//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - LET IT GO N BE..

Pages: [1]
1
Buddhisme untuk Pemula / Kisah Padhanikatissa Thera
« on: 30 October 2009, 09:41:06 AM »
javascript:void(0);
Padhanikatisa Thera, setelah memperoleh pelajaran meditasi dari Sang Buddha, tinggal di hutan bersama 500 bhikkhu lainnya. Di sana, ia memberitahu para bhikkhu agar menjaga perhatian dan tekun berlatih meditasi. Setelah memperingatkan bhikkhu yang lain, ia sendiri berbaring dan tidur. Bhikkhu-bhikkhu muda melatih meditasi seperti yang diberitahukan kepada mereka. mereka berlatih meditasi selama saat jaga pertama. Ketika tiba saat tidur bagi mereka, Padhanikatissa bangun, dan memberitahu mereka agar kembali berlatih meditasi. Ketika mereka selesai berlatih meditasi saat jaga kedua dan ketiga, Padhanikatissa juga mengatakana hal yang sama kepada mereka.

Selama ia bertingkah laku dengan cara tersebut di atas, bhikkhu-bhikkhu muda tidak pernah merasa tenteram, dan mereka juga tidak dapat berkonsentrasi pada saat latihan meditasi atau bahkan dalam melafalkan bacaan.

Suatu hari, mereka memutuskan untuk menyelidiki apakah mereka benar-benar rajin dan berjaga seperti yang dikemukakan oleh dirinya. Ketika mereka mengetahui bahwa guru mereka Padhanikatissa hanya pandai menasehati orang lain tetapi ia sendiri tidur sepanjang hari, mereka mengatakan, "Kita tertipu, guru kita hanya tahu bagaimana mengajari kita, tetapi ia sendiri hanya membuang-buang waktu tanpa melakukan apa pun."

Pada saat itu bhikkhu-bhikkhu tidak mendapatkan istirahat yang cukup, mereka capai dan letih. Alhasil tidak seorang bhikkhu pun yang memperoleh kemajuan dalam latihan meditasinya.

Pada akhir masa vassa, mereka kembali ke Vihara Jetavana dan melaporkan kejadian tersebut kepada Sang Buddha. Kepada mereka Sang Buddha berkata: "Para bhikkhu! Seseorang yang akan mengajar orang lain seharusnya terlebih dahulu mengajar dirinya sendiri dan memperlakukan dirinya dengan tepat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 159 berikut:

Sebagaimana ia mengajari orang lain,
demikianlah hendaknya ia berbuat.
Setelah ia dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik,
hendaklah ia melatih orang lain.
Sesungguhnya amat sukar
untuk mengendalikan diri sendiri.

Kelima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

2
Theravada / BANJIR NAFSU II
« on: 16 December 2008, 08:00:24 PM »
  Untuk mengatakan 'latihan yang senyatanya' atau 'latihan yang
bersemangat' tidaklah perlu berarti anda harus mengeluarkan seluruh
energi, tetapi cukup berikan sedikit usaha ke dalam batinmu, membuat
(sedikit) usaha terhadap semua perasaan yang timbul, khususnya terhadap
perasaan-perasaan yang terbenam dalam kenafsuan. Mereka-mereka ini
adalah musuh-musuh kita.

        Tetapi orang-orang tampaknya tidak dapat melakukannya. Setiap
tahun, menjelang saat hari terakhir Masa Retret, mereka menjadi semakin
payah/memburuk keadaannya. Beberapa bhikkhu telah mencapai batas dari
kesabaran mereka, 'tidak sabar lagi'. Semakin mendekati hari terakhir
retret, semakin memburuk kondisi mereka, mereka tidak konsisten (mantap)
lagi dalam latihan. Saya mengatakan tentang hal ini tiap tahun tapi
tampaknya orang-orang tidak mengingatnya. Kami menetapkan aturan-aturan
tertentu dan belum sampai setahun itu sudah diabaikan. Begitu hampir
selesai retret, sudah mulai terjadi: obrolan-obrolan, kumpul-kumpul, dan
sebagainya. Semuanya menjadi hancur. Inilah kecenderungan-kecenderungan
yang terjadi.

        Mereka benar-benar tertarik dengan latihan haruslah memikirkan
mengapa hal ini terjadi. Ini karena orang-orang tidak melihat
akibat-akibat yang merugikan dari hal-hal ini.

        Bilamana kita telah diterima dalam kebhikkhuan, kita hidup
dengan sederhana. Meskipun mereka yang telah melepaskan jubahnya dan
pergi ke garis depan di mana peluru-peluru terbang melewati mereka
setiap hari, mereka lebih suka itu seperti demikian. Mereka benar-benar
ingin pergi. Bahaya ada di sekelliling mereka tetapi toh mereka
bersiap-siap untuk pergi. Mengapa mereka tidak melihat bahaya tersebut?
Mereka siap mati oleh senjata tetapi tak seorang pun yang ingin mati
karena mengembangkan kebajikan/sila. Dengan melihat pada hal ini saja
sudah cukup... itu karena mereka diperbudak; tidak ada yang lainnya.
mengertikan hal ini dan engkau akan mengetahui tentang semuanya.
Orang-orang tidak melihat bahaya.

        Ini benar-benar mencengangkan, bukan? Anda pikir mereka dapat
melihat ini tetapi nyatanya mereka tidak dapat. Jika mereka tidak dapat
melihatnya juga, maka tidak ada jalan keluar bagi mereka. Mereka
diharuskan untuk berputar terus di dalam lingkaran */Samsara/*. Inilah
kejadiannya. Hanya dengan membicarakan masalah yang sederhana seperti
ini, kita sudah mulai dapat mengerti.

        Jika seandainya anda bertanya kepada mereka, "Mengapa engkau
lahir?" mereka akan menemui banyak kesulitan dalam menjawab; itu karena
mereka tidak dapat melihat atau memahaminya. Mereka tenggelam di dalam
dunia nafsu inderawi dan tenggelam dalam dumadi /*(bhavaKata bahasa Thai
untuk "bhava" adalah 'pop', yang merupakan istilah umum bagi pendengar
khotbah Ajahn Chah. Ini umumnya dipahami dengan arti 'alam dari
kelahiran-kembali'; pemakaian istilah ini di sini oleh Ajahn Chah adalah
sedikit tidak biasa, yang maksudnya menekankan pemakaian yang lebih
praktis daripada istilah tersebut.)*/. Bhava adalah alam kelahiran,
tempat lahir kita. Untuk mudahnya, dari manakah makhluk-makhluk lahir?
Bhava adalah kondisi awal dari kelahiran. Dimana kelahiran terjadi, di
situlah bhava.

        Sebagai contoh, andaikata kita mempunyai kebun pohon apel yang
benar-benar kita sukai. Itulah *"bhava"* bagi kita jika kita tidak
merenungkannya dengan kebijaksanaan. Bagaimana caranya?  Andaikata kebun
buah kita itu berisi seratus atau seribu pohon apel... tak peduli jenis
pohon apapun yang ada, apabila kita menganggap mereka sebagai
pohon-pohon 'milik kita'.... maka nanti kita akan 'lahir' sebagai
'cacing' pada setiap batang pohon tersebut. Kita dengan cepat menuju ke
setiap pohon meskipun badan kita masih ada di dalam rumah; kita mengirim
'alat-alat peraba/tentakel' kepada setiap pohon tersebut.

        Sekarang, bagaimana kita dapat mengetahui bahwa itu adalah
bhava? Itu adalah bhava (alam/biang dari suatu eksistensi) karena
kemelekatan kita kepada pemikiran bahwa pohon-pohon itu adalah milik
kita, bahwa kebun buah itu adalah milik kita. Jika misalnya ada orang
lain datang membawa kapak dan menebang salah satu pohon tersebut, maka
si pemilik yang berada di dalam rumah, ikut 'mati' bersama pohon
tersebut. Dia menjadi sangat marah, dan merasa harus pergi untuk
menyelesaikan masalah tersebut, untuk berkelahi dan bahkan mungkin untuk
membunuhnya. pertengkaran itu adalah 'kelahiran'. 'Bidang/alam dari
kelahiran' tersebut adalah kebun buah itu yang kita lekati sebagai milik
kita. Kita 'lahir' tepat pada titik di mana kita menganggap mereka
sebagai milik kita, lahir dari *"bhava"* tersebut. Meskipun jika kita
mempunyai seribu pohon apel, jika seandainya seseorang menebang hanya
satu, itu akan seperti memotong pemiliknya.

        Apapun yang kita lekati, tepat di sana kita lahir, kita eksis
tepat di sana. Kita lahir segera ketika kita 'mengetahui'. Ini adalah
'mengetahui' yang melalui ketidaktahuan: kita mengetahui bahwa seseorang
telah menebang salah satu pohon kita. Tetapi kita tidak tahu bahwa
pohon-pohon itu adalah sebenarnya bukan milik kita. Inilah yang
dikatakan dengan 'mengetahui lewat tidak-mengetahui'. Kita terikat untuk
dilahirkan ke dalam *"bhava"* tersebut.

        Vatta, roda dari keadaan yang berkondisi, berjalan seperti ini.
Orang-orang melekat kepada bhava, mereka tergantung kepada bhava. jika
mereka mengharapkan bhava, ini adalah kelahiran. Selama kita belum dapat
melepas, kita menempel pada jejak dari samsara, berputar terus seperti
sebuah roda. Lihatlah pada hal ini, renungkanlah ini. Apapun yang kita
lekati sebagai kita atau milik kita, di sanalah tempat bagi suatu kelahiran.

        Di sana pasti ada bhava (suatu bidang/tempat/alam dari
kelahiran), sebelum terjadinya suatu kelahiran. Oleh karena itu Sang
Buddha berkata, apapun yang engkau miliki, jangan 'memilikinya'. Biarkan
ia apa adanya tetapi jangan jadikan itu sebagai milikmu. Anda harus
mengerti kata 'memiliki' dan 'jangan memiliki' ini; mengetahui
kesunyataan/kebenaran mereka, jangan terseret dalam penderitaan.

        Tempat dari mana kita lahir; anda ingin kembali ke sana dan
dilahirkan kembali, benar tidak? Kalian semua para bhikkhu dan samanera,
tahukah kalian dari mana tempat kalian lahir? Kalian ingin kembali ke
sana, bukan? Tepat di sana, lihatlah hal ini. Semua dari kalian sudah
bersiap-siap. Semakin dekat kita pada hari terakhir retret ini, semakin
kalian bersiap-siap untuk kembali dan lahir lagi di sana.

        Sungguh, anda akan berpikir bahwa orang-orang dapat menghargai
hal itu, hidup di dalam perut/rahim seseorang. Bagaimana tidak nyamannya
itu? Coba lihat, hanya tinggal di dalam kuti cukup satu hari saja. Tutup
semua pintu dan jendela maka anda akan kekurangan nafas. Bagaimana lalu
dibandingkan dengan berbaring di dalam perut seseorang selama 9 atau 10
bulan? Pikirkanlah tentang hal ini.

        Orang-orang tidak melihat kekurangan dari benda-benda/hal-hal.
Tanyakan kepada mereka mengapa mereka hidup, atau mengapa mereka
dilahirkan, dan mereka tidak dapat menjawabnya. Apakah anda semua masih
ingin untuk kembali ke dalam perut lagi? Mengapa? Itu seharusnya sudah
jelas/nyata, tetapi kalian tidak dapat melihatnya? Apa yang kalian
lekati, apa yang kalian gantungi? Pikir-pikirkanlah untuk dirimu sendiri.

        Itulah bhava. Akarnya tepat ada di sana, ia berputar di sekitar
sana. Sang Buddha mengajarkan untuk merenungkan titik ini. Orang-orang
berpikir tentang hal ini tetapi tetap masih belum dapat
melihat/mengerti. Mereka semua sudah bersiap-siap untuk kembali ke sana
lagi. Mereka tahu bahwa akan tidak begitu menyenangkan berada di sana,
tetapi toh mereka tetap ingin menempelkan kepala mereka di sana, menaruh
leher mereka di dalam jeratannya sekali lagi. Meskipun mereka mungkin
tahu bahwa jeratan ini benar-benar tidak mengenakkan, mereka tetap ingin
menaruh kepala mereka di sana. Mengapa mereka tidak mengerti ini? Ini
adalah di mana kebijaksanaan datang, di mana kita harus merenungkannya.

    Bila saya berbicara seperti ini, orang-orang berkata, "Jika itu
masalahnya maka setiap orang harus menjadi bhikkhu... dan kemudian
bagaimana dunia ini akan dapat berfungsi?" Anda tidak akan pernah
mendapati setiap orang menjadi bhikkhu, jadi tidak usah kuatir. Dunia
ini ada karena adanya makhluk-makhluk yang matanya tertutup
debu/batinnya bernoda, jadi ini bukanlah masalah yang sepele.

        Saya mulanya menjadi samanera pada usia 9 tahun. Saya mulai
berlatih sejak saat itu. Tetapi pada masa-masa itu saya tidak
benar-benar mengetahui tentang apa semua ini. Saya menjadi mengerti
ketika saya telah menjadi seorang bhikkhu. Sejak menjadi seorang bhikkhu
saya menjadi sangat hati-hati. Kesenangan-kesenangan inderawi yang
digemari oleh orang-orang tampaknya tidak terlalu menarik bagi saya.
saya melihat penderitaan di dalamnya. Sama seperti melihat sebuah pisang
yang enak yang saya tahu sangat manis rasanya tetapi yang juga saya tahu
itu beracun. Tak peduli bagaimanapun manis atau menariknya ia, jika saya
memakannya maka saya akan mati. Setiap saya merenungkan dalam cara
ini... setiap kali saya ingin memakan buah pisang tersebut, saya akan
melihat 'racun' tertanam di dalamnya. Dengan demikian akhirnya saya
dapat mengusir ketertarikan saya terhadap hal-hal tersebut. Sekarang,
pada usia saya sekarang ini, hal-hal semacam itu sama sekali tidak
menggoda lagi.

        Sebagian orang tidak melihat 'racun' tersebut; sebagian
melihatnya tetapi tetap ingin mencoba keberuntungan mereka. "Jika
tanganmu terluka janganlah menyentuh racun, ia akan meresap ke dalam
lukamu".

        Berbicara tentang nafsu inderawi, itu sulit untuk ditaklukkan.
Sungguh-sungguh sulit untuk melihat dia sebagaimana adanya. Kita harus
menggunakan alat-alat yang amat canggih. Anggaplah kesenangan-kesenangan
inderawi itu seperti memakan daging yang mana ia akan tersangkut di
gigimu. Sebelum anda habis makan, anda harus mencari tusuk-gigi untuk
mengeluarkannya. Saat daging tersebut keluar, anda merasa sedikit
enak/lega, sehingga mungkin anda berpikir bahwa anda tidak akan memakan
daging lagi. Tetapi ketika anda melihatnya lagi, anda tidak dapat
menahan diri lagi. Anda makan (lebih banyak) lagi dan ia menyangkut
lagi. Ketika ia menyangkut, anda harus mencabutnya keluar lagi, yang
memberikan sedikit rasa enak/lega lagi, hingga anda makan lebih banyak
daging lagi... Itulah semua yang terjadi padanya. Kesenangan-kesenangan
inderawi adalah persis seperti ini, tidak lebih baik dengan ini. Ketika
serpihan daging menyangkut di gigi, anda merasa tidak enak/sakit. Anda
mengambil tusuk-gigi dan mencongkelnya keluar dan merasakan sedikit
lega. Tidak ada yang lebih pada itu daripada nafsu-nafsu inderawi ini...
Tekanan tersebut menekan dan menekan hingga anda melepaskannya
sedikit... Oh! Begitulah rasanya. Saya tidak tahu tentang apa saja semua
kerepotan itu.

        Saya tidak mempelajari hal-hal ini dari siapapun juga, hal-hal
tersebut muncul pada diri saya dalam latihan saya. Saya duduk dalam
meditasi dan merenungkan kesenangan inderawi itu seperti sebuah sarang
semut merahKeduanya, baik semut-semut merah maupun telur-telurnya,
digunakan sebagai makanan di Timur-Laut Thailand. Sehingga penyerangan
terhadap sarang mereka bukanlah hal yang asing.. Seseorang mengambil
sebatang kayu dan menyodok sarang tersebut hingga semut-semutnya keluar,
merayap turun melalui kayu itu dan menuju ke muka orang itu, menggigit
mata dan hidung orang tersebut. Dan mereka tetap masih belum melihat
mereka sedang dalam kesulitan.

        Bagaimanapun, itu bukanlah sesuatu yang di luar kemampuan kita.
Dalam ajaran Sang Buddha, dikatakan bahwa jika kita telah melihat bahaya
dari sesuatu, tak peduli bagaimana baiknya itu tampaknya, kita harus
mengetahui bahwa itu membahayakan. Apapun yang belum kita lihat
bahayanya, kita berpikir ia baik. Jika kita belum melihat bahaya dari
benda-benda, kita tidak dapat melepaskannya.

        Pernahkah anda mengamatinya? Tak peduli bagaimana kotornya itu,
orang-orang tetap senang padanya. Jenis dari 'kerja' ini tidaklah
bersih, tetapi meskipun anda tidak membayar orang-orang untuk
melakukannya, mereka dengan senang hati rela melakukannya. Terhadap
jenis pekerjaan kotor lainnya, meskipun jika anda membayar dengan
bayaran yang tinggi, orang-orang tidak mau melakukannya. Itu juga bukan
karena hal  tersebut adalah pekerjaan yang bersih, itu adalah pekerjaan
yang kotor. Tetapi mengapa orang-orang menyukainya? Bagaimana anda dapat
mengatakan bahwa orang-orang tersebut adalah pintar bila mereka
berperilaku seperti ini? Coba pikirkan.

        Pikirkanlah hal ini dengan cermat. Jika anda benar-benar ingin
berlatih, anda harus memahami perasaan anda. Sebagai contoh, di antara
para bhikkhu, samanera, atau umat awam, kepada siapa seharusnya kalian
bergaul? Jika kalian bergaul/berkumpul dengan orang yang suka bicara
banyak, mereka menyebabkan kalian bicara banyak juga.

        Orang-orang suka berkumpul dengan mereka yang suka mengobrol
banyak dan membicarakan hal-hal yang tidak karuan. Mereka bisa duduk dan
mendengarkannya selama berjam-jam. tetapi bila itu adalah mendengar
Dhamma, pembicaraan tentang latihan, tak banyak yang akan didengar.
Seperti bila memberikan percakapan Dhamma: Begitu saya mulai berkata...
'Namo Tassa Bhagavato'Baris pertama dari kata-kata penghormatan dalam
tradisi Pali, disebutkan sebelum memulai suatu percakapan Dhamma resmi.
'Evam' adalah kata pali untuk mengakhiri suatu percakapan/khotbah
Dhamma.... mereka semua mulai mengantuk. Mereka tidak berminat pada
percakapan ini sama sekali. Ketika saya telah sampai pada 'Evam', mereka
semua membuka mata dan terjaga. Setiap kali ada percakapan Dhamma,
orang-orang pada mengantuk. bagaimana mereka dapat memperoleh manfaatnya
dari ini kalau begitu?

        Ini adalah kesempatan kalian, sekarang kalian telah ditahbiskan.
Hanya ada satu kesempatan ini, jadi perhatikanlah baik-baik. Lihatlah
pada benda-benda/hal-hal dan pertimbangkan jalan mana yang akan kalian
pilih. Kalian sekarang bebas. Kemana kalian akan pergi dari situ? Kalian
sedang berdiri di persimpangan jalan antara jalan keduniawian dan jalan
Dhamma. Jalan mana yang akan kalian pilih? Inilah saatnya untuk
memutuskan. kalian sendirilah yang membuat pilihannya. Jika kalian
dibebaskan, itu adalah pada titik ini.***

1    Nibbana—Keadaan terbebasnya dari semua keadaan yang berkondisi
2    Kata bahasa Thai untuk "bhava" adalah 'pop', yang merupakan istilah
umum bagi pendengar khotbah Ajahn Chah. Ini umumnya dipahami dengan arti
'alam dari kelahiran-kembali'; pemakaian istilah ini di sini oleh Ajahn
Chah adalah sedikit tidak biasa, yang maksudnya menekankan pemakaian
yang lebih praktis daripada istilah tersebut.
3    Keduanya, baik semut-semut merah maupun telur-telurnya, digunakan
sebagai makanan di Timur-Laut Thailand. Sehingga penyerangan terhadap
sarang mereka bukanlah hal yang asing.
4    Baris pertama dari kata-kata penghormatan dalam tradisi Pali,
disebutkan sebelum memulai suatu percakapan Dhamma resmi. 'Evam' adalah
kata pali untuk mengakhiri suatu percakapan/khotbah Dhamma.


 _/\_ ^:)^ ^:)^ ^:)^ SEMOGA BERMANFAAT, SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATA..

3
Theravada / BANJIR NAFSU
« on: 16 December 2008, 07:58:24 PM »
* Banjir Nafsu*

**

** /oleh: Ven. Ajahn Chah/

        Kamogha... banjir nafsu: (kita) tenggelam di dalam
penglihatan-penglihatan, di dalam suara-suara, di dalam bebauan, di
dalam rasa-rasa kecapan, di dalam sentuhan-sentuhan jasmani. (Kita)
tenggelam karena kita hanya melihat pada yang di luar, kita tidak
melihat ke dalam diri kita. Orang-orang tidak melihat pada diri mereka
sendiri, mereka hanya melihat kepada orang-orang lainnya. Mereka dapat
melihat setiap orang yang lain tetapi mereka tidak dapat melihat diri
mereka sendiri. Sebenarnya hal itu tidaklah sulit dilakukan, hanya saja
orang-orang tidak mencobanya dengan sungguh-sungguh.

        Sebagai contoh misalnya, melihat kepada seorang wanita cantik.
Apa yang terjadi pada diri anda? Begitu anda melihat wajahnya, anda
melihat keseluruhannya pula. Apakah demikian? Cobalah lihat ke dalam
batin. Apakah sebenarnya yang suka melihat seorang wanita itu? Begitu
mata melihat hanya yang sedikit, batin sudah langsung melihat
keseluruhan lainnya. Mengapa ia begitu cepat?

        Itu karena anda tenggelam di dalam air! Anda sedang tenggelam,
anda memikirkannya, mengkhayalkannya, dan melekat kepadanya. Itu mirip
seperti menjadi seorang budak... seseorang lainnya yang menguasai diri
anda. Ketika mereka menyuruhmu duduk, anda harus duduk, ketika mereka
menyuruhmu berjalan, anda harus berjalan... anda tidak dapat membantah
mereka karena anda adalah budak mereka. Diperbudak oleh nafsu-nafsu
adalah juga sama. Tak peduli bagaimana kerasnya anda berusaha, anda
tampaknya tidak dapat melepaskannya. Dan jika anda mengharapkan orang
lain untuk melakukannya untuk anda, anda benar-benar masuk ke dalam
masalah. Anda harus melepaskannya untuk diri anda sendiri.

        Oleh karena itulah Sang Buddha menyerahkan latihan Dhamma, untuk
mengatasi penderitaan, kepada kita. */Nibbana/*Keadaan terbebasnya dari
semua keadaan yang berkondisi., contohnya. Sang Buddha telah tercerahkan
dengan sepenuhnya, tetapi mengapa Beliau tidak menggambarkan nibbana
dengan mendetail? Mengapa Beliau hanya berkata bahwa kita harus berlatih
dan menemukan sendiri hal tersebut bagi kita? Mengapa demikian? Tidak
haruskah Beliau menjelaskan seperti apa nibbana itu?

        "Latihan yang dilakukan oleh Sang Buddha, mengembangkan
kesempurnaan-kesempurnaan selama berkalpa-kalpa demi semua makhluk, lalu
mengapa Beliau tidak menjelaskan /*nibbana*/ agar mereka semua dapat
melihatnya dan menuju ke sana pula?" Sebagian orang berpikir seperti
begini. "Jika Sang Buddha benar-benar mengetahuinya maka Ia akan
mengatakannya kepada kita. Mengapa Ia mesti merahasiakan sesuatu?"

        Sebenarnya pikiran-pikiran semacam itu adalah salah. Kita tidak
dapat melihat Kesunyataan dengan cara itu. Kita harus berlatih, kita
harus mengusahakannya sendiri, untuk dapat melihat. Sang Buddha hanya
menjelaskan cara untuk mengembangkan kebijaksanaan, hanya itu. Beliau
mengatakan bahwa kita sendirilah yang harus berlatih. Siapapun yang mau
berlatih, ia akan mencapai tujuan.

        Tetapi jalan yang Sang Buddha ajarkan itu berlawanan dengan
kebiasaan-kebiasaan kita. Untuk hidup sederhana, untuk mengendalikan
diri... kita sesungguhnya tidak menyukai hal-hal ini, sehingga kita
berkata, "Tunjukkanlah kepada kami jalan, tunjukkanlah kami jalan ke
nibbana, agar orang-orang yang suka gampangnya, seperti kami ini, dapat
pergi ke sana juga". Sama pula halnya dengan kebijaksanaan. Sang Buddha
tidak dapat menunjukkan kebijaksanaan kepadamu, itu bukanlah sesuatu
yang dapat dengan mudah dibawa-bawa. Sang Buddha dapat menunjukkan cara
untuk mengembangkan kebijaksanaan, tetapi apakah anda mengembangkannya
banyak atau sedikit, itu tergantung pada tiap-tiap individu. jasa
kebaikan dan timbunan kebajikan dari orang-orang adalah berbeda-beda.

        Lihat saja pada obyek material, seperti patung-patung singa-kayu
di depan aula ini. Orang-orang datang dan melihat pada patung-patung itu
dan tampaknya tidak sepakat dengan apa yang dikatakan oleh salah satu
orang, "Oh, betapa cantiknya", sementara yang lain berkata, "Oh betapa
meyeramkan!" ini adalah satu singa, yang dapat dinilai cantik dan buruk.
Contoh ini cukup untuk menjelaskannya.

        Oleh karena itu, perealisasian Dhamma kadang-kadang lambat,
kadang-kadang cepat. Sang Buddha dan para muridNya, semuanya sama dalam
hal berlatih bagi mereka sendiri; tetapi meskipun demikian mereka tetap
bergantung kepada guru-guru mereka untuk menasihati mereka dan memberi
mereka teknik-teknik dalam berlatih.

        Sekarang, bila kita mendengar uraian Dhamma, kita mungkin ingin
mendengarnya sampai semua keraguan kita lenyap, tetapi keragu-raguan
tersebut tidak pernah dapat tuntas lenyap hanya dari mendengar (Dhamma)
saja. Keraguan tidaklah semata-mata dapat diatasi dengan cara mendengar
atau berpikir, tetapi kita pertama-tama harus membersihkan batin kita.
Untuk membersihkan batin berarti memperbaiki latihan kita. Tak peduli
berapa banyak atau berapa lama kita telah mendengar kepada uraian atau
khotbah-khotbah guru kita tentang kebenaran, kita tidak dapat mengetahui
atau melihat kebenaran tersebut hanya dari mendengar. Jika kita
melakukan hal seperti itu, maka itu hanya akan menjadi suatu perkiraan
atau terkaan saja.

        Namun meskipun hanya dari mendengar kepada Dhamma itu saja tidak
menuntun kepada perealisasian, itu tetap bermanfaat. Ada satu kisah pada
masa Sang Buddha, di mana seseorang merealisasi Dhamma bahkan
merealisasi tingkat tertinggi-Arahat, ketika sedang mendengarkan uraian
Dhamma. Tetapi orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang telah
tinggi perkembangan batinnya, batin mereka telah mengerti akan beberapa
penguasaan. Itu sama seperti sebuah bola. Ketika sebuah bola dipompa
dengan udara, ia mengembung. Sekarang udara yang ada di dalam bola
tersebut saling mendesak untuk keluar, tetapi tidak ada lubang baginya
untuk keluar. Begitu ada jarum yang menusuk bola tersebut, udara di
dalam bola tersebut keluar dengan cepat.

        Sama halnya dengan ini. Batin-batin dari murid-murid yang
langsung mencapai pencerahan ketika mendengar kepada Dhamma, adalah sama
seperti demikian. Sejauh tidak ada katalisator yang dapat menyebabkan
reaksi dari 'tekanan' ini di dalam mereka, itu sama seperti sebuah bola.
Batin belum terbebas dikarenakan oleh hal kecil yang menghalangi
kebenaran. Begitu mereka mendengar uraian Dhamma dan ia mengenai titik
yang tepat, maka kebijaksanaan muncul. Mereka dengan seketika mengerti,
dengan seketika dapat melepas, dan merealisasi kebenaran Dhamma.
Demikianlah jalannya. Cukup mudah. Sang Batin meluruskan dirinya
sendiri. Ia berubah, atau berbelok, dari satu pandangan ke pandangan
lainnya. Anda dapat saja mengatakan bahwa itu adalah jauh, atau anda
dapat mengatakan itu sangat dekat.

        Ini adalah sesuatu yang harus kita lakukan bagi diri kita
sendiri. Sang Buddha hanya mampu memberikan teknik-teknik atau cara-cara
bagaimana untuk mengembangkan kebijaksanaan, dan demikian juga dengan
guru-guru zaman sekarang. Mereka memberikan
uraian-uraian/khotbah-khotbah Dhamma, mereka membicarakan tentang
kebenaran, tetapi tetap mereka tidak dapat menjadikan kebenaran tersebut
menjadi milik kita. Mengapa tidak dapat? Karena ada sebuah 'film' yang
mengaburkannya. Anda dapat mengatakan bahwa kita telah tenggelam di
dalam banjir. */Kamogha/*—'banjir' nafsu. /*Bhavogha*/—'banjir' dumadi.

        'Dumadi' /*(bhava)*/ berarti 'alam kelahiran'. Nafsu-nafsu
ragawi lahir pada penglihatan-penglihatan, suara-suara, rasa-rasa
kecapan, bebauan, perasaan-perasaan, dan pikiran-pikiran, yang
mengindentifikasi diri dengan hal-hal ini. Batin mencengkeram dengan
cepat dan ia melekat kepada nafsu-nafsu ragawi tersebut.

        Sebagian 'pencari kebenaran' merasa bosan, merasa tak sanggup,
lelah terhadap latihan, dan malas. Anda tidak harus melihat sangat jauh,
cukup lihat pada bagaimana orang-orang tampaknya tidak dapat memelihara
Dhamma di dalam batinnya, dan seandainya mereka dimarahi, mereka akan
mengingatnya sampai bertahun-tahun. Mereka mungkin mendapat marah
(dimarahi) pada awal masa Retret, dan bahkan sesudah selesai masa
retret, mereka masih belum melupakannya. Dalam seluruh hidupnya, mereka
tetap tidak mau melupakannya jika itu tertanam cukup dalam.

        Tetapi bila itu terhadap ajaran Sang Buddha, yang menyuruh kita
untuk hidup sederhana, untuk dapat mengendalikan diri, dan berlatih
dengan bersungguh-sungguh... mengapa orang-orang tidak mengingat hal ini
di dalam hati mereka? Mengapa mereka dengan mudah melupakan hal-hal ini?
Anda tidak perlu melihat jauh-jauh, cukup lihat pada latihan kita di
sini. Sebagai contoh, aturan-aturan yang telah ditetapkan, seperti:
sehabis makan, saat mencuci mangkuk, jangan mengobrol! Bahkan hal ini
tampaknya terlalu sulit untuk dilakukan. Meskipun kita tahu bahwa
mengobrol itu adalah tidak bermanfaat dan dapat menyeret kita kepada
kenafsuan... orang-orang tetap suka bicara. Dalam pembicaraan itu,
sebentar saja mereka sudah mulai tidak setuju dan akhirnya menjadi
berbeda pendapat dan bercekcok. tidak ada yang lebih lagi daripada ini.

        Orang-orang tampaknya belum mau melakukan usaha yang cukup untuk
itu. Mereka mengatakan bahwa mereka ingin melihat Dhamma, tetapi mereka
ingin melihatnya dengan ketentuan/syarat-syarat mereka sendiri, mereka
tidak ingin untuk mengikuti jalannya latihan tersebut. Itulah sejauh ini
yang mereka lakukan. Semua aturan latihan ini adalah alat-alat yang
berguna untuk dapat menembus dan melihat Dhamma, tetapi orang-orang
tidak berlatih sesuai dengan aturan.

      
 
 ^:)^ ^:)^ ^:)^SEMOGA BERMANFAAT, SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATA.
------------------------------------------------------------------------

* /Sumber:/*

/Foof for the Heart, Ven. Ajahn Cah, The Sangha, Wat pah Nanachat,
Thailand, 1992, Mutiara Dhamma XI, editor: Lindawati T./

4
Perkenalan / salam kenal semua
« on: 14 December 2008, 08:23:35 PM »
 :)salam kenal utk semua teman2 seDhamma semua, suatu karma baik bisa bergabung di sini... ^:)^ ^:)^ ^:)^ :lotus:

Pages: [1]