Tentang sila sekunder sumpah bodhisattva, di bawah saya mengutip dari buku
The Bodhisattva Vow oleh Dagpo Rinpoche: (
terjemahan bebas)
...
11. Tidak melakukan perbuatan yang menyakitkan yang adalah perlu demi kesejahteraan/kebaikan yang lain (I:
Not committing a harmful action which is necessary for welfare of others )
Pelanggaran sekunder kesebelas ini dilakukan dengan tidak melakukan suatu perbuatan negatif atau menyakitkan yang adalah perlu ditinjau dari sudut pandang welas asih.
Sebenarnya ini mengacu pada ketujuh perbuatan yang menyakitkan: tiga perbuatan menyakitkan melalui tubuh {membunuh, mencuri, berhubungan kelamin yang tidak benar, red} dan empat perbuatan menyakitkan melalui ucapan {berbohong, memecah belah, ucapan kasar/menyakitkan, obrolan yang tidak berguna, red}. Bila kita menolak melakukan perbuatan2 menyakitkan ini, ketika hal itu diperlukan demi kesejahteraan/kebaikan yang lain, itu jelas menunjukkan suatu kekurangan welas asih.
Komentar2 agung/besar menyebutkan
dua pendapat mengenai ini.
Pendapat pertama adalah ketika ada suatu kasus welas asih yang nyata dan kesejahteraan mayoritas makhluk dihasilkan oleh tindakan tersebut, maka seorang bodhisattva yang membunuh seseorang tidak melakukan suatu perbuatan negatif.
Dalam komentar2 yang menyebutkan seorang bodhisattva, yang dimotivasi oleh welas asih, tidak melakukan suatu perbuatan negatif dalam membunuh seseorang, pelanggaran sekunder ini tidak disebutkan. Oleh karena itu hanya ada 45 pelanggaran sekunder, bukan 46.
Komentar2 yang lain, seperti komentar Bodhibhadra, menunjukkan bahwa
sangat penting bahkan mengharuskan bodhisattva tersebut melakukan perbuatan menyakitkan ketika hal itu
bermanfaat bagi mayoritas makhluk. Dalam komentar2 inilah muncul 46 pelanggaran sekunder terhadap sumpah bodhisattva.
Ada banyak diskusi tentang hal ini.
Penting bahwa kita memperhatikan hal ini dengan
seksama (I:
give this a great deal of thought).
Membunuh seseorang adalah suatu
perbuatan "kotor" {I:
gross} bagi setiap orang, dan hal ini
berlaku sama pada bodhisattva. Oleh karena itu, dikatakan bahwa
hanya bodhisattva yang
sudah merealisasikan bodhicitta bukan buatan {spontan, red}, tidak membuat kesalahan {I:
error} ketika mereka melakukan perbuatan menyakitkan tersebut.
Lama Tsongkhapa menambahkan bahwa
bodhicitta bukan buatan saja tidak cukup untuk mengizinkan seorang bodhisattva melakukan perbuatan "kotor" tersebut. Beliau mengatakan bahwa bodhisattva yang telah merealisasikan bodhicitta bukan buatan,
harus telah terlatih dalam keenam paramita dalam waktu yang lama dan
harus dimotivasi oleh welas asih yang murni pada SAAT melakukan perbuatan tersebut.Jika kita melakukan suatu perbuatan yang menyakitkan seperti
membunuh seseorang, kita akan
menghimpun banyak karma negatif.
Masalahnya di sini yaitu bahwa pada saat tertentu, kita akan mencapai suatu level perkembangan spiritual yang mana perbuatan yang sama {membunuh, red} tidak lagi menghasilkan kenegatifan, namun malah menghasilkan kebajikan.
Ada juga beberapa diskusi tentang apakah bodhisattva tersebut, yang memiliki bodhicitta bukan buatan, yang telah terlatih dalam ke-6 paramita untuk waktu yang lama dan pada saat melakukan perbuatan tersebut dimotivasi oleh welas asih,
boleh seorang yang ditabhiskan {anggota sangha, red}
atau harus seorang praktisi umat awam. Jawabannya adalah ini
hanya berlaku bagi praktisi umat awam.
Apa yang harus dilakukan oleh orang yang ditabhiskan pada situasi tersebut?
Bodhisattva yang ditabhiskan akan mematahkan sumpah kebhiksuannya dan kehilangan pentabhisannya dalam perbuatan tersebut.
Oleh karena itu, seorang bodhisattva yang ditabhiskan
harus melepaskan {mengembalikan, red}
sila kebhiksuannya terlebih dahulu, sehingga dia tidak perlu mempertahankannya lagi, dan
hanya setelah itu baru melanjutkan perbuatan yang menyakitkan tersebut.
Ada banyak diskusi dan debat tentang pertanyaan apakah mengambil kehidupan {membunuh, red} dalam kasus ini menghasilkan karma negatif. Saya {Dagpo Rinpoche, red} tidak akan mengulasnya di sini. Saya pikir
cukup bagi kita mengetahui bahwa sebuah akitvitas negatif seperti membunuh orang,
hanya bisa dilakukan oleh seorang bodhisattva yang memiliki realisasi bodhicitta bukan buatan, yang telah terlatih dalam ke-6 paramita dalam waktu yang lama dan dimotivasi oleh welas asih murni, sehingga satu saat pun tidak ada kepentingan pribadi yang terlibat. J
ika bodhisattva tersebut tidak menghasilkan jejak (I: imprint) negatif apapun sama sekali, namun hanya menghasilkan energi yang positif, maka bodhisattva ini diizinkan melakukannya. Jika beliau adalah
orang yang ditabhiskan, beliau
harus melepaskan sila kebhiksuannya sebelum melakukan perbuatan ini.
Penjelasan ini adalah penting karena beberapa orang cenderung berpikir bahwa dalam Buddhisme Mahayana, apapun boleh dilakukan sepanjang seseorang memiliki pikiran yang positif ketika melakukannya. Di sini, kita melihat dengan
jelas bahwa ini tidak benar.
......
Semoga bermanfaat
Terima kasih