Hmmm...
Maksud saya kalau kita ingin kenyang, maka kita yang harus makan. Kalau kita ingin bisa mengendarai sepeda, maka kita yang harus belajar bersepeda. Kalau kita ingin merealisasi Nirvana, maka kita yang harus berusaha untuk merealisasinya.
Saya ajak Anda melihat dari sisi cara mencapainya, tapi Anda selalu menolak. Sudah saya katakan, analogi itu bukan menjadi contoh sebanding dengan sendi-sendi Nirvana.
Dari awal saya juga sudah mengatakan bahwa jalan dengan mengandalkan diri sah-sah saja dalam praktik, namun pada satu titik ego-diri harus ditanggalkan untuk merealisasi nirvana. Begitu juga dengan cara memohon bantuan “yang lain” tidak berbeda dengan mengandalkan diri sendiri, karena pada satu titik harus menyadari bahwa “tidak ada yang dibantu ataupun yang membantu.” Tapi anda tidak paham juga... jadinya saya berkata bahwa diri itu pada hakikatnya adalah pancakandha, maka mengandalkannya tidak akan membantu seseorang merealisasi nirvana.
Lantas anda mengatakan kalau saya menyelewengkan maksud yang kamu katakan dengan bersikeras dengan analogi makan dan kenyang ini. Saya lalu menolak bahwa analogi tersebut tidak tepat untuk Nirvana. Penolakan saya jelas maksudnya, karena bagaimanapun yang saya maksudkan dari awal adalah bahwa nirvana adalah pelepasan dan penyadaran akan diri sebagai sesuatu yang kekal. Sedangkan kenyang berkaitan dengan sensai subjektif aku. So..?
Pernahkah Anda berpikir dahulu sebelum mengambil suatu keputusan...? Nah, seperti itulah pertimbangan...
Maksudku isi pertimbangannya... Bukan pertimbangan itu sendiri.
Tidak ada hubungannya dengan itu, sobat...
Saya minta pendapat dari Anda, sebaiknya kita menggunakan apa sebagai panduan awal...?
Hanya saja nada anda bertanya tentang Iman mengingatkan saya pada para gembala... Biasanya hanya para teolog yang melawankan akal sehat dengan iman
Sori kalo membuat diskusi menjadi agak keluar dari topik
Kalau panduan awal bukan kah sudah kujawab, kalau untuk urusan realisasi nirvana tentunya Buddha Dharma panduannya. Kalau berdagang, tentu panduannya untung dan rugi, kalau berdebat tentu panduannya retorika, kalau berteman tentu panduannya perasaan dan kasih sayang, kalau sedang melukis panduannya estetika dll. Nggak ada panduan yang seragam bro. Apalagi satu panduang untuk segalanya... Jika ada yang meyakini adanya satu panduan untuk segalanya, wah serem bro...
Jadi yang benar seperti apa...? Cerita dong...
Nggak ada yang bener bro... Itulah kehidupan, nggak ada yang bisa pake satu ukuran.
Mungkin Anda salah menerapkannya...
Akal sehat dan logika bukanlah yang paling vital. Tapi setidaknya kita bisa mengevaluasi banyak hal dengan menggunakannya.
Mungkin saja... Setiap orang bisa salah
Jadi maksudnya Nirvana itu adalah hasil yang seharusnya didapat dengan melaksanakan praktik Dharma...?
Kalau tidak merealisasi nirvana untuk apa?
*Apakah seorang Arhat (Sravaka Buddha) sudah terlepas dari siklus kehidupan dan kematian?
Mana aku tahu... Aku bukan Arahat, Boddhisattva, apalagi Buddha yang Sempurna....
Kedengarannya nggak asing ya bro
Dalam diskusi soal seperti jawabanku sudah paten bro
Anda salah menangkap maksud saya...
Kehidupan ini yaitu kehidupan saat ini. Kehidupan saat kita sedang mendiskusikan Dharma ini. Kehidupan ini adalah kehidupan yang potensial bagi kita untuk merealisasi Pembebasan.
Ya...iya dong bro. Kalau saat ini tumpukan paramita dari kehidupan masa lampau sudah mencukupi, ya bisa saya merealisasi pembebasan. Tapi siapa yang tahu apakah saya saat ini saya sudah layak atau belum... jadi ya saya berusaha sekeras semangat saja.. Lalu apa bedanya?
Tapi saya tahu kemungkinan kecil terlintas statement itu di benak Anda. Karena sebagai seorang Mahayanis, pikiran Anda terpola untuk perencanaan jauh di masa depan. Bukan prioritas masa kini yang bermanfaat di masa depan.
Wah... prasangka ini namanya bro
Sebelumnya saya ingin bertanya, apakah pernyataan di atas merupakan wejangan Aliran Mahayana atau paradigma pribadi Anda sendiri...?
Saya melihat ada kesamaan antara pernyataan itu dengan konsep di Hinduisme, yang menyatakan bahwa; "Atman dan Brahman dikenal sebagai dua esensi, namun pada hakikatnya adalah satu".
Wah bro saya nggak ingat lagi, yang mana asli yang mana tidak.... Tapi kelanjutannya adalah hakikat semua makhluk hidup adalah Buddha di dalam dirinya. Terserah deh, kalau mau disebut sebagai pengaruh Hindu atau apapun itu... Saat ini saya sedang tidak berminat mendiskusikan hal seperti itu.
Kita sedang membahas tentang berbuat kebaikan untuk kesejahteraan semua pihak... Apakah bila seseorang menjadikan dirinya sebagai 'tumbal', maka orang itu telah berbuat kebaikan nan arif?
Itukan perspektif anda bro...(sekali lagi koq agak mirip perspektif sang gembala ya?) Tidak ada yang jadi tumbal ataupun yang mengorbankan di sini, karena dikotomi “aku dan orang” sebagai sesuatu yang berbeda hanyalah muncul dalam pikiran yang masih tercemar. Oleh karena itu hal demikian tidak berlaku untuk Jalan Bodhisattva.