//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, Bagian III (Lima puluh khotbah terakhir)  (Read 37252 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Majjhima Nikaya, Bagian III (Lima puluh khotbah terakhir)
« on: 02 October 2010, 10:14:18 PM »
Thread ini berisi sutta-sutta yg terdapat dalam Majjhima Nikaya, Bagian III (Lima puluh khotbah terakhir)
*walaupun disebutkan 50 tapi pada kenyataannya ada 52 sutta dalam koleksi ini*

KELOMPOK DI DEVADAHA (DEVADAHAVAGGA)

101  Devadaha Sutta
102  Pañcattaya Sutta
103  Kinti Sutta
104  Sāmagāma Sutta
105  Sunakkhatta Sutta
106  Āneñjasappāya Sutta
107  Gaṇakamoggallāna Sutta
108  Gopakamoggallāna Sutta
109  Mahāpuṇṇama Sutta
110  Cūḷapuṇṇama Sutta

KELOMPOK SATU DEMI SATU (ANUPADAVAGGA)

111  Anupada Sutta
112  Sappurisa Sutta
113  Chabbisodhana Sutta
114  Sevitabbāsevitabba Sutta
115  Bahudhātuka Sutta
116  Isigili Sutta
117  Mahācattārisaka Sutta
118  Ānāpānasati Sutta
119  Kāyagatāsati Sutta
120  Sankhārupapatti Sutta

KELOMPOK TENTANG KEKOSONGAN (SUÑÑATAVAGGA)

122  Mahāsuññata Sutta
123  Acchariya-abbhūta Sutta
124  Bakkula Sutta
125  Dantabhūmi Sutta
126  Bhūmija Sutta
127  Anuruddha Sutta
128  Upakkilesa Sutta
129  Bālapaṇḍita Sutta
130  Davadūta Sutta

KELOMPOK PENJELASAN (VIBHANGAVAGGA)

131  Bhaddekaratta Sutta
132  Ānandabhaddekaratta Sutta
133  Mahākaccānabhaddekaratta Sutta
134  Lomasakangiyabhaddekaratta Sutta
135  Cūḷakammavibhanga Sutta
136  Mahākammavibhanga Sutta
137  Saḷāyatanavibhanga Sutta
138  Uddesavibhanga Sutta
139  Araṇavibhanga Sutta
140  Dhātuvibhanga Sutta
141  Saccavibhanga Sutta
142  Dakkhiṇāvibhanga Sutta

KELOMPOK ENAM LANDASAN (SAḶĀYATANAVAGGA)

143  Anāthapiṇḍikovāda Sutta
144  Channovāda Sutta
145  Puṇṇovāda Sutta
146  Nandakovāda Sutta
147  Cūḷarāhulovāda Sutta
148  Chacakka Sutta
149  Mahāsaḷāyatanika Sutta
150  Nagaravindeyya Sutta
151  Piṇḍapātapārisuddhi Sutta
152  Indriyabhāvanā Sutta

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
101 Devadaha Sutta
« Reply #1 on: 02 October 2010, 10:16:20 PM »
101  Devadaha Sutta
Di Devadaha




[214] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap negeri Sakya di mana terdapat sebuah pemukiman Sakya bernama Devadaha. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Apa pun yang dirasakan oleh orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, semua itu disebabkan oleh apa yang dilakukan di masa lampau.  Jadi dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan  dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan. Dengan tidak adanya akibat di masa depan, maka hancurnya perbuatan terjadi. Dengan hancurnya perbuatan, maka hancurnya penderitaan terjadi. Dengan hancurnya penderitaan, maka hancurnya perasaan terjadi. Dengan hancurnya perasaan, maka segala penderitaan akan menjadi padam.’ Demikianlah menurut para Nigaṇṭha, para bhikkhu.

3. “Aku mendatangi para Nigaṇṭha yang mengatakan demikian dan Aku mengatakan: ‘Teman-teman para Nigaṇṭha, benarkah bahwa kalian menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … maka segala penderitaan akan menjadi padam.”?’ Jika, ketika mereka ditanya demikian, para Nigaṇṭha itu mengakui dan mengatakan ‘Ya,’ maka aku mengatakan kepada mereka:

4. “’ Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian ada di masa lampau, dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak ada?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu?’ - ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam?’ – [215] ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini?’ – ‘Tidak, Teman.’

5. “Jadi, teman-teman, sepertinya kalian tidak mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataaanya kalian tidak pernah ada; atau bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya; atau bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu; atau bahwa seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam; atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu,  tidaklah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, semua itu disebabkan oleh apa yang dilakukan di masa lampau. Jadi dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan. Dengan tidak adanya akibat di masa depan … segala penderitaan akan menjadi padam.”

6. “’Jika, Teman Nigaṇṭha, kalian mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataaanya kalian tidak pernah ada; atau bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya; atau bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu; atau bahwa seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam; atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu,  maka adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … [216] … segala penderitaan akan menjadi padam.”

7. “’Teman Nigaṇṭha, misalkan seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan karenanya ia merasakan perasaan sakit, menyiksa dan menusuk. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak-saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, mencabut anak panah itu, dan mengoleskan serbuk obat pada luka itu, dan pada setiap tahapan itu orang itu akan merasakan perasaan sakit, menyiksa dan menusuk. Kemudian belakangan, ketika luka itu sembuh dan tertutup kulit, orang itu menjadi baik dan bahagia, tidak bergantung, menguasai dirinya sendiri, mampu bepergian kemanapun yang ia kehendaki. Ia mungkin berpikir: “Sebelumnya aku tertusuk oleh anak panah beracun, dan karenanya aku merasakan perasaan sakit, menyiksa dan menusuk. Kemudian teman-teman dan sahabatku, sanak-saudara dan kerabatku, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, mencabut anak panah itu, dan mengoleskan serbuk obat pada luka itu, dan pada setiap tahapan itu aku merasakan perasaan sakit, menyiksa dan menusuk. [217] Tetapi sekarang luka itu sembuh dan tertutup kulit, aku menjadi baik dan bahagia, tidak bergantung, menguasai diriku sendiri, mampu bepergian kemanapun yang kukehendaki.”

8. “’Demikian pula, Teman Nigaṇṭha, jika kalian mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataaanya kalian tidak pernah ada … atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu,  maka adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”

10. “Ketika hal ini dikatakan, Para Nigaṇṭha berkata kepadaKu: [218] ‘Teman, Nigaṇṭha Nātaputta maha-tahu dan maha-melihat, memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap sebagai berikut: ‘Apakah Aku berjalan atau berdiri atau tidur atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tanpa terputus ada padaKu.” Ia berkata sebagai berikut: "Para Nigaṇṭha, kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau, padamkanlah dengan melaksanakan pertapaan keras. Dan ketika kalian di sini dan saat ini terkendali dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, itu berarti tidak melakukan perbuatan jahat di masa depan. Jadi dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan … maka segala penderitaan akan menjadi padam.” Kami menyetujui dan menerima ini, dan kami merasa puas.’

11. “Ketika hal ini dikatakan, Aku berkata kepada para Nigaṇṭha:  ‘Ada lima hal, Teman Nigaṇṭha, yang mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Apakah lima ini? Keyakinan, persetujuan, tradisi lisan, penalaran, dan penerimaan pandangan melalui perenungan. Kelima hal ini mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Di sini, keyakinan yang bagaimanakah yang Para Mulia Nigaṇṭha yakini pada guru yang mengatakan tentang masa lampau? Persetujuan yang bagaimanakah, Tradisi lisan yang bagaimanakah, penalaran yang bagaimanakah, penerimaan pandangan melalui perenungan yang bagaimanakah?’ Dengan mengatakan demikian, para bhikkhu, Aku tidak melihat adanya pembelaan yang sah atas posisi mereka oleh para Nigaṇṭha.

12. “Kemudian, para bhikkhu, Aku berkata kepada para Nigaṇṭha: ‘Bagaimana menurut kalian, Teman Nigaṇṭha? Ketika ada pengerahan keras, ada usaha keras, apakah kalian merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu? tetapi ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras, apakah kalian merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu? – ‘Ketika ada pengerahan keras, Teman Gotama, ada usaha keras, maka kami merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu; [219] tetapi ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras, maka kami tidak merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu.’

13. “’Jadi sepertinya, Teman Nigaṇṭha, bahwa ketika ada pengerahan keras … maka kalian merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu; tetapi ketika tidak ada pengerahan keras … maka kalian tidak merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu. Kalau begitu, tidaklah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan:  “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, semua itu disebabkan oleh apa yang dilakukan di masa lampau. Jadi dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan. Dengan tidak adanya akibat … segala penderitaan akan menjadi padam.”

14. “’Jika, Teman Nigaṇṭha, bahwa ketika ada pengerahan keras, ada usaha keras, maka perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu juga ada, dan ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras maka perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu tetap masih ada; Kalau begitu, adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”

15. “’Tetapi karena, Teman Nigaṇṭha, ketika ada pengerahan keras, ada usaha keras, maka kalian merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu, tetapi ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras, maka kalian tidak merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu, oleh karena itu kalian hanya merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk dari pengerahan yang kalian lakukan sendiri, dan adalah karena kebodohan, ketidak-tahuan, dan khayalan [220] maka kalian secara keliru menganggap: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”’ Dengan mengatakan demikian, para bhikkhu, Aku tidak melihat adanya pembelaan yang sah atas posisi mereka oleh para Nigaṇṭha.

16. “Kemudian para bhikkhu, Aku berkata kepada para Nigaṇṭha: ‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini  dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami dalam kehidupan mendatang?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi mungkinkah suatu perbuatan [yang akibatnya] akan dialami dalam kehidupan mendatang, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini? – ‘Tidak, Teman.’

17. “’Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan?’ – ‘Tidak, Teman.’

18. “’Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang?’  - – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam pribadi yang matang?’ – ‘Tidak, Teman.’

19. “’Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus banyak dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] sedikit dialami?’ – ‘Tidak, Teman.’ - ‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus sedikit dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] banyak dialami?’ – ‘Tidak, Teman.’

20. “’Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] tidak dialami?’  – ‘Tidak, Teman.’ - ‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] tidak dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami?’ – ‘Tidak, Teman.’

21. “’Jadi sepertinya, Teman Nigaṇṭha, bahwa adalah tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami dalam kehidupan mendatang, dan tidak mungkin suatu perbuatan [yang akibatnya] akan dialami dalam kehidupan mendatang, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus banyak dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] sedikit dialami, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus sedikit dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] banyak dialami; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] tidak dialami, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] tidak dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami. Oleh karena itu, pengerahan Yang Mulia para Nigaṇṭha adalah tidak berbuah, [22] usaha mereka adalah tidak berbuah.’

22. “Demikianlah para Nigaṇṭha berkata, para bhikkhu. Dan karena para Nigaṇṭha berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka:

(1) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka para Nigaṇṭha pasti telah melakukan perbuatan buruk di masa lampau, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(2) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi,  maka para Nigaṇṭha pasti diciptakan oleh Tuhan Tertinggi yang jahat, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(3) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh situasi dan alam,  maka para Nigaṇṭha pasti bernasib buruk, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(4) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok [di antara enam kelompok kelahiarn],  maka para Nigaṇṭha pasti berasal dari kelompok yang buruk, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(5) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, maka para Nigaṇṭha pasti berusaha dengan buruk di sini dan saat ini, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(6) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka para Nigaṇṭha juga harus dicela.

(7) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

( 8 ) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh nasib, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

(9) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

(10) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, [223] maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

“Demikianlah para Nigaṇṭha berkata, para bhikkhu. Dan karena para Nigaṇṭha berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah ini dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka. Dengan demikian, pengerahan mereka adalah tidak berbuah, usaha mereka adalah tidak berbuah.

----------------------
*** Bersambung

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
101 Devadaha Sutta (Lanjutan)
« Reply #2 on: 02 October 2010, 10:17:55 PM »
Lanjutan 101  Devadaha Sutta
----------------------------------------


23. “Dan bagaimanakah pengerahan menjadi berbuah, para bhikkhu, bagaimanakah usaha menjadi berbuah? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tidak diliputi penderitaan tidak meliputi dirinya dengan penderitaan; dan ia tidak melepaskan kenikmatan yang sesuai dengan Dhamma, namun ia tidak tergila-gila dengan kenikmatan itu.  Ia mengetahui sebagai berikut: ‘Jika aku berusaha dengan penuh tekad, sumber penderitaan ini akan meluruh dalam diriku karena usaha penuh tekad itu; dan jika mengamati dengan keseimbangan, sumber penderitaan ini meluruh dalam diriku selagi aku mengembangkan keseimbangan.’  Ia berusaha dengan penuh tekad sehubungan dengan sumber penderitaan itu yang meluruh dalam dirinya karena usaha penuh tekad itu; dan ia mengembangkan keseimbangan sehubungan dengan sumber penderitaan itu yang meluruh dalam dirinya selagi ia mengembangkan keseimbangan. Ketika ia berusaha dengan penuh tekad, sumber penderitaan ini dan itu meluruh dalam dirinya karena usaha penuh tekad itu; demikianlah penderitaan itu padam dalam dirinya. Ketika ia mengamati dengan keseimbangan, sumber penderitaan ini dan itu meluruh dalam dirinya selagi ia mengembangkan keseimbangan; demikianlah penderitaan itu padam dalam dirinya.

24. “Misalkan, para bhikkhu, seorang laki-laki mencintai seorang perempuan dengan pikiran terikat padanya oleh keinginan dan nafsu yang kuat. Ia mungkin melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Tidakkah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul pada laki-laki itu ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa?”

“Ya, Yang Mulia. Mengapakah? Karena laki-laki itu mencintai perempuan itu dengan pikiran terikat padanya oleh keinginan dan nafsu yang kuat; [224] itulah sebabnya mengapa dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul padanya ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa.”

25. “Kemudian, para bhikkhu, laki-laki itu mungkin berpikir: ‘Aku mencintai perempuan ini dengan pikiranku terikat padanya oleh keinginan dan nafsu yang kuat; dengan demikian dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul padaku ketika aku melihatnya berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa. Bagaimana jika aku meinggalkan keinginan dan nafsuku pada perempuan itu?’ ia meninggalkan keinginan dan nafsunya pada perempuan itu. belakangan ia mungkin melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Tidakkah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul pada laki-laki itu ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain …?”

“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena laki-laki itu tidak lagi mencintai perempuan itu; itulah sebabnya mengapa dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan tidak muncul padanya ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain … “

26. “Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu tidak diliputi penderitaan tidak meliputi dirinya dengan penderitaan … (seperti pada §23 di atas) [225] … demikianlah penderitaan itu padam dalam dirinya. Demikianlah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

27. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Sewaktu aku hidup menuruti kenikmatanku, kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam diriku dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang; tetapi ketika aku mengerahkan diriku dalam apa yang menyakitkan, kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam diriku dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah. Bagaimana jika aku mengerahkan diriku dalam apa yang menyakitkan?’ ia mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan. Ketika ia melakukan itu, kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah.  Belakangan ia tidak lagi mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan. Mengapakah? Tujuan yang karenanya bhikkhu itu mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan telah tercapai; itulah sebabnya mengapa belakangan ia tidak lagi mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan.

28. “Misalkan, para bhikkhu, seorang pembuat anak panah sedang memanaskan sebatang anak panah di antara dua kobaran api, membuatnya lurus dan dapat dikerjakan. Ketika batang anak panah itu telah dipanaskan di antara dua kobaran api dan telah lurus dan dapat dikerjakan, maka belakangan ia tidak lagi memanaskannya untuk membuatnya lurus dan dapat dikerjakan. Mengapakah? Tujuan yang karenanya si pembuat anak panah itu memanaskan anak panah itu dan membuatnya lurus dan dapat dikerjakan telah tercapai; itulah sebabnya mengapa belakangan ia tidak lagi memanaskannya untuk membuatnya lurus dan dapat dikerjakan.

29. “Demikian pula, seorang bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut ... (seperti pada §27 di atas) [226] ... itulah sebabnya mengapa belakangan ia tidak lagi mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan. Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

30-37. “Kemudian, para bhikkhu, di sini seorang Tathāgata muncul di dunia ini, sempurna, tercerahkan sempurna ... (seperti Sutta 51, §§12-19) ... ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

38. “Setelah meninggalkan kelima rintangan, ketidak-sempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

39. “Kemudian, para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

40. “Kemudian, para bhikkhu, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan dengan penuh perhatian dan kewaspadaan penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

41. “Kemudian, para bhikkhu, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan kesakitan juga bukan kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

42.  “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

43. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah. [227]

44. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

45. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

46. “Demikianlah Sang Tathāgata berkata, para bhikkhu. Dan karena Sang Tathāgata berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah untuk memuji Beliau:

(1) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka Sang Tathāgata pasti telah melakukan perbuatan baik di masa lampau, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(2) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, maka Sang Tathāgata pasti diciptakan oleh Tuhan Tertinggi yang baik, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(3) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh situasi dan alam, maka Sang Tathāgata pasti bernasib baik, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(4) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok [di antara enam kelompok kelahiarn], maka Sang Tathāgata pasti berasal dari kelompok yang baik, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(5) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, maka Sang Tathāgata pasti berusaha dengan baik di sini dan saat ini, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(6) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

(7) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

( 8 ) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh nasib, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

(9) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

(10) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, [228] maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

“Demikianlah Sang Tathāgata berkata, para bhikkhu. Dan karena Sang Tathāgata berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah ini untuk memuji Beliau.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
102 Pancattaya Sutta
« Reply #3 on: 03 October 2010, 10:28:52 AM »
102  Pañcattaya Sutta
Lima dan Tiga




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthi di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu,” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(SPEKULASI TENTANG MASA DEPAN)

2. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang berspekulasi tentang masa depan dan menganut pandangan tentang masa depan, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa depan.

(I)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’
(II)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’
(III)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’
(IV)   Atau mereka menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan dari makhluk yang ada [pada saat kematian].
(V)   Atau beberapa menyatakan Nibbāna di sini dan saat ini.

“Demikianlah (a) mereka menggambarkan keberadaan diri yang tidak hancur setelah kematian; (b) atau mereka menggambarkan pemusnahan kehancuran, dan kebinasaan dari makhluk yang ada [pada saat kematian]; (c) atau mereka menyatakan Nibbāna di sini dan saat ini. Demikianlah [pandangan-pandangan] ini dari lima menjadi tiga, dan dari tiga menjadi lima. Ini adalah ringkasan dari ‘lima dan tiga.’

3. (1) “Di sana, para bhikkhu, para petapa dan barhmana [229] yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan bahwa diri itu, yang memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:
   Materi;
   Atau bukan materi;
   Atau materi juga bukan-materi;
   Atau bukan materi juga bukan bukan-materi;
   Atau memiliki persepsi dari kesatuan;
   Atau memiliki persepsi dari keberagaman;
   Atau memiliki persepsi terbatas;
   Atau memiliki persepsi tanpa batas.
Atau yang lainnya, di antara sedikit dari mereka yang melampaui hal ini, beberapa menyatakan tentang kasiṇa-kesadaran, yang tanpa batas dan tanpa gangguan.

4. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai memiliki diri dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu sebagai materi … atau mereka menggambarkannya sebagai memiliki persepsi dan tanpa batas. Atau yang lainnya, [230] beberapa menyatakan tentang landasan kekosongan, tanpa batas dan tanpa gangguan; [bagi mereka] “tidak ada apa-apa” dinyatakan sebagai persepsi yang paling murni, paling tinggi, paling baik, dan tidak terlampaui – apakah persepsi bentuk, persepsi tanpa bentuk, persepsi kesatuan, atau persepsi keberagaman.  Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya. 

5. (II) “Di sana, para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:
   Materi;
   Atau bukan materi;
   Atau materi juga bukan-materi;
   Atau bukan materi juga bukan bukan-materi.

6. “Di sana, para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Karena mereka mengatakan: ‘Persepsi adalah penyakit, persepsi adalah tumor, persepsi adalah anak panah; ini adalah damai, ini adalah luhur, yaitu, tanpa persepsi.’

7. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai materi ... atau bukan materi juga bukan bukan-materi. Bahwa petapa atau brahmana manapun mengatakan: “Terlepas dari bentuk materi, terlepas dari perasaan, terlepas dari persepsi, terlepas dari bentukan-bentukan, aku akan menjelaskan datang dan perginya kesadaran, lenyapnya dan kemunculan kembalinya, pertumbuhannya, peningkatannya, dan kematangannya” – itu adalah tidak mungkin.  Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

8. (III) “Di sana, para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang memiliki juga tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:
   Materi;
   Atau bukan materi;
   Atau materi juga bukan-materi;
   Atau bukan materi juga bukan bukan-materi.

9. “Di sana, para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Karena mereka mengatakan: ‘Persepsi adalah penyakit, persepsi adalah tumor, persepsi adalah anak panah dan tanpa persepsi adalah kelumpuhan;  ini adalah damai, ini adalah luhur, yaitu, bukan  persepsi juga bukan tanpa-persepsi.’

10. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki persepsi juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai materi ... atau bukan materi juga bukan bukan-materi. Jika petapa atau brahmana manapun menjelaskan bahwa memasuki landasan ini terjadi melalui bentukan-bantukan sehubungan dengan apa yang dilihat, didengar, dicerap, dan dikenali, itu dinyatakan sebagai bencana dalam memasuki landasan ini. [232] Untuk landasan ini, dinyatakan, tidak dicapai sebagai pencapaian dengan bentukan-bentukan; landasan ini, dinyatakan, dicapai sebagai pencapaian dengan sisa-sisa bentukan-bentukan.  Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

11. (IV) “Di sana, para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian]  mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Semua petapa dan brahmana baik ini, bergegas ke depan, menyatakan keterikatan mereka sebagai berikut: ‘Kita akan demikian setelah mati, kita akan demikian setelah mati.’ Seperti halnya seorang pedagang yang pergi ke pasar dan berpikir: ‘Karena ini, itu akan menjadi milikku; dengan ini, aku akan mendapatkan itu’; demikian pula, para petapa dan brahmana baik ini tampak seperti para pedagang itu ketika mereka menyatakan: ‘Kita akan demikian setelah mati, kita akan demikian setelah mati.’

12. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian], karena ketakutan pada identitas dan kejijikan pada identitas, terus-menerus berlari dan berputar di sekeliling identitas yang sama itu.  Seperti halnya seekor anjing yang terikat oleh tali pengikat pada sebuah tiang atau tonggak [233] akan terus-menerus belari dan berputar di sekeliling tiang atau tonggak yang sama itu; demikian pula, para petapa dan brahmana baik itu, karena ketakutan pada identitas dan kejijikan pada identitas, terus-menerus berlari dan berputar di sekeliling identitas yang sama itu. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

13.  “Para bhikkhu, petapa atau brahmana manapun yang berspekulasi tentang masa depan dan menganut pandangan tentang masa depan, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa depan, semuanya menyatakan kelima landasan ini atau salah satu di antaranya.

-----------------------
*** Bersambung

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
102 Pancattaya Sutta (Lanjutan)
« Reply #4 on: 03 October 2010, 10:29:40 AM »
Lanjutan 102  Pañcattaya Sutta
-----------------------------------------


(SPEKULASI TENTANG MASA LAMPAU)

14. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang berspekulasi tentang masa lampau dan menganut pandangan tentang masa lampau, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa lampau.

(1)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(2)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(3)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi dan tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(4)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah bukan abadi juga bukan tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(5)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(6)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(7)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah terbatas dan tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
( 8 )   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah bukan terbatas juga bukan tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(9)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi kesatuan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(10)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi keberagaman: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(11)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(12)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi tidak terukur: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(13)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kenikmatan luar biasa: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(14)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kesakitan luar biasa: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(15)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kenikmatan dan kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(16)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia tidak [mengalami] kenikmatan maupun kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’


15. (1) “Di sana, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ bahwa terlepas dari keyakinan, terlepas dari persetujuan, terlepas dari tradisi lisan, terlepas dari penalaran, terlepas dari penerimaan pandangan melalui perenungan, mereka akan memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih atas hal ini – itu adalah tidak mungkin.  Karena mereka tidak memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih, bahkan sekadar potongan pengetahuan yang dijelaskan oleh para petapa dan brahmana baik itu [atas pandangan mereka] dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak mereka.  Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

16. (2-16) “Di sana, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak abadi ... abadi dan tidak abadi ... bukan abadi juga bukan tidak abadi ... terbatas ... tidak terbatas ... terbatas dan tidak terbatas ... bukan terbatas juga bukan tidak terbatas ... memiliki persepsi kesatuan ... memiliki persepsi keberagaman ... memiliki persepsi terbatas ... memiliki persepsi tidak terukur ... [mengalami] kenikmatan luar biasa ... [mengalami] kesakitan luar biasa ... [mengalami] kenikmatan dan kesakitan ... tidak [mengalami] kenikmatan maupun kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ bahwa terlepas dari keyakinan, terlepas dari persetujuan, terlepas dari tradisi lisan, terlepas dari penalaran, terlepas dari penerimaan pandangan melalui perenungan, mereka akan memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih atas hal ini – itu adalah tidak mungkin. Karena mereka tidak memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih, bahkan sekadar potongan pengetahuan yang dijelaskan oleh para petapa dan brahmana baik itu [atas pandangan mereka] dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak mereka. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

(NIBBĀNA DI SINI DAN SAAT INI)

17. (V) “Di sini, para bhikkhu,  seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, masuk dan berdiam dalam kegembiraan keterasingan.  Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam kegembiraan keterasingan.’ Kegembiraan keterasingan itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan itu, maka kesedihan muncul, dan dengan lenyapnya kesedihan, maka kegembiraan keterasingan muncul.  Seperti halnya cahaya matahari meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh keteduhan, dan keteduhan meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, Dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan itu, maka kesedihan muncul, dan dengan lenyapnya kesedihan, maka kegembiraan keterasingan muncul.

18. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kesedihan, maka kegembiraan keterasingan muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

19. “Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi kegembiraan keterasingan, masuk dan berdiam dalam kenikmatan non-duniawi.  Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam kenikmatan non-duniawi.’ Kenikmatan non-duniawi itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kenikmatan non-duniawi, maka kegembiraan keterasingan muncul, dan dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan, maka kenikmatan non-duniawi muncul. [236] Seperti halnya cahaya matahari meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh keteduhan, dan keteduhan meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, Dengan lenyapnya kenikmatan non-duniawi, maka kegembiraan keterasingan muncul, dan dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan, maka kenikmatan non-duniawi muncul.

20. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan, maka kenikmatan non-duniawi muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

21. “Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi kegembiraan keterasingan dan kenikmatan non-duniawi, masuk dan berdiam dalam perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.  Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’ Perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu, maka kenikmatan non-duniawi muncul, dan dengan lenyapnya kenikmatan non-duniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul. Seperti halnya cahaya matahari meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh keteduhan, dan keteduhan meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, Dengan lenyapnya perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu, maka kenikmatan non-duniawi muncul, dan dengan lenyapnya kenikmatan non-duniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul.

22. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kenikmatan non-duniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

23. “Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi kegembiraan keterasingan, kenikmatan non-duniawi, dan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan.’

24. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan.’ Tentu saja yang mulia ini menyatakan jalan menuju NIbbāna. Namun petapa atau brahmana baik ini masih melekat, melekat apakah pada pandangan tentang masa lampau atau pada pandangan tentang masa depan atau pada belenggu kenikmatan indria atau pada kegembiraan keterasingan atau pada kenikmatan non-duniawi atau pada perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Dan ketika yang mulia ini menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan,’ itu juga dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak petapa atau brahmana baik ini.  Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

25. “Para bhikkhu, kondisi tertinggi dari kedamaian luhur ini telah ditemukan oleh Sang Tathāgata, yaitu, kebebasan melalui ketidak-melekatan,  dengan memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal enam landasan kontak. Para bhikkhu, itu adalah kondisi tertinggi dari kedamaian luhur ini yang ditemukan oleh Sang Tathāgata, [238] yaitu, kebebasan melalui ketidak-melekatan, dengan memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal enam landasan kontak.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
103 Kinti Sutta
« Reply #5 on: 03 October 2010, 10:30:50 AM »
103  Kinti Sutta
Bagaimana Pendapat Kalian mengenai Aku?



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kusināra, di Hutan Persembahan. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Bagaimanakah pendapat kalian mengenai Aku, para bhikkhu? Bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi jubah? Atau bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi makanan? Atau bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi tempat tinggal? Atau bahwa Petapa Gotama memgajarkan Dhamma demi kehidupan yang lebih baik?”

“Kami tidak berpedapat demikian mengenai Sang Bhagavā: ‘Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi jubah, atau demi makanan, atau demi tempat tinggal, atau demi kehidupan yang lebih baik.’”

“Jadi, para bhikkhu, kalian tidak berpendapat demikian mengenai Aku: ‘Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi jubah … atau demi kehidupan yang lebih baik.’ Maka bagaimanakah pendapat kalian mengenai Aku?”

“Yang Mulia, kami berpendapat seperti berikut mengenai Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā berbelas kasihan dan mengusahakan kesejahteraan kami; Beliau mengajarkan Dhamma karena berbelas kasihan.’”

“Jadi, para bhikkhu, kalian berpendapat demikian mengenai Aku: ‘Sang Bhagavā berbelas kasihan dan mengusahakan kesejahteraan kami; Beliau mengajarkan Dhamma karena berbelas kasihan.’

3. “Maka, para bhikkhu, hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepada kalian setelah mengetahuinya secara langsung – yaitu, empat landasan perhatian, empat jenis usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, Jalan Mulia Berunsur Delapan – dalam hal-hal ini kalian semuanya harus berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan.

4. “Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan, dua bhikkhu mungkin membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan Dhamma yang lebih tinggi.

5. “Sekarang jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya,’  maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ’Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna dan perbedaan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’  Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘‘Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna dan perbedaan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam. Dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

6. “Sekarang jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda dalam makna tetapi sepakat dalam kata-kata,’ maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ’Para mulia ini berbeda dalam makna tetapi sepakat dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna tetapi terjadi kesepakatan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’  Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda dalam makna tetapi sepakat dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna tetapi terjadi kesepakatan dalam kata-katanya; jangan biarkan para mulia itu jatuh dalam perselisihan.’ [204] Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam dan apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

7. “Sekarang jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat dalam makna tetapi berbeda dalam kata-kata,’ maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ’Para mulia ini sepakat dalam makna tetapi berbeda dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan dalam makna tetapi terjadi perbedaan dalam kata-katanya. Tetapi kata-kata adalah persoalan sepele. Jangan biarkan para mulia itu jatuh dalam perselisihan karena persoalan sepele.’   Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat dalam makna tetapi berbeda dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan dalam makna tetapi terjadi perbedaan dalam kata-katanya. Tetapi kata-kata adalah persoalan sepele. Jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan karena persoalan sepele.’ Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai keliru digenggam dan apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai keliru digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai benar digenggam maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

8. “Sekarang jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya,’ maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ’Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan baik dalam makna maupun dalam kata-katanya; semoga para mulia itu tidak jatuh dalam perselisihan.’  Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan baik dalam makna maupun dalam kata-katanya; semoga para mulia itu tidak jatuh dalam perselisihan.’ Maka apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam. Dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam, maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

9. “Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan, seorang bhikkhu mungkin melakukan suatu pelanggaran.

10. “Sekarang, para bhikkhu, kalian tidak boleh terburu-buru menegurnya; melainkan, orang itu harus diperiksa sebagai berikut: ‘Aku tidak akan direpotkan dan orang itu tidak akan terluka; karena orang itu tidak biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, ia tidak melekat dengan erat pada pandangannya dan ia dapat melepaskannya dengan mudah, dan aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

11. “Kemudian kalian mungkin berpikir, para bhikkhu: ‘Aku tidak akan direpotkan, tetapi orang itu mungkin akan terluka; karena orang itu biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan. Akan tetapi, ia tidak melekat dengan erat pada pandangannya dan ia dapat melepaskannya dengan mudah, dan aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa ia akan terluka, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

12. “Kemudian kalian mungkin berpikir, para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan, tetapi orang itu tidak akan terluka; karena orang itu tidak biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, walaupun ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; namun aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa aku akan direpotkan, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

13. “Kemudian kalian mungkin berpikir, para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan, dan orang itu mungkin akan terluka; [242] karena orang itu biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, dan ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; namun aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa aku akan direpotkan dan orang itu mungkin terluka, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

14. “Kemudian kalian mungkin berpikir, para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan dan orang itu mungkin akan terluka; karena orang itu biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, dan ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; dan aku tidak dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan tidak dapat mengokohkannya dalam yang bermanfaat.’ Seseorang sebaiknya tidak meremehkan keseimbangan terhadap orang seperti itu.

15. “Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, permusuhan, dan kekecewaan. maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak yang memihak salah satu pihak harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, permusuhan, dan kekecewaan. Jika Sang Petapa mengetahui, apakah ia akan mencela hal itu?’  jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih … Jika Sang Petapa mengetahui, maka ia akan mencela hal itu.’

“’Tetapi, Teman, tanpa meninggalkan hal itu, dapatkah seseorang mencapai Nibbāna?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Teman, tanpa meninggalkan hal itu, ia tidak dapat mencapai Nibbāna.’

16. “Kemudian bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak yang memihak pada pihak yang berlawanan harus didekati dan diberitahu sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, permusuhan, dan kekecewaan. Jika Sang Petapa mengetahui, apakah ia akan mencela hal itu?’ jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih … Jika Sang Petapa mengetahui, maka ia akan mencela hal itu.

“’Tetapi, Teman, tanpa meninggalkan hal itu, dapatkah seseorang mencapai Nibbāna?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: [243] ‘Teman, tanpa meninggalkan hal itu, ia tidak dapat mencapai Nibbāna.’

17. “Jika orang lain bertanya kepada bhikkhu itu sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia yang membuat para bhikkhu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengokohkan mereka dalam yang bermanfaat?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Di sini, Teman-teman, aku menghadap Sang Bhagavā. Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku. Setelah mendengarkan Dhamma itu, aku berkata kepada para bhikkhu itu. Para bhikkhu itu mendengarkan Dhamma itu, dan mereka keluar dari yang tidak bermanfaat dan menjadi kokoh dalam yang bermanfaat.’ Dengan menjawab demikian, bhikkhu itu tidak meninggikan dirinya sendiri juga tidak merendahkan orang lain; ia menjawab sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan peluang bagi celaan yang dapat dengan benar disimpulkan dari pernyataannya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
104 Samagama Sutta
« Reply #6 on: 03 October 2010, 10:32:05 AM »
104  Sāmagāma Sutta
Di Sāmagāma



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Sakya di Sāmagāma.

2. Pada saat itu Nigaṇṭha Nātaputta baru saja meninggal dunia di Pāvā.  Setelah kematiannya para Nigaṇṭha terbagi menjadi dua kelompok; dan mereka bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan: “Engkau tidak memahami Dhamma dan Disiplin ini. Aku memahami Dhamma dan Disiplin ini. Bagaimana mungkin engkau memahami Dhamma dan Disiplin ini? Caramu salah. Caraku benar. Aku konsisten. Engkau tidak konsisten. Apa yang seharusnya engkau katakan di awal [244] engkau katakan di akhir. Apa yang seharusnya engkau katakan di akhir engkau katakan di awal. Apa yang telah engkau pikirkan dengan saksama telah diputar-balikkan. Pernyataanmu telah diperlihatkan. Engkau telah dibantah. Pergi dan belajarlah lebih baik, atau bebaskan dirimu dari kekusutan jika engkau mampu!” Sepertinya seolah-olah terjadi pembantaian di tengah-tengah para murid Nigaṇṭha Nātaputta. Dan para pengikut awam berpakaian putih menjadi jijik, cemas, dan kecewa dengan murid-murid Nigaṇṭha Nātaputta, seperti seharusnya yang terjadi pada Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan dengan buruk dan dibabarkan dengan buruk, yang tidak membebaskan, tidak menghasilkan kedamaian, dibabarkan oleh seorang yang tidak sepenuhnya tercerahkan, dan sekarang altarnya rusak, dibiarkan tanpa perlindungan.

3. Kemudian Samaṇera Cunda,  yang telah melewatkan musim hujan di Pāvā, mendatangi Yang Mulia Ānanda, dan setelah bersujud kepadanya, ia duduk di satu sisi dan memberitahukan apa yang sedang terjadi.

Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Samaṇera Cunda: “Sahabat Cunda, ini adalah berita yang harus disampaikan kepada Sang Bhagavā. Marilah kita menghadap Sang Bhagavā dan memberitahukan kepada Beliau.”

“Baik, Yang Mulia,” Samaṇera Cunda menjawab.

4. Kemudian Yang Mulia Ānanda dan Samaṇera Cunda pergi menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi, dan [345] Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Samaṇera Cunda ini, Yang Mulia, mengatakan bahwa: ‘Yang Mulia, Nigaṇṭha Nātaputta baru saja meninggal dunia. Setelah kematiannya para Nigaṇṭha terbagi menjadi dua kelompok … dan sekarang altarnya rusak, dibiarkan tanpa naungan.’ Aku berpikir, Yang mulia. ‘Semoga tidak terjadi perselisihan dalam Sangha ketika Sang Bhagavā telah meninggal dunia. Karena perselisihan demikian, akan mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.’”

5. “Bagaimana menurutmu, Ānanda? Hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepadamu setelah secara langsung mengetahuinya – yaitu, empat landasan perhatian, empat jenis usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, Jalan Mulia Berunsur Delapan – adakah engkau melihat, Ānanda, bahkan dua bhikkhu yang membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan hal-hal ini?”

“Tidak, Yang Mulia, aku tidak melihat bahkan ada dua bhikkhu yang membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan hal-hal ini. Tetapi, Yang Mulia, ada orang-orang yang hidup dengan menghormati Sang Bhagavā yang mungkin, setelah Beliau meninggal dunia, menciptakan perselisihan dalam Sangha sehubungan dengan penghidupan dan sehubungan dengan Pātimokkha.  Perselisihan demikian dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.”

“Perselisihan sehubungan dengan penghidupan atau sehubungan dengan Pātimokkha adalah hal sepele, Ānanda. Tetapi jika muncul perselisihan dalam Sangha sehubungan dengan jalan atau cara,  Perselisihan demikian dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.

6. “Terdapat, Ānanda, enam akar perselisihan ini.  Apakah enam ini? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu marah dan kesal. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, [246] dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Sangha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu. dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidak-munculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan.

7-11. “Kemudian, seorang bhikkhu bersikap meremehkan dan congkak … iri dan tamak … curang dan menipu … berkeinginan jahat dan berpandangan salah, dan melepaskannya dengan susah-payah. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Sangha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu. dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. [247] Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidak-munculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan. Ini adalah enam akar perselisihan.

12. “Ānanda, terdapat empat jenis perkara ini. Apakah empat ini? Perkara karena perselisihan, perkara karena tuduhan, perkara karena pelanggaran, dan perkara sehubungan dengan pelaksanaan perbuatan. Ini adalah empat jenis perkara.

13. “Ānanda, terdapat tujuh jenis penyelesaian perkara.  Untuk menyelesaikan dan mendamaikan perkara pada saat terjadinya: penghapusan perkara melalui konfrontasi dapat diberikan, penghapusan perkara karena ingatan dapat diberikan, penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu dapat diberikan, pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran, pendapat mayoritas, pernyataan karakter buruk atas seseorang, dan menutup dengan rumput.

14. “Dan bagaimanakah terjadinya penghapusan perkara melalui konfrontasi?  Di sini para bhikkhu berselisih: ‘Ini adalah Dhamma,’ atau ‘Ini bukan Dhamma,’ atau ‘Ini adalah Disiplin,’ atau ‘Ini bukan Disiplin.’ Para bhikkhu itu harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan.  Begitu tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara itu harus diselesaikan sedemikian sehingga sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. demikianlah penghapusan perkara melalui konfrontasi. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara melalui konfrontasi.

15. “Dan bagaimanakah terjadinya pendapat mayoritas? Jika para bhikkhu itu tidak dapat menyelesaikan perkara itu di dalam tempat kediaman itu, maka mereka harus mendatangi tempat kediaman di mana terdapat lebih banyak bhikkhu. Di sana, mereka semuanya harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan. Begitu tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara itu harus diselesaikan sedemikian sehingga sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. demikianlah pendapat mayoritas. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara melalui pendapat mayoritas.

16. “Dan bagaimanakah penghapusan perkara karena ingatan?   Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan:  ‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ [248] Dalam kasus ini penghapusan perkara karena ingatan harus ditetapkan. Demikianlah penghapusan perkara karena ingatan. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara karena ingatan.

17. “Dan bagaimanakah penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu?  Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan: ‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku telah menjadi gila, teman, aku kehilangan akal-sehat, dan ketika aku gila aku mengatakan dan melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Aku tidak ingat, aku gila ketika aku melakukan hal itu.’ Dalam kasus ini penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu harus ditetapkan. Demikianlah penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu.

18. “Dan bagaimanakah terjadinya pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran? Di sini seorang bhikkhu, apakah ditegur atau tidak ditegur, mengingat suatu pelanggaran, menyatakannya, dan mengungkapkannya. Ia harus mendatangi seorang bhikkhu senior, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia harus bersujud di kakinya. Kemudian, sambil duduk berlutut, ia harus merangkapkan tangan dan berkata: ‘Yang Mulia, aku telah melakukan pelanggaran itu; aku mengakuinya.’ Bhikkhu senior berkata: ‘Apakah engkau melihat?’ – ‘Ya, aku melihat.’ – ‘Apakah engkau akan mempraktikkan pengendalian di masa depan?’ – ‘Aku akan mempraktikkan pengendalian di masa depan.’ Demikianlah pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran.  Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran. [249]

19. “Dan bagaimanakah terjadinya pernyataan karakter buruk atas seseorang?  Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan: ‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan. Tetapi, Teman-teman, aku ingat telah melakukan pelanggaran ringan itu.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Teman-teman, ketika tidak ditanya aku mengakui telah melakukan pelanggaran ringan; jadi ketika ditanya, mengapa aku tidak mengakui telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Bhikkhu itu berkata: ‘Teman, jika engkau tidak ditanya, engkau tidak akan mengakui telah melakukan pelanggaran ringan ini; jadi mengapa, ketika ditanya, engkau mengakui telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan? Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ ia berkata: ‘Aku ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan. Aku bergurau, aku hanya meracau, ketika aku mengatakan bahwa aku tidak ingat telah melakukan melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ Demikianlah terjadinya pernyataan karakter buruk atas seseorang. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan pernyataan karakter buruk atas seseorang. [250]

20. “Dan bagaimanakah terjadinya menutup dengan rumput?  Di sini ketika para bhikkhu telah bertengkar dan bercekcok dan berselisih, mereka mungkin telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Para bhikkhu itu harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah mereka berkumpul, seorang bhikkhu yang bijaksana di antara para bhikkhu yang memihak salah satu pihak bangkit dari duduknya, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan, dan mengundang Sangha sebagai berikut: ‘Mohon Yang Mulia Sangha mendengarkan aku. Ketika kami bertengkar dan bercekcok dan berselisih, kami telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Jika Sangha menyetujui, maka demi kabaikan para mulia ini dan demi kebaikanku, di tengah-tengah Sangha aku akan mengakui, melalui metode menutup dengan rumput, segala pelanggaran dari para mulia ini dan segala pelanggaranku, kecuali pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius dan yang berhubungan dengan umat awam.’

“Kemudian seorang bhikkhu yang bijaksana di antara para bhikkhu yang memihak pihak lainnya bangkit dari duduknya, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan, dan mengundang Sangha sebagai berikut: ‘Mohon Yang Mulia Sangha mendengarkan aku. Ketika kami bertengkar dan bercekcok dan berselisih, kami telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Jika Sangha menyetujui, maka demi kabaikan para mulia ini dan demi kebaikanku, di tengah-tengah Sangha aku akan mengakui, melalui metode menutup dengan rumput, segala pelanggaran dari para mulia ini dan segala pelanggaranku, kecuali pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius dan yang berhubungan dengan umat awam.’ Demikianlah menutup dengan rumput. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan menutup dengan rumput.

21. “Ānanda, terdapat enam prinsip kerukunan ini yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.  Apakah enam ini?

“Di sini seorang bhikkhu memelihara perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan ucapan cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan pikiran cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan [251] penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu menggunakan benda-benda bersama-sama dengan teman-temannya dalam kehidupan suci; tanpa merasa keberatan, ia berbagi dengan mereka apapun jenis perolehan yang ia peroleh yang sesuai dengan Dhamma dan telah diperoleh dengan cara yang sesuai dengan Dhamma, bahkan termasuk isi mangkuknya. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal moralitas yang tidak rusak, tidak robek, tidak berbintik, tidak bercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak disalah-pahami, dan mendukung konsentrasi. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Ini adalah enam prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

22. “Jika, Ānanda, kalian menjalankan dan mempertahankan keenam prinsip kerukunan ini, apakah engkau melihat ucapan apapun juga, baik hal kecil maupun hal besar, yang tidak dapat engkau terima?”  – “Tidak, Yang Mulia.” – “Oleh karena itu, Ānanda, jalankan dan pertahankanlah keenam prinsip kerukunan ini. Hal itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
105 Sunakkhatta Sutta
« Reply #7 on: 05 October 2010, 08:10:05 PM »
105  Sunakkhatta Sutta
Kepada Sunakkhatta




[252] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip.

2. Pada saat itu sejumlah bhikkhu telah menyatakan pengetahuan akhir di hadapan Sang Bhagavā sebagai berikut: “Kami memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.”

3. Sunakkhatta, putera Licchavi,  mendengar: “Sepertinya sejumlah bhikkhu telah menyatakan pengetahuan akhir di hadapan Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Kami memahami: Kelahiran telah dihancurkan … tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’” Kemudian Sunakkhatta, putera Licchavi, menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

4. “Aku telah mendengar, Yang Muklia, bahwa sejumlah bhikkhu telah menyatakan pengetahuan akhir di hadapan Sang Bhagavā. Apakah mereka benar-benar telah mencapainya atau adakah beberapa bhikkhu di sini yang menyatakan pengetahuan akhir karena menilai diri mereka terlalu tinggi?”

5. “Ketika para bhikkhu itu, Sunakkhatta, menyatakan pengetahuan akhir di hadapanKu, ada beberapa bhikkhu yang benar-benar telah mencapai pengetahuan akhir dan ada beberapa yang menyatakan telah mencapai pengetahuan akhir karena menilai diri mereka terlalu tinggi.  Di sana, ketika para bhikkhu menyatakan pengetahuan akhir karena benar-benar telah mencapainya, maka pernyataan mereka adalah benar. Tetapi ketika para bhikkhu menyatakan pengetahuan akhir karena menilai diri mereka terlalu tinggi, Sang Tathāgata berpikir: ‘Aku harus mengajarkan Dhamma kepada mereka.’  Demikianlah dalam hal ini, Sunakkhatta, Sang Tathāgata berpikir: ‘Aku harus mengajarkan Dhamma kepada mereka.’ Tetapi beberapa orang sesat di sini menyusun pertanyaan, menghadap Sang Tathāgata, dan mengajukannya. Dalam hal ini, Sunakkhatta, [253] walaupun Sang Tathāgata telah berpikir: ‘Aku harus mengajarkan Dhamma kepada mereka,’ namun Beliau berubah pikiran.”

6. “Sekarang adalah waktunya, Sang Bhagavā, sekarang adalah waktunya, Yang Sempurna, bagi Sang Bhagavā untuk mengajarkan Dhamma. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, Sunakkhatta, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Sunakkhatta, putera Licchavi, menjawab Sang Bhagavā. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

7. “Ada, Sunakkhatta, lima utas kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

8. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada hal-hal materi duniawi.  Ketika seseorang berhasrat pada hal-hal materi duniawi, hanya pembicaraan sehubungan dengan hal itu yang menarik perhatiannya, dan pikiran dan renungannya selaras dengan hal-hal itu, dan ia bergaul dengan orang-orang sejenis, dan ia mendapatkan kepuasan dalam hal-hal itu. tetapi ketika pembicaraan mengenai ketenangan sedang berlangsung, ia tidak mendengarkannya atau mengarahkan pikirannya untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan orang demikian, dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu.

9. “Misalkan, Sunakkhatta, seseorang telah lama meninggalkan desa atau kota asalnya, dan ia bertemu dengan orang lain yang baru saja meninggalkan desa atau kota itu. ia akan menanyakan kepada orang itu apakah para penduduk desa atau kota itu selamat, makmur, dan sehat, dan orang itu akan memberitahukan kepadanya apakah para penduduk desa atau kota itu selamat, makmur, [254] dan sehat. Bagaimana menurutmu, Sunakkhatta? Apakah orang pertama akan mendengarkannya, dan mengarahkan pikirannya untuk memahami?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Demikian pula, Sunakkhatta, Adalah mungkin bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada hal-hal materi duniawi. Ketika seseorang berhasrat pada hal-hal materi duniawi … dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu. Ia harus dipahami sebagai seorang yang berhasrat pada hal-hal duniawi.

10. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada ketenangan.  Ketika seseorang berhasrat pada ketenangan, hanya pembicaraan sehubungan dengan hal itu yang menarik perhatiannya, dan pikiran dan renungannya selaras dengan hal-hal itu, dan ia bergaul dengan orang-orang sejenis, dan ia mendapatkan kepuasan dalam hal-hal itu. tetapi ketika pembicaraan mengenai hal-hal materi duniawi sedang berlangsung, ia tidak mendengarkannya atau mengarahkan pikirannya untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan orang demikian, dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu.

11. “Bagaikan sehelai daun yang telah menguning yang gugur dari tangkainya tidak mampu menjadi hijau kembali, demikian pula, Sunakkhatta, ketika seseorang berhasrat pada ketenangan ia telah menghalau belenggu hal-hal materi duniawi. Ia harus dipahami sebagai seorang yang terlepas dari belenggu hal-hal materi duniawi yang berhasrat pada ketenangan.

12. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada landasan kekosongan. Ketika seseorang berhasrat pada landasan kekosongan, hanya pembicaraan sehubungan dengan hal itu yang menarik perhatiannya, dan pikiran dan renungannya selaras dengan hal-hal itu, dan ia bergaul dengan orang-orang sejenis, dan ia mendapatkan kepuasan dalam hal-hal itu. [255] Tetapi ketika pembicaraan mengenai ketenangan sedang berlangsung, ia tidak mendengarkannya atau mengarahkan pikirannya untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan orang demikian, dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu.

13. “Bagaikan sebutir batu besar yang pecah menjadi dua tidak dapat digabungkan kembali menjadi satu, demikian pula, Sunakkhatta, ketika seseorang berhasrat pada landasan kekosongan ia telah menghalau belenggu ketenangan. Ia harus dipahami sebagai seorang yang terlepas dari belenggu ketenangan yang berhasrat pada landasan kekosongan

14. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ketika seseorang berhasrat pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, hanya pembicaraan sehubungan dengan hal itu yang menarik perhatiannya, dan pikiran dan renungannya selaras dengan hal-hal itu, dan ia bergaul dengan orang-orang sejenis, dan ia mendapatkan kepuasan dalam hal-hal itu. Tetapi ketika pembicaraan mengenai landasan kekosongan sedang berlangsung, ia tidak mendengarkannya atau mengarahkan pikirannya untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan orang demikian, dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu.

15. “Misalkan seseorang telah memakan makanan lezat dan memuntahkannya. Bagaimana menurutmu, Sunakkhatta? Apakah orang itu berkeinginan untuk memakannya lagi?”

“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena makanan itu dianggap menjijikkan.”

“Demikian pula, Sunakkhatta, ketika seseorang berhasrat pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, belenggu landasan kekosongan telah ditolak. Ia harus dipahami sebagai seorang yang terlepas dari belenggu landasan kekosongan dan yang berhasrat pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

16. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada Nibbāna. Ketika seseorang berhasrat pada Nibbāna, hanya pembicaraan sehubungan dengan hal itu yang menarik perhatiannya, dan pikiran dan renungannya selaras dengan hal-hal itu, dan ia bergaul dengan orang-orang sejenis, dan ia mendapatkan kepuasan dalam hal-hal itu. Tetapi ketika pembicaraan mengenai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sedang berlangsung, [256] ia tidak mendengarkannya atau mengarahkan pikirannya untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan orang demikian, dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu.

17. “Bagaikan sebatang pohon palem yang pucuknya dipotong menjadi tidak mampu tumbuh lagi, demikian pula, ketika seseorang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna, belenggu landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi telah dipotong – terpotong di akarnya, dibuat menjadi tunggul pohon, dihancurkan sehingga tidak lagi muncul di masa depan. Ia harus dipahami sebagai seorang yang terlepas dari belenggu landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna.

18. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seorang bhikkhu di sini mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Keinginan telah disebut sebagai anak panah oleh Sang Petapa;  cairan beracun kebodohan telah dilumurkan oleh keinginan, nafsu, dan niat buruk. Anak panah keinginan itu telah disingkirkan dari diriku; cairan beracun kebodohan telah dikeluarkan. Aku adalah seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna.’ Karena ia menganggap dirinya demikian, walaupun berlawanan dengan fakta,  ia mungkin mengikuti hal-hal itu yang tidak selayaknya bagi seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna. Ia mungkin dengan matanya mengikuti pemandangan bentuk-bentuk yang tidak selayaknya, ia mungkin dengan telinganya mengikuti suara-suara yang tidak selayaknya, dengan hidungnya mengikuti bau-bauan yang tidak selayaknya, dengan lidahnya mengikuti rasa kecapan yang tidak selayaknya, dengan badannya mengikuti obyek-obyek sentuhan yang tidak selayaknya, atau dengan pikirannya mengikuti obyek-obyek pikiran yang tidak selayaknya. Ketika ia dengan mata mengikuti pemandangan bentuk-bentuk yang tidak selayaknya … dengan pikirannya mengikuti obyek-obyek pikiran yang tidak selayaknya, maka nafsu akan menyerbu pikirannya, ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

19. “Misalkan, Sunakkhatta, seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, [257] kemudian ia mencabut anak panah itu dan mengeluarkan cairan beracun dengan meninggalkan sisa-sisa racun itu. karena berpikir bahwa tidak ada sisa-sisa racun yang tertinggal,  ia berkata: ‘Tuan, anak panah telah dicabut dari tubuhmu; cairan beracun telah dikeluarkan tanpa meninggalkan sisa, dan tidak dapat mencelakaimu. Makanlah hanya makanan-makanan yang layak; jangan memakan makanan yang tidak layak agar luka itu tidak bernanah. Dari waktu ke waktu cucilah luka itu dan dari waktu ke waktu olesi luka itu agar nanah dan darah tidak menutupi luka itu. Jangan berjalan terpapar oleh angin dan matahari agar debu dan tanah tidak menginfeksi luka itu. rawatlah luka itu, Tuan, dan uruslah luka itu hingga sembuh.’

20. “Orang itu akan berpikir: ‘Anak panah telah dicabut dari tubuhku; cairan beracun telah dikeluarkan tanpa meninggalkan sisa, dan tidak dapat mencelakaiku.’ Ia memakan makanan yang tidak layak, dan luka itu bernanah. Dari waktu ke waktu ia tidak mencuci lukanya dan dari waktu ke waktu ia tidak mengolesi lukanya, dan nanah dan darah menutupi lukanya. Ia berjalan dengan terpapar oleh angin dan matahari, dan debu dan tanah menginfeksi luka itu. Ia tidak merawat luka itu dan mengurusnya hingga sembuh. Kemudian, karena ia melakukan yang tidak selayaknya dan karena sisa cairan beracun yang tertinggal, luka itu membengkak, dan dengan pembengkakan itu ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

21. “Demikian pula, Sunakkhatta, adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berpikir sebagai berikut: ‘Keinginan telah disebut sebagai anak panah oleh Sang Petapa; cairan beracun kebodohan telah dilumurkan oleh keinginan, nafsu, dan niat buruk. Anak panah keinginan itu telah disingkirkan dari diriku; [258] cairan beracun kebodohan telah dikeluarkan. Aku adalah seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna.’ Karena ia menganggap dirinya demikian, walaupun berlawanan dengan fakta, ia mungkin mengikuti hal-hal itu yang tidak selayaknya bagi seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna … (seperti di atas) … maka nafsu akan menyerbu pikirannya, ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

22. “Karena adalah kematian dalam Disiplin Para Mulia, Sunakkhatta, ketika seseorang meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah; dan adalah penderitaan mematikan ketika seseorang Yang melakukan pelanggaran yang mengotori.

23. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seorang bhikkhu di sini mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Keinginan telah disebut sebagai anak panah oleh Sang Petapa; cairan beracun kebodohan telah dilumurkan oleh keinginan, nafsu, dan niat buruk. Anak panah keinginan itu telah disingkirkan dari diriku; cairan beracun kebodohan telah dikeluarkan. Aku adalah seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna.’ Sebagai seorang yang sungguh-sungguh sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna, ia tidak mengikuti hal-hal yang tidak selayaknya bagi seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna. Ia tidak dengan matanya mengikuti pemandangan bentuk-bentuk yang tidak selayaknya, ia tidak dengan telinganya mengikuti suara-suara yang tidak selayaknya, tidak dengan hidungnya mengikuti bau-bauan yang tidak selayaknya, tidak dengan lidahnya mengikuti rasa kecapan yang tidak selayaknya, tidak dengan badannya mengikuti obyek-obyek sentuhan yang tidak selayaknya, dan tidak dengan pikirannya mengikuti obyek-obyek pikiran yang tidak selayaknya. Karena ia tidak dengan mata mengikuti pemandangan bentuk-bentuk yang tidak selayaknya … tidak dengan pikirannya mengikuti obyek-obyek pikiran yang tidak selayaknya. [259] Karena nafsu tidak menyerbu pikirannya, maka ia tidak mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

24. “Misalkan, Sunakkhatta, seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, kemudian ia mencabut anak panah itu dan mengeluarkan cairan beracun tanpa meninggalkan sisa-sisa racun itu. Mengetahui bahwa tidak ada sisa-sisa racun yang tertinggal, ia berkata: ‘Tuan, anak panah telah dicabut dari tubuhmu; cairan beracun telah dikeluarkan tanpa meninggalkan sisa, dan tidak dapat mencelakaimu. Makanlah hanya makanan-makanan yang layak; jangan memakan makanan yang tidak layak agar luka itu tidak bernanah. Dari waktu ke waktu cucilah luka itu dan dari waktu ke waktu oleskan luka itu, sehingga nanah dan darah tidak menutupi luka itu. Jangan berjalan terpapar oleh angin dan matahari agar debu dan tanah tidak menginfeksi luka itu. rawatlah luka itu, Tuan, dan uruslah luka itu hingga sembuh.’

25. “Orang itu akan berpikir: ‘Anak panah telah dicabut dari tubuhku; cairan beracun telah dikeluarkan tanpa meninggalkan sisa, dan tidak dapat mencelakaiku.’ Ia memakan hanya makanan yang layak, dan luka itu tidak bernanah. Dari waktu ke waktu ia mencuci lukanya dan dari waktu ke waktu ia mengolesi lukanya, dan nanah dan darah tidak menutupi lukanya. Ia tidak berjalan dengan terpapar oleh angin dan matahari, dan debu dan tanah tidak menginfeksi luka itu. Ia merawat luka itu dan mengurusnya hingga sembuh. Kemudian, karena ia melakukan yang  selayaknya dan karena tidak ada sisa cairan beracun yang tertinggal, luka itu sembuh, dan dengan kesembuhan itu dan tertutup kulit, ia tidak akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

26. “Demikian pula, Sunakkhatta, adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berpikir sebagai berikut: ‘Keinginan telah disebut sebagai anak panah oleh Sang Petapa; [260] cairan beracun kebodohan telah dilumurkan oleh keinginan, nafsu, dan niat buruk. Anak panah keinginan itu telah disingkirkan dari diriku; cairan beracun kebodohan telah dikeluarkan. Aku adalah seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna.’ Sebagai seorang yang sungguh-sungguh sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna, ia tidak mengikuti hal-hal yang tidak selayaknya bagi seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna … (seperti di atas) … Karena nafsu tidak menyerbu pikirannya, maka ia tidak mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

27. “Sunakkhatta, Aku memberikan perumpamaan ini untuk menyampaikan maknanya. Maknanya adalah sebagai berikut: ‘Luka’ adalah sebutan bagi enam landasan indria internal. ‘Cairan beracun’ adalah sebutan bagi kebodohan. ‘Anak panah’ adalah sebutan bagi keinginan. ‘Alat periksa’ adalah sebutan bagi perhatian.  ‘Pisau’ adalah sebutan bagi kebijaksanaan mulia. ‘Ahli bedah’ adalah sebutan bagi Sang Tathāgata, Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna.

28. “Bhikkhu itu, Sunakkhatta, adalah seorang yang mempraktikkan pengendalian dalam enam landasan kontak. Setelah memahami bahwa perolehan adalah akar penderitaan,  karena tanpa perolehan, terbebaskan dalam hancurnya perolehan, adalah tidak mungkin bahwa ia akan mengarahkan tubuhnya atau membangkitkan pikiran ke arah perolehan apapun juga.

29. “Misalkan, Sunakkhatta, terdapat sebuah cangkir perunggu berisi minuman yang berwarna indah, berbau harum, dan rasa lezat, tetapi telah dicampur dengan racun, dan seseorang datang yang menginginkan kehidupan, bukan kematian, yang menginginkan kenikmatan dan menghindari kesakitan.  Bagaimana menurutmu, Sunakkhatta, apakah orang itu akan meminum secangkir minuman itu, dengan mengetahui: ‘Jika aku meninum ini maka aku akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan’?” – “Tidak, Yang Mulia.” [261] – “Demikian pula, bhikkhu itu adalah seorang yang mempraktikkan pengendalian dalam enam landasan kontak. Setelah memahami bahwa perolehan adalah akar penderitaan, karena tanpa perolehan, terbebaskan dalam hancurnya perolehan, adalah tidak mungkin bahwa ia akan mengarahkan tubuhnya atau membangkitkan pikiran ke arah perolehan apapun juga.

30. “Misalkan, Sunakkhatta, ada seekor ular berbisa yang mematikan, dan seseorang datang yang menginginkan kehidupan, bukan kematian, yang menginginkan kenikmatan dan menghindari kesakitan. Bagaimana menurutmu, Sunakkhatta, apakah orang itu akan mengulurkan tangannya atau jari tangannya, dengan mengetahui: ‘Jika aku digigit oleh ular itu maka aku akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan’?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Demikian pula, ketika seorang bhikkhu mempraktikkan pengendalian dalam enam landasan kontak, dan setelah memahami bahwa kemelekatan adalah akar penderitaan, maka ia adalah tanpa kemelekatan, terbebaskan dalam hancurnya kemelekatan, adalah tidak mungkin bahwa ia akan mengarahkan tubuhnya atau membangkitkan pikiran ke arah obyek kemelekatan apapun juga.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Sunakkhatta, putera Licchavi, merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
106 Anenjasappaya Sutta
« Reply #8 on: 05 October 2010, 08:11:06 PM »
106  Āneñjasappāya Sutta
Jalan menuju Ketenangan




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Kuru di mana terdapat sebuah pemukiman Kuru bernama Kammāsadhamma. Di sana Sang Bhagava memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, kenikmatan indria  adalah tidak kekal, kosong, palsu, menipu; kenikmatan indria adalah ilusi, ocehan orang-orang dungu. Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, [262] persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang – keduanya adalah alam Māra, wilayah Māra, umpan Māra, tanah perburuan Māra. Oleh karenanya, kondisi-kondisi batin buruk yang tidak bermanfaat ini seperti ketamakan, niat buruk, dan anggapan muncul, dan merupakan rintangan bagi seorang siswa mulia yang dalam latihan di sini.

(KETENANGAN)

3. “Di sana, para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang … merupakan rintangan bagi seorang siswa mulia yang dalam latihan di sini. Bagaimana jika aku berdiam dengan pikiran berlimpah dan luhur, setelah melampaui dunia dan bertekad kuat dalam pikiran.  Ketika aku melakukan demikian, tidak akan ada kondisi-kondisi pikiran buruk yang tidak bermanfaat dalam diriku, dan dengan ditinggalkannya kondisi-kondisi pikiran buruk yang tidak bermanfaat itu maka pikiranku akan menjadi tidak terbatas, tidak terukur, dan terkembang dengan baik.’ Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini.  Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai ketenangan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin belanjut [pada kelahiran kembali] di dalam ketenangan.  Ini, para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara pertama yang mengarah pada ketenangan.

4. “Kemudian, para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut:  ‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang; apapun bentuk-bentuk materi [yang ada], segala bentuk materi adalah empat unsur utama dan bentuk materi yang diturunkan dari empat unsur utama.’ Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai ketenangan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin belanjut [pada kelahiran kembali] di dalam ketenangan. Ini, para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara ke dua yang mengarah pada ketenangan. [263]

5. “Kemudian, para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut:  ‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, bentuk-bentuk materi di sini dan saat ini dan bentuk-bentuk materi pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi bentuk-bentuk di sini dan saat ini dan persepsi bentuk-bentuk pada kehidupan-kehidupan mendatang – keduanya adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah tidak layak disenangi, tidak layak disambut, tidak layak digenggam.’ Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai ketenangan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin belanjut [pada kelahiran kembali] di dalam ketenangan. Ini, para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara ke tiga yang mengarah pada ketenangan.

(LANDASAN KEKOSONGAN)

6. “Kemudian, para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut:  ‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, bentuk-bentuk materi di sini dan saat ini dan bentuk-bentuk materi pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi bentuk-bentuk di sini dan saat ini dan persepsi bentuk-bentuk pada kehidupan-kehidupan mendatang, dan persepsi-persepsi ketenangan – semuanya adalah persepsi. Di mana persepsi-persepsi ini lenyap tanpa sisa, yang damai, yang luhur, yaitu, landasan kekosongan.’ Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai landasan kekosongan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin belanjut [pada kelahiran kembali] di dalam landasan kekosongan. Ini, para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara ke pertama yang mengarah pada landasan kekosongan.

7. “Kemudian, para bhikkhu, seorang siswa mulia, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, mempertimbangkan sebagai berikut: ‘ini adalah kosong dari diri atau apa yang menjadi milik diri.’  Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai landasan kekosongan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin belanjut [pada kelahiran kembali] di dalam landasan kekosongan. Ini, para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara ke dua yang mengarah pada landasan kekosongan.

8. “Kemudian, para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku bukanlah sesuatu yang menjadi milik siapapun dimanapun, [264] juga tidak ada apapun yang dimiliki olehku dalam diri siapapun dimanapun.’  Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai landasan kekosongan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin belanjut [pada kelahiran kembali] di dalam landasan kekosongan. Ini, para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara ke tiga yang mengarah pada landasan kekosongan.

(LANDASAN BUKAN PERSEPSI JUGA BUKAN BUKAN-PERSEPSI)

6. “Kemudian, para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, bentuk-bentuk materi di sini dan saat ini dan bentuk-bentuk materi pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi bentuk-bentuk di sini dan saat ini dan persepsi bentuk-bentuk pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi-persepsi ketenangan dan persepsi-persepsi landasan kekosongan – semuanya adalah persepsi. Di mana persepsi-persepsi ini lenyap tanpa sisa, yang damai, yang luhur, yaitu, landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin belanjut [pada kelahiran kembali] di dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini, para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara yang mengarah pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.”

(NIBBĀNA)

10. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, di sini seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan sebelumnya tidak ada bagiku; tidak akan ada, dan tidak akan ada bagiku. Apa yang ada, apa yang telah terjadi, aku tinggalkan.’ Demikianlah ia memperoleh keseimbangan.  Yang Mulia, apakah bhikkhu itu mencapai Nibbāna?”

“Seorang bhikkhu di sini, Ānanda, mungkin mencapai Nibbāna, bhikkhu lainnya di sini mungkin tidak mencapai Nibbāna.”
“Apakah sebab dan alasannya, Yang Mulia, mengapa seorang bhikkhu di sini mungkin mencapai Nibbāna, sedangkan seorang bhikkhu lainnya di sini mungkin tidak mencapai Nibbāna?”

“Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan sebelumnya tidak ada bagiku; tidak akan ada, dan tidak akan ada bagiku. Apa yang ada, [265] apa yang telah terjadi, aku tinggalkan.’ Demikianlah ia memperoleh keseimbangan. Ia bergembira di dalam keseimbangan itu, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya. Ketika ia melakukan itu, kesadarannya menjadi bergantung padanya dan melekat padanya. Seorang bhikkhu yang melekat, Ānanda, tidak mencapai Nibbāna.”

11. “Tetapi, Yang Mulia, ketika bhikkhu itu melekat, pada apakah ia melekat?”

“Pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Ānanda.”

“Ketika bhikkhu itu melekat, Yang Mulia, tampaknya ia melekat pada [obyek] kemelekatan yang terbaik.”

“Ketika bhikkhu itu melekat, Ānanda, ia melekat pada [obyek] kemelekatan yang terbaik; karena ini adalah [obyek] kemelekatan yang terbaik, yaitu, landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

12. “Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan sebelumnya tidak ada bagiku; tidak akan ada, dan tidak akan ada bagiku. Apa yang ada, [265] apa yang telah terjadi, aku tinggalkan.’ Demikianlah ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak bergembira di dalam keseimbangan itu, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya. Karena ia tidak melakukan itu, kesadarannya menjadi tidak bergantung padanya dan tidak melekat padanya. Seorang bhikkhu yang tidak melekat, Ānanda, mencapai Nibbāna.”

13. “Mengagumkan, Yang Mulia, menakjubkan! Sang Bhagavā, sungguh, telah menjelaskan kepada kami menyeberangi banjir dengan bergantung pada dukungan seseorang atau orang lainnya.  Tetapi, Yang Mulia, apakah pembebasan mulia?”

“Di sini, Ānanda, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, bentuk-bentuk materi di sini dan saat ini dan bentuk-bentuk materi pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi bentuk-bentuk di sini dan saat ini dan persepsi bentuk-bentuk pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi-persepsi ketenangan, persepsi-persepsi landasan kekosongan, dan persepsi-persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi – ini adalah identitas sejauh jangkauan identitas.  Ini adalah Keabadian, yaitu, pembebasan pikiran melalui ketidak-melekatan.’

14. “Demikianlah, Ānanda, Aku telah mengajarkan cara yang mengarah pada ketenangan, Aku telah mengajarkan cara yang mengarah pada landasan kekosongan, Aku telah mengajarkan cara yang mengarah pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Aku telah mengajarkan menyeberangi banjir dengan bergantung pada dukungan seseorang atau orang lainnya, Aku telah mengajarkan pembebasan mulia.

15. “Apa yang seharusnya dilakukan bagi para siswaNya demi belas kasihan oleh seorang guru yang mengusahakan kesejahteraan dan memiliki belas kasihan terhadap mereka, [266] telah Aku lakukan untukmu, Ānanda. Ada bawah pepohonan ini, gubuk-gubuk kosong ini. Bermeditasilah, Ānanda, jangan menunda, agar engkau tidak menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepadamu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
107 Ganakamoggallana Sutta
« Reply #9 on: 05 October 2010, 08:11:58 PM »
107  Gaṇakamoggallāna Sutta
Kepada Gaṇaka Moggallāna



[1] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Taman Timur, di Istana Ibunya Migāra. Kemudian Brahmana Gaṇaka Moggallāna mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

2. “Guru Gotama, di Istana Ibunya Migāra dapat terlihat latihan bertahap, praktik bertahap, dan kemajuan bertahap, yaitu, hingga ke anak tangga terakhir.  Di antara para brahmana juga, dapat terlihat latihan bertahap, praktik bertahap, dan kemajuan bertahap, yaitu, dalam hal belajar. Di antara para pemanah juga, dapat terlihat latihan bertahap … yaitu, dalam hal memanah. Dan juga di antara para juru hitung  seperti kami, yang berpenghidupan dari pembukuan, dapat terlihat latihan bertahap … yaitu, dalam hal penghitungan. Karena ketika kami menerima seorang murid pertama-tama kami mengajarinya berhitung: satu satu, dua dua, tiga tiga, empat empat, lima lima, enam enam, tujuh tujuh, delapan delapan, sembilan sembilan, sepuluh sepuluh; dan kami mengajarinya menghitung seratus juga. Sekarang apakah mungkin, Guru Gotama, untuk menjelaskan latihan bertahap, praktik bertahap, dan kemajuan bertahap dalam Dhamma dan Disiplin ini?” [2]

3. “Adalah mungkin, Brahmana, untuk menjelaskan latihan bertahap, praktik bertahap, dan kemajuan bertahap dalam Dhamma dan Disiplin ini. Seperti halnya, Brahmana, ketika seorang pelatih kuda yang terampil mendapatkan seekor anak kuda berketurunan murni yang baik, pertama-tama ia membiasakannya memakai kekang, dan selanjutnya ia melatihnya lebih lanjut,  demikianlah ketika Sang Tathāgata mendapatkan seseorang untuk dijinakkan pertama-tama Belaiu mendisiplinkannya sebagai berikut: ‘Marilah, Bhikkhu, jadilah bermoral, terkendali melalui pengendalian Pātimokkha, jadilah sempurna dalam perilaku dan tempat yang dikunjungi, dan melihat dengan takut bahkan pada pelanggaran yang terkecil, berlatihlah dengan menjalankan aturan-aturan latihan.’

4. “Ketika, Brahmana, bhikkhu itu menjadi bermoral … dan melihat dengan takut bahkan pada pelanggaran yang terkecil, berlatihlah dengan menjalankan aturan-aturan latihan, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih lanjut: ‘Marilah, Bhikkhu, jagalah pintu-pintu indriamu. Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, jangan menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika engkau membiarkan indria mata tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasaimu, latihlah cara pengendaliannya, jagalah indria mata, jalankanlah pengendalian indria mata. Ketika mendengar suatu suara dengan telinga ... Ketika mencium suatu bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah ... Ketika menyentuh suatu obyek sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali suatu obyek-pikiran dengan pikiran, jangan menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika engkau membiarkan indria pikiran tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasaimu, latihlah cara pengendaliannya, jagalah indria pikiran, jalankanlah pengendalian indria pikiran.’

5. “Ketika, Brahmana, bhikkhu itu telah menjaga pintu-pintu indrianya, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih lanjut: ‘Marilah, Bhikkhu, makanlah secukupnya. Dengan merenungkan secara bijaksana, engkau harus memakan makanan bukan demi kesenangan juga bukan untuk mabuk juga bukan demi keindahan dan kemenarikan fisik, melainkan hanya demi ketahanan dan kelangsungan tubuh ini, untuk mengakhiri ketidak-nyamanan, dan untuk membantu dalam kehidupan suci, dengan merenungkan:”Demikiankah aku akan menghentikan perasaan lama tanpa membangkitkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan aku dapat hidup dalam kenyamanan.”’

6. “Ketika, [3] Brahmana, bhikkhu itu telah terkendali dalam hal makanan, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih lanjut: ‘Marilah, Bhikkhu, tekunilah kewaspadaan. Selama siang hari, selagi berjalan mondari-mandir dan duduk, murnikanlah pikiranmu dari kondisi-kondisi yang merintangi. Selama jaga pertama malam hari, murnikanlah pikiranmu dari kondisi-kondisi yang merintangi. Selama jaga pertengahan malam hari engkau harus berbaring di sisi kanan dalam postur singa dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, setelah mencatat dalam pikiranmu waktu untuk bangun. Setelah bangun, selama jaga ke tiga malam hari, murnikanlah pikiranmu dari kondisi-kondisi yang merintangi.’

7. “Ketika, Brahmana, bhikkhu itu telah menekuni kewaspadaan, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih lanjut: ‘Marilah, Bhikkhu, milikilah perhatian penuh dan kewaspadaan penuh. Bertindaklan dalam kewaspadaan penuh ketika berjalan maju dan mundur; bertindaklah dalam kewaspadaan penuh ketika melihat ke depan dan melihat ke belakang; bertindaklah dalam kewaspdaan penuh ketika menekuk dan meregangkan bagian-bagian tubuhmu; bertindaklah dalam kewaspdaan penuh ketika mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkukmu; bertindaklah dalam kewaspdaan penuh ketika makan, minum, mengunyah makanan dan mengecap; bertindaklah dalam kewaspdaan penuh ketika buang air besar dan buang air kecil; bertindaklah dalam kewaspdaan penuh ketika berjalan, bediri, duduk, jatuh tertidur, bangun tidur, berbicara, dan berdiam diri.’

8. “Ketika, Brahmana, bhikkhu itu telah memiliki perhatian penuh dan kewaspadaan penuh, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih lanjut: ‘Marilah, Bhikkhu, datangilah tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.’

9. “Ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan ia duduk bersila, menegakkan tubuh, dan menegakkan perhatian di depannya. Dengan meninggalkan ketamakan akan dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari ketamakan; ia memurnikan pikirannya dari ketamakan. Dengan meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelas kasihan terhadap kesejahteraan makhluk-makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Dengan meninggalkan kelambanan dan ketumpulan, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari kelambanan dan ketumpulan, memiliki persepsi cahaya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan; ia memurniakan pikirannya dari kelambanan dan ketumpulan. Dengan meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam tanpa terganggu dengan batin yang damai; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Dengan meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, tanpa kebingungan sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan. [4]

10. “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, ketidak-sempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Dengan meluruhnya kegembiraan, ia berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan kesakitan juga bukan kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

11. “Ini adalah instrusiKu, Brahmana, kepada para bhikkhu yang berada pada tahap latihan yang lebih tinggi, yang batinnya masih belum mencapai tujuan, yang berdiam dengan bercita-cita untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu. Tetapi hal-hal ini berperan pada kediaman yang nyaman di sini dan saat ini serta pada perhatian dan kewaspadaan penuh bagi para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan mereka, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan telah terbebaskan sepenuhnya melalui pengetahuan akhir.”

12. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Gaṇaka Moggallāna bertanya kepada Sang Bhagavā: “Ketika para siswa Guru Gotama dinasihati demikian, diberikan instruksi demikian, apakah mereka semuanya mencapai Nibbāna, tujuan tertinggi, ataukah beberapa di antara mereka tidak mencapainya?”

“Ketika, Brahmana, mereka dinasihati demikian, diberikan instruksi demikian, beberapa siswaKu mencapai Nibbāna, tujuan tertinggi, dan beberapa lainnya tidak mencapainya.”

13. “Guru Gotama, karena Nibbāna ada dan jalan menuju Nibbāna ada dan Guru Gotama juga ada sebagai penuntun, apakah sebab dan alasan mengapa, ketika para siswa Guru Gotama dinasihati demikian, diberikan instruksi demikian oleh Beliau, beberapa di antara mereka mencapai Nibbāna, tujun tertinggi, dan beberapa lainnya tidak mencapainya?”

14. “Sehubungan dengan hal itu, Brahmana, Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan kepadamu sebagai balasan. Jawablah sesuai dengan apa yang menurutmu benar. [5] Bagaimana menurutmu, Brahmana? Apakah engkau mengenal baik jalan menuju Rājagaha?”

“Benar, Guru Gotama, aku mengenal baik jalan menuju Rājagaha.”

“Bagaimana menurutmu, Brahmana? Misalkan seseorang yang hendak pergi ke Rājagaha mendatangimu dan berkata: “Tuan, aku hendak pergi ke Rājagaha, tunjukkanlah kepadaku jalan menuju Rājagaha.’ Kemudian engkau memberitahunya: ‘Sekarang, Tuan, jalan ini menuju Rājagaha. Ikutilah selama beberapa saat dan engkau akan sampai di sebuah desa tertentu, jalanlah sedikit lebih jauh dan engkau akan sampai di sebuh pemukiman tertentu, jalanlah sedikit lebih jauh dan engkau akan sampai di Rājagaha dengan taman-taman, hutan, padang rumput, dan kolam-kolam yang indah.’ Kemudian, setelah dinasihati dan diberikan instruksi demikian olehmu, ia mengambil jalan yang salah dan pergi menuju ke barat. Kemudian orang ke dua yang hendak pergi ke Rājagaha mendatangimu dan berkata: “Tuan, aku hendak pergi ke Rājagaha, tunjukkanlah kepadaku jalan menuju Rājagaha.’ Kemudian engkau memberitahunya: ‘Sekarang, Tuan, jalan ini menuju Rājagaha. Ikutilah selama beberapa saat … dan engkau akan sampai di Rājagaha dengan taman-taman, hutan, padang rumput, dan kolam-kolam yang indah.’ Kemudian, setelah dinasihati dan diberikan instruksi demikian olehmu, ia tiba dengan selamat di Rājagaha. Sekarang, Brahmana, karena Rājagaha ada dan jalan menuju Rājagaha ada, dan engkau juga ada sebagai penuntun, apakah sebab dan alasan mengapa, ketika orang-orang itu yang telah dunasihati dan diberikan instruksi demikian olehmu, seorang mengambil jalan yang salah dan pergi ke barat dan seorang lainnya sampai dengan selamat di Rājagaha?” [6]

“Apakah yang dapat kulakukan sehubungan dengan hal itu, Guru Gotama? Aku hanyalah seorang yang menunjukkan jalan.”

“Demikian pula, Brahmana, Nibbāna ada, dan jalan menuju Nibbāna ada dan Aku juga ada sebagai penuntun. Namun ketika para siswaku telah dinasihati dan diberikan instruksi demikian, beberapa di antara mereka mencapai Nibbāna, tujuan Tertinggi, dan beberapa lainnya tidak mencapainya. Apakah yang dapat kulakukan sehubungan dengan hal itu, Brahmana? Sang Tathāgata hanyalah seorang yang menunjukkan jalan.”

15. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Gaṇaka Moggallāna berkata kepada Sang Bhagavā:  “Ada orang-orang yang tidak berkeyakinan dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah bukan karena keyakinan melainkan untuk mencari penghidupan, yang palsu, menipu, curang, congkak, kosong, membanggakan diri, berkata-kasar, berbicara-lepas, dengan organ-organ indria tidak terjaga, makan berlebihan, tidak menekuni kewaspadaan, tidak memperhatikan kehidupan pertapaan, tidak menghargai latihan, hidup dalam kemewahan, lengah, para pemimpin dalam kemunduran, mengabaikan keterasingan, malas, memerlukan kegigihan, tidak penuh perhatian, tidak penuh kewaspadaan, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran berkeliaran, hampa dari kebijaksanaan, bodoh dengan air liur menetes. Guru Gotama tidak berdiam bersama dengan orang-orang ini.

“Tetapi ada anggota-anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah karena keyakinan yang tidak palsu, tidak menipu, tidak curang, tidak congkak, tidak kosong, tidak membanggakan diri, tidak berkata-kasar, tidak berbicara-lepas; yang  menjaga organ-organ indria terjaga, makan secukupnya, menekuni kewaspadaan, memperhatikan kehidupan pertapaan, menghargai latihan, tidak hidup dalam kemewahan atau lengah, yang tekun menghindari kemunduran, para pemimpin dalam keterasingan, bersemangat, teguh, kokoh dalam perhatian, penuh kewaspadaan, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, memiliki kebijaksanaan, bukan orang bodoh dengan air liur menetes. Guru Gotama berdiam bersama dengan orang-orang ini.

16. “Seperti halnya akar orris hitam diakui sebagai akar harum yang terbaik dan cendana merah diakui sebagai kayu harum terbaik dan melati diakui sebagai bunga harum terbaik, [7] demikian pula, nasihat Guru Gotama adalah yang tertinggi di antara ajaran-ajaran masa kini.

17. “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
« Last Edit: 05 October 2010, 08:15:30 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
108 Gopakamoggallana Sutta
« Reply #10 on: 05 October 2010, 08:14:48 PM »
108  Gopakamoggallāna Sutta
Kepada Gopaka Moggallāna



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai, tidak lama setelah Sang Bhagavā mencapai Nibbāna akhir.

2. Pada saat itu Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha membentengi Rājagaha karena mencurigai Raja Pajjota.

3. Kemudian, pada suatu pagi, Yang Mulia Ānanda merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. Kemudian Yang Mulia Ānanda berpikir: “Masih terlalu pagi untuk menerima dana makanan di Rājagaha. Bagaimana jika aku mendatangi Brahmana Gopaka Moggallāna di tempat kerjanya.”

4. Maka Yang Mulia Ānanda mendatangi Brahmana Gopaka Moggallāna di tempat kerjanya. Dari kejauhan Brahmana Gopaka Moggallāna melihat kedatangan Yang Mulia Ānanda dan berkata kepadanya: “Silahkan Guru Ānanda datang! Selamat datang Guru Ānanda! Sudah lama sejak Guru Ānanda berkesempatan untuk datang ke sini. Silahkan Guru Ānanda duduk; tempat duduk telah tersedia.” Yang Mulia Ānanda duduk di tempat yang telah dipersiapkan. [8] Brahmana Gopaka mengambil bangku rendah, duduk di satu sisi, dan bertanya kepada Yang Mulia Ānanda:

5. “Guru Ānanda, adakah satu saja bhikkhu yang memiliki semua kualitas yang dimiliki oleh Guru Gotama, yang sempurna dan tercerahkan sempurna?”

“Tidak ada satu pun bhikkhu, Brahmana, yang memiliki semua kualitas yang dimiliki oleh Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Karena Sang Bhagavā adalah pembangun jalan yang belum dibangun, pembuat jalan yang belum dibuat, pengungkap jalan yang belum terungkapkan; Beliau adalah pengenal Sang Jalan, penemu Sang Jalan, seorang yang terampil dalam Sang Jalan. Tetapi para siswaNya sekarang berdiam dengan mengikuti jalan itu dan menjadi memilikinya setelah itu.”

6. Tetapi diskusi antara Yang Mulia Ānanda dan Brahmana Gopaka Moggallāna terhenti; karena saat itu Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha,  sewaktu mengawasi perkerjaan di Rājagaha, mendatangi Yang Mulia Ānanda di tempat kerja Brahmana Gopaka Moggallāna. Ia bertukar sapa dengan Yang Mulia Ānanda, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Yang Mulia Ānanda: “Untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini, Guru Ānanda? Dan diskusi apakah yang terputus tadi?”

“Brahmana, Brahmana Gopaka Moggallāna bertanya kepadaku: ‘Guru Ānanda, adakah satu saja bhikkhu yang memiliki semua kualitas yang dimiliki oleh Guru Gotama, yang sempurna dan tercerahkan sempurna?’ Aku menjawab Brahmana Gopaka Moggallāna: ‘Tidak ada satu pun bhikkhu, Brahmana, yang memiliki semua kualitas yang dimiliki oleh Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Karena Sang Bhagavā adalah pembangun jalan yang belum dibangun [9] ... Tetapi para siswaNya sekarang berdiam dengan mengikuti jalan itu dan menjadi memilikinya setelah itu.’ Ini adalah diskusi kami yang terputus ketika engkau dating.”

7. “Adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang ditunjuk oleh Guru Gotama sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kalian ketika Aku meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kalian memohon bantuan?”

“Tidak ada seorang bhikkhu, Brahmana, yang ditunjuk oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kami ketika Sang Bhagavā meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kami memohon bantuan.”

8. “Tetapi, adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang telah dipilih oleh Sangha dan ditunjuk oleh sejumlah bhikkhu senior sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kami ketika Sang Bhagavā meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kalian memohon bantuan?”

“Tidak ada seorang bhikkhu, Brahmana, yang telah dipilih oleh Sangha dan ditunjuk oleh sejumlah bhikkhu senior sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kami ketika Sang Bhagavā meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kami memohon bantuan.”

9. “Tetapi jika engkau tidak memiliki perlindungan, Guru Ānanda, apakah penyebab dari kerukunan kalian?”

“Kami bukannya tanpa perlindungan, Brahmana. Kami memiliki perlindungan; kami memiliki Dhamma sebagai perlindungan kami.”

10. “Tetapi ketika engkau ditanya: ‘Adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang ditunjuk oleh Guru Gotama sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kalian ketika Aku meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kalian memohon bantuan?’ Engkau menjawab: ‘Tidak ada seorang bhikkhu … yang kepadanya kami memohon bantuan.’ Ketika engkau ditanya: ‘Adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang telah dipilih oleh Sangha dan ditunjuk oleh sejumlah bhikkhu senior sebagai berikut: ‘Ia akan menjadi perlindungan bagi kami ketika Sang Bhagavā meninggal dunia,’ dan yang kepadanya kalian memohon bantuan?’ Engkau menjawab: ‘Tidak ada seorang bhikkhu, … [10] … yang kepadanya kami memohon bantuan.’ Ketika engkau ditanya: ‘Tetapi jika kalian tidak memiliki perlindungan, Guru Ānanda, apakah penyebab dari kerukunan kalian?’ Engkau menjawab: ‘Kami bukannya tanpa perlindungan, Brahmana. Kami memiliki perlindungan; kami memiliki Dhamma sebagai perlindungan kami.’ Sekarang bagaimanakah makna dari pernyataan-pernyataan ini dipahami, Guru Ānanda?”

“Brahmana, Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, telah menetapkan aturan latihan bagi para bhikkhu dan Beliau telah menetapkan Pātimokkha. Pada hari Uposatha kami semua yang hidup dengan bergantung pada satu desa tertentu berkumpul bersama, dan ketika kami berkumpul kami memohon pada seseorang yang menguasai Pātimokkha untuk membacakannya. Jika seorang bhikkhu mengingat suatu pelanggaran ketika Pātimokhha sedang dibacakan, maka kami menindaknya sesuai dengan Dhamma, sesuai dengan instruksi. Bukan para mulia yang menyuruh kami menindaknya; adalah Dhamma yang menyuruh kami menindaknya.”

11. “Adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang sekarang kalian hormati, kalian hargai, kalian puja, dan kalian muliakan, dan yang kepadanya kalian hidup dengan bergantung dengan menghormati dan menghargainya?”

“Ada seorang bhikkhu, Brahmana, yang sekarang kami hormati, kami hargai, kami puja, dan kami muliakan, dan yang kepadanya kami hidup dengan bergantung dengan menghormati dan menghargainya.”

12. “Tetapi ketika engkau ditanya: ‘Adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang ditunjuk oleh Guru Gotama …?’ Engkau menjawab: ‘Tidak ada seorang bhikkhu …  Ketika engkau ditanya: ‘Adakah, Guru Ānanda, seorang bhikkhu yang telah dipilih oleh Sangha …?’ [11] Engkau menjawab: ‘Tidak ada seorang bhikkhu …’ Ketika engkau ditanya: ‘Adakah seorang bhikkhu yang sekarang kalian hormati, kalian hargai, kalian puja, dan kalian muliakan, dan yang kepadanya kalian hidup dengan bergantung dengan menghormati dan menghargainya?’ Engkau menjawab: ‘Ada seorang bhikkhu, yang sekarang kami hormati, kami hargai, kami puja, dan kami muliakan, dan yang kepadanya kami hidup dengan bergantung dengan menghormati dan menghargainya.’ Sekarang bagaimanakah makna dari pernyataan-pernyataan ini dipahami, Guru Ānanda?”

13. “Ada, Brahmana, sepuluh kualitas yang menginspirasi keyakinan yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Jika kesepuluh kualitas ini terdapat dalam diri salah satu di antara kami, maka kami menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakannya, dan hidup dengan bergantung dengan menghormati dan menghargainya. Apakah sepuluh ini?

14. (1) “Di sini, Brahmana, seorang bhikkhu memiliki moralitas, ia berdiam dengan terkendali oleh pengendalian Pātimokkha, ia sempurna dalam perilaku dan tempat yang dikunjungi, dan melihat dengan takut bahkan dalam pelanggaran yang terkecil, ia melatih dirinya dengan menjalankan aturan-aturan latihan.

15. (2)  “Ia banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan menggabungkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, yang menegaskan kehidupan suci yang sungguh-sungguh murni dan sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, ia ingat, ia hafalkan, ia selidiki dengan pikiran, dan ia tembus dengan baik melalui pandangan.

16. (3) “Ia puas dengan jubahnya, makanannya, tempat tinggalnya, dan obat-obatanya.

17. (4) “Menuruti keinginannya tanpa kesulitan atau kesusahan ia mencapai keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan memberikan kediaman yang nyaman di sini dan saat ini.

18. (5) “Ia mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, ia menjadi banyak; dari banyak, ia menjadi satu; ia muncul dan lenyap; ia berjalan tanpa halangan menembus dinding, menembus tembok, menembus gunung, seolah-olah menembus ruang kosong; ia menyelam masuk ke dalam dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di air; ia berjalan di air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; [12] dengan duduk bersila, ia bepergian di angkasa bagaikan burung; dengan tangannya ia menyentuh bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; ia mengerahkan kekuatan jasmani bahkan hingga sejauh alam Brahma.

19. (6) “dengan unsur mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia mendengar kedua jenis suara, suara surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat.

20. (7) “Ia memahami pikiran makhluk-makhluk lain, pikiran orang-orang lain, dengan melingkupi pikiran mereka dengan pikirannya. Ia memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai tidak terpengaruh nafsu; ia memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai tidak terpengaruh kebencian; ia memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai tidak terpengaruh kebodohan; ia memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau; ia memahami pikiran luhur sebagai luhur dan pikiran tidak luhur sebagai tidak luhur; ia memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran tidak terbatas sebagai tidak terbatas; ia memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi; ia memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan.

21. (8) “Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah beserta aspek-aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau.

22. (9) “Dengan mata dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, …(seperti Sutta 51, §25) … dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

23. (10) “Dengan menembus bagi dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini memasuki dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.

“Ini, Brahmana, adalah sepuluh kualitas yang menginspirasi keyakinan yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Jika kesepuluh kualitas ini terdapat dalam diri salah satu di antara kami, maka kami menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakannya, dan hidup dengan bergantung dengan menghormati dan menghargainya.” [13]

24. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Vassakāra, menteri Magadha, berkata kepada Jenderal Upananda: “Bagaimana menurutmu, Jenderal? Ketika para mulia ini menghormati seseorang yang layak dihormati, menghargai seseorang yang layak dihargai, memuja seseorang yang layak dipuja, dan memuliakan seseorang yang layak dimuliakan, tentu saja mereka menghormati seseorang yang layak dihormati … dan memuliakan seseorang yang layak dimuliakan. Karena jika para mulia ini tidak menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan orang seperti itu, maka siapa lagikah yang mereka hormati, mereka hargai, mereka puja, dan mereka muliakan, dan kepada siapakah mereka dapat hidup dengan bergantung dengan menghormati dan menghargai?”

25. “Kemudian Brahmana Vassakāra, menteri Magadha, berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Di manakah Guru Ānanda menetap sekarang?”

“Sekarang aku menetap di Hutan Bambu, Brahmana.”

“Kuharap, Guru Ānanda, Hutan Bambu itu menyenangkan, tenang dan tidak terganggu oleh suara-suara, dengan atmosfir kesunyian, jauh dari orang-orang, sesuai untuk melatih diri.”

“Sesungguhnya, Brahmana, Hutan Bambu itu menyenangkan … sesuai untuk melatih diri berkat para pelindung seperti dirimu.”

“Sesungguhnya, Guru Ānanda, Hutan Bambu itu menyenangkan … sesuai untuk melatih diri berkat para mulia yang adalah para meditator dan berlatih meditasi. Pada suatu ketika, Guru Ānanda, Guru Gotama sedang menetap di Vesālī di Aula Beratap Lancip di Hutan Besar. Kemudian aku datang ke sana dan menghadap Guru Gotama, dan dalam berbagai cara Beliau memberikan khotbah tentang meditasi. Guru Gotama adalah seorang meditator dan berlatih meditasi, dan Beliau memuji segala jenis meditasi.”

26. “Sang Bhagavā, Brahmana, tidak memuji segala jenis meditasi, juga tidak mencela segala jenis meditasi. Jenis meditasi [14] apakah yang tidak dipuji oleh Sang Bhagavā? Di sini, Brahmana, seseorang berdiam dengan pikirannya dikuasai oleh nafsu indria, mangsa bagi nafsu indria, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari nafsu indria yang telah muncul. Sementara ia memendam nafsu indria dalam batinnya, ia bermeditasi, bersiap-siap bermeditasi, keluar dari meditasi, dan salah bermeditasi.  Ia berdiam dengan pikirannya dikuasai oleh niat buruk, mangsa bagi niat buruk … dengan pikirannya dikuasai oleh kelambanan dan ketumpulan, mangsa bagi kelambanan dan ketumpulan … dengan pikirannya dikuasai oleh kegelisahan dan penyesalan, mangsa bagi kegelisahan dan penyesalan … dengan pikirannya dikuasai oleh keragu-raguan, mangsa bagi keragu-raguan, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari keragu-raguan yang telah muncul. Sementara ia memendam keragu-raguan dalam batinnya, ia bermeditasi, bersiap-siap bermeditasi, keluar dari meditasi, dan salah bermeditasi. Sang Bhagavā tidak memuji jenis meditasi ini.

27. “Dan jenis meditasi apakah yang dipuji oleh Sang Bhagavā? Di sini, Brahmana, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Dengan meluruhnya kegembiraan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Sang Bhagavā memuji jenis meditasi ini.”

28. “Tampaknya, Guru Ānanda, bahwa Guru Gotama mencela jenis meditasi yang layak dicela dan memuji jenis meditasi yang layak dipuji. Dan sekarang, Guru Ānanda, kami pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dilakukan.”

“Silahkan engkau pergi, Brahmana.” [15]

Kemudian Brahmana Vassakāra, menteri Magadha, dengan merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Ānanda, bangkit dari duduknya dan pergi.

29. Kemudian, segera setelah ia pergi, Brahmana Gopaka Moggallāna berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Guru Ānanda belum menjawab apa yang kami tanyakan.”

“Bukankah kami telah memberitahukan kepadamu, Brahmana: ‘Tidak ada satu pun bhikkhu, Brahmana, yang memiliki semua kualitas yang dimiliki oleh Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Karena Sang Bhagavā adalah pembangun jalan yang belum dibangun, pembuat jalan yang belum dibuat, pengungkap jalan yang belum terungkapkan; Beliau adalah pengenal Sang Jalan, penemu Sang Jalan, seorang yang terampil dalam Sang Jalan. Tetapi para siswaNya sekarang berdiam dengan mengikuti jalan itu dan menjadi memilikinya setelah itu.’?”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
109 Mahapunnama Sutta
« Reply #11 on: 05 October 2010, 08:20:18 PM »
109  Mahāpuṇṇama Sutta
Khotbah Panjang di Malam Purnama




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Taman Timur, di Istana Ibunya Migāra.

2. Pada saat itu – hari Uposatha pada hari ke lima belas,  pada malam purnama – Sang Bhagavā duduk di ruang terbuka dengan dikelilingi oleh Sangha para bhikkhu.

3. Kemudian seorang bhikkhu bangkit dari duduknya,  membetulkan jubahnya di salah satu bahunya, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, aku ingin mengajukan pertanyaan kepada Sang Bhagavā mengenai hal tertentu, jika Sang Bhagavā sudi memberikan jawaban atas pertanyaanku.” – “Duduklah di tempat dudukmu, Bhikkhu, dan tanyakanlah apa yang engkau inginkan.” Maka bhikkhu itu duduk di tempat duduknya dan berkata kepada Sang Bhagavā:

4. “Bukankah hal-hal ini, Yang Mulia, adalah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan; [16] yaitu, kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, dan kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan?”

“Hal-hal ini, para bhikkhu, adalah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan; yaitu, kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan … dan kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan.”

Dengan berkata, “Bagus sekali, Yang Mulia,” bhikkhu itu merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Kemudian ia mengajukan pertanyaan lebih lanjut:

5. “Tetapi, Yang Mulia, berakar pada apakah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini?”

“Kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini berakar pada keinginan,  Bhikkhu.”

6. “Yang Mulia, apakah kemelekatan itu sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini? Atau apakah kemelekatan adalah sesuatu yang terpisah dari kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan?”

“Bhikkhu, kemelekatan itu bukan sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, juga kemelekatan bukanlah sesuatu yang terpisah dari kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Adalah keinginan dan nafsu sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan itu yang menjadi kemelekatan di sana.”

7. “Tetapi, Yang Mulia, mungkinkah terjadi keberagaman dalam hal keinginan dan nafsu sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini?”

“Mungkin saja, Bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, Bhikkhu, seseorang berpikir sebagai berikut: ‘Semoga bentuk materiku seperti demikian di masa depan; Semoga perasaanku seperti demikian di masa depan; Semoga persepsiku seperti demikian di masa depan; Semoga bentukan-bentukanku seperti demikian di masa depan; Semoga kesadaranku seperti demikian di masa depan.’ Demikianlah mungkin terjadi keberagaman dalam hal keinginan dan nafsu sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini.”

8. “Tetapi, Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah sebutan ‘kelompok-kelompok unsur kehidupan’ berlaku pada kelompok-kelompok unsur kehidupan?”

“Bhikkhu, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – ini adalah kelompok unsur bentuk materi. [17] Segala jenis perasaan apapun … jauh atau dekat – ini adalah kelompok unsur perasaan. Segala jenis persepsi apapun … jauh atau dekat – ini adalah kelompok unsur persepsi. Segala jenis bentukan-bentukan apapun … jauh atau dekat – ini adalah kelompok unsur bentukan-bentukan. Segala jenis kesadaran apapun … jauh atau dekat – ini adalah kelompok unsur kesadaran. Dengan cara inilah, Bhikkhu, sebutan ‘kelompok-kelompok unsur kehidupan’ berlaku pada kelompok-kelompok unsur kehidupan.”

9. “Apakah sebab dan kondisi, Yang Mulia, bagi perwujudan kelompok unsur bentuk materi? Apakah sebab dan kondisi bagi perwujudan kelompok unsur perasaan … kelompok unsur persepsi … kelompok unsur bentukan-bentukan … kelompok unsur kesadaran?”

“Empat unsur utama, Bhikkhu, adalah sebab dan kondisi bagi perwujudan kelompok unsur bentuk materi. Kontak adalah sebab dan kondisi bagi perwujudan kelompok unsur perasaan. Kontak adalah sebab dan kondisi bagi perwujudan kelompok unsur persepsi. Kontak adalah sebab dan kondisi bagi perwujudan kelompok unsur bentukan-bentukan. Batin-jasmani adalah sebab dan kondisi bagi perwujudan kelompok unsur kesadaran.”

10. “Yang Mulia, bagaimanakah pandangan identitas terjadi?”

“Di sini, Bhikkhu, seorang biasa yang tidak terlatih, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, [18] atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ini adalah bagaimana pandangan identitas terjadi.”

11. “Tetapi, Yang Mulia, bagaimanakah pandangan identitas tidak terjadi?”

“Di sini, Bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih, yang  menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, [18] atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ini adalah bagaimana pandangan identitas tidak terjadi.”

12. “Apakah, Yang Mulia, kepuasan, apakah bahaya, dan apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi? Apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan … sehubungan dengan persepsi … sehubungan dengan bentukan-bentukan … sehubungan dengan kesadaran?”

“Kenikmatan dan kegembiraan, Bhikkhu, yang muncul dengan bergantung pada bentuk materi – ini adalah kepuasan sehubungan dengan bentuk materi. Bentuk materi adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan – ini adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi. Lenyapnya keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu terhadap bentuk materi – ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi.

“Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada perasaan … dengan bergantung pada persepsi … dengan bergantung pada bentukan-bentukan … dengan bergantung pada kesadaran - ini adalah kepuasan sehubungan dengan kesadaran. Kesadaran tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan – ini adalah bahaya sehubungan dengan kesadaran. Lenyapnya keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu terhadap kesadaran – ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan kesadaran.”

13. “Yang Mulia, bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah seseorang melihat, agar sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan segala gambaran eksternal, tidak ada pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan?”

“Bhikkhu, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seseorang melihat segala bentuk materi sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala jenis perasaan apapun … Segala jenis persepsi apapun … Segala jenis bentukan-bentukan apapun … Segala jenis kesadaran apapun … ia melihat segala jenis kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Adalah ketika ia mengetahui dan melihat demikian maka sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan segala gambaran eksternal, tidak ada pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan.”

14. Kemudian, dalam pikiran seorang bhikkhu muncul pikiran ini: “Jadi, sepertinya, bentuk materi adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, persepsi adalah bukan diri, bentukan-bentukan adalah bukan diri, kesadaran adalah bukan diri. Kalau begitu, diri apakah, yang melakukan perbuatan sebagai akibat dari apa yang dilakukan oleh apa yang bukan diri?”

Kemudian Sang Bhagavā, dengan pikiranNya mengetahui pikiran bhikkhu tersebut, berkata kepada bhikkhu itu sebagai berikut: “Adalah mungkin, para bhikkhu, seseorang sesat di sini, yang bodoh dan dungu, dengan pikirannya yang dikuasai oleh keinginan, akan berpikir bahwa ia dapat melampaui pengajaran Sang Guru sebagai berikut: ‘Jadi, sepertinya, bentuk materi adalah bukan diri … kesadaran adalah bukan diri. Kalau begitu, diri apakah, yang melakukan perbuatan sebagai akibat dari apa yang dilakukan oleh apa yang bukan diri?’ Sekarang, para bhikkhu, kalian telah dilatih olehKu melalui Tanya jawab pada berbagai kesempaatn sehubungan dengan berbagai hal.

15. “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah bentuk materi adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”

“Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian: apakah perasaan … persepsi … bentukan-bentukan … kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – [20] “Apakah apa yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”

16. “Oleh karena itu, para bhikkhu, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang … segala bentuk materi harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala jenis perasaan apapun … Segala jenis persepsi apapun … Segala jenis bentukan-bentukan apapun … Segala jenis kesadaran apapun … segala jenis kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

17. “Dengan melihat demikian, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa dengan bentuk materi, kecewa dengan perasaan, kecewa dengan persepsi, kecewa dengan bentukan-bentukan, kecewa dengan kesadaran.

18. “Karena kecewa, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Pada saat khotbah ini dibabarkan, batin keenam puluh bhikkhu itu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
110 Culapunnama Sutta
« Reply #12 on: 05 October 2010, 08:21:40 PM »
110  Cūḷapuṇṇama Sutta
Khotbah Pendek di Malam Purnama




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Taman Timur, di Istana Ibunya Migāra.

2. Pada saat itu – hari Uposatha pada hari ke lima belas, pada malam purnama – Sang Bhagavā duduk di ruang terbuka dengan dikelilingi oleh Sangha para bhikkhu. Kemudian, sambil mengamati keheningan Sangha para bhikkhu, Beliau berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

3. “Para bhikkhu, mungkinkah seorang bukan manusia sejati  mengenali seorang bukan manusia sejati: ‘Orang ini adalah bukan manusia sejati’?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Bagus, para bhikkhu. Itu adalah mustahil, tidak mungkin, bahwa seorang bukan manusia sejati dapat mengenali seorang bukan manusia sejati: ‘Orang ini adalah bukan manusia sejati.’ Tetapi mungkinkah seorang bukan manusia sejati mengenali seorang manusia sejati: ‘Orang ini adalah manusia sejati’?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Bagus, para bhikkhu. Itu adalah mustahil, tidak mungkin, bahwa seorang bukan manusia sejati dapat mengenali seorang manusia sejati: ‘Orang ini adalah manusia sejati.’

4. “Para bhikkhu, seorang bukan manusia sejati memiliki kualitas-kualitas buruk; ia bergaul sebagai seorang bukan manusia sejati, ia berkehendak sebagai seorang bukan manusia sejati, ia memberikan nasihat sebagai seorang bukan manusia sejati, ia berbicara sebagai seorang bukan manusia sejati, ia bertindak sebagai seorang bukan manusia sejati, ia menganut pandangan-pandangan sebagai seorang bukan manusia sejati, dan ia memberikan persembahan sebagai seorang bukan manusia sejati.

5. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati memiliki kualitas-kualitas buruk? Di sini seorang bukan manusia sejati tidak memiliki keyakinan, tidak memiliki rasa malu, tidak memiliki rasa takut akan pelanggaran; ia tidak terlatih, malas, lengah, dan tidak bijaksana. Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati memiliki kualitas-kualitas buruk.

6. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati bergaul sebagai seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati memiliki para petapa dan brahmana yang tidak memiliki keyakinan, tidak memiliki rasa malu, tidak memiliki rasa takut akan pelanggaran; yang tidak terlatih, malas, lengah, dan tidak bijaksana, sebagai teman-temannya. Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati bergaul sebagai seorang bukan manusia sejati.

7. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati berkehendak sebagai seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati menghendaki penderitaannya sendiri, menghendaki penderitaan makhluk lain, atau menghendaki penderitaan keduanya. Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati berkehendak sebagai seorang bukan manusia sejati.

8. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati memberikan nasihat sebagai seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati memberikan nasihat demi penderitaannya sendiri, demi penderitaan makhluk lain, atau demi penderitaan keduanya. [22] Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati memberikan nasihat sebagai seorang bukan manusia sejati.

9. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati berbicara sebagai seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati mengucapkan kebohongan, mengucapkan kata-kata fitnah, mengucapkan kata-kata kasar, dan bergosip. Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati berbicara sebagai seorang bukan manusia sejati.

10. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati bertindak sebagai seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, dan berperilaku salah dalam kenikmatan indria. Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati bertindak sebagai seorang bukan manusia sejati.

11. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati menganut pandangan-pandangan sebagai seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati menganut pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati menganut pandangan-pandangan sebagai seorang bukan manusia sejati.

12. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati memberikan persembahan sebagai seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati memberikan persembahan secara ceroboh, memberikan bukan dengan tangannya sendiri, memberikan tanpa menunjukkan penghormatan, memberikan apa yang seharusnya dibuang, memberikan dengan pandangan bahwa tidak ada yang dihasilkan dari pemberian itu. Itu adalah bagaimana seorang bukan manusia sejati memberikan persembahan sebagai seorang bukan manusia sejati.

13. “Seorang bukan manusia sejati itu – yang memiliki kualitas-kualitas buruk demikian, yang bergaul sebagai seorang bukan manusia sejati, berbicara sebagai seorang bukan manusia sejati, bertindak sebagai seorang bukan manusia sejati, menganut pandangan-pandangan sebagai seorang bukan manusia sejati, dan memberikan persembahan sebagai seorang bukan manusia sejati demikiaqn – ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran  seorang bukan manusia sejati. Dan apakah alam tujuan kelahiran seorang bukan manusia sejati? Adalah neraka atau alam binatang.

14. “Para bhikkhu, mungkinkah seorang manusia sejati mengenali seorang manusia sejati: ‘Orang ini adalah manusia sejati’?” [23] – “Mungkin, Yang Mulia.” – “Bagus, para bhikkhu. Itu adalah mungkin, bahwa seorang manusia sejati dapat mengenali seorang manusia sejati: ‘Orang ini adalah manusia sejati.’ Tetapi mungkinkah seorang manusia sejati mengenali seorang bukan manusia sejati: ‘Orang ini adalah bukan manusia sejati’?” – “Mungkin, Yang Mulia.” – “Bagus, para bhikkhu. Itu adalah mungkin, bahwa seorang manusia sejati dapat mengenali seorang bukan manusia sejati: ‘Orang ini adalah bukan manusia sejati.’

15. “Para bhikkhu, seorang manusia sejati memiliki kualitas-kualitas baik; ia bergaul sebagai seorang manusia sejati, ia berkehendak sebagai seorang manusia sejati, ia memberikan nasihat sebagai seorang manusia sejati, ia berbicara sebagai seorang manusia sejati, ia bertindak sebagai seorang manusia sejati, ia menganut pandangan-pandangan sebagai seorang manusia sejati, dan ia memberikan persembahan sebagai seorang manusia sejati.

16. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati memiliki kualitas-kualitas baik? Di sini seorang bukan manusia sejati memiliki keyakinan, memiliki rasa malu, memiliki rasa takut akan pelanggaran; ia terlatih, bersemangat, penuh perhatian, dan bijaksana. Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati memiliki kualitas-kualitas baik.

17. “Dan bagaimanakah seorang bukan manusia sejati bergaul sebagai seorang manusia sejati? Di sini seorang manusia sejati memiliki para petapa dan brahmana yang memiliki keyakinan, memiliki rasa malu, memiliki rasa takut akan pelanggaran; yang terlatih, bersemangat, penuh perhatian, dan bijaksana, sebagai teman-temannya. Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati bergaul sebagai seorang manusia sejati.

18. “Dan bagaimanakah seorang manusia sejati berkehendak sebagai seorang manusia sejati? Di sini seorang manusia sejati tidak menghendaki penderitaannya sendiri, tidak menghendaki penderitaan makhluk lain, dan tidak menghendaki penderitaan keduanya. Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati berkehendak sebagai seorang manusia sejati.

19. “Dan bagaimanakah seorang manusia sejati memberikan nasihat sebagai seorang manusia sejati? Di sini seorang manusia sejati tidak memberikan nasihat demi penderitaannya sendiri, tidak demi penderitaan makhluk lain, dan tidak demi penderitaan keduanya. Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati memberikan nasihat sebagai seorang manusia sejati.

20. “Dan bagaimanakah seorang manusia sejati berbicara sebagai seorang manusia sejati? Di sini seorang manusia sejati menghindari mengucapkan kebohongan, mengucapkan kata-kata fitnah, mengucapkan kata-kata kasar, dan bergosip. Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati berbicara sebagai seorang manusia sejati.

21. “Dan bagaimanakah seorang manusia sejati bertindak sebagai seorang manusia sejati? Di sini seorang manusia sejati menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, [24] dan berperilaku salah dalam kenikmatan indria. Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati bertindak sebagai seorang manusia sejati.

22. “Dan bagaimanakah seorang manusia sejati menganut pandangan-pandangan sebagai seorang manusia sejati? Di sini seorang manusia sejati menganut pandangan sebagai berikut: ‘Ada yang diberikan dan ada yang dipersembahkan dan ada yang dikorbankan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini, ada dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati menganut pandangan-pandangan sebagai seorang manusia sejati.

23. “Dan bagaimanakah seorang manusia sejati memberikan persembahan sebagai seorang manusia sejati? Di sini seorang manusia sejati memberikan persembahan secara saksama, memberikan dengan tangannya sendiri, memberikan dengan menunjukkan penghormatan, memberikan persembahan yang berharga, memberikan dengan pandangan bahwa ada yang dihasilkan dari pemberian itu. Itu adalah bagaimana seorang manusia sejati memberikan persembahan sebagai seorang manusia sejati.

24. “Seorang manusia sejati itu – yang memiliki kualitas-kualitas baik demikian, yang bergaul sebagai seorang manusia sejati, berbicara sebagai seorang manusia sejati, bertindak sebagai seorang manusia sejati, menganut pandangan-pandangan sebagai seorang manusia sejati, dan memberikan persembahan sebagai seorang manusia sejati demikian – ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran seorang manusia sejati. Dan apakah alam tujuan kelahiran seorang manusia sejati? Kemuliaan di antara para dewa atau kemuliaan di antara manusia.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

« Last Edit: 29 January 2012, 10:59:58 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
111 Anupada Sutta
« Reply #13 on: 08 October 2010, 06:32:35 PM »
111  Anupada Sutta
Satu demi Satu Bermunculan




[25] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Sāriputta bijaksana; Sāriputta memiliki kebijaksaan besar; Sāriputta memiliki kebijaksaan luas; Sāriputta memiliki kebijaksaan gembira; Sāriputta memiliki kebijaksaan cepat; Sāriputta memiliki kebijaksaan tajam; Sāriputta memiliki kebijaksaan yang menembus. Selama setengah bulan, para bhikkhu, Sāriputta mencapai pandangan terang ke dalam kondisi-kondisi satu demi satu pada saat munculnya.  Pandangan terang Sāriputta ke dalam kondisi-kondisi satu demi satu pada saat munculnya adalah sebagai berikut:

3. “Di sini, para bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Sāriputta masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.

4. “Dan kondisi-kondisi dalam jhāna pertama – awal pikiran, kelangsungan pikiran, kegembiraan, kenikmatan, dan keterpusatan pikiran; kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan pikiran; semangat, ketetapan, kegigihan, perhatian, keseimbangan, dan pengamatan – kondisi-kondisi ini dikenali olehnya satu demi satu pada saat munculnya;  dikenali olehnya kondisi-kondisi itu muncul, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu berlangsung, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu lenyap. Ia memahami sebagai berikut: ‘Demikianlah sesungguhnya, kondisi-kondisi ini, dari tidak ada, menjadi ada; dari ada, menjadi lenyap.’ Sehubungan dengan kondisi-kondisi itu, ia berdiam tanpa tertarik, tanpa menolak, tanpa bergantung, terlepas, bebas, terputus, dengan pikiran bebas dari penghalang.  Ia memahami: ‘Ada jalan membebaskan diri melampaui ini,’ dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada.

5. “Kemudian, para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, Sāriputta masuk dan berdiam dalam [26] jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi.

6. “Dan kondisi-kondisi dalam jhāna ke dua ini – keyakinan-diri, kegembiraan, kenikmatan, dan keterpusatan pikiran; kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan pikiran; semangat, ketetapan, kegigihan, perhatian, keseimbangan, dan pengamatan - kondisi-kondisi ini dikenali olehnya satu demi satu pada saat munculnya; dikenali olehnya kondisi-kondisi itu muncul, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu berlangsung, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu lenyap. Ia memahami sebagai berikut:  … dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada.

7. “Kemudian, para bhikkhu, dengan meluruhnya kegembiraan, Sāriputta berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’

8. “Dan kondisi-kondisi dalam jhāna ke tiga ini – keseimbangan, kenikmatan, perhatian, kewaspadaan penuh, dan keterpusatan pikiran; kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan pikiran; semangat, ketetapan, kegigihan, perhatian, keseimbangan, dan pengamatan - kondisi-kondisi ini dikenali olehnya satu demi satu pada saat munculnya; dikenali olehnya kondisi-kondisi itu muncul, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu berlangsung, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu lenyap. Ia memahami sebagai berikut:  … dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada.

9. “Kemudian, para bhikkhu, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan kesedihan, Sāriputta masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

10. “Dan kondisi-kondisi dalam jhāna ke empat ini – keseimbangan, perasaan bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan, ketidak-tertarikan pikiran karena ketenangan,  kemurnian perhatian, dan keterpusatan pikiran; kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan pikiran; semangat, ketetapan, kegigihan, perhatian, keseimbangan, dan pengamatan - kondisi-kondisi ini dikenali olehnya satu demi satu pada saat munculnya; dikenali olehnya kondisi-kondisi itu muncul, [27] dikenali olehnya kondisi-kondisi itu berlangsung, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu lenyap. Ia memahami sebagai berikut:  … dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada.

11. “Kemudian, para bhikkhu, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada keberagaman persepsi, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ Sāriputta masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.

12. “Dan kondisi-kondisi dalam landasan ruang tanpa batas ini – persepsi landasan ruang tanpa batas dan keterpusatan pikiran; kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan pikiran; semangat, ketetapan, kegigihan, perhatian, keseimbangan, dan pengamatan - kondisi-kondisi ini dikenali olehnya satu demi satu pada saat munculnya; dikenali olehnya kondisi-kondisi itu muncul, [27] dikenali olehnya kondisi-kondisi itu berlangsung, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu lenyap. Ia memahami sebagai berikut:  … dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada.

13. “Kemudian, para bhikkhu, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ Sāriputta masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas.

14. “Dan kondisi-kondisi dalam landasan kesadaran tanpa batas ini – persepsi landasan kesadaran tanpa batas dan keterpusatan pikiran; kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan pikiran; semangat, ketetapan, kegigihan, perhatian, keseimbangan, dan pengamatan - kondisi-kondisi ini dikenali olehnya satu demi satu pada saat munculnya; dikenali olehnya kondisi-kondisi itu muncul, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu berlangsung, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu lenyap. Ia memahami sebagai berikut:  … dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada. [28]

15. “Kemudian, para bhikkhu, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ Sāriputta masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan.

16. “Dan kondisi-kondisi dalam landasan kekosongan ini – persepsi landasan kekosongan dan keterpusatan pikiran; kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan pikiran; semangat, ketetapan, kegigihan, perhatian, keseimbangan, dan pengamatan - kondisi-kondisi ini dikenali olehnya satu demi satu pada saat munculnya; dikenali olehnya kondisi-kondisi itu muncul, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu berlangsung, dikenali olehnya kondisi-kondisi itu lenyap. Ia memahami sebagai berikut:  … dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada.

17. “Kemudian, para bhikkhu, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, Sāriputta masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

18. “Ia keluar dengan penuh perhatian dari pencapaian itu. Setelah itu, ia merenungkan kondisi-kondisi yang telah berlalu, lenyap, dan berubah, sebagai berikut: ‘Demikianlah sesungguhnya, kondisi-kondisi ini, dari tidak ada, menjadi ada; dari ada, menjadi lenyap.’  Sehubungan dengan kondisi-kondisi itu, ia berdiam tanpa tertarik, tanpa menolak, tanpa bergantung, terlepas, bebas, terputus, dengan pikiran bebas dari penghalang. Ia memahami: ‘Ada jalan membebaskan diri melampaui ini,’ dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu ada.

19. “Kemudian, para bhikkhu, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Sāriputta masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Dan noda-nodanya dihancurkan dengan penglihatannya melalui kebijaksanaan.

20. “Ia keluar dengan penuh perhatian dari pencapaian itu. Setelah itu, ia mengingat kembali kondisi-kondisi yang telah berlalu, lenyap, dan berubah, sebagai berikut: ‘Demikianlah sesungguhnya, kondisi-kondisi ini, dari tidak ada, menjadi ada; dari ada, menjadi lenyap.’  Sehubungan dengan kondisi-kondisi itu, ia berdiam tanpa tertarik, tanpa menolak, tanpa bergantung, terlepas, bebas, terputus, dengan pikiran bebas dari penghalang. Ia memahami: ‘Tidak ada jalan membebaskan diri melampaui ini,’ dan dengan pengembangan [pencapaian] itu, ia menegaskan bahwa itu tidak ada.

21. “Para bhikkhu, jika mengatakan dengan benar, mengenai siapa pun: ‘Ia telah mencapai kemahiran dan kesempurnaan  dalam moralitas mulia, [29] mencapai kemahiran dan kesempurnaan dalam konsentrasi mulia, mencapai kemahiran dan kesempurnaan dalam kebijaksanaan mulia, mencapai kemahiran dan kesempurnaan dalam kebebasan mulia,’ adalah sehubungan dengan Sāriputta sesungguhnya kata-kata benar itu diucapkan.

22. “Para bhikkhu, jika mengatakan dengan benar, mengenai siapa pun: ‘Ia adalah putera Sang Bhagavā, terlahir dari dada Beliau, terlahir dari mulut Beliau, terlahir dari Dhamma, tercipta oleh Dhamma, seorang pewaris Dhamma, bukan seorang pewaris dalam benda-benda materi,’ adalah sehubungan dengan Sāriputta sesungguhnya kata-kata benar itu diucapkan.

23. “Para bhikkhu, Roda Dhamma yang tiada taranya yang telah diputar oleh Sang Tathāgata terus diputar dengan benar oleh Sāriputta.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
112 Chabbisodhana Sutta
« Reply #14 on: 08 October 2010, 06:33:35 PM »
112  Chabbisodhana Sutta
Enam Kemurnian




1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menyatakan pengetahuan akhir sebagai berikut: ‘Aku memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

3. “Kata-kata bhikkhu itu tidak perlu disetujui atau tidak disetujui. Dengan tanpa menyetujui atau tidak menyetujui, sebuah pertanyaan harus diajukan: ‘Teman, ada empat jenis pengungkapan yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Apakah empat ini? Seseorang mengatakan yang dilihat seperti apa yang dilihat; ia mengatakan yang didengar seperti apa yang didengar; ia mengatakan yang dicerap seperti apa yang dicerap; ia mengatakan yang dikenal seperti apa yang dikenal.  [30] ini, Teman, adalah empat jenis pengungkapan yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Bagaimanakah Yang Mulia mengetahui, bagaimanakah ia melihat, sehubungan dengan keempat jenis pengungkapan ini, sehingga melalui ketidak-melekatan pikirannya terbebaskan dari noda-noda?’

4. “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu yang adalah seorang dengan noda-noda dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, yang telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, berikut ini adalah cara sewajarnya baginya untuk menjawab.

“’Teman-teman, sehubungan dengan yang dilihat aku berdiam tanpa tertarik, tanpa menolak, tanpa bergantung, terlepas, bebas, terputus, dengan pikiran bebas dari penghalang.  Sehubungan dengan yang didengar … sehubungan dengan yang dicerap … sehubungan dengan yang dikenal aku berdiam tanpa tertarik, tanpa menolak, tanpa bergantung, terlepas, bebas, terputus, dengan pikiran bebas dari penghalang. Adalah dengan mengetahui demikian, melihat demikian, sehubungan dengan keempat jenis pengungkapan ini, maka melalui ketidak-melekatan pikiranku terbebaskan dari noda-noda.’

5. “Dengan mengatakan ‘bagus,’ seseorang merasa senang dan gembira mendengar kata-kata bhikkhu itu. Selanjutnya, pertanyaan berikutnya dapat diajukan sebagai berikut:

“’Teman, ada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Apakah lima ini? Yaitu kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, dan kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Ini, Teman, adalah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh kemelekatan ini, yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Bagaimanakah Yang Mulia mengetahui, bagaimanakah ia melihat, sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, sehingga melalui ketidak-melekatan pikirannya terbebaskan dari noda-noda?’

6. “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu yang adalah seorang dengan noda-noda dihancurkan … dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, berikut ini adalah cara sewajarnya baginya untuk menjawab.

“’Teman-teman, setelah mengetahui bentuk materi adalah rapuh, memudar, dan tidak menyenangkan, [31] dengan hancurnya, memudarnya, lenyapnya, berhentinya, dan lepasnya ketertarikan dan kemelekatan sehubungan dengan bentuk materi, perspektif batin, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan bentuk materi,  aku telah memahami bahwa pikiranku terbebaskan.

“’Teman-teman, setelah mengetahui perasaan … setelah mengetahui persepsi … setelah mengetahui bentukan-bentukan … setelah mengetahui kesadaran adalah rapuh, memudar, dan tidak menyenangkan, dengan hancurnya, memudarnya, lenyapnya, berhentinya, dan lepasnya ketertarikan dan kemelekatan sehubungan dengan kesadaran, perspektif batin, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan kesadaran aku telah memahami bahwa pikiranku terbebaskan.

“’Adalah dengan mengetahui demikian, melihat demikian, sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, maka melaui ketidak-melekatan pikiranku terbebaskan dari noda-noda.’

7. “Dengan mengatakan ‘bagus,’ seseorang merasa senang dan gembira mendengar kata-kata bhikkhu itu. Selanjutnya, pertanyaan berikutnya dapat diajukan sebagai berikut:

“’Teman, ada enam unsur ini yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Apakah enam ini? Yaitu unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran. Ini, Teman, adalah enam unsur yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Bagaimanakah Yang Mulia mengetahui, bagaimanakah ia melihat, sehubungan dengan keenam unsur ini, sehingga melalui ketidak-melekatan pikirannya terbebaskan dari noda-noda?’

8. “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu yang adalah seorang dengan noda-noda dihancurkan … dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, berikut ini adalah cara sewajarnya baginya untuk menjawab.

“’Teman-teman, aku telah memperlakukan unsur tanah sebagai bukan-diri, dengan tanpa diri yang berdasarkan pada unsur tanah. Dan dengan hancurnya, memudarnya, lenyapnya, berhentinya, dan lepasnya ketertarikan dan kemelekatan sehubungan dengan unsur tanah, perspektif batin, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan unsur tanah aku telah memahami bahwa pikiranku terbebaskan.

“’Teman-teman, aku telah memperlakukan unsur air … unsur api … unsur udara … unsur ruang … unsur kesadaran sebagai bukan-diri, dengan tanpa diri yang berdasarkan pada unsur kesadaran.  Dan dengan hancurnya, memudarnya, lenyapnya, berhentinya, dan lepasnya ketertarikan dan kemelekatan sehubungan dengan unsur kesadaran, perspektif batin, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan unsur kesadaran aku telah memahami bahwa pikiranku terbebaskan.

“’Adalah dengan mengetahui demikian, melihat demikian, sehubungan dengan keenam unsur ini, maka melaui ketidak-melekatan batinku terbebaskan dari noda-noda.’

9. “Dengan mengatakan ‘bagus,’ [32] seseorang merasa senang dan gembira mendengar kata-kata bhikkhu itu. Selanjutnya, pertanyaan berikutnya dapat diajukan sebagai berikut:

“’Tetapi, Teman, ada enam landasan internal dan eksternal ini yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Apakah enam ini? Yaitu mata dan bentuk-bentuk, telinga dan suara-suara, hidung dan bau-bauan, lidah dan rasa kecapan, badan dan obyek-obyek sentuhan, pikiran dan obyek-obyek pikiran. Ini, Teman, adalah enam landasan internal dan eksternal ini yang dengan benar dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Bagaimanakah Yang Mulia mengetahui, bagaimanakah ia melihat, sehubungan dengan keenam landasan internal dan eksternal ini, sehingga melalui ketidak-melekatan pikirannya terbebaskan dari noda-noda?’

10. “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu yang adalah seorang dengan noda-noda dihancurkan … dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, berikut ini adalah cara sewajarnya baginya untuk menjawab.

“’Teman-teman, dengan hancurnya, memudarnya, lenyapnya, berhentinya, dan lepasnya ketertarikan dan kemelekatan, dan perspektif batin, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan mata, bentuk-bentuk, kesadaran-mata, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-mata, aku telah memahami bahwa pikiranku terbebaskan.

“Dengan hancurnya, memudarnya, lenyapnya, berhentinya, dan lepasnya ketertarikan dan kemelekatan, dan perspektif batin, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan telinga, suara-suara,  kesadaran-telinga, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-telinga … sehubungan dengan hidung, bau-bauan,  kesadaran-hidung, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-hidung … sehubungan dengan lidah, rasa kecapan,  kesadaran-lidah, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-lidah … sehubungan dengan badan, obyek-obyek sentuhan,  kesadaran-badan, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-badan … sehubungan dengan pikiran, obyek-obyek pikiran,  kesadaran-pikiran, dan hal-hal yang dikenali [oleh pikiran] melalui kesadaran-pikiran, aku telah memahami bahwa pikiranku terbebaskan.

“’Adalah dengan mengetahui demikian, melihat demikian, sehubungan dengan keenam landasan internal dan eksternal ini, maka melaui ketidak-melekatan pikiranku terbebaskan dari noda-noda.’

11. “Dengan mengatakan ‘bagus,’ seseorang merasa senang dan gembira mendengar kata-kata bhikkhu itu. Selanjutnya, pertanyaan berikutnya dapat diajukan sebagai berikut:

“’Tetapi, Teman, bagaimanakah Yang Mulia mengetahui, bagaimanakah ia melihat, agar sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan segala gambaran eksternal, maka pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan dilenyapkan dalam dirinya?’  [33]

12. “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu yang adalah seorang dengan noda-noda dihancurkan … dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, berikut ini adalah cara sewajarnya baginya untuk menjawab.

“’Teman-teman, sebelumnya ketika aku masih menjalani kehidupan rumah tangga aku bodoh. Kemudian Sang Tathāgata atau siswaNya mengajarkan Dhamma kepadaku. Setelah mendengarkan Dhamma aku memperoleh keyakinan pada Sang Tathāgata. Dengan memiliki keyakinan itu, aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan lepas dari keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi hidup dalam sebuah keluarga, menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Kemudian pada kesempatan lain, dengan meninggalkan harta yang banyak atau sedikit, meninggalkan sanak saudara yang banyak atau sedikit, aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.

13-17. “Setelah meninggalkan keduniawian demikian dan memiliki latihan dan gaya hidup kebhikkhuan, … (seperti Sutta 51, §§14-19) [34, 35] … aku memurnikan pikiranku dari keragu-raguan. [36]

18. “’Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, ketidak-murnian pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Dengan meluruhnya kegembiraan ... aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

19. “’Ketika pikiranku yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, aku mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda.  Aku mengetahui secara langsung sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’ … ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Aku mengetahui secara langsung sebagaimana adanya ‘Ini adalah noda-noda’ … ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’ …  ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

20. “Ketika aku mengetahui dan melihat demikian, pikiranku terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Aku secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

“’Adalah dengan mengetahui demikian, melihat demikian, sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan segala gambaran eksternal, maka pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan dilenyapkan dalam diriku.’

21. “Dengan mengatakan ‘bagus,’ seseorang merasa senang dan gembira mendengar kata-kata bhikkhu itu. Selanjutnya, ia harus mengatakan kepadanya: ‘Suatu keuntungan bagi kami, Teman, [37] suatu keuntungan besar bagi kami, Teman, bahwa kami bertemu seorang teman dalam kehidupan suci seperti Yang Mulia.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.