Pengembangan Buddhisme > DhammaCitta Press

A History of Mindfulness

(1/16) > >>

seniya:
Ini terjemahan buku "A History of Mindfulness" oleh Bhikkhu Sujato. Karya ini memiliki hubungan dengan karya Bhikkhu Sujato sebelumnya tentang aliran-aliran dan sektarianisme, di mana di sini menyoroti perkembangan teks-teks awal ajaran Buddhisme pada umumnya dan teks Satipatthana Sutta sebagai pedoman meditasi Buddhis pada khususnya. Ini adalah buku yang sangat bagus untuk dipelajari oleh mereka yang tertarik pada studi Buddhisme awal.

Berikut adalah ringkasan isi buku ini dalam kata-kata sang penulis sendiri:


--- Quote ---Kata sati, yang kita terjemahkan sebagai “perhatian”, berarti “ingatan”, dan mulanya digunakan oleh para brahmana dalam pengertian mengingat kitab-kitab Veda. Untuk secara efektif mengingat kembali kumpulan teks yang besar, anda masuk ke dalam zona kejernihan dan kehadiran pikiran, bebas dari gangguan-gangguan. Ini adalah salah satu pengaruh dalam pengembangan apa yang saat ini kita sebut “meditasi”.

Sang Buddha mengambil penggunaan Brahmanis ini, dan menggunakan sati baik sebagai “ingatan” (terhadap teks-teks) dan “kehadiran pikiran” dalam meditasi.

Ajaran-ajaran modern tentang perhatian hampir secara khusus diturunkan dari suatu penafsiran abad ke-20 dari satu teks Pali, Satipatthana Sutta. Ajaran ini, vipassanavada, mengatakan bahwa satipatthana adalah suatu praktek “pandangan terang kering”, di mana meditator, tanpa praktek meditasi ketenangan (samatha) sebelumnya, “penuh perhatian” atas fenomena yang berubah-ubah dari pengalaman. Ini saja cukup untuk merealisasi pencerahan.

Ketika kita dengan berhati-hati mempertimbangkan ajaran-ajaran yang ditemukan dalam teks-teks Buddhis awal, menjadi jelas bahwa ajaran ini tidak dapat dipertahankan.

Terdapat tujuh versi bahan Satipatthana Sutta (yang terdapat dalam Vibhanga Theravada, Dharmaskandha Sarvastivada, Sariputrabhidharma Dharmaguptaka, teks Mahayana awal Prajnaparamita, Smrtyupasthana Sutra Sarvastivada, Ekayana Sutra Mahasanghika, dan Satipatthana Sutta Theravada itu sendiri), serta ratusan teks lainnya tentang perhatian (komentar-komentar, risalah-risalah, dan sutra-sutra Mahayana yang belakangan). Bergantung pada semua teks ini, tidak hanya satu teks, kita sampai pada gambaran tentang perhatian berikut dalam Buddhisme awal.

Meskipun sati digunakan dalam banyak konteks, yang paling penting adalah empat satipatthana, atau “penegakan perhatian”. Ini adalah “perhatian benar”, faktor ketujuh dari jalan mulia berunsur delapan. Tujuan satipatthana adalah untuk memperoleh faktor kedelapan, samadhi benar atau empat jhana.

Kata satipatthana adalah sebuah kata majemuk dari sati dan upatthana, yang berarti “menetapkan” atau “menegakkan”. Ini adalah pemusatan perhatian dan kehadiran kesadaran pada suatu objek; dengan kata lain, ia pada dasarnya berarti “meditasi”

Satipatthana adalah “perenungan’ (anupassana) terhadap tubuh, perasaan, pikiran, dan prinsip-prinsip (dhamma). “Anupassana” berarti “pengamatan terus-menerus”. Ia adalah suatu kewaspadaan yang berdiam pada satu hal dan tidak meloncat dari satu objek ke objek lain. Untuk alasan ini satipatthana dikatakan sebagai “jalan menuju yang satu”, ekayana magga.

Praktek utama satipatthana adalah meditasi pernapasan, anapanasati. Seseorang memusatkan perhatian pada pernapasan, menjaga kewaspadaan di sana, secara terus-menerus “mengingat” pernapasan. Ketika napas fisik menjadi tenang, seseorang berlanjut dari perenungan tubuh menuju kewaspadaan terhadap perasaan-perasaan halus dari kebahagiaan dan kegiuran yang muncul dalam pernapasan. Pikiran menjadi dimurnikan. Akhirnya seseorang merenungkan bagaimana keseluruhan proses adalah tidak kekal dan berkondisi; inilah perenungan terhadap dhamma (“prinsip”).

Terdapat banyak jenis meditasi lain yang dapat dikelompokkan sebagai satipatthana, tetapi semuanya mengikuti cara yang sama.

Satipatthana Sutta Pali memasukkan sejumlah bagian yang tidak digunakan bersama dengan teks-teks lain tentang satipatthana, dan yang merupakan penambahan yang belakangan.

Salah satu penambahan adalah dimasukkannya kewaspadaan terhadap posisi tubuh dan aktivitas-aktivitas sehari-hari di antara latihan-latihan meditasinya. Kewaspadaan terhadap posisi tubuh, dalam setiap teks lainnya, adalah bagian dari persiapan untuk meditasi, bukan meditasi itu sendiri.

Penambahan yang belakangan lainnya pada Satipatthana Sutta Pali adalah sebuah “pengulangan” yang mengikuti masing-masing meditasi, yang mengatakan seseorang berlatih merenungkan “muncul dan lenyapnya”. Ini adalah suatu praktek vipassana, yang awalnya hanya termasuk dalam yang terakhir dari empat satipatthana, yaitu perenungan dhamma.

Perenungan dhamma juga mengalami perluasan berskala besar. Teks awal hanya memasukkan lima rintangan dan tujuh faktor pencerahan. Lima kelompok unsur kehidupan, enam alat indera, dan empat kebenaran mulia ditambahkan kemudian.

Masing-masing versi Satipatthana Sutta didasarkan pada suatu nenek moyang yang digunakan bersama, yang telah diperluas dengan cara yang berbeda-beda oleh aliran-aliran. Proses ini berlangsung selama beberapa abad setelah wafatnya Sang Buddha. Dari teks-teks yang kita miliki saat ini, yang paling dekat dengan versi awal mulanya adalah yang terkandung dalam Vibhanga Abhidhamma Pali, jika kita mengabaikan penguraian Abhidhammik-nya.

Dengan menelusuri perkembangan teks-teks tentang satipatthana dalam Buddhisme yang belakangan, terdapat suatu kecenderungan perlahan-lahan untuk menekankan aspek vipassana dengan mengorbankan sisi samatha. Ini terjadi sepanjang berbagai aliran, walaupun terdapat suatu variasi dari teks ke teks, dan mungkin beberapa perbedaan dalam penekanan sektarian. Ini membawa pada berbagai kontradiksi dan masalah dalam penafsiran.

Namun demikian, dalam semua aliran dan periode kita juga menemukan penyajian satipatthana yang mengingat kembali pada makna awalnya. Sebagai contoh, guru besar Yogacara Asanga mendefinisikan perhatian sebagai “kewaspadaan yang terus-menerus terhadap objek yang telah dialami sebelumnya”.

Dengan mempertimbangkan perhatian dalam konteks historisnya, dengan memasukkan semua teks-teks yang relevan, dan dengan memahami perkembangan historis dari aliran-aliran, kita tiba pada pemahaman yang lebih kaya, lebih bernuansa, dan lebih realistis terhadap perhatian. Ini tidak hanya membantu kita menghargai tradisi kita lebih baik, ia memberikan suatu kerangka yang lebih bermanfaat, seimbang, dan otentik untuk praktek.

--- End quote ---

Semoga bermanfaat.

NB: Thread saya tutup agar tidak ada yang comment demi kerapian topik ini.

seniya:
A HISTORY OF MINDFULNESS

Bagaimana pandangan terang mengalahkan ketenangan dalam Satipaṭṭhāna Sutta

Bhikkhu Sujato
Tidak ada jhāna bagi seseorang yang tanpa kebijaksanaan;
Tidak ada kebijaksanaan bagi seseorang yang tanpa jhāna.
Tetapi bagi seseorang dengan jhāna dan kebijaksanaan,
Nibbana sesungguhnya dekat.
– Sang Buddha, Dhammapada 372

seniya:
Prakata: Vipassanāvāda
Tujuan buku ini adalah untuk menganalisis sumber-sumber tekstual dari teori meditasi Theravāda abad ke-20. Fokusnya adalah pada karya-karya sumber utama untuk apa yang saya sebut Vipassanāvāda, “ajaran vipassanā”. Ini adalah penafsiran khusus dari beberapa konsep meditasi utama yang telah menjadi sifat ortodoks de facto dalam Buddhisme Theravāda, walaupun bukan tanpa kontroversi. Istilah vipassanāvāda berguna dalam arti bahwa akhiran Pali –vāda menunjuk pada pentingnya teori di mana praktek-praktek ini didasarkan. Lebih dari itu, akhiran yang sama juga berarti tidak hanya suatu ajaran, tetapi juga aliran yang mengikuti ajaran tersebut. Ini semua terlalu tepat dalam kasus sekarang, karena “vipassanā” telah muncul, dengan agak aneh, untuk digunakan seakan-akan ia menunjuk pada suatu aliran Buddhisme yang sebenarnya (alih-alih suatu aspek meditasi yang dikembangkan dalam semua aliran!).[1]

Poin kunci dari vipassanāvāda adalah dinyatakan kembali berulang kali dalam hampir setiap buku tentang meditasi Theravāda abad ke-20, sehingga di sini saya akan meringkaskan dengan singkat. Sang Buddha mengajarkan dua sistem meditasi, samatha dan vipassanā. Samatha diajarkan sebelum Sang Buddha (sehingga tidak benar-benar Buddhis), ini berbahaya (karena seseorang dapat dengan mudah melekat pada ketenangan), dan ini tidak perlu (karena vipassanā sendiri dapat mengembangkan samādhi akses yang diperlukan untuk menekan rintangan batin). Vipassanā merupakan kunci sejati pada pembebasan yang diajarkan Sang Buddha. Metode ini terutama diajarkan dalam Satipaṭṭhāna Sutta, kotbah yang paling penting yang diajarkan Sang Buddha tentang meditasi dan tentang praktek dalam kehidupan sehari-hari. Inti praktek ini adalah kesadaran dari saat ke saat atas muncul dan lenyapnya semua fenomena pikiran-tubuh. Demikianlah satipaṭṭhāna dan vipassanā adalah hampir sinonim.

Tidak semua tradisi meditasi modern menerima dikotomi samatha dan vipassanā ini. Sebagai contoh, para guru dari tradisi hutan Thai sering menekankan sifat saling melengkapi, alih-alih pembagian, dari samatha dan vipassanā. Almarhum guru meditasi Thai Ajahn Chah, sebagai contoh, pernah mengatakan bahwa dalam samatha, anda duduk bersila, menutup mata anda, memperhatikan napas anda, dan membuat pikiran damai. Tetapi vipassanā, sekarang, itu adalah sesuatu yang sangat berbeda. Dalam vipassanā, anda duduk bersila, menutup mata anda, memperhatikan napas anda, membuat pikiran damai, dan kemudian anda mengetahui: “Ini bukan suatu hal yang pasti!”

Saya selalu merasa bahwa dalam pendekatan untuk meditasi ini terdapat suatu ikatan yang kuat antara sutta-sutta dan ajaran-ajaran para guru [bhikkhu] hutan. Dalam karya ini saya menunjukkan dari sudut pandang ilmiah kebenaran-kebenaran yang sama diungkapkan dengan intisari dan otoritas yang demikian oleh para guru seperti Ajahn Chah.

Pada tahun 2000 saya menulis Sepasang Utusan Cepat, yang menekankan keselarasan dan sifat saling melengkapi dari samatha dan vipassanā dalam sutta-sutta awal. Di sana, saya membahas panjang lebar perlakuan atas satipaṭṭhāna dalam sutta-sutta awal, dengan memfokuskan pada Satipaṭṭhāna Sutta. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa satipaṭṭhāna, jauh dari suatu jalan latihan yang berbeda atau terpisah, melekat dengan mendalam dan luas dalam makna dari sutta-sutta awal dan tidak dapat dipahami ataupun dipraktekkan di luar konteks ini.

Mendekati akhir proyek itu saya kebetulan menemukan sebuah artikel oleh Richard Gombrich yang berjudul “Retracing an Ancient Debate: How Insight Worsted Concentration in the Pali Canon”.[2] Walaupun hanya sebagian diyakinkan oleh argumentasi-argumentasinya, saya dibangkitkan minatnya oleh gagasannya – bahwa pergeseran dalam penekanan dari samādhi ke vipassanā, yang sangat jelas dalam Theravāda, dapat ditelusuri pada perubahan editorial yang dibuat dalam periode penyusunan Nikāya- Nikāya Pali. Ini menyentakkan beberapa ingatan dari akhir yang sedikit longgar yang tetap membayang-bayangi dalam studi saya atas satipaṭṭhāna. Saya memutuskan untuk menarik untaian pemikiran tersebut, dan dalam keheranan saya seluruh Satipaṭṭhāna Sutta mulai terbuka di depan mata saya. Inilah kisah bagaimana Satipaṭṭhāna Sutta dianyam, bagaimana ia teruraikan, dan bagaimana ini mempengaruhi pemahaman kita atas Dhamma-Vinaya.

Pentingnya suatu pendekatan historis yang demikian pada ajaran-ajaran masih sebagian besar tidak diketahui di antara para umat Buddha yang berlatih. Kenyataannya, pendekatan normal kita pada ajaran-ajaran adalah sangat berlawanan dengan sejarah. Seorang meditator yang beraspirasi pertama-tama belajar dari mulut seorang guru yang kata-katanya seperti yang mereka ucapkan pasti rumusan yang paling baru dari topik itu. Kemudian mereka mungkin kembali untuk membaca beberapa karya dari para guru terkemuka yang sezaman. Karena mereka yang menaatinya biasanya memiliki keyakinan bahwa guru mereka (guru dari guru itu) telah tercerahkan, mereka menganggap, sering tanpa perenungan, bahwa ajaran-ajaran itu pasti sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Akhirnya, jika mereka benar-benar berdedikasi, mereka mungkin kembali membaca Satipaṭṭhāna Sutta. Ketika mereka mendatangi teks itu sendiri, mereka telah terprogram sebelumnya untuk membaca teks itu dengan suatu cara tertentu. Ini membutuhkan keberanian untuk mempertanyakan guru sendiri; dan ini bukan hanya membutuhkan keberanian, tetapi waktu dan upaya untuk bertanya secara cerdas.

Selain Satipaṭṭhāna Sutta, kotbah-kotbah lain tentang satipaṭṭhāna, karena kotbah-kotbah ini sangat pendek, biasanya diabaikan di bawah anggapan bahwa mereka menambahkan sedikit yang baru. Bahkan yang terbaik dari para sarjana yang telah mempelajari satipaṭṭhāna dari perspektif historis, seperti Warder, Gethin, dan Anālayo, telah memperlakukan Satipaṭṭhāna Sutta sebagai yang utama dan kotbah-kotbah yang lebih pendek sebagai pelengkap.

Maka sekarang saya ingin membalik prosedur itu. Langkah pertama kita harus melupakan semua yang kita pelajari tentang satipaṭṭhāna, dan mulai lagi dari bawah ke atas. Prinsip utama dari metode historis adalah bahwa ajaran-ajaran yang lebih sederhana cenderung lebih awal dan oleh sebab itu mungkin lebih otentik – kita harus mulai dengan batu bata sebelum kita dapat membangun sebuah rumah. Adalah bacaan yang lebih pendek, lebih mendasar, yang merupakan penyajian yang lebih fundamental dari satipaṭṭhāna. Teks-teks yang lebih panjang merupakan suatu perluasan. Kita tidak menganggap bahwa yang lebih pendek selalu lebih awal, tetapi kita menganggap ini sebagai suatu prinsip panduan yang implikasinya dapat kita ikuti.

Stratifikasi ini, harus dicatat, tidak menyatakan dapat memutuskan ajaran-ajaran mana yang sebenarnya diucapkan oleh Sang Buddha. Beliau sendiri mungkin telah memberikan ajaran-ajaran yang sama mulanya dalam bentuk yang sederhana, kemudian diperluas belakangan dalam berbagai rincian. Tetapi testimoni universal dari tradisi-tradisi adalah teks-teks seperti yang kita miliki sekarang dikumpulkan dalam bentuk mereka sekarang setelah wafatnya Sang Buddha; maka pendekatan yang rasional adalah untuk mempertimbangkan teks-teks sebagai hasil dari suatu proses evolusioner.

Mereka yang tidak setuju dengan pendekatan ini biasanya melakukannya karena mereka telah memiliki keyakinan bahwa semua ajaran-ajaran dalam sutta-sutta secara harfiah diucapkan oleh Sang Buddha, atau mereka meragukan kemungkinan rekonstruksi historis yang berarti karena tidak dapat dipercayanya sumber-sumber atau ketidakpastian metodenya. Saya yakin posisi pertama terlalu mudah percaya dan yang kedua terlalu skeptis. Dalam kasus mana pun, tanpa menghiraukan situasi historis, ini pastinya masuk akal untuk mempelajari Dhamma dengan mulai dari ajaran-ajaran yang sederhana dan bekerja menuju yang kompleks.

Maka kita harus mulai dengan mengidentifikasi unit yang terkecil, yang paling sederhana dari makna yang digunakan untuk menggambarkan satipaṭṭhāna. Ini adalah istilah-istilah dan frase-frase dasar pada semua penjelasan satipaṭṭhāna dalam semua aliran. Ini masuk akal untuk mulai dari kotbah pertama Sang Buddha. Ini memunculkan pertanyaan yang menarik. Kotbah ini adalah untuk kelompok lima bhikkhu, yang pada saat itu, adalah para pertapa non-Buddhis. Namun, teks menunjuk pada perhatian [sati] seakan-akan ia menganggap para pendengar mengetahui apa yang dimaksudnya. Mahāsi Sayadaw memperhatikan hal ini, dan merasa bahwa kotbah ini mulanya memasukkan penjelasan satipaṭṭhāna yang lebih rinci. Tetapi saya merasa ini tidak mungkin, karena Saccavibhaṅga Sutta, yang secara eksplisit menjelaskan Dhammacakkappavattana Sutta “secara rinci”, memasukkan rumusan standar satipaṭṭhāna dalam perluasan detailnya. Apa perlunya suatu perluasan demikian jika rumusan itu ada di sana dalam aslinya? Kesimpulannya adalah tak terhindarkan: Dhammacakkappavattana Sutta menganggap bahwa lima orang bhikkhu itu telah mengetahui apakah perhatian itu, dan dengan demikian perhatian merupakan praktek meditasi pra-Buddhis. Untuk memeriksa hal ini saya harus memeriksa lebih dekat catatan-catatan meditasi pra-Buddhis yang ditemukan dalam teks-teks Buddhis maupun non-Buddhis.

Saya pertama kali terkejut oleh gagasan perubahan historis dalam Satipaṭṭhāna Sutta oleh A. K. Warder, yang menunjuk pada versi-versi Satipaṭṭhāna Sutta dalam terjemahan Mandarin kuno. Setelah mencatat perbedaan-perbedaan besar ia mencatat dalam hubungan dengan perenungan dhamma-dhamma yang “teks awalnya hanya memperlawankan prinsip-prinsip baik ini [faktor-faktor pencerahan] dengan rintangan-rintangan [batin].”[3] Melalui pernyataan yang tampaknya tidak berbahaya demikian sehingga saya menjadi sadar atas benar-benar pentingnya studi perbandingan dari Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama. Sementara Nikāya-Nikāya Theravāda akan selamanya tetap sebagai sumber utama kita untuk penelusuran Buddhisme pra-sektarian, Āgama-Āgama dari aliran Sarvāstivāda, Dharmaguptaka, dan yang lainnya yang sezaman, yang dipertahankan dalam terjemahan kuno dalam kanon Mandarin, menyediakan pemeriksaan yang penting dan dapat dipergunakan pada teks Pali. Seperti Encyclopaedia of Buddhism menyatakan: “Pada masa kita tidak mungkin bagi sarjana mana pun untuk menunjuk pada Buddhisme awal jika ia tidak memberikan perhatian yang seharusnya pada studi perbandingan atas tradisi selatan dan utara.” Studi ini akan menunjukkan bahwa Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama bukanlah sebuah lahan yang telah ditambang keluar yang harta karunnya semuanya tersimpan dalam ikhtisar yang belakangan.

Dalam Nikāya-Nikāya/Āgama-Āgama jelas bahwa tidak ada satu teks yang mewakili semua pemaparan yang pasti, yang mencakup semuanya, sehingga masing-masing teks harus dianggap berhubungan pada kumpulan secara keseluruhan. Ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang keseluruhan struktur dan organisasi dari kanon. Saya mulai mencurigai bahwa teks-teks yang lebih pendek dalam Saṁyutta mungkin mempertahankan perspektif yang lebih awal tentang satipaṭṭhāna, suatu perspektif yang dalam beberapa hal lebih baik dicerminkan dalam versi-versi Mandarin dari Satipaṭṭhāna Sutta daripada dalam versi Pali. Kecurigaan saya lebih jauh dimunculkan oleh suatu komentar oleh Bhikkhu Varado tentang kelalaian para penyusun Abhidhamma Vibhaṅga dalam menghilangkan banyak bahan dari Satipaṭṭhāna Sutta. Mungkin, saya menulis kembali, mereka tidak lalai sama sekali – mungkin Satipaṭṭhāna Sutta belum ditulis ketika bagian-bagian yang berhubungan dari Vibhaṅga disusun. (Saya belakangan menemukan bahwa saya bukan yang pertama memunculkan pertanyaan ini.) Ini menyatakan bahwa saya harus memperhatikan teks-teks Abhidhamma dan Sutta, yang mengatasi, sebagian, prasangka saya bahwa Abhidhamma adalah tubuh ajaran-ajaran sektarian yang belakangan dan tandus. Dan kemudian, jika periode Abhidhamma awal tumpang tindih dengan penyusunan Satipaṭṭhāna Sutta, tampaknya mungkin bahwa agenda-agenda sektarian terlibat dalam menyelesaikan teks akhirnya. Ini memancing pemeriksaan yang lebih dekat atas cara-cara perselisihan sektarian yang muncul menemukan ekspresi dalam teks-teks yang lebih awal. Ini kemudian tampaknya sesuai untuk memperluas penelitian pada periode komentarial yang belakangan, untuk berusaha memperoleh pengertian yang lebih dalam ke dalam cara-cara tradisi menyesuaikan satipaṭṭhāna pada perspektif tertentu mereka sendiri, dan untuk menjembatani jurang antara masa Sang Buddha dan masa kita sendiri.

Untuk menggunakan bahan tentang satipaṭṭhāna yang diterjemahkan dalam bahasa Mandarin, saya harus meningkatkan pemahaman saya sendiri tentang Āgama-Āgama dan sumber-sumber awal lainnya di luar bahasa Pali. Ketika memeriksa dan membandingkan kumpulan-kumpulan ini, dengan hubungan yang sangat kuat tetapi juga perbedaan yang nyata dan bertahan, terdapat kebutuhan kuat atas suatu penyelesaian, seperti merasakan musik yang datang ketika dua catatan sangat dekat bersamaan, tetapi tidak terlalu: mereka berhasrat untuk menjadi satu. Kali ini saya cukup beruntung untuk dapat mengenal Roderick Bucknell. Diberitahukan oleh karya perbandingannya tentang struktur kitab-kitab awal, saya telah berusaha menjelaskan hubungan antara berbagai jenis dan strata teks-teks dalam kanon awal, dan telah merumuskan ini sebagai GIST. Teori ini menyatakan suatu hubungan khusus yang mencerminkan baik pentingnya ajaran maupun sumber historisnya.

Saya menyadari bahwa metodologi yang saya gunakan dalam mempelajari satipaṭṭhāna mengikuti dengan dekat garis besar dari GIST. Tidak diragukan keyakinan saya bahwa pendekatan ini bermanfaatdalam konteks satipaṭṭhāna yang mempersiapkan saya untuk menerima bahwa ia dapat diperluas pada suatu teori umum yang interpretif. Jadi saya memutuskan untuk memasukkan sebuah presentasi GIST bersama-sama dengan studi tentang satipaṭṭhāna, walaupun di sini teori umum disajikan pertama kali. Dua bagian ini pada hakekatnya memperkuat satu sama lain. Studi tentang satipaṭṭhāna menyediakan pemeriksaan yang terperinci dari suatu ajaran penting sepanjang garis-garis yang dinyatakan oleh GIST. Ini memberikan contoh metode, yang menyediakan bukti tambahan untuk prinsip-prinsip dasar GIST, dan menunjukkan bahwa GIST menghasilkan hasil yang berarti dan bermanfaat. Walaupun demikian, dua bagian itu tidak saling bergantungan. Jika analisis saya tentang satipaṭṭhāna ternyata menyesatkan, ini melemahkan tetapi tidak menghancurkan bukti dalam mendukung GIST. Demikian juga, jika GIST dirasa tidak dapat diterima, ini melemahkan tetapi tidak menghancurkan bukti dalam mendukung analisis tentang satipaṭṭhāna. Dalam beberapa tingkatan, dua studi itu dapat dianggap secara independen; tetapi diambil bersama-sama mereka lebih berarti.

Kita tidak menaiki suatu penelitian atas suatu yang pasti. Sepanjang kita berdiam dalam alam konsep-konsep, gagasan kita hanya dapat mengira-ngira kebenaran.  Apa yang penting adalah bahwa kita sedang bergerak dalam arah yang benar, bergerak jauh dari kebingungan menuju kejelasan, jauh dari dogmatisme menuju penyelidikan. Masing-masing kriteria yang digunakan dalam kritik historis ketika mengambil secara individu sebagai suatu alat yang tidak sempurna. Tetapi mereka bersifat sinergis: di mana beberapa kriteria sesuai, kesesuaian ini melipatgandakan keyakinan kita dalam kesimpulan kita – keseluruhannya lebih besar daripada jumlah bagian-bagian. Maka ini suatu keharusan untuk digunakan seluas mungkin variasi dari kriteria-kriteria, secara sensitif menilai sifat dapat dipercaya dari masing-masing kriteria dalam konteks yang berhubungan, tetap ada pada berbagai indikasi yang berlawanan, dan membuat kesimpulan kita tidak lebih meyakinkan daripada jaminan buktinya.

seniya:
Saya telah berusaha untuk membuat masalah-masalah tidak lebih teknis dan terspesialisasi daripada yang dibutuhkan tanpa mengorbankan ketepatan. Terjemahan-terjemahan berasal dari berbagai sumber. Penelitian yang dilakukan di banyak tempat – vihara-vihara, perpustakaan, pusat-pusat Buddhis, internet – dan saya tidak dapat membakukan atau memeriksa semua referensi. Terima kasih khususnya kepada Bhikkhu Fa Qing, yang memberikan banyak waktunya untuk membantu saya menjelajahi beberapa sudut rahasia dari kanon Mandarin, dan kepada Roderick Bucknell untuk banyak menjelaskan informasi dan gagasan-gagasan yang menantang. Adalah kepada Rod sehingga saya berhutang kebanyakan informasi yang terperinci pada teks-teks seperti Dharmaskandha, Śāriputrābhidharma, Kāyagatāsmṛti Sūtra, dan banyak lainnya. Menjelang akhir proyek ini, saya memulai korespondensi dengan Venerable Anālayo, yang membantu saya menangani pembacaan kanon Mandarin.

Saya telah berusaha mempertahankan konsistensi dari penerjemahan istilah-istilah teknis, dan kadangkala mengambil kebebasan dengan membawa penerjemahan dalam bacaan yang dikutip ke dalam baris dalam teks utama. Karena kanon Pali adalah tulang punggung dari karya ini, dan karena saya lebih familiar dengan Pali, saya telah menerjemahkan hampir semua kata-kata India dalam bentuk Pali-nya alih-alih bentuk Sanskrit. Pengecualian termasuk nama-nama diri dan istilah-istilah yang tidak diketahui dalam bahasa Pali dalam maknanya yang berhubungan.

Kesulitan khusus dari karya ini adalah bahwa karya ini membahas beberapa teks dengan judul-judul sama yang membingungkan. Saya telah berusaha meminimalkan kebingungan dengan menjelaskan dengan hati-hati nama-nama dan hubungan teks-teks kebanyakan dengan penuh.

Adalah kebiasaan umum di antara para sarjana untuk menunjuk teks-teks dengan bahasanya, sebagai contoh “Majjhima Nikāya Pali” dan “Madhyama Āgama Mandarin”. Ini membawa kesan yang sepenuhnya menyesatkan bahwa Āgama- Āgama, dan sesungguhnya semua teks Buddhis India yang ada pada kita dalam terjemahan Mandarin, dalam beberapa pengertian “bersifat Cina”. Kita mungkin juga menunjuk pada “Majjhima Nikāya Inggris” hanya karena kita kebetulan membaca sebuah terjemahan bahasa Inggris. Apa yang menjadi masalah adalah maknanya; dan ini lebih penting dipengaruhi oleh perspektif ajaran para penyunting daripada bahasanya. Oleh sebab itu lebih disukai untuk mengelompokkan teks-teks berdasarkan aliran kapan pun mungkin. Tentu saja, masih perlu untuk menunjuk pada “kanon Mandarin”, karena teks-teks itu berasal dari banyak aliran, dan kumpulannya sebagai keseluruhan adalah artifak Cina.

Saya telah berusaha untuk memberikan referensi pada semua versi yang diketahui dari suatu teks tertentu, yang biasanya berarti versi Pali dan Mandarin. Para pembaca harus menyadari bahwa ini menunjuk pada suatu teks yang diidentifikasi sebagai yang asalnya sama[4] dalam daftar-daftar yang ada. Ini tidak menyatakan bahwa istilah, frase, atau gagasan tertentu yang dibahas ditemukan dalam semua versi. Namun saya telah memeriksa sebanyak mungkin referensi, dan telah menunjukkan perbedaan-perbedaan yang berkaitan.

Kritik historis tidaklah menyenangkan. Studi ini kadangkala dapat muncul lebih bersifat membedah daripada bersifat inspirasional. Analisis yang kejam dapat kelihatannya bertentangan dengan keyakinan. Tetapi ini tidak perlu demikian; Sang Buddha menganggap akal sebagai landasan dari keyakinan sejati. Seseorang yang memiliki keyakinan sejati dalam Dhamma pasti tidak akan takut bahwa hanya kritik tulisan dapat menghancurkan ajaran. Dan bukankah ini hanya ketakutan yang membuat kita ingin melindungi kitab suci sendiri, memujanya, menguncinya dengan aman dalam peti yang indah pada tempat suci sendiri, aman dari penyelidikan yang tidak berkeyakinan? Syukurlah ketakutan demikian,  sementara pastinya bukan tidak ada, tidak menonjol dalam lingkaran umat Buddha saat ini. Dan penemuan kita, tidak peduli betapa kejamnya kita menggunakan pisau bedah, tidak mempengaruhi dasar-dasar [ajaran]. Terdapat kesepahaman besar-besaran di antara sumber-sumber awal seperti pada ajaran-ajaran utama – tidak hanya gagasan dan prinsip-prinsipnya, tetapi teks-teks dan rumusan khusus juga. Perbedaan yang akan kita perhatikan dalam penjelajahan kita tidak merusak dasar-dasar ini, tetapi implikasi dan kecenderungan tertentu yang dapat dilihat dalam pengaturan dan penekanan dari rumusan-rumusan yang dikembangkan. Bahkan di sini perbedaan-perbedaan, untuk dimulai dengan, adalah kecil dan sedikit jumlahnya. Jadi adalah maksud saya, bukan untuk memunculkan keragu-raguan, tetapi untuk mendorong kedewasaan keyakinan.

Catatan Kaki:

[1] Terdapat suatu contoh dalam kasus aliran Chan Cina (Zen di Jepang), yang berasal dari kata Sanskrit dhyāna (Pali jhāna), yang di sini hanya berarti “meditasi”.

[2] Gombrich

[3] Warder, pg. 86.

[4] Istilah “yang asalnya sama” secara harfiah berarti “lahir bersama”, dan digunakan dalam etimologi kata yang dipercaya berasal dari suatu nenek moyang bersama. Beberapa sarjana lebih menyukai menggunakan kata-kata seperti “paralel” atau “rekan imbangan” untuk menunjuk pada sutta-sutta yang ditemukan dalam versi Pali dan Mandarin, karena istilah-istilah ini tidak menyatakan teori tertentu apa pun seperti hubungan antara teks-teks yang dipertanyakan. Namun, saya cukup nyaman dengan “yang asalnya sama”, karena saya yakin bahwa dalam kebanyakan kasus teori bahwa sutta-sutta yang sama berasal dari suatu nenek moyang bersama adalah paling masuk akal.

seniya:
BAGIAN PERTAMA
GIST: STRUKTUR DHAMMA YANG TERSEMBUNYI
Teman-teman, seperti halnya jejak kaki makhluk apa pun yang berjalan dapat dimasukkan dalam jejak kaki seekor gajah, dan demikianlah jejak kaki gajah dinyatakan sebagai yang utama dari jejak-jejak kaki karena ukurannya yang besar – demikian juga, semua prinsip yang bermanfaat dapat dimasukkan dalam Empat Kebenaran Mulia.

– Sang Buddha, Mahā Hatthipadopama Sutta
Bab 1
Makna dari “Buddha”
Buddha

Dikatakan bahwa bahkan untuk mendengar kata ini adalah berharga melampaui perhitungan. Melalui tak terhitung kappa, makhluk-makhluk jatuh ke dalam kehancuran karena mereka menolak kesempatan mendengarnya. Akhirnya, setelah suatu masa yang lama tak terhitung, Yang Tercerahkan muncul di dunia dan kata “Buddha” terdengar, bagaikan hujan di gurun yang kering. Ketika saudagar Anāthapiṇḍika mendengar kata ini ia diliputi kegembiraan – rambutnya berdiri tegak, ia tidak dapat tidur pada malam hari, hatinya melompat dengan kegembiraan meluap-luap yang aneh. Dalam milenium sejak masa Sang Buddha, kata ini telah membangun suatu aura yang unik, suatu karisma spiritual yang memberikan wibawa yang tiada bandingnya pada komunitas-komunitas dan institusi religius yang menyatakan kesetiaan pada ajaran-Nya yang membebaskan. Kita adalah para pewaris spiritual dari makhluk agung tersebut, orang itu dengan darah daging yang berjalan pada tanah subur daratan sungai Gangga hampir 2500 tahun yang lampau.

Kata-kata yang kita gunakan untuk berbicara tentang Dhamma, termasuk kata “Buddha” ini, dikelilingi dan dibatasi oleh budaya Indo-Arya di mana Siddhattha Gotama muda tumbuh. Ahli etimologi mungkin mengatakan bahwa “buddha” berasal dari akar kata Indo-Eropa kuno, yang makna dasarnya adalah “bangun”, dan yang memiliki beberapa kata yang asalnya sama dengan makna-makna yang berhubungan dalam bahasa-bahasa Eropa yang sezaman. Seorang ahli tata bahasa dapat mengatakan pada kita bahwa kata ini adalah bentuk lampau yang dibentuk dari suatu akar kata kerja. Seorang filsuf bahasa dapat menemukan kata ini penting sehingga bentuk lampau tersebut, yang tidak biasanya sama dalam bahasa-bahasa Buddhis, menunjuk tibanya pada atau kemunculan ke dalam suatu kondisi tertentu, alih-alih suatu keadaan yang abadi, kekal. Seorang ahli sejarah agama dapat mengatakan pada kita bahwa gelar “Buddha” digunakan untuk menunjuk pada sosok makhluk yang tercerahkan atau yang sempurna dalam beberapa agama, seperti Jainisme dan Brahmanisme, serta Buddhisme. Seorang guru meditasi, pada sisi lain, mungkin menekankan bagaimana “Buddha” menunjuk pada sifat kesadaran yang hakiki. Dan seterusnya. Semua aspek ini menginformasikan dan mengkondisikan gema kata “Buddha”: mereka adalah bagian dari makna kata “Buddha.”

Adalah kesetiaan yang dibagi bersama pada “Buddha” ini yang mendefinisikan agama Buddhis. Semua bentuk Buddhisme, dari Sang Buddha sendiri sampai pada semua aliran, telah mengakui dua segi, atau agaknya tahap, untuk sampai pada kebijaksanaan sejati. Pertama datang dari mendengarkan ajaran-ajaran, kata-kata kebenaran yang akhirnya berasal dari Sang Buddha sendiri; dan yang kedua adalah penerapan, penyelidikan, dan pembuktian ajaran-ajaran tersebut dalam pengalaman dekat kita. Pada awalnya kita hanya mendengar Sang Buddha mengajarkan kita tentang Empat Kebenaran Mulia – penderitaan, sebab penderitaan, akhir penderitaan, dan jalan latihan yang membawa pada akhir penderitaan – kemudian kita melihat ke dalam pikiran kita: “Ya” kita menyadari. “Di sanalah ia, tepat di sana! Kemelekatan, kebodohan, kebencianku sendiri yang menyebabkan munculnya penderitaan dan kesedihan dalam hatiku, dan membuatku berkata dan bertindak dengan cara yang berbahaya, bodoh, yang membebankan rasa sakitku sendiri kepada orang lain.”

Jadi sepasang yang tidak terpisahkan ini, teori dan praktek Buddhisme, masing-masing mengimbangi dan memberitahukan yang lain. Teori tanpa praktek menjadi semata-mata permainan pikiran intelektual; sedangkan praktek tanpa teori cenderung melayang tanpa arah, atau alih-alih, diarahkan oleh delusi pribadi dari orang tersebut. Tidak perlu menyatakan kembali bahwa semua umat Buddha dari tiga masa setuju bahwa pengetahuan intelektual dari Dhamma tidak cukup. Pengetahuan intelektual, disebabkan riak-riak dalam kesadaran yang digerakkan oleh aktivitas berpikir, pasti mengganggu kejernihan pemahaman, dan pengetahuan mendalam muncul hanya ketika pikiran tenang dan diam. Tetapi pengetahuan intelektual memiliki kegunaan; ini bukanlah suatu masalah dalam dan dari dirinya sendiri. Ini hanya menjadi masalah ketika kita salah mengira pengetahuan intelektual sebagai kebenaran, pendapat kita atas realitas. Maka pendapat menjadi kesombongan, dan kita dengan mudah mengalah pada kesombongan spiritual yang sangat sulit untuk disembuhkan. Tetapi seorang meditator yang terampil, waspada pada kecenderungan gagasan-gagasan dan prasangka yang menyimpang, belajar untuk sepenuhnya berada pada saat sekarang, melihat ketidakkekalan dan kekosongan pemikiran, dan tumbuh bijaksana dengan cara itu, pada tingkatan kesadaran yang paling dasar, bahkan konstruksi mental yang paling halus dan luhur membatasi kekuatan kesadaran.

Anggaplah pelatihan seorang musisi. Mungkin seseorang telah terinspirasi oleh beberapa komposer atau pemain alat musik yang besar untuk mengambil sebuah instrumen musik. Tetapi bagaimana untuk memulai? Saya ingat pada suatu waktu di sebuah toko alat musik ketika seorang murid berjalan dan berkata ia ingin seperti Mark Knopfler, yang pada waktu itu adalah pemain gitar yang paling populer, terkenal karena penyusunan kata-katanya yang lembut dan melodis penuh emosi. Terpengaruh, pemilik toko menjual pada murid itu fuzz box seharga $30, dan ia berjalan keluar dengan gembira. Sayangnya, ini tidak semudah itu. Kenyataannya, kita harus menghabiskan berjam-jam belajar membaca musik dari satu halaman, titik-titik dan garis hitam dan putih sama sekali yang tidak membagikan apa pun dari kehangatan dan warna yang merupakan inspirasi kita. Mengambil peralatan kita, terdapat tak terhitung jam skala, latihan-latihan, dan pelajaran-pelajaran sepele untuk dikuasai sebelum semuanya yang secara samar-samar mendekati “musik” didengar. Tetapi sekali teknik itu telah dikuasai, ini harus ditinggalkan di belakang. Tidak ada yang lebih buruk daripada mendengarkan seorang musisi secara egois menunjukkan keahlian teknisnya. Semua teknik, pelajaran, praktek, harus dilupakan seraya seorang seniman membenamkan dirinya ke dalam seni yang diciptakan di sini pada saat sekarang; tetapi saat sekarang itu hanya dibuat mungkin oleh pelajaran dan penerapan sebelumnya. Dengan cara ini, pengalaman masa lampau menciptakan keajaiban masa kini.

1.1 Kerancuan Tradisi

Adalah implisit dalam penyataan menjadi seorang “Buddhis” bahwa seseorang meyakini bahwa Dhamma berasal dari Sang Buddha sendiri melalui penyebaran ajaran-Nya oleh tradisi-tradisi. Kita harus mengambil pernyataan ini secara serius. Sebagai seorang bhikkhu saya menyadari bahwa, dalam pengertian yang sangat nyata, saya adalah bahan dan pewaris spiritual dari Sang Buddha. Para umat Buddha yang taat memberikan saya nasi dan kari, seperti juga pada masa lampau orang-orang India memberikan Siddhattha Gotama nasi dan kari, karena mereka menganggap saya seorang pengikut sejati, seorang “Putra Sakya”. Akan tidak tulus, bahkan curang, bagi saya untuk memakan dana makanan itu sementara pada waktu yang sama meyakini, mempraktekkan, atau mengajarkan hal-hal yang saya ketahui bahwa Siddhattha Gotama tidak akan menyetujuinya.

Ini menimbulkan beberapa masalah yang menarik dan menantang. Jelas bahwa keberadaan budaya-budaya yang ada yang semuanya menyatakan sebagai “Buddhis” sangat berbeda dalam keyakinan dan praktek mereka. Seringkali ini hanyalah perbedaan budaya seraya Dhamma-Vinaya menyesuaikan dirinya pada waktu dan tempat. Umat Buddha Taiwan melakukan pelantunan [kebaktian] mereka dalam bahasa Mandarin, sedangkan umat Buddha Thai melakukannnya dalam bahasa Pali; tidak ada yang membuat masalah besar tentang hal-hal seperti ini. Bagaimanapun, Sang Buddha sendiri meminta para pengikut-Nya untuk mempelajari Dhamma dalam bahasa mereka sendiri, dan tidak bersikeras pada dialek-dialek lokal.

Namun, aspek-aspek lain dari Buddhisme kultural sangat berlawanan dengan Dhamma. Sebuah contoh yang mengganggu dari hal ini adalah penggunaan bahasa dan konsep Buddhis untuk membenarkan perang, yang telah merusak banyak negera-negera Buddhis. Tidak ada penyesuaian budaya yang tidak berbahaya, tetapi suatu perbuatan yang sepenuhnya tidak wajar atas ajaran-ajaran Sang Buddha.

Fakta-fakta yang tidak menyenangkan demikian menuntut bahwa kita berhenti dan menyelidiki tradisi-tradisi lebih dekat. Ini hanya tidak cukup bagus untuk menerima dengan kepercayaan yang tidak diselidiki mitos-mitos, kisah-kisah, dan dogma-dogma dari aliran-aliran. Sebagai orang-orang yang memiliki komitmen untuk memahami dan menjalankan pesan dari Sang Bijaksana Sakya, terdapat suatu kewajiban untuk dengan jujur mempertanyakan tentang apa, persisnya, yang diajarkan Guru kita. Kita tahu bahwa tradisi-tradisi menjadi salah dalam beberapa kasus. Tetapi contoh-contoh yang jelas, tidak rancu adalah dalam minoritas. Terdapat suatu kekayaan dari ajaran-ajaran lain yang diberikan kepada kita oleh aliran-aliran, yang beberapa darinya berbeda satu sama lainnya dalam huruf; dan kita memerlukan sesuatu yang lebih baik daripada kepercayaan buta sebelum kita dapat dengan cerdas menyimpulkan apakah mereka lakukan, atau tidak lakukan, juga berbeda dalam maknanya.

Semua aliran Buddhisme yang ada berbagi sekumpulan besar ajaran yang sama, tetapi juga memasukkan sekumpulan besar ajaran yang berbeda. Tidak diragukan bahwa para pendiri dan pengembang berbagai aliran itu meyakini bahwa terdapat perbedaan ajaran yang bermakna, yang asli di antara aliran-aliran. Semua aliran sepaham bahwa mereka tidak sepaham. Ini cukup ditunjukkan dengan sejumlah besar bahan polemik yang memenuhi rak-rak kanon Buddhis. Dan, pada umumnya, aliran-aliran juga sepaham pada apa yang mereka tidak sepaham. Sebuah teks aliran Theravāda dapat mengatakan bahwa ajaran “pribadi” dari aliran Puggalavāda bertentangan dengan ajaran bukan-diri; sedangkan teks-teks Puggalavāda akan dengan penuh semangat membantah bahwa ajaran tentang “pribadi” berada dalam cara yang benar untuk menafsirkan bukan-diri. Mempertimbangkan situasi ini, tampaknya agak gegabah untuk menyatakan, seperti yang dilakukan beberapa Buddhis modernis, bahwa tidak ada perbedaan, atau bahwa perbedaan itu tidak penting. Apa yang diperlukan bukanlah kata-kata basa-basi hambar melainkan suatu metodologi yang diperbaiki, suatu cara mendekati ajaran-ajaran yang diturunkan, bukan dari perspektif atau ajaran-ajaran dari aliran tertentu mana pun, tetapi dari suatu evaluasi sensitif dari tradisi tekstual seperti yang dihidupkan oleh para umat Buddha. Yin Shun, bhikkhu sarjana yang terkemuka dari Buddhisme Taiwan modern, mengungkapkan perasaan yang sama dalam otobiografinya.

Walaupun “tanpa-perselisihan” adalah baik, sinkretisme yang diterjemahkan dengan terampil yang tidak mengetahui di mana dan mengapa perbedaan-perbedaan dapat terlalu jauh, terlalu umum, dan samar-samar.

Untuk memahami asal mula dan transformasi Buddha Dharma dalam konteks spasial dan temporal tertentu dalam dunia yang sebenarnya perlahan-lahan menjadi prinsip pencarian saya terhadap Buddha Dharma.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version