Ada banyak sekali peraturan yang dikategorikan sebagai dukkata di mana ada yang memperhitungkan niat dan ada pula yang tidak. Salah satu peraturan yang tidak memperhitungkan niat adalah ketika seseorang minum minuman keras padahal ia tidak tahu bahwa minuman tersebut adalah minuman keras. Namun dalam hal ini, memamerkan kesaktian harus ada niat. Jika secara tulus seseorang tidak berusaha memamerkan kesaktiaanya namun semata-mata karena seperti tadi ingin menolong, saya berpendapat hal tersebut bukan dukkata. Btw, peraturan ini pun sesungguhnya mempunyai kemiripan dengan satu peraturan pacittiya, yakni jika seorang bhikkhu mengatakan pencapaian2 demikian yang dimiliki kepada umat awam, ia melanggar peraturan pacittiya.
Jika kembali ke niat, bukankah pada saat itu pikiran dari Pindola Bharadvaja yang nota bene adalah seorang Arahat, tidak mungkin untuk pamer? Kalau tidak salah, dijelaskan bahwa pada waktu itu yang menantang mengatakan tidak ada lagi orang suci. Walaupun adalah kesalahan Pindola Bharadvaja yang tidak meluruskan pandangan keliru bahwa kesaktian dan kesucian tidak terkait, Pindola Bharadvaja bertujuan mulia yaitu menunjukkan bahwa saat itu ada ajaran sejati, ada orang-orang suci, yaitu yang berlindung di bawah ajaran Buddha Gotama.
Sebenarnya kata yang tepat barangkali 'menunjukkan' bukan 'memamerkan' karena kata memamerkan kesannya begitu negatif.
. Bahasa Pāli yang digunakan adalah 'dassesi - kamu menunjukkan'. Anda benar bahwa saat itu Bhikkhu Piṇḍolabharadvāja adalah seorang arahat yang tentu tidak mempunyai pikiran negatif sedikit pun ketika menunjukkan kekuatan gaibnya. Ada sedikit perbedaan antara satu cerita dengan cerita lain kaitannya dengan hal ini. Cūlavaggapāli hanya menceritakan secara singkat bahwa ada seorang kaya raya yang ingin mengetahui apakah ada seorang arahat dan memiliki kekuatan gaib ataukah tidak di dunia ini. Ia meletakkan mangkok cendana tersebut di atas bambu dan berkata siapapun yang mengklaim dirinya sebagai arahat dan memiliki kekuatan gaib bisa mengambil mangkok tersebut (melalui kekuatan gaibnya). Enam guru pada jaman Buddha yakni Purana kassapa, Ajita kesakambali, Makkhali gosala, dll masing2 meminta mangkok tersebut karena mereka masing2 mengaku seorang arahat dan pemilik kekuatan gaib. Tetapi mereka tidak mampu menunjukkn kekuatan gaib mereka. Selanjutnya, setelah tujuh hari berlalu, Bhikkhu Piṇḍolabhāradvāja meminta Bhikkhu Mogallana untuk mengambil mangkok itu, tapi beliau menolak dan justru meminta Bhikkhu Piṇḍolabhāradvāja untuk mengambilnya. Kemudian beliau mengambilnya dengan kekuatan gaibnya. Sampai di sini, cerita ini menunjukkan bahwa meskipun kedua bhikkhu ini seorang arahat, apa yang dilakukan oleh bhikkhu Piṇḍolabhāradvāja menampakkan adanya 'pertunjukkan kekuatan gaib' di publik. Mendengar kegaduhan, Sang Buddha berkata kepada bhikkhu Piṇḍolabhāradvāja, "Bhāradvāja, ini tidak pantas, ini bukan tindakan seorang samaṇa, ini tidak diijinkan, ini tidak harus dilakukan. Bagaimana engkau menunjukkan kekuatan gaib yang melampaui manusia biasa di depan para perumah tangga hanya demi mangkok cendana yang tidak berharga ini? O Bhāradvāja, seperti halnya seorang wanita akan menunjukkan organ tubuh yang menimbulkan rasa malu hanya demi uang yang tidak berharga, demikian pula, engkau Bhāradvāja, menunjukkan menunjukkan kekuatan gaib yang melampaui manusia biasa di depan para perumah tangga hanya demi mangkok cendana yang tidak berharga ini - ananucchavikaṃ, bhāradvāja, ananulomikaṃ appatirūpaṃ assāmaṇakaṃ akappiyaṃ akaraṇīyaṃ. Kathañhi nāma tvaṃ, bhāradvāja, chavassa dārupattassa kāraṇā gihīnaṃ uttarimanussadhammaṃ iddhipāṭihāriyaṃ dassessasi! Seyyathāpi, bhāradvāja, mātugāmo chavassa māsakarūpassa kāraṇā kopinaṃ dasseti, evameva kho tayā, bhāradvāja, chavassa dārupattassa kāraṇā gihīnaṃ uttarimanussadhammaṃ iddhipāṭihāriyaṃ dassitaṃ". Sang BUddha kemudian melanjutkan bahwa cara tersebut bukan cara tepat untuk meyakinkan umat.
Dalam Dhammapada Atthakatha, ceritanya sangat mirip namun ada sedikit tambahan. Di sana, Bhikkhu Mahā Mogallana mengatakan bahwa ketika jutawan ini mengatakan bahwa tidak ada orang suci lagi di dunia, seakan-akan ia mengetahui bahwa hal sama juga ada di sāsana Sang Buddha. Oleh karena itu, kemudian setelah berdiskusi singkat, Bhikkhu Piṇḍolabhāradvāja mengeluarkan kesaktiannya. Meskipun tujuannya adalh untuk menunjukkn kepada jutawan tersebut bahwa masih adanya arahat di dunia ini, di sana juga masih tampak adanya 'penunjukkan kekuatan gaib, penunjukkan pencapaian yang melebihi kekuatan manusia biasa' karena latar belakang masalahnya juga memang demikian. Cerita ini jelas sangat berbeda dari cerita bhikkhu yang ada di pesawat tersebut yang tampaknya semata-mata tidak ada maksud menunjukkan kesaktiannya tapi hanya ingin menolong tentu jika di lihat latar belakang permasalahannya.
Btw, meskipun bhikkhu Piṇḍolabhāradvāja adalah seorang arahat, tampaknya prilaku untuk blak-blakan / terbuka mengenai pencapaian2nya terkenal pada dirinya. Sebagai contoh, dalam Kitab komentar Anguttaranikāya khususnya Piṇḍolabhāradvājavatthu, diceritakan bahwa setelah mencapai kesucian arahat, beliau mempunyai kebiasaan untuk mendatangi vihara2 dan kuti2 lain dan berkata kepada bhikkhu2 lain, "siapapun yang mengharapkan untuk mencapai Jalan atau Buah, bisa bertanya ke saya - yassa magge vā phale vā kaṅkhā atthi, so maṃ pucchatū". Karena hal inilah, bhikkhu2 lain membicarakan pernyataan ini. Dalam kaitannya dengan peristiwa2 ini, dikatakan dalam kitab komentar yang sama, Sang Buddha selalu memuji apa yang patut dipuji dan mencela apa yang patut dicela. Selain mencela arahat ini setelah menunjukkan kekuatan gaibnya ke umum, beliau pun memuji arahat ini terutama bagaimana ia telah mengembangkan sati, samādhi dan paññā sehingga ia mencapai kekuatan2 demikian termasuk pencapain kesucian arahat.
Dari cerita di atas, sekarang terserah pembaca bagaimana menilai tindakan Bhikkhu ini. Tapi untuk seorang Buddha, melalui pengetahuannya, beliau mencela apa yang patut dicela meskipun tindakan tersebut dilakukan seorang arahat yang pada dasarnya tidak memiliki pikiran negatif, dan memuji apa yang patut dipuji.
Be happy.