//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)  (Read 3684 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)
« Reply #15 on: 24 January 2021, 02:06:38 PM »
Kemudian perumah tangga Pikiran Sejati berkata:

Nigrodha, Sang Bhagava sedang [duduk] tepat di sini. Engkau sekarang dapat menghancurkannya dengan satu argumen, seperti engkau dapat [memecahkan] kendi kosong, dan mengatakan pada beliau perumpamaan tentang sapi buta yang merumput di pinggiran.

Ketika mendengar hal ini, Sang Bhagavā bertanya kepada praktisi ajaran lain Nigrodha, “Apakah engkau benar-benar berkata seperti ini?” Praktisi ajaran lain Nigrodha menjawab, “Aku benar-benar [berkata] seperti ini, Gotama.”

Sang Bhagavā bertanya lagi:

Nigrodha, tidakkah engkau telah mendengar hal ini dari para praktisi senior dan sebelumnya? “Para Tathāgata dari masa lampau, bebas dari kemelekatan, tercerahkan sempurna, melakukan latihan duduk bermeditasi di bawah pohon di suatu daerah yang sunyi atau hutan gunung, atau ketika berdiam di atas tebing tinggi, di [tempat] terpencil tanpa kebisingan, jauh, tanpa gangguan, dan tanpa orang-orang.

“Semua Buddha, para Bhagavā, telah melakukan latihan duduk bermeditasi di bawah pohon di suatu daerah yang sunyi atau hutan gunung, atau ketika berdiam di atas tebing tinggi, di [tempat] terpencil tanpa kebisingan, jauh, tanpa gangguan, dan tanpa orang-orang. Mengikuti latihan duduk bermeditasi, mereka selalu menikmati berada di daerah-daerah yang jauh, dengan damai dan bahagia. Sejak awalnya mereka tidak pernah berkumpul siang dan malam dalam sebuah kelompok,” seperti yang engkau lakukan hari ini dengan para pengikutmu.

Praktisi ajaran lain Nigrodha menjawab:

Gotama, aku telah mendengar hal ini dari para praktisi senior dan sebelumnya: “Para Tathāgata dari masa lampau, bebas dari kemelekatan, tercerahkan sempurna, melakukan latihan duduk bermeditasi di bawah pohon di suatu daerah yang sunyi atau hutan gunung, atau ketika berdiam di atas tebing tinggi, di [tempat] terpencil tanpa kebisingan, jauh, tanpa gangguan, dan tanpa orang-orang.

“Semua Buddha, para Bhagavā, telah melakukan latihan duduk bermeditasi di bawah pohon di suatu daerah yang sunyi atau hutan gunung, atau ketika berdiam di atas tebing tinggi, di [tempat] terpencil tanpa kebisingan, jauh, tanpa gangguan, dan tanpa orang-orang. Mengikuti latihan duduk bermeditasi, mereka selalu menikmati berada di daerah-daerah yang jauh, dengan damai dan bahagia. Sejak awalnya mereka tidak pernah berkumpul siang dan malam dalam sebuah kelompok,” seperti yang kulakukan hari ini dengan para pengikutku.

[Sang Buddha berkata:]

Nigrodha, tidakkha engkau memiliki perenungan demikian: “Seperti halnya para Bhagavā [dari masa lampau] tersebut melakukan latihan duduk bermeditasi di bawah pohon di suatu daerah yang sunyi atau hutan gunung, atau ketika berdiam di atas tebing tinggi, di [tempat] terpencil tanpa kebisingan, jauh, tanpa gangguan, dan tanpa orang-orang; dan mereka selalu menikmati duduk bermeditasi di daerah-daerah yang jauh, dengan damai dan bahagia – [demikian juga pada masa sekarang] pertapa Gotama berlatih jalan menuju pencerahan sempurna?”

Praktisi ajaran lain Nigrodha menjawab:

Gotama, jika aku mengetahui hal ini, apakah alasan yang kumiliki untuk membuat pernyataan seperti ini, “Aku akan menghancurkan beliau dengan satu argumen, seperti aku dapat [memecahkan] kendi kosong, dan aku mengatakan pada beliau perumpamaan tentang sapi buta yang merumput di pinggiran”?<290>

Sang Bhagavā berkata:

Sekarang, Nigrodha, aku memiliki Dharma, yang bermanfaat dan berhubungan dengan yang bermanfaat, di mana setiap kalimatnya yang berhubungan dengan pembebasan dapat direalisasi. Adalah untuk alasan ini sehingga Sang Tathāgata menyebut dirinya sendiri ‘tanpa ketakutan.’ Semua bhikkhu yang datang padaku sebagai para siswa, tanpa suka menyanjung, tanpa tipu daya, jujur, dan tanpa tipuan, setelah diajarkan olehku dan mengikuti pengajaranku, pasti akan mencapai pengetahuan akhir.<291>

Nigrodha, jika engkau berpikir, ‘pertapa Gotama mengajarkan Dharma demi keinginan untuk menjadi seorang guru,’ janganlah berpikir seperti itu! [Tugas] guru tetap menjadi milikmu bahkan ketika aku mengajarkanmu Dharma.

Nigrodha, jika engkau berpikir, ‘pertapa Gotama mengajarkan Dharma demi keinginan untuk memperoleh para siswa,’ janganlah berpikir seperti itu! Para siswa ini tetap menjadi milikmu bahkan ketika aku mengajarkanmu Dharma.

Nigrodha, jika engkau berpikir, ‘pertapa Gotama mengajarkan Dharma demi keinginan untuk memperoleh persembahan,’ janganlah berpikir seperti itu! Persembahan tetap menjadi milikmu bahkan ketika aku mengajarkanmu Dharma.

Nigrodha, jika engkau berpikir, ‘pertapa Gotama mengajarkan Dharma demi keinginan atas pujian dan sanjungan,’ janganlah berpikir seperti itu! Pujian dan sanjungan tetap menjadi milikmu bahkan ketika aku mengajarkanmu Dharma.

Nigrodha, engkau mungkin berpikir: ‘Jika aku memiliki Dharma, yang bermanfaat dan berhubungan dengan yang bermanfaat, di mana setiap kalimatnya yang berkaitan dengan pembebasan dapat direalisasi, maka pertapa Gotama akan menangkapku dan menghancurkanku.’ Janganlah berpikir seperti itu! Dharma tetap menjadi milikmu bahkan ketika aku mengajarkanmu Dharma.<292>

Atas hal ini [semua dalam] perkumpulan besar itu tetap berdiam diri. Mengapakah demikian? Karena mereka di bawah kendali Raja Māra.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada perumah tangga Pikiran Sejati:

Lihatlah bagaimana perkumpulan besar ini tetap berdiam diri. Mengapakah demikian? Karena mereka di bawah kendali Raja Māra. Karenanya, di antara perkumpulan praktisi ajaran lain ini tida ada seorang pun praktisi ajaran lain yang berpikir, “Biarlah aku mencoba mengembangkan kehidupan suci di bawah pertapa Gotama.”

Mengetahui hal ini, Sang Bhagavā mengajarkan Dharma kepada perumah tangga Pikiran Sejati, dengan menasihati, menginspirasi, dan sepenuhnya menggembirakannya. Setelah menasihati, menginspirasi, dan sepenuhnya menggembirakan mereka dengan mengajarkannya Dharma menggunakan tak terhitung cara terampil, [Sang Buddha] bangkit dari tempat duduknya. Kemudian, membawa perumah tangga Pikiran Sejati pada lengannya, beliau terbang ke angkasa menggunakan kekuatan batinnya dan pergi.<293>

Demikianlah yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, perumah tangga Pikiran Sejati bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)
« Reply #16 on: 24 January 2021, 02:08:50 PM »
105. Kotbah tentang Harapan-Harapan<294>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu terdapat seorang bhikkhu yang tinggal sendirian, dalam keterasingan, berdiam di suatu tempat yang jauh dan sunyi.<295> Ketika duduk bermeditasi dan merenung, ia berpikir demikian, “Sang Bhagavā telah menghiburku dengan perkataan beliau dan mengajarkanku Dharma. [Oleh sebab itu,] aku memenuhi aturan-aturan latihan, tidak mengabaikan jhāna, menyempurnakan pandangan terang, dan berdiam di tempat yang kosong dan sunyi.” Kemudian, setelah berpikir demikian, pada waktu sore menjelang malam bhikkhu itu bangkit dari duduk bermeditasi dan mendekati Sang Buddha.<296>

Ketika melihat bhikkhu itu datang dari kejauhan, Sang Bhagavā, dikarenakan bhikkhu [yang sedang mendekat] itu, berkata kepada para bhikkhu:

Jika kalian berharap, “Semoga Sang Bhagavā menghiburkan dengan perkataan beliau dan mengajarkanku Dharma!”, maka penuhilah aturan-aturan latihan, janganlah mengabaikan jhāna, sempurnakan pandangan terang, dan berdiamlah di tempat yang kosong dan sunyi.<297>

Para bhikkhu, jika kalian berharap, “Dikarenakan diriku semoga sanak keluargaku, ketika hancurnya jasmani pada saat kematian, pasti naik menuju alam kehidupan yang baik dengan terlahir kembali di alam surga!”, maka penuhilah aturan-aturan latihan, janganlah mengabaikan jhāna, sempurnakan pandangan terang, dan berdiamlah di tempat yang kosong dan sunyi.

Para bhikkhu, jika kalian berharap, “Para pendana yang menyediakanku dengan jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan seprai, serta obat-obatan, semua kebutuhan, semoga mereka dikarenakan pemberian ini [dapat] memiliki kebajikan besar, kecemerlangan besar, dan memperoleh buah besar!”, maka penuhilah aturan-aturan latihan, janganlah mengabaikan jhāna, sempurnakan pandangan terang, dan berdiamlah di tempat yang kosong dan sunyi.

Para bhikkhu, jika kalian berharap, “Semoga aku dapat menahan rasa lapar dan haus, dingin dan panas, nyamuk dan serangga pengganggu, lalat dan kutu, pengaruh angin dan matahari, perkataan jahat dan [bahkan] dipukuli dengan tongkat; semoga aku juga dapat menahan penyakit yang menyerang jasmani dengan kesakitan dan penderitaan ekstrem, cukup membuatku berharap untuk mengakhiri kehidupanku; juga [pengalaman lain] yang tidak menyenangkan – semoga aku dapat menahan semuanya!”, maka penuhilah aturan-aturan latihan, janganlah mengabaikan jhāna, sempurnakan pandangan terang, dan berdiamlah di tempat yang kosong dan sunyi.

Para bhikkhu, jika kalian berharap, “Semoga aku dapat menahan ketidakpuasan; jika ketidakpuasan muncul, semoga pikiranku tidak pernah melekat padanya!”, maka penuhilah aturan-aturan latihan, janganlah mengabaikan jhāna, sempurnakan pandangan terang, dan berdiamlah di tempat yang kosong dan sunyi.

Para bhikkhu, jika kalian berharap semoga aku dapat menahan ketakutan; jika ketakutan muncul, semoga pikiranku dapat mengakhirinya dan tidak melekat padanya!”, maka penuhilah aturan-aturan latihan, janganlah mengabaikan jhāna, sempurnakan pandangan terang, dan berdiamlah di tempat yang kosong dan sunyi.

Para bhikkhu, jika kalian berharap, “Jika tiga pemikiran jahat dan tidak bermanfaat muncul – pemikiran keinginan indria, pemikiran permusuhan, dan pemikiran kekejaman – semoga pikiranku mengakhiri tiga pemikiran jahat dan tidak bermanfaat serta tidak melekat padanya!”, maka penuhilah aturan-aturan latihan, janganlah mengabaikan jhāna, sempurnakan pandangan terang, dan berdiamlah di tempat yang kosong dan sunyi.

Para bhikhu, jika kalian berharap, “Semoga aku, terasing dari keinginan indria, terasing dari keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, berdiam setelah mencapai, … sampai dengan … jhāna keempat!”, maka penuhilah aturan-aturan latihan, janganlah mengabaikan jhāna, sempurnakan pandangan terang, dan berdiamlah di tempat yang kosong dan sunyi.

Para bhikkhu, jika kalian berharap, “Semoga aku, setelah menghancurkan tiga belenggu, menjadi seorang pemasuk-arus, seorang yang tidak akan jatuh ke dalam kondisi-kondisi jahat dan yang pasti maju menuju pencerahan sempurna dalam paling banyak tujuh kehidupan [lagi]; dan, setelah melewati [paling banyak] tujuh kehidupan di alam surga atau manusia, semoga aku mencapai akhir dukkha!”, maka penuhilah aturan-aturan latihan, janganlah mengabaikan jhāna, sempurnakan pandangan terang, dan berdiamlah di tempat yang kosong dan sunyi.

Para bhikkhu, jika kalian berharap, “Semoga aku, setelah menghancurkan tiga belenggu dan setelah melemahkan nafsu indria, kemarahan, dan ketidaktahuan, mencapai yang sekali-kembali dan, setelah melalui satu kehidupan di alam surga atau manusia, mencapai akhir dukkha!”, maka penuhilah aturan-aturan latihan, janganlah mengabaikan jhāna, sempurnakan pandangan terang, dan berdiamlah di tempat yang kosong dan sunyi.

Para bhikkhu, jika kalian berharap, “Semoga aku, setelah menghancurkan lima belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali di alam lain dan di sana mencapai nirvana akhir, setelah mencapai kondisi yang tidak-kembali, dengan tidak kembali ke dunia ini!”, maka penuhilah aturan-aturan latihan, janganlah mengabaikan jhāna, sempurnakan pandangan terang, dan berdiamlah di tempat yang kosong dan sunyi.

Para bhikkhu, jika kalian berharap, “Semoga aku mencapai pembebasan damai yang melampaui bentuk, setelah mencapai yang tanpa bentuk, dan dengan konsentrasi yang sesuai berdiam setelah secara langsung merealisasinya; dan dengan menggunakan kebijaksanaan dan pandangan terang [semoga aku] menghancurkan noda-noda dan mengetahui bahwa noda-noda [telah dihancurkan]!”, maka penuhilah aturan-aturan latihan, janganlah mengabaikan jhāna, sempurnakan pandangan terang, dan berdiamlah di tempat yang kosong dan sunyi.

Para bhikkhu, jika kalian berharap, “Semoga aku memperoleh kekuatan batin, pengetahuan telinga dewa, pengetahuan atas pikiran orang lain, pengetahuan atas kehidupan lampau, pengetahuan atas kelahiran dan kematian [makhluk-makhluk]; dan setelah menghancurkan semua noda [semoga aku] mencapai pembebasan pikiran tanpa noda, pembebasan melalui kebijaksanaan, dengan mengetahui dan merealisasinya oleh dirinya sendiri di sini dan saat ini, dan berdiam setelah menyempurnakan realisasi-diri, dengan mengetahui sebagaimana adanya: ‘Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain!’” [jika kalian berharap semua ini] maka penuhilah aturan-aturan latihan, janganlah mengabaikan jhāna, sempurnakan pandangan terang, dan berdiamlah di tempat yang kosong dan sunyi.

Kemudian para bhikkhu, setelah mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, menerimanya dengan baik dan mengingatnya dengan baik. Bangkit dari tempat duduk mereka, mereka memberikan penghormatan dengan kepala mereka pada kaki Sang Buddha, mengelilingi beliau tiga kali, dan pergi.

Para bhikkhu itu, setelah menerima ajaran ini dari Sang Buddha, duduk bermeditasi di tempat yang jauh dan sunyi, berlatih dengan tekun, pikiran mereka bebas dari kelalaian. Dengan duduk bermeditasi di tempat yang jauh dan sunyi serta berlatih dengan tekun, dengan pikiran mereka bebas dari kelalaian, mereka mengetahui dan merealisasi bagi diri mereka sendiri, di sini dan saat ini, [pencapaian] itu demi kepentingan di mana para anggota keluarga mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan rumah mereka demi keyakinan, memasuki keadaan tanpa rumah untuk berlatih dalam sang jalan hanya demi kepentingan mencapai sepenuhnya puncak kehidupan suci; dan mereka berdiam setelah secara pribadi merealisasi, dengan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain.” Para yang mulia itu, setelah mengetahui Dharma, telah menjadi para Arahant.<298>

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)
« Reply #17 on: 24 January 2021, 02:09:57 PM »
106. Kotbah tentang Persepsi<299>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada saat itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Jika sehubungan dengan tanah, seorang pertapa atau brahmana memiliki persepsi tentang bumi [berkenaan dengan] “tanah adalah diri”, “tanah milik diri”, “diri milik tanah”, dengan berspekulasi bahwa tanah adalah diri – maka ia tidak mengetahui tanah.

Dengan cara yang sama sehubungan dengan air, … api, … udara, … makhluk halus, … para dewa, … Pajāpati, … Brahmā, … [para dewa] tanpa-kegelisahan, … [dan para dewa] tanpa-penderitaan. … [Jika] sehubungan dengan kemurnian ia memiliki persepsi tentang kemurnian [berkenaan dengan] “kemurnian adalah diri”, “kemurnian milik diri”, “diri milik kemurnian”, dengan berspekulasi bahwa kemurnian adalah diri – maka ia tidak mengetahui kemurnian.

[Dengan cara yang sama untuk] landasan ruang tanpa batas, ... landasan kesadaran tanpa batas, ... landasan kekosongan, ... landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, ... kesatuan, ... keberagaman, ... keanekaragaman, ... yang dilihat, ... yang didengar, ... yang dikenali, ... yang diketahui, ... kemampuan untuk merenungkan pemikiran dalam pikiran, ... [kemampuan untuk merenungkan] kehendak mental, ... dari dunia ini menuju dunia itu, ... dari dunia itu menuju dunia ini. ... [Jika] sehubungan dengan segalanya ia memiliki persepsi tentang segalanya [berkenaan dengan] “segalanya adalah diri”, “segalanya milik diri”, “diri milik segalanya”, dengan berspekulasi bahwa segalanya adalah diri, maka ia tidak mengetahui segalanya.

[Namun,] jika, sehubungan dengan tanah seorang pertapa atau brahmana mengetahui tanah [sehubungan dengan] “tanah adalah bukan diri”, “tanah bukan milik diri”, “diri bukan milik tanah”, dengan tidak berspekulasi bahwa tanah adalah diri – maka ia mengetahui tanah.

Dengan cara yang sama sehubungan dengan air, ... api, ... udara, … makhluk halus, … para dewa, … Pajāpati, … Brahmā, … [para dewa] tanpa-kegelisahan, … [dan para dewa] tanpa-penderitaan. … [Jika] sehubungan dengan kemurnian ia mengetahui kemurnian [berkenaan dengan] “kemurnian adalah bukan diri”, “kemurnian bukan milik diri”, “diri bukan milik kemurnian”, dengan tidak berspekulasi bahwa kemurnian adalah diri – maka ia mengetahui kemurnian.

[Dengan cara yang sama sehubungan dengan] landasan ruang tanpa batas, ... landasan kesadaran tanpa batas, ... landasan kekosongan, ... landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, ... kesatuan, ... keberagaman, ... keanekaragaman, ... yang dilihat, ... yang didengar, ... yang dikenali, ... yang diketahui, ... kemampuan untuk merenungkan pemikiran dalam pikiran, ... [kemampuan untuk merenungkan] kehendak mental, ... dari dunia ini menuju dunia itu, ... dari dunia itu menuju dunia ini. ... [Jika] sehubungan dengan segalanya ia mengetahui segalanya [berkenaan dengan] “segalanya adalah bukan diri”, “segalanya bukan milik diri”, “diri bukan milik segalanya”, dengan tidak berspekulasi bahwa segalanya adalah diri – maka ia mengetahui segalanya.

Sehubungan dengan tanah, aku mengetahui tanah [berkenaan dengan] “tanah adalah bukan diri”, “tanah bukan milik diri”, “diri bukan milik tanah”. Tidak berspekulasi bahwa tanah adalah diri, aku mengetahui tanah.

Dengan cara yang sama sehubungan air, ... api, ... udara, … makhluk halus, … para dewa, … Pajāpati, … Brahmā, … [para dewa] tanpa-kegelisahan, … [dan para dewa] tanpa-penderitaan. … Sehubungan dengan kemurnian, aku mengetahui kemurnian [berkenaan dengan] “kemurnian adalah bukan diri”, “kemurnian bukan milik diri”, “diri bukan milik kemurnian”. Tidak berspekulasi bahwa kemurnian adalah diri, aku mengetahui kemurnian.

[Dengan cara yang sama sehubungan dengan] landasan ruang tanpa batas, ... landasan kesadaran tanpa batas, ... landasan kekosongan, ... landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, ... kesatuan, ... keberagaman, ... keanekaragaman, ... yang dilihat, ... yang didengar, ... yang dikenali, ... yang diketahui, ... kemampuan untuk merenungkan pemikiran dalam pikiran, ... [kemampuan untuk merenungkan] kehendak mental, ... dari dunia ini menuju dunia itu, ... dari dunia itu menuju dunia ini. ... Sehubungan dengan segalanya, aku mengetahui segalanya [berkenaan dengan] “segalanya adalah bukan diri”, “segalanya bukan milik diri”, “diri bukan milik segalanya”. Tidak berspekulasi bahwa segalanya adalah diri, aku mengetahui segalanya.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 9)
« Reply #18 on: 24 January 2021, 02:14:37 PM »
Catatan Kaki:

<197> Padanan Pāli adalah Mahānidāna-sutta, DN 15 dalam DN II 55.

<198> Mengambil varian 令 alih-alih 念.

<199> Mahānidāna-sutta melanjutkan lebih lanjut, melalui perasaan, kontak, dan nama-dan-bentuk, sampai dengan kesadaran.

<200> Mengambil bacaan varian 蛟 alih-alih 蚊

<201> Mahānidāna-sutta juga menyebutkan kelahiran hewan berkaki empat.

<202> Mahānidāna-sutta alih-alih mendaftarkan tiga jenis penjelmaan: [penjelmaan di] alam indria, bentuk, dan tanpa bentuk.

<203> Mahānidāna-sutta menyebutkan empat jenis kemelekatan pada kenikmatan indria, pada pandangan, pada aturan dan ketaatan, dan pada ajaran diri.

<204> Mahānidāna-sutta mendaftarkan enam jenis ketagihan, berdasarkan pada enam objek indria.

<205> Mahānidāna-sutta melanjutkan lebih lanjut pada topik perasaan.

<206> Terjemahan di sini dan di bawah didasarkan pada perbaikan. MĀ 97 menghubungkan kontak dengan kelompok nama dengan cara “penolakan” 對, dan dengan kelompok bentuk dengan cara “penyebutkan”, 增語. Mahānidāna-sutta alih-alih menghubungkan kontak dengan kelompok nama dengan cara “penyebutan”, adhivacana, dan dengan kelompok bentuk dengan cara “penolakan”, paṭigha. Penyajian dalam Mahānidāna-sutta jelas lebih tepat, sedangkan bacaan saat ini dalam MĀ 97 tampaknya dihasilkan dari pertukaran yang salah antara kedua istilah itu.

<207> Mahānidāna-sutta juga menyebutkan terlahir, menjadi tua, meninggal dunia, dst., sebagai akibat dari kondisionalitas yang saling timbal-balik antara kesadaran dan nama-dan-bentuk.

<208> Dalam Mahānidāna-sutta Sang Buddha pertama-tama menyelidiki gagasan yang berbeda tentang diri sebagai berbentuk dan tanpa bentuk, terbatas atau tidak terbatas, sebelum membahas tiga cara yang menghubungkan pandangan diri dengan perasaan.

<209> Dalam Mahānidāna-sutta penganut pandangan diri menyimpulkan bahwa diri telah pergi ketika jenis perasaan tertentu yang diidentifikasi sebagai diri lenyap.

<210> Mengambil bacaan varian 雜 alih-alih 離.

<211> Mahānidāna-sutta, di mana ini adalah yang kedua dari tiga jenis pandangan diri sehubungan dengan perasaan, alih-alih membantah bahwa gagasan “aku adalah ini” tidak ada lagi.

<212> Alasan yang diberikan dalam Mahānidāna-sutta lebih terperinci, dengan menunjukkan bahwa seseorang terbebaskan dari jalan penyebutan dan konseptualisasi, tetapi tidak tepat untuk memandang seorang bhikkhu yang terbebaskan demikian sebagai seseorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat.

<213> Karena Mahānidāna-sutta memiliki pemaparan yang berhubungan lebih awal, sebelum penyelidikan tiga jenis pandangan diri sehubungan dengan perasaan, pada titik ini ia alih-alih melanjutkan dengan mendaftarkan tujuh stasiun kesadaran, dua landasan, dan delapan pembebasan, yang juga ditemukan belakangan dalam MĀ 97.

<214> Dalam Mahānidāna-sutta seseorang yang mendukung suatu jenis diri tertentu alih-alih diharapkan merealisasi jenis diri itu setelah kematian.

<215> Padanan Pāli adalah Satipaṭṭhāna-sutta, MN 10 dalam MN I 55; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 73–97, dan Perspectives on Satipaṭṭhāna (Cambridge: Windhorse, 2013).

<216> Pernyataan tentang para Tathāgata masa lampau, masa depan, atau masa sekarang tidak ditemukan dalam Satipaṭṭhāna-sutta.

<217> Satipaṭṭhāna-sutta sebagai tambahan menyebutkan bahwa perenungan demikian dijalankan dengan tekun, dipahami dengan jernih, dan bebas dari keinginan atau kekesalan terhadap dunia.

<218> Urutan perenungan jasmani dalam Satipaṭṭhāna-sutta berbeda, berlanjut dari perhatian terhadap pernapasan menuju postur tubuh, aktivitas tubuh, bagian-bagian anatomis, unsur-unsur, dan perenungan pekuburan.

<219> Satipaṭṭhāna-sutta tidak menyebutkan tertidur atau terjaga sebagai bagian dari perenungan postur tubuh.

<220> Satipaṭṭhāna-sutta juga menyebutkan perenungan ketidakkekalan dan menunjuk pada berdiam dengan tidak bergantung, tanpa melekat pada apa pun.

<221> Satipaṭṭhāna-sutta juga menyebutkan makan, minum, memakan makanan, mengecap, buang air besar, dan buang air kecil.

<222> Latihan ini dan berikutnya tidak disebutkan dalam Satipaṭṭhāna-sutta.

<223> Mengambil varian 絣 alih-alih 拼.

<224> Terjemahan didasarkan pada perbaikan apa yang dalam aslinya merupakan suatu penunjukan pada “aktivitas ucapan” ketika menghembuskan napas, jelas suatu kesalahan tekstual. Satipaṭṭhāna-sutta memiliki perumpamaan tentang tukang bubut yang bekerja dengan peralatan bubut untuk menggambarkan perhatian terhadap pernapasan.

<225> Sementara Satipaṭṭhāna-sutta tidak menyebutkan tiga latihan ini dan berikutnya, Kāyagatāsati-sutta, MN 119 dalam MN III 92, menyebutkan pengalaman jasmani dari masing-masing empat jhāna sebagai cara perenungan jasmani.

<226> Latihan ini dan berikutnya tidak disebutkan dalam Satipaṭṭhāna-sutta.

<227> 觀相, yang mungkin sama dengan paccavekkhaṇanimitta.

<228> Ini adalah daftar benih yang berbeda dari daftar yang diberikan dalam perumpamaan yang sama dalam MĀ 81, padanan Kāyagatāsati-sutta.

<229> Satipaṭṭhāna-sutta hanya mendaftarkan empat unsur tanah, air, api dan udara.

<230> Kremasi atau pemakaman tidak disebutkan dalam Satipaṭṭhāna-sutta.

<231> Para bhikkhu tidak secara eksplisit disebutkan dalam Satipaṭṭhāna-sutta, walaupun hal yang sama bersifat implisit, karena istilah “bhikkhu” dapat mewakili monastik dari kedua gender; lihat Alice Collett dan Bhikkhu Anālayo, “Bhikkhave and Bhikkhu as Gender-inclusive Terminology in Early Buddhist Texts,” Journal of Buddhist Ethics 21 (2014): 760–797.

<232> Satipaṭṭhāna-sutta tidak menyebutkan perbedaan antara perasaan jasmani dan batin, atau antara perasaan yang berhubungan atau tidak berhubungan dengan kenikmatan indria.

<233> Satipaṭṭhāna-sutta tidak menyebutkan keadaan-keadaan mental yang terkotori atau tidak terkotori, rendah atau mulia, berkembang atau tidak berkembang.

<234> Perenungan dharma-dharma dalam Satipaṭṭhāna-sutta juga mencakup merenungkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati dan Empat Kebenaran Mulia, yang merupakan latihan kedua dan kelima dalam versi empat satipaṭṭhāna-nya.

<235> Dalam Satipaṭṭhāna-sutta, di mana perenungan enam landasan indria adalah latihan ketiga di bawah perenungan dharma-dharma, tugasnya adalah juga mengetahui indria dan objeknya seperti demikian, sebagai tambahan mengetahui belenggu yang muncul bergantung pada keduanya.

<236> Mengambil bacaan varian yang menambahkan 擇.

<237> Satipaṭṭhāna-sutta melanjutkan dari periode latihan tujuh tahun  yang menurun secara bertahap sampai dengan tujuh hari, tetapi tidak lebih jauh dari itu.

<238> Padanan Pāli adalah Mahādukkhakkhandha-sutta, MN 13 dalam MN I 83; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 117–121.

<239> Dalam Mahādukkhakkhandha-sutta para bhikkhu sendiri, dalam perjalanan mereka menuju kota untuk mengumpulkan dana makanan, mendekati para pengembara ajaran lain.

<240> Mahādukkhakkhandha-sutta memperlakukan apa yang telah disebutkan sejauh sampai tiga kasus berbeda yang menggambarkan bahaya kenikmatan indria, yaitu penderitaan yang dialami ketika bekerja, ketika pekerjaan demikian tidak berhasil, dan ketika apa yang telah diperoleh hilang lagi.

<241> Menurut Mahādukkhakkhandha-sutta, para anggota keluarga dapat sampai sejauh mengambil senjata dan melukai satu sama lain.

<242> 男女, “pria dan wanita”, yang dalam konteks saat ini tampaknya berarti “orang-orang”.

<243> Penyesalan yang dialami oleh pelaku kejahatan tidak disebutkan dalam Mahādukkhakkhandha-sutta, yang oleh sebab itu tidak memiliki perumpamaan bayangan gunung. Sebuah versi perumpamaan ini dapat ditemukan dalam Bālapaṇḍita-sutta, MN 129 at MN III 164.

<244> Padanan Pāli adalah Cūḷadukkhakkhandha-sutta, MN 14 at MN I 91; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 121–124.

<245> Permintaan ini, yang tidak memiliki padanan dalam Cūḷadukkhakkhandha-sutta, menyatakan bahwa Mahānāma masih seorang duniawi pada saat kotbah ini. Namun menurut komentar Cūḷadukkhakkhandha-sutta, ia adalah seorang yang sekali-kembali pada waktu itu.

<246> Dalam Cūḷadukkhakkhandha-sutta Sang Buddha pertama-tama mengisahkan bagaimana beliau mengatasi keinginan indria pada masa sebelum pencerahan beliau. Pemaparan berikunya tentang keinginan indria adalah sama seperti dalam Mahādukkhakkhandha-sutta.

<247> Cūḷadukkhakkhandha-sutta memperlakukan apa yang telah disebutkan sejauh sampai tiga kasus berbeda yang menggambarkan bahaya dalam kenikmatan indria, yaitu penderitaan yang dialami ketika bekerja, ketika pekerjaan demikian tidak berhasil, dan ketika apa yang telah diperoleh hilang karena pencurian, dst.

<248> Menurut Cūḷadukkhakkhandha-sutta, para anggota keluarga dapat sampa sejauh mengambi senjata dan melukai satu sama lain.

<249> Lihat catatan no. 242.

<250> Penyesalan yang dialami pelaku kejahatan tidak disebutkan dalam Cūḷadukkhakkhandha-sutta, yang oleh sebab itu tidak memiliki perumpamaan bayangan gunung. Sebuah versi perumpamaan ini dapat ditemukan dalam Bālapaṇḍita-sutta, MN 129 at MN III 164.

<251> Dalam Cūḷadukkhakkhandha-sutta Sang Buddha mengisahkan pandangan terangnya ke dalam kenikmatan indria pada waktu sebelum pencerahan beliau, dengan menjelaskan bahwa walaupun [mencapai] pandangan terang ini beliau melampaui daya tarik kenikmatan indria hanya setelah beliau mengalami bentuk-bentuk kebahagiaan yang lebih unggul, seperti yang tersedia melalui pencapaian jhāna.

<252> Lokasinya dalam Cūḷadukkhakkhandha-sutta adalah Gunung Puncak Burung Bangkai.

<253> Menurut Cūḷadukkhakkhandha-sutta, para Nigaṇṭha menyatakan sifat kemahatahuan guru mereka.

<254> Dalam Cūḷadukkhakkhandha-sutta Sang Buddha alih-alih bertanya apakah para Nigaṇṭha telah memiliki pengetahuian atas perbuatan-perbuatan mereka sebelumnya yang dilakukan oleh mereka dan apakah mereka mengetahui tingkat di mana perbuatan-perbuatan ini sekarang sedang dihancurkan.

<255> Cūḷadukkhakkhandha-sutta menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan demikian adalah tindakan pembunuhan.

<256> Teguran Sang Buddha dalam Cūḷadukkhakkhandha-sutta kurang tegas; beliau hanya menunjukkan bahwa mereka berkata kasar dan seharusnya bertanya kepada beliau atas hal ini.

<257> Dalam Cūḷadukkhakkhandha-sutta kemampuan Sang Buddha untuk tetap tidak bergerak dalam sukacita dan kebahagiaan selama sampai dengan tujuh hari mengambil bentuk penegasan alih-alih sebagai pertanyaan.

<258> Cūḷadukkhakkhandha-sutta berakhir pada titik ini.

<259> Padanan Pāli adalah Vitakkasaṇṭhāna-sutta, MN 20 at MN I 118; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 140–143.

<260> Mengambil varian 絣 alih-alih 拼.

<261> Vitakkasaṇṭhāna-sutta alih-alih menggambarkan seorang tukang kayu yang mencabut pasak kasar dengan bantuan pasak yang lebih halus.

<262> Mengambil varian正alih-alih 政.

<263> Vitakkasaṇṭhāna-sutta melanjutkan dengan suatu penggambaran tentang pencapaian pembebasan.

<264> Padanan Pāli adalah Dvedhāvitakka-sutta, MN 19 dalam MN I 114; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 138–140.

<265> Dvedhāvitakka-sutta tidak mengikuti penggambaran pemikiran berulang-ulang yang membawa pada kecenderungan pikiran untuk bergembira dalam pemikiran demikian dengan pernyataan tentang kebebasan dari dukkha. Alih-alih, dalam versi Pāli perumpamaan penggembala muncul pada titik ini.

<266> Penggambaran yang diharapkan dari jhāna pertama tidak ada di sini, tetapi muncul dalam Dvedhāvitakka-sutta. Ini dapat dipulihkan sebagai berikut: “Terasing dari keinginan indria, terasing dari keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, ia berdiam setelah mencapai jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan.”

<267> Dvedhāvitakka-sutta menyebutkan ingatan kehidupan lampau dan mata dewa sebelum beralih ke pelenyapan noda-noda. Perbedaan lain dalam versi Pāli adalah bahwa orang yang mencapai jhāna dan tiga pengetahuan yang lebih tinggi adalah Sang Buddha sendiri.

<268> Di sini dan di bawah, Dvedhāvitakka-sutta hanya mengidentifikasi sang jalan dengan jalan mulia atau salah berunsur delapan, bukan dengan tiga pemikiran tidak bermanfaat atau tidak bermanfaat.

<269> Perumpamaan dalam Dvedhāvitakka-sutta tidak mengandung penjaga; oleh sebab itu penjelasan perumpamaannya juga tidak memiliki penunjukan pada pengikut Māra.

<270> Padanan Pāli adalah Cūḷasīhanāda-sutta, MN 11 dalam MN I 63, yang memiliki Hutan Jeta di Sāvatthī sebagai lokasinya; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 99–105.

<271> Ini akan menunjuk pada empat tingkat pencerahan; lihat AN 4.239 dalam AN II 238.

<272> Cūḷasīhanāda-sutta memiliki ketagihan dan kemelekatan sebagai dua topik yang terpisah. Topik berikutnya yang didiskusikannya adalah tanpa penglihatan, menyukai dan bermusuhan, dan menikmati proliferasi konseptual, papanca. Ia tidak menambahkan semua kualifikasi dari tujuan akhir yang diliputi demikian.

<273> Dalam Cūḷasīhanāda-sutta ketagihan jenis keempat adalah kemelekatan pada “ajaran diri” alih-alih pada “suatu diri”.

<274> Cūḷasīhanāda-sutta menghubungkan empat jenis kemelekatan pada ketidaktahuan melalui tujuh mata rantai kemunculan bergantungan, paṭicca samuppāda.

<275> Cūḷasīhanāda-sutta tidak mengulangi penunjukan pada auman singa.

<276> Padanan Pāli adalah Udumbarika-sutta, DN 25 dalam DN III 36 (mengikuti edisi Asia untuk judul; dalam edisi PTS judulnya adalah Udumbarika-sīhanāda-sutta).

<277> Dalam Udumbarika-sutta nama perumah tangga itu adalah Sandhāna.

<278> 無恚 secara harfiah, “tanpa kemarahan”, tampaknya salah mengartikan nigrodha sebagai ni + krodha.

<279> 鳥論 secara harfiah, “pembicaraan burung”; di tempat lain Madhyama-āgama menggunakan ungkapan畜生之論 sebagai padanan tiracchānakathā.

<280> Udumbarika-sutta tidak melaporkan Nigrodha membuat pernyataan apa pun tentang bagaimana Sang Buddha seharusnya diberikan tempat duduk.

<281> Dalam Udumbarika-sutta Nigrodha dan para pengikutnya sebenarnya telah bermaksud untuk bertanya kepada Sang Buddha pertanyaan ini jika beliau bergabung dengan mereka. Akibatnya, versi Pāli tidak melaporkan perenungan oleh perumah tangga Sandhāna bahwa Nigrodha mengatakan kebohongan.

<282> Salah satu dari beberapa perbedaan adalah bahwa Udumbarika-sutta tidak menyebutkan pencukuran rambut dan janggut (suatu praktik yang kenyataannya diikuti oleh para monastik Buddhis sendiri).

<283> Daftar kekotoran penyiksaan-diri yang sebagian berbeda dalam Udumbarika-sutta tidak menyebutkan penyerapan energi matahari, suatu referensi yang maknanya tidak jelas.

<284> Mengambi varian yang menambahkan 子 lainnya.

<285> “Pandangan” adalah topik lain yang tidak dimasukkan dalam daftar kekotoran penyiksaan-diri Udumbarika-sutta.

<286> Empat pengendalian dalam Udumbarika-sutta adalah tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berkata bohong, dan tidak merindukan kenikmatan indria (mengikuti penjelasan komentar untuk yang terakhir). Versi Pāli melanjutkan sampai menggambarkan pengunduran diri ke dalam keterasingan dan mengatasi lima rintangan.

<287> Di sini dan di bawah, menurut Udumbarika-sutta, Nigrodha berpikir bahwa saat ini latihan penyiksaan-diri telah mencapai intinya.

<288> Dalam Udumbarika-sutta mereka alih-alih berseru bahwa mereka kalah, karena mereka tidak mengetahui pencapaian yang lebih tinggi ini. Segera setelah itu perumah tangga Sandhāna mengintervensi, dengan mengingatkan Nigrodha atas pernyataan meremehkannya tentang Sang Buddha dan bualannya bahwa ia akan mengalahkan Sang Buddha dengan satu pertanyaan.

<289> Udumbarika-sutta tidak mengandung penjelasan jalan bertahap menuju pencerahan.

<290> Dalam Udumbarika-sutta Nigrodha secara formal mengakui pelanggarannya karena mengatakan seperti ini tentang Sang Buddha.

<291> Udumbarika-sutta mendaftarkan berbagai waktu dari tujuh tahun menurun sampai tujuh hari di mana seorang siswa dapat mencapai tujuan.

<292> Dalam Udumbarika-sutta Sang Buddha juga menunjukkan bahwa ia tidak memerlukan para praktisi ajaran lain untuk meninggalkan aturan dan cara hidup mereka, untuk melakukan apa yang mereka anggap tidak bermanfaat, atau untuk menghindari diri dari apa yang mereka anggap bermanfaat. Versi Pāli tidak menyebutkan kecurigaan bahwa Sang Buddha mungkin tertarik dalam menangkap dan menghancurkan mereka atau dalam memperoleh persembahan atau kemasyhuran.

<293> Udumbarika-sutta tidak mencatat komentar atau pengajaran yang diberikan Sang Budhda kepada sang perumah tangga, yang kembali ke Rājagaha sendiri.

<294> Padanan Pāli adaah Ākhaṅkheyya-sutta, MN 6 dalam MN I 33; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 45–49.

<295> Mengambil varian住 alih-alih任.

<296> Ākhaṅkheyya-sutta tidak memiliki kisah pendahuluan yang mencatat perenungan bhikkhu itu. Ia mulai dengan Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, dengan menekankan perlunya mempertahankan perilaku bermoral, melihat bahaya dalam kesalahan kecil sekali pun.

<297> Dalam Ākhaṅkheyya-sutta harapan diajarkan oleh Sang Buddha tidak ada dalam daftar harapannya, yang memasukkan sebagai berikut: dicintai oleh para bhikkhu lain, menerima kebutuhan pokok, menjadi sumber jasa kebajikan bagi para penyokong, menjadi sumber jasa kebajikan bagi para sanak keluarga, menahan ketidaknyamana, menahan ketakutan, dan mencapai empat jhāna, pencapaian tanpa bentuk, pemasuk-arus, yang sekali-kembali, yang tidak-kembali, dan masing-masing dari enam pengetahuan yang lebih tinggi.

<298> Ākhaṅkheyya-sutta tidak melaporkan bahwa para bhikkhu menjalankan perkataan Sang Buddha.

<299> Chizen Akanuma, The Comparative Catalogue of Chinese Āgamas & Pāli Nikāyas (Delhi: Sri Satguru, 1990, cetakan ulang), hal. 15, mendaftarkan sebagai paralel MĀ 106 Mūlapariyāya-sutta, MN 1 dalam MN I 1. Namun, kedua kotbah ini sangat berbeda dan tidak tampak sebagai “paralel”, yang disebutkan secara benar; lihat pembahasan dalam Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 23.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

 

anything