Siapakah yang berkuasa untuk memberikan ijin atau tidak untuk melanggar aturan moralitas sila pada saat tertentu?
Tidak perlu ijin dari siapapun. Karena yang bertindaklah yang akan menerima akibat, mengapa harus minta ijin?
Sila memang sebagai pedoman bagi kita untuk melangkah.
Selain sila, juga ada hal lain-lainnya, seperti: metta, karuna, mudita dan upeksa
Yang saya ingin tegaskan pada bro :MEMBUNUH ADALAH TETAP MEMBUNUH.
Sebuah tindakan yang kita sebut sebagai "membunuh", pada hakikatnya secara obyektif adalah kumpulan dari serangkaian gerak. Gerak memotong sayuran, misalnya, terdari dari gerak mengambil pisau, menggenggamnya, menempelkannya pada obyek dan mengiris-irisnya Hal yang mana, kumpulan gerak yang kurang lebih sama terjadi jika seseorang sedang meggunakan pisau untuk mengiris-iris mayat korban pembunuhan: meraih pisau, menggenggamnya, menempelkannya pada korban dan mengiris-isinya. Jika dilihat secara obyektif secara empirik saja, keduanya adalah kumpulan gerak-gerak yang terdiri dari elemen serupa.
Lantas apa yang membedakan antara mengiris sayuran dengan mengiris-iris korban pembunuhan? Bahkan kita boleh bertanya, lebih lanjut lagi, apakah yang membedakan antara dokter otopsi yang mengiris-iris korban pembunuhan dengan pelaku pembunuhan penuh kebencian yang masih mengiris-iris korbannya meski telah mati, atau pelaku yang megiris-iris korban masih hidup untuk menyiksa?
Dari elemen-elemen fisik obyektifnya, sebagai perilaku yang tampak, semua perilaku tersebut di atas pada hakikatnya adalah sama saja. Yang membedakan perilaku-perilaku di atas pada dasarnya adalah kondisi batin pelakunya dan jenis obyeknya.
Dokter otopsi yang mengiris-iris (bahkan membedah) korban pembunuhan semuanya dilakukan untuk mengungkapkan misteri suatu pembunuhan agar dapat membantu penegakkan keadilan di pengadilan. Sedangkan pembunuh yang megiris-iris korban pembunuhannya, yang dilakukan dengan penuh kebencian, hanyalah pelampiasan akan hasratnya. Beda lagi dengan pembunuh terhadap korban yang masih hidup dengan pelaku pembunuhan dengan kebencian dan dokter otopsi yang mengiris-iris mayat dan orang yang mengiris-iris sayur, di mana yang satu sasarannya memiliki batin yang merasakan sedang yang lainnya tidak lagi memiliki batin yang merasakan.
Dalam hal ini, faktor kondisi batin orang yang diiris-iris menjadi faktor pembeda yang lain. Misalnya, perlu dibedakan antara orang yang dibunuh dengan sukarela dengan orang yang tidak ingin dibunuh. Dalam kasus ini, dokter yang melakukan euthanasia kepada pasien stadium akhir atas permintaan pasien itu sendiri tidak bisa disamakan dengan orang yang membunuh korban yang tidak ingin dibunuh.
Dalam hal ini Kata "Membunuh adalah tetap Membunuh" tidak selalu benar. Membunuh dapat berbeda-beda kondisi dan sebabnya dikarenakan berbagai faktor yang datang dari kondisi batin pelaku, korban, ataupun faktor situasi eksternal .
Dan jika kita lakukan pembunuhan karena terpaksa dan dengan niat baik, apakah itu menjadi berubah menjadi bukan pembunuhan?
Tentu saja di sebut sebagai "pembunuhan", namun pembunuhan ini berbeda sebab dan kondisinya dengan pembunuhan karena kebencian atau keserakahn, sehingga hasilnya berbeda pula.
Dan kita tidak akan menanggung kamma dari tindakan kita tersebut. Jika seperti itu bro, sungguh sangat mudah menjalankan BuddhaDharma dalam hidup ini. Hanya satu kunci-nya berarti :yang penting niat-nya baik. Jadi seseorang dalam keadaan terpaksa juga boleh mencuri selama niat-nya baik.
Baik membunuh karena tekad membantu makhluk lain dengan membunuh karena kebencian, keduanya tetap menerima akibat dan tanggunggan akibat karma. Akan tetapi karena sebab dan kondisinya berbeda (yang ditentukan dari situasi eksternal dan kondisi batin pelaku serta korban), hasil karma keduanya berbeda pula.Begitu juga orang yang tidak menolak pembunuhan sama sekali, juga menuai hasil karma, yang tentunya berbeda juga hasilnya dengan keduanya.
Itu persepsi anda. Yang saya ingin saya sampaikan hanyalah:sadari saja bahwa jika kita melakukan sesuatu yang memang merugikan pihak lain.
Masalah "pelanggaran sila" bukan sama sekali soal merugikan pihak lain atau tidak. Kalau Anda berpikir demikian, maka yang menadi landasan dari pikiran adalah kewelasasihan (Karuna).
Jawaban bro seperti ini sama menggiring opini. Sesuatu yang dikatakan benar, seolah-olah menjadi pihak yang kejam dan tidak ber-otak. Dan sesuatu yang salah menjadi tindakan mulia.
Saya hanya menjelaskan cara saya melihat persoalan dalam diskusi ini. Terserah kalau dibilang menyetir opini.
Padahal sebelumnya bro berkata, apakah sesuatu perilaku tidak selalu disertai niat? Dan saya hanya menjelaskan, tidak mungkin semua tindakan sadar tidak disertai keinginan/niat terlebih dahulu. Jika proses batin itu tidak benar, maka tidak ada gunanya abhidhamma itu ada dalam buddhisme.
Tentu saja ada perilaku yang tidak disertai niat, terutama yang dilakukan
tidak sadar. Perilaku yang
sadar selalu disertai niat (isi niat itu yang penting menentukan)
Jawaban saya dari postingan yang ini, jika seseorang melakukan pembunuhan tetap adalah pembunuhan. Dan hendak-nya setiap orang itu menyadari dan menerima apapun konsekuensi dari setiap perbuatannya. Kesadaran seperti itu yang seharus-nya ditanamkan.
Contoh:Prinsip mati sahid yang dipakai oleh umat lain. Mengorbankan diri demi suatu perbuatan mulia. Terjadilah peledakan bom bunuh diri dimana-mana.Mereka berani melakukan hal seperti itu karena jaminan surga. Karena itu suatu perbuatan mulia demi menolong orang lain.Pandangan salah yang semakin berkembang karena tidak didasari pandangan dan pemahaman yang benar.
Pelaku jihad memang dikatakan mulia oleh para Jihadis. Tapi landasan kondisi batinnya adalah permusuhan dan kebencian. Dasar-dasar perbuatan mereka atas dalil-dalil bahwa Barat dan Yahudi telah menyiksa Umat Islam, dan karena itu untuk membalas perbuatan mereka dilakukan Jihad. Dasarnya adalah balas dendam dan kebencian pada kafir. Sedangkan yang kumaksudkan tidak demikian.
Maaf, saya tidak bisa hanya mendengar kutipan saja. Saya harus mempelajari terlebih dahulu supaya tidak jadi pandangan gado-gado.
baca dlengkapnya di:
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=20424.0Begini sajalah bro. Berhubung pekerjaan saya bergerak di bidang pertanian/perkebunan. Jadi saya beri bro informasi, tidak ada yang terkadang mendesak seperti yang bro katakan. Karena yang terjadi dalam keseharian-nya bagi seorang petani selalu mendesak terus. Selalu ada hama setiap saat yang pasti dibunuh jika ingin hasil panen yang baik.
Dan apakah saya berusaha berlindung dengan berbagai alasan untuk menenang-kan diri dan membenarkan semua itu. Tidak sama sekali. Yang penting saya menyadari bahwa memang ada kehidupan yang lain saya musnahkan. Dan biarkanlah kamma bekerja sesuai tugas-nya.
Supaya kamma jelek tidak terlalu terasa maka perbanyaklah kamma baik. Seperti perumpamaan sejumput garam yang dibuang ke sungai gangga yang disebutkan Sang Buddha.
Sis Lina, Anda telah dalam jalan yang kumaksudkan. Bukankah anda tetap "terpaksa" membasmi hama meskipun tahu hal tersebut melanggar sila. Persoalannya bukan apakah kita melhat hal tersebut adalah melanggar sila atau bukan, tapi kenyataannya kita pada situasi tertentu memang tidak bisa menghindari untuk melanggar sila. Sikap Anda dengan pernyataan "Yang penting saya menyadari bahwa memang ada kehidupan yang lain saya musnahkan. Dan biarkanlah kamma bekerja sesuai tugas-nya" telah sejalan dengan apa yang kumaksud. Dengan menerima akibat karma perbuatannya apapun itu kita telah membantu kita untuk menjadi lebih rileks. Hanya saja, sikap ini agak tidak konsisten dengan pernyataan bahwa perbuatan tersebut perlu diimbangi dengan karma baik agar "Supaya kamma jelek tidak terlalu terasa". Pernyataan yang belakang ini justrumemperlihatkan bahwa Anda belum rela untuk menerima akibat dari karma Anda. Lagipula, tujuan Buddhadharma bukanlah untuk mengajarkan manusia menumpuk karma baik agar kehidupan selanjutnya lebih baik, melainkan melepaskan semuanya itu agar terlepas dari samsara. Dampak-dampak dari karma baik atau buruk tidak perlu kita pusingkan, selama kita tetap dalam Jalan mempraktikkan Buddhadharma. Jika melanggar sila karena kondisi yang memaksa, segeralah kembali ke ka jalan praktik Buddhdharma setelah kondisi memngkinkan. Prinsipnya hanya: Tetaplah konsentrasi pada praktik Buddhadhama dengan setulus hati apapun yang terjadi.
Jika Anda menyadari dan menerima dampak dari karma Anda, hal tersebut adalah satu langkah yang baik dan membantu praktik Anda. Selanjutnya, kita berkonsentrasi pada kondisi batin makhluk yang menjadi korban kita, bukan hanya pada akibat dari perbuatan kita sendiri saja. Jika anda merasa bersalah atas perbuatan Anda itu adalah langkah awal yang baik. Hal ini menunjukkan Anda memiliki welas asih dan berempati dengan makhluk yang menjadi korban Anda. Dari rasa bersalah inilah kemudian kita sadar bahwa penderitaan makhluk hidup yang menjadi korban telah "dipaksa" untuk membantu makhluk hidup lainnya agar hidup. Dari sini kita perlu merasa berhutang dan menghormati setulus-tulusnya makhluk yang menjadi korban, dan siap menerima dampak dari karma kita. Tanamkan rasa berterimakasih dengan setulus-tulusnya terhadap semua makhluk yang telah menjadi korban perbuatan kita dan dari penyesalan kita kemudian berusaha memperbaiki cara-cara kita dalam menjalani praktik Buddhadharma. Dengan demikianlah tekad Bodhicitta tetap di dalam kita, meski dengan terpaksa harus melakukan pelanggaran sila yang pada satu sisi menyelamatkan makhluk hidup namn di sisi lainnya mesti mengorbankan yang lain.