//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?  (Read 32462 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline williamhalim

  • Sebelumnya: willibordus
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.869
  • Reputasi: 134
  • Gender: Male
Re: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?
« Reply #60 on: 04 September 2008, 10:34:19 AM »
sepertinya kebanyakan punya 2 mata utk melihat kok :)
mungkin pikiran kita yg buta shg melihat orang lain buta.
dalem maknanya bro tesla. :)
 _/\_


By : Zen
Tambahan : dan menjadi membabi buta :))

tambah bingung

sebelumnya ada yg bicara soal 'buta'... yg artinya cukup dalam
sekarang ditambah lagi ada  'babi yg buta'.... yg artinya pasti lebih dalam lagi...

berat cing

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?
« Reply #61 on: 04 September 2008, 08:34:18 PM »
Apakah anda mengerti kata "buta" yang saya artikan?...
Janganlah berspekulasi lagi... :)
buta artinya cacat tidak dapat melihat.
kalau memiliki arti lain, silahkan jelaskan... saya tidak dapat membaca pikiran orang lain :)
Baguslah kalau anda sudah mulai bisa bertanya... :)
"buta" bisa saya asumsikan sebagai "berat sebelah"... :)
_/\_

Salam,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?
« Reply #62 on: 04 September 2008, 08:36:21 PM »
Oh,saya asumsikan belum berati para junkers bisa tunduk pada Sumedho atau mungkin lebih tepatnya Sumedho yang tunduk pada mereka? :)
:whistle:

Atau boleh juga saya berasumsi.. kalau Medho penuhi permintaan Riky.. berarti Sumedho yang tunduk pada Riky ?
Kalau gak ada junkers, berarti Junkers juga tunduk pada Riky..

Kipas2.. panas2.. :)) Gerah banget ya di sini.. banyak api ya :))

Riky mode ON
Ei.. "penguasa" DC request donk racun api.. kebakaran neh :))
Riky mode OFF

Dikatakan buta ya buta lho.. Yang penting walau buta bisa happy :))
Tapi buta2 keren juga lo.. Aye ada ketemu ama tuna netra bisa juga bikin blog.. :)

Sorry ya riky.. Aye gak tahan buat nge-Junk :))

Gpp koq,saya sudah serahkan pada yang di"atas" lho.. :))
Asumsi saya untuk pernyataan anda sih,anda sedang mengungkapkan sikap "kebakaran jenggot" anda... :)

Salam,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Forte

  • Sebelumnya FoxRockman
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 16.577
  • Reputasi: 458
  • Gender: Male
  • not mine - not me - not myself
Re: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?
« Reply #63 on: 04 September 2008, 08:52:55 PM »
Damai2 aja tuh :))
Percuma kipas2.. gak mempan :))
Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku
6 kelompok 6 - Chachakka Sutta MN 148

Offline Forte

  • Sebelumnya FoxRockman
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 16.577
  • Reputasi: 458
  • Gender: Male
  • not mine - not me - not myself
Re: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?
« Reply #64 on: 04 September 2008, 08:53:13 PM »
Panggil junker lagi ah :whistle:
Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku
6 kelompok 6 - Chachakka Sutta MN 148

Offline Gun@saro

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 111
  • Reputasi: 15
  • Gender: Male
  • Satisampajañña
Re: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?
« Reply #65 on: 05 September 2008, 09:41:09 PM »
SUKU KALAMA... KALAMA-KAH KITA?


Harap maklumnya jika ini wacana bernuansa OOT, yah...
Jika kita ilustrasikan saja isi Kalama Sutta sebagai skenario, dan kita terlibat didalamnya, berperan langsung dah istilahnya.
Suku Kalama terdiri dari insan yang cerdas, kritis, dan open-minded; cenderung mencari jawaban akan fenomena kehidupan spiritual. Tidak enggan² mencari kebenaran melalui banyak guru agama kala itu. Semua menyatakan diri dan ajarannya masing² sebagai yang paling tepat dan paling benar. Suku Kalama terima, karena itu hak masing² pimpinan agama; itu sikap yang baik. Namun secara prinsip, selama masih kurang pas (cocok), maka pencarian itu tidak akan berhenti. Bathin yang haus akan kebenaran fenomena kehidupan.

Lantas mereka ditawarkan dengan suatu pemahaman yang beda dengan yang lain ketika menanyakan akan kebenaran hakiki kepada Buddha Gotama. Nah, sering kali dalam berbagai kesempatan, saya mendengar dan membaca; kayanya tidak sedikit rekan Buddhis menyerap maknanya hakiki dari Sutta tersebut secara kurang optimal (saya tidak bilang salah). Misalnya: "Jangan mudah percaya isi kitab sucimu... ~ atau ~ Jangan percaya begitu saja apa yang tertulis dalam kitab suci..."
Padahal isi suatu tulisan (bukan hanya Sutta), perlu dipahami secara keseluruhan dan juga tepat. Jangan percaya, semata-mata hanya karena, sesuatu itu tertulis dalam kitab suci... namun apabila ajaran itu..."
Ada 2 penekanan yang penting:
1) Semata-mata hanya karena... (kritik)
2) Namun apabila... (saran)

Ilustrasi utk poin pertama adalah: ketika seorang cewe menanyakan cowonya akan alasan mengapa si cowo mencintainya? Jawabnya: "Yah, karena sudah tertulis dalam primbon!" Cewe: "Yah, tapi alasannya pribadimu apa?" Cowo: "Yah, karena itu sudah ditulis dalam primbon!" Cewe: "Dasar tulisan primbon itu apa? Mengapa dikau harus pilih daku?" Cowo: "Yah karena itu dalam primbon sudah tertulis demikiannn!!!"
Singkat istilahnya: jangan percaya membabi buta, tanpa landasan pengertian benar; yah itu, semata-mata hanya karena ini atau itu, yang tidak ada pondasi pengertian benar.
Lantas baromenternya apa dong? Mengarahkan kepada pengembangan bathin guna mengikis lobha, dosa, & moha ~ atau tidak? Mengapa harus demikian? Karena itulah akar penderitaan; jadi sinkron kan? Sebabnya penderitaan LDM, supaya tidak menderita: lakukan tindakan yang melenyapkan LDM...

Nah, lantas ada yang mungkin berpikir: lho Kalama Sutta itu kan juga merupakan isi dari kitab suci Tipitaka. Kita tidak boleh yakin begitu saja dong? Kata² yang tepat adalah: "jangan yakin, semata² hanya karena Kalama Sutta adalah isi dari Tipitaka" Jadi ilustrasinya adalah, ketika ditanya mengapa yakin dgn prinsip Kalama Sutta; maka tipikal ini akan menjawab: "Yah of course lah, masa of course dong? Kan itu merupakan bagian dari Tipitaka!" Artinya, ditanya gimanapun, tidak ada penjelasan selain keukeuh dgn jawaban: "Karena itu bagian dari Tipitaka" ~ inilah yang disebut dgn SEMATA² HANYA KARENA (gak ada yang lain, gak ada lebih, ituuu sajaaa).

Mengapa Kalama Sutta?
Tidak semua orang cocok dengan Kalama Sutta; namun sebagian bilang bahwa itu sangat scientific. Karena menurut pendekatan ilmiah; justru analisa, sintesa, dan pembuktian merupakan barometer paling jitu dari suatu proses pengungkapan fakta. Kita tahu itu dalam Buddhis: Ehipassiko. Apakah kita seperti Suku Kalama atau tidak? Yang tidak mudah menerima begitu saja penyataan guru agama lain dgn pernyataan bahwa mereka dan ajarannya paling benar ~ justru tertantang dengan penrnyataan Buddha Gotama?
Tidak ada kewajiban utk menyetujui Kalama Sutta; ini tergantung sikap, karakter, & preferensi bathin masing². Namun setidak²nya, di dalam memulai apapun, kita membutuhkan Minimum Requirement (tool/kit). Kita lahir, mau berkomunikasi, meskipun lahir di negara yang kurang kita sukai (akhirnya), tetap kita kudu belajar bahasanya, supaya bisa berkomunikasi. Kita mau berdagang, kita butuh Minimum Requirement akan matematika dasar utk berhitung.
Nah, jika memahami Kalama Sutta versi antik; yang "jangan mudah percaya begitu saja" ~ semuanya harus dibuktikan sendiri, ditolak dulu sebelum diyakini. Model ini, arahnya: tidak masuk sekolah TK/SD, tapi mencari sendiri ilmu bahasa atau matematika. Yah, karena kedua ilmu itu belum tentu otentik dari pengajar awalnya. Ada distorsi atau tidak, dll...
Artinya, kita perlu setidaknya lajakan awal utk bisa menjadi pijakan utk berkelanjutannya sesuatu. Mungkin dari rekan² di sini ada yang pernah pindah agama, kan? Coba flash-back kembali, mengapa itu bisa terjadi? Ada yang prosesnya panjang, ada yang cukup instant. Kalo yang instant, pasti ada suatu turning-point "unik" yang membuat bathin saat itu memutuskan sesuatu. Mungkin 'sesuatu' itu juga tidak berlaku utk pihak lain, karena kita masing-masing memang berbeda semua...

Nah, jika Kalama Sutta yang oleh sebagian orang cukup kental value scientificnya, masih tidak bisa dijadikan Minimum Requirement (MR) utk mempelajari suatu ajaran. Entah karena itu dianggap sebagai kreasi cendikiawan supaya Buddhisme nampak lebih scientific. Tidak apa² juga, artinya silahkan gunakan MR lainnya yang lebih cocok saja.
Karena saya cocok dengan MR: Kalama Sutta, maka saya akan bahas yang sejauh saya alami saja. Saya pernah berdiskusi juga tentang keotentikan suatu kitab; apakah itu sahih merupakan sabda langsung dari pendiri agama yg bersangkutan? Jawaban analisisnya begini:
~ Jika itu benar bukan sabda langsung pendiri agamanya, lantas?
~ Jika itu benar merupakan sabda langsung pendiri agamanya, lantas?

Apakah berarti jika itu tidak otentik (bukan sabda langsung), lantas, tidak akan diyakini, tidak akan dipraktikkan?
Apakah berarti jika itu otentik (sabda langsung), lantas, baru diyakini, dan dipraktikkan?
Mengapa pertanyaan analisis ini diutarakan utk pertanyaan sejenis? Ini sebagai barometer: sejauh mana pertanyaan sejenis ini bermanfaat bagi pengembangan bathin utk merealisasi kebahagiaan luhur? Sama halnya ketika kita diskusi dgn umat Nasrani, yang kita sampaikan bahwa tidak relevan: apakah tahu akan manusia pertama di bumi dgn masuk surga. Bukan pertanyaannya salah lho... tapi apakah bermanfaat optimum utk pengembangan bathin?

Ekstrimnya, bagaimana jika terbukti (entah gimana caranya), bahwa ada kitab yang tidak otentik (bukan sabda langsung); namun isinya ada kebenaran yang bisa dibuktikan?
Atau sebaliknya, suatu kitab terbukti (entah gimana caranya), otentik merupakan sabda langsung dari guru pendirinya; namun isinya ada yang tidak sesuai norma umum (misalnya Frech Kiss dengan kerbau, misal lho)?

Jika kita lihat pattern-nya, bukankah jika memang demikian, bahwa suatu otentisitas kitab dijadikan suatu yang "sakral" (pinjam istilah dari rekan kita) sebagai barometer kebenaran suatu ajaran. Maka ini kontra-produktif dengan spirit Kalama Sutta, benar? Perlu perenungan yah. Artinya, SEMATA-MATA KARENA KITAB ITU OTENTIK, maka akan saya yakini/percayai? Alasannya mengapa? Yah, karena otentik. Sebaliknya: mengapa tidak percaya? Karena tidak otentik? Tapi kan isinya baik, idealnya percaya dong? Gak, karena gak otentik... Ini menjadi prinsip dari semata-mata hanya karena...

Wah... Gunasaro ini keblinger, masa mendiskusikan ke-otentik-an suatu ajaran tidak boleh? Gak ada ungkapan "tidak boleh", namun cuma soft-reminder saja, karena jika berlarut²; tanpa diwaspadai, diskusi sudah terseret ke arah dominatif dan seakan² (terkesan), jika ini tidak terbutki otentik, gak bisa dah (harga mati) ~ seakan² lho... ibaratnya lho... Itu kesan yang muncul, oleh sebab itu, saya bilang ~ memang kurang bermanfaat bagi kemajuan bathin. Ini juga, kalau berkenan menggunakan Kalama Sutta sebagai Minimum Requirement akan saddha kita lho. Jika tidak berkenan, mo gunakan versi lain, silahkan juga...


KALAMA SUTTA, OTENTIK KAH?
Nah, apakah Kalama Sutta yang digunakan Gunasaro sebagai MR ini adalah otentik merupakan sabda Sang Buddha? Jangan² ini mah modivikasi intelektual para cendikiawan Buddhis saja? Bicara soal pembuktian keabsahan, saya nyerah TKO, langsung di tempat dah... Sama halnya bahwa yang berasumsi itu tidak otentik juga tidak bisa membuktikan bahwa itu tidak otentik juga, kan? Kecuali, kedua pihak bisa sama² kembali ke masa itu (kala Suku Kalama berdialog dgn Buddha).
Ini mirip diskusi Buddhis & Nasrani:
N: Jika bukan Tuhan yang ciptakan alam semesta yg begitu dahsyat, siapa lagi?
B: Gak tahu.
N: Yah itu, artinya sudah jelas Tuhan.
B: Bisa U buktikan dgn langsung/nyata?
N: (muter sana-sini, sampai kesimpulan) Gak bisa.
B: Berarti bukan Tuhan yang ciptakan.
N: U Bisa buktikan?
B: (straight forward) Gak bisa.
N: Nah kan, berarti Tuhan yang ciptakan.
B: Bisa buktikan?

Kapan selesainya??? Mengapa gak perlu, karena mengaji sesuatu yang ada di luar kemampuan dan kepentingan kita toh? Contoh lagi... Konon Bhikkhu Myanmar mimpi ke surga & akhirnya jadi Nasrani. Gimana komentar para Buddhis? Tahu dong? Gimana pula komentar para Nasrani? Tahu dong? Semua berkomentar atas kepentingan masing² lah. Kita sebagai Buddhis bisa gampang bilang: "Itu rekayasa, kerjaan orang dalam, salah nafsir mimpi, dll..."
Kemudian Dewa & Mercy dari Nasrani menjadi Buddhis, kita bilang: "Sungguh open minded, parami lampaunya luar biasa, buku yang ditulis dahsyat..." Gimana komentar umat Nasrani lainnya? Singkat, padat, dan jelas: "Sesat!"

Kembali lagi kepada pembuktian, lantas, apa dong barometernya? Sesuai isi Kalama Sutta itu sendiri, "namun apabila ajaran tersebut, bla³..." Dhammanusati: menuntun ke dalam bathin, bisa diselami oleh bathin masing², sangat dekat, tidak ada jedah waktu, menantang utk dibuktikan... Nah, apakah isi Kalama Sutta itu sendiri berkesesuaian (sinergi) dengan sikap (karakter) bathin yang bersangkutan? Mengena? Terasa dalam kalbu sebagai barometer utk belajar kebenaran seperti yang dialami Suku Kalama? Jika iya, berarti cocok dong? Jika tidak, berarti tidak cocok, gak apa². Mungkin belum dituntun ke dalam bathin, belum diselami, masih jauh, atau tidak berusaha jujur utk diadu dgn bathin sendiri? Bisa banyak alasannya.
KALAMA SUTTA, makan, KALAMA SUTTA sendiri... Tidak, tidak kontra-produktif, justru menguatkan jika ditelaah secara komprehensif. Bahkan isu otentik pun bukan kendala sama sekali. Mengapa, karena itu ilmiah & cocok dengan banyak orang. Entah itu namanya Kalama Sutta, Kilimi Sutti, Kulima Sittu, Sutti Kulami, atau Om Albert Eitene yang bilang. Kebenaran yang cocok dengan sifat bathin kita, pasti akan cocok; gak masalah itu kata siapa atau otentik atau tidak? WHAT instead of WHO...


YAKIN (SADDHA) & PERCAYA (IMAN)...
Buddhisme menekankan pada keyakinan; yakni yang tumbuh dari proses pengertian benar, praktik benar, "tumbuh-kembang" keyakinan (saddha). Non-Buddhis menekankan pada iman: berbahagialah engkau yang percaya meskipun tidak melihat. Masing² bangga sekali dengan keyakinan dan iman yang dipegang; boleh² saja kan, semua butuh proses. Saya juga dulunya versi iman koq, simple & asyik ~ akhirnya pilih yang kompleks dan sulit juga.
Jadi penekanan adalah pada pembuktian dan pengalaman, bukan pembuktian keotentikan (atau mungkin ada Sutta-nya? yg saya tidak tahu?). Yah jelas, karena pembuktian otentisitas sudah gak bisa dilakukan, beda ruang dan waktu, kan? Jangankan beda 2550 tahun. Berapa banyak orang yang saat Buddha Gotama, tidak yakin dengan Beliau? Memfitnah Beliau. Bahkan Bhikkhu Devadatta yang jago kemampuan abinna pun mo bunuh Beliau ~ konon, menurut yang ngerti meditasi, utk memiliki abhinna, kudu mencapai Jhana dulu (yah?), pra-syarat Jhana: 5 halangan/rintangan bathin idle/mengendap. Ternyata itu saja tidak menjamin yah?
Zaman doeloe saja banyak yang tidak percaya, sudah dengar langsung lho (dengan berpikir, ini orang bicara ngaco, pembohong, dll) ~ lha gimana dengan orang yg sekarang? 2550 tahun setelah itu, bayangkan saja alasan yang bisa dibuat utk menolak.
Contoh: ada Sayalaz Ganosuri mengaku bisa meditasi melihat kehidupan lampau, pernah lahir jadi babi di kampungnya Suku Kala-Lama-Banget dan mendengar Buddha berdiskusi dgn Suku Kala-Lama-Banget. Kan itu Sayalaz Ganosuri punya pengakuan, gak bisa buktikan apa² koq, bisa saja dia ngaco dan cari popularitas! 1001 alasan bisa dicari atau diciptakan.

Apakah yakin dengan/bahwa: bayi Siddhattha menginjak 7 langkah & keluar lotus, relevan dengan perealisasian Nibbana? Sang Buddha dengan keajaiban ganda, percaya atau tidak bisa mengikis LDM? Yang pasti, ketika bersikukuh bahwa itu salah ~ atau sebaliknya ~ bersikukuh itu benar, maka LDM dipastikan menebal. Lho, gimana bisa begitu? Kitab mana yang bilang begitu? Ini kontra produktif lagi dgn Kalama Sutta ~ benar tidaknya diukur dari Kitab ~ sudah ketemu Sutta/Kitab, kemudian ditanya lagi, apa otentik? Bukankah itu bisa saja kreasi atau tafsir?
Tidak perlu Sutta/Kitab/Abhidhamma ~ buktikan dan selami dalam bathin masing² saja. Bagaimana reaksi bathin kita ketika ada postingan yang mendukung pernyataan kita? Bagaimana reaksi bathin saat poin Reputasi di forum menurun drastis? Gak butuh pergi ke India, studi bahasa, cek DNA, dll... Dhamma bisa diselami dalam bathin masing², yah tentunya yang ada relevansinya dgn pengembangan bathin ~ bukan pengembangan intellectual knowledge semata.

Apakah Kalama Sutta begitu "sakral" ~ atau tidak bisa dibuktikan secara aktual? Coba kita refleksikan dalam kehidupan sehari². Berapa banyak ajaran ortu, guru sekolah, atau sahabat sejati kita ~ yang mengingatkan kita utk tidak percaya sesuatu dgn membabi-buta. Mo nikah dgn jodoh saja, mereka akan carikan calon yang memiliki bibit, bebet, & bobot yang bagus. Mo beli emas, diajarin cara pilih emas asli yg tepat. Mau berdagang diajarkan supaya tidak ditipu. Saya pribadi beberapa saat lalu ditipu, karena begitu gampang percaya dengan orang lain; tidak ada yang ajarin, tapi bisa belajar sendiri dari pengalaman tsb?
Jadi, banyak tuh "Kalama Sutta²" yang kita petik dikit demi sedikit dari dulu hingga sekarang. Akumulasi itulah yang lantas membentuk kita bisa menerima dgn mantap, ketika kita baca Kalama Sutta dari Tipitaka. Kita begitu mantap menerima itu sebagai pegangan MR utk belajar kebenaran. Coba kita telaah, apakah karena Kalama Sutta-nya sendiri/semata, atau akumulasi sikap bathin kita selama ini, yang meyakini isi Sutta tersebut? Mana yang menjadi tumpuannya? Bathin kita, atau isi Sutta-nya? Jika semata-mata karena isi Sutta-nya, tentu semua orang akan bereaksi yang sama, kan?

Apakah cerita Devadatta yang ingin membunuh Buddha dan memecah-belah Sangha, sebagai suatu skenario cerita utk nakut²in umat atau ide apalah, gitu? Apakah cerita itu "sakral" dan tidak bisa dibuktikan dalam aktualitas keseharian kita? Coba kita lihat dalam masyarakat kita, entah itu di grass root atau bahkan elite politikus. Partai pecah, sekte pecah, anak bunuh ortu, suami khianati istri, istri selingkuh kemudian bunuh suami utk ambil harta. Wakil ketua partai bongkas aib ketua, kemudian naik menjadi ketua, dll...
Gak perlu ceritanya yang persis, namun essensiilnya sudah sama ~ akarnya dari LDM, gak ada yang terlalu "sakral", aneh bin ajaib...

Lantas, gimana dengan versi kitab sekte ini dan versi kitab sekte itu? Salah benarnya gimana? Jika beda, pasti salah dong? Sudah pasti gak ada yang benar? Sederhanakan saja: kedua²nya salah, lantas? Jika merujuk kepada Kalama Sutta sebagai MR; maka, jalan paling patut & pantas adalah: VERIFIKASI, pembuktian ~ bukan dengan pengambilan asumsi.
Jika kesimpulan diambil berdasarkan asumsi (ingat debat Nasrani~Buddhis di atas tentang Tuhan), bukankah itu kontra-produktif dgn semangat Buddhisme itu sendiri? Verifikasi (pembuktian) sinergi dengan Ehipassiko. Apakah isi kitab itu bisa diaktualisasikan? Terbukti ada dalam bathin masing²? LDM ada dalam perpaduan nama & rupa ini, usaha pengikisannya ada dalam perpaduan nama & rupa ini, padamnya pun ada pada perpaduan nama & rupa ini... Apabila ada ajaran yang membicarakan tentang pemadaman LDM, artinya, selayaknya bisa dialami langsung, dibuktikan langsung oleh bathin masing² kan? Bukan justru dilacak otentisitasnya, yang itu justru menjauh dan tidak relevan semangat Buddhisme itu sendiri...

Namun, bagaimanapun juga ~ semua kembali kepada preferensi dan karakter bathin masing² lah... tidak bisa dipaksakan. Butuh kejelian, kejujuran, & sportiv dari bathin masing² untuk menelaah. Ada kecenderungan muncul pro & kontra dari setiap pernyataan. Ketika itu muncul, bagaimana reaksi bathin sendiri, masing² lah yang tahu persis kualitasnya. Kadang kala pihak lain pun bisa menilai dengan sangat jelas sekali. Semakin ditutupi, dibungkus, dan dipermak ~ justru akan nampak semakin tegas. Ibarat wanita/bencong yang ingin nampak feminim, justru make-up-nya norak; selain nampak tidak cantik, ketahuan norak atau bencong-nya (bukan mo niat mendiskreditkan orang bencong yah)...

Jika ada ungkapan dari tulisan ini yang kurang berkenan; yah, mari belajar bersama-sama utk diterima sebagaimana apa adanya. Bukan artinya harus diterima; namun utk tidak direspon dengan dasar bathin antipati. Karena itu merugikan bathin yang bersangkutan. Silahkan ditaggapin, tapi dengan tenang & nyaman...
Kan jauh lebih baik daripada, tetap ditanggapi tapi dengan bathin kurang nyaman ~ rugi atuh...

Semoga berkenan...

[attachment deleted by admin]
Sukhi Hotu...

Gunasaro

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?
« Reply #66 on: 05 September 2008, 10:08:03 PM »
_/\_
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?
« Reply #67 on: 06 September 2008, 02:47:36 AM »
 _/\_  :lotus: :jempol:
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?
« Reply #68 on: 06 September 2008, 02:53:08 AM »
_/\_ mohon sering2 ol & post ya ko..  ;D  :D
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?
« Reply #69 on: 06 September 2008, 09:12:11 AM »
 _/\_
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?
« Reply #70 on: 06 September 2008, 09:27:25 AM »
SUKU KALAMA... KALAMA-KAH KITA?
...
Tulisan yang sangat bagus!  :)
Kalau sudah ke 'Kalama-Sutta', biasanya nyambung ke 'ehipassiko'. Kebanyakan Buddhist menganggap kepercayaannya adalah "bebas dari kefanatikan" karena 'ehipassiko' ini. Ada yang mau menjelaskan 'ehipassiko' yang (katanya) ciri khas Buddhisme mencakup apa saja? Betulkan Buddhist itu tidak mungkin fanatik?


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?
« Reply #71 on: 06 September 2008, 04:42:57 PM »
SUKU KALAMA... KALAMA-KAH KITA?
...
Tulisan yang sangat bagus!  :)
Kalau sudah ke 'Kalama-Sutta', biasanya nyambung ke 'ehipassiko'. Kebanyakan Buddhist menganggap kepercayaannya adalah "bebas dari kefanatikan" karena 'ehipassiko' ini. Ada yang mau menjelaskan 'ehipassiko' yang (katanya) ciri khas Buddhisme mencakup apa saja? Betulkan Buddhist itu tidak mungkin fanatik?


http://dhammacitta.org/artikel/helicopter-eyes/ehipassiko%e2%80%a6-corak-buddha-dhamma

Offline Gun@saro

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 111
  • Reputasi: 15
  • Gender: Male
  • Satisampajañña
Re: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?
« Reply #72 on: 07 September 2008, 12:52:20 AM »
SUKU KALAMA... KALAMA-KAH KITA?
...
Tulisan yang sangat bagus!  :)
Kalau sudah ke 'Kalama-Sutta', biasanya nyambung ke 'ehipassiko'. Kebanyakan Buddhist menganggap kepercayaannya adalah "bebas dari kefanatikan" karena 'ehipassiko' ini. Ada yang mau menjelaskan 'ehipassiko' yang (katanya) ciri khas Buddhisme mencakup apa saja? Betulkan Buddhist itu tidak mungkin fanatik?


http://dhammacitta.org/artikel/helicopter-eyes/ehipassiko%e2%80%a6-corak-buddha-dhamma

Anumodana atas apresiasi rekan², ternyata tulisan "Ehipassiko" masih tersimpan di Forum yah.
Sang Buddha mengingatkan kita akan 8 kondisi dunia yang tidak terelakkan oleh siapapun; diantaranya: bisa dipuji maupun dicela. Beliau juga mengingatkan bahwa kita sepatutnya bereaksi wajar (bijak) ketika menerima pujian maupun celaan ~ ada perumpamaan kotoran dan bara api.

Mengapa suatu tulisan bisa dinilai baik, tanpa harus mengetahui keotentikannya? Apakah itu ditulis oleh orang aslinya? Apakah itu karya original atau tidak? Tidakkah kita juga sering terima email berupa cerita inspiratif dari penulis: UNKNOWN? Kadang tulisan itu bisa mengkondisikan air-mata menetes, bisa juga merubah sikap, bahkan jalan hidup seseorang. Pada akhirnya, ketika ditanya: dari mana inspirasi itu diperoleh? Jawabannya: penulis UNKNOWN...

Film Kungfu Panda juga sarat dengan pesona falsafah timur, Buddhis. Apakah hanya orang Buddhis yang terpesona dengan value falsafahnya? Tentu banyak pihak yah... Namun juga banyak pihak yang tidak "mampu melihat" value tersebut, mereka hanya terhibur dengan nilai humor dalam film tersebut. Bahkan, ada yang tidak suka film itu, juga. Jadi, apakah itu film bagus atau jelek? Mungkin hal ini mengingatkan kita akan ungkapan: "bertepuk sebelah tangan". Koq jadi gak nyambung yah? Ungkapan itu kan utk menggambarkan sesuatu yang tidak mendapatkan reaksi/tanggapan, yang sesuai dgn keinginannya. Mohon maklum, saya geser dikit yah. Suara tepuk tangan tidak akan bunyi, jika hanya ada sebelah yang nepuk sendirian, ia butuh lawannya utk menimbulkan suara. It cannot make it alone. Bahwa segala sesuatu, entah dikatakan baik atau jelek; selalu merupakan perpaduan dari beberapa faktor atau kondisi tertentu. Tidak ada faktor semata² hanya karena, alias absolut. Jika suatu tulisan dinilai bagus/baik, apakah semata² hanya dikarenakan isi/bobot tulisan itu sendiri? Padahal ada kenyataan yang menyatakan tulisan itu buruk/salah, yah kan?

Ternyata, yang membaca pun memegang peranan yang sama pentingnya dengan isi tulisan itu sendiri. Tulisan hanya merupakan katalisator semata. Ketika kita membaca, ada upaya konsentrasi, berusaha memahami, dikaitkan dengan pemahaman selama ini, analisa, evaluasi, jika kurang jelas akan diulang lagi. Kemudian dilakukan perenungan ulang. Apakah sekompleks itu? Mungkin bisa lebih daripada itu, kita saja yang kurang waspada. Nah, yang paling sulit adalah berupaya netral dan tanpa preseden saat membacanya ~ ini sulit yah?
Bukankah, jika kita membaca suatu tulisan dan kita bisa memperoleh manfaatnya secara optimum; berarti sesungguhnya di dalam hati sanubari kita sudah ada value yang sinergi dengan isi tulisan itu sendiri?
Secara tersirat, ketika kita memuji suatu isi tulisan, bagus... memaknakan ada kualitas bathin yang bagus/baik juga dari si pembaca.

Wah... nampaknya Gunasaro sedang mencari dukungan masa dengan memuji balik rekan yang telah memberikan apresiasi akan tulisannya, yah? Yah, sebenarnya kita bisa lakukan verifikasi, kan? Saya cuma berusaha sharing apa adanya saja, karena ini berdasarkan pengalaman sih. Nah, gimana verifikasinya? Yah, tinggal refleksi ulang dan direnungkan saja ~ apakah demikian proses yang telah terjadi ketika kita membaca tulisan (apapun subyeknya)? Sama halnya ketika kita membaca, misalnya, suatu Sutta ~ muncul kebahagiaan, kita terpana, bahkan bulu kuduk pun bisa berdiri. Mengapa bisa terjadi demikian? Apa lagi jika bukan karena memang ada value dalam bathin kita yang sinerji dengan isi tulisan tersebut, benar? Bahkan karena begitu apresiatif, kita simpan/catat & suatu saat kita bisa share kepada orang lain. Mengapa? Karena kita sudah membuktikan bahwa hal itu bermanfaat & inspiratif utk diri sendiri ~ artinya bahwa akan ada potensi demikian juga jika kita bagikan kepada orang lain...

Saya bisa share begini karena alami sendiri ketika saya memuji mentor saya beberapa tahun yang lalu; karena dapat banyak manfaat dari bimbingannya. Beliau bilang: "Hati² Fren, jangan kultuskan individu, ini pesan Guru Agung kita. Saya hanya sebagian dari pengkondisi², pelajaran yg kita diskusikan pun hanya sebagian dari pengkondisi², bagitu juga dengan tempat diskusi, kendaraan yang mengantarkan kita, cuaca yang mendukung, keluarga memberikan izin, tidak ada halangan karena macet, sakit, budek, dll... masih banyak faktor..."
Dengan memahami hakikat sesungguhnya dari semua proses tersebut; kita akan menjadi lebih melihat apa adanya & cenderung tidak terseret kepada kemelekatan dan kesombongan...
Begitu juga sebaliknya dengan cercaan, artinya bukan berarti semata² kita bisa salahkan pihak yang mencerca kita, kan? Tulisan kita bagaimana? Kondisi bathin saat dia baca bagaimana? Apa preferensi pembaca selama ini?
Lebih jauh lagi... jika kita menulis dengan motivasi tulus dan baik; apakah kebaikan dan ketulusan itu lantas akan menjadi buruk nan tidak tulus karena pujian atau cercaan pihak lain?

Ketulusan dan motivasi baik itu akan teruji sekali, baik kala dipuji & terutama sekali kala dicerca. Yah, kalo dalam dunia maya, kita masih bisa jaim lah; masih sempat susun kata² manis pake icon dll... Bayangkan jika sedang bicara langsung, akan sulit sekali kan? Nah, jika dalam tulisan saja sulit dikendalikan, kebayang gak gimana kalo lagi bicara langsung?


So... tulisan kita dipuji, artinya ada kondisi yang pas/sinerji antara kualitas bathin yang memuji dengan tulisan yang dibacanya. Ketika tulisan kita dicerca, artinya ada kondisi yang pas tidak berkessuaian dengan padangan yang ada di dalam tulisan tersebut. Kesmuanya merupakan perpaduan dari faktor/kondisi² semata, tidak ada yang dominan atau semata² atau absolut...

Semoga berkenan...

[attachment deleted by admin]
« Last Edit: 07 September 2008, 12:58:15 AM by Gun@saro »
Sukhi Hotu...

Gunasaro

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?
« Reply #73 on: 07 September 2008, 12:58:37 AM »
Pasti berkenan,  _/\_ GRP ahhh
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Apa sih patokan Buddhisme / tidak Buddhisme?
« Reply #74 on: 07 September 2008, 01:06:37 AM »
waaaah .... keren nihh ulasannya  _/\_

dari semua ulasan dan uraian ini
apakah kita mempunyai pandangan yg sama?
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....