9. Menentukan Siapa yang Pertama DiajarKemudian Sang Bhagavā berpikir demikian: “Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dharma?”
Kemudian Sang Bhagavā berpikir demikian: “Mengapa Aku tidak mengajarkan Dharma pertama kali kepada Ārāḍa Kālāma , yang adalah mantan guruku? Hal tersebut adalah penghormatan tertinggi, sanjungan tertinggi, pikiran penghargaan dan keyakinan tertinggi!”
Kemudian seorang dewa memberitahu kepada Sang Bhagavā: “Ārāḍa Kālāma meninggal dunia tujuh hari yang lalu.”
Juga, Sang Bhagavā setelah mengerahkan pengetahuan dan penglihatan mengetahui: “Ārāḍa Kālāma meninggal dunia tujuh hari yang lalu.”
Kemudian Sang Bhagavā berpikir demikian: “Aduh, sungguh besar kerugian Ārāḍa Kālāma bahwa ia meninggal dunia tanpa mendengarkan Dharma dan Vinaya ini. Jika ia mendengar Dharma dan Vinaya ini, ia akan memahaminya.”
Kemudian Sang Bhagavā berpikir demikian: “Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dharma?” Kemudian Sang Bhagavā berpikir demikian: “Mengapa Aku tidak mengajarkan Dharma pertama kali kepada Udraka Rāmaputra , yang adalah mantan guruku? Hal tersebut adalah penghormatan tertinggi, sanjungan tertinggi, pikiran penghargaan dan keyakinan tertinggi!”
Kemudian seorang dewa memberitahu kepada Sang Bhagavā: “Udraka Rāmaputra meninggal dunia kemarin malam.”
Juga, Sang Bhagavā setelah mengerahkan pengetahuan dan penglihatan mengetahui: “Udraka Rāmaputra meninggal dunia kemarin malam.” Dan kemudian Sang Bhagavā berpikir demikian: “Aduh, sungguh besar kerugian Udraka Rāmaputra bahwa ia meninggal dunia tanpa mendengarkan Dharma dan Vinaya ini. Jika ia mendengar Dharma dan Vinaya ini, ia akan memahaminya.”
Kemudian Sang Bhagavā berpikir demikian: “Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dharma?” Kemudian Sang Bhagavā berpikir demikian: “Mengapa Aku tidak mengajarkan Dharma pertama kali kepada kelompok lima bhiksu? Di masa lalu, ketika Aku sedang berusaha dalam latihan keras yang menyakitkan, mereka melayaniKu dengan kasih sayang dan rasa hormat.”
Kemudian Sang Bhagavā berpikir demikian: Di manakah para lima bhiksu itu menetap saat ini?’ Sang Bhagavā melihat dengan mata dewa yang murni dan melampaui manusia bahwa lima bhiksu sedang menetap di Benares di Peristirahatan Resi di Taman Rusa.
Setelah menetap selama yang Ia inginkan di bawah kaki pohon Bodhi, Ia berjalan menuju Benares, kota orang-orang Kāśī.
10. Bertemu dengan Upaga Sang PengembaraSekarang, pada saat itu sang petapa pengembara Ājīvaka , bernama Upaga , sedang melakukan perjalanan di jalan yang sama. Ia melihat Sang Bhagavā datang dari kejauhan dan berkata padaNya:
“Yang Mulia Gautama, indriaMu cerah, warna wajahMu murni, dan warna kulitMu cemerlang. Siapakah guru Yang Mulia Gautama? Di bawah siapakah Engkau meninggalkan keduniawian? Dharma siapakah yang Engkau anut?
Sang Bhagavā pada saat itu mengucapkan bait-bait ini:
“Aku tidak memiliki guru,
Dan Aku tidak dapat melihat [seseorang] yang setara [denganKu]
Sendiri di dunia ini [hanya] Aku yang Tercerahkan
Aku telah mencapai Pencerahan Tertinggi.
Segalanya telah Kulampaui, semua telah Kuketahui,
Semua fenomena tidak menodaiKu.
Semua telah ditinggalkan, Aku terbebas dari semua ketakutan;
Setelah mengetahui secara langsung bagi diriKu sendiri, siapakah yang harus Kuikuti?
Siapakah yang harus Kuikuti, karena Aku adalah tanpa bandingan atau yang setara,
Dengan usaha sendiri Aku mencapai pencerahan.
Sang Tathāgata adalah guru para dewa dan manusia,
Maha-tahu, menguasai semua kekuatan.
Di dunia ini Akulah Yang Pantas Dihormati
Di dunia ini Aku tiada tara.
Di dunia dengan para dewanya,
Akulah Sang Pemenang, Penakluk Māra.”[Upaga:]“Apakah Yang Mulia Gautama mengatakan, Pemenang?”
[Buddha:]
“Seorang Pemenang sepertiKu [sebelumya] tidak diketahui,
Yang telah mencapai penghancuran kekotoran.
Aku telah menaklukan semua kualitas jahat,
Oleh karena itu, Upaga, Aku adalah Pemenang.”[Upaga:]“Kemana Anda akan pergi, Yang Mulia Gautama?”
[Buddha:]
“Aku akan pergi ke Benares
Menabuh Tambur Keabadian
Untuk memutar Roda Dharma
Yang tidak dapat dihentikan di dunia.”
“Orang baik tidak selalu bersinar
Yang mengetahui dengan baik kodrat dunia,
Para Buddha selalu damai,
Telah menyeberangi kemelekatan pada dunia.” “Anda mengatakan bahwa Anda adalah Pemenang, Yang Mulia Gautama.” Ājīvaka pengembara Upaga berkata, dan ia pergi berlalu menyusuri jalan.
11. Jalan TengahKemudian Sang Bhagavā mengembara melalui tanah orang-orang Kāśī sampai Ia sampai di Benares.
Sekarang pada saat itu kelompok lima bhiksu sedang menetap di Benares di Peristirahatan Resi di Taman Rusa.
Kelompok lima bhiksu melihat Sang Bhagavā datang dari kejauhan. Mereka sepakat satu sama lainnya bahwa mereka tidak akan mempersiapkan tempat duduk nyaman dan melayani Beliau, dengan berkata:
“Tuan-tuan, petapa Gautama adalah seorang pemalas, senang bermewah-mewah, menjalani kehidupan mewah, yang telah menyerah dalam usaha. Hari-hari ini Ia memakan makanan bagus, nasi dan bubur dengan ghee dan minyak, dan membasuh tubuhNya dengan air bersih!”
“Jika Ia datang mendekat kesini kita tidak akan menghormatiNya, tidak akan bersujud, tidak akan bangkit berdiri, tidak akan mengundangNya, bahkan tidak akan mempersiapkan alas duduk untuknya. Kita hanya akan berkata, “Inilah tempat duduk, Yang Mulia Gautama, Kamu boleh duduk jika Kamu mau.”
Walaupun begitu, ketika Sang Bhagavā datang mendekati kelompok lima bhiksu, kelompok lima bhiksu terkesan dengan keagunganNya, kemuliaanNya, kewibawaanNya. Jadi bangkit dari tempat duduk mereka, seorang mempersiapkan tempat duduk, seorang mengambil air untuk mencuci kaki, seorang mengambil jubahNya; dan mereka berkata: “Duduklah, Guru Gautama, tempat dudukMu sudah siap.”
Kemudian Sang Bhagavā, menyadari bahwa: “orang-orang bodoh ini telah gagal, dan sudah melayani diriKu,” duduk di tempat yang sudah disediakan.
Sekarang, kelompok lima bhiksu memanggil Sang Bhagavā dengan nama, atau dengan nama keluarga, atau sebagai “Yang Mulia” (āyasmā).
Maka Sang Bhagavā berkata pada kelompok lima bhiksu sebagai berikut: “Bhiksu, janganlah memanggil Sang Tathāgata dengan nama, atau dengan nama keluarga, atau sebagai “Yang Mulia”.
“Karena alasan apakah? Jika seseorang memanggil Sang Tathāgata dengan nama, atau dengan nama keluarga, atau sebagai “Yang Mulia”, itu akan menjadi kemalangan, kerugian, dan penderitaan untuk waktu yang lama bagi orang dungu itu.
Kemudian mereka berkata demikian: “Yang Mulia Gautama, dengan cara latihan, metode, kehidupan keras yang dulu [Anda jalani], Anda tidak mencapai dharma yang melampaui manusia apapun, pengetahuan dan penglihatan mulia apapun, dan sebuah kondisi berdiam dalam kenyamanan. Bagaimana mungkin ini terjadi bahwa sekarang Anda telah menjadi malas, mewah, hidup dalam kemewahan, dan telah menyerah dalam usaha; hari-hari ini Anda bahkan memakan makanan bagus, nasi dan bubur dengan ghee dan minyak, dan membasuh tubuhMu dengan air bersih!”
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada kelompok lima bhiksu: “Apakah kalian tidak menemukan, oh para bhiksu, bahwa dibandingkan sebelumnya, wajah Tathāgata cerah, indriaNya berbeda?”
“Ya, Guru Gautama.”
“Para bhiksu, kedua ekstrim ini seharusnya tidak dilatih atau dikembangkan atau dipraktekkan oleh seseorang yang telah meninggalkan keduniawian. Adalah kemelekatan pada kesenangan indera, yang rendah, kasar, biasa, dilakukan oleh orang-orang biasa. Dan adalah ketaatan pada penyiksaan diri, yang menyakitkan, hina, dan tidak berarti.”
“Menghindari kedua ekstrim ini, jalan tengah latihan membawa pada penglihatan, membawa pada pengetahuan, membawa pada kedamaian, dan membawa pada pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nirvāṇa.”
“Apakah praktek jalan tengah itu? Adalah jalan mulia berunsur delapan, yaitu: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, pencaharian benar, upaya benar, perhatian benar, dan samādhi benar sebagai yang kedelapan.”
Sang Bhagavā berhasil dalam membujuk lima bhiksu dari opini buruk mereka. Beliau mengajar dua dari lima bhiksu yang makan lebih dulu, sedangkan tiga orang pergi ke desa untuk mengumpulkan dana makanan. Mereka berenam makan dari apa yang dibawa tiga orang itu.
Kemudian Sang Bhagavā mengajar tiga dari lima bhiksu yang makan belakangan, sedangkan dua orang pergi ke desa untuk mengumpulkan dana makanan. Lima bhiksu makan dari apa yang dibawa dua orang itu. Sang Tathāgata hanya makan pada pagi hari, pada waktu yang layak.
12. Pemutaran Roda DharmaKemudian Sang Bhagavā berkata pada lima bhiksu itu:
“‘Inilah kebenaran mulia tentang penderitaan.’ Bagi-Ku, para bhiksu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dharma-dharma yang tidak didengar sebelumnya ini, penglihatan muncul, dan pengetahuan , realisasi , dan pencerahan muncul. (1)
“‘Inilah kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Bagi-Ku, para bhiksu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dharma-dharma yang tidak didengar sebelumnya, penglihatan muncul, dan pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul. (2-4)
“‘Kebenaran mulia tentang penderitaan harus diketahui sepenuhnya dengan pengetahuan jernih ’ Bagi-Ku, para bhiksu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dharma-dharma yang tidak didengar sebelumnya ini, penglihatan muncul, dan pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul. (5)
“‘Kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan harus ditinggalkan dengan pengetahuan jernih,” Bagi-Ku, para bhiksu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dharma-dharma yang tidak didengar sebelumnya ini, penglihatan muncul, dan pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul. (6)
“‘Kebenaran mulia tentang lenyapnya penderitaan harus dilihat dengan pengetahuan jernih,” Bagi-Ku, para bhiksu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dharma-dharma yang tidak didengar sebelumnya ini, penglihatan muncul, dan pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul. (7)
“‘Kebenaran mulia tentang Jalan menuju lenyapnya penderitaan harus dikembangkan dengan pengetahuan jernih,” Bagi-Ku, para bhiksu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dharma-dharma yang tidak didengar sebelumnya ini, penglihatan muncul, dan pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul. (
“‘Kebenaran mulia tentang penderitaan telah diketahui sepenuhnya dengan pengetahuan jernih,” Bagi-Ku, para bhiksu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dharma-dharma yang tidak didengar sebelumnya ini, penglihatan muncul, dan pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul. (9)
“‘Kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan telah ditinggalkan dengan pengetahuan jernih,” Bagi-Ku, para bhiksu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dharma-dharma yang tidak didengar sebelumnya ini, penglihatan muncul, dan pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul. (10)
“‘Kebenaran mulia tentang lenyapnya penderitaan telah dilihat dengan pengetahuan jernih,” Bagi-Ku, para bhiksu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dharma-dharma yang tidak didengar sebelumnya ini, penglihatan muncul, dan pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul. (11)
“‘Kebenaran mulia tentang Jalan menuju lenyapnya penderitaan telah dikembangkan dengan pengetahuan jernih,” Bagi-Ku, para bhiksu, ketika Aku memberikan perhatian yang bijaksana pada dharma-dharma yang tidak didengar sebelumnya ini, penglihatan muncul, dan pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul. (12)
“Selama, para bhiksu, mengenai empat kebenaran mulia ini, dengan tiga tahapan dan dua belas aspeknya, penglihatan tidak muncul, ataupun pengetahuan, ataupun realisasi, ataupun pencerahan tidak muncul, selama itu juga, di dunia ini dengan para dewa, para Mara, dan para Brahma-nya, dengan para pertapa dan Brahmana-nya, generasi ini dengan para dewa dan manusianya, Aku tidak terbebaskan, sampai pada tujuan, terlepas, terbebas, tanpa dibelenggu, dengan pikiran yang tidak berubah, dan Aku, para bhiksu, tidak menyatakan telah tercerahkan dalam Pencerahan Sempurna yang tiada bandingnya.”
“Tetapi ketika, para bhiksu, mengenai empat kebenaran mulia ini dengan tiga tahapan dan dua belas aspeknya, penglihatan muncul, juga pengetahuan, realisasi, dan pencerahan muncul, maka, di dunia ini dengan para dewa, para Mara, dan para Brahma-nya, dengan para pertapa dan Brahmana-nya, generasi ini dengan para dewa dan manusianya, Aku telah terbebaskan, sampai pada tujuan, terlepas, terbebas, tanpa dibelenggu, dengan pikiran yang tidak berubah, dan Aku, para bhiksu, menyatakan telah tercerahkan dalam Pencerahan Sempurna yang tiada bandingnya.”