dear candra,
disinilah pentingnya "pandangan benar"...... karena tanpa pandangan benar itu maka samadhi yg anda lakukan, akan menjurus ke samadhi yg salah secara hakekatnya
kebutuhan itu sebenarnya seperti hidup sehari-hari, yang butuh lebih cepat, lebih besar dan lebih memuaskan.....
darimanakah kebutuhan itu berasal?? dari faktor2 external seperti mobil yg baru, makanan yg lebih enak... ataukah dari diri sendiri yg ingin mobil yg baru atau makanan yg lebih enak??
karena itu, marilah kita coba jujur.... di awal anda akui meditasi itu nikmat, dan ingin berusaha "lebih lama" disana, namun di akhir, anda menyebut bhw faktor2 lingkunganlah yg membuat anda ingin bermeditasi lebih lama
meditasi itu nikmat. sesekali saya bermeditasi untuk menemukan kenikmatan itu. tapi, motivasi untuk mencapai nikmat itu tidaklah kuat dan bukan motivasi utama. atau apakah sebenarnya terlalu terobsesi dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan kenikmatan meditasi menjadi hal yang pokok untuk saya raih? saya tidak tahu. yang saya tahu, dalam kehidupan sehari-hari saya banyak dibebani oleh pekerjaan. ketika sore hari saya seringkali merasa begitu lelah, tekanan mental, dan rasa sakit pada tubuh. saya sadar, bahwa jika itu terjadi artinya saya telah lengah dari meditasi. secara alami semua orang ingin lepas dari keadaan yang menimbulkan perasaan tidak suka tersebut. untuk melepaskan rasa penat, mungkin orang lain yang punya uang akan pergi ke tempat-tempat hiburan malam sehingga merasakan fresh. tapi saya, melepaskan semua kepenatan, rasa sakit dan lelah dengan meditasi. setelah 2 jam bermeditasi pada sore hari, saya merasa bugar kembali, hati saya terhimbur dan sensasi nikmat itu begitu dalam saya rasakan. tapi saya tidak tahu apakah hal itu merupakan usaha untuk mencari nikmat, usaha melepaskan penderitaan, atau usaha merawat kesehatan tubuh? bagaimana menurut anda?
dear Chandra,
menarik melihat pengalaman anda...... non buddhis yg menjalani meditasi buddhis.....
Disini kembali kepada pandangan benar.... anda di bawah sudah menyatakan bahwa buddha mengajarkan meditasi untuk mengakhiri dukkha...
nah dukkha disini sebenarnya adalah ketidak puasan. Jadi pada saat kita tidak puas dengan kondisi kita, disanalah muncul dukkha.
Jadi kalau anda merasa penat, lelah : itulah dukkha
Lalu dicoba diobati, dengan meditasi.
Ini berhubungan dengan yang anda blg :
secara alami org ingin lepas dari kondisi yg tidak disukaiLalu kita kembalikan ke penyebab dukkha, yaitu :
1. Lobha / kemelekatan yaitu melekat pada hal yg menyenangkan
2. Dosa / kebencian yaitu menolak padahal yang tidak menyenangkan
Jadi pada "kondisi yang tidak disukai", akan muncul dosa, kemudian disusul dengan "mencari kondisi yg disukai", yg spt anda blg, org biasanya mencari "hiburan malam" (tp saya ngga loh
), namun anda memilih "meditasi"
nah jadi bisa dilihat bahwa meditasi dilakukan dengan pandangan yang belum benar..... dimana masih terikat pada dosa dan lobha, yang muncul berganti2an.....
kalau saya boleh saran, sepertinya anda bisa coba ngobrol2 dulu dengan bhante gunasiri mengenai vipassana, sebelum mencoba2 sendiri.... karena konsep vipassana justru berbeda dengan samatha......
Ini sebenarnya bnyk kita alami dalam hidup sehari2 kita..... salah satunya adalah masturbation brain (kita berasumsi bahwa orang lain itu menginginkan sesuatu) dimana kita mengambil keputusan atas asumsi itu
Misal sakit berat yg tidak terobati.
Bagaimana jika ibu diajari cara utk menangani sakit, dgn cara mengajari beliau meditasi? sudah bnyk kasus org sakit parah yg sembuh krn bermeditasi loh
saya berusaha mengajari ibu saya untuk bermeditasi. dalam keadaan sakit parah, bangunpun sulit, dan kondisi pikirannya dalam keadaan setengah sadar setengah enggak, bagaimanakah caranya saya mengajari dia bermeditasi? ketika saya mengajarkan meditasi kepada para pemuda yang tampak sehat walafiat dan memiliki kecerdasan intlektual, tapi tapi ternyata mereka tidak mudah mencapai suatu pengalaman "cita rasa meditasi" seperti yang saya alami. setelah berbulan-bulan mereka berlatih meditasi, mereka merasa belum "ktemu" apa manfaat meditasi. sungguh aneh. apalagi jika meditasi itu diajarkan kepada ibu saya yang kondisinya repot.
ehm, sebenarnya yang dibahas disini adalah "masturbation brain"-nya itu.....
dimana kita mengasumsikan bhw org lain itu berpikir, sesuai apa yg kita pikirkan.
Dan kita mengambil keputusan berdasar asumsi, yang sebenarnya masih belum jelas kebenarannya
Bisa dilihat pada org muda yang kelihatan cerdas dan sehat, namun ternyata mereka "mentok"
Disini masturbation brain kembali berperan dengan adanya asumsi bhw yg sehat akan lebih bisa mendapat manfaat meditasi dibanding yg sakit
Dan bhw mereka yg cerdas, akan mudah "menyerap" ilmu meditasi
Padahal sebenarnya meditasi itu tergantung dari kualitas batin org yg bersangkutan, bukan dari fisiknya atau intelektual loh
Pun ga semua org, akan "matching" dgn cara anda itu loh...... setiap org punya keunikan masing2, apalagi kondisi batin setiap saat terus menerus berubah.
Saya aja uji coba bermacam cara, akhirnya lebih cocok dengan cara Goenka......
Tapi dulu ada org yg biasa pake metode mahasi sayadaw, terus suatu saat ikut pelatihan Goenka selama 6 bulan di myanmar, justru dia merasa batinnya ga makin berkembang
akhirnya dia ke malaysia, ikut pelatihan ala mahasi sayadaw... barulah batinnya kembali "berkembang"
semoga bisa dimengerti yah
Juga lingkungan yg penuh penderitaan.
Pemancaran metta hanya berfungsi meredam namun selama sumber penderitaan tidak diatasi maka lingkungan anda akan terus menderita (Buddha menyebut bahwa kemiskinan adalah sumber kejahatan)
sama seperti pemberian Rp 100.000/bulan tapi biaya hidup terus melambung... hanya meredam tapi tidak menyembuhkan
Namun sebenarnya alasan utama adalah bahwa kita melekat pada ibu dan lingkungan kita
Kita tidak ingin ibu kita "berubah" dan terus sehat... padahal sudah hukum alam bhw yg lahir pasti akan meninggal. Ini bukan menganjurkan anda utk mencueki ibu anda, tapi jgnlah jadi melekat (terlihat dari anda menangis, ini adalah hasil dari melekat)
Juga anda ingin lingkungan berubah.... karena anda "benci" melihat kejahatan dan ingin membuat jadi "baik".... biasanya disini akan terjadi lingkaran yg tidak berkesudahan : anda ingin lingkungan jadi baik - anda bnyk meditasi - krn smber penderitaan tetap ada, lingkungan tetap jahat - anda makin keras meditasi, dst..dst.... sampai satu titik, kebencian anda akan meledak dan justru akan "menghancurkan" lingkungan itu....
Kondisi inilah yg dialami oleh para ekstrimis yg mengebom...... di awalnya mereka ingin org ikut paham mereka, namun sampai pada 1 titik dimana org masih tidak ikut dan mereka sudah merasa tidak sanggup utk merubah, mereka lalu "merusak"....
disinilah bahayanya candu kemelekatan..... ingin kenikmatan yg lebih dan lebih lagi, dan kalau sudah tidak bisa, akhirnya membuat jadi kebencian yang meluap2.....
buddha menggambarkan kemelekatan seperti daging gosong di penggorengan..... yg makin dilekati, akan makin menyakitkan jika akan dilepas
Karena itu, saya anjurkan anda utk coba perdalam dulu buddhism.... bukan untuk mengkonvesi anda menjadi penganut buddha namun buddhism berisi ajaran yg realistis mengenai bagaimana memahami manusia itu sendiri, bukan bagaimana mengatur lingkungan agar bisa sesuai dengan nafsu manusia
semoga sharing ini bisa bermanfaat bagi kita semua
maksud saya. pada saat saya menangis karena iba pada penderitaan yang dialami ibu saya, maka itu artinya dukha bagi dirinya sendiri. mengapa saya mengalami dukha? itu karena kebodohan batin saya sendiri, karena kemelekatan sendiri. dan bukankah budha telah menjelaskan jalan pembebasannya? maka untuk membebaskan diri saya sendiri dari dukha tersebut, maka saya menempuh satu-satunya jalan yang dibabarkan budha melalui meditasi samtha dan vippasana. melalui praktik meditasi tersebut, akhirnya saya dapat menjadi tenang, tanpa kemelekatan, melihat sifat sejati dari segala sesuatu, dan menyadari bahwa setiap orang menerima apa yang menjadi karmanya di masa lalu. dan karena melalui meditasi itu ada bonus yang saya terima, yaitu "energi penyembuh yang luar biasa". dan saya melihat kesempatan untuk berbuat baik, menimbun parami dengan mentransfer energi penyembuh itu kepada ibu saya. sebab, bukankah akan termasuk kepada karma buruk bila saya mengetahui suatu jalan untuk membebaskan penderitaan yang dialami ibu saya, tapi saya tidak memberikannya? seperti misalnya, bagaimana bila ibu anda sakit keras, perlu uang berobat, dan anda punya uang tabungan. bukankah anda akan bergegas untuk mengambil tabungan tersebut dan menggunakannya untuk berobat ibu anda? demikianlah perumpamaan yang saya lakukan terhdap ibu saya.
dear candra,
Nah disini sering juga terjadi kekeliruan, seolah2 "buddhism itu tidak manusiawi".... ada org menderita, lalu kita tidak boleh iba....
kalau saya boleh sebut bahwa iba adalah karuna, yang merasa kasihan terhadap mahluk yg menderita
Namun sering keliru diimplementasikan dimana iba dimanipulasi dengan dosa/kebencian krn melihat objek yg tidak menyenangkan.
Jadi coba anda renungkan lagi.... apakah saat iba, rasanya menyenangkan atau justru ga enak, seperti dada sesak?
Sekedar Info bahwa karuna adalah faktor perasaan yang menyenangkan (sobhana cetasika :
http://www.buddhistonline.com/dsgb/ad15.shtml ), jadi seharusnya yg muncul adalah perasaan senang
Dan yg paling nyata, adalah bukan pada 1 objek, melainkan bersifat universal
Jadi tolong itu dipahami dulu yah
Mengenai membantu, itu adalah kewajiban anak.
Melihat ibu atau lingkungan yang menderita, itu adalah buah kamma kita loh
Namun hendaknya kita memberikan pertolongan, jgn dilandasi oleh cinta dan iba yg melekat pada objek namun dengan kebijaksanaan.
Bentuknya bisa sama, misal membantu menyalurkan energi namun dengan perasaan yg senang
Senang disini adalah senang bisa melakukan perbuatan baik (sifatnya inner out), bukan senang melihat objek tidak lagi menderita (outside in)
Kesempatan menimbun parami : ehm kalau saya boleh koreksi, disini juga sebenarnya adalah "lobha" / melekat....
Parami itu sama seperti buah kamma baik, bukanlah utk ditimbun
Ini yg masih sering terjadi salah persepsi, seolah2 kita melakukan sesuatu itu utk menimbun buah kamma baik atau parami
Misal kita berdana dengan harapan agar di kehidupan mendatang, kita bisa lebih kaya atau masuk surga
Kita melakukan perbuatan baik, adalah utk melatih diri, melatih batin untuk mengikis lobha, dosa dan moha
Namun karena moha, membuat kita melakukan perbuatan baik, namun dengan harapan2 (outside in), bukan bagaimana kita bisa melakukan perbuatan yang baik (inner out)
Memang hal ini sulit untuk dapat dipahami, bahkan untuk buddhist sendiri yg sebenarnya sudah banyak mengetahui teori2 buddhism.
Karena itu, kembali saya menganjurkan untuk menghubungi bhante gunasiri, karena beliau selain pembimbing vipassana yang handal, juga mempunyai pengetahuan abhidhamma yg komprehensif
Jujur aja..... pembimbingan melalui penulisan seperti ini, tidak terlalu efektif karena untuk tingkat lanjutan, dibutuhkan bimbingan dari seorang guru yg kompeten
Semoga bisa bermanfaat