//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)  (Read 39631 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)
« Reply #15 on: 27 October 2009, 03:20:08 PM »
sis Yumi yang baik, mohon dibantu ya, tahukah anda dimana Ayya Dhamma? beliau saya namaskarai sebelum sy berangkat th.2006 tp kmrn wkt pulang ke tanah air sy mencari beliau ternyata udah lepas jubah dan keluar dr Lembang, beliau amat bersahaja, penuh welas asih raut wajahnya, lembut tutur katanya, pancaran yang penuh metta, teduh hati kita walau baru memandang wajahnya saja, tahukah anda dimana beliau, sy sangat ingin bertemu karena sy terkejut bgmn mgk seseorang yg telah berjubah 14 thn (sewaktu ktmu sy th.2006 beliau sy tanya berapa thn berjubah, dijawab 14 thn) serta memiliki kualitas keagungan knp bisa lepas jubah dg bgtu mudahnya? se blm n se sdhnya diucapkan terima kasih.

mettacittena,

Samaneri, xori banget ya.. wa jg baru kali ini denger nama Ayya Dhamma.. jadi kga tau di mana. emangnya beliau berdomisili di kota apa (Lembang itu di mana ya :-[)?
Sapa tau teman2 DC lainnya klo ada yg tau mgkn bs bantu Samaneri cariin?
  :)
namo buddhaya Sis Yumi yg baik,
salam sejahtera selalu,

Ayya Dhamma itu dari Lembaga Anagarini Indonesia (saya kurang begitu paham yg mendirikan LAI ini siapa), saya juga kurang begitu paham siapa yg pertama kali menjadi anggota LAI ini, hanya saya kenal 1 nama saja beliau, dari saya mengunjungi beliau itu baru tahu kalo sekarang telah ada Persaudaraan Bhikkhuni Theravada Indonesia, saya juga kurang tahu siapa ketuanya, karena waktu itu hanya sebentar saja, namaskara lalu pulang, mengingat perjalanan jauh Yogya-Bandung, beliau berada di Vihara Kusalayani (vihara nya Ayya Santini), vihara ini lokasinya di Lembang, sehingga orang sering hanya menyebut vihara lembang saja.

semoga ada salah satu rekan2 DC yg mengetahui dimana keberadaan beliau, karena setahu saya orang yg berada dibawah bimbingan Bhante Panna (YM. Sri Pannavaro Maha Thera) pasti memiliki kualitas, apalagi lebih dari 14 thn (ditambah 2 thn wkt sy tdk bertemu beliau lagi), semoga sy ada kamma baik bisa ketemu beliau lagi walau hny melalui email atau sejenisnya.
anumodana utk responnya sis Yumi...

 [at]  Bro Change yg baik,
cerita anda sangat bagus, orang2 sering melupakan kadang kitapun tidak luput dari bagian mereka, jika kita berbuat baik, maka kita adalah bagian dari kebajikan itu pula, karena dengann demikian akan memberikan kekuatan yang positif untuk sekeliling kita, mereka pun menjadi melakukan kebajikan pula, namun bila kita menebar kebencian, maka sekeliling kitapun menjadi negatif. karena kebencian akan segera menjalar kemana-mana.
anumodana utk cerita inspiratif anda.

semoga kita semua dapat menggali ke-Buddha-an dalam diri kita.
ku persembahkan sekuntum teratai kepadamu semua rekan2 DC yang baik, kalian semua adalah calon Buddha... :lotus: :lotus: :lotus:

mettacittena,

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)
« Reply #16 on: 06 November 2009, 09:40:26 AM »
Anumodana Sis Pannadevi.

2 Kisah Nyata berikut ini menekankan KETULUSAN dalam berbuat kebajikan, dengan ketulusan maka hasil yang akan berbuah tentu lebih baik. Disamping perilaku tersebut menimbulkan dan memberikan keteladanan bagi lingkungannya, walaupun butuh proses untuk membiasakannya, karena pada tahap awal ketulusan biasanya tidak murni ( dengan pamrih ), tetapi jika telah terbiasa untuk memberi/berdana dengan melepas, maka karakter ketulusan akan terbentuk.

Ketulusan menempati peringkat tertinggi sebagai sifat yang paling disukai oleh semua orang. Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi. Orang yang tulus selalu mengatakan kebenaran, tidak suka mengada-ada, pura- pura, mencari-cari alasan atau memutarbalikkan fakta. Prinsipnya "Ya diatas Ya dan Tidak diatas Tidak". Tentu akan lebih ideal bila ketulusan disertai dengan kebijaksanaan. Dengan begitu, ketulusan tidak menjadi keluguan yang bisa merugikan diri sendiri ( orang bodoh berbuat baik )


KETULUSAN

Di bagian utara India ada sebuah desa bernama Keema. Tanahnya tandus dan gersang. Kehidupan penduduk di sini sangat sulit dan miskin, sehingga untuk mengenyangkan perut saja menjadi masalah.

Berjarak tidak jauh dari desa Keema  ada sebuah jalan umum yang sederhana, kendaraan yang lewat di jalanan itu sering kali mengalami kecelakaan.

Suatu ketika, ada sebuah truk yang bermuatan makanan kaleng masuk ke dalam selokan dan terbalik. Sopirnya mengalami luka-luka, dia menghentikan sebuah mobil untuk membawa dirinya ke rumah sakit, barang muatan di dalam truk tidak ada yang jaga.

Penduduk desa Keema melihat kejadian itu, mereka lalu dengan sembunyi-sembunyi mengangkut makanan kaleng itu ke rumah, berturut-turut selama beberapa hari.

Setiap rumah semuanya memiliki makanan kalengan untuk dimakan. Kejadian ini telah mengilhami para penduduk desa Keema, pepatah mengatakan, dekat dengan gunung mencari makan di gunung, dekat dengan air mencari makan di air, mereka dekat di jalanan lalu mencari makan di jalanan.

Akan tetapi kecelakaan kendaraan pada hakekatnya tidak bisa sering terjadi. Oleh karena itu mereka terpikir sebuah ide, menggunakan kesempatan malam hari ketika jalanan tiada orang lewat, mereka membawa peralatan untuk menggali lubang, dan membuat seluruh permukaan sepanjang jalanan itu berlubang-lubang. Dengan demikian, kesempatan terjadinya kecelakaan akan lebih banyak.

Walaupun kendaraan itu tidak mengalami kecelakaan, tetapi karena situasi jalanan yang tidak baik, laju semua kendaraan akan menjadi pelan. Para penduduk desa bisa mengikuti di belakang mobil, memanfaatkan keteledoran pengemudi, secara sembunyi-sembunyi mengambil barang-barang yang mereka butuhkan.

Peristiwa ini sedikit demi sedikit berkembang, mula-mula mereka hanya mencuri makanan, lambat laun barang-barang yang lain pun mereka ambil, setelah mereka ambil dibawa ke pasar untuk dijual. Berkembang lagi sampai akhirnya mereka merampas secara terang-terangan.

Sesaat itu, ruas jalanan itu menjadi ruas yang paling tidak aman di sepanjang jalan umum itu, setiap bulan selalu terjadi beberapa kali kasus perampasan.

Kantor polisi mengutus personilnya untuk membongkar kasus kejahatan ini. Polisi telah menangkap dua orang penduduk desa Keema yang sedang merampok barang di tempat kejadian perkara, menuntut dan menghukum dua orang penduduk desa ini.

Tetapi tindakan tersebut tidak membuat penduduk lain menjadi takut, sebaliknya menjadikan mereka lebih ter-selubung dan lebih waspada ketika mereka melakukan kejahatan.

Mereka melakukan kejahatan mulai teratur dan terorganisir. Ada orang khusus yang bertanggung jawab berjaga-jaga dan memberi kode. Setelah mendapatkan barang rampasan dibawa pulang dulu untuk disembunyikan, atau kemasan barang itu diganti, sehingga ketika digeledah oleh polisi tidak bisa men-dapatkan barang bukti.

Pemerintah setempat juga telah memikirkan berbagai macam cara, agar penduduk desa Keema bisa mengerti dan meninggalkan perbuatan merampas yang tidak bermoral dan melanggar hukum itu, serta membimbing mereka ke jalan yang benar.

Apa boleh buat, penduduk desa Keema telah mencicipi manisnya menjarah barang dari orang lain. Mereka sudah terbiasa dengan mendapatkan keuntungan dari kerja orang lain, sudah terbiasa dengan gaya hidup semacam ini. Maka dari itu kasus perampasan barang sering-sering terjadi di sekitar desa Keema. 

Di musim dingin tahun itu, oleh karena sering kehilangan barang ketika melewati desa Keema, maka banyak sekali pengemudi truk barang memilih jalan memutar untuk menghindari ruas jalanan di desa Keema. Dengan demikian, penduduk desa  telah beberapa hari tidak mendapatkan hasil jarahan.

Akhirnya pada suatu hari ada sebuah truk yang melewati jalan itu, di atas truk penuh dengan muatan berzak-zak serbuk pati asam damar, bahan sejenis kanji yang dipergunakan pada industri. Semua orang berbondong-bondong maju ke depan, merampas dua puluh sak lebih serbuk pati asam damar. Pengemudi truk adalah seorang anak muda. Melihat ada orang yang merampas barang muatannya, dia segera menghentikan truknya, dan mengejar orang-orang yang merampas barangnya sampai ke desa Keema.

Tindakannya ini malah  sebaliknya telah memberikan kesempatan kepada penduduk Keema lainnya. Mereka dengan seenaknya memindahkan semua serbuk kanji muatan truk yang tidak dijaga itu.

Anak muda ini mengejar sampai ke dalam desa, dia memohon para penduduk desa mengembalikan barang muatannya, tetapi tidak ada seorangpun yang mau mengaku telah mengambil barangnya.

Biarpun anak muda ini meminta dengan sepenuh hati, namun usahanya itu sia-sia belaka. Dia terpaksa memberitahu kepada para penduduk desa, bahwa serbuk pati asam damar bukan serbuk kanji untuk makanan, melainkan serbuk kanji industri yang mengandung racun. Orang bisa mati jika memakan serbuk itu, mereka mengambil serbuk itu juga tidak berguna.

Anak muda ini telah berkata terus terang. Tetapi penduduk desa Keema  tidak ada seorang pun yang percaya, karena serbuk pati asam damar ini punya warna dan bentuk yang sama persis dengan kanji yang mereka makan sehari-hari.

Mengetahui penduduk desa tidak percaya dengan perkataannya, anak muda ini takut bukan main. Sebenarnya dia ingin melapor kepada polisi, akan tetapi dia khawatir, jika dia meninggalkan mereka, segera akan ada orang yang menggunakan kanji itu sebagai makanan untuk dimakan. Maka saat itu pasti terjadi korban jiwa.

Lalu dia mendatangi setiap rumah serta memberi penjelasan, bahkan berlutut di hadapan para penduduk desa untuk memohon kepada mereka, "Jangan sekali-kali mencoba untuk memakan kanji itu, karena nyawa bisa melayang."

Usaha gigih pemuda itu, membuat para penduduk desa menjadi ragu-ragu terhadap perkataannya. Ada yang lalu mengambil serbuk kanji dicobakan untuk ayam, hasilnya ayam yang memakan serbuk kanji itu sesaat kemudian segera mati.

Melihat kejadian ini para penduduk ketakutan setengah mati, selanjutnya mereka terharu dengan sangat mendalam. Mereka telah merampas barang muatan pemuda itu, seharusnya pemuda itu sakit hati dan benci kepada mereka, walaupun mereka keracunan dan mati karena mengonsumsi serbuk kanji itu, juga adalah hukuman yang selayaknya.

Tetapi pemuda ini demi menyelamatkan nyawa mereka dia rela berlutut dan memohon mereka untuk jangan memakan kanji itu. Hati belas kasih, keluasan pandangan dan ketulusan kebaikan hati semacam ini, membuat mereka semuanya merasa malu dan terharu bukan main.

Penduduk desa secara spontan menyerahkan kembali bubuk kanji industri itu, dan dikembalikan ke atas truk yang dikemudikan oleh pemuda itu.

Sejak peristiwa itu, penduduk desa Keema  tidak pernah lagi merampas barang muatan orang lain. Meskipun masih ada penduduk yang mempunyai niat merampas truk yang melewati jalan itu, segera ada penduduk lain yang mengangkat bicara, "Berpikirlah kepada pemuda yang baik hati dan tulus itu, kita telah melukai dia, sebaliknya pemuda itu malah menolong nyawa penduduk seluruh desa. Berpikirlah kepada dia, apakah kita masih mempunyai muka melanjutkan perbuatan yang merugikan orang lain? Memangnya kita semua adalah iblis ?"

Jalan umum di sekitar desa Keema  sudah aman kembali. Desa Keema  setelah ditertibkan oleh polisi dan mendapatkan bimbingan dari pemerintah setempat tidak pernah membuahkan hasil, tetapi keadaan itu berubah total karena ketulusan kebaikan hati seorang pengemudi muda.

Kebiasaan manusia itu dapat diubah, hanya melihat bagaimana Anda mengubahnya. Pikiran baik manusia itu dapat digugah, hanya melihat bagaimana Anda menggugah.

Walaupun kita berada di dalam masyarakat yang mengalami kemerosotan moral dengan sangat cepat, asalkan kita masih memiliki semangat pantang mundur untuk mempertahankan kebaikan, berkorban untuk orang lain tanpa pamrih ( ketulusan ), maka masyarakat ini masih mempunyai harapan.

Di dalam hati siapapun saja, sebenarnya masih ada seutas senar kebaikan. Senar ini hanya bisa dipetik dengan hati yang welas asih. Ingin orang lain menjadi baik, pertama-tama Anda harus membayar dengan cinta kasih ( metta ) Anda.

Seberapa jahatnya orang itu, jika Anda menggunakan cinta kasih ( metta ), maka Anda bisa menggugah kebaikan orang itu, membuat orang itu melenyapkan pikiran jahatnya.

Semoga Bermanfaat

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)
« Reply #17 on: 06 November 2009, 11:17:02 AM »
Kebijaksanaan/bijaksana dalam berbuat baik memang sangat dibutuhkan, karena tanpanya kita akan terjebak dalam suatu “ lingkaran ” 

Kebijaksanaan hadir pada saat Anda melepaskan semua penghalang yang Anda ciptakan sendiri melalui konsep ( persepsi) dan proses pembiasaan yang Anda alami. Kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang didapatkan; kebijaksanaan bukanlah pengalaman; kebijaksanaan bukanlah penerapan ilusi yang Anda dapatkan kemarin untuk memecahkan persoalan hari ini.

Kebijaksanaan berarti kepekaan terhadap situasi tertentu atau PERUBAHAN-PERUBAHAN, misalnya pada orang tertentu, tidak terpengaruh oleh pengalaman masa lalu yang masih melekat dalam ingatan atau oleh sisa-sisa ingatan mengenai pengalaman di masa lalu, dll.


Makanya ada ungkapan :
"Bila mata tidak terhalang maka hasilnya adalah penglihatan; bila telinga tidak terhalang maka hasilnya adalah pendengaran; bila hidung tidak terhalang maka hasilnya adalah penciuman; jika mulut tidak terhalang maka hasilnya adalah pengecapan; bila pikiran tidak terhalang maka hasilnya adalah Kebijaksanaan."

Kisah Nyata kedua ini mengenai ketulusan, mungkin sebagian pernah membaca kisah ini, tetapi posting ulang ini bertujuan untuk mengugah KETULUSAN kita semua dalam berbuat baik, dan selalu diingatkan bahwa didunia ini masih ada MANUSIA yang luar bisa dalam KETULUSAN. Karena kisah ini sangat memotivasi untuk lebih banyak berbuat baik.

Kisah Gadis Bernama Yu Yuan


Kisah tentang seorang gadis kecil yang cantik yang memiliki sepasang bola mata yang indah dan hati yang lugu polos. Dia adalah seorang yatim piatu dan hanya sempat hidup di dunia ini selama delapan tahun. Satu kata terakhir yang ia tinggalkan adalah “saya pernah datang dan saya sangat penurut”.

Anak ini rela melepasakan pengobatan, padahal sebelumnya dia telah memiliki dana pengobatan sebanyak 540.000 dolar yang didapat dari perkumpulan orang Chinese seluruh dunia. Dan membagi dana tersebut menjadi tujuh bagian, yang dibagikan kepada tujuh anak kecil yang juga sedang berjuang menghadapi kematian. Dan dia rela melepaskan pengobatannya.

Begitu lahir dia sudah tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya. Dia hanya memiliki seorang papa yang mengadopsinya. Papanya berumur 30 tahun yang bertempat tinggal di provinsi She Cuan kecamatan Suang Liu, kota Sang Xin Zhen Yun Ya Chun Er Cu. Karena miskin, maka selama ini ia tidak menemukan pasangan hidupnya. Kalau masih harus mengadopsi anak kecil ini, mungkin tidak ada lagi orang yang mau dilamar olehnya. Pada tanggal 30 November 1996, tgl 20 bln 10 imlek, adalah saat dimana papanya menemukan anak kecil tersebut diatas hamparan rumput, disanalah papanya menemukan seorang bayi kecil yang sedang kedinginan. Pada saat menemukan anak ini, di dadanya terdapat selembar kartu kecil tertulis, 20 November jam 12.

Melihat anak kecil ini menangis dengan suara tangisannya sudah mulai melemah. Papanya berpikir kalau tidak ada orang yang memperhatikannya, maka kapan saja bayi ini bisa meninggal. Dengan berat hati papanya memeluk bayi tersebut, dengan menghela nafas dan berkata, "saya makan apa, maka kamu juga ikut apa yang saya makan". Kemudian papanya memberikan dia nama Yu Yan.

Ini adalah kisah seorang pemuda yang belum menikah yang membesarkan seorang anak, tidak ada Asi dan juga tidak mampu membeli susu bubuk, hanya mampu memberi makan bayi tersebut dengan air tajin (air beras). Maka dari kecil anak ini tumbuh menjadi lemah dan sakit-sakitan. Tetapi anak ini sangat penurut dan sangat patuh. Musim silih berganti, Yu Yuan pun tumbuh dan bertambah besar serta memiliki kepintaran yang luar biasa. Para tetangga sering memuji Yu Yuan sangat pintar, walaupun dari kecil sering sakit-sakitan dan mereka sangat menyukai Yu Yuan. Ditengah ketakutan dan kecemasan papanya, Yu Yuan pelan-pelan tumbuh dewasa.

Yu Yuan yang hidup dalam kesusahan memang luar biasa, mulai dari umur lima tahun, dia sudah membantu papa mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci baju, memasak nasi dan memotong rumput. Setiap hal dia kerjakan dengan baik. Dia sadar dia berbeda dengan anak-anak lain. Anak-anak lain memiliki sepasang orang tua, sedangkan dia hanya memiliki seorang papa. Keluarga ini hanya mengandalkan dia dan papa yang saling menopang. Dia harus menjadi seorang anak yang penurut dan tidak boleh membuat papa menjadi sedih dan marah.

Pada saat dia masuk sekolah dasar, dia sendiri sudah sangat mengerti, harus giat belajar dan menjadi juara di sekolah. Inilah yang bisa membuat papanya yang tidak berpendidikan menjadi bangga di desanya. Dia tidak pernah mengecewakan papanya, dia pun bernyanyi untuk papanya. Setiap hal yang lucu yang terjadi di sekolahnya di ceritakan kepada papanya. Kadang-kadang dia bisa nakal dengan mengeluarkan soal-soal yang susah untuk menguji papanya.

Setiap kali melihat senyuman papanya, dia merasa puas dan bahagia. Walaupun tidak seperti anak-anak lain yang memiliki mama, tetapi bisa hidup bahagia dengan papa, ia sudah sangat berbahagia.

Mulai dari bulan Mei 2005 Yu Yuan mulai mengalami mimisan. Pada suatu pagi saat Yu Yuan sedang mencuci muka, ia menyadari bahwa air cuci mukanya sudah penuh dengan darah yang ternyata berasal dari hidungnya. Dengan berbagai cara tidak bisa menghentikan pendarahan tersebut. Sehingga papanya membawa Yu Yuan ke puskesmas desa untuk disuntik. Tetapi sayangnya dari bekas suntikan itu juga mengerluarkan darah dan tidak mau berhenti. Dipahanya mulai bermunculan bintik-bintik merah. Dokter tersebut menyarankan papanya untuk membawa Yu Yuan ke rumah sakit untuk diperiksa. Begitu tiba di rumah sakit, Yu Yuan tidak mendapatkan nomor karena antrian sudah panjang. Yu Yuan hanya bisa duduk sendiri dikursi yang panjang untuk menutupi hidungnya. Darah yang keluar dari hidungnya bagaikan air yang terus mengalir dan memerahi lantai. Karena papanya merasa tidak enak kemudian mengambil sebuah baskom kecil untuk menampung darah yang keluar dari hidung Yu Yuan. Tidak sampai sepuluh menit, baskom yang kecil tersebut sudah penuh berisi darah yang keluar dari hidung Yu Yuan.

Dokter yang melihat keadaaan ini cepat-cepat membawa Yu Yuan untuk diperiksa. Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa Yu Yuan terkena Leukimia ganas. Pengobatan penyakit tersebut sangat mahal yang memerlukan biaya sebesar $ 300.000 . Papanya mulai cemas melihat anaknya yang terbaring lemah di ranjang. Papanya hanya memiliki satu niat yaitu menyelamatkan anaknya. Dengan berbagai cara meminjam uang kesanak saudara dan teman dan ternyata, uang yang terkumpul sangatlah sedikit. Papanya akhirnya mengambil keputusan untuk menjual rumahnya yang merupakan harta satu satunya. Tapi karena rumahnya terlalu kumuh, dalam waktu yang singkat tidak bisa menemukan seorang pembeli.

Melihat mata papanya yang sedih dan pipi yang kian hari kian kurus. Dalam hati Yu Yuan merasa sedih. Pada suatu hari Yu Yuan menarik tangan papanya, air mata pun mengalir dikala kata-kata belum sempat terlontar. "Papa saya ingin mati". Papanya dengan pandangan yang kaget melihat Yu Yuan, "Kamu baru berumur 8 tahun kenapa mau mati". "Saya adalah anak yang dipungut, semua orang berkata nyawa saya tak berharga, tidaklah cocok dengan penyakit ini, biarlah saya keluar dari rumah sakit ini."

Pada tanggal 18 juni, Yu Yuan mewakili papanya yang tidak mengenal huruf, menandatangani surat keterangan pelepasan perawatan. Anak yang berumur delapan tahun itu pun mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pemakamannya sendiri. Hari itu juga setelah pulang kerumah, Yu Yuan yang sejak kecil tidak pernah memiliki permintaan, hari itu meminta dua permohonan kepada papanya. Dia ingin memakai baju baru dan berfoto. Yu Yuan berkata kepada papanya: "Setelah saya tidak ada, kalau papa merindukan saya lihatlah melihat foto ini". Hari kedua, papanya menyuruh bibi menemani Yu Yuan pergi ke kota dan membeli baju baru. Yu Yuan sendirilah yang memilih baju yang dibelinya. Bibinya memilihkan satu rok yang berwarna putih dengan corak bintik-bintik merah. Begitu mencoba dan tidak rela melepaskannya. Kemudian mereka bertiga tiba di sebuah studio foto. Yu Yuan kemudia memakai baju barunya dengan pose secantik mungkin berjuang untuk tersenyum. Bagaimanapun ia berusaha tersenyum, pada akhirnya juga tidak bisa menahan air matanya yang mengalir keluar. Kalau bukan karena seorang wartawan Chuan Yuan yang bekerja di surat kabar Cheng Du Wan Bao, Yu Yuan akan seperti selembar daun yang lepas dari pohon dan hilang ditiup angin.

Setelah mengetahui keadaan Yu Yuan dari rumah sakit, Chuan Yuan kemudian menuliskan sebuah laporan, menceritakan kisah Yu Yuan secara detail. Cerita tentang anak yg berumur 8 tahun mengatur pemakamakannya sendiri dan akhirnya menyebar keseluruh kota Rong Cheng. Banyak orang-orang yang tergugah oleh seorang anak kecil yang sakit ini, dari ibu kota sampai satu Negara bahkan sampai keseluruh dunia. Mereka mengirim email ke seluruh dunia untuk menggalang dana bagi anak ini". Dunia yang damai ini menjadi suara panggilan yang sangat kuat bagi setiap orang.

Hanya dalam waktu sepuluh hari, dari perkumpulan orang Chinese didunia saja telah mengumpulkan 560.000 dolar. Biaya operasi pun telah tercukupi. Titik kehidupan Yu Yuan sekali lagi dihidupkan oleh cinta kasih semua orang.

Setelah itu, pengumuman penggalangan dana dihentikan tetapi dana terus mengalir dari seluruh dunia. Dana pun telah tersedia dan para dokter sudah ada untuk mengobati Yu Yuan. Satu demi satu gerbang kesulitan pengobatan juga telah dilewati. Semua orang menunggu hari suksesnya Yu Yuan.

Ada seorang teman di-email bahkan menulis: "Yu Yuan anakku yang tercinta saya mengharapkan kesembuhanmu dan keluar dari rumah sakit. Saya mendoakanmu cepat kembali ke sekolah. Saya mendambakanmu bisa tumbuh besar dan sehat. Yu Yuan anakku tercinta."

Pada tanggal 21 Juni, Yu Yuan yang telah melepaskan pengobatan dan menunggu kematian akhirnya dibawa kembali ke ibu kota. Dana yang sudah terkumpul, membuat jiwa yang lemah ini memiliki harapan dan alasan untuk terus bertahan hidup. Yu Yuan akhirnya menerima pengobatan dan dia sangat menderita didalam sebuah pintu kaca tempat dia berobat. Yu Yuan kemudian berbaring di ranjang untuk diinfus. Ketegaran anak kecil ini membuat semua orang kagum padanya. Dokter yang menangani dia, Shii Min berkata, dalam perjalanan proses terapi akan mendatangkan mual yang sangat hebat. Pada permulaan terapi Yu Yuan sering sekali muntah. Tetapi Yu Yuan tidak pernah mengeluh. Pada saat pertama kali melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang, jarum suntik ditusukkan dari depan dadanya, tetapi Yu Yuan tidak menangis dan juga tidak berteriak, bahkan tidak meneteskan air mata. Yu yuan yang dari dari lahir sampai maut menjemput tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ibu. Pada saat dokter Shii Min menawarkan Yu Yuan untuk menjadi anak perermpuannya. Air mata Yu Yuan pun mengalir tak terbendung.

Hari kedua saat dokter Shii Min datang, Yu Yuan dengan malu-malu memanggil dengan sebutan Shii Mama. Pertama kalinya mendengar suara itu, Shii Min kaget, dan kemudian dengan tersenyum dan menjawab, "Anak yang baik". Semua orang mendambakan sebuah keajaiban dan menunggu momen dimana Yu Yuan hidup dan sembuh kembali. Banyak masyarakat datang untuk menjenguk Yu Yuan dan banyak orang menanyakan kabar Yu Yuan dari email.

Selama dua bulan Yu Yuan melakukan terapi dan telah berjuang menerobos sembilan pintu maut. Pernah mengalami pendarahan dipencernaan dan selalu selamat dari bencana. Sampai akhirnya darah putih dari tubuh Yu Yuan sudah bisa terkontrol. Semua orang-orang pun menunggu kabar baik dari kesembuhan Yu Yuan.

Tetapi efek samping yang dikeluarkan oleh obat-obat terapi sangatlah menakutkan, apalagi dibandingkan dengan anak-anak leukemia yang lain. Fisik Yu Yuan jauh sangat lemah. Setelah melewati operasi tersebut fisik Yu Yuan semakin lemah.

Pada tanggal 20 agustus, Yu Yuan bertanya kepada wartawan Fu Yuan: "Tante kenapa mereka mau menyumbang dana untuk saya? Tanya Yu Yuan kepada wartawan tersebut. Wartawan tersebut menjawab, karena mereka semua adalah orang yang baik hati". Yu Yuan kemudia berkata : "Tante saya juga mau menjadi orang yang baik hati". Wartawan itupun menjawab, "Kamu memang orang yang baik. Orang baik harus saling membantu agar bisa berubah menjadi semakin baik". Yu yuan dari bawah bantal tidurnya mengambil sebuah buku, dan diberikan kepada ke Fu Yuan. "Tante ini adalah surat wasiat saya."

Fu yuan kaget, sekali membuka dan melihat surat tersebut ternyata Yu Yuan telah mengatur tentang pengaturan pemakamannya sendiri. Ini adalah seorang anak yang berumur delapan tahun yang sedang menghadapi sebuah kematian dan diatas ranjang menulis tiga halaman surat wasiat dan dibagi menjadi enam bagian, dengan pembukaan, tante Fu Yuan, dan diakhiri dengan selamat tinggal tante Fu Yuan.

Dalam satu artikel itu nama Fu Yuan muncul tujuh kali dan masih ada sembilan sebutan singkat tante wartawan. Dibelakang ada enam belas sebutan dan ini adalah kata setelah Yu Yuan meninggal. Tolong,..... .. Dan dia juga ingin menyatakan terima kasih serta selamat tinggal kepada orang- orang yang selama ini telah memperhatikan dia lewat surat kabar. "Sampai jumpa tante, kita berjumpa lagi dalam mimpi. Tolong jaga papa saya. Dan sedikit dari dana pengobatan ini bisa dibagikan kepada sekolah saya. Dan katakan ini juga pada pemimpin palang merah. Setelah saya meninggal, biaya pengobatan itu dibagikan kepada orang-orang yang sakit seperti saya. Biar mereka lekas sembuh". Surat wasiat ini membuat Fu Yuan tidak bisa menahan tangis yang membasahi pipinya.

Saya pernah datang, saya sangat patuh, demikianlah kata-kata yang keluar dari bibir Yu Yuan. Pada tanggal 22 agustus, karena pendarahan dipencernaan hampir satu bulan, Yu Yuan tidak bisa makan dan hanya bisa mengandalkan infus untuk bertahan hidup. Mula mulanya berusaha mencuri makan, Yu Yuan mengambil mie instant dan memakannya. Hal ini membuat pendarahan di pencernaan Yu Yuan semakin parah. Dokter dan perawat pun secepatnya memberikan pertolongan darurat dan memberi infus dan transfer darah setelah melihat pendarahan Yu Yuan yang sangat hebat. Dokter dan para perawat pun ikut menangis. Semua orang ingin membantu meringankan pederitaannya. Tetapi tetap tidak bisa membantunya. Yu Yuan yang telah menderita karena penyakit tersebut akhirnya meninggal dengan tenang. Semua orang tidak bisa menerima kenyataan ini melihat dewi kecil yang cantik yang suci bagaikan air. Sungguh telah pergi ke dunia lain.

Dikecamatan She Chuan, sebuah email pun dipenuhi tangisan menghantar kepergian Yu Yuan. Banyak yang mengirimkan ucapan turut berduka cita dengan karangan bunga yang ditumupuk setinggi gunung. Ada seorang pemuda berkata dengan pelan "Anak kecil, kamu sebenarnya adalah malaikat kecil diatas langit, kepakanlah kedua sayapmu. Terbanglah.. ......... ...." demikian kata-kata dari seorang pemuda tersebut.

Pada tanggal 26 Agustus, pemakaman Yu Yuan dilaksanakan saat hujan gerimis. Didepan rumah duka, banyak orang-orang berdiri dan menangis mengantar kepergian Yu Yuan. Mereka adalah papa mama Yu Yuan yang tidak dikenal oleh Yu Yuan semasa hidupnya. Demi Yu Yuan yang menderita karena leukemia dan melepaskan pengobatan demi orang lain, maka datanglah papa mama dari berbagai daerah yang diam-diam mengantarkan kepergian Yu Yuan.

Didepan kuburannya terdapat selembar foto Yu Yuan yang sedang tertawa. Diatas batu nisannya tertulis, "Aku pernah datang dan aku sangat patuh" (30 nov 1996- 22 agus 2005). Dan dibelakangnya terukir perjalanan singkat riwayat hidup Yu Yuan. Dua kalimat terakhir adalah disaat dia masih hidup telah menerima kehangatan dari dunia. Beristirahatlah gadis kecilku, nirwana akan menjadi lebih ceria dengan adanya dirimu.

Sesuai pesan dari Yu Yuan, sisa dana 540.000 dolar tersebut disumbangkan kepada anak-anak penderita luekimia lainnya. Tujuh anak yang menerima bantuan dana Yu Yuan itu adalah : Shii Li, Huang Zhi Qiang, Liu Ling Lu, Zhang Yu Jie, Gao Jian, Wang Jie. Tujuh anak kecil yang kasihan ini semua berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka adalah anak-anak miskin yang berjuang melawan kematian.

Pada tanggal 24 September, anak pertama yang menerima bantuan dari Yu Yuan di rumah sakit Hua Xi berhasil melakukan operasi. Senyuman yang mengambang pun terlukis diraut wajah anak tersebut. "Saya telah menerima bantuan dari kehidupan Anda, terima kasih adik Yu Yuan kamu pasti sedang melihat kami diatas sana. Jangan risau, kelak di batu nisan, kami juga akan mengukirnya dengan kata-kata "Aku pernah datang dan aku sangat patuh".

Kesimpulan:
Demikianlah sebuah kisah yang sangat menggugah hati kita. Seorang anak kecil yang berjuang bertahan hidup dan akhirnya harus menghadapi kematian akibat sakit yang dideritanya. Dengan kepolosan dan ketulusan berbuat KEBAJIKAN serta baktinya kepada orang tuanya, akhirnya mendapatkan respon yang luar biasa dari kalangan Dunia. Walaupun hidup serba kekurangan, Dia bisa memberikan cinta kasihnya terhadap sesama. Inilah contoh yang seharusnya kita pun mampu melakukan hal yang sama, berbuat sesuatu yang bermakna bagi sesama, memberikan sedikit kehangatan dan perhatian kepada orang yang membutuhkan. Pribadi dan hati seperti inilah yang dinamakan pribadi seorang Pengasih.

Ini adalah salah satu bentuk KEBAJIKAN yang luar biasa, tidak setiap manusia mampu untuk melakukannya. 

Bagaimana dengan kita yang masih hidup di alam ini sekarang, apakah kita harus menunggu kematian menjemput ( mungkin NANTI ), kemudian baru INGAT bahwa kita belum ( LUPA ) berbuat KEBAJIKAN SAAT INI. Semoga Kisah Nyata ini dapat membangkitkan semangat anda untuk memupuk KEBAJIKAN.

Semoga Yu Yuan terlahir di alam Berbahagia sesuai dengan jasa-jasa KEBAJIKAN yang telah dilakukan. Sungguh luar biasa PEMBERIAN TELADAN dalam Metta ( cinta kasih ) dan Karuna ( welas asih ).

Semoga Bermanfaat

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)
« Reply #18 on: 07 November 2009, 09:59:51 AM »
Kisah Nyata berikut ini menggambarkan apapun yang kita perbuat, inilah yang kita tuai.

MEMBERI DAN BERBUAT UNTUK ORANG LAIN

John D. Rockfeller, seorang yang pernah menjadi orang terkaya di Amerika dan dunia, bisa 'memperpanjang' usianya selama 45 tahun dari sewaktu berusia 53 tahun dengan kondisi fisik yang sangat memprihatinkan (rapuh, kepala hampir botak, punggung bongkok, mata yang kekurangan semangat hidup), sampai akhirnya baru meninggal di usia 98 tahun.

Sepanjang hidupnya sampai berusia 53 tahun, dia sangat kikir dan sering dilanda kecemasan mengenai harta yang sudah dimiliki dan masih berharap bisa mendapatkan banyak harta di masa mendatang.

Suatu pagi Rockfeller ditemukan dalam kondisi memprihatinkan di atas lantai kantor oleh rekan bisnisnya. Menyadari kondisi ini terjadi karena si Kaya merasa sedemikian cemas mendapat berita semalam bahwa kapalnya yang penuh dengan muatan akan tetapi tanpa asuransi sedang berjuang keras melewati badai dahsyat di lautan yang sedang diarungi, si rekan bisnis menawarkan untuk mencoba membeli asuransi bagi muatan kapal tersebut. Melihat kesempatan untuk tidak rugi besar karena karamnya kapal akan membuat pihak asuransilah yang harus membayar harga muatannya, Rockfeller segera mengiyakan.

Si rekan bisnis begitu gembira setelah berhasil membeli dan menutup asuransi seperti yang disepakati dengan John. Akan tetapi yang didapati setibanya di kantor adalah kondisi John D. Rockfeller yang semakin sekarat di atas lantai. Ternyata begitu dia ditinggalkan, Rockfeller menerima kabar bahwa kapal tersebut selamat sedang dia tidak berdaya untuk mencegah temannya membeli asuransi sehingga dia merasa begitu nelangsa karena harus kehilangan uang untuk membeli asuransi.

Setelah kejadian tersebut, John D. Rockfeller lebih bermurah hati dan menggunakan kekayaannya untuk lebih banyak memberi dan berbuat bagi orang lain sehingga membawa kebahagiaan yang berujung pada 'perpanjangan' usianya hingga mencapai sedemikian lanjut.

Pertanyaannya sudahkah kita menggunakan hal-hal baik dan kemampuan yang kita miliki saat ini untuk sedikit memberi dan berbuat bagi orang lain yang membutuhkan ?

Seringkali kita menikmati semua yang kita miliki untuk diri kita sendiri tanpa mau mengingat bahwa masih banyak orang-orang yang lebih menderita di sekitar kita dan memerlukan uluran tangan kita. Perbuatan baik kita tidak harus yang besar dan mentereng tetapi cukup dengan kebaikan-kebaikan kecil yang terus-menerus dilakukan. Kata pepatah 'sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit'

Kebaikan apapun yang dilakukan secara kontiniu, konsisten dan benar akan selalu berbuah, dalam cerita ini berbuah kesehatan dan  panjang umur.


Semoga bermanfaat

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)
« Reply #19 on: 09 November 2009, 10:14:06 AM »
Kisah Nyata berikut ini menggambarkan papapun kebajikan kita lakukan pasti berbuah, cuma kita tidak tahu kapan berbuah

Uang Palsu yang menyelamatkan

Sebuah kisah yang amat menggugah hati orang terjadi di propinsi Ciang Si kota Nan Chang.
Pada tahun 1938 bertepatan masa peperangan dimana Presiden Ciang Kai Sek yang saat itu masih menjabat sebagai komandan laskar yang bertempat di Nan Chang.

Saat waktu luang ,banyak tentara pergi berbelanja keperluan sehari-hari.Saat itu mata uang yang digunakan adalah Yen. Kaum wanita yang sudah berusia lanjut dan lemah tampak berjajaran di sepanjang jalan menjual handuk dan kaos kaki bagi keperluan tentara.

Suatu hari, seorang nenek tua menangis terisak-isak di sebuah jalan.Orang yang lewat menanyai sebabnya, rupanya seseorang telah membeli banyak sekali dagangannya dengan uang Yen palsu. Ketika sadar uang itu palsu, si pembeli sudah lenyap entah kemana.

Kebetulan lewat seorang tentara yang baru mendapat gajian dan berbelanja di sekitar jalan itu. Melihat sang nenek sangat sedih, maka dia menghiburnya, "Tak usah sedih Nek,gaji saya cukup. Tukarkan uang palsumu kepada saya sebagai kenang-kenangan. Nah,ini ambillah. Semoga dapat menjadi modal usahamu kelak".

"Mana boleh? Mana mungkin saya menerima sementara anda yang mengorbankan uangmu". Si Nenek terus bersikeras tidak mau menerima tawaran si tentara tapi karena tak tega menolak ketulusannya, akhirnya menerima juga dengan ucapan terima kasih yang mendalam.

Selang beberapa bulan si Tentara berdinas kembali ke kota Nan Chang dan mencari Nenek yang malang itu. Dia berkata bahwa kepingan Yen palsu itu telah menyelamatkan nyawanya.

Ceritanya ketika dia berada di barisan depan dalam medan pertempuran,tiba-tiba sebuah peluru menghantam ke dadanya. Tamat sudah kali ini,pikirnya hingga pingsan karena ketakutan. Tapi begitu mata di buka,sakitnya tidak terasa. Dirabanya bagian dada tapi tak ada darah sedikitpun. Waktu menyentuh kepingan logam yang berada di kantong kirinya ternyata uang Yen palsu itu sudah cekung karena peluru itu.
Rekan seperjuangannya menjadi tak habis berpikir, bagaimana mungkin peristiwa tersebut dapat terjadi. Berita itu meluas keseluruh kota Nan Chang.


Siapa bilang perbuatan baik dan jahat tiada balasannya? Cuma karena waktu yang belum matang, hingga pembalasan karma belum tampak, dan kita tidak tahu kapan berbuah.

Inilah salah satu kesaksian betapa pentingnya memupuk jasa pahala dan kebajikan.

Karena itu, menegakkan jasa kebajikan secara samar (tanpa diketahui orang/tanpa pamrih) akan mendatangkan anugerah yang tak disangka.
Demikianlah Hukum Karma itu.

Semoga Bermanfaat

 _/\_


Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)
« Reply #20 on: 10 November 2009, 01:05:35 PM »


Siapa Menabur Benih Akan Menuai...

Pada suatu hari seorang pemuda sedang berjalan di tengah hutan, tiba-tiba ia mendengar jeritan minta tolong. Ternyata ia melihat seorang pemuda sebaya dengan dia sedang bergumul dengan lumpur yang mengambang, semakin bergerak malah semakin dalam ia terperosok. Pemuda yang pertama tadi hendak sekuat tenaga memberikan pertolongannya, dengan susah payah pemuda yang terperosok itu dapat di selamatkan.

Pemuda yang pertama memapah pemuda yang terperosok ini pulang ke rumahnya. Ternyata rumah si pemuda kedua sangat bagus, besar,megah, dan mewah.

Ayah pemuda ini sangat berterima kasih atas pertolongan yang diberikan kepada anaknya, dan hendak memberikan uang, pemuda yang pertama ini menolak pemberian tersebut. Ia berkata bahwa sudah selayaknya sesama manusia menolong orang lain yang dalam kesusahan. Sejak kejadian ini mereka menjalin persahabatan.

Si pemuda pertama adalah seorang yang miskin, sedangkan si pemuda kedua adalah bangsawan yang kaya raya. Si pemuda yang miskin ini mempunyai cita-cita untuk menjadi dokter, namun ia tidak mempunyai biaya untuk kuliah. Tetapi,ada seorang yang murah hati, yaitu ayah dari pemuda bangsawan itu. Ia memberi beasiswa sampai akhirnya meraih gelar dokter.

Pemuda miskin yang menjadi dokter ini ini kemudian dikenal dengan nama Dr. Fleming. Penemu obat p*n*silin.

Cerita masih berlajut.

Si pemuda bangsawan masuk dinas militer dan dalam suatu tugas ke medan perang, ia terluka parah sehingga menyebabkan demam yang sangat tinggi karena infeksi. Pada waktu itu belum ada obat untuk infeksi.

Para dokter mendengar tentang p*n*silin penemuan Dr.Fleming dan mereka menyuntik dengan p*n*silin yang merupakan obat penemuan baru. Berangsur-angsur demam akibat infeksi itu reda dan si pemuda bangsawan akhirnya sembuh.

Pemuda bangsawan yang berkarir di militer ini dikenal dunia dengan nama Winston Churchill. Perdana Menteri Inggris yang termasyhur itu.

Fleming menabur kebaikan dan menuai kebaikan pula. Ia menjadi dokter. Fleming menemukan p*n*silin yang akhirnya menolong jiwa Churchil.


Semoga Bermanfaat

 _/\_

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)
« Reply #21 on: 11 November 2009, 12:52:09 PM »
Segala sesuatu yang berputar akan selalu berputar,
Jangan Pernah Berhenti


Dia hampir saja tidak melihat wanita tua yang berdiri dipinggir jalan itu,tetapi dalam cahaya berkabut ia dapat melihat bahwa wanita tua itu membutuhkan pertolongan. Lalu ia menghentikan mobil Pontiacnya di depan mobil Mecedes wanita tua itu, lalu ia keluar dan menghampirinya. Walaupun dengan wajah tersenyum wanita itu tetap merasa khawatir, karena setelah menunggu beberapa jam tidak ada seorang pun yang menolongnya. Apakah lelaki itu bermaksud menyakitinya?

Lelaki tersebut penampilanya tidak terlalu baik, ia kelihatan begitu memprihatinkan.  Wanita itu dapat merasakan kalau dirinya begitu ketakutan, berdiri sendirian dalam cuaca yang begitu dingin, sepertinya lelaki tersebut tahu apa yang ia pikirkan. Lelaki itu berkata " saya kemari untuk membantu anda bu, kenapa anda tidak menunggu didalam mobil bukankah disana lebih hangat ?

Oh ya, nama saya Bryan.

Bryan masuk kedalam kolong mobil wanita itu untuk memperbaiki yang rusak. Akhirnya ia selesai, tetapi dia kelihatan begitu kotor dan lelah, wanita itu membuka kaca jendela mobilnya dan berbicara kepadanya, ia berkata bahwa ia dari st Louis dan kebetulan lewat jalan ini. Dia merasa tidak cukup kalau hanya mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan.

Wanita berkata berapa yang harus ia bayar, berapapun jumlahnya yang ia minta tidak menjadi masalah, karena ia membayangkan apa yang akan terjadi jika lelaki tersebut tidak menolongnya. Bryan hanya tersenyum. Bryan tidak mengatakan berapa jumlah yang harus dibayar, karena baginya menolong orang bukanlah suatu pekerjaan. Ia yakin apabila menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan tanpa suatu imbalan suatu hari nanti pasti akan berbuah atas kebajikan dari amal perbuatanya.

Ia berkata kepada wanita itu " Bila Anda benar-benar ingin membalas jasa saya, maka apabila suatu saat nanti apabila Anda melihat seseorang yang membutuhkan pertolongan maka tolonglah orang tersebut "...dan ingatlah pada saya".  Bryan menunggu sampai wanita itu menstater mobilnya dan menghilang dari pandangan.

Setelah berjalan beberapa mil wanita itu melihat kafe kecil, lalu ia mampir kesana untuk makan dan beristirahat sebentar. Pelayan datang dan memberikan handuk bersih untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Wanita itu memperhatikan sang pelayan yang sedang hamil, dan masih begitu muda. Lalu ia teringat kepada Bryan. Setelah wanita itu selesai makan, dan sang pelayan sedang mengambil kembalian untuknya, wanita itu pergi keluar secara diam-diam.

Setelah kepergiannya sang pelayan kembali, pelayan itu bingung kemana wanita itu pergi, lalu ia menemukan secarik kertas diatas meja dan uang $1000. Ia begitu terharu setelah membaca apa yang ditulis oleh wanita itu: "Kamu tidak berhutang apapun pada saya karena seseorang telah menolong saya, oleh karena itulah saya menolong kamu, maka inilah yang harus kamu lakukan: "Jangan pernah berhenti untuk memberikan cinta kasih dan kasih sayang".

Malam ketika ia pulang dan pergi tidur, ia berfikir mengenai uang dan apa yang di tulis oleh wanita itu. Bagaimana wanita itu bisa tahu kalau ia dan suaminya sangat membutuhkan uang untuk menanti kelahiran bayinya?

Ia tahu bagaimana suaminya sangat risau mengenai hal ini, lalu ia memeluk suaminya yang terbaring disebelahnya dan memberikan ciuman yang lembut sambil berbisik :"Semuanya akan baik-baik saja, I Love You, Bryan"

Moral dari kisah di atas : "Segala sesuatu yang berputar akan selalu berputar", karena itu janganlah berhenti berbuat kebaikan dalam hidupmu.

Semoga bermanfaat

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)
« Reply #22 on: 12 November 2009, 10:10:15 AM »
TIDAK MENUNDA BERBUAT KEBAIKAN

Berbuat baik kepada siapa pun dan apa pun di dunia ini mendatangkan kedamaian dan kebahagiaan ke dalam hati. "Your own soul is nourished when you are kind; it is destroyed when you are cruel. – hatimu akan berbunga ketika Anda berbaik hati; tetapi kebahagiaan itu akan lenyap ketika Anda berbuat jahat.". Sebaliknya, kejahatan hanya mendatangkan kecemasan, kesedihan, dan rasa tidak nyaman lainnya.

Berikut ini kisah tentang seorang pria peruh baya yang cukup sukses berbisnis bahan-bahan kebutuhan pokok. Setiap hari ia selalu mendapatkan omzet penjualan sangat besar. Tetapi ia mempunyai sifat sombong, menang sendiri, dan tidak segan mencelakai orang lain jika berselisih paham atau bersaing dagang dengannya. Hal itu membuat pria tersebut ditakuti sekaligus dibenci orang.

Suatu saat ia mendatangi seorang peramal untuk menerka seberapa besar keberuntungan yang akan ia peroleh di tahun-tahun berikutnya. Tetapi peramal tersebut justru mengungkapkan bahwa pria itu tidak akan dapat bertahan hidup lebih dari 47 tahun. Pria yang saat itu berusia 44 tahun sangat kesal mendengar ramalan itu, lalu pergi begitu saja.

Tetapi dalam perjalanan pulang ia terus terngiang semua kata-kata yang dilontarkan oleh sang peramal. Ia menjadi tidak tenang, lalu mencoba menemui beberapa peramal lain yang tak kalah masyhur pada saat itu. Berbagai bentuk teknik ramalan, mulai dari membaca garis tangan, fengsui, baguo, bazhi (ramalan waktu lahir), semuanya mengisyaratkan bahwa usia pria itu tak akan lebih dari 47 tahun.

Meskipun sedih, ia berusaha menerima `kenyataan' bahwa sisa hidupnya hanya 3 tahun lagi. Ia mulai bersiap-siap menjelang `kematian'.
Berbagai bentuk kebaikan ia laksanakan, berharap dapat membawa amal baik sebanyak mungkin jika harus meninggal dalam waktu 3 tahun mendatang.

Sejak saat itu ia rajin beramal, membantu orang miskin di sekitar rumahnya. Ia juga tidak segan membagikan harta bendanya untuk membantu teman-teman maupun kerabat jauh yang membutuhkan bantuan. Hampir semua orang yang pernah mengenal dirinya dulu merasa heran sekaligus senang atas perubahan drastis sikapnya itu.

Masa berlalu dan usia pria itu sudah menginjak 47 tahun. Pria tersebut sudah dikenal sangat baik dan pemurah. Sedangkan bisnisnya sudah jauh lebih besar dibandingkan 3 tahun yang lalu. Anehnya sampai usianya merangkak masuk ke tahun 50, ramalan dari para peramal kesohor itu tak satu pun terbukti.

"Baiknya kamu datangi peramal-peramal itu. Obrak-abrik saja isi rumah mereka, karena mereka semua sudah berbohong padamu," celetuk sahabat karibnya bernada kesal.

Ah, tidak perlu itu. Justru aku harus berterima kasih. Karena semua ramalan itu sudah membuatku lebih baik. Badanku terasa lebih segar, bisnisku lebih maju, pikiranku lebih ringan, dan sangat banyak orang yang baik padaku dibandingkan 3 tahun yang lalu. Hidupku lebih bahagia sekarang," ucap pria itu tenang.

---
Inti pesan dalam kisah itu mengajak kita berbuat baik kepada siapa pun, apa pun dan kapan pun. Lakukan kebaikan sesegera mungkin, selagi kita mampu. Berikut beberapa hal mengapa kita sebaiknya tidak menunda untuk berbuat baik.

Kita tidak pernah dapat menebak apa yang akan terjadi 1 jam lagi, 2 jam lagi, dan seterusnya.
 
"You and I can never do a kindness too soon, for we never know how soon it will be too late.
Saya dan Anda tak pernah dapat melakukan kebaikan terlalu cepat, karena kita tak pernah tahu bagaimana ukuran terlalu cepat atau terlambat,"
Ralph Waldo Emerson.


Jangan menunda bila Anda ingin berbuat baik, karena tanpa kita sadari penundaan itu membuat kita kehilangan kesempatan. Di masa datang sangat banyak kemungkinan terjadi, misalnya Anda sudah tidak sanggup melakukannya karena sakit, tua, bangkrut, dan lain sebagainya. Kapan lagi kita dapat menikmati kebahagiaan dan kedamaian itu, jika kita tidak berbuat kebaikan sedari sekarang?

Kesempatan hidup kita sangat terbatas, sedangkan tanggung jawab yang harus kita kerjakan sangatlah banyak. Tak seorang pun mengetahui kapan kontrak hidup akan berakhir. Jika benar-benar habis masa kontrak usia kita tentu kesempatan untuk berbuat baik juga sudah hilang saat ini. Oleh sebab itu, segera gunakan kesempatan yang Anda miliki untuk berbuat baik dan jangan pernah menundanya lagi.

Selain itu, tak satu pun manusia di dunia ini yang sempurna. Semua manusia tidak luput dari  kesalahan, entah yang kita sadari atau tidak. Selayaknya kita mengimbangi kesalahan tersebut dengan perbuatan positif. Kalau kita tidak segera berbuat baik, bisa jadi kita kembali melakukan kealpaan lagi atau justru terjerembab dalam lingkaran kesalahan.

Berbuat kebaikan dengan penuh kesungguhan pasti menarik kebaikan pula kedalam kehidupan kita. Samuel Johnson mengatakan,

 "Kindness is in our power, even when fondness is not. – Kebaikan adalah kekuatan kita, sedangkan kesenangan itu bukan."

Dalam kisah di atas dikatakan bahwa pria paruh baya tersebut merasa badannya lebih sehat, hati lebih tentram, dan bisnisnya berkembang pesat setelah ia mengisi hari-harinya dengan perbuatan baik saja. Sangat banyak manfaat lainnya dari perbuatan baik kita. Semakin cepat kita memulai berbuat kebaikan, semakin cepat pula kita rasakan semua manfaat tersebut. Inilah Hukum Kamma.

Semoga Bermanfaat
« Last Edit: 12 November 2009, 10:13:08 AM by CHANGE »

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)
« Reply #23 on: 13 November 2009, 10:42:43 AM »
SUHU FENGSHUI MENGHELA NAFAS DAN PERGI

Kampung halaman saya memiliki sebuah tradisi yakni suka melihat fengshui. Suhu fengshui selamanya dihormati orang dan disebut sebagai "dewa pengamat tanah" (Kan Di Xian). Reputasi seorang suhu fengshui bisa tersohor hingga radius puluhan km, orang yang mengundang suhu fengshui mengalir terus dan berdatangan ke rumah.

Namun, di tempat tinggal kami tersiar luas sebuah kisah yang telah berlangsung 20 tahun lebih tentang seorang Kandixian (baca: gan ti sien) yang kala itu rela melepas order ilmu fengshuinya. 

Seorang manula meninggal dunia. Putranya juga seorang petani yang lugu, berusia 40 tahunan. Keluarga mereka pada awalnya adalah sebuah marga besar, makam leluhurnya pun cukup besar, maka ia berniat mencarikan ayahnya sebidang tanah makam yang agak baik, yang disebut "menghadirkan makam baru".

Kandixian diundang datang, dengan penuh hormat dipersilakan masuk rumah, dan dijamu dengan rokok dan teh bermerek. Ia mengatakan, "Orang tua saya telah berjuang seumur hidup, tanpa sempat menikmati rejeki, hati ini sungguh risau. Kini beliau telah tiada, bagaimanapun hendak mencarikan tanah makam yang agak baik, agar beliau tentram di alam baka sana, sekaligus sebagai balas budi seorang anak." 

Kandixian sudah berusia 60 tahunan, seorang kakek kurus yang penuh semangat, ia mendengar perkataan sang pelanggan, hatinya agak tersentuh. Selama puluhan tahun berpraktek melihat fengshui, sepertinya baru kali ini mendengar argumen seperti itu, hanya ingin membahagiakan orang tua yang meninggal di alam baka.

Begitu banyak putra dan cucu berbakti yang mengundangnya selama ini, yang diomongkan pasti memohon setelah kepergian orang tua di rumah tetap ada yang mempedulikan dan agar anak cucu bisa berezeki melimpah.

Yang sedang kesulitan keuangan berdalih agar memperoleh perputaran nasib yang membaik, yang sedang hidup kecukupan memohon kenaikan pangkat, yang secara turun temurun hanya punya anak tunggal yang di mohon ialah mempunyai banyak anak cucu. Hari ini petani ini tidak memohon rezeki demi anak cucu, mau tak mau membuatnya timbul respek.

Kandixian mendengar perkataan si petani itu agak mengendorkan sikapnya yang biasanya jaga jarak dan serius, ia berkata, "Fengshui baik atau buruk adalah satu hal, sesuatu yang diwariskan oleh leluhur, dipastikan terdapat prinsip di dalamnya. Yang paling utama ialah rumah tangga bisa rukun, bajik terhadap orang lain," si petani mengiyakan.

Si petani mengikutinya keliling mencarikan tanah yang cocok untuk makam ayahnya. Ketika melewati sebidang ladang jagung, di depan ada sepetak sawah kedelai, setelah itu ladang jagung lagi. Jagung itu telah tumbuh setinggi orang, di kejauhan nampak seseorang sedang memetik jagung dan mengantonginya.

Si petani menarik Kandixian ke samping, lalu ia sendiri mengendap-endap mundur ke ladang jagung. Kandixian menanyainya apa yang terjadi. Ia berbisik, "Kita tunggu sejenak ya, tunggu setelah ia selesai memetik baru kita lewat."

Kandixian memandanginya dengan penuh selidik, si petani berkata, "Begini lho, tanah di depan itu adalah milik saya, orang yang sedang mengunduh jagung itu juga berasal dari desa saya, kalau kita bergegas, ia mana bisa menghindar? Lain kali mana ia punya muka ketemu saya?"

Kandixian berkata, "Bukankah ia sedang mencuri jagungmu? Kenapa malah engkau yang bersembunyi..."

Si petani menyahut, "Bukan mencuri, sama-sama asal satu desa, ia sangat miskin, biasanya kami juga tak mampu membantunya, ia memetik beberapa potong jagung, hitung-hitung sebagai sumbanganlah ( berdana )."

Kandixian terkesiap, "Saudara, tanah makam kalian saya tidak perlu melihat lagi. Dengan mengandalkan kebesaran jiwamu ini, kebajikan ini, orang yang ramah dan baik, ayah Anda mau dikubur dimana saja pasti merupakan sebuah bidang tanah pusaka fengshui."

Sepertinya Kandixian belum mau berhenti, ia berkata lagi, "Fengshui mengutamakan arah topografi dan kestabilan serta kokohnya kontur tanah, tetapi pusaka fengshui yang paling bagus pun membutuhkan keluarga yang berakhlak dan berkebajikan barulah layak. Keluarga yang licik, tanah pusaka fengshui baikpun bisa sirna. Hati Anda begitu tulus, pasti bisa mengundang fengshui yang baik."

"Liu Bei (pendiri negara Shu di dalam roman klasik Samkok pada abad 3 Masehi) menunggang De Lu, satu rejeki cukup untuk menekan seratus musibah. Orang-orang menganggap Liu Bei berejeki besar, mana ada yang tahu bahwa Liu Bei benar-benar seseorang yang bijaksana? Ada yang mengusulkan kepadanya agar De Lu, tunggangan tua yang merepotkan pemiliknya sendiri itu, disumbangkan kepada orang lain, ketika itu langsung ditolak oleh Liu Bei."

"Ia adalah seorang yang berjiwa besar, maka itu tatkala Liu Bei berada dalam bahaya, kuda itu mampu melayang melompati kali dan telah menyelamatkan jiwanya. Liu Bei sanggup mendirikan negeri Shu meski situasi dan kondisi negeri sedang kalut, seluruhnya berasal dari kebesaran jiwanya."

"Sebetulnya fengshui juga memiliki dalil yang sama, manusia yang sungguh-sungguh baik hati dan bermoral, fengshuinya tidak perlu dilihat. Anda adalah orang baik pertama yang pernah saya jumpai, fengshui untuk ayah Anda tidak perlu dilihat lagi. Kelak bagaimana menjadi manusia, saya perlu belajar dari Anda."

Usai berkata, ia membalikkan tubuh dan pergi tanpa pernah menoleh lagi ke belakang.

Semoga Bermanfaat

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)
« Reply #24 on: 17 November 2009, 09:15:08 AM »
Menuai Cinta Kasih

Sebuah cerita dari Tiongkok, Di sebuah daerah tinggal seorang saudagar kaya raya. Dia mempunyai seorang hamba yang sangat lugu - begitu lugu, hingga orang-orang menyebutnya si bodoh.

Suatu kali sang tuan menyuruh si bodoh pergi ke sebuah perkampungan miskin untuk menagih hutang para penduduk di sana. "Hutang mereka sudah jatuh tempo," kata sang tuan.

"Baik, Tuan," sahut si bodoh. "Tetapi nanti uangnya mau diapakan?"

"Belikan sesuatu yang aku belum punyai," jawab sang tuan.

Maka pergilah si bodoh ke perkampungan yang dimaksud. Cukup kerepotan juga si bodoh menjalankan tugasnya; mengumpulkan receh demi receh uang hutang dari para penduduk kampung. Para penduduk itu memang sangat miskin, dan pula ketika itu tengah terjadi kemarau panjang.

Akhirnya si bodoh berhasil jua menyelesaikan tugasnya. Dalam perjalanan pulang ia teringat pesan tuannya, "Belikan sesuatu yang belum aku miliki."

"Apa, ya?" tanya si bodoh dalam hati.

"Tuanku sangat kaya dan pintar, apa lagi yang belum dia punyai?"

Setelah berpikir agak lama, si bodoh pun menemukan jawabannya. Dia kembali ke perkampungan miskin tadi. Lalu dia bagikan lagi uang yang sudah dikumpulkannya tadi kepada para penduduk.

"Tuanku, memberikan uang ini kepada kalian," katanya.

Para penduduk sangat gembira. Mereka memuji kemurahan hati sang tuan.

Ketika si bodoh pulang dan melaporkan apa yang telah dilakukannya, sang tuan geleng-geleng kepala.

"Benar-benar bodoh," omelnya.

Waktu berlalu. Terjadilah hal yang tidak disangka-sangka; pergantian pemimpin karena pemberontakan membuat usaha sang tuan tidak semulus dulu.

Belum lagi bencana banjir yang menghabiskan semua harta bendanya.

Pendek kata sang tuan jatuh bangkrut dan melarat. Dia terlunta meninggalkan rumahnya. Hanya si bodoh yang ikut serta. Ketika tiba di sebuah kampung, entah mengapa para penduduknya menyambut mereka dengan riang dan hangat; mereka menyediakan tumpangan dan makanan buat sang tuan.

"Siapakah para penduduk kampung itu, dan mengapa mereka sampai mau berbaik hati menolongku?" tanya sang tuan.

"Dulu tuan pernah menyuruh saya menagih hutang kepada para penduduk miskin kampung ini," jawab si bodoh.

"Tuan berpesan agar uang yang terkumpul saya belikan sesuatu yang belum tuan punyai. Ketika itu saya berpikir, tuan sudah memiliki segala sesuatu. Satu-satunya hal yang belum tuanku punyai adalah cinta kasih di hati mereka. Maka saya membagikan uang itu kepada mereka atas nama tuan. Sekarang tuan menuai cinta kasih mereka."

Semoga bermanfaat

Cerita ini dihubungkan dengan cerita berikutnya dan temukan benang merahnya.

 _/\_

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)
« Reply #25 on: 17 November 2009, 09:25:30 AM »
Kisah nyata ini adalah merupakan TEGURAN BATHIN untuk kita semua ( termasuk teguran untuk saya pribadi ), kisah ini cukup memberikan inspirasi didalam berperilaku.

INSPIRASI

Arthur ( wartawan freelance ) sering kali melewati jalanan ini, hari itu di pinggir jalan duduklah seorang pengemis buta, dia membungkukkan punggungnya, tangannya sedang memainkan biola geseknya.

Hari pertama ada dua orang ibu pembeli sayur melewatinya, mereka memandang sejenak kepada penggesek biola itu, dan secara bersamaan meraba ke dalam saku.

Salah satu ibu lebih cepat dia melemparkan satu uang koin ke dalam mangkok. Ibu yang satunya ketika akan membuka dompet, dicegah oleh temannya dan berkata, "Sedekah ini punya kita berdua, kamu tidak perlu kasih lagi."

Ibu yang satunya berkata, "Saya saja yang beri, saya saja yang beri." Namun sampai akhirnya tidak mengeluarkan uang satu sen pun. Melihat hal ini Arthur sangat geli, ibu yang pertama menggunakan uang 5 sen sebagai pemberian, sedangkan ibu yang kedua juga agak pelit, jika dia memberi lagi satu dollar bagi orang miskin, dia juga tidak akan merasa kelebihan atau kaya.

Hari kedua berikutnya, di depan si pengemis itu lewat seorang wanita yang berdandan sangat modis. Setelah beberapa langkah melewati penggesek biola itu, dia kembali lagi dan mengeluarkan satu bungkus roti dari dalam kantong plastik, kemudian dia letakkan di dada si pengemis. Setelah itu ..tok..tok…tok dia pergi menjauh.

Arthur bergumam, "Wanita modis ini ternyata memiliki hati yang belas kasih, akan tetapi apakah bukan karena dia merasa roti itu tidak enak, sehingga merasa sayang kalau dibuang?"

Hari ketiga ada seorang pria yang berperut buncit dan berkepala botak melewati si pengemis. Dengan penuh rasa ingin tahu dia berdiri sejenak lalu mengeluarkan dompet yang dia ikat di pinggangnya. Dia memberikan selembar uang 10 dollar dan dimasukkannya ke dalam mangkuk.

Arthur menganalisa, pria itu sepertinya orang kaya, semua orang berkata bahwa, orang kaya yang jalannya serong, kebanyakan tidak berhati baik. Orang ini sepertinya dapat dikecualikan, akan tetapi uang 10 dollar bagi orang kaya itu sungguh tidak ada artinya. Mungkin saja dia ingin memamerkan keunggulan dirinya di depan orang lain.

Hari keempat sepasang ibu dan anak lewat di situ. Si anak melihat banyak orang sedang melemparkan koin kepada si pengemis, dia pun juga merengek meminta uang kepada ibunya. Ibunya berkata sambil berjalan, "Setelah ini kamu harus belajar dengan baik, jika tidak nanti akan seperti pengemis itu." Begitu mendengar ucapan si ibu itu, Arthur kembali mengeluh.

Malam harinya, berdasarkan pengamatan Arthur selama beberapa hari terhadap orang-orang berbeda yang memiliki sikap yang berbeda dalam menghadapi si pengemis, dia menuliskan penemuan dan analisanya ke dalam sebuah artikel dan dikirimkannya ke sebuah tabloid.

Ketika artikelnya dimuat dalam tabloid dia menunjukkan KARYA BESARNYA pada anaknya  ( dengan BANGGA atau SOMBONG ) yang sedang berpikir keras membuat sebuah karangan.

Arthur membimbing dan berkata pada anaknya, "Apa yang disebut inspirasi?
Inspirasi adalah hasil dari rajin mengamati ditambah dengan rajin berpikir panjang.." Dia menarik kesimpulan mengenai hal-hal lain berdasarkan satu hal, kemudian anaknya berangsur angsur mengerti.

Satu jam kemudian anak itu memperlihatkan karangan yang telah selesai dikerjakan kepada ayahnya. Judulnya adalah "Penemuan dan Pemikiran Panjang Dalam Kehidupan". Di dalamnya terdapat tulisan yang berbunyi demikian:

"Dalam kehidupan ada sebagian orang senang mengambil posisi dari atas melihat ke bawah dan memberikan komentar-komentar terhadap hal-hal di sekelilingnya. Namun dia justru terkadang lupa untuk membuat pertimbangan atas dirinya sendiri. Misalnya ada seorang penulis yang saya kenal baik, ketika dia di jalanan melihat seorang pengemis buta yang menggesek biola sebagai mata pencahariannya, penulis itu mengeluhkan berbagai macam sikap orang terhadap si pengemis, dan telah memberikan analisa dan komentarnya yang sangat mendalam. Akan tetapi dia sendiri sejak awal hingga akhir tidak pernah menyedekahkan uangnya satu sen pun kepada si pengemis itu…"

Setelah Arthur membaca karangan anaknya tersebut, dia terdiam dan termenung lama sekali. Dan tidak mengeluarkan sepatah katapun dan merasa malu.

Apakah kita terinspirasi dengan sikap dan perilaku Arthur ?

Semoga Bermanfaat.

 _/\_

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)
« Reply #26 on: 18 November 2009, 10:46:03 AM »
Hal ini yang perlu diperhatikan dalam bathin, selama berbuat baik, mungkin artikel ini adalah repost, tetapi bertujuan untuk penyeimbang artikel-artikel  diatas.

Apa Yang Kita Sombongkan?


Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru tertegun keheranan. Dia melihat Sang Guru sedang sibuk bekerja; ia mengangkuti air dengan ember dan menyikat lantai rumahnya keras-keras. Keringatnya bercucuran deras.

Menyaksikan keganjilan ini orang itu bertanya, “Apa yang sedang Anda lakukan?”

Sang Guru menjawab, “Tadi saya kedatangan serombongan tamu yang meminta nasihat. Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi mereka.

Mereka pun tampak puas sekali. Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba saya merasa menjadi orang yang hebat. Kesombongan saya mulai bermunculan. Karena itu, saya melakukan ini untuk membunuh perasaan sombong saya.”

Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang benih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari.

Di tingkat terbawah, sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.

Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.

Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor kebaikan. Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah dan dermawan, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.

Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.

Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Pada tataran yang lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence) . Akan tetapi, begitu kedua hal ini berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan kesombongan. Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu jelas.

Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang kita butuhkan dalam hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa kita memerlukan lebih banyak lagi.

Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi ego inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem suka) dan kebencian (ekstrem tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan.

Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan menuju kesadaran sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua perubahan paradigma yang perlu kita lakukan.

Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual. Kesejatian kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana untuk hidup di dunia. Kita lahir dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akan mati dengan tangan kosong.

Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat semua makhluk dalam kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan, label, dan segala “tampak luar” lainnya. Yang kini kita lihat adalah “tampak dalam”. Pandangan seperti ini akan membantu menjauhkan kita dari berbagai kesombongan atau ilusi ego.

Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik ( kusala kamma) yang kita lakukan, semuanya itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri.

Kita memberikan sesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri.

Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi. Energi yang kita berikan kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi itu akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang kita lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, makna hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri ( mendapat manfaat bagi diri sendiri ). INILAH HAKIKAT SEJATI HUKUM KAMMA.

Kalau begitu, apa yang harus kita sombongkan?

Semoga Bermanfaat

 _/\_

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)
« Reply #27 on: 21 November 2009, 08:46:54 AM »
Wejangan ini sebagai peyeimbang atas tindakan kita

SAAT AKU BERHENTI, PENDERITAAN BERHENTI

Oleh: YM. Sri Paññāvaro Mahāthera

Ibu, Bapak & Saudara,

Pada saat Guru Agung Buddha Gotama membabarkan Dhamma, atau Dharma, untuk pertama kali, yang dikenal dengan “Memutar Roda Dhamma”, Dhamma-cakka-ppavattana, beliau membabarkan empat Kebenaran Mulia, Cattāri Ariya Saccāni. Kalau Empat Kebenaran Mulia ini boleh diringkas—dan yang meringkas adalah Guru Agung kita sendiri—maka ringkasan itu menjadi kalimat yang sederhana. Guru Agung kita pernah menyampaikan kalimat itu kepada Bhikkhu Anuradha. Guru Agung kita mengatakan, “Pubbe cāhaṃ Anurādha, etarahi ca dukkhañce va paññāpemi dukkhassa ca nirodhan’ti.” Artinya, “O, Anuradha, dahulu dan sekarang, hanya ini yang Kuajarkan: dukkhañce va paññāpemi dukkhassa ca nirodha, tentang dukkha/penderitaan dan tentang lenyapnya penderitaan.” Jadi kalau Empat Kebenaran Mulia, Cattāri Ariya Saccāni, diringkas, kepada Bhikkhu Anuradha Guru Agung kita mengatakan, “Dulu dan sekarang, yang Kuajarkan hanyalah penderitaan dan lenyapnya penderitaan.”

Ibu, Bapak & Saudara,

Uraian malam hari ini memang tidak begitu sederhana, sulit. Tidak berlebihan bila saya memohon dengan hormat dengan kerendahan hati perhatian Ibu, Bapak & Saudara. Kami mengira, Asadha Agung yang diisi dengan Dhamma-sakaccha, berbincang-bincang tentang Dhamma, akan dihadiri oleh dua ratus sampai tiga ratus orang; tetapi malam ini hadir dua ribu sampai tiga ribu orang. Tentu tidak mudah untuk memaparkan, menyampaikan, menjelaskan pokok dasar ajaran Guru Agung kita kalau tanpa perhatian seksama. Oleh karena itu harapan saya, semogalah Ibu, Bapak & Saudara bisa memberikan perhatian kepada uraian kami malam hari ini.

Ibu, Bapak & Saudara,

Persoalannya sekarang adalah tidak ada seorang pun yang senang menderita, semua orang emoh dukkha, apa pun agama, kepercayaan, golongan dsb. Siapakah di antara kita yang ingin menderita, yang senang menderita? Tidak ada seorang pun yang senang menderita, semuanya tidak ingin, tidak senang menderita. Semuanya ingin melenyapkan penderitaan.

Ibu, Bapak & Saudara,

Mohon maaf, kalau saya harus menyampaikan, tetapi keinginan tinggallah keinginan, Ibu, Bapak & Saudara. Kita sering tidak sungguh-sungguh melenyapkan penderitaan. Kita tidak senang menderita, kita emoh menderita, tetapi kita tidak sungguh-sungguh melenyapkan penderitaan. Apa yang kita lakukan? Yang kita lakukan hanya menutup-nutupi penderitaan, tidak melenyapkan penderitaan.

Saya akan mulai dengan tidak berbuat buruk, karena perbuatan buruk menimbulkan kesedihan, korban, diri sendiri, demikian juga orang lain. Tidak usah harus menganut Agama Buddha, tapi saya mohon kalimat ini jangan dipotong, ikuti kalimat selanjutnya. Agama apa pun yang dianut, tidak harus mengerti hukum karma, hukum sebab-akibat; mengerti hukum karma atau tidak meyakini hukum karma, mengerti anicca atau tidak mengerti anicca, mengerti dan meyakini anatta atau tidak mengerti anatta sama sekali, tidak soal, Saudara. Tapi kalau membuat bom, itu buruk. Siapa pun, apa pun agamanya, apa pun keyakinannya, menimbulkan korban, menimbulkan kesedihan, menghancurkan. Tetapi, apa pun keyakinannya, mengerti anatta atau tidak mengerti anatta, mengerti hukum karma atau menolak hukum karma, kalau orang berbuat yang baik, yang bajik, mengendalikan dirinya dari perilaku yang buruk, menolong, membantu, meringankan mereka yang menderita, perbuatan mereka adalah perbuatan yang baik. Kebaikan membawa manfaat bagi orang banyak. dan kebaikan membawa manfaat bagi dirinya sendiri. Keburukan tidak hanya merugikan dirinya, tetapi setiap perbuatan yang buruk tentu memakan korban. Dari yang sederhana, mencaci maki, memfitnah, mencuri, berselingkuh, menyeleweng, berbohong, tidak jujur, sampai kepada pembunuhan dsb, mesti membawa korban, istri, anak, suami, lingkungan dan orang banyak.

Tetapi, Saudara, izinkan saya masuk kepada yang lebih dalam lagi. Tetapi, dengan tidak berbuat buruk, yang menghancurkan kehidupannya sendiri dan merugikan orang lain, dengan banyak berbuat bajik, banyak berbuat baik, tidak menyelesaikan penderitaan. Saya mengulangi kalimat ini: ya, menghindari keburukan, mengendalikan diri dari perbuatan buruk, yang menghancurkan orang lain, yang membawa korban, ya; dan berbuat bajik, berbuat baik semaksimal mungkin, benar; tetapi tidak berbuat buruk dan berbuat bajik tidak mampu melenyapkan penderitaan. Berbuat bajik berguna, benar; berbuat bajik membawa kemajuan, kelancaran, kebahagiaan, benar; keburukan menghancurkan, keburukan merugikan, benar sekali; tetapi apakah kebahagiaan kekal? Apakah kelancaran, kenyamanan itu bisa melenyapkan penderitaan untuk tidak timbul kembali? Tidak. Saya ingin memberikan ilustrasi yang sederhana.

Ibu, Bapak & Saudara,

Saudara sudah mempunyai tekad yang kuat, samādhāna, untuk tidak berbuat buruk. – “Apakah ini tidak terpuji, Bhante?” – Terpuji. Kemudian, Ibu/Bapak banyak menanam kebajikan, menolong, beramal. – “Apakah itu tidak terpuji, Bhante?” – Sangat terpuji. Tetapi, suatu saat Ibu memberikan satu bungkus roti yang enak kepada orang yang tidak Ibu kenal, tetapi Ibu berjumpa di mal, atau di airport, di stasiun, di terminal. Orang ini miskin tampaknya, menderita, kusut, Ibu memberikan satu dos besar berisi roti yang enak itu yang tentu Ibu punya perkiraan orang seperti itu tidak sering makan roti seperti ini, dan Ibu memberikan dengan terbuka, “Ini untuk kamu, makanlah.” Orang ini hanya berkata, “Terima kasih, Bu” – selesai. Ibu, Bapak & Saudara bisa mendongkol, “Kenapa orang ini tidak menunjukkan ekspresi yang terkejut, ‘Ooo, luar biasa hari ini, Bu, makanan yang sangat enak.” Ibu, Bapak & Saudara mengharapkan respons, tanggapan seperti itu dari orang yang menerima hadiah satu dos besar roti yang sangat enak. Ibu, Bapak & Saudara tidak mendapatkan itu. “Aku tidak dihargai” – pada saat itu penderitaan muncul, sekalipun Ibu, Bapak & Saudara tidak berbuat buruk dan sering berbuat baik.

barsambung

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)
« Reply #28 on: 21 November 2009, 08:48:02 AM »
Ibu, Bapak & Saudara,

Contoh yang kedua, mungkin lebih jelas. Ibu, Bapak & Saudara pergi ke mal; sekarang ada supermal, hipermal. Ini memerlukan pengendalian diri yang kuat; kalau orang pergi ke mal, niatnya tidak beli, juga nanti akhirnya beli. Ibu, Bapak & Saudara melihat sebuah barang yang bagus, “O, bagus juga ini untuk dibeli.” Harganya tidak murah, tidak hanya sekadar ratusan ribu, jutaan, puluhan juta rupiah. Pada saat Ibu, Bapak & Saudara mengagumi benda itu, ada orang berjalan, karena slebor, karena pakaiannya kedodoran, menyerempet benda itu dan jatuh, … prangngng, pecah. Ibu, Bapak & Saudara bersedih, “Aduh, hmmm … sayang sekali, orang itu sembrono. Dan buru-buru Ibu, Bapak & Saudara menyingkir, jangan sampai ikut dituduh memecahkan benda itu. Biar orang itu yang menanggung, membayar harga barang yang pecah itu. Tetapi, kalau benda ini jadi Ibu beli, Bapak atau Saudara beli—saya harus menyebutkan lengkap supaya tidak terkesan yang tukang shopping itu ibu-ibu saja—sangat mahal, berharga, langka, dan uang yang dikeluarkan cukup banyak, sekian belas juta, dan benda itu kemudian dibawa pulang dengan hati-hati sampai di rumah. Setelah sampai di rumah beberapa hari, karena beberapa hal, benda ini juga jatuh … prangngng, pecah. “Aduhhh …”, penderitaan luar biasa; dan kejahatan bisa muncul: caci maki, sumpah serapah, apalagi kalau yang memecahkan itu pembantu atau karyawan. Kalau yang memecahkan dirinya sendiri, penderitaannya saaangat hebat … Mengapa? Mengapa? … Dibandingkan pada waktu benda yang sama pecah ketika masih di toko? Pada waktu masih di toko, belum ada hubungan antara Anda dengan benda itu. Setelah Anda membeli dan membawa ke rumah, sekarang ada hubungan, ‘benda itu benda-KU’. Barang yang mahal itu sekarang milik-KU. Kemelekatan itulah yang membuat kita menderita, bukan persoalan kita sudah tidak berbuat jahat yang membuat kita tidak menderita. Dan kemelekatan yang terbesar bukan kemelekatan kepada bendanya, melainkan kemelekatan kepada AKU. Aku sudah memiliki benda itu; sekarang benda itu hancur, maka robeklah aku-KU. Itulah sumber penderitaan itu, Ibu, Bapak & Saudara. Tidak bisa dilenyapkan dengan tidak berbuat buruk dan banyak berbuat baik, banyak berbuat amal saja. Selama masih ada kelengkatan, kelekatan kepada benda-benda, kepada hawa nafsu, dan terutama kepada AKU, penderitaan tidak akan berakhir. Kesenangan, kenyamanan, kebahagiaan karena berbuat bajik hanya menutupi penderitaan, tidak menyelesaikan penderitaan.

Ada seseorang yang sudah berjasa besar, kepada yayasan, kepada organisasi sosial, kepada vihara, kepada tempat ibadah yang lain. Pada waktu upacara besar seperti ini, ia datang terlambat. Kursi yang di depan sudah penuh. Orang ini terpaksa duduk di belakang. Apakah ada kejahatan yang dilakukan? O, tidak. Dia donatur yang luar biasa. Dia beramal, dia membantu; hanya dia datang terlambat. Kursi yang di depan penuh, dia duduk di belakang. Dia sangat menderita, Saudara. Acara selesai, dia telepon panitia, “Kenapa saya didudukkan di belakang? Panitia harus tulis surat minta maaf kepada saya.” – “Apakah benar, Bhante?” – Benar, Saudara. Ini bukan cerita buatan, bukan fitnah, bukan gosip. [tawa & tepuk tangan  :)) :)) :)) :)) =D> =D> =D> =D>]

Ibu, Bapak & Saudara,

Dari kisah nyata ini Saudara bisa melihat, tidak ada keburukan yang dilakukan oleh ibu atau bapak ini; kebajikan, sumbangan, amal yang diberikan, tetapi dia sangat melekat kepada akunya, dia tidak bebas dari penderitaan yang dibuat sendiri. Apalagi kalau dia tahu, karena panitia sudah mengatakan, “Bapak/Romo nanti duduk di depan; kursinya sudah ditulis nama—saya mau ambil contoh, menggunakan Romo Ponijan saja [tawa :)) :)) :))]—kemudian Romo Ponijan ini datang terlambat; dia lihat-lihat, longak-longok, kursi di depan sudah penuh semua; kursi yang sudah ditulis nama, Mr./DR. Ponijan, sudah diduduki orang lain; … penderitaan, Saudara, luar biasa. [tawa :)) :)) :))] Apakah dia orang jahat? Tidak. Apakah dia orang baik? Ya. Dia banyak beramal, berdana, menyumbang, menyokong, menyumbangkan pikiran, ide-ide, membantu, tetapi dia membuat penderitaan untuk dirinya sendiri. Tidak hanya melekat kepada kursi, tetapi melekat kepada keakuannya sendiri. Coba, kalau Romo Ponijan ini orang yang sangat dikenal, orang baik, kedudukannya tinggi, pandai, kursinya di depan ditempati orang lain, beliau duduk di belakang. Orang-orang tahu, “Oh, Romo kok ada di sini?” – “Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa. Saya juga manusia biasa, saya di sini dengan Saudara.” – Aduuuh, … namanya akan diangkat naik. Tetapi, meskipun Romo Ponijan melakukan kebajikan, jasanya besar, kalau kebakaran jenggot karena tidak bisa duduk di depan, namanya akan dijatuhkan. Itu hukum masyarakat, Saudara. Kalau dia menerima duduk di belakang, humble, rendah hati, “Biar, biar, saya juga manusia biasa seperti Saudara, saya duduk di sini, nyaman,” – Ooo, manusia-manusia lain, teman-teman lain mengatakan, “Ooo, Pak Ponijan hebat.”

Kemudian, lain waktu Romo Ponijan datang; ia sudah diberi tahu, tempat duduknya di depan, dan akan dijaga oleh panitia, tidak boleh diduduki orang lain, supaya nanti kalau dia datang terlambat, tempat duduknya tidak diduduki orang lain; dia datang terlambat, dan dia sengaja memilih tempat duduk di belakang. Panitia tahu, panitia menarik-narik, “Ayo, ayo, Romo di depan, tidak ada yang menduduki.” – “Tidak apa-apa, saya di belakang saja,” dalam hati “Supaya saya kelihatan rendah hati, biar dihormati orang banyak,” [tawa & tepuk tangan :)) :)) :)) :)) =D> =D> =D> =D>] – itu keakuan juga. Keakuan adalah sumber, kalau keakuan lahir—di mana lahirnya keakuan, di pikiran kita—penderitaan mulai. Kalau keakuan tidak lahir, penderitaan tidak dimulai, tidak muncul penderitaan. Romo Ponijan datang terlambat, mengambil tempat duduk di belakang, tanpa keakuan, “Ya, di depan sudah penuh, saya di belakang,” – tidak ada beban, tidak kebakaran jenggot, tidak ada aku yang lahir—“Aku disingkirkan, aku didudukkan di belakang, kursiku diserakahi orang lain”—tidak ada keakuan yang lahir, tidak ada penderitaan. Pada waktu acara yang kedua dia datang, kemudian panitia menerima dia, mendudukkan Romo Ponijan di depan, dia terima dengan wajar; dia tidak bersitegang dengan panitia, “Aku di belakang saja, aku mau rendah hati,” tidak; dia terima di depan tanpa lahirnya keakuan. Kalau keakuan tidak lahir, penderitaan tidak mengikuti. Pada saat aku lahir, penderitaan mulai.

Oleh karena itu, Ibu, Bapak & Saudara, dengan kalimat yang singkat, tidak berbuat buruk sangat terpuji karena keburukan itu juga anak-cucu keakuan. Berbuat kebajikan sangat, sangat terpuji; tetapi tidak cukup, kalau akar penderitaan tidak dicabut. Akar penderitaan adalah upādāna, attachment; dan kelekatan yang paling besar adalah kelekatan pada keakuan kita.

Contoh yang terakhir: saya membawa benda yang sangat berharga sekali, khususnya untuk umat Buddha. Umat Buddha biasanya kan tergila-gila dengan relik. Saya sebetulnya tidak enak menggunakan contoh ini, tetapi ini paling jelas. Apalagi kalau Saudara belajar Zen, contohnya keras: kalau Anda ketemu Buddha, bunuh Buddha, bagi dunia kita mungkin … . Ini, benar atau tidak dianggap saja gigi Guru Agung kita. Kita melihat, “Aduuuh, luar biasa.” – lalu saya lanjutkan pernyataan ini, “Ini akan saya hadiahkan ke Vihara Sakyamuni,” … “Aduuuh, relik milik-KU” – keakuan mulai muncul, penderitaan mulai. Tetapi, di dalam ini ada yang besar ada yang kecil. Yang kecil nanti—karena banyak jasanya, karena pemimpin, meskipun kecil tetapi pemimpin besar—saya akan hadiahkan kepada Sudiarta, “Aduuuh … aku dapat” [tawa :)) :)) :)) :))] – aku lahir, penderitaan mulai. Kemelekatan mulai, penderitaan menjadi lebih besar. … Bukan, Saudara, ini bukan relik, ini obat senggruk (inhaler). … [tawa & tepuk tangan :)) :)) :)) :)) =D> =D> =D> =D>]

Ibu, Bapak & Saudara,

Sekarang persoalannya, bagaimana membuang keakuan. Dalam bahasa yang kasar, wong keakuan itu tidak nyata, tidak riil. Keakuan itu kan buatan pikiran kita sendiri. Kalau kita sedang asyiiik, melihat sesuatu yang indah sekali, relik yang langka, dengan kaca pembesar, keakuan tidak muncul. Begitu ada pernyataan, “Ini nanti milikmu, kok,” … naaah … keakuan muncul. Karena ada rangsangan, ada kondisi, ada suara yang kita dengar, ada pernyataan, bahasa yang kita mengerti, keakuan muncul, penderitaan mulai. Sama halnya dengan kalau Anda, Ibu, Bapak & Saudara, disakiti. Ibu, Bapak & Saudara meneliti, meneliti, memeriksa, “Saya ini berada di pihak yang benar”, ia benar-benar menyakiti, memfitnah. “Aku tersinggung; kebenaran dan keadilan harus ditegakkan.” – Tetapi, bagaimana kalau sebaliknya, Ibu, Bapak & Saudara? Orang lain sungguh-sungguh benar, dan Ibu, Bapak atau Saudara sungguh-sungguh salah. Apakah kebenaran & keadilan juga harus ditegakkan? – “Yah, Bhante, kita anggap dia Arahat sajalah; tidak usah menuntut saya, keakuan.”

Ibu, Bapak & Saudara,

Keakuan tidak bisa dilenyapkan hanya karena kita tidak ingin keakuan. – “Ooo, ya, Bhante; malam hari ini saya sudah cerah, jelas sekali: penderitaan yang bermacam-macam, dari yang paling kecil sampai yang kompleks, itu akarnya dari keakuan. Jelas, Bhante, jelas; aku sudah emoh keakuan. Gilo aku, jerih aku, jeleh aku.” – Hanya dengan tidak ingin keakuan, keakuan tidak bisa lenyap. Nemplek saja; karena kelengketan, attachment, kelekatan kita pada keakuan itu sangat kuat.

“Bhante, kalau orang belajar anatta, sunyata, tidak ada aku, itu hanya perpaduan yang terus berubah; aku yang abadi, yang sejati itu tidak ada, aku-ku, Bhante, jelas; anatta, sunyata, semua bergerak setiap saat, tidak ada yang berhenti, tidak ada inti, apakah itu tidak cukup?” – Sangat tidak cukup! Pengetahuan metafisis, pengetahuan intelektual metafisis, tidak bisa menghancurkan keakuan. Berapa juta tokoh Buddhis yang tidak mengerti anatta, hampir semua umat Buddha mengerti anatta, tapi, oooh, akunya gede-gede. – “Apakah bisa dilihat, Bhante?” – Tidak usah ditanyakan, Saudara bisa merasakan sendiri.

Kami selesai berbicara di suatu tempat; selesai itu, kami diantar pulang naik kendaraan; orang Jawa bilang, nguntapke; nguntapke itu mengantarkan sampai di kendaraan. “Ya, anumodana, terima kasih.” Tiba-tiba ada seorang tokoh yang mengatakan, “Bhante, saya ini bekerja mati-matian, Bhante, mempertahankan vihara ini. Pengurus yang lampau, pendiri yang lampau sudah tidak ada, tinggal saya. Saya ini tekun, tekun ini mati-matian saya mempertahankan vihara ini, Bhante.” – Eee, tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba kok keakuannya muncul orang ini. Saya tidak enak, Ibu, Bapak & Saudara, akan mengatakan begini, “Wah, Bu, mbok akunya itu dikecilkan,” tidak enak saya. Jadi saya menggunakan kalimat yang lain, “Pak, Bu, cobalah melatih vipassana.” – Jadi, nanti kalau Bhikkhu Pannavaro menganjurkan Anda melatih vipassana, tahu sendiri, Saudara, apa maksudnya. [tawa & tepuk tangan :)) :)) :)) :)) =D> =D> =D> =D>] Tetapi orang itu tidak mengerti, orang itu tidak mengerti: “O ya, Bhante, kalau ada latihan vipassana, saya ini yang bekerja keras, Bhante, mengkoordinir semuanya ini.” – Waduh, ya sudah … ampunilah Maha Dewa … dia tidak mengerti apa yang saya maksud. [tawa :)) :)) :)) :))]

Ibu, Bapak & Saudara,

Bagaimana mengurangi keakuan, merontokkan keakuan? Dengan menyadari, dengan memperhatikan, mengawasi. Jadi, kalau keakuan Saudara muncul, “Aku sudah selesai menjalankan kewajibanku sebagai ketua panitia, aku sudah selesai memenuhi janji, aku sudah selesai menulis buku, aku sudah selesai membayar lunas uang masuk anakku yang mau masuk perguruan tinggi, aduh, sebagai ayah aku merasa lega” – tidak dikeluarkan, tidak diucapkan, tetapi muncul dalam pikiran. Waspada! – “Diberantas, Bhante?” – Tidak usah. – “Lho, katanya aku berbahaya, kok tidak boleh diberantas?” – Amat-amati saja, ketahui saja, “Oh, pikiran muncul.” Selesai. Selesai, Saudara. Itulah sati, itulah awareness. Tidak usah dianalisis, “Kok aku saya muncul, dari mana tiba-tiba aku ini kok muncul; aku sudah kenal Agama Buddha dua puluh tahun, akuku kok masih gede-gede, tidak usah. Aku malu, aku ini harus dihantam, aku harus dimengerti, dengan anatta, tidak benar, aku ini salah,” – lha, nanti pikirannya ribut sendiri, perang sendiri di dalam pikiran, ramai di dalam pikirannya, bertengkar sendiri. – “Jadi bagaimana, Bhante?” – Dilihati saja, “Oh, aku muncul.” Selesai. – Mudah, Saudara? Tidak mudah. … Tidak perlu doa, tidak perlu paritta, tidak perlu menyebut Buddha, Dhamma, Sangha, tidak perlu ingat Triratna, tidak perlu ingat anatta. Mungkin seseorang tidak mengerti anatta sekalipun, tetapi kalau keakuannya muncul, dia ngonangi—ngonangi berarti mengetahui—akunya muncul, dia mengetahui, akunya muncul, dia menyadari, akunya muncul, dia menyadari. Itulah cara dukkha-nirodha, lenyapnya penderitaan, dengan mencabut akar penderitaan, kelengketan pada keakuan.

Ibu, Bapak & Saudara,

Di lain kesempatan, Guru Agung kita menjelaskan secara singkat dengan kalimat yang lain. Kalau di depan beliau menjelaskan, dulu, awal Guru Agung kita memberikan khotbah, sampai kemudian akan menutup mata, hanya dukkha, penderitaan dan lenyapnya penderitaan yang beliau ajarkan, tidak ada lain. Dalam kalimat yang lain, Guru Agung kita juga menyebutkan, “Seyyathāpi, bhikkhave, mahāsamuddo ekaraso loṇaraso, evam-eva kho, bhikkhave, ayaṃ dhamma-vinayo ekaraso vimuttiraso.” Sang Buddha mengatakan, “Para bhikkhu, mahasamudra, mahasamuddo, mempunyai ekaraso, rasa yang satu, loṇaraso, asin, rasa garam; demikian juga, ayaṃ dhamma-vinayo, demikian juga ajaran yang kuajarkan ini, ekaraso, mempunyai rasa yang satu, vimuttiraso, rasa kebebasan.”

Itulah, Ibu, Bapak & Saudara, yang diwariskan oleh Guru Agung kita, yang dipelihara, disimpan oleh Sangha, dan kemudian kami mewariskan kepada Ibu, Bapak & Saudara. Tidak mudah, tidak mudah. Apalagi kalau ingin menunjuk keakuan, aduh, tidak mudah, Saudara. Sering seseorang yang ditunjuk keakuannya, bukan keakuannya menjadi berkurang, malah keakuannya berkobar-kobar. Sabaar, sabaar … jururawat-jururawat, mantri-mantri ini harus sabar. Sabaar … ini diberi obat yang mujarab, malah marah.

Ibu, Bapak & Saudara,

Saya ingin menutup dengan satu cerita lagi. Seorang psikiater menjadi bhikkhu, gurunya adalah Lama Zopa Rinpoche. Ia adalah seorang New Zealand atau Australia. Pada suatu saat ia ditugaskan di suatu daerah. Daerah ini sulit sekali. Dari dimusuhi, tidak di-welcome, dia menjalin hubungan, menunjukkan simpati, ketulusan, sampai masyarakat di sana menerima bhikkhu ini. Setelah selang beberapa lama, tidak singkat, hampir sepuluh tahun, dia menulis otobiografinya, dia berhasil membangun sebuah vihara. Aduh, alangkah puasnya. Prestasi yang sangat besar, Saudara. Bayangkan, orang yang dimusuhi, dicurigai, sampai berhasil diterima oleh masyarakat itu dan membangun vihara yang besar. Tiga hari sebelum peresmian, Lama Zopa Rinpoche meminta bhikkhu itu pindah, ke negara lain. Pada saat peresmian, yang berdiri di podium memberikan sambutan bhikkhu lain. Kalau Saudara-Saudara dibegitukan, kira-kira bagaimana, Saudara? Mungkin Saudara akan menulis surat pembaca, <<i>tawa :)) :)) :)) :))> “Bhante ini, bhante itu, Bhante Pannavaro sewenang-wenang, tidak adil, tidak tahu jasa, tidak menghargai perjuangan muridnya, guru yang buruk!” – Apakah bhikkhu yang dipindahkan itu juga begitu? Ya, di dalam hati. Tetapi itulah, Saudara, cara seorang guru mengajar. Beberapa bulan kemudian, ia sangat bersujud kepada gurunya. “Kalau saya tidak dipindahkan, betapa besar ego/aku saya akan melembung, mungkin melebihi besarnya sang guru dan dunia ini. Lalu apa yang kudapatkan dengan praktik Dhamma? Kalau bukan memperkecil keakuan, malah memperbesar keakuan. Memperbesar keakuan berarti memperbesar penderitaan. Justru ajaran Guru Agung kita, dukkha-nirodha, melenyapkan penderitaan..”

Saya anjurkan para pemimpin, para Bhante yang ada di Bali mencoba seperti ini; coba, coba. Nanti kalau di sana, Gilimanuk sana, ada vihara yang diresmikan, tiga hari sebelum peresmian, orang-orang yang berdana, berjasa, singkirkan, panitia diganti, coba. [tawa & tepuk tangan :)) :)) :)) :)) =D> =D> =D> =D>] Menghancurkan keakuan, menghancurkan penderitaan. Keakuan lahir, penderitaan lahir. Kebebasan adalah ekaraso, “Ayam dhammo-vinayo ekaraso vimuttiraso. Ajaranku ini mempunyai rasa yang satu, yang dangkal maupun yang dalam, ekaraso vimuttiraso, rasa kebebasan.”

Terima Kasih

Bersambung

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: KAMMAPATISARANA… Terlindung oleh kammaku sendiri (kisah nyata)
« Reply #29 on: 21 November 2009, 08:48:40 AM »
PENANYA (Toni):

Selamat malam, Namo Buddhaya. Yang saya hormati, Yang Mulia Bhikkhu, Bhante, kemudian selamat malam untuk Bapak Gede Prama. Pertanyaan saya berkaitan dengan kesedihan, kebahagiaan & kebebasan pada malam hari ini, saya seorang pekerja, juga pengusaha, saya tentunya ingin membuat suatu target mengenai kesuksesan usaha. Nah, di sini saya memiliki suatu kekuatiran akan kemelekatan terhadap target yang saya tetapkan. Pertanyaan saya: apakah bila kita memiliki kesiapan mental, bahwa apa pun risiko yang kita terima atas konsekuensi kita membuat suatu target, kalau kita mampu maka kita akan mendatangkan kestabilan mental kita, dan kita akan tetap berbahagia. Sekian.

SRI PAÑÑAVARO:

Sdr Toni, saya akan memberi jawaban ini, jawaban untuk dua hal. Yang pertama adalah terutama untuk Ibu, Bapak & Saudara yang berumah tangga. Apakah tidak boleh mempunyai target, entah di dunia usaha, sebagai pegawai, sebagai karyawan dsb. Mengapa tidak boleh? Dalam bahasa Pali disebut sampajañña. Sampajañña artinya mempunyai pertimbangan yang lengkap, tidak sembrono. Karena tujuan-tujuan yang baik sekalipun, kalau ditetapkan dengan sembrono, tujuan yang baik itu akan menjadi sumber masalah, sumber penderitaan. Oleh karena itu, sebelum kita menentukan tujuan, membuat keputusan, membuat target, punyailah pertimbangan yang jelas, tidak sembrono, tidak ikut-ikutan. Ada empat hal, tetapi secara garis besar ada tiga yang penting untuk Ibu, Bapak & Saudara. Saya senang dengan topik ini, dan sering kali, selain diuraikan, juga saya tulis. Tujuan, atau keputusan itu, atau target itu, yang pertama: tujuan atau target atau keputusan yang benar, sesuai dengan Dhamma, tidak merugikan orang lain, tidak merugikan dirinya sendiri, bermanfaat. Tetapi harus diingat, pertimbangan benar, baik, berguna saja tidak cukup.

Yang kedua adalah sappaya sampajañña, tujuan yang sudah dipertimbangkan bahwa tujuan itu memang baik, benar, berguna, pertimbangan yang kedua adalah tujuan atau target itu harus sesuai dengan takaran kita. Kita tidak bisa menakar persis kemampuan kita, kemampuan saya, tetapi saya bisa memperkirakan, kalau target seperti ini saya mampu atau tidak. Meskipun itu baik, berguna, kalau itu di luar kemampuan saya—bahasa masyarakat mengatakan, orang ini sangat ambisius—keserakahan ikut campur, karena keputusannya, targetnya tidak diputuskan, ditetapkan dengan wisdom, dengan kebijaksanaan. Sampajanna adalahpaññā in action. Kebijaksanaan itu dalam pelaksanaan sehari-hari—memutuskan pergi atau tidak, ikut seminar atau tidak, ikut menyumbang atau tidak, kontrak rumah lagi atau tidak, atau tidak kontrak rumah lagi melainkan membangun rumah kecil-kecilan, bekerja di sini atau pindah ke tempat lain dsb—itu semua membutuhkan keputusan, keputusan yang benar. Keputusan yang benar adalah keputusan yang tidak buruk, tidak merugikan dirinya, tidak merugikan orang lain, dan yang sesuai dengan takaran kemampuan kita. Kalau semua cita-cita, atau keputusan, atau rencana itu di luar kemampuan kita, keserakahan akan ikut berbicara. Dengan halus sekali keserakahan itu masuk, dan itu akan menghancurkan kita. Kita melakukan sesuatu yang sesungguhnya di luar kemampuan kita, tetapi kita paksakan. Karena apa? Karena keinginan yang meluap-luap.

Yang ketiga, kalau keputusan, kalau target itu memang suatu tujuan, suatu target yang baik, yang benar, yang berguna—baik, benar dan berguna ini satu kriteria, bukan tiga—yang kedua, sesuai dengan takaran, sappaya sampajañña, setelah sesuai dengan takaran, memang kita mampu—untuk kredit rumah setiap bulan kita harus membayar, misalnya, dua juta, mampu, karena gaji saya setiap bulan kurang lebih lima atau enam juta, maka kalau saya kredit rumah setiap bulan dua juta, mampu, dengan dua anak dan sebagainya. Tetapi kalau gajinya hanya dua juta per bulan, kemudian dia ingin membeli televisi yang seharga 50 juta, misalnya, dan itu harus cash, atau mungkin harus kredit, dan kreditnya itu tiap bulan cukup besar, tujuan untuk membeli televisi yang besar itu bukan kejahatan, tetapi di luar kemampuan, dan kalau di luar kemampuan, maka itu adalah lobha. Lobha akan memancing timbulnya bermacam-macam perilaku yang buruk. Tetapi kalau itu sesuai dengan kemampuan kita, dengan kapasitas kita, maka yang ketiga adalah gocara sampajañña, konsisten. Kalau ngangsur rumah mampu, ya itu saja. Jangan ngangsur rumah iya, ngangsur mobil iya, ngangsur televisi iya, ngangsur motor iya, nanti semua angsuran tidak terbayar, dan semuanya terbengkalai. Karena apa? Tidak konsisten. Kalau memang Saudara sudah meletakkan target, dan target itu baik, sesuai dengan kemampuan, konsisten. Kalau Anda tertarik dengan yang lain, lain, lain, meskipun yang lain-lain itu bukan kejahatan, keserakahan akan berbicara. Dan kalau di luar target, di luar kemampuan kita, melebihi kapasitas kita, dan kemudian tidak tercapai, timbullah kejengkelan, kemarahan, kebencian.

Ini adalah jawaban yang pertama. Jadi, tidak ada yang melarang Anda mempunyai target. Ambillah target, tujuan atau keputusan pada tujuan atau target sesuatu yang baik, bukan yang buruk; itu yang pertama, disebut satakka sampajañña. Yang kedua sappaya sampajañña, sesuai dengan kapasitas kita, dengan kemampuan kita, dengan takaran kita. Yang ketiga gocara sampajañña, konsisten; setelah diputuskan, konsisten. Kalau Anda tidak konsisten, Anda akan menghancurkan target Anda sendiri.

“Kalau memang target itu bisa terpenuhi, Bhante, apakah itu tidak menimbulkan, tidak mendatangkan stabilitas mental—istilah Sdr Toni—bukankah itu ketenteraman, bukankah itu kebahagiaan?” – Ya, sementara! Tidak ada stabilitas mental, tidak ada ketenteraman, tidak ada kebahagiaan, yang Anda inginkan, yang kemudian Anda capai untuk selamanya. Mengapa? Karena ada ‘aku’, yang sudah mencapai.

Pencapaian? Ya. Tetapi sadarilah, kalau keakuan muncul, sadarilah. Sadari saja, tidak usah dimusuhi. Tadi dikatakan, dalam istilah Tibet disebut rigpa. Kalau emosi yang negatif muncul, emosi yang positif muncul, keakuan muncul, kesombongan muncul, tidak usah dimusuhi, tidak usah diusir, tidak usah dianggap ini dosa, jelek, kotor, buruk, jorok; sadari saja, sadari saja, sadari saja. Maka dia akan kehilangan kekuatan untuk menghancurkan kita, akan kehilangan kekuatan untuk menghancurkan. Saya kira itu kalimat yang lebih baik—tidak usah ditambah dengan “kita”. Menghancurkan siapa? Menghancurkan konsep ‘aku’. Selama Anda masih mempunyai konsep ‘aku’, Anda akan merasa hancur, merasa gagal, merasa tidak tercapai, merasa dan sebagainya.
Ibu, Bapak & Saudara,

Yang kedua, perlunya pertimbangan yang jelas, supaya target tidak menjadi ajang keserakahan, menuntut pemuasan. Sudah saya singgung sedikit, apa pun yang muncul, apakah itu sukses besar di luar target, sesuai target, atau tidak sesuai target, kalau tidak sesuai, tidak sesuai, akan muncul kecewa, muncul rasa tidak senang, muncul rasa gagal, “Aku tidak mampu, aku gagal, aku kecewa.” Kalau sesuai dengan target, muncul “Aku puas, aku bahagia, aku berhasil.” Nah, aku, aku, aku itu harus disadari. Kalau dibiarkan—toh ini bukan jahat; ‘aku gagal’ memang aku gagal, ‘aku berhasil’ memang aku berhasil—kita biarkan saja, tidak apa kalau memang Saudara tidak menginginkan kebebasan. Tetapi kalau Saudara menginginkan kebebasan, mencabut penderitaan sampai ke akar-akarnya, supaya penderitaan tidak muncul, maka keakuan itu harus disadari.

Oleh karena itulah, kalau Saudara mulai duduk bermeditasi, disadari kadang-kadang secara jelas atau tidak disadari dengan jelas, timbul keinginan yang halus sekali, “Aku ingin tenang, aku ingin hening, aku ingin mencapai sesuatu, aku ingin bisa mencapai nyana,” buang itu, Ibu, Bapak & Saudara. Itu adalah keinginan, keinginan yang muncul dari konsep ‘aku’—“Aku ingin tenang, aku ingin hening, aku ingin tenteram, aku ingin tenang, aku ingin mencapai ñāṇa, aku ingin bebas dari penderitaan,” itu pun harus dibuang. Karena keinginan, keinginan, keinginan itu akan menimbulkan keakuan yang baru. – “Tetapi bagaimana, Bhante, kalau kita bermeditasi?” – Meditasi mulai menyadari apa yang bisa disadari, selesai! Pada saat Anda menyadari napas, sadarilah napas, baik di hidung, baik di perut. Pada saat pikiran muncul, sadari; pada saat perasaan muncul, sadari. Yang paling penting, Ibu, Bapak & Saudara, dalam keseharian, kalau Ibu, Bapak & Saudara terlalu asyik bermeditasi setiap pagi atau setiap malam, menimbulkan keheningan, ketenteraman, kenyamanan, keheningan yang mendalam, itu akan menjadi ketagihan yang baru.

Lebih penting daripada memperhatikan napas kita, memperhatikan naik-turunnya perut kita, sebetulnya adalah menggunakan kesadaran, keawasan untuk mengawasi pikiran kita yang muncul sepanjang hari, dari kita membuka mata sampai kita tidur kembali. Utamanya pikiran ‘aku’, ‘aku’, ‘aku’, ‘aku’, … – “Dilawan, Bhante?” – Sekali lagi, tidak! – “Diusir, Bhante?” – Sekali lagi, tidak! – “Direnung-renungkan, Bhante, ‘o, aku ini harus dibuang; tidak hanya aku mandi supaya badanku bersih, tetapi pikiran aku juga harus dibuang’?” – Tidak perlu! Tidak perlu mengundang konsep, mengundang pengertian yang macam-macam; sadari saja. – “Tidak dikembangkan?” – Jelas tidak! – “Dihancurkan, dilawan?” – Jelas tidak! Disadari saja! Jangan luput. Ada satu kalimat yang amat bagus:
Anda tidak perlu takut kalau pikiran aku, pikiran jorok, pikiran kotor, pikiran serakah, ingatan buruk, ingatan baik, cita-cita baik, keinginan buruk, keinginan mulia, keinginan suci, keinginan tidak baik muncul, jangan merasa tidak senang; kalau itu muncul, jangan marah, jangan merasa bersalah, “Kok kenapa pikiran ini muncul terus; aku menjadi umat Buddha sudah lama, sepuluh tahun, dua puluh tahun lebih, mengapa pikiran yang buruk, yang jorok, yang tidak baik, hawa nafsu muncul terus, keakuan muncul terus.” – Jangan merasa kecil hati, jangan merasa kecewa.

Yang penting adalah, kita akan merasa rugi, atau merasa gagal, kalau itu muncul kita tidak aware, kalau itu muncul kita tidak menyadari, apalagi membiarkan berkembang biak. – “Tetapi sulit, Bhante, sulit kita menyadari.” – Memang sulit menyadari terus-menerus, tetapi berusahalah menyadari sebanyak mungkin, sejak kita bangun pagi sampai kita tidur kembali. Keakuan tidak perlu diuarkan lewat mulut, tetapi keakuan yang muncul dalam pikiran itu harus disadari, tidak tenggelam dalam kenikmatan duduk bermeditasi menikmati ketenangan. Tidak hanya tenggelam memerhatikan napas lewat hidung atau lewat perut, kemudian timbul ketenangan, keheningan, kekhusyukan. Tidak, tidak!

Yang sangat penting, lebih penting daripada memerhatikan jasmani kita, langkah kaki kita, napas kita, perut kita, adalah memerhatikan pada saat perasaan muncul. Senang muncul diperhatikan, tidak senang muncul diperhatikan, jenuh muncul diperhatikan, bosan muncul diperhatikan, pikiran muncul juga diperhatikan. Tidak dilawan, Ibu, Bapak & Saudara. Perhatikan saja! Ada senang muncul, tidak ditolak, perhatikan; ada rasa kecewa muncul, pikiran kecewa muncul, diperhatikan. “Aku merasa puas karena program ini berhasil dengan baik,” perhatikan. Timbul ingatan yang lampau, yang lampau, kejahatan yang pernah dilakukan, yang kotor, yang jorok muncul, merasa “Ooo. tidak senang,” perhatikan saja, perhatikan saja. Jangan diladeni, tetapi juga jangan dilawan. Itulah vipassana, dan itulah vipassana dalam keseharian. Bukan hanya sepuluh hari di vihara. Bahkan ada orang yang bangga, “Eh, kamu ikut retret vipassana berapa kali? Dua kali? Ah, baru dua kali; aku sudah sepuluh kali”; itu keakuan yang baru. Keakuan baru yang timbul karena sudah berkali-kali ikut retret vipassana. – “Tetapi, Bhante, kalau pikiran itu timbul, bagaimana? Saya tidak sampai mengucapkan.” – Kalau pikiran itu timbul, perhatikan saja: “Aku merasa bangga karena punya kesempatan sudah lima belas kali ikut retret vipassana”; nah, nah, pikiran-pikiran aku muncul, perhatikan saja. Kalau tidak diperhatikan itu membuat latihan kita gagal.

Kita tidak menolak pikiran, perasaan apa pun, ingatan apa pun, yang buruk, yang jorok, yang jelek, yang kejam, yang suci. Perhatikan saja. Yang suci, bukan; keinginan yang buruk, juga bukan. Ingatan yang menyenangkan, bukan; ingatan yang pahit, juga bukan. Kami mengatakan, kalau timbul ingatan yang buruk, meskipun kita tidak ingin mengingat itu, perhatikan saja. Kalau timbul ingatan yang menyenangkan, meskipun kita tidak berusaha mengingat kembali, tiba-tiba muncul, perhatikan saja. Kalau timbul cita-cita ingin menjadi arahat, ingin menjadi suci, perhatikan saja. Kalau timbul keinginan untuk mencelakai yang lain, untuk menghancurkan yang lain, perhatikan saja. Pada saat kita memerhatikan, perhatian itu menjadi kuat. Pada saat kita memerhatikan, yang diperhatikan itu menjadi lemah. Itulah cara untuk mengakhiri penderitaan.

Karena itu, saya ingin mengutip kalimat yang sangat baik, Bhante Buddhadasa mengatakan: “Sakit adalah penderitaan, tua adalah penderitaan, mati adalah penderitaan.” – “Bukankah benar, Bhante?” – Benar, kalau ada konsep ‘aku’. “Aku sekarang kok sakit, pegel linulah, rematiklah, inilah, punggunglah, boyok-lah.” Pada saat timbul pikiran, “Aku sakit,” pada saat itu Anda menderita. Kemudian timbul pikiran, “Oh, aku sekarang sudah tua, sudah kepala enam, sudah kepala tujuh, sudah tidak kuat lagi, sudah banyak loyonya.” Pada saat timbul konsep “Aku, saya tua,” penderitaan mulai. “Dan sebentar lagi aku akan mati,” penderitaan mulai. Pada saat ‘aku’ tidak muncul, pada saat konsep “Aku sakit, aku tua, aku mati” tidak muncul, “Bagaimana, Bhante, jika tidak muncul?” – Perhatikan pada saat aku itu muncul, maka tidak ada penderitaan. Jadi, sakit tetap jalan, ya; tua tetap jalan, ya; mati tetap terjadi, pasti, tetapi tidak ada penderitaan. Mengapa tidak ada penderitaan? Karena tidak ada konsep “Aku sakit, aku tua, aku mati.” – “Wah, ya sulit, Bhante, ‘aku sakit, aku tua, aku mati’ itu muncul, muncul, sering muncul.” – Tidak apa, Saudara, perhatikan kalau itu muncul, “O, pikiran ‘aku’ muncul, o pikiran ‘aku’ muncul’,” perhatikan saja. Jangan dibasmi, jangan dilawan, jangan diladeni, perhatikan saja. Nanti ‘aku’ itu akan jarang muncul. – “Tetapi sakit ya tetap sakit, Bhante?” – Ya. – “Jadi tua akan tetap terus?” – Ya. – “Mati akan tetap terjadi?” – Pasti. Tetapi tidak ada penderitaan, karena ‘aku yang sakit’ tidak ada, ‘aku yang menjadi tua’ tidak ada, pikiran ‘aku yang mati’ tidak ada. Siapa yang menderita? Tidak ada yang menderita. Dalam bahasa Inggris ada kalimat yang baik, yang sulit diterjemahkan ke bahasa Indonesia, “Bhante, kalau kami di-cablek, kalau kami jatuh, tibo, babak, berdarah, apakah tidak loro, tidak sakit?” – Ya. Pain, tetapi tidak suffer. Sakit, tetapi tidak menderita. Karena begitu pikiran muncul “Aku jatuh”, cepat-cepat aku ngonangi, “Eee, aku muncul,” maka aku akan lenyap. Babak tetap babak, sakit tetap sakit, keluar darah tetap keluar darah, perih tetapi perih, tetapi tidak menderita, karena konsep ‘aku’ kita awasi dengan kesadaran. Ada kesakitan, ya; ada ketuaan, ya; ada kematian, ya; ada penderitaan, tidak! Karena tidak ada ‘aku’ yang menderita. Sadarilah kalau keakuan itu muncul.

Terima kasih.

SELESAI