//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - GandalfTheElder

Pages: 1 2 3 [4] 5
46
Diskusi Umum / 18 Sekte Agama Buddha - Bertentangan atau Selaras
« on: 02 November 2008, 07:00:02 AM »
18 SEKTE AGAMA BUDDHA

Apa saja ke-18 sekte itu? Menurut sumber Theravada [Dipavamsa dan Mahavamsa]:

1. Theravadino (Theravada)
2. Vajjiputtaka (Vatsiputriya)
3. Mahimsasaka (Mahisasaka)
4. Dhammuttariya (Dharmotariya)
5. Bhaddayanika (Bhadrayanika)
6. Channagarika (Sannagarika)
7. Sammitiya (Sammitiya)
8. Sabbatthivada (Sarvastivada)
9. Dhammaguttika (Dharmaguptaka)
10. Kassapiya (Kasyapiya)
11. Sankantika (Samkrantika)
12. Suttavada (Sutravadin)
13. Mahasangitikaraka (Mahasanghika)
14. Gokulika (Kukkulika)
15. Ekabyoharika (Ekavyavaharika)
16. Bahussutaka (Bahusrutaka)
17. Pannatti-vada (Prajnaptivada)
18. Cetiya-vada (Caitika)

Apakah ke-18 sekte tersebut bertentangan? Jawabannya ada dalam teks Sumagadhavadana. Kisah ini berada pada masa Buddha Kasyapa dan diketahui penyokong Sang Buddha Kasyapa adalah Raja Krkin.

Di mimpinya, raja melihat 10 tanda:
1. raja para gajah berusaha melewati jendela, namun tidak mampu memasukkan buntutnya lewat lubang jendela tersebut.
2. seorang pria haus yang dikejar oleh sumur
3. penawaran penjaulan satu bre tepung dan satu bre permata
4. naiknya harga cendana dan jenis kayu lainnya
5. pencuri mencuri bunga dan buah dari taman
6. pangeran gajah ditakuti oleh seekor gajah muda
7. seekor monyet yang dekil menggosok monyet lainnya dengan obat gosok
8. naik tahtanya seekor monyet menjadi seorang raja
9. kemunculan satu helai pakaian di tangan 18 orang pria
10. kumpulan besar orang bertengkar dan saling berdebat

Penuh dengan rasa takut, bahwa penampakan ini dapat menandakan bencana yang akan datang pada dirinya, sang raja menjadi ketakutan, dan bertanya pada Bhagava Kasyapa untuk menginterpretasikan penampakan mimpi tersebut.

Sang Bhagava menjawab: “Penampakan mimpi ini, O raja, tidak menandakan ketidakberuntungan pada dirimu! Di masa depan ketika hidup manusia tinggal seratus tahun, para bhiksu, bertentangan dengan Ajaran Samyaksambuddha Sakyamuni, meskipun meninggalkan rumah mereka, akan terikat pada vihara-vihara dan kekayaan. Penampakan gajah yang terperangkap oleh ekornya sendiri menandakan hal tersebut.

Seorang pria haus yang dikejar oleh sumur menandakan bahwa meskipun para bhiksu tinggal di vihara mereka tidak akan mendengarkan ajaran Dharma yang dibabarkan oleh yang lainnya. Penjualan tepung dan permata menandakan bahwa di saat itu para pendengar (sravaka) akan mengajarkan Ajaran dengan tujuan untuk mendapatkan nafkah. Penampakan naiknya harga cendana dan kayu lainnya, menandakan bahwa para sravaka akan menganggap Ajaran Buddha sebanding dengan naskah-naskah sesat. Pencurian bunga oleh perampok memandakan bahwa di waktu itu para sravaka yang sudah tercemar akan mengakomodasi umat awam dengan harta dari komunitas Sangha. Ketakutan pangeran gajah oleh karena gajah muda menandakan bahwa para bhiksu yang jahat akan menekan para bhiksu yang berkebajikan. Penampakan monyet dekil mengotori monyet lainnya menandakan bahwa para bhiksu yang tak bermoral akan mencemooh para bhiksu yang bajik. Naik tahtanya seorang monyet menjadi raja menandakan bahwa pada waktu itu mereka yang bodoh akan dijadikan raja (sangharaja).

Sehelai pakaian yang tidak terobek oleh tangan 18 orang pria, setelah helai pakaian yang mula-mula dibagi menjadi 18 helai, menandakan bahwa meskipun Ajaran Buddha akan terbagi menjadi 18 sekte, masing-masing sekte akan mendapatkan kesempatan untuk mencapai pencerahan.
Sekumpulan orang saling bertengkar dan berdebat menandakan bahwa pembentukan Ajaran Sakyamuni akan disebabkan oleh perselisihan dalam [menginterpretasikan]poin-poin ajaran”

Dengan cara inilah Kasyapa Buddha menjelaskan pada sang raja arti dari 10 penampakan mimpinya…. Divisi menjadi 18 sekte: Pada masa pemerintahan raja Asoka, pemisahan tersebut diakibatkan oleh beberapa pertentangan. Pada mulanya, pemisahan tersebut menjadi dua yaitu Sthavira dan Mahasanghika. Dan perlahan-lahan Mahasanghika terbagi menajdi delapan sub sekte:

1. Mahasanghika
2. Ekavyaharika
3. Lokottaravada
4. Bahusrutiya
5. Prajnaptivada
6. Caityasila
7. Purvasaila
8. Aparasaila

Sekte Sthavirra perlahan-lahan terbagi menjadi 10 sub sekte:
1. Sthavira awal bernama Haimavata
2. Sekte Sarvastivada terbagi menjadi 10 cabang:
a. Vibhajyavadin
b. Vatsiputriya
c. Dharmottariya
d. Bhadrayaniya
e. Sammitiya
f. Avantaka
g. Kurukullaka
h. Mahisasaka
i. Dharmaguptika
j. Suvarsaka

Daftar tersebut adalah dari segi tradisi pertama. Dari tradisi kedua: dari akar yang sama: sekte Sthavira, Mahasanghika dan Vibhajyavadin – sekte-sekte tersebut adalah tiga sekte dasar. Sthavira terbagi menjadi Sarvastivada dan Vatsiputriya. Sarvastivada juag memiliki 2 cabang: Sarvastivada dan Sutravada. Vatsiputriya dibagi menjadi Sammitiya, Dharmottariya, Bhadrayaniya dan Sannagarika, Maka dari itu Sthavira dibagi dalam dua cabang dan enam bagian. Mahasanghika terbagi menjadi delapan cabang: Mahasanghika, Purvasaila, Aparasaila, Rajagirika, Haimavata, Caityaka, Siddharthakass, Gokulika. Vibhajyavadin terbagi menjadi Mahisasaka, Kasyapiya, Dharmaguptikadan Tamrasatiya. Dengan cara ini ada enam cabang Sthavira, delapan cabang Mahasanghika dan empat cabang Vibhajyavadin, totals emuanya 18 sekte.

Dalam Bhiksuvarsagraprccha yang ditulis oleh Guru Padmasambhava disebutkan:

“Perbedaan antara Kasyapiya dengan Mahisasaka, Dharmaguptika dan Mulasarvastivadin adalah hanya satu teori saja. Mereka tidak memiliki guru yang berbeda. Enam cabang mahasanghika adalah Purvasaila, juga Aparasaila, Haimavata, Vibhajyavadin, Prajnaptivadin dan Lokottaravadin. Para pelajar mengatakan bahwa 5 cabang Sammitiya adalah Tamrasatiya, Avantaka, Kaurukulluka, juga Bahusrutiya dan Vatsiputriya. Jetavaniya, Abhayagirivasin dan Mahaviharavasin dikatakan adalah tiga cabang dari Sthavira. Dengan cara ini, Ajaran Singa Sakya terbagi menjadi 18 sekte. Tentu ini terjadi karena karma buruk masa lampau dari Guru Dunia [Buddha] sendiri.”
(Bhiksuvarsagraprccha oleh Guru Padmasambhava)

Dalam agama Buddha, doktrin karma merupakan sesuatu yang sentral. Setiap kejadian pasti memiliki sebabnya. Demikian juga, terpecahnya agama Buddha menjadi 18 sekte adalah disebabkan oleh karma buruk Sang Tathagata sendiri di masa kehidupannya yang lampau.

Namun walaupun demikian, ke-18 sekte tersebut semuanya masih memegang Ajaran Sang Buddha.

Menurut Arya Svapnanirdesa nama Mahayana-sutra dan Arya-mulasravastivadisramanerakarikavrtti-prabhavati, 18 sekte ini termasuk dalam ajaran Sang Buddha dan mencakup juga Empat Kebenaran Mulia.

Menurut Arya Svapnanirdesa nama Mahayana-sutra dan Arya-mulasravastivadisramanerakarikavrtti-prabhavati, 18 sekte ini termasuk dalam ajaran Sang Buddha dan mencakup juga Empat Kebenaran Mulia.

Menurut sumber Tibetan, 160 tahun setelah Nirvana Sang Guru, empat Sthavira dari Sangha di kota bernama Kusumapura (Pataliputra) mengucapkan ulang Sutra-sutra menggunakan 4 bahasa yang berbeda-beda, [yaitu] Sansekerta, Apabhramsa, Prakrit, dan Paisacika. Sebagai akibatnya, para pengikutnya memiliki pandangan yang berbeda-beda dan muncullah pemisahan menjadi 4 sekte dasar. Dari masing-masing divisi, muncul sub-sub divisi, sehingga muncul 18 sekte. Empat sekte divisi utama adalah Mulasarvastivada, Mahasanghika, Sammitiya dan Sthavira. Keempatnya dibedakan oleh:

1. Mulasarvastivada diucapkan ulang menggunakan bahasa Sansekerta. Silsilah aliran ini dimulai oleh Rahula yang terlahir di kasta Ksatriya dan yang paling unggul dalam moralitas.
2. Mahasanghika diucapkan ulang dengan mengguankan bahasa Apabhramsa. Silsilahnya berasal dari Mahakasyapa, yang lahir di kasta Brahmana, yang paling unggul dalam dhuta-guna.
3. Sammitiya diucapkan ulang dengan menggunakan bahasa Prakrit. Silsilahnya berasal dari Upali, yang lahir dalam kasta Sudra, yang paling unggul dalam Vinaya
4. Sthavira diucapkan ulang menggunakan bahasa Paisacika [Pali]. Silsilahnya berasal dari Katyayana, yang lahir dalam kasta Waisya, yang paling unggul di antara mereka yang mengubah keyakinan pratyanta-janapada.

 _/\_
The Siddha Wanderer

47
Mahayana / Bhavaviveka "vs" Hinayana
« on: 01 November 2008, 03:18:41 PM »
Tahukah anda bahwa kritikan tajam dan argumen yang diajukan oleh beberapa umat Buddhis sekte "T" pada Mahayana di zaman modern ini sebenarnya hanyalah mengulang sejarah masa lampau?

Kaum Hinayana di India pada masa lampu telah mengatakan bahwa Mahayana bukanlah ajaran Sang Buddha. Tetapi seperti yang pernah saya katakan beberapa waktu yang lalu, argumen kaum Hinayana tersebut disanggah dengan piawai oleh pendiri Svatantrika Madhyamika, yaitu YA Bhavaviveka (500–578 M), yang juga dikenal sebagai emanasi Amitabha Buddha.

Dalam bab keempat Tarkajvala, Bhavaviveka mengumpulkan argumen kaum Hinayana yang menyatakan bahwa Mahayana bukanlah berasal dari sabda Sang Buddha. Argumen kaum Hinayana yang dirangkum oleh Bhavaviveka adalah sebagai berikut:

1. Sutra-sutra Mahayana tidak termasuk dalam penulisan Tripitaka mula-mula
2. Karena Mahayana mengajarkan bahwa Tathagata itu abadi, maka bertentang dengan doktrin anitya [ketidakkekalan]
3. Karena Mahayana mengajarkan Tathagatagarbha itu mencakup semuanya, maka Mahayana tidak menanggalkan konsep atman
4. Karena Mahayana mengajarkan bahwa sang Buddha tidak mencapai Nirvana, maka ini menunjukkan bahwa Nirvana itu tidaklah damai
5. Sutra-sutra Mahayana mencakup ramalan di mana para Sravaka akan menjadi Buddha
6. Mahayana merendahkan Arhat
7. Mahayana memuja para Bodhisattva di atas Buddha
8. Mahayana menyimpangkan ajaran dengan mengatakan bahwa Sakyamuni adalah emanasi
9. Mahayana mengajarkan bahwa tindakan tidak membawa akibat

Maka dari itu Sang Tathagata tidak mendirikan Mahayana; Mahayana dibuat oleh mereka yang bersifat iblis dengan tujuan untuk menipu mereka yang bodoh dan berpikiran buruk.”, demikian klaim para Hinayana.

YA Bhavaviveka pun tidak tinggal diam. Bhavaviveka menyanggah segala klaim Hinayana tersebut sebagai sesuatu yang keliru.

Bhavaviveka berkata bahwa Hinayana dan Mahayana mempunyai persamaan pokok, di aman persamaan ini merupakan dasar ajaran Sang Buddha:
1. Empat Kebenaran Mulia
2. Marga [Delapan Ruas Jalan Mulia]
3. 37 Bodhipaksha Dharma
4. Kekuatan [bala] dari Buddha sama baik di Hinayana maupun Mahayana

Bhavaviveka juga berkata bahwa di kalangan Hinayana tersendiri, terjadi kontroversi akan keaslian Tripitaka.

Apabila kita lihat, argumen Bhavaviveka tersebut sangat masuk akal, mengingat karena:
1. Theravada dengan Dipavamsanya mengatakan bahwa Theravada adalah yang paling murni dan asli
2. Sarvastivada dengan Mahavibhasa mengatakan bahwa Sarvastivada adalah yang paling murni dan asli
3. Mahasanghika dengan Sariputrapariprccha mengatakan bahwa Mahasanghika adalah yang paling murni dan asli

Nah kalau begitu mana yang benar-benar murni / asli? Melihat bahwa ke-18 sekte saling ngotot-ngototan untuk membuktikan diri merekalah yang paling asli.

Lebih lanjut Bhavaviveka dalam Tarkajvala juga menyanggah klaim Hinayana dengan ofensif, yaitu dengan mengatakan bahwa Sutra-Sutra Mahayana memang bukan diperuntukkan untuk kaum Hinayana [Sravaka], tetapi untuk para Bodhisattva. Wajar saja kalau Hinayana tidak tahu.

Sebagai klimaks Bhavaviveka mengutip Simsapavana Sutra:
“Ananda, Dharma yang kumengerti tetapi tidak kuajarkan padamu lebih banyak daripada dedaunan di hutan pohon simsapa ini.”

Di sana jelas bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan semua Dharma pada kaum Sravaka. Yang tidak diajarkan pada kaum Sravaka itu, diajarkan sang Buddha pada para Bodhisattva.

Kisah hutan Simsapa ini juga disebutkan dalam Mahaparinirvana Sutra:

Kasyapa berkata pada sang Buddha: “O Bhagava! Ketika Sang Buddha berada di tepi sungai Gangga, di hutan Simsapavana, Pada waktu itu, sang Tathagata mengambil satu dahan pohon simsapa yang kecil dengan beberapa daun di batang tersebut dan berkata pada para bhiksu:
“Apakah daun yang berada di dalam genggaman tangan-Ku banyak atau semua daun dari rerumputan dan pepohonan di seluruh hutan banyak?”
Semua bhiksu menjawab: “O Bhagava! Dedaunan dari rerumputan dan pepohonan dari seluruh hutan sangat banyak dan tidak dapat dihitiung. Apa yang Tathagata pegang di tangan-Nya sangat sedikit dan tidak berharga untuk disebutkan.”
“O para bhiksu! Pengetahuan yang aku ketahui adalah seperti dedaunan dari rerumputan dan pepohonan di muka bumi; apa yang Aku berikan pada semua makhluk bagaikan daun dalam genggaman tangan-Ku.”
Sang Bhagava kemudian berkata: Hal-hal yang tidak terbatas yang diketahui oleh Tathagata adalah merupakan ajaran-Ku apabila mereka mencakup Empat Kebenaran Mulia. Jika tidak, maka akan ada 5 Kebenaran.”
………..
Bodhisattva Kasyapa berkata pada Buddha: “Jika semua hal tersebut berada dalam Empat kebenaran Mulia, mengapa Anda mengatakan bahwa mereka belum dibabarkan?”
Sang Buddha menjawab: “O pria yang berbudi! Meskipun mereka berada di dalam Empat kebenaran Mulia, kita tidak dapat mengatakan bahwa mereka telah dibabarkan. Mengapa tidak? O pria yang berbudi! Ada 2 macam kebijaksanaan berkaitan dengan pengetahuan Kebenaran Mulia. Yang pertama adalah tingkat menengah dan yang lainnya adalah tingkat superior. Apa yang dinamakan sebagai kebijaksanaan tingkat menengah adalah para Sravaka dan Pratyekabuddha; apa yang dimaksud sebagai tingkat superior adalah para Buddha dan Bodhisattva.
……….
“O pria yang berbudi! Semua fenomena adalah tidak kekal, semua fenomena yang terbentuk tidak mempunyai Diri. Nirvana adalah shunya. Ini adalah “Paramartha-satya”. Inilah yang harus kita ketahui. Ini adalah kebijaksanaan tingkat menengah. “Paramartha-satya”, harus kita ketahui, adalah tidak terbatas, tidak terikat dan tidak dapat dihitung. Itu berada di luar jangkauan pemahaman Sravaka dan Pratyekabuddha. Ini adalah kebijaksanaan tingkat superior. Aku belum pernah membabarkan hal tersebut dalam sutra-sutra.”


Jadi berdasarkan kutipan di atas bahwa ada sesuatu yang tidak diajarkan Sang Buddha dalam sutra-sutra Hinayana, karena para Sravaka dan Pratyekabuddha tidak dapat memahami kebijaksanaan tingkat superior.

Yang dapat memahami kebijaksanaan tingkat superior adalah Buddha dan Bodhisattva. Maka dari itu Sang Buddha membabarkan tentang kebijaksanaan tingkat superior pada para Bodhisattva dan ini tercantum dalam Sutra-sutra Mahayana.

Lantas dengan demikian apakah ini berarti Mahayana merendahkan Hinayana?

Dalam Saddharmapundarika Sutra disebutkan:

“Seorang Bodhisattva … tidak memandang para Buddhis lainnya dengan jijik, bahkan mereka yang mengikuti jalan Hinayana juga tidak [dipandang demikian], [para Bodhisattva] juga tidak menyebabkan kaum Hinayana ragu dan menyesal dengan mengkritik metode pelatihan mereka maupun membuat pernyataan yang mengecilkan hati.”

Bahkan di kalangan Vajrayana dikenal ikrar Bodhisattva, di mana seseorang berikrar untuk tidak merendahkan Hinayana.

 _/\_
The Siddha Wanderer

48
Mahayana / Sejarah Lengkap Kemunculan Mahayana menurut Jetsun Taranatha
« on: 01 November 2008, 02:50:09 PM »
SEJARAH AWAL MAHAYANA
 
Menurut Jetsun Taranatha

Jetsun Taranatha (1575-1634 M) adalah Lama dari sekte Jonangpa, Vajrayana. Taranatha juga dikenali sebagai emanasi dari Mahasiddha Krishnacarya. Pada tahun 1608 M, ia menulis "Sejarah Agama Buddha di India", dalam kitab tersebut ada sejarah tentang kemunculan Mahayana yang jarang diketahui oleh para umat Buddhis:

"Tak lama setelah masa pemerintahan raja Mahapadma, Candraraksita menjadi raja dari Odivisa. Dikisahkan bahwa Arya Manjusri datang ke rumahnya dalam wujud seorang bhiksu, mengajarkan ajaran Mahayana dan meninggalkan sebuah buku di sana. Menurut pengikut Sutra, itu adalah Astasahasrika Prajnaparamita. Menurut pengikut Tantra, itu adalah Tattvasamgraha. Namun, poin tersebut tidaklah mendapat perhatian yang banyak, sekalipun demikian opiniku adalah pengikut Sutra-lah yang benar. Ini adalah kemunculan pertama dari Mahayana di dunia manusia setelah Nirvana Sang Guru [Buddha].

Sekarang, ada seorang raja bernama Simha di Kashmir. Ia menerima penahbisan dan dipanggil dengan nama Sudarsana. Ia kemudian mencapai tingkat Arhat dan mengajarkan Dharma di Kashmir.

Raja Kaniska dari Jalandhara yang mendengar tentangnya, menjadi penuh dengan rasa hormat dan pergi menuju Kashmir di utara. Ia mendengarkan Dharma dari Arya Simha Sudarsana, rajin menghormati semua caitya di utara dan menyokong anggota Sangha dari 4 penjuru.

Pada waktu itu, terdapat seorang bhiksu bernama Sanjaya. Ia dianggap sebagai seorang Arhat. Ia mengajarkan Dharma secara ekstensif, menjadi sangat berpengaruh dan menerima kekayaan yang sangat banyak dari para brahmana dan perumah tangga. Sebagai akibatnya, Dharma didiskusikan oleh Sangha yang terdiri dari dua lakhs bhiksu.

Para bhiksu telah terbagi menjadi 18 sekte, namun hidup tanpa banyak kontroversi.

Di Kashmir, tinggallah seorang brahmana bernama Sudra yang memiliki harta yang tidak terbayangkan banyaknya. Bhattaraka Dharmatrata, yang seorang Vaibhasika (Sarvastivada), bersama dengan para pengikutnya dan Maha-bhattaraka Sthavira sekte Sautantrika dari Kashmir, bersama dengan 5000 bhiksu pengikutnya, terus menerus mendapatkan dukungannya dan maka dari itu Tripitaka disebarluaskan secara ekstensif.

Sutra-sutra Sautantrika, pada periode ini, adalah kumpulan karya agama (agama-grantha-mala), Pitakadharamusti.

Dari timur datanglah seorang Arhat bernama Arya Parsva, yang telah sempurna pengetahuan Sutranya. Ia mengucapkan ulang sutra-sutra langka seperti Suvarnamala-avadana dan satu sutra yang berisi prediksi yang diterima lewat mimpi oleh raja Kri-Kri – karya-karya yang diterimanya dari beberapa Sthavira yang terpelajar.

[Sutra prediksi yang diterima raja Kri-Kri itu adalah Arya-svapna-nirdesa-nama-mahayana-sutra. Buston mengatakan : “Oh Cakravartin, di mimpimu engkau telah melihat bagimana 18 pria menarik satu helai pakaian. Ini berarti bahwa ajaran dari Buddha Sakyamuni akan terbagi menjadi 18 sekte. Namun pakaian – yaitu Dharma, tidak akan terobek. Kalimat ini membuktikan bahwa sutra-sutra dari 18 sekte semuanya merepresentasikan Ajaran Sang Buddha”]

Mendengar ini, raja Kaniska mengumpulkan kumpulan besar para bhiksu di Vihara Karnikavana di Kashmir dan menurut para Kashmiri, Konsili [Keempat] dilaksanakan.
Menurut yang lainnya, konsili ini diadakan di Vihara Kuvana, vihara di Jalandhara.  Mayoritas sejarawan lebih mengakui pandangan kedua.

Menurut para Tibetan, konsili ini dihadiri oleh kumpulan 500 Arhat, 500 Bodhisattva dan 500 [pthagjana] pandita. Meskipun ini tidak bertentangan dengan tradisi Mahayana, harus dicatat bahwa pada waktu itu para pelajar Buddhis dipanggil dengan nama Maha-bhattaraka daripada pandita. Maka dari itu penggunaan kata pandita dengan 500 tidaklah begitu tepat.

[Yang dimaksud 500 Bodhisattva di atas adalah suatu kelompok bhiksu yang dipanggil sebagai para Bodhisattva di konsili Kaniska. Di Divyavadana kita dapat melihat bahwa ada kelompok bhiksu yang bernama bodhisattva-jatika, di mana mereka tidak dihormati oleh kaum Hinayanis. Bhiksu-bhiksu kelompok bodhisattva-jatika pertama kali ditahbiskan menurut aturan pratimoksha, kemudian para bhiksu kembali menjalani penahbisan khusus menurut Brahmajala Sutra dan menjadi bodhisattva]

[Sejarawan Buston mencatat bahwa “Anggota Konsili ]Kaniska) adalah 500 Arhat dengan Purnika di kepala mereka, 500 Bodhisattva, Vasumitra dan lainnya, dan 250 atau 10000 pandita.” ]

Halaman terpisah yang termasuk dalam bagian akhir dari sebuah karya India tentang silsilah hierarki diterjemahkan oleh Kumarasri dari Gos. Did lama karya naskah ini, juga disebutkan 400 bhattaraka seperi Vasumitra dan lainnya [Di vihara Karnikavana di Kashmira, 500 Arhat diketuai Parsva, 400 arya diketuai oleh Vasumitra dan 500 Bodhisattva mengulang kembali Abhidharma.]

Maka dari itu inilah yang tepat. Namun, akan keliru apabila mengidentifikasikan Vasumitra ini dengan Vasumitra sang acarya Vaibhasika. Lebih lanjut, karena ini berhubungan dengan Dharma sravaka, maka dikehendaki untuk mengikuti tradisi sravaka di sini. Dikatakan dalam tradisi sravaka bahwa 500 Arhat dan 5000 Mahabhattaraka yang ahli dalam Tripitaka,  turuts erta dalam Konsili ini. 500 Arhat yang disebutkan di sini bertujuan untuk memuliakan Dharma. Sebagai faktanya, jumlah Arhat lebih sedikit. Jumlah tersebut dapat mencapai 500 karena termasuk mereka yang mencapai tingkatan srotapatti atau tingkat kesucian lainnya.

Sebelum Mahadeva dan Bhadra, jumlah mereka yang mencapai tingkat kesucian tiap harinya cukup banyak. Karena pengrusakan terhadap Dharma yang dilakukan oleh dua orang itu [Mahadeva dan Bhadra], maka kontroversi muncul di antara para bhiksu dan mereka lebih memilih untuk berdebat daripada bermeditasi. Sebagai akibatnya, mereka yang mencapai tingkatan kesucian berkurang dengan sangat tajam. Inilah mengapa, pada waktu Konsili [ke-Empat] hanya terdapat sedikit Arhat.
Selama masa pemerintahan raja Virasena, selama masa pemerintahan raja Nanda dan mahapadma dan awal pemerintahan raja Kaniska, kontroversi di antara para bhiksu terus berlanjut. Kontroversi tersebut sangat akut selama 63 tahun. Jika ditambah dengan kontroversi kecil di periode awal maupun akhir, maka akan berlangsung selama 100 tahun,

Kontroversi tersebut diselesaikan pada Konsili [Keempat], ketika semua yang termasuk dalam ke-18 sekte bersama-sama berkumpul untuk memurnikan kembali Dharma dan menuliskan kembali Vinaya. Dan juga bagian dari Sutra-pitaka dan Abhidharma yang sebelumnya belum ditulis sekarang ditulis dan bagian yang telah ditulis direvisi kembali.”

Pada waktu semua ini terjadi, beberapa Sutra Mahayana mencapai dunia manusia. Beberapa bhiksu yang telah mencapai anutpattikadharma-ksanti membabarkan sedikit ajaran Mahayana. Namun, karena penyebaran Mahayana ini tidak terlalu ekstensif, maka para Sravaka tidak menentangnya."

 _/\_
The Siddha Wanderer

49
Theravada / Bhikkhuni Srilanka = Mahayana?
« on: 31 October 2008, 04:08:59 PM »
Ketika saya meninjau sebuah artikel di web samaggiphala, ada sebuah artikel yang berjudul: "Sangha Bhikkhuni di Tiongkok Adalah Mahayana". Di sana disebutkan demikian:

Quote
Ada satu alasan yang dapat dipercaya yaitu para bhikkhuni Sinhala yang pergi ke Tiongkok tersebut berasal dari Vihara Abhayagiri, sebuah pusat kegiatan kelompok Mahayana pada waktu itu. Kelompok pertama para bhikkhuni Sinhala tiba di kota Nanking kira-kira 10 tahun setelah seorang pengelana Tiongkok Fa-hsien meninggalkan Srilanka yang telah ditinggalinya selama 2 tahun. Kedua peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Mahanama (410-431 M). Fa-hsien menunjukkan perhatian yang sangat besar dalam penggambaran berbagai kegiatan Vihara Abhayagiri dalam tulisan-tulisannya dan juga dicatat bahwa Fa-hsien bertempat tinggal di Nanking dan menerjemahkan berbagai naskah Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin, terutama buku-buku mengenai Vinaya. Ada kemungkinan, walaupun tidak pernah disebutkan, dialah yang pertama kali mempelopori misi penyebaran agama Buddha para bhikkhuni Sinhala ke Tiongkok. Tulisan-tulisan Fa-hsien menyebutkan adanya seorang pedagang Tiongkok yang berdana ke Vihara Abhayagiri dan disebutkan bahwa para bhikkhuni Sinhala berangkat ke Tiongkok dengan menumpang sebuah kapal dagang. Bukti lainnya yang mendukung hubungan dekat antara Vihara Abhayagiri dan Tiongkok adalah bahwa Raja Mahanama (Mo-ho-non) mengirim sebuah surat ke Raja Tiongkok bersama sebuah model altar Relik Gigi pada tahun 428 M dan pada saat itu altar Relik Gigi tersebut dirawat di Vihara Abhayagiri. Perlu disebutkan juga di sini bahwa Nagarjunikonda, sehubungan dengan keterangan di atas, adalah sebuah pusat belajar dan pengembangan Mahayana di abad ketiga dan keempat.

Apa yang ditulis oleh Hema Goonatilake tersebut memanglah benar, tidak salah.

Para bhikkhuni Srilanka yang datang ke Tiongkok memang adalah para bhikkhuni Mahayana.

Ayya Sara, Bhikkhuni Srilanka, datang ke Nanjing, Tiongkok untuk melakukan penahbisan Bhikkhuni.

Pedagang Nandi membawa para Bhikkhuni dari Srilanka ke Tiongkok. Di Tiongkok, para Bhikkhuni Theravada dan Bhiksu Dharmagupta menahbiskan penuh 300 Bhiksuni. Silsilah ini berlanjut sampai masa kini.

Tetapi, kata pengantar artikel tersebut menulis:

Quote
Ada suatu usaha keras yang beredar dalam masyarakat Buddhis di dunia dan juga termasuk di Indonesia yang bertujuan untuk menimbulkan opini massa agar dapat membenarkan kemunculan kembali bhikkhuni Theravada di dunia tanpa kehadiran kembali seorang Sammasambuddha. Kelompok ini mempercayai bahwa penabhisan para bhikkhuni Mahayana di Tiongkok di awal abad ke lima adalah berasal dari tradisi Theravada yang belum terputuskan sejak jaman Sang Buddha. Dengan demikian, mendapatkan penabhisan dari para bhikkhuni Mahayana di masa sekarang, dianggapnya telah dapat menjadikan dan bahkan membenarkan sekelompok wanita untuk mendirikan Sangha Bhikkhuni Theravada.  Hal ini tentu saja tidaklah benar.

Sang penulis kata pengantar sembrono dan tidak berhati-hati.

Memang Vihara Abhayagiri adalah Vihara yang di mana para anggota Sanghanya meyakini doktrin Mahayana. Tetapi ada satu hal yang luput dari si penulis kata pengantar, yaitu bahwa:

Tidak ada silsilah ordinasi 'Mahayana Vinaya'

Ketika Xuanzang mendeskripsikan sekte Buddhis di Srilanka, Xuanzang membedakan dua aliran Sthavira [Theravada] di sana:

1. Hinayana Sthavira yaitu golongan Theravada di Vihara Mahavihara
2. Mahayana Sthavira yaitu golongan Theravada di Vihara Abhayagiri

Jadi, para bhikkhu dan bhikkhuni Mahayana di vihara Abhayagiri sebenarnya adalah para bhikkhu/bhikkhuni Theravada yang menjalankan praktek Mahayana[Vetulya] dan Vajrayana [Vajiriya].

Semua Bhiksu Mahayana di India ditahbiskan menurut Vinaya dari 18 sekte awal, misalnya:

1. Suvarnadvipa Dharmakirti ditahbiskan menurut tradisi Mahasanghika maka dari itu ia adalah Bhiksu Mahayana Mahasanghika.
2. Atisha Dipamkara ditahbiskan dengan Vinaya Mahasanghika maka dari itu ia adalah Bhiksu Mahayana Mahasanghika.
3. Santarakshita ditahbiskan menurut Vinaya Mulasarvastivada maka dari itu ia adalah Bhiksu Mahayana Mulasarvastivada.

Tidak ada Bhiksu Mahayana di India yang ditahbiskan menurut 'Mahayana Vinaya'. Karena "Mahayana Vinaya" sendiri itu tidak ada.

Mahayana adalah sebuah Jalan atau Ajaran Sang Buddha yang bebas dijalankan oleh tradisi manapun juga, baik Theravada, Mahasanghika, Sarvastivada dan lain-lain.

Maka dari itu sekarang kita dapat melihat di Asia Timur banyak anggota Sangha tradisi Dharmagupta yang menjalankan Mahayana. Demikian juga di Tibet dan Mongolia, para bhiksu tradisi Mulasarvastivada menjalankan Vajrayana.

Mahayana dan Vajrayana adalah "yana" [kendaraan], bukan "vada" [sekte]. Hanya saja dalam perbincangan awam, kita menyebut Mahayana sebagai sekte. Namun yang sebenar-benarnya adalah, hanya ada 3 sekte Buddhis yang ada di masa sekarang:

1. Theravada
2. Dharmagupta
3. Mulasarvastivada

Pada zaman dahulu, Sangha Theravada di Abhayagiri menjalankan praktek Mahayana. Sekarang, sudah tidak ada lagi kita temukan bhikkhu dengan tradisi Theravada menjalankan Mahayana.

Vinitadeva (abad 8 M), seorang pelajar Buddhis Mahayana di India membagi 18 sekte Buddhis ke dalam 4 kelompok:

1. Mahasanghika
2. Sarvastivada
3. Sammitiya
4. Sthavira [di Srilanka]

Vinitadeva membagi tiga sekte Sthavira [Theravada] yaitu Jetavaniya, Abhayagirivasin, dan Mahaviharavasin.

Nah dengan demikian jelaslah bahwa bhikkhuni Mahayana dari Abhayagiri menjalankan Vinaya Theravada.

Oleh karena itu, apabila seseorang ingin menjadi Bhikkhuni Theravada dengan cara ditahbiskan via Bhiksuni Mahayana Tiongkok adalah BISA dan MEMUNGKINKAN.

Karena dalam Sangha Bhiksuni Mahayana Tiongkok mengalir dua Vinaya dalam tubuhnya, yaitu Dharmagupta dan Theravada.

Namun muncul pula sanggahan: Lo, bukannya Vihara Abhayagiri dihuni oleh Sangha Dhammaruci Nikaya yang merupakan perkembangan dari sekte Vajjiputtaka? Jadinya bukan Theravada dong?

Jawabannya adalah sebagai berikut:

King Vattagamani Abhaya (29-17 BCE) built the Abhayagiri monastery and donated it to his friend Mahatissa of Kupikkala as a personal gift.  Monks of the Mahàvihàra, being dissatisfied with this gift, imposed on Tissa the punismment of expulsion (pabbajanaya kamma) on the grounds of his frequenting the families of laymen.  When Tissa’s pupil, known as Bahala-Massu-Tissa (Bushy-bearded Tissa), resented this punishment as unjustifiable the Mahavihara monks imposed on him the act of censure (Ukkepanãya Kamma).  Subsequently Bahala-Massu-Tissa left the Mahavihara with five hundred monks and joined his teacher at the Abhayagiri monastery.  When Abhayagirivasins welcomed Dhammaruci, a teacher of the Vajjiputtaka sect, they came to be known as Dhammarucikas. 

Nah dari atas jelaslah bahwa Vihara Abhayagiri juga dihuni oleh para bhikkhu Theravada dari Mahavihara.

Ada pertanyaan: Lo, bukannya Maha Tissa dikeluarkan dari Sangha Theravada Mahavihara?

Jawaban: Memang. Tapi tindakan tersebut dilakukan karena para bhikkhu Mahavihara tidak puas dan iri terhadap Maha Tissa.

Bhikkhu Maha Tissa memang dihadiahi vihara oleh raja karena ia memang berjasa bagi kerajaan, Bhikkhu Maha Tissa turut membantu dalam mengusir penjajah India dari Srilanka. Namun bhikkhu Mahavihara yang merupakan saingannya tidak terima dan mengeluarkannya dari Mahavihara dengan alasan terlalu dekat dengan umat awam.

Tidak terima, murid Maha Tissa yaitu Bahalamassu-Tissa yang tidak dikeluarkan dari anggota Sangha Mahavihara, pergi bersama 500 bhikkhu Mahavihara untuk menetap di Vihara Abhayagiri dan bergabung dengan Maha Tissa.

Ini menunjukkan bahwa Vihara Abhayagiri memiliki silsilah Theravada yang sah.

Namun setelah kedatangan Dhammaruci, silsilahnya bercampur dengan silsilah sekte Vajjiputtaka.

Maka dari itu dapat dikatakan bahwa Vihara Abhayagiri ini memiliki silsilah Theravada dan Vajjiputtaka [Vatsiputriya] sekaligus.

Tinjauan Dharmagupta

Kita tahu bahwa para Bhiksuni Tiongkok menjalankan Vinaya Dharmagupta.

1. Dalam Sariputrapariprccha dikatakan bahwa Moggaliputta Tissa yang dianggap sebagai sesepuh "pendiri" Theravada juga mendirikan aliran Dharmagupta.

2. Pendiri aliran Dharmagupta, yaitu Yonaka Dhammarakkhita juga merupakan seorang bhikkhu yang diakui oleh kalangan Theravada

3. Vasubandhu mengatakan bahwa Dharmagupta selaras dengan Mahaviharavasin dan bertentangan dengan Sarvastivada

4. Sejarawan Pachow mengatakan bahwa Vinaya Dharmaguptaka sangat dekat dengan Vinaya Pali.

5. Sejarawan McQueen mengatakan bahwa literatur Sutta Dharmagupta dan Mahaviharavasin juga sangat dekat.

6. Sejarawan Frauwallner mengatakan bahwa Dharmaguptaka Abhidharma yaitu Sariputrabhidharma, berhubungan sangat dekat dengan Abhidhamma Pali.

Maka dari itu Dharmagupta dan Theravada [Mahaviharavasin] terpisah bukan karena Dhamma atau Vinaya, tetapi hanya karena masalah geografi saja.

Dharmagupta = Aparantaka, Mahaviharavasin = Srilanka.

Dengan bahasa gampangnya: Dharmagupta = Theravada

Nah bukankah dengan demikian Bhikkhuni Theravada dapat disahkan? kenapa mesti berliku-liku?
Apalagi dengan alasan mengingkari Anicca lah... nah kalau pakai alasan Anicca, maka munculnya kembali Bhikkhuni Theravada juga Anicca. Mengapa?

Karena sesuatu yang hilang itu tidak selamanya hilang. Hilang itu juga Anicca [tidak kekal]. Yang muncul bisa lenyap, yang lenyap bisa muncul. Itu Anicca.

Lantas kenapa ketika para Bhikkhuni muncul lagi dikatakan mengingkari hukum Anicca?

 _/\_
The Siddha Wanderer

50
Mahayana / Sangha Mahayana di Indonesia
« on: 31 October 2008, 12:24:23 PM »
Sekedar sharing aja, di Indo kok Mahayananya banyak yang terpisah-pisah ya? Kira-kira apa ya sebabnya?  ::)

Theravada paling cuma 3 -
1. STI (Sangha Theravada Indonesia)  [KASI]
2. Sangha Theravada-nya Buddhayana [KASI]
3. STT (Sangha Theravada Thailand) [WALUBI]

Vajrayana [Kagyu dan Gelug/Kadam] di Indonesia masuk di bawah Buddhayana.

Kalau Mahayana ada:

[WALUBI]
1. MAJABUMI (Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia) pimpinan Bhiksu Dutavira Mahasthavira.
2. SAMADHI (Sangha Mahayana Buddhis Internasional) pimpinan Bhiksu Tadisa Paramita Sthavira.

[FKUB]
3. SMI (Sangha Mahayana Indonesia) pimpinan Bhiksu Gunabhadra Mahasthavira - ini baru saja terbentuk

[KASI]
4. SMI (Sangha Mahayana Indonesia) pimpinan Bhiksu Dharmasagaro dan Andhanavira Mahasthavira
5. Sangha Mahayana Buddhayana pimpinan Bhiksu Aryamaitri Mahasthavira

Wew... SMI malah jadi 2.... bahkan kepanjangannya juga sama... cuma beda logo......

Di Surabaya, ada 3 vihara Mahayana yang berafliasi sama ketiga organisasi yang berbeda:
1. Vihara Mahavira Graha - SMI versi KASI
2. Cetya Dhyana Vimala - SMI versi FKUB
3. Vihara Chikung Dang - mungkin Sangha Mahayana Buddhayana

Ada yang bisa jelasin kok Mahayana bisa jadi terpecah sampai 5 organisasi di Indonesia? Ini tergolong banyak lo... apabila kalau dibandingkan dengan umat Mahayana [bukan yang TITD] di Indonesia yang lebih sedikit dari Theravada.

 _/\_
The Siddha Wanderer

51
Mahayana / Bodhisattva dan Samyaksambuddha Perempuan
« on: 26 October 2008, 11:22:32 AM »
Namo Ratnatrayaya,

Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalam kitab-kitab Jataka, baik dari Theravada, Mahayana maupun tradisi-tradisi lainnya hampir selalu kita menemukan bahwa Sang Bodhisattva Gotama dalam kelahiran lampaunya selalu terlahir menjadi seorang pria.

Dalam naskah Buddhavamsa disebutkan syarat seorang Bodhisatta adalah seorang laki-laki.

Dia memahami: “Adalah tidak mungkin, adalah tidak bisa terjadi bahwa seorang perempuan dapat menjadi orang yang Terampil, Yang Sepenuhnya Tercerahkan (Sammasambuddha) – tidak ada kemungkinan seperti itu”
(Bahudhatuka Sutta, Majjhima Nikaya 115)

Selain itu Bahudhatuka Sutta juga menyebutkan ketidakmungkinan seorang perempuan menjadi Brahma, Sakka, Mara dan Cakkavati.

Aliran Mahisasaka mengatakan, “Wanita tidak bisa mencapai lima kemampuan supernatural, ia tidak dapat terlahir kembali sebagai seorang Tathagata (seorang Buddha) yang tidak memiliki kemelekatan dan telah mencapai pencerahan sempurna. Ia tidak dapat terlahir kembali sebagai Dewa Sakka, Mara, Brahma atau sebagai Raja Cakkavati. Tetapi, pria dapat terlahir kembali sebagai seorang Tathagata yang tidak memiliki kemelekatan dan telah mencapai pencerahan sempurna. Pria juga dapat terlahir kembali sebagai Raja Cakkavati Dewa Sakka, Brahma atau sebagai Mara.”

Mahavastu juga menyebutkan bahwa perempuan tidak dapat menjadi Bodhisattva. Tapi ini mungkin merujuk pada kelahiran terkahir Sang Bodhisattva [misal: Pangeran Siddharta]. Jadi masih ada kemungkinan di kelahiran-kelahiran sebelumnya, Bodhisattva terlahir sebagai perempuan.

Kelahiran Bodhisattva Gotama sebagai Perempuan

Namun apakah kita tahu, menurut Mahayana, bahwa sedikit kali [bahkan bisa kita hitung menggunakan jari-jari dalam satu tangan saja], Bodhisattva Gotama pernah menjadi seorang perempuan?

Dalam koleksi Jataka Tiongkok, Sang Bodhisattva Gotama dikisahkan pernah beberapa kali terlahir sebagai perempuan, yaitu dua kali menjadi seorang wanita dan 1 kali menjadi seekor induk angsa.

Di sini akan dikutip kisah dari 2 kelahiran lampau Bodhisattva Gotama dalam wujud seorang perempuan, yang pertama adalah:

Berdasarkan Sutra tentang yang Bijak dan yang Dungu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa dari bahasa Sansekerta oleh Huichyeh pada tahun 445 M:

"Raja itu memiliki seorang putri bernama Putri Cerdas, ia melihat bhiksu itu sibuk mengunjungi kota setiap hari, mengirim seorang pria untuk bertanya alasan untuk hal ini. Bhiksu ini memberitahu pria itu: 'Saya telah membuat sumpah untuk mempersembahkan sebuah pelita kepada Buddha dan Sangha selama tiga bulan. Saya pergi ke kota untuk meminta minyak dan barang-barang kebutuhan.' Ketika pria itu melaporkan hal ini kepada putri, dia senang dan memberitahu bhiksu itu: 'Jangan pergi ke kota lagi untuk meminta minyak dan barang-barang kebutuhan. Saya akan memberikan semua kebutuhan kepadamu.' Bhiksu itu menjawab: 'Baiklah,' dan pergi.
"Kemudian putri itu mengirim pelita minyak dan barang-barang kebutuhan kepada bhiksu itu setiap hari dan bhiksu Arya Upasika mempersembahkan pelitanya kepada Buddha. Kemudian dia memperoleh pikiran awal welas asih, Buddha membuat ramalan: 'Oh bhiksu, di masa yang akan datang, ketika berkalpa-kalpa tak terhitung telah telewati, engkau akan menjadi Buddha Dipankara dianugrahi dengan 32 tanda.' Ketika putri ini mendengar ramalan ini, dia berpikir: 'Tetapi sayalah yang mempersiapkan minyak dan barang-barang kebutuhan. Mengapa dia yang memperoleh ramalan itu dan saya tidak?' Pergi menghadap Buddha, dia bertanya kepadaNya mengenai hal ini. Buddha kemudian memberinya ramalan berikut ini: 'Putri Cerdas, di waktu yang akan datang, ketika 91 kalpa telah terlewati, engkau akan menjadi Buddha Sakyamuni dan dianugrahi dengan 32 tanda.' Putri ini bersuka cita, bersujud di atas kaki Buddha, dan memohon untuk bergabung dengan Perkumpulan. Buddha setuju mentahbiskannya dan dia kemudian menghindari pembunuhan, dan berusaha gigih mempraktikkan dhamma.
Buddha kemudian berkata: "Ananda, pada saat itu Buddha Dipankara adalah bhiksu Arya Upasika. Saya adalah putri itu. Karena di waktu lampau saya mempersembahkan sebuah lampu, melalui kalpa yang tak terhitung saya memperoleh kebajikan di alam para dewa dan manusia. Saya dilahirkan lebih tampan dari yang lainnya, dan sekarang saya menjadi seorang Buddha Sempurna yang kepadaNya banyak pelita dipersembahkan." Ketika Buddha telah berkata demikian Yang Mulia Ananda dan seluruh kumpulan bermudita dalam kata-kata Bhagava dan percaya.

(Sutra Yang Bijak dan Yang Dungu –mDzangs blun zhe bya bai mdo – Xianyu Jing賢愚経, abad 5 M)

Divyavadana (abad 3 M) dan Bodhisattva-Avadanakalpalata (abad 11 M) tulisan Ksemendra dari Kashmir menulis kisah kelahiran Sang Bodhisattva Gotama sebagai  seorang wanita yang baik hati bernama Rukmavati / Rupavati.

Rukmavati adalah perempuan yang memberikan buah dadanya [payudara] kepada seorang perempuan yang kelaparan dan anaknya. Dulu sekali, perempuan bernama Rukmavati hidup di kota Utpalavati. Ia terkenal oleh karena kebaikan hatinya dan kedermawanannya pada semua makhluk. Suatu hari, ketika ia berada di suatu tempat meditasi di hutan, ia mendatangi seorang perempuan yang baru saja melahirkan dan terlihat kelaparan. Ibu baru tersebut sangatlah lapar sehingga hampir saja ia memakan anaknya sendiri. Hati Putri Rukmavati iba melihatnya. Rukmavati tahu apabila ia meninggalkan ibu itu sendiri dan menmcari makanan untuk ibu tersebut, maka ibu itu akan memakan anaknya sendiri sebelum dirinya kembali. Rukmavati juga tahu bahwa apabila ia membawa bayi tersebut ke rumahnya untuk diberi makan, ibunya akan meninggal. Lalu dengan tiba-tiba ia memutuskan untuk memberikan kedua payudaranya pada sang ibu untuk menyelamatkan keduanya, baik sang anak maupun sang ibu. Rukmavati tidak menyesal pun tidak ragu menyerahkan tubuhnya dan kedermawanannya diagungkan di seluruh dunia. Putri Rukmavati kemudian berkata jika ia berkata kebenaran, jika ia dengan sungguh-sungguh tidak memiliki rasa penyesalan atau tertekan oleh karena tubuhnya didanakan, maka semoga tubuhnya berubah menjadi seorang pria.
Segera tubuh Rukmavati berubah menjadi seorang pria, duduk bergabung di kelompok menteri di kerajaan Utpalavati. Raja Utpalavati baru saja meninggal dan para menteri di kota memutuskan bahwa Rukmavatilah yang paling cocok untuk memimpin kota. Perempuan yang welas asih tersebut telah berubah menjadi laki-laki dan diangkat menjadi seorang raja, menguasai kerajaan lama sekali. Setelah Rukmavati meninggal, ia terlahir kembali sebagai anak seorang pedagang bernama Sattvavara.

(Avadanakalpalata)

Selain itu, pada abad ke-18 muncul Itikumara Jataka, yang juga mengisahkan kelahiran Bodhisattva Gotama sebagai seorang perempuan.

Sungguh langka, Sang Bodhisattva Gotama terlahir menjadi seorang perempuan. Bahkan setelah menjadi perempuan, seorang Bodhisattva harus kembali lagi lahir menjadi seorang pria untuk menjadi seorang Samyaksambuddha.

 _/\_
The Siddha Wanderer

52
Mahayana / Dewa Dapur
« on: 24 October 2008, 12:16:14 PM »
DEWA DAPUR DAN AGAMA BUDDHA

Dewa ini tidak asing lagi bagi masyarakat Tionghoa. Dewa Dapur yang dikenal di kalangan masyarakat Tionghoa bernama Zao Jun. Hari ulang tahunnya yaitu tanggal 24 bulan 12 Imlek, bertepatan dengan hari naiknya Dewa Dewi menurut kepercayaan Tionghoa.

Pertama-tama marilah kita lihat dulu pembahasan tentang Zao Jun.

Zao Jun (灶君), sang Dewa Dapur versi Taois



Pada hari itu umat bersembahyang pada Zao Jun, yang juga dianggap Dewa Penguasa Keluarga, yang mengawasi perilaku manusia. Keluarga di suatu rumah memohon agar beliau melaporkan kebaikan yang telah mereka lakukan pada Tian dan kemudian memberikan mereka berkah.

Pemujaannya tidak dapat lepas dari “api” yang digunakan untuk menghangatkan dan memasak makanan di dapur.

Siapakah Zao Jun? Dalam kitab-kitab Taois, Zao Jun pada awalnya disebut Zao Shen (灶神). Dewa Zao Jun ada 3 macam:
1. Yang wanita berwujud sebagai nenek-nenek dengan nama Zhonghuo Laomu Yuanjun yang membawahi berbagai dewa dapur
2. Dalam kitab “Upacara-upacara Negeri Zhou” mencatat bahwa Zhu Rong, cucu Huang Di, selalu menangani masalah yang berkaitan dengan api, maka setelah meninggal diangkat jadi Dewa Dapur
3. Yang pria berwujud sebagai orang dengan marga Zhang. Di antaranya Zhang Dan, Zhang Sheng, Zhang Wei dan Zhang Dingfu. Kebanyakan orang dengan marga Zhang yang menjadi Dewa Dapur selalu berhubungan dengan Yuhuang Dadi.

Menurut Kitab Huainan Zi dari zaman Dinasti Han, Kaisar Huangdi yang menciptakan Zao Jun Ye. Ada pula yang menceritakan bahwa awal pemujaan Zao Jun berasal dari kalangan Taois, bermula dari pertemuan pendeta Taois Li Shaojun dengan Zao Jun.

Dapur adalah bagian yang penting dalam kehidupan kita dan sekelompok keluarga. Setiap hari kita perlu makan, dan makanan itu berasal dari dapur. Karena makanan yang penting bagi kehidupan manusia dimasak di dapur, maka dapur juga penting bagi manusia.
Semua yang penting bagi kehidupan manusia haruslah dihargai dan dihormati, salah satunya adalah dapur. Kisah Dewa Dapur sebenarnya bertujuan untuk memberikan nasehat pada masyarakat supaya jangan suka melakukan perbuatan buruk. Kisah Dewa Dapur ini terbentuk mengingat dapur adalah pusat kegiatan sehari-hari bagi setiap keluarga pada zaman dahulu, terutama keluarga yang masih termasuk dalam masyarakat agraris [pertanian].

Zao Jun dalam agama Buddha

Zao Jun bukanlah seorang dewa dalam agama Buddha, melainkan seorang kinnara.

“Di Tiongkok, para bhiksu Buddhis mengkalim bahwa dewa Taois Zao Jun, sebenarnya adalah Kinnara, yang pada zaman Dinasti Tang, bereinkarnasi menjadi seorang bhiksu.”
[Buddhism: Flammarion Iconographic Guides]

Makhluk Kinnara berada di bawah kekuasaan Raja Dewa Vaisravana, dengan demikian juga di bawah kekuasaan Raja Dewa Sakra (Yuhuang Dadi).

Sanbo Kojin (三宝荒神), Dewa Dapur versi Buddhis



Di Jepang, dikenal Dewa Dapur versi Buddhis yaitu Sanbo Kojin. Sanbo Kojin adalah Dewa perapian dapur dan pelindung tanah. Wujudnya tampak forceful dan baru muncul pada abad ke-15 M. Ia memimpin 98.000 setan dan menaklukkan mereka yang jahat dan kejam.

Kojin adalah Dewa Tempat Memasak / Dapur(kamado-no-kami 竈の神). Kojin adalah Dewa yang meyucikan ketidaksucian seperti api yang membakar segala ketidaksucian / kekotoran batin. Maka dari itulah Sanbo Kojin ditempatkan di dekat tungku masak.



Kata-kata “kamado” (竃) adalah satu tipe kompor masak dan dapat disingkat dengan nama “kama”.  Istilah kamadogami (竃神) dipakai di daerah Tōhoku. Di beberapa distrik Prefektur Shizuoka, altar yang paling dekat dengan dapur di rumah-rumah tradisional [minka] itu dipercaya sebagai tempat singgah dewa Sanbo Kojin (kōjinbashira 荒神柱). Pada hari terkahir setiap bulan, sebuah vas berisi dahan cemara (kōjinmatsu 荒神松) ditempatkan pada sebuah altar (kōjindana 荒神棚), yang disanggah oleh pilar di dekat tungku masak.

Di beberapa distrik prefektur Saga, dapur yang besar biasa disebut Dapur Kojin (Kōjinsan-no-Kamado 荒神さんの竃 atau Kōjinsan Hettsui 荒神さん竃).

Dewa Sanbo Kojin memberikan keberuntungan dan melindungi keluarga dari bencana.



Ada beberapa macam Dewa Kojin:
1. Sanbo Kojin (三宝荒神). Perwujudan ini memiliki satu/ tiga / delapan kepala dan empat/ enam / delapan lengan. “Sanbo” berarti Triratna (Buddha, Dharma, Sangha), sehingga Sanbo Kojin disebut juga Dewa Pelindung Triratna.
2. Nyorai Kojin (如来荒神), mirip dengan Vajrasattva dan tangannya membentuk Mudra Enam Elemen layaknya Mahavairocana Buddha
3. Kojima Kojin (子島荒神) yang muncul dengan empat lengan dan berpakaian baju kerajaan Jepang (sokutai), memakai topi kerajaan (kanmuri) dan memegang permata dan cakra. Beliau muncul dalam mimpi Bhiksu Shinko pada abad ke-11 M.

Sanbo Kojin dipuja juga di kalangan Shugendao dan dianggap sebagai emanasi dari En No Gyoja.

Para umat di Jepang melakukan puja pada “Dewa Dapur” dengan menggunakan "Sanku" yang terdiri dari nasi, sake, dan sebagainya.
Kojin, layaknya Zao Jun, konon melaporkan perbuatan manusia ke Dewa-dewa Kota. Di rumah-rumah ia dipuja dengan tablet [fuda], sedangkan di vihara-vihara ia dipuja dengan rupang.



Dewata Lain Yang Juga Ditempatkan Di Dapur

Kita mengetahui bahwa dapur adalah tempat yang sangat penting pada zaman dahulu karena merupakan pusat kegiatan sehari-hari dan di sana tempat dibuatnya makanan yang merupakan seuatu hal yang snagat vital dalam menyokong kehidupan manusia.

Oleh karena itu tidak heran bahwa di Jepang, rupang Dewata atau Bodhisattva ditempatkan di dapur, misalnya:

1. Mahakala. Ia dianggap sebagai pelindung persediaan makanan sehingga digambarkan menaiki karung beras. Rupangnya ditempatkan di dapur vihara India, Tiongkok dan Jepang. Praktek penghormatan pada Mahakala di dapur vihara-vihara Jepang dimulai oleh Bhiksu Saichou di gunung Hiei pada abad 9 M.
2. Skandadeva. Skanda dianggap sebagai pelindung Vihara dan anggota Sangha. Oleh karena itulah beliau ditempatkan di dapur vihara-vihara Zen.
3. Manjushri Bodhisattva, prajna para Buddha, ditempatkan di dapur pada era Heian untuk menyimbolkan bahwa untuk menata dan mengurusi hal-hal rumah tangga haruslah dengan kebijaksanaan dan kedisiplinan.
4. Mikuriya Myojin (御厨明神) [Aiman dan Aigo] dan Ajimi Jizo (嘗試地蔵)[salah satu perwujudan Ksitigarbha] adalah para ‘Dewa Dapur’ di tradisi Shingon di Gunung Koya. Dulu, Aiman dan Aigo tiap harinya membawakan makanan pada Bhiksu Kukai. Mikuriya Myojin adalah salah satu perwujduan Acalanatha Vidyaraja. Kata-kata “Kuriya” di Jepang dipakai untuk mendeskripsikan lantai dapur.

Konon Sanbo Kojin adalah emanasi Manjusri Bodhisattva dan Acalanatha Vidyaraja.

Namun para Bodhisattva dan Dewa di atas BUKANLAH Dewa Penjaga Dapur [perkecualian mungkin bagi Sanbo Kojin]. Manjusri, Skandadeva, Mahakala dan Ksitigarbha bukanlah Dewa Penjaga Dapur.

Mereka ditempatkan di dapur karena dapur merupakan sumber dan pusat dari kebutuhan manusia sehari-hari atau kegiatan dalam suatu rumah. Diharapkan bahwa kebijaksanaan dan berkah para Dewa dan Bodhisattva memberkahi keluarga dalam suatu rumah atau para Bhiksu dalam suatu vihara. Jadi penempatan di dapur itu hanya merupakan suatu tindakan simbolik saja.

Karena dapur dianggap merupakan tempat yang penting, maka tidak heran kalau rupang Bodhisattva dan Dewa ditempatkan di sebuah tempat yang dianggap penting bukan?

Satu-satunya Dewa dalam agama Buddha yang mungkin dapat disebut sebagai Dewa Dapur yang sesungguhnya hanyalah Sanbo Kojin.

 _/\_
The Siddha Wanderer

53
Mahayana / Da Shi Ye
« on: 22 October 2008, 10:48:24 PM »
“Da Shi Ye” (大士爷)



Di kalangan Masyarakat Tionghoa, diyakini Avalokitesvara Bodhisattva menjelma (bermenasi) sebagai Raja Setan “Da Shi Ye” (大士爷). Di dalam agama Tao, Da Shi Ye dikenal dengan nama Pu Du Gong.

Dalam upacara Ullambana, terdapat ritual di mana patung Da Shi Ye ini dibakar. Sebagian masyarakat Tionghoa di Indonesia meyakini bahwa Da Shi Ye melepaskan arwah setan selama 1 bulan pada saat Bulan Ke-Tujuh Penanggalan Lunar Imlek. Ada juga beberapa orang yang meyakini bahwa pembakaran patung Da Shi Ye bertujuan untuk mengusir para setan atau kesialan.



Sebagai emanasi Avalokitesvara Bodhisattva, tentu ada ciri-ciri fisik yang menunjukkan bahwa Da Shi Ye adalah emanasi Avalokitesvara. Tampak di atas kepala Da Shi Ye ada rupang Avalokitesvara sedang berdiri atau duduk bersila.



Syair Maha Karuna Dharani yaitu “Hulu hulu Mara” disimbolkan oleh emanasi Avalokitesvara sebagai seorang Raja Setan:

观音示现鬼神王
Avalokitesvara muncul sebagai raja setan dan hantu
降伏诸魔守规章
Yang memerintah para iblis untuk menaati peraturan
一切众生依教诲
Tiap-tiap makhluk semuanya bergantung pada ajaran dan instruksi
强者调柔弱者昌
Yang kuat akan ditenangkan dan yang lemah dapat menjadi bangkit.

Dalam Karandavyuha Sutra, dikisahkan setelah pergi ke neraka Avici, Avalokitesvara Bodhisattva pergi ke kota setan kelaparan. Ketika Avalokitesvara berada di sana, api karma di kota tersebut padam dan kota setan berubah menjadi sangat sejuk. Avalokitesvara Bodhisattva menciptakan sungai yang mana airnya bisa diminum oleh para setan kelaparan dan ini memuaskan dahaga mereka yang amat sangat.

Upacara memberi makan setan kelaparan dalam Mahayana disebut sebagai Ritual Dharma Yogacara Ulka-Mukha.


[Upacara Ullambana di Vihara Jin De Yuan]


[Patung Da Shi Ye di depan altar Avalokitesvara Bodhisattva]

Dalam Yogacara Ulka-Mukha Preta Sutra, Ananda melihat emanasi Avalokitesvara Bodhisattva sebagai Raja Setan kelaparan. Bodhisattva Avalokitesvara beremanasi menjadi Raja Setan untuk menyelamatkan semua makhluk yang menderita di alam setan kelaparan.

Dalam perwujudannya tersebut, Avalokitesvara muncul dengan ciri-ciri seorang setan kelaparan: Tubuhnya kurus kering. Dari mulutnya mengeluarkan api dan tenggorokannya sempit bagaikan sebatang jarum. Rambutnya acak- acakan. Kuku dan taringnya panjang, sehingga nampak sangat menakutkan.

Dengan upaya kausalyanya, Avalokitesvara Bodhisattva dalam wujud setan kelaparan Mulut Berapi memberitahu Ananda bahwa ia akan meninggal dan dengan begitu Ananda dapat memohon Sang Buddha untuk memberikan tata cara dan Dharani yang dapat membebaskan para setan kelaparan dari penderitaan.

[Buddha berkata pada Ananda kembali], "Ananda aku dahulu adalah dewa Brahma. Kala itu, Bodhisattva Avalokitesvara menerima dharani tersebut dari seorang Buddha bernama Pahala Dashyat Tak Terintangi. Dharani itu, sanggup melimpahkan persembahan makanan pada tak terhitung hantu kelaparan maupun dewa serta membebaskan para hantu kelaparan dari penderitaan mereka; sehinga dapat terlahir di alam dewa. Oleh karenanya, Ananda, terimalah dan pertahankan dharani ini. Pahala keberuntungan serta panjang usia, seluruhnya akan berlipat ganda.
[Pretamukhagnijvalayasarakaradharanisutra]

"Bodhisattva Avalokitesvara memanifestasikan dirinya dalam berbagai macam wujud. Jika seseorang butuh untuk diselamatkan dalam wujud Raja Setan, maka Avalokitesvara akan muncul sebagai Raja Setan dan membabarkan Dharma padanya. Ada banyak ‘hantu kecil’ yang tidak takut akan wujud yang welas asih, maka Avalokitesvara Bodhisattva yang maha welas asih beremanasi menjadi Raja Setan untuk menyelamatkan mereka. Banyak ‘hantu kecil’ yang sulit untuk diubah [menjadi baik], maka Bodhisattva Avalokitesvara bermanifestasi menjadi Raja Setan [sebagai semacam polisi atau hakim], sehingga dapat menyelamatkan 'hantu-hantu kecil’ ini."
[Ven. Shenkai]

 _/\_
The Siddha Wanderer

54
Diskusi Umum / Tumbuhan = Makhluk Hidup?? (Uraian Lengkap)
« on: 18 October 2008, 09:17:58 AM »
URAIAN MENGENAI TUMBUHAN

A work dedicated to Rukkha Dhamma

“Sebongkah batu tidak menarik besi. Kenapa tidak? Karena tidak ada tindakan [berdasarkan] pikiran yang bekerja. O pria yang berbudi! Ada berbagai hal yang memiliki sifat yang berbeda-beda dan dengan demikian muncullah hal yang berbeda-beda sifatnya. Dan apabila tidak ada hal yang berbeda, maka hal yang berbeda menjadi lenyap….

“O pia yang berbudi! Hal ini seperti bunga matahari, yang bergerak [berputar] dengan sendirinya, mengikuti matahari. Dan bunga matahari ini tidak memiliki pikiran untuk menghargai, tidak memiliki kesadaran dan tidak ada tindakan (karma) yang dilakukan. Hal tersebut terjadi karena sifat dari hal yang berbeda, [maka] bunga matahari bergerak dengan sendirinya.”

‘O pria yang berbudi! Hal ini seperti pohon pisang raja yang tumbuh oleh karena halilintar. Tumbuhan ini tidak memiliki telinga maupun kesadaran. Ketika terdapat sebuah hal yang berbeda, maka hal yang berbeda ini tumbuh berkembang; ketika tidak ada hal yang berbeda, maka hal yang berbeda ini lenyap. O pria yang berbudi! Hal ini seperti pohon asoka, yang m***karkan bunga ketika seorang perempuan menyentuhnya. Pohon ini tidak memiliki pikiran, tidak memiliki indera sentuhan. Ketika terdapat sebuah hal yang berbeda, maka hal yang berbeda ini tumbuh berkembang; ketika tidak ada hal yang berbeda, maka hal yang berbeda ini lenyap.

“O pria yang berbudi! Hal ini seperti citrus nobilis, yang tidak berbuah lagi ketika mendapatkan jasad. Namun tumbuhan ini tidak memiliki pikiran atau pun indra sentuhan. Dengan sebuah hal yang berbeda, maka datanglah hal yang berbeda; ketika tidak ada hal yang berbeda, maka hal yang berbeda menjadi lenyap. O pria yang berbudi! Sebagai contoh, buah dari pohon delima tumbuh berkembang karena disebabkan oleh tulang anak sapi yang telah keropos. Namun pohon delima tidak memiliki pikiran atau indera sentuhan. Ketika terdapat sebuah hal yang berbeda, maka datanglah hal yang berbeda; ketika tidak ada hal yang berbeda, maka hal yang berbeda menjadi lenyap.

“O pria yang berbudi! Hal itu sama dan dapat diaplikasikan pada kejadian [di mana] magnet menarik besi. Ketika terdapat sebuah hal yang berbeda, maka datanglah hal yang berbeda; ketika tidak ada hal yang berbeda, maka hal yang berbeda menjadi lenyap.

(MAHAPARINIRVANA SUTRA)

Kalimat sutra di atas dibabarkan oleh Sang Buddha Sakyamuni. Berdasarkan Sabda Beliau sendiri, jelas dikatakan bahwa tumbuhan tidak memiliki kesadaran. Terkadang tumbuhan bereaksi dengan lingkungan sekitarnya seperti disebutkan di atas, namun hal tersebut hanyalah seperti magnet yang menarik besi, tidak ada pikiran atau niat yang bekerja di sana. Berikut ini adalah penelitian para ilmuwan yang menurut mereka tumbuhan memiliki pikiran:

Reaksi Tumbuhan oleh Para Ilmuwan

Stres yang ditimbulkan oleh infeksi patogen atau radiasi sinar ultraviolet, misalnya, dapat membangkitkan mutasi genetik pada sel-sel tanaman bahkan sebagian DNA-nya. Beberapa ilmuwan mengeluarkan hipotesis bahwa tumbuhan dapat meningkatkan kemampuan untuk mengubah sifat genetiknya untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang keras. Tumbuh-tumbuhan bisa saling bekerja sama menghadapi ancaman bahaya. Antara tanaman memiliki sistem komunikasi yang berfungsi sebagai sistem deteksi dini dalam menghadapi ancaman bahaya.

Adalah para peneliti dari National Center for Atmospheric Research Amerika yang pertama kali mendeteksi adanya bahan kimia seperti aspirin di udara di sekitar tumbuhan yang sedang mengalami stress (gangguan). Bahan kimia seperti aspirin tersebut, ternyata dihasilkan oleh tumbuhan sebagai respon (daya imun) atas kondisi tidak normal, seperti perubahan suhu yang ekstrim, untuk melindungi dirinya. Pembentukan bahan kimia tersebut ternyata memicu pula pembentukan protein tertentu dalam tumbuhan, yang berfungsi meningkatkan tingkat ketahanan bio-kimia tumbuhan serta mengurangi akibat buruk yang ditimbulkan oleh kondisi tidak normal disekitarnya. Para peneliti mengungkapkan, tumbuhan mengeluarkan bahan kimia tersebut bertujuan untuk memberikan peringatan kepada tumbuhan di sekitarnya akan adanya ancaman yang mereka hadapi. Penelitian sebelumnya pun memperkuat temuan baru ini, di mana tumbuhan yang sedang di makan hewan mengeluarkan bahan kimia yang sama, yang dapat dirasakan oleh tumbuhan lain di sekitarnya.

Kesimpulan ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh kalangan peneliti dari Universitas Radboud, Nijmegen, Belanda. Tumbuhan berkomunikasi antara mereka sendiri untuk menyebarkan informasi layaknya manusia dan hewan, sebagai bentuk peringatan satu sama lain guna melawan predator dan musuh. Banyak tumbuhan seperti strawberry, semanggi, alang-alang, dan tumbuhan lainnya yang memiliki bentuk koneksi untuk berbagi informasi satu sama lain. Bentuk komunikasi mereka melalui jaringan sebagaimana dikenal batang yang menjalar yang secara fisik menjadi pertalian seperti terowongan atau kabel permukaan tanah dan bawah tanah. Terlebih dulu tersambung pada sistem vertikal, menyebar yang pada akhirnya berbentuk kuncup baru pada ujungnya dan membentuk jejaring tanaman.

Kini, dunia ilmu pengetahuan menemukan bahwa tumbuhan juga memiliki aktivitas pemikiran taraf tinggi, satu penemuan yang paling terkenal, yang pengaruhnya juga lebih besar adalah di tahun 1960-an, seorang ahli elektronik CIA Amerika bernama Cleve Backster, ia bekerja di bidang tes kebohongan, yaitu menggunakan dua kutub instrumen elektrik yang disambungkan ke tubuh manusia, melalui garis lengkung instrumen elektronik, menganalisa sikap mental manusia. Pada awalnya ia sama sekali bukan bekerja sebagai peneliti tumbuhan, penelitian terhadap jiwa tumbuhan sama sekali berasal dari suatu kebetulan. Ketika pada tahun 1966, suatu hari, ia menyiram air di taman rumahnya, menyiram air pada tumbuhan, dan pada saat itu tiba-tiba terdorong oleh hati ia berpikir: Saya menghubungkan alat deteksi kebohongan pada tumbuhan, melihat-lihat bisa bagaimana reaksinya? Begitulah, ia benar-benar menghubungkan alat deteksi kebohongan ke tumbuhan, kemudian ia menyiram air pada tumbuhan.
Hasil yang muncul malah membuatnya terkejut, karena garis lengkung elektrik yang ditampilkan alat elektronik ini, tidak seperti dugaannya demikian pada awalnya, artinya bukan oleh karena air yang menimbulkan resistansi lalu mengurangi gejalanya. Sebaliknya didapati garis lengkung elektrik mengarah ke bawah, bahkan melukiskan serangkaian garis lengkung berbentuk gergaji yang rumit. Karena ia sendiri bekerja sebagai peneliti jiwa manusia, ia tahu saat orang sedang gembira akan ada reaksi seperti ini, maka saat ia mengetahuinya kemudian merasa sangat gembira, ia merasa bilamana sebatang tumbuhan bisa bereaksi ketika disirami air, tentunya itu adalah reaksi manfaat positif bagi tumbuhan. Ia sangat gembira, ingin ke jalan raya dan berteriak: Tumbuhan memiliki perasaan, dan punya pikiran!
Setelah itu, peristiwa tersebut lalu diumumkan. Sejumlah besar orang tidak percaya, di antaranya termasuk seorang doktor kimia yang bekerja sebagai peneliti kimia sebuah perusahaan perdagangan Amerika, namanya Michael Fork. Orang ini tidak percaya, merasa terlalu fantastis, lalu ia sendiri membuat percobaan, dan hasilnya terjadi perubahan 180 derajat pada sikapnya, yang semula menentang berubah menjadi pendukung, karena ia mendapati memang benar tumbuhan mempunyai reaksi kesadaran terhadap sejumlah besar sinyal atau isyarat. Belakangan, Barker Stealth mengadakan serangkaian penelitian pada segi yang berhubungan dengan jiwa tumbuhan, dan penelitiannya ini kemudian pada sekitar tahun 1973, disimpulkan oleh Peter Tompkins dalam sebuah buku, namanya "Kegaiban Jiwa Tumbuhan", buku tersebut telah mengumpulkan beberapa gejala dan sejumlah besar penelitian Barker Stealth yang berhubungan dengan botani.
Seperti contoh misalnya: Suatu ketika, Barker Stealth ingin melihat bagaimana reaksi tumbuhan terhadap pembunuhan makhluk berjiwa, ia lalu merancang sebuah instrumen, dan merancang sebuah percobaan, secara rutin setiap beberapa saat ia akan memasukkan ikan dan udang hidup ke dalam air limbah. Kemudian, ia menempatkan beberapa batang tumbuhan di tempat tersebut, agar mereka bisa melihat segalanya. Sehari kemudian, ia bolak-balik mengumpulkan catatan tersebut dan mendapati, bahwa ketika waktu ikan dan udang hidup dilemparkan ke dalam air limbah dan mati, tumbuhan akan memberikan reaksi perubahan garis lengkung yang sengit, ia memang benar-benar telah melihat segalanya, dan bahkan memberikan reaksi. Anda tidak perlu peduli apakah tumbuhan melihat semua itu melalui sistem saraf, atau melalui saluran apa, menurut penalaran ilmu pengetahuan sekarang, tumbuhan tidak memiliki sistem saraf, namun ia telah memberikan reaksi. Meskipun gejala tersebut ditunjukkan di sana, bagaimana penjelasannya merupakan sebuah persoalan lain.
Sebuah percobaan lainnya, adalah menyuruh seorang siswanya menginjak hancur sebatang tumbuhan di depan sebatang tumbuhan lainnya, kemudian ia menyuruh siswanya itu berbaur di antara sekelompok siswanya, mengenakan topeng, dan mengenakan pakaian yang sama, lalu satu demi satu berjalan di hadapan tumbuhan tersebut. Saat siswa yang menginjak tumbuhan itu berjalan di hadapan tumbuhan, tumbuhan yang hidup itu akan memberikan reaksi yang hebat, ia merasa tegang, ia tahu orang itulah yang telah menginjak-injak tumbuhan, dan ia merasa sangat takut.

Uniknya, Cleve Backster pernah berkata:
“Kapanpun aku bertemu dengan ilmuwan India, Buddhis atau Hindu dan aku berbicara tentang apa yang aku lakukan, alih-alih memberikan padaku kesedihan, mereka berkata, “Kenapa kamu begitu lama?” pekerjaanku sangat selaras dengan banyak konsep-konsep agama Hindu dan Buddha.”

Apabila penemuan para ilmuwan tersebut dikaitkan dengan sabda Sang Buddha dalam Mahaparinirvana Sutra, maka akan jelas bahwa penemuan para ilmuwan tersebut TIDAK MENJELASKAN bahwa tumbuhan memiliki pikiran. Seperti pohon aloka yang berbunga ketika disentuh seorang wanita, ini hanyalah seperti MAGNET MENARIK BESI. Sang Buddha sejak 2500 tahun yang lampau telah mengetahui dengan jelas sebab-sebab tumbuhan memberikan reaksi seperti demikian.

 _/\_
The Siddha Wanderer

55
Mahayana / Makan Daging Diizinkan oleh Pandit Mahayana Bhavaviveka
« on: 15 October 2008, 12:21:13 PM »
Bhavaviveka : Tentang Makan Daging

Bhavaviveka (500-578 M), pendiri Svatantrika Madhyamika, salah satu aliran dalam Mahayana pernah menulis dalam karyanya Madhyamaka-hrdaya-karika tentang makan daging sebagai berikut:

Na mansa bhaksanam bhoktum bhujyate papa karanat
Ksut pratikara hetutvad yad rcchagata bhaktavat


133. “Tindakan memakan daging dengan tujuan sebagai nutrisi, obat bagi penyakit atau sebagai pemulih kelaparan tidak menyebabkan karma buruk.”

Asucitvad abahksyam cen mansam kayo pi cintyatam
Bija sthanad upastambhad asuci vitkrimir yatha


134. “Larangan memakan daging dengan alasan ketidaksucian itu tidak dapat diterapkan. Tubuh kita sendiri dilahirkan dengan tidak suci dan terus menerus tidak suci, tidak peduli apakah seseorang makan daging ataupun tidak. Tubuh manusia ini tidak suci, seperti cacing di tumpukan kotoran.”

Sukradi sambhavad eva matsya mansam vigarhitam
Tam ghrta ksiradir hetoh syad evam vyabhicarita


135. "Larangan memakan ikan dengan alasan bahwa ikan adalah gabungan dari sperma dan darah tidak dapat diterapkan. Ketika ikan dilarang untuk dimakan, kenapa ghee dan susu, yang merupakan produk dari penyatuan sperma dan darah, tidak dilarang?”

Mansadah prani ghati cet tan nimittatvato matah
Ajinadi dharair hetoh syad evam vyabhicarita


136. “Larangan memakan daging dengan alasan mengambil kehidupan hewan tidak dapat diterapkan. Jika seoarng petapa tidak memakai bulu dan kulit binatang, seekor rusa Sarabha akan selamat. Hidup seekor hewan yang diambil, tidak hanya dengan tujuan memakan dagingnya.”

Na mansa bhaksanam dustam tadanim prany aduhkhanat
Mukta barhi kalapadi tandulambupayogavat


137. “Larangan memakan daging dengan alasan bahwa ketakutan dan penderitaan makhluk tidak dapat diterapkan. Ketika dimakan, hewan tersebut telah dipukul sampai mati. Tindakan memakan daging bukanlah sebuah tindakan yang negatif seperti halnya tindakan memakan beras dan meminum air bukan tindakan yang negatif. Hewan tersebut tidak tersiksa oleh tindakan memakan daging mereka, sama seperti merak yang tidak menderita apabila bulunya diambil. Sama seperti gajah yang tidak meninggal karena gadingnya dicabut. Sama seperti ibu kerang yang tidak menderita dan mati oleh karena mutiaranya diambil. Jika hal memakan daging [yang telah mati] adalah berdosa, mengapa kremasi tubuh yang telah mati tidak berdosa [membuat karma buruk]?"

Samkalpa jatvad ragasya na hetur [mansa bhaksanam]
[tad]vinapi tad utpatter gavam iva trnasinam


138. “Larangan memakan daging dengan alasan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan nafsu seksual tidak dapat diterapkan. Meskipun merupakan seekor hewan pemakan tumbuhan (herbivora), seekor lembu atau kuda di sini diketahui memiliki hasrat seksual yang menggebu-gebu.”

Bhavaviveka, selaku pakar Mahayana mengizinkan makan daging dan menganjurkan Tri-koti-suddha-mamsa bagi para Buddhis yaitu untuk tidak memakan daging di mana kita melihat, mendengar dan mencurigai binatang itu dibunuh untuk dimakan oleh kita.

Bhavaviveka ditahbiskan sendiri oleh YA Nagarjuna, pendiri aliran Madhyamika. Menurut tradisi Vajrayana, Bhavaviveka merupakan salah satu dari 17 Maha Pandita.

Bhavaviveka juga mengetahui keberadaan Hastikaksya Sutra, Mahamegha sutra, Lankavatara Sutra dan Angulimaliya sutra, yang merupakan sutra-sutra Mahayana yang berisi anjuran vegetarian. Hal ini dapat diketahui lewat Tarkajvala yang ditulis Bhavaviveka.

Hal ini sekaligus membenarkan isi artikel yang ditulis oleh surya Wijaya dan diposting oleh bro. Hikoza:
"Dalam teks nya yang berjudul Esensi dari Jalan Tengah (Madhyamaka-hrdayakarika), Bhaviveka --seorang Guru Besar Mahayana dari India-- mengajukan permasalahan apakah vegetarian itu penting dalam cara hidup seorang Buddhis. Beliau mengemukakan alasan bahwa karena pada saat memakan daging, binatang tersebut telah mati, tindakan memakan daging tersebut tidak menyebabkan rasa sakit secara langsung terhadap binatang tersebut. Yang secara khusus dilarang adalah memakan daging dari binatang yang anda perintahkan untuk dibunuh, atau anda curiga, mendengar, atau melihat bahwa binatang tersebut dibunuh khusus untuk anda. Daging tersebut tidak seharusnya kita makan. (Syarat ini jelas sama dengan yang tercantum dalam ajaran Theravada)"

 _/\_
The Siddha Wanderer

56
Kesehatan / [INFO] Luo Han Guo / Siraitia grosvenorii
« on: 04 October 2008, 02:08:28 PM »
Ada yang suka minum ini?

Luohan-guo (buah Arahat).  :D

羅漢果 juga berarti Arhat phala [Arahattaphala].

Makan buah ini langsung jadi Arahat.....  ^-^

Nama ilmiahnya Siraitia grosvenorii.





The dried fruit may be bought in a market. The surface of the fruit is round and smooth, it has a yellow-brownish or green-brownish colour, and is covered by fine hairs. The fruit has a hard but thin shell. Inside, one finds a partially dried, soft substance which contains the juice and a large quantity of seeds. All components are very sweet. Their nature is cool and not toxic. The fruit can act as a remedy for sun stroke, wet the lungs, remove phlegma, stop cough and aid defecation.

 _/\_
The Siddha Wanderer

57
Diskusi Umum / Apakah benar Einstein berkata demikian??
« on: 02 October 2008, 07:43:58 AM »
Selama ini kita umat Buddhis di indonesia sangat membangga-banggakan perkataan albert Einstein tentang agama Buddha, yaitu:

Agama di masa mendatang adalah agama kosmik. Agama tersebut  seharusnya melampaui (transcend) konsep Tuhan yang bersifat pribadi (personal God) dan menghindari dogma-dogma teologi. Dengan mencakup bidang alam dan spiritual, agama itu harus didasari pada makna agama yang lahir dari pengalaman terhadap segala fenomena, natural, dan spiritual, dan penyatuan yang bermakna. Buddhisme menjawab deskripsi ini. Bila ada agama yang dapat mengatasi kebutuhan pengetahuan
modern, agama tersebut adalah agama Buddha.


Konon Albert Einstein mengatakannya di forum "Science And Religion" di princeton, New jersey pada tanggal 19 Mei 1939.

Sumber lain menyebutkan bahwa kutipan kata-kata Einstein itu ada di buku "Albert Einstein, The Human Side".

Tapi pada kenyataannya, kutipan tersebut SAMA SEKALI TIDAK DITEMUKAN dalam transkrip "Science And Religion" maupun dalam buku "Albert Einstein, The Human Side".

Maka kemungkinan besar Albert Einstein tidak pernah mengatakan pernyataan seperti itu.

Apakah kutipan Einstein yang selama ini dibangga-banggakan umat Buddhis ternyata hanya rekaan belaka?

Marilah kita bahas.

 _/\_
The Siddha Wanderer

58
Beberapa Samyaksambuddha di masa yang sama?

Barusan saja ada perdebatan apakah bisa ada 2 atau lebih Samyaksambuddha yang muncul secara bersamaan di dunia ini dalam satu masa (Buddhasasana Sakyamuni), yaitu Masa Dispensasi Dharma Buddha Sakyamuni.

Samyaksambuddha adalah istilah Sansekerta dan Sammasambuddha adalah istilah Pali. Ia yang mencapai tingkatan Anuttara Samyaksambodhi dikatakan telah menjadi seorang Samyaksambuddha.

Aliran Vajrayana mengajarkan ajaran di mana seseorang dapat mencapai tingkatan Anuttara Samyaksambodhi dalam satu masa kehidupan. Ketika seseorang mencapai tingkatan Anuttara Samyaksambodhi, dengan kata lain ia telah menjadi Nirmanakaya Buddha.

Nah akhirnya timbul problem, kalau begitu kan ada lebih dari 1 Samyaksambuddha dalam satu masa?

Ya benar! Menurut Vajrayana, dalam satu masa Buddha Sasana, bisa ada lebih dari 1 Samyaksambuddha, namun TETAP ADA BEDANYA.

Di dalam Vajrayana, dikenal beberapa tipe Nirmanakaya:

1. Nirmanakaya Agung (Supreme Nirmanakaya)
2. Nirmanakaya melalui kelahiran / inkarnasi
3. Nirmanakaya yang beraneka ragam
4. Nirmanakaya buatan , yaitu rupang-rupang atau gambar Buddha

Nirmanakaya Agung adalah salah satu tipe dari empat jenis Nirmanakaya.

Nirmanakaya Agung adalah Buddha yang memutar Roda Dharma, seperti Buddha Sakyamuni. Nirmanakaya Agung melakukan 12 tindakan:

1. Meninggalkan surga dan bermanifestasi di bumi pada waktu yang tepat
2. Masuk ke dalam rahim ibu dan terlahir di keluarga yang paling sesuai
3. Lahir secara ajaib
4. Ketika tumbuh menunjukkan kekuatan fisik yang unik dan kepandaian mental
5. Menikmati kehidupan duniawi
6. Meninggalkan keduniawian
7. Mempraktekkan pertapaan keras dan kemudian meninggalkan pertapaan keras tersebut
8. Pergi ke tempat di mana semua Buddha di dunia ini bermanifestasi
9. Melenyapkan pengaruh negatif di dunia
10. Untuk mengajarkan Jalan tengah dan tercapaianya Pembebasan Sejati
11. Mengajarkan Dharma yang universal
12. Memasuki Nirvana

Sakyamuni Buddha adalah Nirmanakaya Agung yang mempunyai ciri unik yang tidak dimiliki Nirmanakaya lainnya, yaitu Memutar Roda Dharma (Dharmachakra).

“Seribu dari sistem dunia ini disebut sebagai 1 Miliar Sistem Dunia Besar yang di dalamnya mencakup 1 miliar Dunia Empat benua, dan sejauh itulah daerah “kekuasaan” satu Nirmanakaya agung (supreme Nirmanakaya).”
(Gerbang menuju Pengetahuan, Jamgon Mipham)

Nah jelas bahwa Sang Buddha adalah Samyaksambuddha khusus yaitu Samyaksambuddha Nirmanakaya Agung dan HANYA SATU-SATUNYA dalam masa Dispensasi Dharma sekarang ini.

Nirmanakaya Agung berikutnya adalah Samyaksambuddha Maitreya. TIDAK ADA Nirmanakaya Agung lain selama masa di antara Buddha Sakyamuni dan Buddha Maitreya.

Jadi apabila ada makhluk yang mencapai tingkatan Samyaksambodhi dalam masa Buddha Sasana sekarang ini, maka ia bukan Nirmanakaya Agung, tetapi jenis Nirmanakaya yang lainnya.

“Luar Biasa, sungguh menakjubkan, Nirmanakaya Agung (supreme Nirmanakaya) Guru Rinpoche!”
(Cahaya Kebijaksanaan Oleh Padmasambhava)

Pengecualian adalah bagi Guru Padmasambhava. Beliau muncul dalam masa Buddha Sasana ini dan dianggap sebagai Nirmanakaya Agung. Tapi hal ini tidaklah menjadi masalah. Kenapa?

Karena Padmasambhava adalah emanasi Buddha Sakyamuni sendiri. Dengan kata lain Padmasambhava dan Buddha Sakyamuni itu satu hakekat adanya.

Sang Buddha Sakyamuni berkata dalam Sutra Ramalan Magadha:

“Saya akan wafat untuk mengikis pandangan kekekalan.
Namun setelah dua belas tahun dari sekarang,
untuk mengenyahkan pandangan kemusnahan mutlak,
Saya akan muncul dari sekuntum teratai di danau suci Khosa
Sebagai seorang putra agung menggembirakan sang raja
Dan memutar Roda Dharma makna inti yang tak tertandingi.”


12 tahun berarti 12 abad, dan benar, 12 abad setelah Sang Buddha Parinirvana, Guru Padmasambhava lahir. Buddha Sakyamuni muncul sebagai Guru Padmasambhava di Danau Khosa.

Oleh karena itu Guru Padmasambhava tak lain adalah Buddha Sakyamuni sendiri. Maka dari itu umat Vajrayana Tibetan seringkali mengatakan bahwa Guru Padmasambhava adalah “Buddha-nya Vajrayanis”.

“Dijelaskan secara rinci, Mahabodhi atau Nirmanakaya Agung adalah, sebagai contohnya, yaitu guru kita, Buddha Bhagavan, yang menunjukkan 12 tindakan.”
Nirmanakaya buatan (crafted nirmanakaya) adalah makhluk yang secara ajaib muncul dalam berbagai macam wujud fisik manusia untuk membimbing  mereka yang butuh dibimbing…….. Sebagai contoh, seorang Nirmanakaya buatan secara ajaib muncul sebagai manusia yang pergi untuk mengambil vina dari gandharva dengan tujuan untuk mengubah keyakinan Gandharva Sungguh Bahagia.”
Itu dijelaskan dalam istilah pikiran yang memunculkan perwujudan sihir, sebagai contoh hanya muncul dalam wujud pengrajin menurut persepsi mereka yang butuh untuk dibimbing. Beberapa orang mengatakan bahwa representasi wujud tubuh Buddha seharusnya dimasukkan ke dalam kategori Nirmanakaya Buatan (crafted nirmanakaya), tetapi mereka masuk dalam kategori Nirmanakaya Beraneka Ragam (variegate nirmanakaya).
Nirmanakaya inkarnasi (incarnated nirmanakaya) menunjukkan tindakan untuk lahir kembali di berbagai tempat, termasuk sebagai Indra, rusa ruru atau dengan jalan lainnya, dengan tujuan untuk membimbing makhluk hidup. Dengan jalan ini, [maka] ada tiga tipe dari Nirmanakaya.
Kemudian, ada lagi Nirmanakaya Beraneka Ragam (variegated nirmanakaya), yang metode kemunculannya dalam berbagai bentuk yang dapat menghubungkan para makhluk hidup dengan manfaat dan kebahagiaan, termasuk pil shariram, bunga teratai, permata, makanan, kain, kereta dan lainnya.”
(Gerbang menuju Pengetahuan, Jamgon Mipham)

“….1 miliar tata surya, masing-masing kelompok adalah alam satu Nirmanakaya Agung Buddha”
(Sebagaimana Adanya, Tulku Urgyen Rinpoche)

“Nirmanakaya muncul dalam empat cara yang berbeda. Nirmanakaya buatan (created nirmanakaya) adalah pratima-pratima suci, seperti tiga rupang yang terkenal dan semula disimpan di stupa Bodhgaya, dua di antaranya sekarang ada di Lhasa. Kemudian ada lagi Nirmanakaya Agung (supreme nirmanakaya), yang menurut sutra-sutra, adalah Buddha Sakyamuni. Nirmanakaya Agung bagi ajaran Vajrayana adalah Padmasambhava, yang bermanifestasi sebagai 1 miliar Padmasambhava yang berkesinambungan. Ada juga Nirmanakaya inkarnasi (incarnated nirmanakaya), yaitu seperti para guru-guru [Buddhis] agung yang dalam tradisi Tibetan disebut sebagai Tulku. Akhirnya ada jenis Nirmanakaya beraneka ragam (variegated nirmanakaya), yang muncul dalam wujud yang berbeda-beda untuk memberikan manfaat pada setiap makhluk hidup sesuai kebutuhan mereka.”
(Mengulang kata-kata Buddha oleh Tulku Urgyen Rinpoche)

Nah jelas sekali bahwa para guru-guru Buddhis Vajrayana yang telah mencapai tingkatan Anuttara Samyaksambodhi adalah para Nirmanakaya inkarnasi (incarnated nirmanakaya), bukan Nirmanakaya Agung (supreme nirmanakaya).

Khenpo Karthar Rinpoche dalam karyanya Gunung Dharma, mengatakan:

“Kita dapat berusaha untuk menyimpulkannya dengan berkata bahwa menurut sutra-sutra, terdapat 3 tipe Nirmanakaya. Jenis-jenis tersebut diberi nama Nirmanakaya Agung, Nirmanakaya kelahiran dan Nirmanakaya buatan. Abhidharma berbicara tentang satu miliar dunia seperti dunia kita, dan juga dikatakan bahwa “miliar” adalah jumlah yang korespon dengan aktivitas satu Nirmanakaya Buddha. Menurut penjelasan dasar, setiap masing-masing Buddha dari 1000 Buddha pada Bhadrakalpa ini muncul di dunia, Ia juga muncul di miliaran dunia lainnya, tidak hanya [dalam wujud] Buddha, tetapi juga Mahabodhisattva seperti Avalokitesvara, Arya Tara, Guru Padmasambhava, Vajrapani, Manjushri. 1 miliar dunia untuk masing-masing Bodhisattva ini.”

Para Buddha juga memiliki 32 tanda besar dan 80 tanda kecil, lain dengan para Bodhisattva yang hanya memiliki sebagian tanda saja.

Pada masa kita kali ini, hanya 2 orang yang memiliki 32 tanda besar dan 80 tanda kecil seorang Buddha, yaitu Sakyamuni dan Padmasambhava (yang tak lain juga Sakyamuni).

Bisa dilihat yaitu pada Karmapa yang dianggap sebagai emanasi Bodhisattva Avalokitesvara yang kelak akan menjadi Buddha ke-6 masa Bhadrakalpa ini, Buddha Simha.

Dalam kelahiran beliau (Karmapa) yang berulang-ulang, yang muncul hanyalah beberapa tanda saja dari 32 tanda besar dan 80 tanda kecil, menunjukkan bahwa beliau adalah seorang Bodhisattva Agung, bukan Samyaksambuddha.

Seorang Bodhisattva tapi juga seorang Buddha ??

Sering dalam Vajrayana, Bodhisattva Manjusri dan Avalokitesvara diberi sebutan “Buddha”. Tapi apakah arti sebenarnya dari “Buddha” itu? Apakah Samyaksambuddha??

Pancavimsati Prajnaparamita Sutra dan Satasahasrika Prajnaparamita Sutra mengatakan bahwa Bodhisattva bhumi kesepuluh dapat dipanggil dengan sebutan Tathagata.

“bodhisattvo mahasattvo dasamyam bhumau sthitah sams tathagata eveti vaktavyah”

Maka dari itu tidak heran apabila ada orang yang menyamakan Bodhisattva bhumi kesepuluh dengan Buddha Tathagata.

Walaupun Bodhisattva bhumi ke-10 (Dharmamegha) dapat dikatakan juga sebagai Tathagata, tetapi beliau tetap berbeda dengan Samyaksambuddha.

Hal ini secara jelas dikatakan dalam Samdhinirmocana Sutra, di mana dikatakan bahwa Bodhisattva bhumi kesepuluh masih harus menaklukkan klesha untuk menjadi Samyaksambuddha.

“Setelah mencapai tingkatan kesepuluh, Ia menerima abhiseka dari para Buddha. Setelah menerima abhiseka dari para Buddha, ia mencapai konsentrasi semua Bodhisattva (sarvabodhisattvasamadhi). Setelah mencapai konsentrasi semua Bodhisattva, Ia terakhir dari semua (pascat) mencapai Suramgamasamadhi. Setelah mencapai Suramgamasamadhi, ia dapat menunjukkan / melakukan tindakan-tindakan Buddha (buddhakarya) untuk semua makhluk, tetapi ia tidak meninggalkan praktek (carya) dari seorang Bodhisattva.”
(Suramgamasamadhi Sutra)

Untuk meng-abhiseka seorang Bodhisattva di tingkat sepuluh, yaitu tingkatan Dharmamegha, para Buddha dari 10 penjuru mengeluarkan cahaya yang masuk ke kepala Sang Bodhisattva dan memberikan padanya semua atribut Buddha, ia kemudian dikatakan “abhisikto buddhatve” yang berarti “di-abhiseka dalam Ke-Buddhaan” (Abhisekabhumi) (dirangkum dari Dasabhumika Sutra dan Sutralamkara).

Ketika Bodhisattva tingkat sepuluh memasuki Abhisekabhumi, maka Beliau telah dapat disebut sebagai seorang Buddha, walaupun masih terdapat klesha dalam batin-Nya.

Para Bodhisattva pada tingkatan Dharmamegha pada awalnya akan mencapai samadhi sarvajnanavisesabhiseka, Kemudian akan tampak duduk dalam tempat duduk bercahaya bernama maharatnarajapadma, yang mengeluarkan cahaya sampai ke sepuluh penjuru dunia dan menunjukkan banyak keajaiban, Para Buddha muncul di hadapannya dan mengabhisekanya dalam Samyaksambodhi. Ia dipanggil sebagai Samyaksambuddha, walaupun belum mencapai tingkat Samyaksambuddha.

Berlanjut, Ia kemudian mengerti semua kemunculan berbagai fenomena sesuai dengan sifat sejatinya dan meralisasikan berbagai perwuujudan mukjizat. Ia kemudian melatih 10 Kekuatan (bala).

Sang Bodhisattva kemudian memiliki empat vaisaradya yaitu telah mencapai Pencerahan Tertinggi, telah menghancurkan semua keinginan jahat, telah dengan baik mengenal rintangan menuju jalan pencerahan dan dengan kebenaran mengajarkan jalan menuju pembebasan.

Kemudian Sang Bodhisattva sekarang memiliki 18 avenika (karakteristik unik) seorang Buddha: ia tidak melakukan kesalahan apapun, ia tidak melakukan kesalahan baik di ucapan maupun pikirannya, pikirannya selalu stabil, pikirannya bebas dari keterbatasan, ia tenang seimbang, keinginannya untuk menyelamatkan makhluk hidup tidak terbatas, energinya tidak dapat habis, ingatannya akan Buddha-Buddha masa lampau tidak terbatas, kebijaksanaannya tidak terbatas, pembebasannya permanen, pengetahuan akan pembebasannya permanen, keahliannya dalam upaya sempurna baik dari segi tindakan maupun ucapan, ia mengetahui segala masalah semua makhluk hidup dan ia mengetahui masa lalu, masa sekarang dan masa depan.

Lebih lanjut Ia melalui penampakan cahaya mahadharmamegha dan membuatnya menjadi dalam dirinya(sahate, svikaroti, sampraticchati, samdharayati). Akhirnya ia  memadamkan api penderitaan, yang dihasilkan oleh avidya, dengan cara membuat hujan nektar kebajikan agung (hujan Dharma).

Menurut Mahavastu, bodhisattva tingkat ke-10 yang akan terlahir menjadi manusia, pertama akan terlahir di alam Surga Tusita, menunggu saat yang tepat untuk lahir dalam alam manusia.

Teks-teks lain menunjukkan bahwa di atas Dharmamegha masih ada 2 tingkatan lagi yang harus dilalui oleh seorang Bodhisattva untuk mencapai tingkat Samyaksambuddha Yang Sejati.

Berdasarkan TRV. Murti, Candrakirti berkata dalam Madhyamakavatara: “tingkat bhumi kesepuluh – Dharmamegha – dianggap sebagai Buddhabhumi, meskipun Anuttara Samyaksambuddha masihlah jauh.”

Kesimpulan

Dikatakan dalam Vajrayana bahwa seseorang dapat mencapai tingkatan Anuttara Samyaksambodhi dalam masa hidup ini juga. Ya benar. Tapi seseorang yang mencapai tingkatan Anuttara Samyaksambodhi pada masa Buddha Sasana masih ada, sebenarnya adalah:

Bodhisattva tingkat 10 yang bergelar Samyaksambuddha, diabhiseka dalam Samyaksambodhi dan mampu menunjukkan karakteristik Buddha dan tindakan Buddha (buddhakarya)

BUKAN
Samyaksambuddha Nirmanakaya Agung seperti Buddha Sakyamuni.

Jadi dalam Theravada, Mahayana dan Vajrayana semuanya sama-sama meyakini bahwa di dunia kita sekarang ini hanya muncul 1 orang Samyaksambuddha (Sammasambuddha) yaitu Sakyamuni Buddha Gotama.

Tidak bisa ada 2 orang Samyaksambuddha Nirmanakaya Agung (supreme nirmanakaya) dalam masa bersamaan dalam 1 sistem tata dunia.

Yang lainnya hanyalah Bodhisattva tingkat 10 yang bergelar “Samyaksambuddha”. Dan Bodhisattva tingkat-10 itu masih harus memadamkan beberapa klesha lagi untuk mencapai tingkatan Samyaksambuddha Yang Sejati.

"Pada tingkat kesepuluh (Dharmamegha), terdapat dua jenis avidya (kebodohan batin). Yang pertama adalah avidya dari kekuatan mistik agung. Yang lainnya adalah avidya dari pembebasan menuju misteri inti. Kedua avidya ini dan ketebalannya adalah apa yang akan dilenyapkan."
"Pada tingkat ke-Buddhaan, mendekati yang apa adanya, terdapat dua jenis avidya. Yang pertama adalah avidya dari memegang dalam-dalam objek pengetahuan secara ekstrim. Yang lainnya adalah avidya dari halangan-halangan inti yang ekstrim. Kedua avidya ini dan ketebalannya adalah apa yang akan dilenyapkan."
(Samdhinirmocana Sutra)

Semoga menjawab pertanyaan teman-teman. Mohon maaf kalau ada terjemahan yang salah atau kurang enak dibaca.

 _/\_
The Siddha Wanderer

59
Mahayana / Siapakah Yang Merangkai Ulang Sutra-sutra Mahayana?
« on: 01 October 2008, 09:18:09 AM »
Selama ini kita tahu bahwa YA Ananda sebagai Penjaga Dhamma adalah yang mengucapkan ulang dan merangkai Sutta Pitaka.

YA Mahakassapa mengucapkan ulang Abhidhamma dan YA Upali mengucapkan ulang Vinaya.

Semua di atas adalah Tipitaka Pali alias Theravada dan diucapkan pada saat Konsili Pertama.

Dalam tradisi Mahayana, Sang Buddha Sakyamuni sendirilah yang membabarkan Sutra-Sutra Mahayana.

Lantas siapakah yang mengucapkan kembali dan merangkai Sutra-Sutra Mahayana?

Ketika Konsili Buddhis Pertama diadakan, para Bodhisattva pergi ke Gunung Vimalasvabhava. Di sana:

Bodhisattva Maitreya mengucapkan ulang dan merangkai Vinaya Mahayana
Bodhisattva Vajrapani mengucapkan ulang dan merangkai Sutra Mahayana
Bodhisattva Manjusri mengucapkan ulang dan merangkai Abhidharma Mahayana
Bodhisattva Samantabhadra sebagai pemimpin Konsili

Menurut YA Jnanamitra, Manjusri-lah yang mendengar dan merangkai Sutra-Sutra Mahayana, bukan Vajrapani.

YA Bhavaviveka (500-578 M, pendiri Svatantrika Madhyamika) berkata dalam Tarkajvala bahwa yang merangkai dan mengucapkan ulang Sutra-Sutra Mahayana bukanlah Ananda karena pemahaman Prajnaparamita dalam Sutra Mahayana tidak dapat dipahami oleh batin Ananda yang merupakan pengikut "Hinayana".

Namun YA Haribhadra (abad 8 M, murid dari Guru Shantaraksita) mengatakan bahwa meskipun batin Ananda tidak dapat memahaminya, namun yang mengucapkan ulang dan merangkai Sutra Mahayana tetaplah Ananda. Ananda melakukannya dengan "berkah" dari Buddha.

Komentator Prasastrasena berkata bahwa mendengar seperti pada awal Sutra Mahayana "Evam me suttram" yang berarti "Demikianlah yang kudengar", tidak harus dapat dipahami. Jadi ketika YA Ananda merangkai Sutra Mahayana, Beliau memang tidak paham akan isinya, namun beliau tetap mengucapkan ulang berdasarkan atas apa yang beliau dengar dari Sang Buddha.

Menurut postingan bro. chingik yang lalu, dikatakan bahwa dalam tradisi Mahayana memang diyakini bahwa setelah Konsili Goa Saptapani selesai, Ananda kemudian diundang oleh Bodhisatva Manjusri dan Maitreya untuk mengadakan Konsili khusus tentang ajaran Mahayana. 

Berdasarkan catatan Tibet, dikatakan bahwa Sutra-Sutra Mahayana pada tahap awal (setelah Konsili Pertama) dilestarikan dalam tradisi oral oleh para Tripitakadhara dalam kelompok-kelompok privat yang kecil, sampai akhirnya ditulis pada Konsili Keempat. Sedangkan Sutra-Sutra Hinayana dilestarikan secara oral dalam kelompok-kelompok besar.

Tipitaka Pali ditulis pada saat Konsili Keempat di Srilanka.
Tripitaka Mahayana ditulis pada saat Konsili Keempat di Kashmir.

 _/\_
The Siddha Wanderer

60
AGAMA BUDDHA DAN AGAMA ISLAM

Sebelumnya saya ingin mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1429 H bagi semua umat Muslim di Indonesia dan selamat menunaikan ibadah puasa. Minal Aidzin wal Faidzin.

Setelah saya menulis artikel tentang hubungan antara agama Buddha dengan agama Tao, agama Buddha dengan agama Hindu, saya sekarang akan menulis sebuah artikel yang berisi tentang hubungan agama Buddha dengan agama mayoritas negeri ini, yaitu Islam, beserta pandangan kedua agama terhadap pendiri agama satu sama lain.

Banyak orang bertanya-tanya, apakah benar ada hubungan antara kedua agama ini dalam sejarah dunia? Kalau ada, bagaimanakah hubungan tersebut? Oleh karena itu marilah kita bahas pertanyaan tersebut.

Sang Buddha dalam Al Quran.

Tidaj ada kata-kata “Buddha” dalam Al Quran, namun para sejarawan dan peneliti mengaitkan beberapa ayat Al-Quran dengan Sang Buddha.

Demi (buah) Tin (fig) dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
(Quran Surat at-Tin (95) : 1)

Buah Zaitun melambangkan Yerusalem, Yesus dan Kristianitas. Bukit Sinai melambangkan Musa dan Yudaisme. Kota Mekah menyimbolkan Islam dan Muhammad. Lantas pohon Tin (fig) melambangkan apa?

Tin = fig = Pohon Bodhi.

Pohon Bodhi adalah tempat Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna.

Ada penafsir-penafsir zaman sekarang sebagaimana disebutkan oleh al-Qasimi di dalam tafsirnya berpendapat bahwa sumpah Allah dengan buah tin yang dimaksud ialah pohon Bodhi. Prof. Hamidullah juga mengatakan bahwa perumpamaan pohon (buah) tin (fig) di dalam Quran ini merepresentasikan Sang Buddha, sehingga menunjukkan bahwa Sang Buddha diakui sebagai nabi di dalam agama Islam.

Hamid Abdul Qadir, sejarawan abad 20 mengatakan dalam bukunya :
“Buddha Yang Agung: Riwayat dan Ajarannya” (Arabic: Budha al-Akbar Hayatoh wa Falsaftoh), bahwa Sang Buddha adalah nabi Dhul Kifl, yang berarti “ia yang berasal dari Kifl”. Nabi Dhul Kifl disebutkan 2 kali dalam Quran:

Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli (Dhul Kifl). Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar.
QS. al-Anbiya (21) : 85

Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa, dan Dzulkifli (Dhul Kifl). Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik
QS. Shad (38) : 48

“Kifl” adalah terjemahan Arab dari Kapilavastu, tempat kelahiran Sang Bodhisattva.

Mawlana Abul Azad, teolog Muslim abad 20 juga menekankan bahwa Dhul Kifl dalam Al Quran bisa saja adalah Buddha.

Pandangan para tokoh Muslim pada Sang Buddha dan Teks-teks Buddhis di Dunia Muslim

Sejarawan Muslim yang terkenal, Abu Rayhan Al-Biruni (973–1048) yang pergi ke India dan menetap di sana selama 13 tahun untuk mengenal bangsa India dan mempelajari teks-teks Sansekerta mendefinisikan Sang Buddha sebagai seorang nabi. Pada waktu dinasti Ghaznavid, sejarawan Persia Al Biruni menemani Mahmud dari Ghazni pada abad 11 M di mana Mahmud menyerang India. Dalam buku Sejarah India (Kitab al-Hind) yang ditulisnya, Al Biruni memuji Sang Buddha dan ajarannya. Al Biruni juga menulis sebuah teks yang berkisah tentang ukiran Buddha di Bamiyan.

Ibn al-Nadim (995 M), penulis kitab Al-Fihrist, berkata:
Orang-orang ini (Buddhis di Khurasan) adalah yang paling dermawan di antara seluruh penghuni bumi dan semua kaum agama. Ini dikarenakan nabi mereka, Budhasaf (Bodhisattva) telah mengajarkan pada mereka bahwa dosa yang terbesar, di mana tidak diperbolehkan untuk berpikir atau melakukan, adalah perkataan “tidak”. Maka dari itu mereka bertindak sesuai anjuran-Nya dan mereka menmganggap perkataan “tidak” sebagai tindakan Satan. Inti ajaran agama mereka (Buddha) adalah untuk membasmi Satan.

Sejarawan Muslim bernama Abu Ja`far Muhammad ibn Jarir al-Tabari (839-923 M), menyebutkan bahwa rupang-rupang Buddha dibawa dari Kabul, Afghanistan ke Baghdad pada abad ke-9 M. Juga dilaporkan bahwa rupang-rupang Buddha dijual di sebuah vihara Buddhis dekat masjid Makh di pasar kota Bukhara (Uzbekistan).

Pada abad ke-9 M, seorang dari Baghdad menterjemahkan kisah Sang Buddha ke dalam bahasa Arab yaitu dalam Kitab al Budasaf wa Balawhar yaitu “Buku Bodhisattva dan (gurunya) Balawhar” yang ditulis Aban Al-Lahiki (750-815 M) di Baghdad. Teks ini kemudian diterjemahkan lagi dalam bahasa Yunani dan Georgia, terkena pengaruh Kristiani dan akhirnya menjadi Kisah St. Barlaam dan Josaphat.

Catatan sejarah Muslim tentang agama Buddha dapat ditemukan di Kitab al-Milal wa Nihal yang berarti “The Book of Confessions and Creeds” yang ditulis oleh Muhammad al-Shahrastani (1076–1153 M) di Baghdad pada masa Dinasti Seljuk. Kitab sejarah yang ditulis oleh Al-Shahrastani tersebut adalah kitab yang paling akurat dalam dunia pendidikan Muslim ketika menjelaskan agama Buddha di India. Al-Shahrastani menjelaskan agama Buddha sebagai agama “pencarian kebenaran dengan kesabaran, memberi dan ketidakmelekatan” yang “dekat dengan ajaran Sufi (mistisisme Islam)”

Al-Shahrastani memperbandingkan Sang Buddha dengan Al Khidr (Eliyah), tokoh dalam Al-Quran, sebagai dua orang yang sama-sama mencari pencerahan. Al-Shahrastani juga memperbadningkan Buddha dengan Bodhisattva (Budhasf). Ia memberikan catatan yang mendeskripsikan penampilan dari para Buddhis (asahb al bidada) di India dan memberikan perhatian yang lebih tentang agama Buddah di India beserta ajaran-ajarannya.

Di dalam dunia Arab, juga muncul kitab riwayat Buddha yang bernama Kitab Al-Budd. Kitab Al-Budd ini didasarkan atas kitab Jatakamala dan Buddhacarita.

Pada abad ke-8 M, Caliph al-Mahdi, dan Caliph al-Rashid mengundang para pelajar Buddhis dari India dan Nava Vihara di Balkh ke “Rumah pengetahuan” (Bayt al-Hikmat) di Baghdad. Ia memerinathkan para pelajar Buddhis untuk membantu penerjemahan teks-tkes pengobatan dan astronomi dari Sansakerta ke bahasa Arab. Ibn al-Nadim pada abad ke 10 M, Buku Katalog (Kitab al-Fihrist), juga memberikan daftar teks-teks Buddhis yang diterjemahkan dan ditulis dalam bahasa Arab pada masa itu, seperti Kitab Al-Budd (Buku Sang Buddha).

Keluarga Barmakid mempunyai pengaruh di istana Abbasid sampai pada pemerintahan Caliph Abbasid yang keempat, Harun al-Rashid (r. 786-809 M) dan perdana menterinya yaitu Yahya ibn Barmak adalah cucu Muslim dari salah satu kepala administrator Buddhis dari Nava Vihara di Balkh, Afghanistan. Yahya mengundang para pelajar Buddhis, terutama dari Kashmir untuk datang ke “Rumah pengetahuan” di Baghdad. Tidak ada kitab-kitab ajaran Buddha yang diterjemahkan dari Sansekerta ke bahasa Arab. Namun lebih fokus terhadap penterjemahan teks-teks pengobatan Buddhis seperti Siddhasara yang ditulis Ravigupta.

Penulis Umayyad Arab yang bernama Umar ibn al-Azraq al-Kermani tertarik untuk menjelaskan agama Buddha pada penonton Islam. Pada permulaan abad ke-8 M, ia menulis sebuah catatan yangs angat detail tentang Nava Vihara di Balkh, Afghanistan dan tradisi Buddhis di sana. Ia menjelaskan dengan memperlihatkan kesamaannya dengan agama Islam. Maka dari itu ia mendeskripsikan vihara tersebut sebagai sebuah tempat yang di tengahnya terdapat kotak batu (stupa) yang ditutupi kain dan para umat bersujud dan bernamaskara, mirip seperti Kabah di Mekah. Tulisan-tulisan Al-Kermani tersimpan dalan karya abad 10 M yaitu dalam “Buku Lahan” (Kitab al-Buldan) yang ditulis oleh Ibn al-Faqih al-Hamadhani.

Al-Ihranshahri (abad 9 -10 M) memberikan detail kosmologi Buddhis namun hilang dan beberapa digunakan oleh Al-Biruni. Penulis Kitab al-bad wa-‘l-ta’ rich yang ditulis pada tahun 966 M mendeskripsikan tentang ajaran Buddha tentang kelahiran kembali.

Ibn al Nadim menyebut Budhasf (Bodhisattva) sebagai nabi darti Sumaniyya (Sramana) yang berarti para bhiksu Buddhis. Sujmaniyya ini dijelaskan oleh kaum Muslim sebagai masyarakat agama yang tinggal di Timur sebelum kedatangan agama-agama yang diwahyukan, yang berarti di Negara Iran sebelum kemunculan Zarathustra, India dan Tiongkok. Agama Buddha sebagai Sumaniyya dijelaskan oleh umat Muslim pada saat itu sebagai agama penyembah berhala dan penganut paham kekekalan, kosmologi particular dan tumimbal lahir (tanasukh al-arwah). Agama Sumaniyya juga dideskripsikan sebagai agama yang skeptis, menolak argument (nazar) dan pemikiran logis (isitidlal). Klaim ini sungguh aneh, karena agama Buddha tidak menolak argument sama sekali, bahkan dalam agama Buddha ditekankan pemikiran yang logis.

Catatan Kamalashri tentang agama Buddha, ada di bagian akhir Jami al-Tawarikh atau Sejarah Dunia dari Rashid al-Din (1247 - 1318), yang mendeskripsikan secara menyeluruh, dan karya tulis ini ditulis oleh seorang Buddhis dengan menunjukkan banyak aspek-aspek legendaris.

 _/\_
The Siddha Wanderer

Pages: 1 2 3 [4] 5
anything