Buddhisme Awal, Sekte dan Tradisi > Chan atau Zen

No Escape for the Ego

(1/3) > >>

sobat-dharma:
No Escape for the Ego
 
Sebuah wawancara dengan Master Sheng-yen
Oleh Carter Phipps

WIE: Menurut Buddhisme Ch'an, apakah ego itu?

Master Sheng-yen: Dalam Buddhisme Ch'an gagasan mengenai ego berkisar di sekitar gagasan mengenai keterikatan atau kemelekatan. Sejatinya ego itu tidak ada. Ia dihasilkan sebagai akibat dari keterikatan pada tubuh dan kemelekatan pada gagasan-gagasan seseorang atau sudut pandang sendiri. Tetapi karena baik tubuh maupun batin adalah tidak kekal dan selalu berubah dari waktu ke waktu, kemelekatan kita kepadanya selalu berubah-ubah juga. Dan dikarenakan kemelekatan ini berubah-ubah, ego juga berubah. Jadi dari perspektif Ch'an, ego tidak ada sebagai entitas yang permanen, yang tidak berubah. Ego tidak ada secara mandiri terpisah dari kemelekatan yang berubah-ubah pada seseorang ke tubuhnya dan gagasannya.

sobat-dharma:
WIE: Apa maksud dari melampaui ego?

SY: Ada dua cara yang berbeda untuk mencapai transendensi dari ego. Salah satunya adalah pengalaman, yaitu melalui mengalami transendensi diri. Dan ini dapat dilakukan melalui praktik, latihan meditasi duduk dan menyelidiki koan [pertanyaan paradoks]. Dimungkinkan untuk mencapai pengalaman ini tanpa praktik, namun hal demikian sangat jarang; kebanyakan orang perlu melakukan praktik. Maksud dari praktik semacam ini pada dasarnya  adalah untuk mendorong ego ke sudut hingga tiada lagi tempat lain untuk pergi. Ego tidak dapat melarikan diri ke manapun.

Jadi ego dan metode yang Anda gunakan untuk melampaui ego saling bertentangan secara langsung satu sama lain. Seperti yang saya katakan, ego didasarkan pada kemelakatan –kemelekatan kita pada tubuh dan gagasan-gagasan. Oleh karena itu, metode melampaui ego adalah untuk mengatasi kemelekatan ini, meletakkan kemelekatan ini. Tatkala ego terpojok dan tidak bisa lari ke manapun lagi, satu-satunya yang dapat dilakukan adalah dengan meletakkannya. Dan tatkala seseorang meletakkan ego, maka itulah pencerahan.

sobat-dharma:
WIE: Bisakah Anda menjelaskan lebih lanjut bagaimana menyelidiki koan dapat membantu untuk "menyudutkan ego"?

SY: Dalam metode ini, Anda sebenarnya tidak sedang mencoba untuk memecahkan koan tersebut. Sebaliknya, metode tersebut meminta pada koan untuk memberikan jawabannya. Sebuah koan mungkin seperti, "Apakah wu [ketiadaan] itu?" Jadi Anda terus-menerus bertanya dan meminta koan untuk memberikan jawaban untuk pertanyaan itu. Tapi sebenarnya, tidak mungkin untuk menjawab. Tentu saja, dalam proses bertanya, pikiran Anda akan memberikan jawaban, tapi apa pun jawaban Anda dapatkan harus Anda tolak. Dan Anda semata-mata tinggal dengan metode ini --terus bertanya dan terus menolak apa pun jawaban yang muncul dalam pikiran Anda. Pada akhirnya Anda akan mengembangkan sensasi keraguan (doubt sensation). Anda tidak akan sanggup bertanya mengenai koan lagi. Bahkan, tidak ada artinya lagi untuk bertanya. Maka tidak ada yang harus dilakukan kecuali pada akhirnya meletakkan diri dan itulah ketika pencerahan muncul di hadapan Anda. Tetapi apabila Anda bertanya tentang koan dan Anda hanya menjadi lelah, apabila Anda tidak dapat menemukan jawaban dan sehingga Anda berhenti, ini bukan pencerahan. Hal demikian hanyalah kemalasan.

Cara kedua untuk melampaui ego adalah cara konseptual. Hal ini terjadi ketika muncul perubahan tiba-tiba dan menyeluruh dalam sudut pandang seseorang. Hal ini dapat terjadi, misalnya, ketika seseorang membaca sebuah sutra atau mendengarkan ceramah dharma. Dengan seketika, seseorang dapat tercerahkan. Tapi agar hal demikian terjadi, seseorang harus terlebih dahulu memiliki hasrat mengetahui jawaban atas pertanyaan, "Apakah ego itu, apakah diri itu?" Mereka harus sudah terlibat dengan pertanyaan ini dalam pikiran mereka sendiri. Dan kemudian, ketika mereka menemukan sebuah kalimat tertentu, mereka tiba-tiba dapat mengenali jawaban dan seketika mencapai pencerahan. Salah satu contoh yang sangat baik adalah Patriark Keenam, Hui Neng. Beliau mendengar satu kalimat dari Sutra Intan dan tercerahkan. Namun, bagi orang yang tidak pernah berpikir tentang permasalahan dan pertanyaan ini dalam kehidupan sehari-hari mereka, yang tidak peduli tentang apakah ego itu dan tidak memiliki keinginan untuk mengetahui apakah diri itu, ini tidak akan terjadi. Mendengarkan kuliah dharma atau membaca sutra saja tidak akan membantu mereka


sobat-dharma:
WIE: Apa peran guru dalam membebaskan murid dari egonya?

SY: Pertama-tama, hal yang paling penting adalah bahwa siswa itu harus benar-benar ingin tahu apa hakikat dari ego. Mereka perlu memiliki hasrat yang membara untuk tahu. Lalu, apa yang seorang guru dapat lakukan adalah memberikan siswa itu metode atau alat untuk menyelidiki, serta menunjukkan kepada mereka bagaimana cara menjalani praktik dengan metode ini. Banyak murid yang mungkin telah memiliki metode, namun tidak dapat menggunakannya dengan baik. Sehingga guru dapat menunjukkan pada murid bagaimana menggunakan metode mereka dengan baik, selain juga menunjukkan pemahaman konseptual dan sikap yang benar sesuai kebutuhan mereka dalam menjalani praktik mereka. Dan apabila siswa itu memiliki keinginan yang kuat untuk memahami hakikat diri sejati mereka, maka metode akan menjadi bermanfaat. Mereka akan dapat melihat bahwa diri ini yang didasarkan pada kemelekatan adalah ilusi. Tidak nyata. Dan ketika mereka menyadari hal ini, mereka juga akan melihat bahwa ego itu tidak ada.

sobat-dharma:
WIE: Dalam buku terbaru Anda ”Subtle Wisdom,” Anda menulis, "Kadang-kadang pikiran mengalami sesuatu yang dikiranya sebagai pencerahan, tetapi sebenarnya hanya ego dalam keadaan sangat bahagia." Bisakah Anda menjelaskan perbedaan antara kedua pengalaman ini  --antara pencerahan asli dan kondisi semata-mata karena ego, seperti yang Anda katakan, "dalam keadaan sangat bahagia"?

SY: Pengalaman akan kebahagiaan bisa juga menjadi bagian dari pencerahan; seseorang dapat merasa bahagia apakah mereka tercerahkan atau tidak. Akan tetapi, biasanya ketika seseorang dalam kegirangan ini, kebahagiaan ini, itu karena, pada saat itu, orang itu tidak merasa terbebani lagi oleh tubuhnya atau oleh pikiran dan emosi, maka orang itu merasa sangat tentram. Namun, hal ini bukanlah pembebasan. Seseorang mungkin merasa sangat ringan; hal ini tidak berarti apapun. Sebuah perasaan sangat damai, girang, bahagia tidak sama dengan pencerahan. Pencerahan adalah ketidakmelekatan pada sudut pandang apapun atau tidak memiliki kemelekatan apapun pada tubuh. Tidak ada beban sama sekali, dan itulah mengapa orang akan merasa bahagia. Sebagai contoh, Buddha Shakyamuni, setelah pencerahan-Nya, duduk di bawah pohon bodhi selama tujuh hari untuk menikmati kebahagiaan, sukacita dharma dari pembebasan itu. Tapi seseorang bisa merasakan kebahagiaan tidak peduli apakah ia tercerahkan atau tidak tercerahkan. Jadi kita harus mampu membedakan hal ini.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version