//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Tanah Buddha (Buddhaksetra) dan Perenungan terhadap Buddha (Buddhanusmrti)  (Read 1539 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Berikut adalah kutipan dari buku Mahayana Buddhism, The Doctrinal Foundations 2nd edition oleh Paul Williams tentang tanah Buddha (Buddhaksetra) dan perenungan terhadap Buddha (Buddhanusmrti) dalam Mahayana. Kutipan ini pernah dipost oleh TS di topik lain dan di forum sebelah yang sudah parinibbana. TS mem-post kembali di sini agar memudahkan untuk pencarian kembali sebagai bahan referensi.

=========================================================

Buddhanusmrti – perenungan terhadap Buddha

Sutta Nipata dari Kanon Pali umumnya dianggap oleh para ahli sebagai teks Buddhis tertua yang masih ada. Pada akhir Sutta Nipata, pada bagian yang juga dianggap sebagai tingkatan paling tua dari teks tersebut terdapat bagian yang sangat mengharukan dan, saya pikir, percakapan yang penting. Seorang brahmin bernama Pingiya ‘sang bijaksana’ memuliakan Sang Buddha dalam kata-kata yang tulus:

“Mereka menyebutnya Buddha, Yang Tercerahkan, Yang Telah Sadar, yang melenyapkan kegelapan, dengan pandangan menyeluruh, dan mengetahui dunia ini sampai akhirnya.... Orang ini... adalah sosok yang aku ikuti.... Pangeran ini, secercah cahaya ini, Gotama, adalah satu-satunya yang melenyapkan kegelapan. Orang ini Gotama adalah semesta kebijaksanaan dan dunia pemahaman.”[1]

Pingiya ditanya mengapa ia tidak menghabiskan waktunya dengan Sang Buddha, guru yang mengagumkan tersebut? Pingiya menjawab bahwa ia sendiri sudah tua, ia tidak dapat mengikuti Buddha secara fisik, karena ‘tubuhku sedang melapuk’. Namun:

“tidak ada waktu sedikit pun bagiku yang dihabiskan jauh dari Gotama, dari semesta kebijaksanaan ini, dunia pemahaman ini... dengan kewaspadaan yang terus-menerus dan hati-hati, adalah memungkinkan bagiku untuk melihat-Nya dengan pikiranku sejernih [melihat dengan] mataku, siang dan malam. Dan karena aku menghabiskan malamku dengan menghormati Beliau, tidak ada, dalam pikiranku, sesaat pun jauh dari-Nya.”

Dalam percakapan yang luar biasa dan kuno ini Pingiya menunjukkan bahwa adalah memungkinkan melalui perhatiannya, melalui pemusatan pikirannya, agar ia terus-menerus berada di hadapan Sang Buddha dan terus-menerus menghormati Beliau. Pada akhir [teks ini], Sang Buddha sendiri menyatakan bahwa Pingiya juga akan menuju ‘pantai yang lain’ dari Pencerahan.

Penafsiran percakapan ini mungkin sulit. Seseorang pastinya tidak akan menganggap bahwa kita di sini memiliki sistem keyakinan yang sudah baku. Walaupun demikian, pujian Pingiya terhadap Sang Buddha dan penghormatannya agar dapat melihat Beliau dalam pikirannya tampaknya berhubungan dengan praktek buddhanusmrti, perenungan terhadap Buddha, sebuah praktek yang telah diketahui dari konteks lain dalam Kanon Pali dan dijalankan, sejauh yang dapat kita katakan, semua aliran Buddhisme.

Berdasarkan komentator Theravada Buddhaghosa, seorang meditator yang ingin menjalankan perenungan terhadap Buddha harus pergi ke tempat yang cocok guna mengasingkan diri:
“dan merenungkan sifat-sifat khas dari Sang Buddha... sebagai berikut: ‘Demikianlah Sang Bhagava yang adalah yang telah menyelesaikan, tercerahkan sepenuhnya, memiliki pandangan (yang jernih) dan tindak tanduk (yang baik), mulia, pengenal dunia, pemimpin yang tak tertandingi dari para manusia yang dijinakkan, guru para manusia dan dewa, yang telah mencapai pencerahan dan yang dirahmati’.”[2]

Sang meditator merenungkan sifat-sifat Sang Buddha secara teratur dan terperinci. Di antara hasil dari meditasi yang demikian adalah bahwa, dalam kata-kata Buddhaghosa, sang meditator:
Mencapai sepenuhnya keyakinan, perhatian, pengertian dan kebajikan.... Ia menaklukan rasa takut dan kengerian.... Ia merasa seakan-akan ia tinggal dalam kehadiran Sang Guru. Dan tubuhnya... menjadi layak dihormati seperti ruang pemujaan. Pikirannya cenderung menuju pada kediaman para Buddha.[3]

Jika tergoda untuk melakukan perbuatan salah, sang meditator merasa sangat malu seakan-akan ia berhadapan langsung dengan Buddha. Bahkan jika perkembangan batinnya berhenti pada titik ini, ia akan maju menuju ‘tujuan bahagia’.

Tiga poin yang patut dicatat di sini. Pertama, terdapat hubungan antara buddhanusmrti dengan pencapaian taraf [spiritual] yang lebih tinggi, sebuah tujuan yang bahagia, atau ‘kediaman para Buddha’. Kedua, melalui perenungan terhadap Buddha seseorang menjadi bebas dari rasa takut. Kita mengetahui bahwa dari sumber sutra Sanskerta bahwa buddhanusmrti dianjurkan terutama sebagai penangkal rasa takut. Takut, dan keinginan untuk melihat Buddha, di sini saya pikir, adalah perasaan yang penting selama berabad-abad, bahkan berdekade-dekade, setelah wafatnya Sang Buddha. Gandavyuha Sutra mengatakan untuk banyak umat Buddha ketika ia menyatakan:

 “Adalah sulit, bahkan dalam waktu ratusan koti kalpa, untuk mendengar seorang Buddha mengajar;
Betapa semakin banyak melihat-Nya, penampakan-Nya menjadi penghapus utama semua keraguan....
Lebih baik terbakar selama berkoti kalpa dalam tiga keadaan yang menderita, walaupun mereka sangat mengerikan,
Daripada tidak melihat Sang Guru....
Lenyaplah semua penderitaan ketika seseorang telah melihat Sang Jina, Penguasa Dunia,
Dan menjadi mungkin untuk mencapai pengetahuan mendalam, dunia para Buddha yang tertinggi.”

Dan ketiga, melalui perenungan terhadapa Buddha, Buddhaghosa mengatakan, sang meditator akan merasa seakan-akan ia tinggal dalam hadapan Sang Buddha sendiri – sedemikian sehingga, bahwa rasa malu akan mencegahnya dari perbuatan jahat.[4]

Terdapat sebuah teks yang terdapat pada Ekottaragama milik Buddhisme awal, bagian dari kitab suci yang bertahan dalam terjemahan bahasa Cina, di mana diberikan sebuah kisah yang lebih rinci tentang perenungan terhadap Buddha daripada yang ditemukan dalam Kanon Pali. Dalam sutra ini, perenungan terhadap Buddha dikatakan membawa pada kekuatan batin dan bahkan pada Nirvana itu sendiri. Dalam ajaran Mahayana tentang para Buddha dan Bodhisattva yang tak terhingga banyaknya yang mendiami tak terhingga Tanah Buddha dari 10 arah mata angin (sebuah ajaran yang mungkin dipengaruhi oleh pengalaman buddhanusmrti), praktek perenungan terhadap Buddha mendapatkan kedudukan yang jauh lebih penting sebagai cara untuk berhubungan dengan para Buddha dan kediaman mereka. Saptasatika Prajnaparamita menjelaskan ‘Samadhi Perbuatan Tunggal’ di mana seseorang bisa dengan cepat mencapai pencerahan sempurna. Sang meditator:

“harus tinggal dalam kesunyian, membuang pikiran yang mengganggu, tidak melekat pada benda-benda, memusatkan pikiran mereka pada seorang Buddha, dan membaca nama-Nya denga tulus. Mereka harus menjaga tubuh mereka tetap tegak dan, dengan menghadap pada arah dari Buddha tersebut, bermeditasi terhadap-Nya secara terus-menerus. Jika mereka dapat menjaga perhatian terhadap Buddha tersebut tanpa henti dari waktu ke waktu, maka mereka akan dapat melihat semua Buddha dari masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang setiap waktu.”[5]

Pratyutpanna Sutra

Pratyutpanna Sutra pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Cina oleh Lokaksema mungkin sekitar tahun 179 M. Ini membuat ia salah satu terjemahan tertua sutra Buddhis ke dalam bahasa Cina. Ia berisi referensi literatur tertua yang dapat diidentifikasi datanya tentang Amitayus (= Amitabha) dan Tanah Buddha-Nya, Tanah Murni, di timur.[6] Di antara banyak ciri khas yang menarik dan tidak biasa dari sutra tertua ini adalah detail yang menggambarkan dan mendiskusikan pratyutpanna samadhi, yang tampaknya menjadi pesan penting sutra ini.

Dasar untuk menjalankan pratyutpanna samadhi adalah sila yang ketat. Seorang praktisi, umat awam atau viharawan, laki-laki atau perempuan, diminta untuk memenuhi sepenuhnya pelatihan sila sebelum memasuki pengasingan diri. Meditator kemudian mengasingkan diri di sebuah tempat terpencil dan menghadap ke arah di mana Buddha Amitayus berdiam. Ia memusatkan pikiran pada Buddha tersebut, dengan menghadap pada arah yang benar. Meditator melakukan apa yang telah kita bahas sebelumnya dalam praktek buddhanusmrti. Praktisi merenungkan Buddha tersebut langsung di hadapan:

“Para Bodhisattva harus memusatkan pikiran pada Sang Tathagata tersebut... yang sedang duduk di tahta Buddha dan mengajarkan Dharma. Mereka harus berkonsentrasi pada para Tathagata yang diberkahi dengan semua sifat yang mulia, gagah, menarik, menyenangkan untuk diperhatikan, dan dikaruniai dengan kesempurnaan tubuh [dst].”[7]

Selain itu kemulian tubuh dan kemampuan seorang Buddha dicatat dan direnungkan. Lebih jauh lagi, sang meditator diajarkan untuk tidak membiarkan timbulnya gagasan “diri” dalam cara apa pun selama tiga bulan, atau pun dikalahkan oleh ‘kemalasan dan kelambanan’ (yaitu tertidur), atau duduk ‘kecuali untuk buang air’ selama tiga bulan. Mereka harus berkonsentrasi pada Amitayus selama satu hari satu malam, atau selama dua, tiga, empat, lima, enam, atau tujuh hari tujuh malam, sehingga, ketika telah terlewati penuh tujuh hari tujuh malam, mereka melihat:

“Yang Dimuliakan Tathagata Amitayus. Jika mereka tidak melihat Buddha tersebut selama siang hari, maka Sang Buddha tersebut... akan mempelihatkan wajah-Nya kepada mereka dalam mimpi ketika mereka tidur.”

Dan setelah melihat Buddha tersebut, meditator dapat menghormati Beliau dan menerima ajaran [dari Beliau]. Penglihatan atas Buddha ini bukan dengan ‘mata dewa’, [karena] ia bukan hasil dari kekuatan batin. Meditator tidak perlu mengembangkan berbagai kemampuan supernormal seperti mata dewa yang, seperti yang kita bahas dalam bab sebelumnya, hanya dapat dikembangkan pada tingkat Bodhisattva ketiga [dari Dasabhumi atau 10 tingkat Bodhisattva dalam Mahayana], dan dipikirkan dalam teks lain sebagai alat di mana seseorang dapat melihat para Buddha dari 10 penjuru arah. Para Buddha yang dilihat dalam pratyutpanna samadhi dikatakan dapat dipahami dengan perumpamaan mimpi. Ini memungkinkan karena semua [fenomena] adalah kosong dari wujud yang hakiki, dan oleh sebab itu semuanya hanya [produk] pikiran [Mind Only = Hanya Pikiran, sebuah ajaran dalam Mahayana bahwa semua fenomena yang kita rasakan, amati hanyalah berasal dari pikiran kita].

Catatan:
1. Terjemahan oleh Saddhatissa 1985: vv. 1133, 1136. Cf. terjemahan oleh Norman (Sutta Nipata
1984).
2. Visuddhimagga 7: 2, dalam Buddhaghosa 1975, mengutip dari rumusan standar yang ditemukan dalam Kanon Pali [Buddhanussati]. Harrison 1992a: 228–31 berpendapat bahwa anusmrti [anussati] lebih baik diterjemahkan sebagai ‘commemoration’ (peringatan) daripada ‘recollection’ (perenungan).
3. Buddhaghosa 1975: 230. Cf. Harrison 1992a: 218.
4.Patut dicatat tentang ungkapan ‘tujuan bahagia’ dan juga ‘kediamana para Buddha’. Apa, atau, di mana, kediaman para Buddha? Seperti yang akan kita lihat, ‘Tanah Murni’ yang paling terkenal di mana dalam ajaran Mahayana seorang Buddha saat ini berdiam mengajar Dharma disebut Sukhavati, secara harfiah ‘Tempat Bahagia’. Di sanalah seseorang dapat tinggal dalam hadapan para Buddha, bebas dari rasa takut.
5. Terjemahan dalam Chang 1983: 110. Dari bahasa Cina. Cf. terjemahan oleh Conze 1973b: 101.
6. Ungkapan aktual ‘Tanah Murni’ diterjemahkan dalam bahasa Cina jingtu (ching-t’u; bahasa Jepang: jodo), dan ini tampaknya tercipta di Cina.
7. Perhatikan bahwa para Buddha adalah jamak; Amitayus di sini diberikan hanya sebagai contoh. Terjemahan dalam Harrison 1990: 68. Lihat juga Harrison 1978.
« Last Edit: 11 August 2020, 12:44:12 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Gagasan tentang Tanah Buddha (Buddhaksetra)

Dari perspektif kosmologi Buddhis, ruang, seperti juga waktu, adalah tidak terbatas. Ruang yang tidak terbatas dipenuhi oleh tak terhingga alam semesta, sistem dunia, yang membentang ke 10 penjuru arah (4 arah mata angin, 4 arah di antaranya, arah atas dan bawah). Dalam ketidakterhinggaan ini beberapa alam semesta dikenal sebagai Tanah Buddha. Secara umum, istilah ini menunjuk pada sebuah wilayah, sebuah jagad raya, di mana seorang Buddha mengupayakan pengaruh spiritual-Nya.

Konsep Tanah Buddha, walaupun dianggap penting dalam pemikiran Mahayana, bukan khas Mahayana saja. Mahavastu, yang merupakan teks Lokottaravada, menunjukkan bahwa terdapat banyak sekali alam semesta atau sistem dunia yang tidak ada Buddha, karena para Buddha adalah sangat langka [kemunculannya], lebih jauh lagi, Mahavastu mencatat, tidak mungkin terdapat dua orang Buddha pada Tanah Buddha yang sama, karena ini mengimplikasikan bahwa seorang Buddha tidak dapat menjalankan tugas-Nya. Dan walaupun para Buddha sangat langka, tetapi pada keseluruhan alam semesta yang tidak terbatas terdapat tak terhingga Buddha dan tak terhingga Bodhisattva tingkat sepuluh yang akan menjadi Buddha. Ini membawa tak terhingga makhluk untuk mencapai pembebasan, tetapi tidak akan ada kemungkinan bahwa pada akhirnya semua akan terbebaskan dan tidak ada yang tersisa. Karena dengan tak terhingga makhluk, bahkan jika tak terhingga Buddha masing-masing membebaskan tak terhingga makhluk lainnya, akan masih terdapat tak terhingga makhluk yang tersisa (Mahavastu 1949–56: I, 96 ff.).

Manusia tinggal di dunia yang disebut Saha, yang dikatakan berada di selatan, di mana Buddha masa sekarang adalah Sakyamuni.[15] Gagasan Tanah Buddha mungkin muncul dari anggapan tentang pengetahuan Sakyamuni pada satu pihak, jangkauan perhatian-Nya, dan kemampuan dan pengaruh Beliau pada yang lain – medan aktivitas-Nya.[16]. Pengetahuan Sang Buddha (dan dari pandangan Mahayana, welas asih Beliau) sering dipandang tidak terbatas dalam Mahayana, walaupun kemampuan spiritual Beliau secara langsung menjangkau sebuah wilayah yang sangat luas namun terbatas, Tanah Buddha-Nya dalam pengertian pokok, wilayah pada pusat di mana Sang Buddha muncul.

Fungsi utama seorang Buddha adalah untuk mengajar para makhluk dalam Tanah Buddha-Nya. Namun Tanah Buddha dalam pengertian pokok ini bukan hanya sebuah tempat di mana Buddha kebetulan muncul. Alih-alih, selama karir-Nya sebagai seorang Bodhisattva sang calon Buddha dikatakan ‘memurnikan’ Tanah Buddha-Nya, dan Tanah Buddha dalam beberapa pengertian adalah hasil dari mahakaruna-Nya (Fujita 1996a: 34-5). Dengan kata lain, kemunculan Tanah Buddha bergantung pada karir mengagumkan Buddha tersebut sebagai Bodhisattva. Perbuatan tak terbatas Buddha dalam kebijaksanaan dan cinta kasih telah menghasilkan Tanah Buddha sebagai wilayah di mana ia dapat “mematangkan” para makhluk. Para makhluk sendiri juga berkontribusi, karena ini adalah tempat di mana mereka terlahir melalui perbuatan mereka, sebagai makhluk yang secara potensial dapat dimatangkan. Lebih lanjut lagi, seorang Bodhisattva dapat dengan sendirinya dilahirkan dalam Tanah Buddha dari seorang Buddha, di hadapan Buddha tersebut, atau berjalan ke sana melalui meditasi. Tanah Buddha secara lebih tepat adalah tempat di mana kondisi-kondisi sangat menguntungkan untuk kemajuan spiritual Bodhisattva. Dengan demikian Tanah Buddha merupakan tempat di mana Bodhisattva dapat menjumpai seorang Buddha dan menjalankan karirnya, dan juga tujuan perjuangan seorang Bodhisattva, Tanah Buddha-Nya sendiri yang dimurnikan untuk para makhluk melalui usahanya sendiri (Rowell 1935: 385 ff., 406 ff.). Dan dari tempat-Nya dalam dunia-Nya sebuah teks memberitahukan kita bahwa tiga kali sehari dan tiga kali semalam, Buddha mengamati Tanah Buddha-Nya untuk melihat siapakah yang dapat secara moral dan spiritual ditolong (Lamotte 1962: 396–7).

Jadi Bodhisattva memurnikan Tanah Buddha-Nya dan dunia di mana Buddha mengupayakan aktivitas-Nya merupakan hasil pemurnian perbuatan-Nya sebagai Bodhisattva. Ini menimbulkan sebuah masalah. Disetujui dalam semua kasus bahwa dunia Saha milik Sakyamuni bukan tempat yang murni.[17] Dunia ini sesungguhnya Tanah Buddha yang tidak murni sepenuhnya. Beberapa teks Mahayana mengatakan tiga jenis Tanah Buddha: murni, tidak murni, dan campuran. Sebagai contoh, dalam Tanah Buddha yang tidak murni terdapat non-Buddhis, makhluk-makhluk yang sangat menderita, perbedaan keturunan [suku bangsa] dll, makhluk-makhluk tidak bermoral, alam-alam rendah seperti neraka, perilaku yang buruk, dan Wahana Kecil (tradisi Buddhis awal), dsb. Para Bodhisattva yang berperilaku baik, dan kemunculan sejati seorang Buddha, adalah jarang.[18] Kenyataannya dunia Sakyamuni ini sangat suram bagi pengikut Mahayana yang taat. Tanah Buddha yang murni, pada sisi lain, seperti Sukhavati milik Amitayus, digambarkan seperti ini:
“dihiasi dengan indah, tidak ada kekotoran atau kejahatan, tidak ada kerikil atau bebatuan, tidak ada semak berduri, tidak ada kotoran atau ketidakmurnian lainnya. Tanahnya datar dan rata, tanpa dataran tinggi atau rendah, tidak ada lembah atau celah. Terdapat permata vairerya [‘beryl’ menurut Paul Harrison] pada tanahnya, dan pepohonan permata yang berbaris. Dengan pita yang terbuat dari emas jalannya dibatasi. Di mana-mana selalu bersih dan murni, dengan bunga-bunga permata tertaburan.” (Sutra Teratai, dalam Hurvitz 1976: 120)

Tanah Buddha yang murni demikian – di Asia Timur disebut ‘Tanah Murni’ – memiliki seorang Buddha yang hidup selama waktu yang sangat lama (mungkin untuk selamanya), yang tidak meninggalkan para pengikutnya, seperti Sakyamuni yang kelihatannya hanya melakukannya selama 40 tahun atau lebih. Terdapat banyak Bodhisattva di dunia tersebut, dan Mara yang jahat, dan para pengikutnya tidak dapat melakukan ulahnya. Jelasnya Tanah Murni demikian adalah tempat yang mengagumkan untuk mengembangkan jalan menuju pencerahan, sedangkan dunia Saha kita, khususnya sejak wafatnya Sang Guru, tidak lagi sangat baik. Karena terdapat tak terhingga Tanah Buddha dan oleh sebabnya juga ada tak terhingga Tanah Murni pada saat ini di seluruh penjuru 10 arah mata angin, pastinya tugas segera yang dikesampingkan adalah untuk mengunjungi Tanah-Tanah Murni ini jika semuanya memungkinkan dan akhirnya terlahir di sana.

Agama Buddha awal telah mengajarkan bahwa kebajikan membawa pada kelahiran di surga setelah kematian, tetapi semua surga adalah samsara, tidak kekal dan diliputi dengan kekecewaan dan penderitaan. Sebuah Tanah Murni secara tegas bukan, dalam istilah Buddhis, sebuah surga (svarga).[19] Alih-alih, seseorang seharusnya menjalankan meditasi yang benar (yaitu Buddhanusmrti) dan dengan terampil mengarahkan buah perbuatan baik, jasa kebajikan, untuk terlahir bukan di surga tetapi pada Tanah Murni yang dipilih. Sementara tentunya tidak mudah untuk dapat sampai di Tanah Murni, berada dalam Tanah Murni karena dengan kehadiran seorang Buddha dan ajaran-Nya seseorang dapat dengan relatif mudah untuk mencapai Nirvana, atau mengembangkan jalan menuju Kebuddhaan, seperti yang kita ketahui dari kisah orang-orang yang dapat melakukan demikian di India pada zaman Sakyamuni. Sesungguhnya, mencapai Nirvana di Tanah Murni lebih mudah daripada hal yang sama di India pada masa Sakyamuni, karena Tanah Murni lebih kondusif untuk menjalankan Dharma dibandingkan dengan India yang tidak murni saat itu dan sekarang. Dengan demikian, tidak seperti surga, dari Tanah Murni tidak terdapat kebutuhan untuk mengatasi kelahiran di samsara yang tidak terkendali.

Ini sangat logis dan sangat konsisten dengan perkembangan pemikiran Buddhis. Dunia saat ini setelah wafatnya seorang Buddha adalah tempat yang sulit dimana seseorang mencapai pencerahan. Namun demikian, pada tidak terhingga alam semesta masih terdapat para Buddha, bahkan mungkin Sakyamuni sendiri. Adalah memungkinkan untuk melihat Mereka dalam meditasi, dan mendengar ajaran Mereka yang mengagumkan. Dengan demikian tidak ada yang mencegah seseorang untuk terlahir di hadapan para Buddha tersebut. Akibatnya, pencarian Nirvana, atau mungkin Kebuddhaan yang sempurna, membutuhkan dalam kebanyakan kasus tujuan untuk segera terlahir di Tanah Murni di hadapan seorang Buddha. Dalam memastikan seseorang akan terlahir di sebuah Tanah Murni setelah kematian, praktisi saat ini dan di sini menjadi seorang ‘yang tidak kembali lagi’ (anagamin), seseorang yang tidak akan terlahir kembali ke dunia ini, tetapi akan mencapai pencerahan segera, mungkin dalam kehidupan berikutnya.[20] Ini sesungguhnya adalah tahap yang lebih maju dalam praktek Buddhis, lebih maju daripada kebanyakan orang yang secara normal mengharapkan untuk mencapai hal tersebut di bawah kondisi-kondisi saat ini di dunia ini karena saat ini Buddha sudah wafat.

Tetapi di mana ini menyisakan tempat untuk Sakyamuni yang malang? Tanah Buddha Beliau tidak murni, oleh sebabnya Sakyamuni dan aktivitas pemurnian-Nya sebagai seorang Bodhisattva jelas sekali tidak efektif. Mengutip dari pernyataan Sariputra dalam Vimalakirtinirdesa Sutra:
“Jika Tanah Buddha murni hanya karena tingkat pikiran dari para Bodhisattva yang murni, maka ketika Buddha Sakyamuni menjalankan karir Bodhisattva, pikiran-Nya pasti tidak murni. Kalau tidak, bagaimana mungkin Tanah Buddha ini sangat tidak murni?”

Lebih jauh lagi, Sakyamuni sekarang sudah wafat, sementara masih banyak makhluk di sini di dunia ini yang harus diselamatkan. Oleh sebab itu, mahakaruna Beliau pasti tidak sempurna.

Terdapat sejumlah cara di mana seseorang dapat menjawab pertanyaan ini. Pertama, seseorang dapat dengan mudah mengatakan bahwa semua Buddha kenyataannya identik. Sakyamuni telah muncul untuk menolong para makhluk pada waktu dan tempat tertentu. Walaupun Beliau telah wafat, masih ada banyak Buddha lainnya, dan juga Tanah Murni di luar sana. Para Buddha ini sedang melanjutkan menolong para makhluk di dunia Saha ini. Seseorang dapat menggabungkan jawaban ini dengan konsep tubuh Buddha [Trikaya], Sakyamuni merupakan Tubuh Perubahan [Nirmalakaya], sebuah perwujudan dari Buddha lain, yang berdiam di Tanah Buddha yang murni, masih aktif dalam semua cara demi kepentingan semua makhluk di dunia ini. Dengan kata lain, Tanah Buddha yang tidak murni bukan Tanah Buddha yang utama, tetapi merupakan upaya kausalya seorang Buddha yang tentunya, sebagai seorang Buddha, sesungguhnya memiliki Tanah Buddha yang murni. Kemungkinan Buddha di luar dunia ini tak lain adalah Sakyamuni sendiri (seperti dalam Sutra Teratai).

Strategi lain adalah melihat Tanah Buddha sebagai jangkauan aktivitas seorang Buddha, tetapi tidak mesti dimurnikan melalui aktivitas-Nya yang sebelumnya. Karena Beliau berbelas kasih, seorang Buddha membuat Tanah Buddha-Nya sebagai tempat yang paling sesuai untuk para makhluk tertentu yang akan ditolong. Strategi ini dipakai dalam Karunapundarika Sutra, sebuah sutra yang bertujuan memulihkan Sakyamuni kembali ke keunggulan dalam menghadapi kultus Tanah Murni yang dipusatkan pada Amitayus dan Aksobhya. Para Buddha lainnya mengajar para makhluk yang dapat sampai di Tanah Buddha mereka. Namun yang teragung di antara para Bodhisattva, Bodhisattva yang sejati, berikrar untuk muncul sebagai seorang Buddha di dunia yang tidak murni, Tanah Buddha yang bernoda, semata-mata karena mahakaruna-Nya (Yamada 1968: I, 78). Kenyataan bahwa Sakyamuni muncul di dunia Saha, tempat yang tidak menguntungkan, menunjukkan mahakaruna Beliau yang luar biasa.

Namun pemecahan atas dilema Sariputra [di atas] yang paling umum dan paling penting dalam Buddhisme di Asia Timur diberikan oleh Vimalakirtinirdesa itu sendiri. Tanah Buddha yang tidak murni ini sesungguhnya Tanah Murni. Ia hanya kelihatannya tidak murni karena pikiran para makhluk yang berdiam di dalamnya. Jika terdapat gunung di dunia ini, dan semuanya rata di Tanah Murni, itu karena terdapat gunung dalam pikiran. Sakyamuni bukan Buddha yang tidak sempurna. Bagi Beliau semuanya adalah murni. Ketidakmurnian yang kita lihat adalah hasil kesadaran yang tidak murni, dan juga belas kasih Buddha dalam membuat sebuah dunia yang di dalamnya para makhluk yang tidak murni dapat berkembang (Thurman 1976: 18–19; cf. Rowell 1937: 142 ff.). Dengan demikian jalan sejati untuk mencapai Tanah Murni adalah dengan memurnikan pikiran kita. Dengan kata lain, kita telah berada dalam Tanah Murni jika kita mengetahuinya. Apa pun dunianya, jika ia dihuni oleh orang-orang dengan pikiran murni yang tercerahkan maka itulah Tanah Murni. Ini sangat mirip dengan konsep sifat Kebuddhaan/Tathagatagarbha bahwa kita sudah menjadi Buddha yang telah mencapai pencerahan sempurna jika kita menyadari kenyataannya, dan ini bukan hanya langkah [mencapai pencerahan] singkat dari gagasan Chan (Zen) bahwa Tanah Murni sesungguhnya hanya pikiran yang tenang, jernih, cerah, dan murni. Oleh sebab itu, Tanah Murni sesungguhnya bukan ‘kediaman surgawi’ namun di-demitologi-kan sebagai pencerahan itu sendiri.[21]

Catatan:
15. Untuk perkenalan yang baik pada kosmologi Buddhis awal, lihat Gethin 1998: Ch. 5. Untuk beberapa diagram, lihat juga Gómez 1996: 257–60.
16. Lihat Rowell, 1935: esp. 379–81; 1937. Untuk studi yang lebih baru, lihat Fujita 1996a. Paul Harisson telah menarik perhatian saya pada anjuran yang masuk akal dalam Davidson 2002: 132-3 bahwa ksetra ‘tanah’ [secara harfiah ‘ladang’ dalam bahasa Pali ‘kheta’ (seperti dalam Sanghanussati ‘punnakkhetam’)] mungkin berhubungan dengan gagasan politis sebuah ‘domain’ kerajaan. Jika demikian, maka Buddhaksetra akan lebih baik diterjemahkan sebagai ‘Domain Buddha’.
17. Kemurnian, secara kebetulan, merupakan gagasan kultural yang penting di India, yang meliputi masyarakat India (brahmanis) dan yang paling pokok, sebagai contoh, pembedaan kasta. Semakin murni seseorang semakin tinggi status religiusnya. Turunannya, semakin murni lingkungan mereka semakin lebih mereka mempertahankan status religiusnya.
18. Samdhinirmocana Sutra, dalam Lamotte 1962: 397. Tetapi dicatat bahwa model awal Tanah Murni Aksobhya Abhirati juga ditemukan dalam praktisi non-Mahayana. Sesungguhnya, dalam banyak hal model awal Abhirati tidak selalu cocok dengan pandangan Mahayana yang telah berkembang tentang Tanah Murni.
19. Lihat Ducor 2004: 380–1. Tentang kesamaan dan perbedaan antara Sukhavati dengan surga, dalam pandangan pemahaman orang Jepang terhadap Tanah Murni Amitabha sebagai ‘dunia dari dimensi lain’, kenyataannya adalah pencerahan itu sendiri, lihat Fujita 1996a: 44–8, cf. Fujita 1996b: 26.
20. Tentang ‘buah dan jalannya’ ini dalam Buddhisme awal, lihat Gethin 1998: 194.
21. Mungkin saya juga harus menyebutkan di sini model lain dari Tanah Murni yang berkaitan dengan hal ini ditemukan dalam, misalnya, tradisi Nichiren, dan populer di antara para aktivis sosial Buddhis modern. Seperti yang kita lihat pada akhir bab pada Sutra Teratai, terdapat pernyataan bahwa pada beberapa lama di masa yang akan datang, ketika cukup banyak orang menjalankan Dharma sejati (atau saat, melalui aksi yang diinspirasi umat Buddhis, situasi politik dan sosial membaik), pada waktu itu dunia ini akan menjadi Tanah Murni. Tanah Murni di sini bukan pikiran murni seperti yang demikian, atau dunia yang dilihat oleh pikiran yang murni. Alih-alih, ia adalah masyarakat yang tertata dengan baik yang dihasilkan dari aktivitas mereka yang berpikiran murni (yaitu umat Buddhis yang berpikiran benar). Pandangan Tanah Murni ini juga berhubungan dengan milenarianisme Buddhis (lihat Overmyer 1976: 157).
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

 

anything