Poin yang paling berperan dalam persepsi di benak seseorang adalah kesan. "Don't judge a book from it's cover". Ya, jangan menilai sesuatu hanya dari apa yang tampak di luarnya. Tapi kebanyakan orang di dunia ini, ketika mendengar "Agama Buddha", "Buddhisme", "Buddha", "Bhikkhu" ataupun "Bhiksu", maka yang tertanam dalam gambaran otaknya adalah "agama kuno yang penuh mistis".
Ini wajar, mengingat di zaman seperti ini, peradaban monotheis dan semi-hedonisme merebak dengan pesatnya. Sehingga hal ini membuat banyak pola pikir bahwa Agama Buddha adalah agama yang tidak masuk dalam perhitungan sebagai "agama benar". Saya rasa banyak sekali orang / rekan di sini yang dahulunya menyepelekan Agama Buddha.
Poin kedua yang tak kalah penting adalah keterbukaan pemikiran. Banyak sekali orang yang bisa bertemu dengan Buddhadhamma, namun mereka tidak bisa mengambil intisarinya. Di dunia yang semakin maju ini, internet, buku-buku, lagu-lagu, dll. sudah menjadi sarana pengembangan Buddhadhamma. Banyak orang yang sudah memiliki kesempatan untuk mendengar dan mengenal Buddhadhamma. Namun sedikit dari mereka yang bisa menerima ajaran ini. Pada umumnya, mereka tidak bisa menerima Buddhadhamma karena mereka tidak membuka pikiran mereka. Mereka selalu memegang erat pandangan / agama mereka yang dipercaya. Apalagi Buddhadhamma menyajikan wejangan yang berbeda dari agama lainnya. Agama Buddha lebih menitikberatkan pada pengembangan kebijaksanaan dengan sejuta teori filsafat beserta embel-embelnya. Melihat fakta ini, sepertinya hanya orang-orang yang mau berpikir kritis yang cenderung lebih besar untuk menerima Buddhadhamma. Itu pun dengan catatan mereka adalah orang yang terbuka pola pikirnya. Dan menjadi sebuah lagu lama, bahwa kemauan untuk berpikir kritis ini lagi-lagi cenderung didominasi oleh kaum laki-laki. Oleh karena itu, saya sangat salut dengan perempuan yang menjadi simpatisan ataupun menjadi umat Agama Buddha; serta memiliki pemahaman dan perilaku sesuai Dhamma yang baik.
Pada umumnya, ada hal-hal yang sulit diterima oleh orang awam dari Agama Buddha. Bagi mereka, konsep anatta (tanpa roh dan tiada Tuhan Pencipta) dalam Buddhadhamma adalah satu hal yang paling ditentang. Konsep proses penerusan kehidupan (punnabbhava) dan hukum kamma (karma) termasuk konsep yang ramai diperdebatkan dewasa ini. Praktik bermeditasi juga belum dapat diterima oleh sebagian "kaum garis keras", karena hal itu dianggap sesat. Apalagi jika menilai Agama Buddha dari kulit luarnya saja, sebagai agama yang penuh takhayul dan mistik; penyembahan patung, pemujaan di altar, pembacaan mantra-mantra, jimat, dll. Dan tidak sedikit pula orang yang memandang bahwa menjalani hidup sebagai bhikkhu atau bhiksu adalah kesia-siaan. Banyak komentar miring mengenainya, yang menilai bahwa menjadi bhikkhu atau bhiksu adalah menyerah pada hidup, putus asa dalam meraih kesuksesan duniawi, pengecut dan lari dari kehidupan duniawi, bodoh karena menyiksa diri, omong kosong, dll.
Kalau melihat dari kedua poin di sini, lantas apakah Agama Buddha itu memang kurang diminati? Tidak juga!
Sebenarnya... Agama Buddha tidak berusaha menarik minat dari orang-orang. Alih-alih menarik orang-orang untuk memeluk Agama Buddha, justru Buddhadhamma mengundang orang untuk datang dan membuktikannya sendiri. Sang Buddha sendiri tidak pernah memaksa seseorang untuk menjadi pengikut-Nya. Beliau bahkan pernah menganjurkan seseorang untuk tidak tergesa-gesa menjadi pengikut-Nya, malah menyarankannya untuk merenungkan kebenaran dari Ajaran-Nya terlebih dahulu. Buddhadhamma sebaiknya diterima dengan pemahaman benar, bukan atas dasar ikut-ikutan, terpaksa, kaul karena menaruh hormat pada seseorang, dsb.
Melihat pesatnya pertumbuhan Agama Buddha di penjuru dunia saat ini, membuktikan bahwa semakin banyak orang yang merasakan pengalaman hidupnya sesuai dengan Buddhadhamma. Butuh keberanian besar untuk mengakui bahwa kebenaran adalah kebenaran. Dan untuk orang-orang yang sudah melewati fase itu, sudah selayaknya kita memberikan sebuah apresiasi yang dalam dan penuh hormat.