B. Samatha & VipassanaTerdapat banyak metode meditasi yang diajarkan Buddha, dua diantaranya adalah
samatha & vipassana. Tapi kurang tepat bila kita mengatakan bahwa metode
meditasi Buddhis hanya ada 2 jenis. Karena jelas ada metode lain yang dapat
digunakan, yang sama efektifnya dengan metode samatha & vipassana. Seperti yang
dikatakan Bhikkhu Ananda dalam Yuganaddha Sutta (AN 4.170) bahwa siapapun yang
mengaku dirinya telah meraih nibbana hanya dapat meraihnya melalui 4 cara:
I. Menyempurnakan samatha dulu baru kemudian menyempurnakan vipassana, setelah
itu jalur nibbana terbuka dan ia menelusurinya.
II. Menyempurnakan vipassana dulu baru kemudian menyempurnakan samatha, setelah
itu jalur nibbana terbuka dan ia menelusurinya.
III. Menyempurnakan samatha dan vipassana secara bersamaan, setelah itu jalur
nibbana terbuka dan ia menelusurinya.
IV. Dengan pandai mengendalikan keresahan batin yang terhalus yang menyangkut
Dhamma ini, ia kemudian meraih konsentrasi. Setelah itu jalur nibbana terbuka
dan ia menelusurinya.Cara I-III menggunakan 2 metode ini: samatha & vipassana. Cara IV tidak
menggunakan samatha maupun vipassana. Mari kita mengkaji metode samatha &
vipassana.
Dari ungkapan Bhikkhu Ananda di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa samatha
dan vipassana harus saling melengkapi. Sebenarnya apakah itu samatha? Apakah
itu vipassana? Mari kita pelajari penjelasan yang diberikan oleh Buddha.
Samadhi Sutta (AN 4.94) berisi penjelasan Buddha tentang samatha & vipassana.
Buddha mengatakan siapapun yang sempurna pelaksanaan samathanya tapi tidak
sempurna vipassananya seharusnya mencari mereka yang sempurna vipassananya dan
belajar dari mereka, dan sebaliknya. Bagi yang tidak sempurna kedua-duanya,
maka ia seharusnya mencari seseorang yang sempurna keduanya. Sedangkan yang
telah sempurna keduanya masih harus berusaha melenyapkan sisa-sisa kekotoran
batin yang terhalus. Ini menunjukan kepada kita bahwa mereka yang telah
sempurna samatha & vipassananya masih belum tuntas dengan tugas mereka. Samadhi
Sutta dan Yuganaddha Sutta di atas jelas-jelas saling melengkapi dan tidak
saling bertentangan.
Mari kita meneliti penjelasan yang diberikan oleh Buddha tentang vipassana di
Samadhi Sutta ini. Buddha menjelaskan metode vipassana sebagai berikut:
"Bagaimana kelompok kehidupan ini seharusnya dipahami? Bagaimana cara
menelitinya?"
Buddha merujuk kepada mereka yang mahir dalam vipassana sebagai berikut:
"...mereka melihat fenomena (gejala) ini dengan kebijaksanaan yang tajam."
Inilah kata-kata singkat yang dipakai Buddha dalam menjelaskan metode vipassana
ini. Jadi terlihat jelas bahwa metode vipassana menekankan pada
analisa/penelitian/pemahaman melalui kebijaksanaan yang tajam.Mari kita kembali pada metode samatha. Bagaimana Buddha menjelaskan metode
samatha?
"Bagaimana pikiran ini ditenangkan? Bagaimana pikiran ini didiamkan? Bagaimana
pikiran ini disatukan? Bagaimana pikiran ini dikonsentrasikan?"
Sedang untuk mereka yang mahir dalam metode samatha, Buddha merujuk kepada
mereka sebagai berikut:
"...mereka memiliki batin yang penuh dengan ketenangan."
Nah, inilah penjelasan singkat yang diberikan Buddha tentang metode samatha.
Singkatnya, samatha adalah metode yang bersifat menenangkan batin ini,
mengkonsentrasikan pikiran ini.Jadi bila kita kembali pada Yuganaddha Sutta di atas, maka kita memahami apa
sebenarnya 4 cara tersebut. Cara IV yang tidak mencakup samatha ataupun
vipassana juga tetap memerlukan konsentrasi. Lagi-lagi hal ini sesuai dengan
Jalan Utama Berunsur Delapan yang mencakup konsentrasi benar. Di
Maha-cattarisaka Sutta (MN 117), Buddha merincikan Jalan Utama Berunsur Delapan
ini. Hanya setelah konsentrasi benar teraih, maka pintu nibbana baru bisa
terbuka. Konsentrasi benar yang dimaksud adalah jhana.
Seseorang yang melatih samatha akan hidup penuh dengan kedamaian batin (jhana).
Walaupun demikian, bila ia tidak pandai dalam hal-hal yang menyangkut kelompok
kehidupan ini (tubuh, persepsi, kesadaran, perasaan, pikiran), ia tak akan mampu
maju pesat dalam Dhamma. Sedangkan untuk mereka yang pandai dalam hal Dhamma,
yang melihat fenomena (kelompok kehidupan) dengan kebijaksanaan yang tajam,
masih diperlukan ketenangan batin yang tinggi, yakni konsentrasi (jhana).
Mengapa? Karena kata Buddha, walau seseorang mengetahui Dhamma ini dengan
sangat baik, ia masih tetap akan terikat dengan kenikmatan duniawi, kecuali bila
ia telah meraih kebahagiaan yang lebih tinggi daripada kenikmatan duniawi
tersebut. Hanya setelah itulah, ia akan mampu melepaskan keterikatannya pada
kenikmatan duniawi. Kebahagiaan yang lebih tinggi yang disebut oleh Buddha
tersebut adalah jhana. Perkataan Buddha ini dapat dibaca di Cula dukkhakhanda
Sutta (MN 14).Maka jelaslah bahwa fungsi samatha adalah memberikan sesuatu yang lebih
menyenangkan dari kesenangan duniawi, yakni batin yang menenangkan, damai,
tentram, pikiran yang penuh konsentrasi. Sedangkan fungsi vipassana adalah
menganalisa & meneliti sifat asli fenomena (kelompok kehidupan). Ketika
keduanya telah sempurna, maka pintu nibbana akan terbuka.
Dalam melatih samatha & vipassana secara bersamaan (cara III di atas), Buddha
menganjurkan kita untuk menggunakan metode yang sesuai tergantung situasi dan
kondisi kita [SN 46.53]. Buddha menjelaskan bila kita sedang diserang rasa
ngantuk, maka kita tidak seharusnya menggunakan metode meditasi yang bersifat
menenangkan batin--metode yang memicu kepada ketenangan, konsentrasi, dan
keseimbangan (definisi dari samatha). Buddha menyebutkannya sebagai metode yang
salah, dan memberikan perumpamaan--bagaikan seorang yang ingin membuat percikan
api tetapi menggunakan kayu yang basah untuk menyalakannya. Seterusnya, Buddha
menjelaskan bila seseorang sedang diserang rasa ngantuk, maka ia seharusnyalah
menggunakan metode meditasi yang bersifat menganalisa Dhamma, menimbulkan
energi, dan menghasilkan kegirangan di dirinya (definisi dari vipassana).
Inilah metode yang lebih sesuai. Karena metode ini akan mampu melawan langsung
rasa ngantuk.

Kemudian Buddha menjelaskan bila kita sedang dikuasai pikiran yang terlalu
aktif, maka kita tidak seharusnya menggunakan metode meditasi yang menganalisa
Dhamma, menimbulkan energi, dan menghasilkan kegirangan di dirinya. Lagi-lagi
Buddha menyebutkannya sebagai metode yang salah, dan memberikan juga
perumpamaan--bagaikan seorang yang ingin meredakan api tetapi malahan
menggunakan kayu yang kering. Seterusnya, Buddha menjelaskan bila kita sedang
dikuasai pikiran yang terlalu aktif, maka ia seharusnyalah menggunakan metode
meditasi yang bersifat menenangkan batin, yakni metode yang memicu kepada
ketenangan, konsentrasi, dan keseimbangan. Inilah metode yang lebih sesuai.
Karena metode ini akan mampu melawan langsung pikiran yang terlalu aktif.
<br><br>"this Dhamma is compared to a raft, for the purpose of crossing
over, not for holding onto. You should let go even of Dhammas, to say nothing
of non-Dhammas." (Majjhima Nikaya 22)
http://groups.yahoo.com/group/Taman_Budicipta/message/2879