamaian demikian , engkau akan mampu bertahan di negeri Sunāparanta. Sekarang, Puṇṇa, sekarang adalah waktunya engkau melakukan apa yang perlu engkau lakukan.”

7. Kemudian, dengan senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, Yang Mulia Puṇṇa bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, pergi dengan Beliau tetap di sisi kanannya. Kemudian ia merapikan tempat tinggalnya,  dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia melakukan perjalanan menuju negeri Sunāparanta. Dengan berjalan secara bertahap, ia akhirnya tiba di negeri Sunāparanta dan menetap di sana. kemudian, selama masa vassa, Yang Mulia Puṇṇa menegakkan lima ratus umat awam laki-laki dan lima ratus umat awam perempuan dalam praktik, dan ia sendiri mencapai tiga pengetahuan sejati. Beberapa waktu kemudian, Yang Mulia Puṇṇa mencapai Nibbāna akhir.

8. Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahu Beliau: “Yang Mulia, Anggota keluarga Puṇna, yang telah menerima instruksi singkat dari Sang Bhagavā, telah meninggal dunia. Di manakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya berikutnya?”

“Para bhikkhu, Anggota keluarga Puṇna adalah seorang bijaksana. Ia berlatih sesuai Dhamma dan tidak menyusahkanKu dalam menginterpretasikan Dhamma. Anggota keluarga Puṇna telah mencapai Nibbāna akhir.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
146 Nandakovada Sutta
« Reply #56 on: 17 October 2010, 06:59:17 PM »
146  Nandakovāda Sutta
Nasihat dari Nandaka



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Mahāpajāpatī Gotamī bersama dengan lima ratus bhikkhunī mendatangi Sang bhagavā. Setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menasihati para bhikkhunī, sudilah Sang Bhagavā memberikan isntruksi kepada para bhikkhunī, sudilah Sang Bhagavā memberikan khotbah Dhamma kepada para bhikkhunī.”

3. Pada saat itu para bhikkhu senior bergiliran dalam memberikan nasihat kepada para bhikkhunī, tetapi Yang mulia Nandaka tidak mau menasihati mereka ketika gilirannya tiba.  Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, giliran siapakah menasihati para bhikkhunī hari ini?”

“Yang Mulia, adalah giliran Yang Mulia Nandaka untuk menasihati para bhikkhunī, tetapi ia tidak mau menasihati mereka walaupun hari ini adalah gilirannya.”

4. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Nandaka: “Nasihatilah para bhikkhunī, Nandaka. Berikanlah instruksi kepada para bhikkhunī, Nandaka. Babarkanlah khotbah Dhamma kepada para bhikkhunī, Brahmana.”

“Baik, Yang Mulia,” [271] Yang Mulia Nandaka menjawab. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Nandaka merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika ia telah menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan ia bersama seorang teman pergi ke Taman Rājaka. Dari kejauhan para bhikkhunī melihat kedatangan Yang Mulia Nandaka dan mempersiapkan tempat duduk dan menyediakan air untuk mencuci kaki. Yang Mulia Nandaka duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan mencuci kakinya. Para bhikkhunī bersujud kepadanya dan duduk di satu sisi. Ketika mereka telah duduk, Yang Mulia Nandaka berkata kepada para bhikkhunī:

6. “Saudari-saudari, khotbah ini akan disampaikan dalam bentuk pertanyaan. Jika kalian mengerti maka katakanlah: ‘Kami mengerti’; jika kalian tidak mengerti maka katakanlah: ‘Kami tidak mengerti’; jika kalian ragu-ragu atau bingung maka kalian harus bertanya: ‘Bagaimanakah ini, Yang Mulia? Apakah makna dari hal ini?’”

“Yang Mulia, kami cukup puas dan senang dengan Guru Nandaka dalam hal bahwa ia mengundang kami bahkan hingga sejauh ini.”

6. “Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah mata adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?” – “Tidak, Yang Mulia.”

“Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah telinga … hidung … lidah … badan … pikiran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, [272] dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena, Yang Mulia, kami telah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Enam landasan internal ini adalah tidak kekal.’”

“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.

7. “Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah bentuk-bentuk … suara-suara … bau-bauan … rasa kecapan … obyek-obyek sentuhan … obyek-obyek pikiran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena, Yang Mulia, kami telah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Enam landasan eksternal ini adalah tidak kekal.’”

“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.

8. “Saudari-saudari, bagaimana menurut kalian? Apakah kesadaran-mata … [273] … kesadaran-telinga … kesadaran-hidung … kesadaran-lidah … kesadaran-badan … kesadaran-pikiran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, [272] dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena, Yang Mulia, kami telah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Enam kelompok kesadaran ini adalah tidak kekal.’”

“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.

9. “Saudari-saudari, misalkan sebuah lampu minyak menyala: minyaknya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan; sumbunya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, apinya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan. Sekarang apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Selama lampu minyak ini menyala, minyaknya, sumbunya, dan apinya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, tetapi cahayanya adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan’?”

“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena, Yang Mulia, Selama lampu minyak ini menyala, minyaknya, sumbunya, dan apinya adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, maka cahayanya juga pasti tidak kekal dan tunduk pada perubahan.”

“Demikian pula, Saudari-saudari, apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Enam landasan internal ini adalah tidak kekal dam tunduk pada perubahan, tetapi perasaan yang menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang dialami seseorang dengan bergantung pada enam landasan internal ini adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan’?”

“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena masing-masing perasaan muncul dengan bergantung pada kondisinya yang bersesuaian,  [274] dan dengan lenyapnya kondisi yang bersesuaian itu, maka lenyap pula perasaan.”

“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.

10. “Saudari-saudari, misalkan sebatang pohon besar memiliki inti kayu: akarnya tidak kekal dan tunduk pada perubahan, batangnya tidak kekal dan tunduk pada perubahan, dahan-dahannya dan dedaunannya tidak kekal dan tunduk pada perubahan, dan bayangannya tidak kekal dan tunduk pada perubahan. Sekarang apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Akar, batang, dahan-dahan dan dedaunan dari pohon besar yang memiliki inti kayu ini adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, tetapi bayangannya adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan’?”

“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena, Yang Mulia, Akar, batang, dahan-dahan dan dedaunan dari pohon besar yang memiliki inti kayu ini adalah tidak kekal dan tunduk pada perubahan, maka bayangannya juga pasti tidak kekal dan tunduk pada perubahan.”

“Demikian pula, Saudari-saudari, apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Enam landasan eksternal ini adalah tidak kekal dam tunduk pada perubahan, tetapi perasaan yang menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang dialami seseorang dengan bergantung pada enam landasan eksternal ini adalah kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan’?”

“Tidak, Yang Mulia, mengapakah? Karena masing-masing perasaan muncul dengan bergantung pada kondisinya yang bersesuaian, dan dengan lenyapnya kondisi yang bersesuaian itu, maka lenyap pula perasaan.”

“Bagus, bagus, Saudari-saudari! Demikianlah seorang siswa mulia yang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar.

11. “Saudari-saudari, misalkan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya menyembelih seekor sapi dan memotongnya dengan pisau daging yang tajam. Tanpa merusak daging bagian dalamnya dan tanpa merusak kulit luarnya, ia membelah, memotong, dan mencincang urat daging bagian dalam, otot, dan sendi-sendi dengan pisau daging yang tajam. [275] Kemudian setelah membelah, memotong, dan mencincang semua itu, ia menguliti kulit luarnya dan menutupnya lagi dengan kulit yang sama. apakah ia mengatakan dengan benar jika ia berkata: ‘Sapi ini dibungkus oleh kulit ini persis seperti sebelumnya’?”

“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena seorang tukang daging yang terampil atau muridnya menyembelih seekor sapi  …dan membelah, memotong, dan mencincang semua itu, bahkan jika ia menutupnya lagi dengan kulit yang sama dan berkata: ‘Sapi ini dibungkus oleh kulit ini persis seperti sebelumnya,’ namun sapi itu tetap terlepas dari kulit itu.”

12. “Saudari-saudari, Aku memberikan perumpamaan ini untuk menyampaikan maknanya. Berikut ini adalah maknanya: ‘daging bagian dalam’ adalah sebutan untuk enam landasan internal. ‘kulit luar’ adalah sebutan untuk enam landasan eksternal. ‘urat daging bagian dalam, otot, dan sendi-sendi’ adalah sebutan untuk kesenangan dan nafsu. ‘Pisau daging yang tajam’ adalah sebutan untuk kebijaksanaan mulia – kebijaksanaan mulia yang membelah, memotong, dan mencincang kekotoran-kekotoran bagian dalam, belenggu-belenggu, dan ikatan-ikatan.

13. “Saudari-saudari, ada tujuh faktor pencerahan ini  yang melalui pengembangan dan pelatihannya seorang bhikkhu, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Apakah tujuh ini? Di sini, Saudari-saudari, seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Ia mengembangkan faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan kegembiraan … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Ini adalah tujuh faktor pencerahan yang melalui pengembangan dan pelatihannya seorang bhikkhu, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.” [276]

14. Ketika Yang Mulia Nandaka telah memberikan nasihat kepada para bhikkhunī seperti itu, ia membubarkan mereka, dengan berkata: “Pergilah, saudari-saudari, sudah waktunya.” Kemudian para bhikkhunī, dengan senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Nandaka, pergi dengan Yang Mulia Nandaka tetap di sisi kanan mereka. Mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, berdiri di satu sisi. Sang Bhagavā memberitahu mereka: “Pergilah, saudari-saudari, sudah waktunya.” Kemudian para bhikkhunī itu bersujud kepada Sang Bhagavā dan pergi dengan Beliau tetap di sisi kanan mereka.

15. Segera setelah mereka pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, seperti halnya pada hari Uposatha tanggal empat belas orang-orang tidak ragu atau bingung sehubungan dengan apakah bulan penuh atau tidak, karena bulan jelas tidak penuh, demikian pula, para bhikkhunī itu puas dengan ajaran Dhamma dari Nandaka, tetapi kehendak mereka masih belum terpenuhi.”

16-26. “Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Nandaka: “Baiklah, Nandaka, besok engkau juga harus memberikan nasihat kepada para bhikkhunī itu dengan cara yang persis sama.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Nandaka menjawab. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Nandaka merapikan jubah … (ulangi kata demi kata §§4-14 di atas, hingga) [277] … Kemudian para bhikkhunī itu bersujud kepada Sang Bhagavā dan pergi dengan Beliau tetap di sisi kanan mereka.

27. Segera setelah mereka pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, seperti halnya pada hari Uposatha tanggal lima belas orang-orang tidak ragu atau bingung sehubungan dengan apakah bulan penuh atau tidak, karena bulan jelas penuh, demikian pula, para bhikkhunī itu puas dengan ajaran Dhamma dari Nandaka, tetapi kehendak mereka telah belum terpenuhi. Para bhikkhu, bahkan yang paling tidak maju di antara kelima ratus bhikkhunī itu adalah seorang pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir di alam sengsara, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
147 Cularahulovada Sutta
« Reply #57 on: 17 October 2010, 07:00:08 PM »
147  Cūḷarāhulovāda Sutta
Khotbah Pendek
Nasihat kepada Rāhula



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, sewaktu Sang Bhagavā sedang sendirian dalam meditasi, sebuah pemikiran muncul pada Beliau sebagai berikut: “Kondisi-kondisi yang matang dalam kebebasan telah muncul dalam diri Rāhula.  Bagaimana jika Aku menuntunnya lebih jauh menuju hancurnya noda-noda.”

Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau berkata kepada Yang Mulia Rāhula sebagai berikut:

“Bawalah alas dudukmu, Rāhula; mari kita pergi ke Hutan Orang Buta [278] untuk melewatkan hari.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Rāhula menjawab, dan dengan membawa alas duduknya, ia mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā.

Pada saat itu ribuan para dewa mengikuti Sang Bhagavā, dengan berpikir: “Hari ini Sang Bhagavā akan menuntun Yang Mulia Rāhula lebih jauh menuju hancurnya noda-noda.”

Kemudian Sang Bhagavā memasuki Hutan Orang Buta dan duduk di bawah sebatang pohon di atas tempat duduk yang telah dipersiapkan. Dan Yang Mulia Rāhula bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Rāhula:

3. “Rāhula, bagaimana menurutmu? Apakah mata adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?” – “Tidak, Yang Mulia.”

“Rāhula, bagaimana menurutmu? Apakah bentuk-bentuk … Apakah kesadaran-mata … [279] … Apakah kontak-mata … Apakah segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya adalah kekal atau tidak kekal?”  - “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?” – “Tidak, Yang Mulia.”

4-8. “Rāhula, bagaimana menurutmu? Apakah telinga adalah kekal atau tidak kekal?… Apakah hidung adalah kekal atau tidak kekal … Apakah lidah adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah badan adalah kekal atau tidak kekal?… Apakah pikiran adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah obyek-obyek pikiran adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah kesadaran-pikiran adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah kontak-pikiran adalah kekal atau tidak kekal … Apakah segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak pikiran sebagai kondisnya adalah kekal atau tidak kekal?”– “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?” – “Tidak, Yang Mulia.”

9. “Dengan melihat demikian, Rāhula, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa dengan mata, kecewa dengan bentuk-bentuk, kecewa dengan kesadaran-mata, kecewa dengan kontak-mata, dan kecewa dengan segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisnya.

“Ia menjadi kecewa dengan telinga ... Ia menjadi kecewa dengan hidung … Ia menjadi kecewa dengan lidah … Ia menjadi kecewa dengan badan … Ia menjadi kecewa dengan pikiran, kecewa dengan obyek-obyek pikiran, kecewa dengan kesadaran-pikiran, kecewa dengan kontak-pikiran, [280] dan kecewa dengan segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisnya.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Rāhula merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Sewaktu khotbah ini sedang dibabarkan Batin Rāhula terbebas dari noda-noda. Dan pada ribuan para dewa itu muncul penglihatan Dhamma yang bersih tanpa noda: “Segala sesuatu yang tunduk pada kemunculan juga tunduk pada kelenyapan.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
148 Chachakka Sutta
« Reply #58 on: 17 October 2010, 08:45:50 PM »
148  Chachakka Sutta
Enam Kelompok Enam



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; Aku akan mengungkapkan kehidupan suci yang sungguh murni dan sempurna,  yaitu, enam kelompok enam. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(RINGKASAN)

3. “Enam landasan internal harus dipahami. Enam landasan eksternal harus dipahami. Enam kelompok kesadaran harus dipahami. Enam kelompok kontak harus dipahami. Enam kelompok perasaan harus dipahami. Enam kelompok keinginan harus dipahami.

(PENGURAIAN)

4. (i) “’Enam landasan internal harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan-mata, landasan-telinga, landasan-hidung, landasan-lidah, landasan-badan, landasan-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Eam landasan internal harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam pertama. [281]

5. (ii) “’Enam landasan ekternal harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan-bentuk, landasan-suara, landasan-bau, landasan-rasa kecapan, landasan-obyek sentuhan, landasan-obyek pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Enam landasan eksternal harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke dua.

6. (iii) “’Enam kelompok kesadaran harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga; Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung; Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah; Dengan bergantung pada badan dan obyek-obyek sentuhan, muncul kesadaran-badan; Dengan bergantung pada pikiran dan obyek-obyek pikiran, muncul kesadaran-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Enam kelompok kesadaran harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke tiga.

7 (iv) “’Enam kelompok kontak harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada badan dan obyek-obyek sentuhan, muncul kesadaran-badan; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada pikiran dan obyek-obyek pikiran, muncul kesadaran-pikiran; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Enam kelompok kontak harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke empat.

8. (v) “’Enam kelompok perasaan harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada badan dan obyek-obyek sentuhan, muncul kesadaran-badan; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada pikiran dan obyek-obyek pikiran, muncul kesadaran-pikiran; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Enam kelompok perasaan harus dipahami.’ [282] Ini adalah kelompok enam ke lima.

9. “’Enam kelompok keinginan harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi maka muncul keinginan.  Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga … dengan perasaan sebagai kondisi maka muncul keinginan. Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung … dengan perasaan sebagai kondisi maka muncul keinginan. Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah … dengan perasaan sebagai kondisi maka muncul keinginan. Dengan bergantung pada badan dan obyek-obyek sentuhan, muncul kesadaran-badan … dengan perasaan sebagai kondisi maka muncul keinginan. Dengan bergantung pada pikiran dan obyek-obyek pikiran, muncul kesadaran-pikiran; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi maka muncul keinginan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ’Enam kelompok keinginan harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke enam.

(DEMONSTRASI BUKAN DIRI)
 
10. (i) “Jika seseorang mengatakan, ‘Mata adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan.  Timbul dan tenggelamnya mata adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya mata adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Mata adalah diri.’ Dengan demikian mata adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Bentuk-bentuk adalah diri’  … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Bentuk-bentuk adalah diri.’ Dengan demikian bentuk-bentuk adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Kesadaran-mata adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Kesadaran-mata adalah diri.’ Dengan demikian kesadaran-mata adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Kontak-mata adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Kontak-mata adalah diri.’ Dengan demikian mata adalah bukan diri, bentuk-bentuk adalah bukan diri, kesadaran-mata adalah bukan diri, kontak-mata adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Perasaan adalah diri’ [283] … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Perasaan adalah diri.’ Dengan demikian mata adalah bukan diri, bentuk-bentuk adalah bukan diri, kesadaran-mata adalah bukan diri, kontak-mata adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian mata adalah bukan diri, bentuk-bentuk adalah bukan diri, kesadaran-mata adalah bukan diri, kontak-mata adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

11. (ii) “Jika seseorang mengatakan, ‘Telinga adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya telinga adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya telinga adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Telinga adalah diri.’ Dengan demikian telinga adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Suara-suara adalah diri’ … ‘Kesadaran-telinga adalah diri’ … ‘Kontak-telinga adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian telinga adalah bukan diri, suara-suara adalah bukan diri, kesadaran-telinga adalah bukan diri, kontak-telinga adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

12. (iii) “Jika seseorang mengatakan, ‘Hidung adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya hidung adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya hidung adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Hidung adalah diri.’ Dengan demikian hidung adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Bau-bauan adalah diri’ … ‘Kesadaran-hidung adalah diri’ … ‘Kontak-hidung adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian hidung adalah bukan diri, bau-bauan adalah bukan diri, kesadaran-hidung adalah bukan diri, kontak-hidung adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

13. (iv) “Jika seseorang mengatakan, ‘Lidah adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya lidah adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya lidah adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Lidah adalah diri.’ Dengan demikian lidah adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Rasa kecapan adalah diri’ … ‘Kesadaran-lidah adalah diri’ … ‘Kontak-lidah adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian lidah adalah bukan diri, rasa-kecapan adalah bukan diri, kesadaran-lidah adalah bukan diri, kontak-lidah adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

14. (v) “Jika seseorang mengatakan, ‘Badan adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya badan adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya badan adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Badan adalah diri.’ Dengan demikian badan adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Obyek-obyek sentuhan adalah diri’ … ‘Kesadaran-badan adalah diri’ … ‘Kontak-badan adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian badan adalah bukan diri, obyek-obyek sentuhan adalah bukan diri, kesadaran-badan adalah bukan diri, kontak-badan adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

14. (vi) “Jika seseorang mengatakan, ‘Pikiran adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya pikiran adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya pikiran adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam. Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Pikiran adalah diri.’ Dengan demikian pikiran adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Obyek-obyek pikiran adalah diri’ … ‘Kesadaran-pikiran adalah diri’ … ‘Kontak-pikiran adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … [284] … ‘Keinginan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan bagi seseorang yang mengatakan, ‘Keinginan adalah diri.’ Dengan demikian pikiran adalah bukan diri, obyek-obyek pikiran adalah bukan diri, kesadaran-pikiran adalah bukan diri, kontak-pikiran adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

-----------------------
*** Bersambung

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
148 Chachakka Sutta (Lanjutan)
« Reply #59 on: 17 October 2010, 08:47:04 PM »
(ASAL-MULA IDENTITAS)

16. “Sekarang, Para bhikkhu, ini adalah jalan menuju asal-mula identitas.  (i) Seseorang menganggap mata sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap bentuk-bentuk sebagai berikut … Ia menganggap kesadaran-mata sebagai berikut … Ia menganggap kontak-mata sebagai berikut … Ia menganggap perasaan sebagai berikut … Ia menganggap keinginan sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’

17-21. (ii-vi) “Seseorang menganggap telinga sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ … Seseorang menganggap hidung sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ … Seseorang menganggap lidah sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ … Seseorang menganggap badan sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Seseorang menganggap pikiran sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Seseorang menganggap obyek-obyek pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap kesadaran-pikiran … Seseorang menganggap kontak-pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap perasaan sebagai berikut … Seseorang menganggap keinginan sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’

(LENYAPNYA IDENTITAS)

16. “Sekarang, Para bhikkhu, ini adalah jalan menuju lenyapnya identitas.  (i) Seseorang menganggap mata sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap bentuk-bentuk sebagai berikut … Ia menganggap kesadaran-mata sebagai berikut … Ia menganggap kontak-mata sebagai berikut … Ia menganggap perasaan sebagai berikut … Ia menganggap keinginan sebagai berikut: ‘Ini  bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

17-21. (ii-vi) “Seseorang menganggap telinga sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ … Seseorang menganggap hidung sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ … Seseorang menganggap lidah sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ … Seseorang menganggap badan sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Seseorang menganggap pikiran sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Seseorang menganggap obyek-obyek pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap kesadaran-pikiran … Seseorang menganggap kontak-pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap perasaan [285] sebagai berikut … Seseorang menganggap keinginan sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

(KECENDERUNGAN TERSEMBUNYI)

28. (i) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk,  kesadaran-mata muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan. Ketika seseorang tersentuh oleh suatu perasaan yang menyenangkan, jika ia menyenanginya, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya, maka kecenderungan tersembunyi pada nafsu berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan menyakitkan, jika ia berdukacita, bersedih dan meratap, menangis dengan memukul dada dan menjadi putus asa, maka kecenderungan tersembunyi pada kebencian berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, jika ia tidak memahami sebagaimana adanya asal-mulanya, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan itu, maka kecenderungan tersembunyi pada kebodohan berdiam di dalam dirinya. Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan tanpa meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan, tanpa menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada kebencian terhadap perasaan menyakitkan, tanpa membasmi kecenderungan tersembunyi pada kebodohan atas perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, tanpa meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejati  - ini adalah tidak mungkin.

29-33. (ii-vi) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, kesadaran-telinga muncul … Dengan bergantung pada pikiran dan obyek-obyek pikiran, kesadaran-pikiran muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan ... Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan tanpa meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan … tanpa meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejati - ini adalah tidak mungkin. [286]
Lanjutan 148  Chachakka Sutta
----------------------------------------

(DITINGGALKANNYA KECENDERUNGAN TERSEMBUNYI)

34. (i) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, kesadaran-mata muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan. Ketika seseorang tersentuh oleh suatu perasaan yang menyenangkan, jika ia tidak menyenanginya, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya, maka kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan menyakitkan, jika ia tidak berdukacita, tidak bersedih dan tidak meratap, tidak menangis dengan memukul dada dan tidak menjadi putus asa, maka kecenderungan tersembunyi pada kebencian tidak berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, jika ia memahami sebagaimana adanya asal-mulanya, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan itu, maka kecenderungan tersembunyi pada kebodohan tidak berdiam di dalam dirinya. Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan dengan meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan, dengan menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada kebencian terhadap perasaan menyakitkan, dengan membasmi kecenderungan tersembunyi pada kebodohan atas perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, dengan meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejati - ini adalah mungkin.

29-33. (ii-vi) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, kesadaran-telinga muncul … Dengan bergantung pada pikiran dan obyek-obyek pikiran, kesadaran-pikiran muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan ... Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan dengan meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan … dengan meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejati - ini adalah mungkin.

(PEMBEBASAN)

40. “Dengan melihat demikian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa dengan mata, kecewa dengan bentuk-bentuk, kecewa dengan kesadaran-mata, kecewa dengan kontak-mata, kecewa dengan perasaan, kecewa dengan keinginan.

“Ia menjadi kecewa dengan telinga … Ia menjadi kecewa dengan hidung … Ia menjadi kecewa dengan lidah … Ia menjadi kecewa dengan badan … Ia menjadi kecewa dengan pikiran, kecewa dengan obyek-obyek pikiran, kecewa dengan kesadaran-pikiran, kecewa dengan kontak-pikiran, kecewa dengan perasaan, kecewa dengan keinginan.

41. “Karena kecewa, [287] ia menjadi bosan, melalui kebosanan [batinnya] terbebskan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Ketika khotbah ini sedang dibabarkan, melalui ketidak-melekatan batin enam puluh bhikkhu terbebaskan dari noda-noda.