//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - DNA

Pages: [1]
1
Meditasi / Petunjuk Latihan Meditasi ANAPANASATI | Ven. Pa-Auk Sayadaw
« on: 05 September 2012, 01:21:32 PM »
AKSES TERHADAP NAPAS

Pedoman dasar untuk mengembangkan konsentrasi: ada 2 (dua) jenis meditasi, yaitu Samatha dan Vipassana. Samatha adalah pengembangan konsentrasi. Vipassana adalah pengembangan kebijaksanaan. Di antara keduanya, Samatha merupakan landasan yang penting untuk Vipassana. Oleh karena itu, dalam Khanda Vagga Samyutta dan Sacca Samyutta, Sang Buddha mengatakan:
“Samadhiṁ bhikkhave bhavetha, samahito bhikkhave bhikkhu yathabhutaṁ pajanati.”
Yang artinya: “Para Bhikkhu, kalian seharusnya mengembangkan konsentrasi. Para Bhikkhu, jika kalian telah mempunyai cukup konsentrasi, kalian dapat mengerti fenomena sebagaimana adanya.”

Jadi, para pemula dianjurkan pertama kali melatih Samatha untuk mengembangkan konsentrasi yang kuat dan dalam. Kemudian mereka dapat melatih Vipassana dan melihat fenomena keberadaan yang sesungguhnya.

Ada 40 cara melatih Samatha. Di antara cara-cara yang ada, kami biasanya mengajarkan Ānāpānasati kepada pemula, perhatian pada napas, karena kebanyakan meditator berhasil dengan cara ini. Dalam Samyutta Nikāya, Sang Buddha mengemukakan tentang Ānāpānasati seperti ini: “Para Bhikkhu, konsentrasi melalui perhatian akan pernapasan ini, ketika sering dikembangkan dan dilatih, akan menjadi damai dan tertinggi. Ini merupakan keyakinan yang membahagiakan dan murni dan ini melenyapkan dan menenangkan pikiran-pikiran buruk yang jahat segera sesudah pikiran-pikiran itu muncul.

Dalam Visudhimagga, disebutkan bahwa perhatian akan pernapasan sebagai subjek meditasi adalah yang utama di antara berbagai macam subjek meditasi dari semua Buddha, (beberapa) Pacceka Buddha, dan (beberapa) murid-murid Buddha sebagai dasar untuk mencapai keunggulan dan keyakinan yang membahagiakan di sini dan saat ini.”

Jadi, kalian sebaiknya mempunyai keyakinan yang kuat atas subjek meditasi ini dan melatihnya dengan sungguh-sungguh.

Sekarang saya ingin memperkenalkan kalian langkah-langkah dasar untuk melatih Ānāpānasati.

Langkah Pertama: Duduklah yang tegak dan wajar. Rilekskan seluruh badan. Kalian boleh memilih postur duduk yang kalian suka. Tidak perlu menyilangkan kaki jika kalian menganggapnya sulit. Kalian boleh duduk dengan kedua kaki tidak saling menindih di lantai. Duduk di atas jok dengan ketebalan yang sesuai akan membuat kalian merasa nyaman dan membuat kalian dapat dengan mudah meluruskan tubuh sebelah atas. Rilekskan tubuh kalian bagian demi bagian, dari kepala sampai ke kaki. Yakinlah bahwa tidak ada ketegangan di setiap bagian tubuh kalian. Jika kalian merasa tegang di bagian tubuh tertentu, cobalah untuk melepaskan ketegangan itu dengan tetap rileks dan wajar. Ketegangan di bagian apa pun dari tubuh akan menimbulkan ketidaknyamanan dan sakit setelah kalian duduk untuk waktu yang lama. Yakinlah untuk merilekskan seluruh tubuh setiap kali kalian mulai duduk meditasi.

Langkah Kedua: Singkirkan semua pikiran, termasuk semua kekhawatiran dan rencana. Kalian sebaiknya merenungkan pada fakta bahwa semua hal yang berkondisi adalah tidak kekal. Hal-hal ini tidak akan berjalan sesuai dengan keinginan-keinginan kalian, tapi akan mengikuti arah perjalanannya sendiri. Tidak berguna melekat padanya. Akan bijaksana jika kalian dapat menyingkirkannya sejenak ketika kalian sedang melatih meditasi.

Kapan saja kalian terlena dalam pikiran-pikiran, kalian sebaiknya mengingatkan diri sendiri bahwa sekaranglah saat yang penting bagi kalian untuk membebaskan diri dan menetapkan batin kalian pada objek meditasi, yaitu pernapasan. Jika kalian memikirkan sesuatu yang penting dan pikiran itu muncul di batin kalian dan kalian pikir bahwa kalian harus mengingat-ingatnya, janganlah memikirkan hal itu ketika kalian sedang duduk bermeditasi.

Jika kalian sungguh-sungguh ingin berhasil dalam Ānāpānasati, kalian harus menyingkirkan semua objek-objek lain. Beberapa meditator ingin mengembangkan konsentrasi, namun mereka tidak dapat melepaskan kemelekatan pada banyak hal duniawi. Akibatnya, batin mereka menjadi gelisah karena selalu mengembara antara napas dan objek-objek duniawi. Mereka mungkin mencoba keras untuk menenangkan batin mereka tetapi tidak berhasil karena mereka tidak dapat melepaskan kemelekatan mereka terhadap objek-objek yang lain. Kemelekatan itu menjadi halangan pada kemajuan meditasi mereka. Jadi sangat penting membuat ketetapan hati yang kuat untuk menghentikan semua pikiran-pikiran yang lain ketika kalian sedang bermeditasi.

2
Meditasi / MEDITASI DAN KESADARAN | Bhikkhu Jinadhammo Mahathera
« on: 27 September 2011, 11:34:21 PM »
                 Dalam praktik latihan untuk memahami ajaran Buddha, yang pertama kali kita harus sadari adalah bahwa umat Buddha itu bersifat majemuk. Maksudnya, ada umat yang berminat mendengarkan khotbah-khotbah yang pernah disampaikan oleh Buddha, mungkin melalui para bhikkhu yang berkunjung ke vihara-vihara. Ada juga umat yang mencoba memahami ajaran Buddha dengan tekun membaca buku-buku yang mengupas Dhamma ajaran para Buddha. Dan tak sedikit pula umat Buddha yang lebih memilih untuk menghayati ajaran Buddha dengan berdiam dan melakukan perenungan ke dalam batinnya, yang sering kita sebut dengan istilah meditasi. Semuanya pilihan tersebut tidak salah, karena disesuaikan dengan kondisi dari umat Buddha itu sendiri.

                 Dari bentuk-bentuk pilihan yang telah kami sebutkan di atas, sesungguhnya praktik untuk menghayati ajaran Buddha dapat dibagi atas dua bentuk. Secara teoritis (pariyatti), pengamalan melalui perbuatan (patipatti), dan penembusan dari semua yang kita kerjakan (pativedha). Pada intinya, ajaran Buddha mencoba melatih agar kita sebagai manusia lebih memiliki kesadaran. Kesadaran menjadi hal yang sangat penting dalam praktik yang ingin dicapai oleh umat Buddha yang tekun berlatih.

                 Jika dalam ajaran agama lain, istilah “tobat” lebih lazim digunakan untuk kondisi-kondisi tertentu, maka kami menganjurkan untuk umat Buddha, kita lebih tepat menggunakan istilah “sadar”. Jadi, jika kita melihat rekan kita berbuat yang tidak benar, maka kita dapat menggunakan kalimat, “Sadarlah bahwa perbuatan Anda itu tidak benar.” Hal ini jauh lebih buddhistik karena memang Buddha sebagai Guru Agung junjungan kita, menekankan pentingnya melatih kesadaran.

                 Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita melatih kesadaran kita dan apa manfaatnya? Sebelum kita menjawabnya, kami ingin menjelaskan secara bertahap. Pemahaman akan ajaran Buddha biasanya diawali dengan menguasai teori yang berkenaan dengan ajaran tersebut (pariyatti). Ketika belajar dan berupaya memahami teori tersebut, adalah sesuatu yang wajar muncul perasaan yang bersifat dualisme. Kadang muncul perasaan setuju, kadangkala muncul tidak setuju. Juga perasaan senang dan tak senang. Perasaan senang membuat kita bahagia. Perasaan tak senang membuat penderitaan. Nah, bagaimana ini? Buddha mengatakan, kedua perasaan tersebut harus kita sadari ada dalam diri kita. Terimalah perasaan yang memang datang silih berganti tersebut. Namun manusia pada umumnya hanya mau menerima hal yang menyenangkan hatinya saja serta menolak yang membuat hatinya tak senang.

                 Permasalahannya, kita tidak pernah mengetahui secara mendalam bentuk pikiran yang datang dan pergi dalam diri kita. Kita hanya buru-buru memberi label, “Nah ini baik, aku terima. Oh, ini tidak baik, maka semaksimal mungkin akan kutolak.” Inilah penderitaan. Buddha mengajarkan kita untuk menerima dan merenungkan setiap bentuk pikiran yang datang dan pergi. Inilah praktik meditasi.

                 Untuk berlatih meditasi ada beberapa hal yang harus kita ketahui.
Pertama - kita harus didukung kemauan dan tekad untuk berlatih meditasi. Tanpa adanya kemauan maupun tekad, praktik meditasi menjadi sia-sia. Kita hanya akan merasa terpaksa atau ikut-ikutan dengan orang lain.
Ke dua - kita harus menyadari bahwa melatih kesadaran itu merupakan kebutuhan. Yang namanya kebutuhan harus kita penuhi. Sebagai umat Buddha, meditasi merupakan hal yang sangat penting. Makanya, kita harus mempraktikkannya.
Ke tiga - dalam berlatih meditasi, kita membutuhkan pembimbing. Pembimbing inilah yang akan memberikan kita pondasi yang menjadi bekal dalam mempraktikkan meditasi. Apabila pondasi yang diberikan salah, maka praktik meditasi kita juga akan salah.
Ke empat - dalam latihan meditasi, fokus kita adalah keadaan yang terus berubah (dukkha), tanpa keakuan (anatta), dan ketidakkekalan (anicca).
Ke lima - kita harus menyadari pikiran yang muncul. Durasi pikiran negatif ataupun positif harus kita amati. Kedua bentuk pikiran ini niscaya akan muncul silih berganti dan kita harus menerimanya. Meskipun kita menerima, bukan berarti kita melekat ataupun memilih kepada bentuk pikiran tersebut.
Ke enam - meditasi dapat dilakukan di mana saja.
Ke tujuh - waktu yang terbaik untuk meditasi adalah jam 4 sampai dengan jam 6 pagi, dikarenakan pikiran kita masih jernih. Jika malam, kita sudah lelah bekerja, sehingga karena kelelahan, kita mengantuk.
Ke delapan - pilihlah objek yang sesuai. Dalam agama Buddha terdapat empat puluh objek meditasi. Untuk memilih objek meditasi yang tepat, dibutuhkan pembimbing yang baik. Objek meditasi yang tepat akan sangat mendukung keberhasilan meditasi kita.
Ke sembilan - bagi praktisi pemula, ada dua teknik meditasi yang umum dilakukan, yaitu teknik samatha bhavana, yaitu ketenangan. Ketenangan yang dimaksud di sini adalah bagaimana kita berlatih untuk tidak melekat pada kondisi. Ketidakmelekatan akan membuat kita tenang dan bebas dari kegelisahan. Sedangkan vipassana bhavana adalah untuk pandangan terang. Pandangan terang juga melatih kita untuk melihat secara jernih, bebas dari keakuan.
Terakhir, ke sepuluh - dalam melaksanakan praktik meditasi, kita harus sungguh-sungguh atau penuh tekad. Jangan ada tekanan dalam latihan karena ini justru akan menghambat latihan kita.

                 Demikianlah yang kami sampaikan. Namun, yang paling penting untuk diingat adalah umat Buddha itu majemuk. Semua memiliki cara yang berbeda-beda dalam melatih perkembangan spiritualnya. Sebagaimana yang kami telah jelaskan, ada yang rajin membaca buku, praktik puja bakti, terjun dalam organisasi buddhis, dan sebagainya. Namun meditasi wajib untuk kita praktikkan, karena meditasi sangat penting untuk melatih kita untuk tidak melekat pada kondisi apa pun, yang merupakan sumber penderitaan.


*) Tulisan ini merupakan intisari dari ceramah Dhamma yang disampaikan oleh Bhikkhu Jinadhammo Mahathera dalam kegiatan diskusi dhamma yang diselenggarakan oleh Persaudaraan Muda-Mudi Vihara Borobudur di Vihara Borobudur, pada tanggal 27 Maret 2011. Disarikan kembali oleh Upa. Rudiyanto Tanwijaya, S.E.


3
Meditasi / 13 Praktik Pertapaan Bhikkhu Buddhis (Dhutanga)
« on: 18 July 2010, 11:14:49 PM »
Asal mula

Jauh sebelum Buddha muncul di dunia ini, terdapat latihan pertapaan yang dirancang dengan menyiksa tubuh dalam berbagai macam cara. Mereka yang menjalankannya percaya bahwa mereka akan terbebas dari penderitaan sebagai makhluk hidup. Di sisi lain, yang lain percaya bahwa tujuan tertinggi dari suatu keberadaan adalah terletak pada mengetahui bagaimana untuk menikmati kehidupan sepenuhnya dan memusatkan seluruh usaha mereka dalam menikmati kesenangan indria.

Dari awal mula ajaran-Nya, Buddha menolak dengan pasti kedua jalan ini yang beliau nilai sebagai «jalan ekstrem». Dalam ajaran-Nya, beliau menjelaskan bahwa hanya jalan yang moderat, «jalan tengah», yang dapat membimbing kita pada pengembangan kebijaksanaan dan pengetahuan benar tentang realita. Kedua jalan ekstrem ini mengembangkan, bagi mereka, kemelekatan dan pandangan salah, yang bertentangan dengan jalan moderat yang dapat mengurangi kemelekatan dan mengembangkan pandangan benar.

Perilaku hidup yang diterapkan oleh Bhagava untuk para bhikkhu dan bhikkhuni (patimokkha), untuk samanera (10 sila) dan untuk umat awam (5 atau 8 sila) adalah panduan cukup bagi siapa pun yang dengan baik sekali melatih dalam satipatthana. Bagi mereka yang ingin lebih cepat atau mudah untuk mencapai Nibbana, beliau juga mengajarkan satu set latihan pertapaan yang mana tidak wajib (13 aturan dhutanga yang tidak termasuk ke dalam vinaya), yang memungkinkan untuk mengurangi kebutuhan seseorang hingga sesedikit mungkin, sehingga melindungi , orang yang mempraktikkan latihan ini, dari kesombongan, keserakahan, kemalasan yang merupakan racun-racun utama dalam jalan pembebasan (hanya dengan berlatih dhutanga tertentu dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat benar-benar mengerti fakta ini; hasil yang mengesankan).

Dhutanga tidak dirancang bagi makhluk yang tinggi, maupun makhluk yang rendah. Latihan ini bermanfaat bagi mereka yang melatihnya. Dhutanga bukanlah latihan yang ekstrem; ini hanyalah latihan yang memungkinkan pikiran untuk dimurnikan dengan cepat dan mudah, prasyarat mutlak bagi pengembangan perhatian dan konsentrasi. Hal tersebut mengurangi rintangan yang tidak berguna, misalnya ketamakan akan makanan, sejumlah pakaian yang harus dirawat, kekacauan di tempat tinggal, dan berbagai macam kemelekatan lainnya. Dengan menjalankan latihan ini dengan baik, tidak ada dhutanga yang menimbulkan kelelahan dan tekanan pada tubah atau pikiran. Jika dhutanga melibatkan kesulitan besar atau usaha sulit pada seseorang, maka sebaiknya ia tidak melatihnya, sebagaimana hal ini akan menjadi latihan ekstrem bagi dirinya.

Setiap orang bebas, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya, untuk melatih satu atau beberapa praktik dhutanga, yang masing-masing meliputi tiga tingkat pembatasan. Tujuan dari latihan-latihan ini terletak pada menyediakan lingkungan yang memungkinkan untuk melakukan hidup pertapaan.

Dengan demikian, 13 dhutanga, yang berarti “pelepasan” [meninggalkan (dhuta); keadaan batin (anga)], merupakan satu paket latihan yang dirancang untuk benar-benar mengurangi kemelekatan kita, dengan tujuan untuk mencapai Nibbana dengan segera, seperti burung yang melintasi langit tak berawan pada garis lurus.


13 dhutanga

Terdapat tiga belas latihan petapa: dua latihan untuk jubah, lima latihan untuk makanan, lima latihan untuk tempat tinggal, dan satu latihan untuk postur (yang dikenal dengan usaha dhutanga). Untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dan rinci mengenai dhutanga, klik pada masing-masing definisi  yang tertampil di bawah ini:

1.   Pamsukula: jubah yang ditinggalkan [menggunakan kain yang ditemukan di jalan sebagai bahan untuk membuat jubah]
2.   Tecivarika: tiga jubah [hanya menggunakan tiga jubah bhikkhu sebagai pakaian]
3.   Pindapatta: pengumpulan dengan mangkuk/patta seseorang [hanya makan apa yang diperoleh dari pindapata keliling, apakah itu banyak atau sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali]
4.   Sapadanacarika: pengumpulan makanan tanpa melewati satu rumah pun [jika bhikkhu memperoleh makanan lezat dari rumah tertentu saat pindapata keliling, ia menghindari rumah itu di masa depan]
5.   Ekasanika: makan sekali saja [makan hanya di satu tempat dan tidak makan sedikit di satu tempat dan lalu makan lagi di tempat yang lain]
6.   Pattapinika: semua makanan dalam 1 mangkuk/patta [hanya makan dalam ukuran tertentu, melihat kesalahan dalam memanjakan selera]
7.   Khalupacchabhattika: tidak menerima makanan tambahan apa pun lagi setelah mulai makan
8.   Aranyika: tinggal di hutan [tidak tinggal di desa atau kuil yang berisik. Dimaksudkan untuk membantu meditasi, karena sangat sulit untuk bermeditasi di tempat yang berisik]
9.   Rukkhamula: tinggal di bawah pohon [tidak tinggal di bawah atap]
10.   Abbhokasika: tinggal di alam terbuka tanpa pelindung
11.   Susanika: tinggal di pekuburan
12.   Yathasantatika: tidur di tempat yang telah diperuntukkan baginya
13.   Nesajjika: menghindari sikap berbaring

4
Studi Sutta/Sutra / Kisah Bhikkhu yang Menghidupi Ibunya
« on: 18 December 2009, 10:39:58 PM »
No. 532.

SONA-NANDA-JĀTAKA


            “Dewakah atau gandhabbakah,” dan seterusnya. Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menghidupi ibunya. Kejadian yang membawa sampai ke kisah ini sama seperti yang terdapat di dalam Sāma-Jātaka. Dalam kesempatan ini, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, janganlah mencemooh bhikkhu ini. Orang bijak di masa lampau, meskipun ditawarkan satu kekuasaan untuk memimpin seluruh Jambudīpa, menolaknya dan (memilih untuk) menghidupi orang tua mereka.
_____________________________________

            Konon, dahulu kala Kota Bārāņasī (Benares) dikenal dengan nama Brahmavaḍḍhana. Kala itu, seorang raja yang bernama Manoja berkuasa di kota itu. Terdapatlah seorang brahmana hartawan yang memiliki kekayaan sebesar 800 juta tetapi tidak memiliki seorang putra, dan istrinya memohon untuk mendapatkan seorang putra atas permintaan suaminya. Bodhisatta, yang beranjak meninggalkan alam brahma ketika itu, terkandung di dalam rahimnya, dan pada hari kelahirannya diberi nama Sona. Di saat ia mampu berlari, seorang makhluk lain lagi beranjak meninggalkan alam brahma dan ia juga terkandung di dalam rahim istrinya, dan pada hari kelahirannya diberi nama Nanda.

            Segera setelah Weda diajarkan kepada mereka dan mereka menguasai seluruh ilmu pengetahuan, sang brahmana yang memperhatikan betapa rupawan kedua putranya berkata kepada istrinya, “Istriku, bagaimana jika kita mengikat putra kita, Sona, dalam ikatan perkawinan?” Sang istri menyetujuinya dan memberitahukan masalah ini kepada putranya. [313] Ia membalas, “Saya sudah merasa cukup dengan kehidupan duniawi sekarang ini. Selama Anda masih hidup, saya akan menjagamu, dan setelah Anda meninggal nanti, saya akan pergi ke Himalaya dan meninggalkan keduniawian menjadi seorang petapa.” Sang istri kemudian mengulangi perkataan ini kepada suaminya, dan ketika mereka telah berkali-kali berbicara kepadanya tetapi tidak berhasil membujuknya, mereka beralih kepada Nanda, dengan berkata, “Putraku, jalanilah kehidupan berkeluarga.” Ia menjawab, “Saya tidak akan menerima sesuatu yang ditolak oleh abangku, benda yang seolah-olah seperti dahak (yang dikeluarkan). Saya juga akan mengikuti tindakan abangku menjadi seorang pabbajita sepeninggal kalian.” Kedua orang tua tersebut berpikir, “Meskipun masih belia, mereka telah meninggalkan kesenangan indriawi. Jika mereka ini saja memiliki keinginan menjalani kehidupan seorang petapa, bagaimana pula dengan kami?” dan mereka berkata, “Mengapa harus menunggu kami meninggal baru meninggalkan keduniawian? Kami akan meninggalkan kehidupan berumah tangga sekarang (menjalankan kehidupan petapa).” Dan setelah memberitahukan kepada raja tentang niat mereka tersebut, mereka mendermakan seluruh kekayaan, menjadikan pelayan mereka budak yang bebas dan membagikan apa yang benar dan pantas diberikan kepada saudara-saudara mereka, dan mereka berempat meninggalkan Brahmavaḍḍhana menuju ke Himalaya. Mereka membuat satu tempat pertapaan di dalam hutan yang menyenangkan, di dekat sebuah danau yang ditumbuhi oleh lima jenis teratai, dan di sana mereka tinggal sebagai petapa.

            Dua bersaudara itu menjaga kedua orang tua mereka. Pada setiap awal pagi hari, mereka menyiapkan serat-serat kayu untuk sikat gigi dan air untuk cuci muka. Mereka menyapu bagian luar dari tempat pertapaan, bagian kamar, dan semuanya, menyediakan air untuk mereka minum, membawakan buah-buahan manis untuk mereka makan, menyediakan baik air dingin maupun air panas untuk mandi, merapikan rambut beranyam mereka, membasuh kaki mereka, dan melakukan pelayanan lain sejenisnya. Setelah beberapa lama berlalu dengan keadaan demikian, Yang Bijak Nanda berpikir, “Saya berkewajiban menyediakan buah-buahan untuk ayah dan ibuku,” jadi buah apa saja yang dapat dikumpulkannya di sekitar tempat itu baik pada waktu kemarin maupun dua hari sebelumnya, akan dibawanya pada awal pagi dan diberikannya kepada orang tuanya untuk dimakan. Mereka kemudian memakannya dan, setelah mencuci mulut, melakukan puasa Uposatha. Sedangkan Yang Bijak Sona pergi jauh untuk mengumpulkan buah-buahan yang manis dan masak, dan mempersembahkannya kepada mereka. Kemudian mereka berkata, “Anakku, awal pagi hari ini kami sudah memakan apa yang dibawakan oleh adikmu. Sekarang kami melakukan puasa Uposatha. Kami tidak memerlukan buah-buahan ini sekarang. Jadi buah-buahannya tidak dimakan dan juga tidak diterima mereka. Hari berikutnya juga terjadi hal yang sama, dan begitu seterusnya. [314] Demikianlah, dengan lima kesaktian yang dimilikinya, ia pergi ke tempat jauh untuk mengumpulkan buah-buahan, tetapi mereka tidak memakannya.

            Kemudian Sang Mahasatwa berpikir, “Ibu dan ayahku adalah orang lembut, dan Nanda membawakan buah-buahan baik yang belum masak maupun setengah masak untuk mereka makan. Dan bila keadaannya terus begini, mereka tidak akan dapat hidup untuk waktu yang lama. Akan kuhentikan perbuatannya.” Maka untuk memberitahunya, ia berkata, “Mulai hari ini, jika Anda hendak membawakan buah-buahan untuk mereka, Anda harus menunggu sampai saya kembali terlebih dahulu, baru kemudian kita berdua akan memberikannya kepada mereka untuk dimakan.” Meskipun diberitahu demikian, tetapi karena menginginkan jasa kebajikan untuk dirinya sendiri, ia tidak mengindahkan perkataan saudaranya. Sang Mahasatwa kemudian berpikir, “Nanda tidak menghiraukan perkataanku, melakukan perbuatan yang salah. Akan kuusir dirinya.” Dengan memiliki pemikiran bahwa ia sendiri yang akan menjaga kedua orang tuanya, ia pun berkata, “Nanda, Anda tidak mengindahkan perkataanku, tidak berbuat sesuai apa yang dinasihatkan oleh yang bijak. Saya adalah putra sulung. Ibu dan ayah adalah tanggung jawabku: Akan kujaga mereka sendirian. Anda tidak lagi boleh tinggal di tempat ini, pergilah ke tempat lain,” dan ia menjentikkan jarinya.

            Setelah diusir demikian, Nanda tidak lagi boleh berada di hadapan saudaranya, dan setelah mengucapkan perpisahan dengannya, ia menghampiri kedua orang tuanya dan memberitahu mereka apa yang terjadi. Setelah menuju ke gubuk daunnya sendiri, Nanda melatih meditasi kasiņa dan kemudian dari hari itu ia mengembangkan lima kesaktian dan delapan pencapaian (meditasi). Ia berpikir, “Aku dapat mengambil pasir permata dari kaki Gunung Sineru dan dengan menaburkannya di kamar abangku, kudapat memohon maaf darinya, dan jika itu tidak berhasil, akan kuambilkan air dari Danau Anotatta dan kemudian memohon maaf darinya. Jika itu tidak berhasil, dan jika abangku akan memaafkanku setelah kudatangkan makhluk-makhluk dewata, maka akan kubawa empat maharaja dan juga Dewa Sakka, kemudian memohon maaf darinya. Dan jika ini juga tidak berhasil, akan kubawa raja termasyhur di seluruh India, Manoja, berikut dengan para raja lainnya, dan kemudian memohon maaf darinya. Dan jika ini dilakukan, ketenaran dari abangku akan tersebar ke seluruh India dan bersinar terang seperti matahari dan bulan.”

            Dengan kesaktiannya, ia tiba di Kota Brahmavaḍḍhana di depan pintu istana raja dan mengirimkan pesan kepada raja (melalui penjaga pintu) yang berbunyi, “Seorang petapa hendak bertemu dengan Anda.” Raja berkata, “Ada urusan apa seorang petapa datang menemuiku? Ia pasti datang untuk mendapatkan makanan.” Raja memberikannya makanan, tetapi ia tidak mengambilnya. Kemudian raja memberikannya beras, dan kain, dan daun pinang sirih, tetapi ia tidak juga mengambilnya. Akhirnya raja mengutus seorang pengawal untuk menanyakan alasan kedatangannya, dan untuk memberikan jawaban kepada pengawal itu, ia berkata, “Saya datang untuk melayani raja.” Mendengar ini, raja kembali mengirim pengawalnya dengan berkata, “Saya memiliki banyak pelayan, mintalah ia lakukan saja pekerjaannya sebagai seorang petapa.” Ketika mendengar jawaban raja, ia membalas, “Dengan kekuatanku sendiri akan kudapatkan kekuasaan untuk memerintah seluruh India dan memberikannya kepada rajamu.” Sewaktu mendengar hal ini, raja berpikir, “Pada umumnya, para petapa adalah orang yang bijak. Pastilah mereka mengetahui suatu trik tertentu untuk itu.” Kemudian raja meminta pengawal untuk membawanya menghadap, memberikannya tempat duduk dan setelah memberi salam hormat kepadanya, bertanya, “Bhante, apakah Anda mampu mendapatkan kekuasaan untuk memerintah seluruh India, seperti yang dikatakan, dan akan memberikannya kepadaku?” “Ya, Paduka.” “Bagaimana Anda melakukannya?” “Paduka, tanpa mencucurkan darah siapa pun, bahkan tidak sedikit pun jumlah yang dapat diminum seekor lalat kecil, tanpa menghabiskan harta kekayaanmu. Dengan kesaktianku sendiri, akan kudapatkan kekuasaanku dan kuberikan kepadamu. Hanya saja, hari ini juga, tanpa ditunda lagi Anda harus berangkat maju.” Raja memercayai kata-katanya dan berangkat, dikawal oleh para pasukannya. Jika cuaca panas, Nanda menciptakan peneduh (untuk melindungi mereka dari panas) dan membuatnya terasa dingin. Jika hari hujan, ia tidak membiarkan air membasahi pasukan tersebut; ia menjaga kehangatan hembusan angin. Ia menghilangkan tunggul-tunggul pohon, semak-semak berduri dan segala jenis bahaya. Ia membuat jalanan menjadi sama ratanya seperti saat ia mengembangkan meditasi kasiņa. Dengan membentangkan pakaian dari kulit antelopnya, ia duduk bersila di atasnya di angkasa, dan berada di depan pasukan raja. Dengan cara demikian, pertama kalinya mereka tiba di Kerajaan Kosala, dan setelah membuat barak di dekatnya, ia mengirimkan sebuah pesan kepada Raja Kosala, memintanya untuk menyerah atau bertempur dengannya. Raja menjadi marah dan berkata, “Apa-apaan ini, saya tidak lagi menjadi raja? Saya akan bertempur denganmu,” dan ia pun berangkat maju memimpin pasukannya di depan, [316] dan kedua kubu pasukan itu pun terlibat dalam satu pertempuran. Yang Bijak Nanda, setelah membentangkan dengan lebar pakaian dari kulit antelop yang sedang didudukinya tersebut di antara kedua kubu pasukan, menarik semua panah yang ditembakkan oleh masing-masing pasukan, dan tak seorang pun di kedua kubu itu yang terluka. Dan ketika semua panah milik mereka habis, kedua kubu pasukan itu hanya dapat berdiri tak berdaya. Dan Nanda mendatangi Raja Kosala, mencoba meyakinkan dirinya, dengan berkata, “Paduka, janganlah takut. Tidak ada bahaya yang mengancam kerajaanmu. Kerajaan masih akan tetap menjadi milikmu, Anda cuma menyerah kepada Raja Manoja.” Ia memercayai apa yang Nanda katakan dan setuju dengannya. Kemudian dengan membawanya ke hadapan Raja Manoja, Nanda berkata, “Raja Kosala menyerah padamu, Paduka. Biarlah kerajaannya tetap menjadi miliknya.” Manoja juga mengiyakannya dan setelah menerima penyerahannya, ia melanjutkan perjalanan dengan dengan kedua pasukan itu ke Kerajaan Aṅga dan menaklukkan Aṅga, kemudian menaklukkan Magadha. Dengan cara demikian, ia menjadikan dirinya sebagai raja termasyhur di seluruh India, dan dengan ditemani oleh mereka (para raja), ia pun kembali ke Kota Brahmavaḍḍhana.

bersambung ...

5
Meditasi / Meditasi Jalan
« on: 10 December 2009, 10:16:05 PM »
Buddha bersabda bahwa perhatian penuh harus diterapkan pada empat sikap tubuh, yaitu: berjalan, berdiri, duduk, dan berbaring.
•   Jika kamu berjalan, kamu harus berperhatian penuh pada aktivitas berjalan sebagaimana apa adanya.
•   Jika kamu berdiri, kamu harus berperhatian penuh pada aktivitas berdiri sebagaimana apa adanya.
•   Jika kamu duduk, kamu harus berperhatian penuh pada aktivitas duduk sebagaimana apa adanya.
•   Jika kamu berbaring, kamu harus berperhatian penuh pada aktivitas berbaring sebagaimana apa adanya.
Jadi, pada setiap sikap, harus ada perhatian penuh.

Kami memberi petunjuk pada para meditator untuk berlatih meditasi jalan dan duduk secara bergantian, sehingga mereka dapat berkonsentrasi lebih mudah dan lebih jauh mencapai pandangan terang pada proses jalan dan duduk. Setiap sesi meditasi duduk harus didahului dengan meditasi jalan, karena pada meditasi jalan, gerakan kaki lebih jelas dari gerakan dinding perut saat meditasi duduk. Setelah mahir dalam bermeditasi, kamu mungkin memerlukan meditasi duduk yang lebih lama dibandingkan dengan meditasi jalan. Ketika kamu telah mencapai tingkat ke enam dari pengetahuan pandangan terang, kamu dapat berlatih meditasi duduk lebih lama dari meditasi jalan. Kamu dapat bermeditasi duduk dua atau tiga jam dan bermeditasi jalan satu jam. Pada tingkatan ini, konsentrasi kamu cukup baik, dalam, dan kuat untuk menyadari lenyapnya fenomena batin dan jasmani (nama dan rupa). Tetapi pada permulaan latihan, kamu perlu melakukan meditasi jalan lebih lama dari meditasi duduk, karena kamu belum bisa bermeditasi duduk lama tapi dapat bermeditasi jalan lebih lama. Kamu dapat mencapai tingkat konsentrasi tertentu dengan lebih mudah melalui meditasi jalan dibandingkan dengan meditasi duduk.

Jadi, yang pertama, kamu harus berlatih meditasi jalan dengan menyadari langkah kaki. Ketika melangkah dengan kaki kiri, catatlah dalam hati sebagai “kiri”. Ketika melangkah dengan kaki kanan, catatlah dalam hati sebagai “kanan”. Dengan cara ini, catatlah sebagai “kiri, kanan, kiri, kanan”, atau hanya “melangkah, melangkah”. Pencatatan atau pemberian nama tidaklah sepenting pengamatan terhadap langkah kaki. Kamu harus mengutamakan kewaspadaan yang tajam terhadap gerakan kaki. Dalam berlatih meditasi jalan, mata tidak boleh dipejamkan. Sebaliknya, mata harus terpejam separuh (yang berarti tidak tegang dan menjaga mata dalam keadaan normal) dan yogi harus melihat ke bawah sekitar dua meter di depan kaki.

Kamu tidak boleh menundukkan kepala terlalu rendah. Jika menundukkan kepala terlalu rendah, kamu segera merasakan ketegangan pada leher dan bahu. Hal ini juga bisa menimbulkan sakit kepala atau pusing. Kamu tidak boleh melihat ke kaki. Jika kamu melihat ke kaki, kamu tidak dapat berkonsentrasi dengan baik pada gerakan kaki. Melihat ke sana, kemari, atau ke sekeliling juga tidak diperbolehkan. Bila kamu melakukannya, pikiran akan berkelana bersama mata dan konsentrasi menjadi terpecah. Kamu mempunyai kecenderungan atau keinginan untuk melihat ke sekeliling ketika kamu merasakan ada seseorang yang mendekat atau lewat di depannya. Kecenderungan atau keinginan untuk melihat ke sekeliling harus diamati dengan penuh perhatian dan dicatat sebagai “kecenderungan” atau “ingin melihat” hingga keinginan itu lenyap. Setelah keinginan itu lenyap, kamu tidak akan ingin melihat ke sekeliling lagi. Kemudian, kamu dapat menjaga  konsentrasi. Jadi berhati-hatilah untuk tidak melihat ke sekeliling sehingga kamu dapat menjaga dan meningkatkan konsentrasi melalui meditasi jalan.

Tangan harus disatukan di depan atau belakang. Bila harus merubah posisi tangan, boleh dilakukan, tetapi harus berperhatian penuh. Jika kamu ingin mengubah posisi, harus dicatat “ingin, ingin”. Setelah itu, ubahlah posisi dengan sangat perlahan dan setiap gerakan yang terlibat di dalamnya harus diamati dengan perhatian penuh. Tidak boleh lengah pada setiap gerakan atau aksi. Setelah posisi tangan diubah, teruskan mencatat gerakan kaki seperti sebelumnya.

Dalam meditasi duduk, bagi meditator yang telah mempunyai pengalaman berlatih meditasi, sebaiknya duduk setidaknya selama empat puluh lima menit tanpa mengubah posisi. Sedangkan bagi pemula, sebaiknya duduk paling tidak 20-30 menit tanpa mengubah posisi. Jika meditator pemula tidak dapat mengatasi rasa sakit yang muncul, ia akan merasakan dorongan untuk mengubah posisinya. Sebelum melakukan perubahan posisi, catatlah keinginan untuk mengubah sikap tubuh sebagai “ingin, ingin”. Bila tidak tertahankan dan harus merubahnya, lakukanlah dengan sangat perlahan dan waspada terhadap semua gerakan dan perbuatan yang terlibat dalam mengubah sikap duduk. Setelah perubahan selesai dilakukan, kembalilah ke pengamatan gerakan perut dan catat sebagaimana biasanya.


Kesadaran Hening

Pada retret meditasi, kamu dilarang melakukan tindakan atau gerakan dengan cepat. Sedapat mungkin semua tindakan dan gerakan harus dilakukan secara perlahan, sehingga kamu dapat menerapkan perhatian penuh terhadap setiap gerakan tubuh yang sekecil sekalipun. Berbeda dengan di rumah, kamu tidak perlu memperlambat semua tindakan dan gerakan, tapi lakukanlah dengan normal dan amati dengan perhatian penuh. Semua tindakan dan gerakan harus dicatat dengan perhatian penuh sebagaimana apa adanya. Itulah yang dimaksud dengan berperhatian penuh secara umum. Pada saat retret, kamu harus memperlambat semua tindakan dan gerakan karena kamu tidak ada tugas lain kecuali selalu berperhatian penuh pada semua aktivitas mental dan jasmani. Kamu tidak boleh berbicara kecuali beberapa kata yang diperlukan pada rutinitas sehari-hari. Beberapa kata tersebut juga harus diucapkan dengan perlahan dan lembut sehingga tidak mengganggu konsentrasi lain. Kamu harus melakukan segala sesuatunya dengan suara yang amat kecil atau tanpa suara sama sekali. Kamu jangan menimbulkan suara dengan berjalan dengan kasar dan berat. Bila kamu berperhatian penuh terhadap gerakan kakinya, kamu tidak akan menimbulkan suara apa pun ketika berjalan.

Kamu harus berperhatian penuh terhadap segala sesuatu yang muncul pada batin dan jasmani. Juga harus waspada terhadap segala macam aktivitas batin dan jasmani sebagaimana apa adanya. Saat makan, harus berperhatian penuh terhadap semua tindakan dan gerakan dalam kegiatan makan. Begitu pula saat mandi, berpakaian, ataupun minum, semua kegiatan harus diperlambat dan amati gerakannya. Ketika ingin duduk, lakukanlah dengan perlahan, waspadai seluruh gerakan saat duduk. Ketika ingin berdiri, juga harus dilakukan dengan perlahan dan waspadai setiap gerakan karena kita ingin mengerti setiap proses batin dan jasmani yang sebenarnya. Semua proses batin dan jasmani selalu berubah, muncul dan lenyap, muncul dan tenggelam. Oleh karena itu, kamu harus memperlambat semua tindakan dan gerakan.

Perhatian penuh dan konsentrasi akan membuka jalan untuk berkembangnya pandangan terang. Ketika perhatian penuh menjadi berkesinambungan, konsentrasi menjadi dalam dengan sendirinya. Saat konsentrasi menjadi dalam, pandangan terang akan berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu, kita harus berjuang untuk mendapatkan perhatian penuh yang konstan/terus-menerus dan berkesinambungan.


Sumber: Meditasi Vipassanā (Ceramah Mengenai Meditasi Pandangan Terang) - Sayadaw U Janakābhivamsa

6
HOW A THERAVADIN BUDDHIST CHINESE FUNERAL MAY BE CONDUCTED

Kesimpulan
Cara Menangani Jenazah Saya Nantinya
Oleh: Ven. Visuddhacara

Saya biasanya sedih ketika menghadiri upacara pemakaman umat Buddha. Bukan karena ada yang meninggal tetapi karena banyak unsur non Buddhis yang dimasukkan ke dalam upacara yang dinyatakan sebagai upacara pemakaman Buddhis. Sudah pasti, kita sedih kehilangan orang yang kita kasihi, tetapi mengapa kita harus menambah lagi, kalau boleh disebut, “penghinaan” di atas kesedihan, dengan mengikuti secara pasrah (akibat kekhawatiran dan ketidaktahuan) segala jenis upacara dan ritual yang sesungguhnya pantas dipertanyakan kesahihannya?

            Jawabnya, tentu karena kekhawatiran dan ketidaktahuan kita. Kesimpulan ini saya tujukan kepada umat Buddha Theravada. Perkenankan saya untuk menjelaskan bahwa saya tidak bermaksud untuk tidak menghormati mereka yang menganut agama dan kepercayaan lain. Semua orang memiliki hak sepenuhnya untuk mempraktekkan upacara dan kebiasaan agamanya. Ini adalah hak kita yang tidak dapat dicabut.

            Jadi,  di sini saya memaksudkan ulasan ini untuk umat Buddha Theravada dan saya katakan bahwa jika kita mengerti Ajaran Buddha, maka kita dapat membuang banyak ketakutan dan ketidaktahuan sehingga kita bisa melaksanakan berbagai hal, misalnya mengadakan upacara pemakaman, secara sederhana, khidmat dan bermanfaat yang merupakan sesuatu yang jarang diterapkan oleh umat Buddha Theravada sepenglihatan saya selama ini. (Tentu saja ada pengecualian bahwa ada beberapa orang yang benar-benar menerapkannya.)

            Ketika saya melihat pengurus pemakaman memerintah anggota keluarga, sanak saudara dan sahabat yang kehilangan, saya bahkan lebih sedih dan heran. Mengapa orang-orang kasar ini harus memerintah kita? Mengapa mereka berteriak dan menjerit kepada kita (kadang bahkan dengan pengeras suara!): “Lakukan ini!”, “Lakukan itu!”, “Kemari!”, “Ambil dupa dan berdoa sekarang!”, “ Berlutut!”, “Membungkuk tiga kali!”, “Berdiri!”, “Balikkan badan (terhadap peti mati)!”, “Jangan melihat!”, dan seterusnya, tanpa kata-kata “dengan seizin Anda”, “silakan”, atau dengan kata-kata sopan sederhana lainnya. Dan mengapa kita harus menurut dan patuh begitu saja? Siapa sebenarnya yang mengadakan upacara pemakaman? Kita atau mereka? Apakah itu pemakaman orang yang kita kasihi atau mereka? Siapa mereka? Apakah mereka seorang Buddhis? Apakah mereka mengerti Ajaran Buddha? Apakah mereka mengetahuinya? Apakah kita sudah kehilangan kendali? Tidakkah kita punya kendali?

            Kelihatannya memang tidak, sepertinya kita tidak punya kendali, atau lebih tepatnya, kita tidak menggunakan hak kita untuk mengendalikan. Dalam hal ini, kita telah kehilangan semua kendali, dan dengan demikian, kita telah menyerah atau kehilangan pemahaman akal sehat kita terhadap nilai sesuatu hal dan martabat. Kita sungguh tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kita bingung dan tidak berdaya.  Saya telah melihatnya berkali-kali, para intelektual dan orang terhormat menyerahkan semua hak dan kepercayaan kepada para pengurus pemakaman ini, yang mungkin merokok dan ketawa-ketawa, berbicara dengan kasar, dan berpakaian secara amburadul. Bagi mereka, saya kira semuanya hanya dalam satu hari kerja, mengambil keuntungan dari kekhawatiran dan ketidaktahuan kita. Tentu saja, mungkin masih ada beberapa pengurus pemakaman yang baik hati dan tulus yang mungkin bermaksud baik dan menjalankan tugasnya dengan sopan dan bagus, tetapi kesan yang selama ini saya dapatkan dari tradisi pemakaman Chinese di Penang sangatlah buruk dan negatif.

            Tiada keluhuran,  tiada makna, tiada hormat. Oleh karena itu, saya berharap buku kecil yang telah Anda peroleh ini akan membantu kita untuk berpikir kembali dan mendapatkan kembali suatu bentuk pengendalian. Saya harap kita akan mulai menanyakan dan mencari jenis pemakaman atau upacara pengantaran yang bermakna untuk kita sendiri dan orang yang kita kasihi. Buklet ini, tentunya, bukanlah hal terakhir dari topik ini. Ini baru permulaan. Masih banyak hal-hal yang perlu ditelaah dan dibicarakan. Dan banyak sekali hal dan prosedur yang kita lakukan adalah sesungguhnya subjektif dan tergantung keinginan pribadi dan pilihan pihak terkait.

            Sebagai contoh, bagi saya, saya tidak memerlukan pemakaman atau berita dukacita di koran. Bagaimanapun, saya tidak akan berkeliling untuk memeriksa atau mengamati apa yang akan terjadi setelah saya mati. Saya akan bertumimbal lahir, meskipun tujuan hidup saya adalah berjuang untuk lepas dari lingkaran siklus kelahiran dan kematian. Saya akan dengan senang hati menyumbangkan seluruh tubuh saya jika ada lembaga yang mau dan dapat menggunakannya seperti rumah sakit atau perguruan tinggi Fakultas Kedokteran. Saya akan gembira sekali mendonorkan seluruh organ tubuh saya setelah meninggal. Apalah guna tubuh ini bagi saya setelah kematian? Jika dapat digunakan oleh orang lain, maka saya akan benar-benar gembira menjadi berguna bagi makhluk hidup lain pasca-kematian saya. Dan setelah para dokter atau mahasiswa kedokteran membedah dan mengeluarkan bagian organ tubuh saya yang masih dapat digunakan, mereka boleh membuang sisanya dengan cara yang mereka sukai. Menguburnya di tempat yang tidak diketahui. Membakarnya. Apa saja, bukan masalah lagi bagi saya.

            Anda lihat, bagi saya tubuh ini seperti baju bekas. Ketika meninggal, kita seperti menanggalkan baju lama dan memakai baju baru, atau lebih tepatnya tubuh atau bentuk yang baru, dalam kelahiran atau kehidupan yang baru, menurut kamma kita sendiri (yaitu perbuatan yang telah kita lakukan dalam kehidupan ini). Oleh karena itu, adalah penting bagi saya untuk menjalani kehidupan secara baik pada kehidupan sekarang. Setelah meninggal, tidak ada gunanya melekat pada jasmani. Semua tata cara dan upacara sebenarnya bukan untuk yang meninggal (karena yang meninggal tidak dapat melihat atau mengetahui apa yang sedang terjadi) tapi untuk yang masih hidup – untuk membantu mereka yang masih hidup merasa lebih baik, untuk membantu mereka melewati masa sedih. Tapi apakah ini perlu? Tentunya ini subjektif sekali. Sebagian orang menyukai upacara dan kebaktian yang bermanfaat, sedangkan yang lain mungkin menyukai sedikit keramaian, atau seperti saya yang menyukai tidak adanya keramaian dan dengan senang hati tidak memiliki upacara pemakaman. Ini akan membuat hidup jadi lebih mudah bagi banyak orang. Mereka tidak perlu berjalan ratusan meter di bawah terik matahari dan mandi keringat karena saya.

            Ya, jika mereka ingin mengenang atau menghormati saya, saya akan selalu berkata: berbuat baik, hidup dengan baik, jaga lima sila, ramah kepada semua makhluk hidup ketika mereka masih hidup, bukan sewaktu mereka meninggal dan Anda tidak dapat berbuat apa-apa lagi bagi mereka. Tentu saja, Anda tetap boleh datang, menghibur dan memberikan bantuan moral dan jasmaniah kepada anggota keluarga yang kehilangan.

            Jika seandainya akan ada upacara pemakaman bagi saya, saya ingin orang-orang melakukan sesuatu yang bermakna. Misalnya, teman-teman Buddhis saya dapat berkumpul dan bermeditasi di sekeliling peti mati saya sebagai cara untuk menghormati saya, karena saya bangga sebagai seorang meditator dan selalu menganjurkan orang-orang untuk bermeditasi. Tentunya, saya tidak akan berada di sana untuk mengamati mereka bermeditasi (saya tidak mengharapkan terlahir sebagai hantu kelaparan! Meskipun, tentu saja, kita tidak akan pernah bisa tahu!). Bukanlah penghormatan itu yang memuaskan saya tetapi yang membuat saya bahagia adalah bahwa mereka melakukan sesuatu yang berarti, seperti melakukan meditasi Vipassana (Pandangan Terang) atau merenungkan tentang kematian, tentang ketidakkekalan kita, tentang perlunya kita hidup bijaksana, hidup penuh kasih dan bermanfaat, dan tentang pentingnya berusaha lewat meditasi untuk membuang kekotoran batin (yakni ketamakan, kebencian, dan kebodohan) sehingga kita tidak akan terlahirkan kembali, dan jika tidak terdapat kelahiran maka tidak akan ada kehancuran dan kematian. Dengan penghentian ini, seperti yang diajarkan Sang Buddha, seluruh siklus penderitaan pun akhirnya terhenti.

            Di samping meditasi, mereka bisa mendiskusikan Dhamma, membaca sesuatu yang membangkitkan semangat dan bermanfaat dari kitab suci, menyanyikan lagu pujian Buddhis tentang ketidakkekalan, penderitaan dan tidak adanya diri yang kekal, atau memberikan pidato tentang saya. Tentunya, dalam pidato, mereka tidak perlu hanya memuji saya, mereka boleh berterus terang tentang kebaikan dan keburukan saya. Kita sudah pasti tidak sempurna. Kita memiliki kekurangan dan kelemahan, kita memiliki bagian yang seimbang antara nafsu keinginan, kepuasan, kemarahan, dan kebodohan. Jadi, mereka boleh mengatakan: “Visuddhacara adalah seorang yang baik, ramah, pengertian dan jenis orang yang sabar (sebagaimana saya akan berpikir dengan sombongnya tentang diri saya), tapi kadang-kadang dia bisa marah ketika ada yang tidak sesuai dengan yang dia inginkan. Dia bisa membentak padamu tanpa disadarinya. Dia bisa sangat angkuh, lekas marah dan berkeras dalam pendirian (seperti dia yang sekarang). Saya heran, ‘Ke mana kesadarannya?’ Walau dia telah membuat banyak orang bahagia dalam hidupnya,  dia juga telah membuat banyak orang menderita, yang mungkin tidak pernah memaafkannya sampai hari ini. Ah, sungguh ironi dan tragedi kehidupan! Betapa kita bisa bersikap baik dan juga sebaliknya sepanjang kehidupan kita … Dan ketika melakukan pengeditan, dia sangat teliti bahkan hanya untuk satu titik dan koma, dan dia akan kecewa jika dia melihat ada yang tidak teredit dengan benar. Dan setelah sekian tahun menjadi bhikkhu, dia masih saja, e hem, belum terlepas dari kemelekatan untuk menikmati secangkir kopi dan teh kesukaannya. Saya khawatir dia masih seorang yang bodoh seperti yang dia akui ketika dia masih hidup. Dan sayangnya,  oleh karena itu, dia harus mengalami beberapa kelahiran lagi sebelum dia dapat mencapai penerangan. Semoga Anda beruntung pada kelahiran Anda yang baru, Yang Mulia Bhante.”

            Dan seterusnya, dan sebagainya. Tidak masalah bagi saya. Dan sekalipun iya, saya tidak akan ada di sana untuk mempermasalahkannya! Dan tentu saja, orang-orang boleh tertawa, menitikkan air mata, dan belajar sesuatu. Karena saya selalu mengikuti motto sederhana ini: “Jika Anda mengetahui atau mendengar seseorang berbuat baik atau berkelakuan terpuji dan patut dihargai, katakanlah ‘Hore!’ dan teladani dia. Dan jika Anda mengetahui atau mendengar seseorang berbuat jahat atau berkelakuan menjengkelkan, katakan pada dirimu, ‘Oh, sebaiknya saya tidak melakukannya. Lebih baik saya tidak berkelakuan seperti orang itu.’ Dengan cara ini, Anda mempelajari keduanya baik dan buruk. Anda memutuskan mengikuti yang baik dan menghindari yang buruk. Baik dan buruk, keduanya dapat melatih kita.

7
Studi Sutta/Sutra / Sàriputta Sutta (Ringkasan)
« on: 15 November 2009, 12:20:22 AM »
Yang Mulia Sàriputta mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan alam yang sesuai dan diinginkan, tempat yang sah (untuk dàna), latihan (meditasi), dll demi kepentingan siswa-siswa yang berlatih di bawah pengawasannya.
Pertanyaan ini diajukan kepada Tathàgata dalam 8 bait syair dan Tathàgata memberikan jawaban yang terdiri dari 13 bait syair.

Aku, Sàriputta, sampai sekarang ini belum pernah melihat atau mendengar tentang satu pribadi mulia, yang masuk ke dalam rahim ibunya dari Surga Tàvatimsa, yang berbicara dengan suara yang begitu menyenangkan dan memiliki kesaktian, dengan semua kebesaran, keagungan, dan kemuliaan seorang Buddha yang mencapai Pencerahan Sempurna (1).

Semua brahmà, dewa, dan manusia sungguh telah melihat seorang yang telah menaklukkan kegelapan kebodohan, seorang yang tidak ada tandingannya dan istimewa menikmati ketenangan Jhàna, dan ketenangan serta ketenteraman Nibbàna; semua brahmà, dewa, dan manusia memandangnya sebagai seorang yang memiliki Lima Mata (2).

Yang Mulia Tathàgata… yang telah bebas dari 2 jenis kotoran, yaitu kemelekatan dan pandangan salah, seorang yang tidak tergerak oleh perubahan duniawi, seorang yang tidak akan pernah mencoba menarik perhatian orang banyak dengan mendemonstrasikan kesaktian, yang datang ke pintu gerbang Kota Sankassa sebagai seorang guru bijaksana… Aku, Sàriputta, telah datang ke tempat ini dengan membawa masalah dan memohon agar engkau memberikan penyelesaian sehubungan dengan kepentingan siswa-siswaku (3).

Berapa banyakkah objek indria yang menyerang dengan menakutkan yang membahayakan seorang bhikkhu mulia yang melalui ketakutan dan kejijikan terhadap bahaya kelahiran, dan seterusnya, mengundurkan diri ke bawah pohon, ke pekuburan, ke atas dipan yang terpencil atau tempat tidur berkaki pendek di dalam sebuah gua (a_4-5).

Berapa banyakkah bahaya yang menekan saat seorang bhikkhu mulia melaju di jalan yang asing menuju tanah yang belum tercapai, Nibbàna, di dalam hutan pertapaannya yang sunyi jauh dari kota atau desa? (b_6).

(c) Bagaimanakah kata-kata yang diucapkan seorang bhikkhu mulia? (d) Apakah aturan-aturan bagi seorang bhikkhu mulia? (e) Latihan-latihan apakah yang harus dilakukan dengan tekun oleh seorang bhikkhu mulia seperti halnya meditasi? (c,d,e_7).

Bagaimanakah seorang bhikkhu mulia menjalani Sila dengan keteguhan, penilaian yang dewasa dan perhatian yang murni untuk melenyapkan debu kotoran batin, bagaikan seorang pandai emas memurnikan emas? (f_8).

(Demikianlah Yang Mulia Sàriputta mengucapkan 8 bait syair yang terdiri dari 3 bait syair pujian atas kemuliaan Buddha, dan 5 bait syair sehubungan dengan latihan lima ratus bhikkhu yang harus dijalankan.)

Anak-Ku Sàriputta… seorang intelektual dan penuh perhatian tidak perlu takut atau terguncang saat berhubungan dengan 5 jenis bahaya,
(1) serangga, nyamuk, lalat,
(2) ular, kalajengking, kelabang, tikus,
(3) pencuri dan perampok,
(4) binatang berkaki empat seperti singa dan macan, dan
(5) orang-orang di luar ajaran yang tidak memiliki keyakinan di dalam Tiga Permata yang menimbulkan ketidaknyamanan dengan pandangan-pandangan dan pertanyaan-pertanyaan mereka yang berlawanan. Seseorang tidak boleh khawatir atau takut oleh 5 jenis objek menakutkan yang telah dijelaskan itu.

Lebih jauh lagi, seorang bhikkhu mulia yang berusaha mencapai Nibbàna dengan mengikuti Jalan yang benar harus menekan 5 “musuh internal” sebagai tambahan dari apa yang telah dijelaskan di atas (2-3).
(1) Penyakit,
(2) lapar,
(3) dingin,
(4) panas, dan
(5) ketika bhikkhu mulia mengalami ketidaknyamanan saat berhubungan dengan bahaya-bahaya ini, ia harus menolak atau berlindung, karena perasaan dan penderitaan ini akan mengarah pada munculnya 10 perbuatan salah (oleh tindakan, ucapan, dan pikiran); ia harus melindungi dirinya dengan usaha yang giat dan sungguh-sungguh (Sammappadhàna).

Setelah menjelaskan (a) dan (b), Tathàgata melanjutkan dengan menjelaskan (c), (d), (e), dan (f) dalam 9 bait syair berikut ini).

Seorang bhikkhu mulia harus menjauhkan diri dari mencuri dan berbohong; ia harus mengharapkan kesejahteraan bagi (i) mereka yang masih memiliki noda kemelekatan (tasa) dan (ii) mereka yang telah melenyapkan kemelekatan (thàvara), ia harus menaklukkan 10 perbuatan buruk, pendeknya, kelompok perbuatan jahat, karena mereka merupakan sekutu Màra (5).
(Empat perbuatan baik disebutkan dalam bait ini, yaitu: menghindari mencuri, berbohong, mengharapkan kesejahteraan semua manusia, dan menjauhi perbuatan buruk).

Seorang bhikkhu mulia tidak boleh memiliki kemarahan (kodha) dan kesombongan yang tidak terkendali (atimàna), akar penyebab 2 faktor buruk ini ada 6, yaitu, kebodohan (avijjà), sifat buruk ayoniso (manasikàra), keangkuhan (asamimàna), kurangnya rasa malu (ahirika), kurangnya rasa takut akan akibat perbuatan jahat (anottappa), dan kegelisahan (uddhacca). Akar-akar penyebab ini harus dicabut atau dihancurkan; sebagai tambahan rasa suka dan benci harus diatasi dengan Ketenangseimbangan (6).
(Dengan ini, empat latihan telah dijelaskan, yaitu: kemarahan dan keangkuhan harus dilenyapkan; dan enam akar penyebab kemarahan dan keangkuhan harus disingkirkan; dan objek-objek yang disukai dan dibenci harus dihindari dengan Ketenangseimbangan).

Seorang bhikkhu mulia harus berusaha memahami dan mengembangkan 10 perenungan. Dengan kekuatan kegembiraan dan kepuasan, piti, yang berkembang, musuh-musuh yang telah dijelaskan di atas, baik internal maupun eksternal harus disingkirkan.
(Demikianlah nasihat Buddha untuk mengusir dan menghancurkan musuh-musuh internal dan eksternal yang dijelaskan pada (a) dan (b) dengan sepuluh perenungan (Anussati); Piti yang muncul dari meditasi harus dimanfaatkan sebagai alat untuk mengembangkan kesabaran. Ini adalah alat untuk mengatasi musuh-musuh tersebut).

Seseorang harus mengatasi ketidaktertarikan berada di dalam pertapaan sunyi dan mengembangkan meditasi dengan bantuan alat-alat yang bermanfaat tersebut di atas untuk mendapatkan keberhasilan tertinggi; alat-alat yang bermanfaat tersebut di atas juga dapat digunakan untuk menaklukkan 4 penyebab kesedihan berikut ini: (7).

Empat Penyebab Kesedihan

(1) Makanan apakah yang akan kumakan hari ini? Apakah nasi, atau gandum, ikan, ataukah daging?
(2) Di manakah aku makan (di istana raja, atau di rumah seorang kaya atau brahmana)?
(3) Aku terpaksa tidur dengan sangat tidak nyaman kemarin malam (di atas selembar papan, atau selembar matras kasar, atau selembar kulit atau di atas tumpukan rumput); dan
(4) Di tempat mewah seperti apakah aku akan tidur malam ini (di atas tempat tidur berhias, atau di atas tempat tidur berkaki empat)?
Empat jenis spekulasi ini dikenal sebagai penyebab kesedihan.
Seorang bhikkhu yang melatih Sila, samàdhi, dan pannà yang bebas dari kesusahan (palibodha), seperti, keterikatan kepada keluarga, saudara sealiran, tempat tinggal, dan kebutuhan harus menyingkirkan kekhawatiran sehubungan dengan makanan dan tempat tinggal; 4 jenis kekhawatiran ini harus dilepaskan [8].

Ketika seorang bhikkhu memperoleh makanan dan jubah dengan cara dan waktu yang tepat, ia harus mampu menilai atau dengan tidak berlebihan menerima dan menggunakannya demi kenyamanannya.
Seorang bhikkhu mulia, setelah melindungi dirinya dari kondisi yang jahat dengan melaksanakan dua kelompok peraturan sehubungan dengan menerima dan memanfaatkan empat kebutuhan, harus memasuki kota-kota dan desa-desa dengan penampilan fisik yang sesuai norma-norma yang berlaku, dan menghindari kata-kata kasar bahkan saat berhadapan dengan orang-orang yang mencelanya (9).

Seorang bhikkhu harus menjaga agar tatapan matanya selalu ke bawah, tidak memandang sekeliling, harus berusaha mencapai Jhàna yang belum dicapai, harus berusaha menguasai 5 jenis keahlian melalui Jhàna yang telah dicapai; tidur dengan penuh perhatian hanya 4 jam pada jaga pertengahan malam hari, (dan melewatkan waktu lainnya dengan berjalan, duduk dalam melaksanakan Sila yang wajib dipegang teguh oleh seorang bhikkhu); melalui aktivitas ini, Ketenangseimbangan dikembangkan melalui Jhàna Ke empat, pikiran menjadi tenang, pemikiran-pemikiran penuh nafsu (kàma vitakka), pencerapan-pencerapan penuh nafsu (kàma sannà), dan gerakan-gerakan tangan dan kaki saat merasa gelisah dapat dikendalikan (10).

Instruksi apa pun yang diberikan oleh si guru penahbis, “Ini tidak baik,” harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh serta dengan perasaan gembira dan berterima kasih. Sikap membenci dan tidak bersahabat terhadap teman-teman sendiri harus dihindari; harus dilenyapkan bagaikan melenyapkan duri. Hanya kata-kata yang benar yang perlu diucapkan, jangan membicarakan hal-hal di luar ajaran (sila, samàdhi, pannà) atau hal-hal yang tidak tepat waktunya. (Seseorang akan dicela dan dikritik atas noda-noda dalam sikap moralnya, karena pandangan salah, penghidupan yang salah. Maka dari itu, adalah perlu menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak bermoral bahkan yang melalui pikiran, apalagi melalui jasmani ataupun ucapan) (11).

Sàriputta… selain itu, di dunia ini, terdapat 5jenis debu, yaitu: kemelekatan terhadap bentuk yang terlihat (rupa ràga), kemelekatan terhadap suara (gandha ràga), kemelekatan terhadap bau, kemelekatan terhadap rasa (rasa ràga), kemelekatan terhadap sentuhan (photthaba ràga), semua kemelekatan itu harus dilenyapkan dengan melatih sila, samàdhi, dan pannà dengan penuh perhatian. Latihan yang konstan akan memungkinkan bhikkhu tersebut mengatasi lima debu itu (12).
(Lima jenis debu harus dilenyapkan dengan melaksanakan tiga aturan latihan; hanya mereka yang menjalani aturan-aturan ini yang dapat mengatasi lima jenis debu tersebut, orang lain tidak akan dapat).

Begitu lima jenis debu itu telah dilenyapkan, bhikkhu itu tidak lagi bergembira di dalam 5 objek kenikmatan indria. Bhikkhu itu dengan penuh perhatian, terbebas dari cengkeraman rintangan-rintangan, dengan teguh melakukan perenungan pada waktu yang tepat, terhadap kondisi-kondisi yang tidak kekal, tidak memuaskan dan tanpa-diri (tanpa-diri). Batinnya akan menjadi tenang, dan akan menembus kegelapan kotoran batin (13).

Demikianlah Tathàgata menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Sàriputta dengan tujuan untuk membuka jalan, setahap demi setahap, yang akhirnya mengarah pada tingkat Buah Arahatta. Lima ratus siswa Sàriputta mencapai kesucian Arahatta pada akhir khotbah itu, dan 30 crore dewa dan manusia mencapai Pembebasan melalui penembusan Empat Kebenaran Mulia.

8
Personality / Stress relief: Learn how to say no
« on: 22 October 2009, 06:03:48 PM »
Sure it's easier to say yes, but at what price to your peace of mind? Here's why saying no may be a healthier option for stress relief.

Be honest with yourself. Is your plate piled too high with deadlines and obligations that you're trying to squeeze in between meetings? Are you trying to cram too many activities into too little time? If so, stress relief can be as straightforward as just saying no.


Why say no?

There are countless worthy requests out there just waiting to eat up your free time and increase your stress. It's easy to create stressful situations in your life if you don't turn down requests for your time and talents. 

If you don't, who will make costumes for the school play or coach your children's Little League team? The answer may not be simple, but you should still consider these reasons for making sure it's not you.

•   Saying no can be good for you. Saying no is not a selfish act. In fact, it may be the most beneficial thing that you can do for your family and your other commitments. When you say no, you'll be able to spend quality time on the things you've already said yes to.
•   Saying no can allow you to try new things. Just because you've always helped plan the company softball tournament doesn't mean that you have to keep doing it forever. Saying no will free up time to pursue other hobbies or interests.
•   Yes isn't always the best answer. If you're overcommitted and under a lot of stress, you've got a much better chance of becoming sick, tired or just plain crabby, which won't benefit you or anyone else.
•   It's important to recognize other people. Let those around you come through. Although others may not do things exactly the same way you would, you can learn an important lesson by allowing others to help while gaining yourself valuable free time.


When to say no

Sometimes it's tough to determine which activities deserve your time and attention. Use these strategies to evaluate obligations — and opportunities — that come your way.

•   Find yourself. Saying no helps you prioritize the things that are important to you. You'll gain time that you can commit to the things that you really want to do, such as leaving work at a reasonable hour to make time for a mind-clearing run at the end of the day. Examine your current obligations and overall priorities before making any new commitments. Ask yourself if the new commitment is important to you. If it's something that you feel strongly about, by all means do it.
•   Weigh the yes-to-stress ratio. Is the new activity that you're considering a short- or long-term commitment? Taking an afternoon to bake a batch of cookies for the school bake sale will take far less of your precious time than heading up the school fundraising committee for an entire year. If an activity is going to end up being another source of stress in your life — especially for the long term — take a pass.
•   Let go of guilt. If friends want to get together for an impromptu evening out on the town when you've already scheduled a quiet evening at home with your partner, it's okay to decline their offer. Do what you've set out to do and don't veer off that path because of feelings of guilt or obligation. It will only lead to additional stress in your life.
•   Keep your current commitments in check. If you have relatives coming over for dinner, don't go overboard. Order pizza or ask them to bring a dish to share.
•   Sleep on it. Are you tempted by a friend's invitation to volunteer at your old alma mater or join a weekly golf league? Take a day to think over the request and respond after you've been able to assess your current commitments as well as the new opportunity.


How to say no

No. Nope. Nah. See how simple it is to say one little word, allowing you to take a pass on nonpriorities? Of course, there are always instances when it's just not that easy. Here are some things to keep in mind when you need to say no:

•   Practice full disclosure. Don't fabricate reasons to get out of an obligation. The truth is always the best way to turn down a friend, family member or co-worker.
•   Let them down gently. Many good causes land at your door, and it can be tough to turn them down. Complimenting the person or group's effort while saying that you're unable to commit at this time helps to soften the blow and keep you in good graces.

Saying no won't be easy if you're used to saying yes all the time. But learning to say no is an important part of simplifying your way to a better, less stressful life.

9
Theravada / SA?KH?RA (PENGKONDISI)
« on: 20 April 2009, 06:10:01 PM »
MATA RANTAI KE 2: SAṄKHĀRA/PENGKONDISI

Penyebab dari Viññāṇa adalah Saṅkhāra, seperti yang dijelaskan sbb:
“Terdapat 3 jenis Saṅkhāra yakni:
kaya- saṅkhāra,
vacī- saṅkhāra,
citta- saṅkhāra.”


Sutta-Sutta dalam Paṭiccasamuppāda tidak menjelaskan saṅkhāra lebih jauh lagi. Karenanya, mata rantai ke 2, saṅkhāra, adalah istilah yang kontroversial lainnya. Saṅkhāra telah diterjemahkan secara luas, yakni sebagai pembentukan, proses, aktivitas, terkondisi, tersusun, dll.

Menurut interpretasi tradisional Paṭiccasamuppāda dari Abhidhamma dan Kitab Komentar,
saṅkhāra adalah proses bekerjanya kamma (niat/kemauan). Sehubungan dengan ini, mereka sering menerjemahkan saṅkhāra sebagai aktivitas atau pembentukan. Tetapi, kita lebih menyenangi untuk menerjemahkannya sebagai pengkondisi (faktor yang mengkondisikan/menentukan).

Yang Mulia Ñāṇamoli adalah bhikkhu kebangsaan Inggris yang menerjemahkan Visuddhimagga. Beliau telah wafat dan secara umum diakui sebagai seorang penerjemah yang handal. Dalam buku-buku terdahulunya, beliau menerjemahkan saṅkhāra sebagai pembentukan. Tetapi, dalam buku (kemungkinan) terakhir yang diterjemahkannya, Majjhima Nikāya, beliau menerjemahkan saṅkhāra sebagai faktor penentu (determinant).

Faktor penentu adalah terjemahan yang sangat bagus (sesuatu yang bertindak sebagai faktor penentu timbulnya sesuatu yang lainnya), dan yang pertama sekali digunakan. Terjemahan pengkondisi mengandung makna yang sama. Ia berarti sesuatu yang mengkondisikan timbulnya sesuatu yang lain. Ini adalah makna dari Saṅkhāra yang kita temui dalam Sutta-Sutta.

A. Penjelasan Saṅkhāra dalam Sutta-Sutta.

1.) Di Sutta 22.79 (Khandha Saṃyutta), Sang Buddha berkata,

“Dan mengapa, para bhikkhu, mereka disebut sebagai pengkondisi?
‘Mereka mengkondisikan yang terkondisi’;
itulah sebabnya, para bhikkhu, mereka disebut pengkondisi.”

Dalam Pali, berbunyi “sankhātaṃ abhisankharontī ti bhikkhave tasmā saṅkhāra ti vuccanti.”
Kata abhisankharontī adalah untuk mengkondisi.
Kata saṅkhata adalah terkondisi.
Jadi kita lebih menyenangi penjelasan saṅkhāra sebagai pengkondisi daripada faktor penentu karena saṅkhata selalu diterjemahkan sebagai terkondisi.
Demikianlah pengkondisi disebut karena mereka mengkondisikan yang terkondisi.

Sang Buddha melanjuti :

“Dan apa yang terkondisi yang mereka kondisikan?
Materi sebagai materi adalah sesuatu yang terkondisi yang mereka kondisikan (rūpam rūpattāya sankhātaṃ abhisankharontī).
Perasaan sebagai perasaan adalah sesuatu yang terkondisi yang mereka kondisikan.
Persepsi… Kemauan… Kesadaran…
Mereka mengkondisikan yang terkondisi;
itulah sebabnya, para bhikkhu, mereka disebut pengkondisi.”

Demikianlah, pengkondisi mengkondisikan 5 kelompok kehidupan (materi, perasaan, persepsi, kemauan, dan kesadaran). Pengkondisi mengkondisikan yang terkondisi. Pengkondisi juga mengkondisikan pengkondisi yang lainnya.

Ini diilustrasikan sbb:
Penyebab munculnya B adalah A. Jadi, A adalah pengkondisi bagi munculnya B, Dan B adalah yang terkondisi. Ketika keberadaan B muncul, Ia mengkondisikan C. Sekarang B menjadi pengkondisi. Dengan cara yang serupa, C, yang terkondisi, selanjutnya menjadi pengkondisi bagi timbulnya sesuatu yang lainnya. Demikianlah, pengkondisi (A) mengkondisikan yang terkondisi (B) dan dapat juga dikatakan mengkondisi pengkondisi (B). Itu adalah makna dasar dari kata saṅkhāra (pengkondisi). 

2) MN 43 (Mahavedalla Sutta) :

Di sana Arahat Sāriputta menjelaskan bahwa 5 indera dari mata, telinga, hidung, lidah dan tubuh jasmani terwujud dengan bergantungan pada kehidupan (āyu). Jadi, karena kita memiliki kehidupan, kita memiliki 5 indera ini (mata, telinga, hidung, lidah, tubuh jasmani). Sutta ini menjelaskan bahwa kehidupan terwujud bergantungan pada panas dan juga dikatakan bahwa panas terwujud bergantungan pada kehidupan. Jadi, kehidupan dan panas bergantungan satu sama lain, mengkondisikan satu sama lain.

Di bagian selanjutnya dari Sutta, dikatakan bahwa
“Āyu- saṅkhāra bukanlah suatu keadaan perasaan.
Jika āyu - saṅkhāra adalah suatu keadaan perasaan, lalu ketika seorang bhikkhu memasuki landasan berhentinya perasaan dan persepsi (yakni berhentinya kesadaran), dia tidak mungkin keluar daripadanya.”

Kitab Komentar menyebutkan āyu - saṅkhāra adalah āyu (kehidupan) itu sendiri. Ini tidak mungkin. Jika āyu - saṅkhāra adalah kehidupan itu sendiri, tentu tidak ada kebingungan mengenai perasaan. Kehidupan dan perasaan secara jelas cukup berbeda satu sama lain.

Tetapi, jika āyu - saṅkhāra adalah panas, maka terdapat kebingungan dengan perasaan. Ini karena kita biasanya berkata, “Saya merasa panas,” atau “Saya merasakan panasnya,” yakni kita merasakan panas sebagai bagian dari perasaan. Jadi, terdapat kebingungan antara panas dengan perasaan. Jadi, Sutta ini dengan jelas menunjukkan bahwa kata āyu - saṅkhāra berarti panas.

Berhubung kehidupan bergantungan pada panas, saṅkhāra sekali lagi digunakan secara jelas sebagai pengkondisi, yakni pengkondisi dari kehidupan (āyu - saṅkhāra) adalah panas.

Karena tidak mengenali bahwa saṅkhāra berarti pengkondisi maka Kitab Komentar telah membuat kesalahan sehubungan dengan āyu - saṅkhāra ini.

3) Kata saṅkhāra juga digunakan dalam 5 kelompok kehidupan (Pañcakhandha) sebagai niat/kemauan.

Ini ditemui dalam Sutta SN 22.56 dan 57 (Khandha Saṃyutta), yang mengatakan:

“Dan apa, para bhikkhu, saṅkhāra itu?
Saṅkhārā adalah 6 badan kemauan (cetanākaya) ini – kemauan sehubungan dengan bentukan, kemauan sehubungan dengan bunyi, kemauan sehubungan dengan bau-bauan, kemauan sehubungan dengan cita-rasa, kemauan sehubungan dengan sentuhan, kemauan sehubungan dengan objek-objek pikiran. Ini, para bhikkhu, yang disebut saṅkhāra.”

Jadi di sini, saṅkhāra merujuk kepada keseluruhan badan niat/kemauan.

Jadi, kita lihat dari ketiga Sutta di atas bahwa saṅkhārā secara umum berarti pengkondisi
kecuali ketika digunakan dalam konteks 5 kelompok kehidupan yang berarti kemauan.

Sesuai dengan terjemahan tradisional dari Kitab Komentar, dll, saṅkhāra umumnya berarti aktivitas/pembentukan atau yang terkondisi.
Jadi, dalam kalimat “Sabbe saṅkhāra anicca”, mereka berkata bahwa saṅkhāra berarti yang terkondisi. Ini tidak sesuai karena seperti yang telah kita tunjukkan sebelumnya,

saṅkhata berarti yang terkondisi,
sebaliknya saṅkhāra berarti pengkondisi menurut Sutta
.

Jika kalimatnya dibaca “Segala pengkondisi adalah tidak kekal”, artinya jika segala pengkondisi (yang mengkondisikan sesuatu yang terkondisi) tidak kekal, seberapa jauh lagi yang dapat dikatakan tentang ketidak-kekalannya sesuatu yang terkondisi? Ini adalah ajaran Sang Buddha yang dapat ditemui di Sutta MN 146.

10
Meditasi / TUNTUNAN MEDITASI CINTA KASIH (METTA BHAVANA)-Ajahn Chah
« on: 11 March 2009, 01:29:41 PM »
Meditasi ini dapat dilakukan bersama-sama dalam suatu kelompok dengan salah seorang di antaranya membacakan instruksi dengan perlahan dan suara yang halus. Tanda titik titik pada akhir paragraf menunjukkan suatu masa hening sebelum masuk ke instruksi berikutnya. Disarankan meditasi ini dilakukan selama kurang lebih satu setengah jam.

Meditasi ini adalah meditasi cinta-kasih. Meditasi dilakukan dengan menggunakan teknik visualisasi yang sederhana dengan menggunakan pikiran kita yang biasa kita gunakan untuk berpikir. Sebagai contoh, jika saya menyarankan untuk membayangkan sebuah bunga, kita akan dapat melakukannya dengan mudah. Tidak peduli apakah bunga itu adalah bunga mawar atau bunga teratai, atau apapun warnanya itu, atau bahkan bagaimanapun jelasnya objek itu tergambar di dalam batin anda –- sesuatu yang berproses dengan lancar itu sudah cukup.

Sekarang duduklah dengan tegak, perhatikan jika ada ketegangan pada wajah anda. Kendorkan ketegangan di sekitar mata, sekitar rahang dan mulut. Arahkan perhatian anda pada daerah sekitar hati/dada –- suatu daerah di tengah-tengah dada, di sekitar tulang dada dan sekitar tulang rusuk. Tarik napas dan rasakan napas. Rasakan seolah-olah anda bisa menarik napas dan mengeluarkan napas dari daerah di tengah-tengah dada anda itu. Pada saat anda menarik napas, katakan kepada diri anda: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK –-mengharapkan diri sendiri sehat sejahtera, biarkan muncul dengan alami suatu perasaan simpati yang halus terhadap diri anda. Biarkan masa lalu terjadi, lepaskan ia; dan pada saat ini, pusatkan saja perhatian anda pada napas, pada hati/dada, serta pada pikiran simpati yang muncul, dengan alami dan seimbang. Tarik napas dan katakan pada diri anda sendiri: SEMOGA ORANG LAIN JUGA DALAM KONDISI YANG BAIK. Secara alami kembangkan irama ini –- menarik napas: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK, mengeluarkan napas: SEMOGA ORANG LAIN DALAM KONDISI YANG BAIK. … Jika pikiran berkelana, maka dengan halus, wajar dan penuh kesabaran, tarik kembali perhatian anda. Ada suatu pergerakan yang lembut, kembali pada daerah sekitar dada, pada napas, pada perasaan simpati -– tarik napas: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK, keluarkan napas: SEMOGA ORANG LAIN DALAM KONDISI YANG BAIK. ……

Apa yang kita lakukan adalah mencoba menyelaraskan diri kita dengan energi cinta-kasih dan kasih-sayang di alam semesta. Membuka diri dan menyerap energi tersebut, membiarkannya masuk ke dalam diri kita, menyegarkan diri kita, melalui napas dan kekuatan pikiran sebagai media aliran energi tersebut. Tarik napas: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK. Kemudian salurkan energi itu kepada setiap orang: SEMOGA ORANG LAIN DALAM KONDISI YANG BAIK. … Pertahankan ketenangan dan kehalusan napas anda, biarkan energi napas menyegarkan diri kita; tarik napas ke daerah sekitar dada, keluarkan napas dari daerah sekitar dada. ……

Membuka diri terhadap energi cinta kasih dari alam semesta. Tarik napas, biarkan diri anda menjadi lebih peka dan lebih banyak menyerap energi tersebut. Keluarkan napas, hati anda menjadi lebih terbuka dan lebih luas, pancarkan keluar: SEMOGA ORANG LAIN SELALU DALAM KONDISI YANG BAIK. … Dan pada saat kita telah siap… tarik napas yang dalam dan halus ke daerah sekitar dada, biarkan perasaan cinta kasih dan energi napas memenuhi diri kita. Tahan sebentar dengan alami, dengan nyaman. Biarkan perasaan cinta kasih masuk semakin dalam dan menguatkan perasaan nyaman tersebut. Biarkan ia memenuhi seluruh tubuh kita, meresap ke dalam tubuh. Keluarkan napas, dengan perlahan dan halus, dari daerah sekitar dada: SEMOGA ORANG LAIN DALAM KONDISI YANG BAIK. Lakukan itu beberapa kali –- napas masuk yang dalam, tahan sebentar dan keluarkan. …

Sekarang, kita mulai dengan visualisasi dan bekerja lebih banyak pada napas-keluar. Terus menjaga napas masuk anda seperti sebelumnya, napas masuk ke dalam daerah sekitar dada dengan pikiran: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK. Untuk napas keluar, mula-mula bayangkan dalam pikiran anda sosok ayah dan ibu kita – tidak peduli di mana pun mereka berada, dekat atau jauh, masih hidup atau pun sudah meninggal. Bayangkan kedua-duanya sekaligus atau satu per satu -- tergantung mana yang paling mudah dilakukan. Bayangkan mereka berada beberapa meter di depan kita, dan pada saat kita mengeluarkan napas, arahkan pikiran-pikiran simpati dan penerimaan kita terhadap mereka. Jadi, tarik napas dengan pikiran: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK...dan pada saat mengeluarkan napas, dengan membayangkan sosok ayah dan ibu kita: SEMOGA MEREKA DALAM KONDISI YANG BAIK. … …

Berikutnya: bawa ke dalam pikiran kita, guru-guru spiritual kita, yakni mereka yang telah menolong kita, membimbing kita, mendorong kita dan memberikan petunjuk kepada kita dalam hidup kita. Bersama napas-keluar, dengan sikap perasaan berterima kasih, pikirkan: SEMOGA MEREKA DALAM KONDISI YANG BAIK. … … Bawa ke dalam pikiran anda sekarang, keluarga kita; suami/istri kita, anak-anak, kakak dan adik kita, bisa sekaligus dalam satu kelompok atau satu per satu. Bersama napas-keluar, dengan perasaan kasih sayang, pikirkan: SEMOGA MEREKA DALAM KONDISI YANG BAIK. … …

Sekarang bawa ke dalam pikiran anda, teman terdekat kita atau teman-teman yang lain, yang kita rasakan akan mendapatkan manfaat dari pikiran-pikiran simpati kita. Bersama napas-keluar, bawa mereka ke dalam pikiran dan berharap semoga mereka dalam keadaan yang baik; suatu rengkuhan yang lembut, suatu sikap penuh kasih sayang. ......

Tarik napas ke daerah sekitar dada: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK. Keluarkan napas dari daerah sekitar dada: SEMOGA MEREKA DALAM KONDISI YANG BAIK. Bawa ke dalam pikiran anda sekarang, mereka yang berlatih bersama-sama kita, mereka berada di sekitar kita; arahkan pikiran kita keluar, melingkupi mereka semua: SEMOGA MEREKA SEMUA DALAM KONDISI YANG BAIK DAN DAMAI. … …

Sekarang bawa ke dalam pikiran, bentuk Bumi kita seperti kita melihatnya dari luar angkasa. Arahkan pada objek yang penuh warna-warni tersebut, pikiran-pikiran kita: SEMOGA SEMUA MAKHLUK DALAM KONDISI YANG BAIK. Keluarkan napas: SEMOGA SEMUA MAKHLUK DALAM KONDISI YANG BAIK. ……

Dan sekarang bawa ke dalam pikiran kita, suatu bentuk dari kekosongan yang luas dan tak terbatas. Arahkan pikiran kita ke ruang yang tak terbatas itu: SEMOGA SEMUA MAKHLUK DALAM KONDISI YANG BAIK. Biarkan pikiran anda terbuka luas; biarkan hati anda terbuka seluas-luasnya. Tiada lagi batasan antara tubuh anda dengan alam semesta –- tiada batasan – luas – menembus ruang dan waktu. …

Sekarang dengan hati-hati, dengan sedikit lebih memfokus, bawa kembali perhatian kita ke arah daerah di sekitar dada, suatu titik di tengah-tengah dada kita. Tarik napas dengan halus dan dalam serta munculkan pikiran: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK. Tahan sebentar... biarkan pikiran, sebagai perasaan yang simpati tersebut, menyebar ke seluruh tubuh, memberikan energi dan menyegarkan kita. Kemudian dengan perlahan dan halus, keluarkan napas melalui daerah sekitar dada. Lakukan hal yang sama satu atau dua kali – tarik napas yang dalam, tahan sebentar dan keluarkan. ……

Sekarang bawa ke dalam pikiran, seseorang yang pernah anda sakiti, baik secara disengaja ataupun tidak, yang masih hidup maupun yang sudah meninggal... dan dengan menyebut nama orang itu, katakan: MAAFKANLAH SAYA... Ingat kembali mereka yang pernah anda sakiti... sebut nama mereka dan katakan: MAAFKANLAH SAYA.

Berikan perhatian yang dalam pada daerah sekitar dada. Biarkan ia tetap terbuka... dan sekarang bawa ke dalam pikiran anda, seseorang yang pernah menyakiti anda. Sebut nama orang itu dan katakan: SAYA MEMAAFKAN KAMU... Bawa ke dalam pikiran seseorang yang menyakiti anda, sebut nama orang itu dan katakan: SAYA MEMAAFKAN KAMU.

Sekarang dengan menyebut nama kita sendiri, katakan: SAYA MEMAAFKAN KAMU... Dengan menyebut nama kita sendiri, katakan: SAYA MEMAAFKAN KAMU... dan... KAMU SAYA MAAFKAN... KAMU SAYA MAAFKAN.

Menyatulah dengan perasaan-perasaan kasih sayang itu. Bawa perasaan-perasaan itu ke dalam hati anda; rangkul mereka dengan lembut... Sekarang dengan hati-hati, kembalilah ke napas –- energi napas masuk ke dalam daerah sekitar dada: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK. Resapi dan penuhi diri anda dengan perasaan tersebut. Kemudian keluarkan napas melalui daerah sekitar dada: SEMOGA ORANG LAIN JUGA DALAM KONDISI YANG BAIK.

Begitu sederhana –- menarik napas, menyatu dengan energi. Mengeluarkan napas, mendoakan agar semua orang selalu dalam kondisi yang baik. Mengeluarkan napas untuk semua orang. ...

Sumber: SEEING THE WAY, Buddhist Reflections on the Spiritual Life, An anthology of teachings by English-speaking disciples of Ajahn Chah.
Alih bahasa: Junarto Mintaredja.

11
Meditasi / Perhatian Penuh Terhadap Dhamma
« on: 22 January 2009, 09:07:04 PM »
BAB IV. EMPAT LANDASAN PERHATIAN PENUH

....

Landasan perhatian penuh yang ke empat adalah dhammānupassanā satipatthāna, yang berarti perenungan atau perhatian penuh terhadap Dhamma. Di sini Dhamma meliputi banyak kategori dari proses batin dan jasmani. Kategori pertama adalah lima nivārana (lima rintangan batin).

1.   Kāmacchanda: keinginan indra – keinginan terhadap obyek-obyek bentuk, suara, bau, rasa, dan sentuhan.
2.   Vyāpāda: kemarahan atau niat jahat.
3.   Thīna-middha: kemalasan dan keengganan – mengantuk, ketumpulan mental, perasaan berat/kelambanan.
4.   Uddhacca-kukkucca: penyesalan, kekhawatiran atau ketidakbahagiaan terhadap apa yang pernah dilakukan.
      Aspek pertama: ketidakbahagiaan terhadap kegagalan dalam melakukan sesuatu yang harus    dilakukan di masa lampau.
      Aspek ke dua: ketidakbahagiaan terhadap perbuatan yang telah dilakukan yang seharusnya    tidak boleh dilakukan.
      Contoh ini adalah perbuatan yang mengakibatkan karma buruk.
5.   Vicikicchā: keragu-raguan.

Selama pikiran tercemar, seorang meditator tidak akan dapat menyadari proses batin dan jasmani. Hanya jika pikiran telah terkonsentrasi dengan baik pada obyek meditasi (proses batin atau jasmani), ia dapat terbebas dari kekotoran batin atau rintangan batin. Pikiran menjadi jernih dan dapat menembus/mengerti sifat alamiah dari proses batin dan jasmani sebagaimana apa adanya. Jadi apapun yang muncul dari kelima rintangan batin tersebut, ia harus selalu waspada. Contoh: jika seorang meditator mendengar lagu yang merdu dari luar dan tidak mencatatnya, mungkin akan muncul keinginan untuk mendengarkan lagu tersebut. Ia mungkin ingin mendengarkan kembali lagu tersebut dan menikmatinya. Keinginan untuk mendengarkan lagu adalah keinginan indra – kāmacchanda. Jadi, saat ia mendengar lagu yang merdu, ia harus mencatatnya sebagai “mendengar, mendengar.” Ia mungkin masih terpengaruh oleh lagu tersebut jika perhatian penuhnya tidak cukup kuat.

Jika ia mengetahui bahwa keinginan indra untuk mendengar lagu itu dapat membawanya pada keadaan yang tidak diinginkan, atau kecelakaan, atau dapat menjadi penghalang kemajuan meditasinya, ia akan mencatat keinginannya sebagai ‘keinginan, keinginan’, hingga keinginannya hancur oleh perhatian penuh yang kuat. Saat perhatian penuh menjadi kuat dan terus menerus, keinginan itu akan hilang. Keinginan hilang karena telah diamati dengan penuh semangat dan penuh perhatian. Jika meditator mengamati dan berperhatian penuh pada keinginan indranya sebagaimana apa adanya, mencatatnya dalam batin ‘keinginan, keinginan’, maka ia telah mengikuti apa yang diajarkan oleh Buddha dalam Mahā Satipatthāna Sutta. Berperhatian penuh dengan cara seperti ini disebut dhammānupassanā satipatthāna atau perenungan terhadap obyek-obyek pikiran, contohnya: perenungan terhadap rintangan batin (nivārana).

Thīna-middha, kemalasan dan keengganan, sebenarnya berarti mengantuk. Dua hal ini adalah ‘teman lama’ para meditator, saat meditator mengantuk, ia akan menikmatinya. Jika muncul sensasi menyenangkan dalam dirinya, ia akan mampu mengamatinya. Tetapi bila rasa ngantuk yang muncul, ia tak bisa menyadarinya karena ia menyukainya. Itu sebabnya mengapa thīna-middha atau perasaan ngantuk disebut sebagai ‘teman lama’ para meditator. Hal ini membuat ia berada dalam lingkaran kelahiran lebih lama. Jika ia tak mampu mengamati rasa ngantuknya, ia tak akan dapat mengatasinya. Kecuali jika ia telah merealisasi sifat alamiah dari kemalasan dan keengganan (mengantuk), yogi akan melekat serta menikmatinya. Jika kita mengantuk, kita harus berusaha dan berjuang lebih keras dalam berlatih. Artinya kita harus mengamati dengan penuh perhatian, semangat, dan tepat, sehingga kita dapat membuat pikirannya aktif dan siaga. Ketika pikiran menjadi aktif dan siaga, pikiran akan terbebas dari rasa ngantuk. Kemudian meditator dapat mengatasi rasa ngantuk.

Uddhacca-kukkucca adalah rintangan batin ke empat. Uddhacca adalah kegelisahan atau gangguan, sedangkan kukkucca adalah penyesalan. Dalam hal ini, uddhacca berarti gangguan pikiran, kegelisahan, atau berkelananya pikiran. Ketika pikiran berkelana atau berpikir sesuatu, bukannya mencatat obyek meditasi, inilah yang disebut sebagai uddhacca. Jika pikiran berkelana, meditator harus waspada pada pikirannya sebagaimana apa adanya. Pada awal latihan, seorang meditator mungkin tidak dapat mengamati pikiran yang berkelana. Ia bahkan tidak mengetahui bahwa pikirannya berkelana. Ia berpikir bahwa pikirannya terfokus pada obyek meditasi, dalam hal ini gerakan dinding perut atau pernafasan. Ketika yogi mengetahui bahwa pikirannya berkelana, ia harus mencatatnya ‘berkelana, berkelana’ atau ‘berpikir, berpikir.’ Ini artinya uddhacca-kukkucca telah diamati.

Rintangan batin ke lima adalah vicikicchā atau keragu-raguan. Meditator mungkin mempunyai keragu-raguan terhadap Buddha, Dhamma, Sangha, atau teknik meditasi. Keraguan apapun yang muncul, harus diamati dengan penuh perhatian. Meditator harus berperhatian penuh pada apapun sebagaimana apa adanya. Ini dikenal sebagai dhammānupassanā satipatthāna.

....

Sumber: Meditasi Vipassanā (Ceramah Mengenai Meditasi Pandangan Terang) - Sayadaw U Janakābhivamsa

12
Buddhisme untuk Pemula / PENTINGNYA MEMPELAJARI EMPAT NIKAYA
« on: 19 January 2009, 05:46:46 PM »
Di Sutta SN 55.6.3. Sang Buddha menasehati umat awam untuk mempelajari
Sutta. Di SN 20.7, Sang Buddha memperingatkan bahwa di masa depan, orang-orang
tidak akan mempelajari Sutta tetapi lebih menyenangi untuk mempelajari karya dari
pengikutnya yaitu bhikkhu lain (yakni buku-buku belakangan) dan ini akan menuntun
pada lenyapnya Sutta.

Sang Buddha menekankan pentingnya banyak belajar (bahusacca)
dalam banyak Sutta, misalnya di MN 43 dikatakan bahwa Pandangan Benar didukung
oleh banyak belajar menuntun pada pencerahan. Tidak mempelajari Sutta adalah suatu
ekstrim, dan mempelajari terlalu banyak buku adalah ekstrim yang lainnya – jalan tengah
adalah mempelajari empat Nikaya yang tertua. Pentingnya mempelajari Nikaya dapat
dipahami dari kenyataan bahwa Sang Buddha berbicara tentang 5000 Sutta dan siswa-siswa
Beliau disebut Savaka (Pendengar). Satu Sutta menjelaskan kebenaran dari satu
sudut jadi dengan banyaknya Sutta yang kita pelajari, maka semakin baik pemahaman
kita karena kita melihat Dhamma dijelaskan dari sudut yang berbeda dan kita dapat
menghubungkan yang satu dengan yang lainnya (yakni membandingkan mereka).

Pada kenyataannya, kita lihat dari Nikaya dan Vinaya bahwa orang-orang
mencapai Sotapanna hanya dengan mendengarkan Sutta daripada bermeditasi.

1. Sutta AN 9.20 mendefinisikan Pemasukan arus (Tingkat Kesucian Jalan Pertama)
sebagai pencapaian Pandangan Benar.

2. Di SN 43 dan AN 12.11.9, disebutkan bahwa Pandangan Benar dicapai hanya dengan
dua kondisi: mendengarkan penuturan orang lain dan memiliki pertimbangan yang
seksama. (Yoniso manasikara). Tingkat dari pertimbangan yang seksama yang diperlukan
untuk pencapaian Sotapanna tentu saja berbeda dari pencapaian Arahat.
23

3. Di SN 55.3.4, Sang Buddha berkata bahwa jika pohon-pohon bisa memahami
perkataan Beliau, (bukan bermeditasi!), bahkan pohon-pohon tersebut bisa menjadi
Sotapanna.

4. Di SN 46.4.8, Sang Buddha berkata bahwa ketika seseorang mendengarkan Dhamma
dengan penuh perhatian, 5 rintangan tidak muncul di diri seseorang dan 7 Bojjhanga
terpenuhi. Ini adalah kondisi untuk pencapaian Ariya.

5. Di SN 55.1.2, karakteristik untuk seorang Sotapanna adalah: memiliki keyakinan pada
Buddha, Dhamma, Sangha, dan sila yang sempurna – tidak disebutkan tentang meditasi,
dsb.

6. Di AN 3.85; 9.12, Sotapanna dan Sakadagami dikatakan memiliki Sila yang sempurna;
Anagami memiliki Sila dan Samadhi yang sempurna; Arahat memiliki Sila, Samadhi,
Panna yang sempurna. Ini berarti bahwa Sotapanna dan Sakadagami tidak membutuhkan
Jhana sementara Anagami dan Arahat harus memiliki empat Jhana.

7. Di MN 22, Sotapanna dikatakan telah melenyapkan 3 belenggu dan Sakadagami telah
melenyapkan 3 belenggu dan melemahkan nafsu sensual dan kedengkian. Jadi
Sakadagami membutuhkan tingkat konsentrasi tertentu sebelum Jhana (yakni Upacara
Samadhi) sementara Sotapanna tidak perlu, dan hanya perlu merenungi dan refleksi pada
Dhamma yang telah dia pelajari.

8. Ada beberapa contoh dalam Nikaya dan Vinaya tentang umat awam yang datang
mendengarkan Sutta dari Sang Buddha (persis serupa dengan yang kita miliki dalam
Nikaya) untuk pertama kalinya dan mencapai Sotapanna, misalnya DN 3, 5; MN 56, 91;
AN 8.12, 8.21.

Jadi ketika Dhamma yang asli masih dapat ditemui di dunia sekarang ini, akan
dapat memberikan manfaat yang tak terhingga bagi kita untuk mempelajarinya.

13
Sidang pembaca yang terhormat,

Saya akan menyampaikan ceramah Dhamma dalam bentuk tulisan. Ceramah kali ini berhubungan erat sekali dengan kehidupan kita sehari-hari. Sidang pembaca tentunya sudah mengetahui bahwa kita selalu berusaha menjaga tubuh kita dengan sebaik-baiknya. Setiap pagi dan sore hari kita mandi untuk menjaga agar badan jasmani yang berkaki dua ini tetap bersih. Kala kita mandi atau membersihkan badan, “Apakah yang sesungguhnya kita bersihkan?”

Walaupun hanya sebagian kulit luar yang kita bersihkan, kita merasa yakin bahwa kita sudah sungguh-sungguh bersih. Demikian juga, setiap hari kita merasa yakin bahwa kita telah makan dengan memilih makanan yang paling baik bagi tubuh kita; bukan sebaliknya, dengan memilih makanan yang bisa mendatangkan bahaya bagi kelangsungan badan jasmani kita. Di samping itu, untuk menjaga agar badan jasmani ini tetap sehat, kita kadangkala berolah-raga, apakah naik sepeda, main pingpong, tenis, berenang dan sebagainya. Singkat kata, kita melakukan semuanya demi menjaga tubuh jasmani ini.

Setiap malam, kita mempunyai sebuah ranjang yang akan membuat kita cukup nyenyak bila kita merebahkan diri untuk tidur beristirahat. Seandainya kita tidak beristirahat dengan baik, maka pada keesokan harinya, pastilah tubuh ini tidak akan segar dan tidak bisa secara sempurna melakukan kegiatan sehari-hari.

Sidang pembaca yang sedang menghadapi naskah ini pasti memiliki tempat tinggal, sebuah rumah yang berguna untuk menjaga tubuh kita dari sengatan panas matahari, terpaan angin, siraman hujan, dan gangguan binatang-binatang yang akan membuat kita menderita sakit.

Demikianlah keadaan badan jasmani yang kita rawat dan kita jaga setiap hari (saat) dengan baik. Kemudian saudara renungkan sejenak, bagaimana kenyataannya? Tidak seorang pun dari antara kita yang merasa bahwa ”Tubuh kita hanya tubuh saja” titik, selain ini tidak ada apa-apa lagi.

Di samping badan jasmani yang kita jaga dengan baik, ternyata masih ada faktor lain yang lebih penting di dalam diri kita, yaitu, “PIKIRAN.” Sudah tidak dapat diragukan lagi bahwa kedua faktor ini, yaitu badan jasmani dan pikiran (Rupa dan Nama) bekerja secara saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, seandainya saya tidak mengambil keputusan untuk menulis naskah Dhamma ini, maka naskah Dhamma ini tidak akan terwujud dan sudah barang tentu sidang pembaca tidak akan pernah membaca tulisan ini. Jadi, sesungguhnya ada satu kekuatan yang menentukan badan jasmani kita, yang mengatur kita, yaitu, “PIKIRAN KITA SENDIRI.”

Kalau kita menjaga tubuh kita maka kita merasa bahwa kita telah memperhatikan diri kita dengan baik; namun, apakah kita juga yakin bahwa kita sudah menjaga majikan dari diri kita itu, yakni, dengan menjaga pikiran dengan baik pula? Sesungguhnya, pikiran harus kita jaga dengan baik pula, kita lindungi sebagaimana layaknya kita menjaga dan melindungi badan jasmani kita ini. Setiap hari kita memandikan atau membersihkan badan jasmani sebagai suatu kebiasaan. Namun, sabun dan air yang kita gunakan untuk sekedar merawat badan jasmani itu tidak berperan terlalu banyak atas pembersihan diri kita.

Sidang pembaca yang terhormat, sesungguhnya cara membersihkan diri yang paling baik adalah dengan menjaga atau memperhatikan secara sungguh-sungguh segala sesuatu yang kita pikirkan. Kita memperlakukan badan jasmani dengan memberinya makanan yang sehat dan berguna (bermanfaat), agar badan jasmani bisa tumbuh dan berkembang. Lalu, bentuk makanan yang bagaimanakah yang seharusnya kita berikan kepada pikiran kita ini?


Sidang pembaca, yang perlu saudara ketahui ialah, bahwa, badan jasmani bisa tumbuh secara otomatis kalau kita beri makanan yang baik dan bermanfaat hingga usia antara 20-21 tahun, yang merupakan batas maksimum perkembangan badan jasmani kita. Tetapi tidak demikian halnya dengan pikiran. Pikiran tidak bisa berkembang secara otomatis. Pikiran bisa berkembang hanya apabila kita rawat dengan sungguh-sungguh. Maka untuk mengembangkan pikiran (batin) dengan baik, kita harus, tidak hanya memberinya makanan, namun harus membersihkan dan mengistirahatkannya juga, sebagaimana yang kita lakukan terhadap badan jasmani.

Naaaa…h, saudara pembaca, yang perlu saudara ketahui adalah bahwa sepanjang hari kita selalu berpikir, berpikir dan berpikir. Bahkan pada saat tidur pun kadangkala kita bermimpi. Jadi kapan sesungguhnya pikiran itu mempunyai waktu untuk beristirahat? Sidang pembaca mungkin kemudian bertanya, bagaimana cara yang terbaik untuk mengistirahatkan pikiran itu. Satu-satunya cara terbaik untuk mengistirahatkan pikiran adalah dengan melakukan meditasi secara teratur. Dan persis ketika melakukan meditasi itulah pikiran (yang sedang diistirahatkan itu) bisa dibersihkan. Mengapa? Sebab salah satu sifat utama pikiran adalah bahwa ia hanya bisa melakukan satu aktivitas saja pada obyek, maka, ia tidak bisa melakukan aktivitas lainnya pada saat yang sama. [Kita tidak bisa memikirkan lebih dari satu hal pada saat yang sama.] Dengan demikian, dengan melakukan meditasi kita sudah mengistirahatkan pikiran dan membersihkannya.

Jadi, latihan pemusatan pikiran atau meditasi itu sesungguhnya merupakan suatu cara yang sungguh sangat luhur, suatu cara yang dapat dikatakan hampir sepadan dengan cara kita menjaga badan jasmani agar kita tetap sehat. Tingkah laku pikiran yang tidak terlatih, yang tidak pernah dikonsentrasikan, bagaikan tingkah laku seekor gajah yang liar. Gajah yang liar sering berlari kian kemari, menyerang pohon, dan merusak tanaman. [Dan masih banyak lagi tingkah lakunya yang tidak bermanfaat dan bahkan membahayakan.] Namun, (seperti juga pikiran), gajah yang liar bisa dijinakkan, bisa dilatih, bisa diajar, sampai gajah itu bisa menurut, bertingkah-laku sebagaimana yang kita inginkan.

[bersambung]

14
Meditasi / Menyeberangi arus dengan rakit tua
« on: 01 January 2009, 10:49:42 PM »
BAB 7

[...]

Bab terakhir ini khusus akan membahas aspek meditasi Buddhis. Karena
keberhasilan meditasi sangat tergantung pada fondasi yang kokoh sedangkan
fondasi meditasi yang kokoh sesungguhnya sangat sulit diraih, maka pembahasan
aspek meditasi Buddhis ini sengaja ditaruh di bab terakhir. Kita seharusnya
memahami dulu dengan benar dasar-dasar ajaran Buddha sebelum melatih meditasi
secara serius. Pemahaman ini dapat diraih melalui ketekunan dalam mempelajari
sutta-sutta penting di 4 Nikaya.


A. Penjamin keberhasilan meditasi

Fondasi yang kokoh itulah kunci keberhasilan meditasi. Seseorang yang
berkepribadian kejam tidak akan mampu meraih kemajuan yang berarti di dalam
meditasinya. Maka dari itu, Buddha menganjurkan beberapa hal yang perlu
dikembangkan yang akan menjamin keberhasilan meditasi [MN 107, MN 125]. Hal-hal
tersebut antara lain:

1) Berkelakuan baik sehingga diri kita tidak mengalami penyesalan dan kerisauan
akibat dari kelakuan buruk kita. Hal ini telah dijelaskan dengan cukup
mendetail di bab-bab sebelumnya.

2) Menjaga pintu indera dengan seksama. Ini berarti mata tidak melirik-lirik
objek yang membawa nafsu, telinga tidak dimanjain dengan musik, hidung tidak
dimanjain dengan bau yang harum-harum, mulut tidak dibiarkan ketagihan dengan
rasa yang enak-enak, badan tak sembarang disentuh dan menyentuh objek-objek
yang membawa nafsu, pikiran tak dibiarkan membayangkan hal-hal yang membawa
nafsu. Ini adalah pelatihan yang sungguh sulit, terutama untuk umat perumah
tangga. Menjaga pintu indera ini seharusnya dilatih secara bertahap diiringi
pemahaman yang baik terhadap Dhamma. Ini bukan berarti kita pantang menatap
lawan jenis sewaktu berbicara dengan mereka, pantang mendengar lagu yang diputar
oleh orang lain, pantang mencium bau makanan yang sedap dari tetangga kita,
pantang menerima makanan enak yang disajikan kepada kita, pantang bersalaman
dengan orang, dst. Apa yang dimaksud di sini adalah kita membatasi diri kita,
menjaga pintu indera kita supaya nafsu
tidak menguasai (menghinggapi) diri kita. Ingat, ajaran Buddha bertujuan untuk
melenyapkan nafsu dengan jalur tengah (tidak dengan jalur ekstrim).

3) Mengatur porsi makanan kita. Janganlah makan berlebihan. Cukup makan untuk
menghilangkan rasa lapar. Tentunya ini juga adalah latihan yang cukup sulit
yang seharusnya dilatih perlahan-lahan diiringi pemahaman Dhamma yang matang.

4) Tekun berusaha. Di siang dan sore hari sewaktu duduk dan berjalan (berjalan
bolak balik adalah latihan meditasi yang umum di zaman Buddha), hilangkanlah
pikiran-pikiran yang merugikan dan yang menghambat perkembangan batin. Di malam
hari, berbaringlah dengan postur singa (badan berbaring ke samping kanan, kaki
yang satu di atas kaki yang lain, dengan berpikir, ‘saya akan segera
bangun!’). Di pagi hari setelah bangun, sewaktu duduk dan berjalan,
hilangkanlah pikiran-pikiran yang merugikan dan yang menghambat perkembangan
batin.

5) Sadar penuh dengan apa yang sedang dilakukan. Sewaktu berjalan, duduk,
berdiri, berbicara, makan, minum, dst, berwaspadalah (tingkatkan kesadaran
penuh) dengan aktivitas yang sedang dilakukan.

Kelima latihan ini adalah fondasi utama dalam meditasi. Seseorang yang
benar-benar ingin melatih meditasi seharusnya melatih kelima hal di atas.


"this Dhamma is compared to a raft, for the purpose of crossing over, not for
holding onto. You should let go even of Dhammas, to say nothing of
non-Dhammas." (Majjhima Nikaya 22)
http://groups.yahoo.com/group/Taman_Budicipta/message/2875

15
Jurnal Meditasi / DNA's precious moment
« on: 24 December 2008, 11:55:32 PM »
24/12/08

Meditasi malam ini kuawali dengan baca paritta Dhajagga, Angulimala, Khanda, Mora dan Atanatiya. Ini pertama kalinya aku membaca paritta itu, dan baru tau kalau ternyata isinya demikian. Usai membaca paritta, lampu kumatikan, dan seperti biasa, duduk tegak dan merilekskan tubuh. Setelah itu, aku memulainya, menyadari tiap tarikan dan hembusan nafas di hidung. Kadang, saat ia masuk dan keluar, kurasakan ia selaras dengan perut yg ngembang dan ngempis. Perlahan-lahan nafas mulai halus dan nampak teratur. Dari dapur, terdengar banyak sekali suara-suara pembicaraan, ada ucapan ibu, meimei, didi, tiba-tiba ada bentakan yg cukup keras, aku mendengarkannya, kemudian nada bicaranya normal kembali. Setelah suaranya tidak ada lagi, aku kembali lagi pada nafas, yg ada hanya udara di hidung, lembut.. nyaman.. jadi seperti tidur. Samar-samar, masih ada terdengar suara, tapi sekarang aku malah.. nyaman.. ngantuk.. ingin tidur... Aku sadar kalau sudah ngantuk. Aku berusaha ingatkan diri, itu Perasaan.. Perasaan.. Aku mencoba mengingat bagaimana caranya mengatasi ngantuk, Oh iya, bilang Ngantuk, Ngantuk! Lama-lama, aku jadi bingung sendiri selanjutnya mau gimana lagi, ditambah betis kananku yg sedikit terjepit tiba2 sakit sekali, karna tadi kuubah posisinya. Sakit itu gak gitu kuhiraukan, aku tetap duduk merem meskipun perhatian sudah agak kacau, sekarang ngantuknya malah sudah hilang. Aku catat, Pikiran Pikiran.. Aku mencoba menatapnya, tapi rasanya susah, hanya sekejap saja aku mampu mengingat ia akan berlalu dan diganti pikiran yg baru, tapi aku hanyut lagi ke dalam pikiran yg lain dan kemudian baru teringat lagi kalau sudah terhanyut. Aku renungkan pikiranku sedari tadi asyik gonta ganti, yg lama sudah hilang, yg baru muncul lagi, tapi kemudian aku malah tambah gelisah lagi, yg kurenungkan itu jg pikiranku saja, pikiran lagi.. pikiran lagi. Karna sekarang ditambah tulang bokongku juga sakit, jadi, kali ini aku sudahi.
Sabbe satta bhavantu sukhitata.. Semoga semua makhluk berbahagia.. Aku membuka mata. Saat aku bangkit, tulang bokong dan betis kananku sakitnya bukan main. Hemm.. kayaknya cara dudukku malam ini kurang pas.

Pages: [1]