//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon  (Read 84034 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Sunyata

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.082
  • Reputasi: 52
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #315 on: 28 May 2011, 05:59:56 PM »
[at]Kainyn

Apakah hanya dengan bertekad dapat membuat tekad itu terwujudkan dikelahiran berikutnya? Misalnya tinggal ditempat yang sesuai dikehidupan berikutnya ;D
Mohon pencerahannya, thz _/\_

Offline Sunyata

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.082
  • Reputasi: 52
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #316 on: 28 May 2011, 06:01:17 PM »
[at]Kainyn

Adakah contoh atau referensinya?
Thz _/\_
« Last Edit: 28 May 2011, 06:03:48 PM by Sunyata »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #317 on: 30 May 2011, 09:54:51 AM »
tapi tapi ....katanya kalau membunuh sapi misalnya, maka dia akan terlahir jadi sapi dan si sapi terlahir jadi orang yang kemudian membunuh si orang yang terlahir jadi sapi itu, terus berulang =))
Ini kata siapa yah? Yang saya tahu memang yang membunuh, ada kemungkinan terlahir jadi yang dibunuh tersebut, tapi belum tentu si sapi yang dibunuh itu akan jadi orang yang akan membalasnya. Kalau dari cerita2 dhamma, Cunda si penjagal babi juga tidak terlahir jadi babi, tapi di Avici.


[at]Kainyn

Apakah hanya dengan bertekad dapat membuat tekad itu terwujudkan dikelahiran berikutnya? Misalnya tinggal ditempat yang sesuai dikehidupan berikutnya ;D
Mohon pencerahannya, thz _/\_

[at]Kainyn

Adakah contoh atau referensinya?
Thz _/\_

Dengan bertekad, kita mengarahkan pikiran dan usaha agar hal tersebut terwujud. Jika ada kamma baik yang mencukupi, bahkan dalam kehidupannya sekarang pun bukan tidak mungkin terwujud, mangapa berpikir tidak mungkin terwujud di kelahiran(-kelahiran) berikutnya? Misalnya dalam buku Ajahn Brahm ada kisah tentang nelayan yang belajar Buddhisme dari Ajahn Chah dan ingin meninggalkan profesinya tersebut. Ajahn Chah mengajarinya meramu obat dari tumbuh-tumbuhan, dan sementara itu, ia hanya menangkap ikan sebatas cukup untuk makan sendiri & keluarga saja. Kemudian setelah ia menguasai pengobatan tersebut, ia meninggalkan profesi menangkap ikan sepenuhnya.
Adalah kamma baik bagi orang itu bertemu Ajahn Chah, memahami dhamma, dan bisa belajar pengobatan sehingga bisa memiliki pekerjaan yang sesuai. Tapi hal itu juga tidak akan terjadi kalau dia menganggap bunuh ikan 'baik-baik saja' dan tidak bertekad meninggalkan pekerjaan tersebut.




Offline Sunyata

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.082
  • Reputasi: 52
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #318 on: 30 May 2011, 10:07:12 AM »
Dimengerti ;D
Terima kasih banyak kk/cc kainyn atas infonya, sangat bermanfaat _/\_

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #319 on: 30 May 2011, 10:38:49 AM »
Ini kata siapa yah? Yang saya tahu memang yang membunuh, ada kemungkinan terlahir jadi yang dibunuh tersebut, tapi belum tentu si sapi yang dibunuh itu akan jadi orang yang akan membalasnya. Kalau dari cerita2 dhamma, Cunda si penjagal babi juga tidak terlahir jadi babi, tapi di Avici.

Kekekalan dari akibat karma
‘Purnamaitrayaniputra, oleh karena nafsu dan cinta terkait satu
sama lain dengan erat, tidak mungkin kita jumpai adanya pemisahan dan
sebagai akibatnya suatu hasil yang tana akhir dari kelahiran orang tua,
anak dan cucunya. Hal ini terutama timbul dari nafsu (seksual) yang
ditimbulkan oleh rasa cinta.’
‘Oleh karena kasih sayang tidak dapat dihancurkan, makhluk
hidup lahir dari rahim, telur, kelembaban dan melalui perubahan
cenderung menggunakan kekuatan mereka untuk membunuh satu sama
lain untuk mendapatkan makanan. Hal ini terutama timbul dari keinginan
untuk membunuh.’
‘Jadi jika seorang manusia (membunuh seekor domba untuk)
makan dagingnya, domba tersebut akan dilahirkan kembali sebagai
manusia, dan manusia itu, setelah dilahirkan kembali akan menjadi
domba (untuk membayar hutang sebelumnya). Maka makhluk hidup di
sepuluh keadaan kelahiran1, saling memakan dan maka membentuk
karma jahat yang tidak akan memiliki akhir. Hal ini terutama timbul dari
keinginan untuk mencuri.’

‘Oleh karena penyebab seperti “anda berhutang nyawa pada
saya”2 dan “Saya membayar hutang saya,”3 makhluk hidup merupakan
subjek dari kelahiran dan kematian selama beratus dan beribu generasi.
Oleh karena penyebab seperti “anda menghargai hati saya, saya mencintai
kecantikanmu,”4 mereka terus menerus terkait satu sama lain selama
beratus dan beribu kalpa. Maka dari itu, penyebab dasr dari akibat karma
yang berkelanjutan ada tiga : membunuh, mencuri dan hawa nafsu.’
‘Maka Purnamaitrayaniputra, tiga akar kejahatan ini berhasil
memenangkan seseorang hanya oleh karena kesadaran yang bukan
penerangan yang menimbulkan persepsi bentuk dan sehingga salah
mengartikan pegunungan, sungai, dan bumi yang besar seperti halnya
fenomena yang meliputi suatu kesuksesan dan, oleh karena ilusi ini,
timbul kembali dan kembali, seperti halnya roda yang berputar.’

surangama sutra
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #320 on: 30 May 2011, 11:13:52 AM »
Kekekalan dari akibat karma
‘Purnamaitrayaniputra, oleh karena nafsu dan cinta terkait satu
sama lain dengan erat, tidak mungkin kita jumpai adanya pemisahan dan
sebagai akibatnya suatu hasil yang tana akhir dari kelahiran orang tua,
anak dan cucunya. Hal ini terutama timbul dari nafsu (seksual) yang
ditimbulkan oleh rasa cinta.’
‘Oleh karena kasih sayang tidak dapat dihancurkan, makhluk
hidup lahir dari rahim, telur, kelembaban dan melalui perubahan
cenderung menggunakan kekuatan mereka untuk membunuh satu sama
lain untuk mendapatkan makanan. Hal ini terutama timbul dari keinginan
untuk membunuh.’
‘Jadi jika seorang manusia (membunuh seekor domba untuk)
makan dagingnya, domba tersebut akan dilahirkan kembali sebagai
manusia, dan manusia itu, setelah dilahirkan kembali akan menjadi
domba (untuk membayar hutang sebelumnya). Maka makhluk hidup di
sepuluh keadaan kelahiran1, saling memakan dan maka membentuk
karma jahat yang tidak akan memiliki akhir. Hal ini terutama timbul dari
keinginan untuk mencuri.’

‘Oleh karena penyebab seperti “anda berhutang nyawa pada
saya”2 dan “Saya membayar hutang saya,”3 makhluk hidup merupakan
subjek dari kelahiran dan kematian selama beratus dan beribu generasi.
Oleh karena penyebab seperti “anda menghargai hati saya, saya mencintai
kecantikanmu,”4 mereka terus menerus terkait satu sama lain selama
beratus dan beribu kalpa. Maka dari itu, penyebab dasr dari akibat karma
yang berkelanjutan ada tiga : membunuh, mencuri dan hawa nafsu.’
‘Maka Purnamaitrayaniputra, tiga akar kejahatan ini berhasil
memenangkan seseorang hanya oleh karena kesadaran yang bukan
penerangan yang menimbulkan persepsi bentuk dan sehingga salah
mengartikan pegunungan, sungai, dan bumi yang besar seperti halnya
fenomena yang meliputi suatu kesuksesan dan, oleh karena ilusi ini,
timbul kembali dan kembali, seperti halnya roda yang berputar.’

surangama sutra
Menarik sekali. Sebagai predator puncak, maka jumlah singa lebih sedikit dari rusa. Katakanlah singa membunuh dan memakan 100 rusa dalam hidupnya, berarti seharusnya generasi berikut-berikutnya memiliki populasi mendekati 100 singa banding 1 rusa (karena yang singa lahir jadi rusa, yang rusa lahir jadi singa).
Juga karena bunuh dan makan hewan akan menyebabkan kita terlahir jadi hewan tersebut, maka jika ingin konsumsi daging, paling baik adalah jadi kanibal. Minimal kelahiran berikutnya jadi manusia juga.
Sepertinya aneh...

Offline William_phang

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.101
  • Reputasi: 62
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #321 on: 31 May 2011, 07:36:01 AM »
mgkn perlu pihak yang memahami yg klarifikasi untuk sutra yg di post bro Ryu? kayak agak kurang selaras dengan apa yg telah saya pelajari..

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #322 on: 31 May 2011, 11:11:44 AM »
[at] Sobat-dharma, saya pribadi tidak menganggap bahwa sila adalah harga mati, dan saya juga kadang2 dengan sengaja melakukan pelanggaran, tapi saya menyadari bahwa apa yg saya lakukan adalah pelanggaran dan tidak berusaha untuk membenarkan perbuatan saya.

Dalam hal ini perlu dilihat, hal apakah yang menyebabkan Anda melanggar sila.
 
jadi, sekali lagi, IMO, ketika seorang bodhisattva petani sedang membunuh hama tikus, saat itu ia telah meninggalkan bodhicitta, bukannya melakukan pembunuhan dengan tetap mempertahankan bodhicitta.

_/\_

Saya hormati pandangan Anda, meski tidak sepaham.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #323 on: 31 May 2011, 11:16:40 AM »
Dalam hal ini perlu dilihat, hal apakah yang menyebabkan Anda melanggar sila.

semua alasan pelanggaran tentulah hal yg baik, seorang pembunuh beralasan, "orang yg saya bunuh itu adalah seorang pemerkosa, kalau tidak saya bunuh maka ia akan memperkosa anak anda."

pendapat bahwa suatu pelanggaran dapat dianulir jika alasannya benar, apakah ini pendapat anda pribadi atau memang pandangan Mahayana?

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #324 on: 31 May 2011, 12:55:59 PM »
Siapakah yang berkuasa untuk memberikan ijin atau tidak untuk melanggar aturan moralitas sila pada saat tertentu?

Tidak perlu ijin dari siapapun. Karena yang bertindaklah yang akan menerima akibat, mengapa harus minta ijin?

Sila memang sebagai pedoman bagi kita untuk melangkah.

Selain sila, juga ada hal lain-lainnya, seperti: metta, karuna, mudita dan upeksa

Yang saya ingin tegaskan pada bro :MEMBUNUH ADALAH TETAP MEMBUNUH.

Sebuah tindakan yang kita sebut sebagai "membunuh", pada hakikatnya secara obyektif adalah kumpulan dari serangkaian gerak. Gerak memotong sayuran, misalnya, terdari dari gerak mengambil pisau, menggenggamnya, menempelkannya pada obyek dan mengiris-irisnya Hal yang mana, kumpulan gerak yang kurang lebih sama terjadi jika seseorang sedang  meggunakan pisau untuk mengiris-iris mayat korban pembunuhan: meraih pisau, menggenggamnya, menempelkannya pada korban dan mengiris-isinya. Jika dilihat secara obyektif secara empirik saja, keduanya adalah kumpulan gerak-gerak yang terdiri dari elemen serupa.

Lantas apa yang membedakan antara mengiris sayuran dengan mengiris-iris korban pembunuhan? Bahkan kita boleh bertanya, lebih lanjut lagi, apakah yang membedakan antara dokter otopsi yang mengiris-iris korban pembunuhan dengan pelaku pembunuhan penuh kebencian yang masih mengiris-iris korbannya meski telah mati, atau pelaku yang megiris-iris korban masih hidup untuk menyiksa?

Dari elemen-elemen fisik obyektifnya, sebagai perilaku yang tampak, semua perilaku  tersebut di atas pada hakikatnya adalah sama saja. Yang membedakan perilaku-perilaku di atas pada dasarnya adalah kondisi batin pelakunya dan jenis obyeknya.

Dokter otopsi yang mengiris-iris (bahkan membedah) korban pembunuhan semuanya dilakukan untuk mengungkapkan misteri suatu pembunuhan agar dapat membantu penegakkan keadilan di pengadilan. Sedangkan pembunuh yang megiris-iris korban pembunuhannya, yang dilakukan dengan penuh kebencian, hanyalah pelampiasan akan hasratnya. Beda lagi dengan pembunuh terhadap korban yang masih hidup dengan pelaku pembunuhan dengan kebencian dan dokter otopsi yang mengiris-iris mayat dan orang yang mengiris-iris sayur, di mana yang satu sasarannya memiliki batin yang merasakan sedang yang lainnya tidak lagi memiliki batin yang merasakan.

Dalam hal ini, faktor kondisi batin orang yang diiris-iris menjadi faktor pembeda yang lain. Misalnya, perlu dibedakan antara orang yang dibunuh dengan sukarela dengan orang yang tidak ingin dibunuh. Dalam kasus ini, dokter yang melakukan euthanasia kepada pasien stadium akhir atas permintaan pasien itu sendiri tidak bisa disamakan dengan orang yang membunuh korban yang tidak ingin dibunuh.   


Dalam hal ini Kata "Membunuh adalah tetap Membunuh" tidak selalu benar. Membunuh dapat berbeda-beda kondisi dan sebabnya dikarenakan berbagai faktor yang datang dari kondisi batin pelaku, korban, ataupun faktor situasi eksternal .


Dan jika kita lakukan pembunuhan karena terpaksa dan dengan niat baik, apakah itu menjadi berubah menjadi bukan pembunuhan?
Tentu saja di sebut sebagai "pembunuhan", namun pembunuhan ini berbeda sebab dan kondisinya dengan pembunuhan karena kebencian atau keserakahn, sehingga hasilnya berbeda pula.

Dan kita tidak akan menanggung kamma dari tindakan kita tersebut. Jika seperti itu bro, sungguh sangat mudah menjalankan BuddhaDharma dalam hidup ini. Hanya satu kunci-nya berarti :yang penting niat-nya baik. Jadi seseorang dalam keadaan terpaksa juga boleh mencuri selama niat-nya baik.
Baik membunuh karena tekad membantu makhluk lain dengan membunuh karena kebencian, keduanya tetap menerima akibat dan tanggunggan akibat karma. Akan tetapi karena sebab dan kondisinya berbeda (yang ditentukan dari situasi eksternal dan kondisi batin pelaku serta korban), hasil karma keduanya berbeda pula.Begitu juga orang yang tidak menolak pembunuhan sama sekali, juga menuai hasil karma, yang tentunya berbeda juga hasilnya dengan keduanya.

Itu persepsi anda. Yang saya ingin saya sampaikan hanyalah:sadari saja bahwa jika kita melakukan sesuatu yang memang merugikan pihak lain.
Masalah "pelanggaran sila" bukan sama sekali soal merugikan pihak lain atau tidak. Kalau Anda berpikir demikian, maka yang menadi landasan dari pikiran adalah kewelasasihan (Karuna).

Jawaban bro seperti ini sama menggiring opini. Sesuatu yang dikatakan benar, seolah-olah menjadi pihak yang kejam dan tidak ber-otak. Dan sesuatu yang salah menjadi tindakan mulia.
Saya hanya menjelaskan cara saya melihat persoalan dalam diskusi ini. Terserah kalau dibilang menyetir opini.

Padahal sebelumnya bro berkata, apakah sesuatu perilaku tidak selalu disertai niat? Dan saya hanya menjelaskan, tidak mungkin semua tindakan sadar tidak disertai keinginan/niat terlebih dahulu. Jika proses batin itu tidak benar, maka tidak ada gunanya abhidhamma itu ada dalam buddhisme.

Tentu saja ada perilaku yang tidak disertai niat, terutama yang dilakukan tidak sadar. Perilaku yang sadar selalu disertai niat (isi niat itu yang penting menentukan)

Jawaban saya dari postingan yang ini, jika seseorang melakukan pembunuhan tetap adalah pembunuhan. Dan hendak-nya setiap orang itu menyadari dan menerima apapun konsekuensi dari setiap perbuatannya. Kesadaran seperti itu yang seharus-nya ditanamkan.
Contoh:Prinsip mati sahid yang dipakai oleh umat lain. Mengorbankan diri demi suatu perbuatan mulia. Terjadilah peledakan bom bunuh diri dimana-mana.Mereka berani melakukan hal seperti itu karena jaminan surga. Karena itu suatu perbuatan mulia demi menolong orang lain.Pandangan salah yang semakin berkembang karena tidak didasari pandangan dan pemahaman yang benar.

Pelaku jihad memang dikatakan mulia oleh para Jihadis. Tapi landasan kondisi batinnya adalah permusuhan dan kebencian. Dasar-dasar perbuatan mereka atas dalil-dalil bahwa Barat dan Yahudi telah menyiksa Umat Islam, dan karena itu untuk membalas perbuatan mereka dilakukan Jihad. Dasarnya adalah balas dendam dan kebencian pada kafir. Sedangkan yang kumaksudkan tidak demikian.

Maaf, saya tidak bisa hanya mendengar kutipan saja. Saya harus mempelajari terlebih dahulu supaya tidak jadi pandangan gado-gado.

baca dlengkapnya di: http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=20424.0

Begini sajalah bro. Berhubung pekerjaan saya bergerak di bidang pertanian/perkebunan. Jadi saya beri bro informasi, tidak ada yang terkadang mendesak seperti yang bro katakan. Karena yang terjadi dalam keseharian-nya bagi seorang petani selalu mendesak terus. Selalu ada hama setiap saat yang pasti dibunuh jika ingin hasil panen yang baik.

Dan apakah saya berusaha berlindung dengan berbagai alasan untuk menenang-kan diri dan membenarkan semua itu. Tidak sama sekali. Yang penting saya menyadari bahwa memang ada kehidupan yang lain saya musnahkan. Dan biarkanlah kamma bekerja sesuai tugas-nya.
Supaya kamma jelek tidak terlalu terasa maka perbanyaklah kamma baik. Seperti perumpamaan sejumput garam yang dibuang ke sungai gangga yang disebutkan Sang Buddha.

Sis Lina, Anda telah dalam jalan yang kumaksudkan. Bukankah anda tetap "terpaksa" membasmi hama meskipun tahu hal tersebut melanggar sila. Persoalannya bukan apakah kita melhat hal tersebut adalah melanggar sila atau bukan, tapi kenyataannya kita pada situasi tertentu memang tidak bisa menghindari untuk melanggar sila. Sikap Anda dengan pernyataan "Yang penting saya menyadari bahwa memang ada kehidupan yang lain saya musnahkan. Dan biarkanlah kamma bekerja sesuai tugas-nya" telah sejalan dengan apa yang kumaksud. Dengan menerima akibat karma perbuatannya apapun itu kita telah membantu kita untuk menjadi lebih rileks. Hanya saja, sikap ini agak tidak konsisten dengan pernyataan bahwa perbuatan tersebut perlu diimbangi dengan karma baik agar "Supaya kamma jelek tidak terlalu terasa". Pernyataan yang belakang ini justrumemperlihatkan bahwa Anda belum rela untuk menerima akibat dari karma Anda.  Lagipula, tujuan Buddhadharma bukanlah untuk mengajarkan manusia menumpuk karma baik agar kehidupan selanjutnya lebih baik, melainkan melepaskan semuanya itu agar terlepas dari samsara. Dampak-dampak dari karma baik atau buruk tidak perlu kita pusingkan, selama kita tetap dalam Jalan mempraktikkan Buddhadharma. Jika melanggar sila karena kondisi yang memaksa, segeralah kembali ke ka jalan praktik Buddhdharma setelah kondisi memngkinkan. Prinsipnya hanya: Tetaplah konsentrasi pada praktik Buddhadhama dengan setulus hati apapun yang terjadi.   

Jika Anda menyadari dan menerima dampak dari karma Anda, hal tersebut adalah satu langkah yang baik dan membantu praktik Anda. Selanjutnya, kita berkonsentrasi pada kondisi batin makhluk yang menjadi korban kita, bukan hanya pada akibat dari perbuatan kita sendiri saja. Jika anda merasa bersalah atas perbuatan Anda itu adalah langkah awal yang baik. Hal ini menunjukkan Anda memiliki welas asih dan berempati dengan makhluk yang menjadi korban Anda. Dari rasa bersalah inilah kemudian kita sadar bahwa penderitaan makhluk hidup yang menjadi korban telah "dipaksa" untuk membantu makhluk hidup lainnya agar hidup. Dari sini kita perlu merasa berhutang dan menghormati setulus-tulusnya makhluk yang menjadi korban, dan siap menerima dampak dari karma kita. Tanamkan rasa berterimakasih dengan setulus-tulusnya terhadap semua makhluk yang telah menjadi korban perbuatan kita dan dari penyesalan kita kemudian berusaha memperbaiki cara-cara kita dalam menjalani praktik Buddhadharma. Dengan demikianlah tekad Bodhicitta tetap di dalam kita, meski dengan terpaksa harus melakukan pelanggaran sila yang pada satu sisi menyelamatkan makhluk hidup namn di sisi lainnya mesti mengorbankan yang lain. 
« Last Edit: 31 May 2011, 12:58:19 PM by sobat-dharma »
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #325 on: 31 May 2011, 01:04:32 PM »
semua alasan pelanggaran tentulah hal yg baik, seorang pembunuh beralasan, "orang yg saya bunuh itu adalah seorang pemerkosa, kalau tidak saya bunuh maka ia akan memperkosa anak anda."pendapat bahwa suatu pelanggaran dapat dianulir jika alasannya benar, apakah ini pendapat anda pribadi atau memang pandangan Mahayana?

Saya tidak bicara soal alasan, melainkan tentang sebab/kondisi dan kondisi batin. Alasan muncul setelah perbuatan dilakukan (untuk menjelaskan suatu perilaku), sedangkan Sebab/Kondisi dan Kondisi Batin mendahului perilaku (menjadi penyebab perilaku).

Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #326 on: 31 May 2011, 01:05:42 PM »
Quote
Dampak-dampak dari karma baik atau buruk tidak perlu kita pusingkan, selama kita tetap dalam Jalan mempraktikkan Buddhadharma. Jika melanggar sila karena kondisi yang memaksa, segeralah kembali ke ka jalan praktik Buddhdharma setelah kondisi memngkinkan. Prinsipnya hanya: Tetaplah konsentrasi pada praktik Buddhadhama dengan setulus hati apapun yang terjadi.   

ini bagian yg menarik, tidak perlu memusingkan dampak dari karma baik atau buruk asalkan kita tetap dalam jalan mempraktikkan BUddhadharma. bagaimanakah yg disebut sebagai jalan mempraktikkan Buddhadharma? apakah itu termasuk membunuh tikus? dan "jika melanggar sila karena kondisi yang memaksa, segeralah kembali ke ka jalan praktik Buddhdharma setelah kondisi memngkinkan", kenapa harus kembali bukankah seseorang yg mempertahankan bodhicitta memang sudah berada di jalan (atau tidak?) sekalipun ia membunuh tikus?

Prinsipnya hanya: Tetaplah konsentrasi pada praktik Buddhadhama dengan setulus hati apapun yang terjadi.  ini juga harus ditegaskan apakah membunuh tikus termasuk praktik Buddhadhama sehingga seseorang harus melakukannya dengan tulus?

Offline Sostradanie

  • Sebelumnya: sriyeklina
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.375
  • Reputasi: 42
Re: Authenticity of the Suttas of the Pali Canon
« Reply #327 on: 31 May 2011, 02:01:08 PM »
Dari rasa bersalah inilah kemudian kita sadar bahwa penderitaan makhluk hidup yang menjadi korban telah "dipaksa" untuk membantu makhluk hidup lainnya agar hidup. Dari sini kita perlu merasa berhutang dan menghormati setulus-tulusnya makhluk yang menjadi korban, dan siap menerima dampak dari karma kita. Tanamkan rasa berterimakasih dengan setulus-tulusnya terhadap semua makhluk yang telah menjadi korban perbuatan kita dan dari penyesalan kita kemudian berusaha memperbaiki cara-cara kita dalam menjalani praktik Buddhadharma. Dengan demikianlah tekad Bodhicitta tetap di dalam kita, meski dengan terpaksa harus melakukan pelanggaran sila yang pada satu sisi menyelamatkan makhluk hidup namn di sisi lainnya mesti mengorbankan yang lain. 
Dari jawaban yang panjang, inti-nya kembali kesini. Jawaban anda yang ini masih sejalan dengan pemikiran saya.Bukan seperti jawaban sebelum-nya yang memperbolehkan pembunuhan selama niat-nya baik.

PEMUSNAHAN BAIK ADANYA (2019)