//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - seniya

Pages: 1 ... 217 218 219 220 221 222 223 [224] 225 226 227 228
3346
Sutta Vinaya / Re: Dewa angin, dewa matahari, dewa hujan???
« on: 07 March 2010, 07:23:01 AM »
 [at] peacemind:
Yg STI itu dari buku Sang Buddha Pelindungku jilid V yg bs dbaca scr online d situs samaggi-phala.or.id

 [at] exam:
Ada bedany,bro,dlm kisah ini Buddha tdk memerintahkan para dewa berbuat demikian,tetapi para dewa yg dpimpin oleh Sakka yg adl pengikut setia Sang Buddha ingin "memberi pelajaran" kpd para pertapa ajaran lain,yg stlh mengetahui bhw Buddha akan menunjukkan kekuatan batin-Nya d kebun mangga,mencabut semua pohon mangga d Savatthi agar pertunjukan tsb gagal. Tetapi untungny pohon mangga Ganda/Kanda luput dr upaya ini shg Buddha tetap bs menunjukkan keajaiban ganda. Stlh itu,pergi k Tavatimsa utk mengajar Abhidhamma d sana. Coba dbaca lengkap dulu kisahny dlm RAPB atau dlm SBP (Sang Buddha Pelindungku) V

3347
Sutta Vinaya / Dewa angin, dewa matahari, dewa hujan???
« on: 06 March 2010, 10:29:22 PM »
Dalam kisah Sang Buddha mempertunjukkan kekuatan batinnya yang disebut Keajaiban Ganda (Mukjizat Kembar) di kebun mangga milik tukang kebun Ganda (Kanda menurut RAPB) di Savatthi yang terdapat dalam Dhammapada Atthakatha, terdapat kejadian bagaimana para pertapa ajaran lain "dihajar" habis-habisan oleh panas matahari, angin badai, dan hujan sbb:

Quote
Paviliun Tempat Para Penganut Pandangan Salah Rubuh dan Hancur Diterpa Angin Dewa

Sakka (Indira) memerintahkan dewa angin, “Tiuplah sampai rubuh paviliun para penganut pandangan salah itu hingga semua tonggaknya tercabut dan buanglah ke tempat sampah,” dewa angin melaksanakan sesuai perintah.

Sakka memerintahkan dewa matahari untuk memberikan panas yang luar biasa kepada para penganut pandangan salah dengan menurunkan istananya sedikit. Dewa matahari melakukan sesuai perintah.

Dewa angin diperintahkan lagi oleh Sakka untuk menciptakan angin badai yang menyerang hanya tempat para penganut pandangan salah. Ia melakukan sesuai perintah, dan akibatnya, mereka basah oleh keringat dan diselimuti oleh debu, dan mereka terlihat seperti gundukan bukit sarang semut merah.

Sakka kemudian memerintahkan dewa hujan untuk menurunkan hujan deras beserta hujan batu. Dewa hujan melakukan sesuai perintah, dan akibatnya mereka terlihat bagaikan sapi berbintik merah dan putih, di seluruh tubuh mereka.

Para penganut pandangan salah, dengan paviliun yang rusak dan tidak mungkin diperbaiki, tidak dapat bertahan dari panas dan serangan badai disertai hujan batu; mereka menjadi putus asa, dan mereka akhirnya melarikan diri tunggang langgang ke mana saja kaki mereka membawa.

atau versi terjemahan STI dalam "Sang Buddha Pelindungku":

Quote
Raja Sakka, Raja Para Dewa memerintahkan Dewa Awan Angin : "Cabut paviliun para pertapa dan lemparkan ke kolam penampungan limbah."

Dewa Awan Angin melaksanakan perintah Raja Sakka. Kemudian Raja Sakka memerintahkan Dewa Matahari : "Perhatikan lintasan matahari dan sengat mereka dengan panas matahari,"

Dewa Sakka kemudian memerintahkan kepada Dewa Awan Angin : "Siapkan kereta angin dan luncurkan."

Kejadian ini membuat tubuh para pertapa berkeringat dan Dewa Awan Angin menaburi mereka dengan hujan debu hingga mereka kelihatan seperti semut-semut merah. Dewa Sakka kemudian menyuruh Dewa Awan Angin : "Turunkan hujan lebat yang tak terhingga banyaknya."

Dewa Awan Angin melaksanakannya, sehingga para pertapa itu kelihatan seperti sapi-sapi kudisan. Dengan tanpa pakaian mereka terpontang-panting melarikan diri.

Intinya kedua versi ini sama, hanya berbeda terjemahan dan cara penuturan kisahnya. Namun jika diperhatikan baik-baik, maka akan ditemukan suatu ketidaksesuaian: Jika kejadian alam seperti jalannya matahari, terjadinya badai dan hujan diatur oleh hukum Utu Niyama dan tidak ada sosok makhluk pun apakah dewa atau brahma yang dapat mempengaruhi jalannya hukum tersebut, mengapa para dewa dalam kisah di atas bisa "menciptakan" terik matahari yang panas, angin kencang, badai, hujan deras dan hujan batu tersebut?

Apakah benar demikian (ada dewa tertentu yang mengatur cuaca dan iklim seperti dalam kisah Perjalanan ke Barat/Kera Sakti)? Atau ada yang "salah" dengan kisah ini (yang berasal dari kitab Komentar/Atthakatha terhadap Dhammapada)?

3348
Mahayana / Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
« on: 06 March 2010, 08:58:30 PM »
[at] bro Seniya,
Sebagai informasi tambahan, jejak mahayana sesungguhnya telah memperlihatkan wujudnya dalam berbagai teks Buddhisme awal. Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah Ekottaragama Sutra yang notabene merupakan teks Non-mahayana yang secara eksplisit menyebutkan bahwa ada sebuah Tanah Buddha di luar lokadhatu sini, Buddha yang hidup satu masa dengan Buddha Sakyamuni. Dalam teks Mahayana , ini sangatlah lumrah, namun menjadi menarik saat teks itu muncul di Ekottargama Sutra.
Tersebutlah bahwa Maha Maudgalyayana dengan kekuatan iddhi muncul di sebuah Tanah Buddha yg berjarak 7x jumlah tanah buddha sebanyak jumlah pasir sungai gangga, di sana terdapat seorang Buddha bernama QiGuang Rulai  atau Guangming Wang Rulai (Svarnaraja Buddha?).

Thx atas tambahan infonya. Bisa diberikan kutipan teks Ekottaragama yang dimaksud....?

3349
Kesehatan / Re: 12 jenis Penyimpangan Seksual
« on: 06 March 2010, 03:37:49 PM »
Numpang nanya: Apakah pernikahan Siddhattha Gotama dengan Yasodhara termasuk incest? Bukankah keduanya masih berhubungan darah dekat (Yasodhara adalah anak dari kakak ibunya Siddhattha/masih sepupu)?

3350
Mahayana / Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
« on: 06 March 2010, 03:28:44 PM »
Ini hasil terjemahan kutipan artikel kedua tentang Buddhaksetra (Tanah Buddha):

Quote
Gagasan tentang Tanah Buddha (Buddhaksetra)

Dari perspektif kosmologi Buddhis, ruang, seperti juga waktu, adalah tidak terbatas. Ruang yang tidak terbatas dipenuhi oleh tak terhingga alam semesta, sistem dunia, yang membentang ke 10 penjuru arah (4 arah mata angin, 4 arah di antaranya, arah atas dan bawah). Dalam ketidakterhinggaan ini beberapa alam semesta dikenal sebagai Tanah Buddha. Secara umum, istilah ini menunjuk pada sebuah wilayah, sebuah jagad raya, di mana seorang Buddha mengupayakan pengaruh spiritual-Nya.

Konsep Tanah Buddha, walaupun dianggap penting dalam pemikiran Mahayana, bukan khas Mahayana saja. Mahavastu, yang merupakan teks Lokottaravada, menunjukkan bahwa terdapat banyak sekali alam semesta atau sistem dunia yang tidak ada Buddha, karena para Buddha adalah sangat langka [kemunculannya], lebih jauh lagi, Mahavastu mencatat, tidak mungkin terdapat dua orang Buddha pada Tanah Buddha yang sama, karena ini mengimplikasikan bahwa seorang Buddha tidak dapat menjalankan tugas-Nya. Dan walaupun para Buddha sangat langka, tetapi pada keseluruhan alam semesta yang tidak terbatas terdapat tak terhingga Buddha dan tak terhingga Bodhisattva tingkat sepuluh yang akan menjadi Buddha. Ini membawa tak terhingga makhluk untuk mencapai pembebasan, tetapi tidak akan ada kemungkinan bahwa pada akhirnya semua akan terbebaskan dan tidak ada yang tersisa. Karena dengan tak terhingga makhluk, bahkan jika tak terhingga Buddha masing-masing membebaskan tak terhingga makhluk lainnya, akan masih terdapat tak terhingga makhluk yang tersisa (Mahavastu 1949–56: I, 96 ff.).

Manusia tinggal di dunia yang disebut Saha, yang dikatakan berada di selatan, di mana Buddha masa sekarang adalah Sakyamuni.[15] Gagasan Tanah Buddha mungkin muncul dari anggapan tentang pengetahuan Sakyamuni pada satu pihak, jangkauan perhatian-Nya, dan kemampuan dan pengaruh Beliau pada yang lain – medan aktivitas-Nya.[16]. Pengetahuan Sang Buddha (dan dari pandangan Mahayana, welas asih Beliau) sering dipandang tidak terbatas dalam Mahayana, walaupun kemampuan spiritual Beliau secara langsung menjangkau sebuah wilayah yang sangat luas namun terbatas, Tanah Buddha-Nya dalam pengertian pokok, wilayah pada pusat di mana Sang Buddha muncul.

Fungsi utama seorang Buddha adalah untuk mengajar para makhluk dalam Tanah Buddha-Nya. Namun Tanah Buddha dalam pengertian pokok ini bukan hanya sebuah tempat di mana Buddha kebetulan muncul. Alih-alih, selama karir-Nya sebagai seorang Bodhisattva sang calon Buddha dikatakan ‘memurnikan’ Tanah Buddha-Nya, dan Tanah Buddha dalam beberapa pengertian adalah hasil dari mahakaruna-Nya (Fujita 1996a: 34-5). Dengan kata lain, kemunculan Tanah Buddha bergantung pada karir mengagumkan Buddha tersebut sebagai Bodhisattva. Perbuatan tak terbatas Buddha dalam kebijaksanaan dan cinta kasih telah menghasilkan Tanah Buddha sebagai wilayah di mana ia dapat “mematangkan” para makhluk. Para makhluk sendiri juga berkontribusi, karena ini adalah tempat di mana mereka terlahir melalui perbuatan mereka, sebagai makhluk yang secara potensial dapat dimatangkan. Lebih lanjut lagi, seorang Bodhisattva dapat dengan sendirinya dilahirkan dalam Tanah Buddha dari seorang Buddha, di hadapan Buddha tersebut, atau berjalan ke sana melalui meditasi. Tanah Buddha secara lebih tepat adalah tempat di mana kondisi-kondisi sangat menguntungkan untuk kemajuan spiritual Bodhisattva. Dengan demikian Tanah Buddha merupakan tempat di mana Bodhisattva dapat menjumpai seorang Buddha dan menjalankan karirnya, dan juga tujuan perjuangan seorang Bodhisattva, Tanah Buddha-Nya sendiri yang dimurnikan untuk para makhluk melalui usahanya sendiri (Rowell 1935: 385 ff., 406 ff.). Dan dari tempat-Nya dalam dunia-Nya sebuah teks memberitahukan kita bahwa tiga kali sehari dan tiga kali semalam, Buddha mengamati Tanah Buddha-Nya untuk melihat siapakah yang dapat secara moral dan spiritual ditolong (Lamotte 1962: 396–7).

Jadi Bodhisattva memurnikan Tanah Buddha-Nya dan dunia di mana Buddha mengupayakan aktivitas-Nya merupakan hasil pemurnian perbuatan-Nya sebagai Bodhisattva. Ini menimbulkan sebuah masalah. Disetujui dalam semua kasus bahwa dunia Saha milik Sakyamuni bukan tempat yang murni.[17] Dunia ini sesungguhnya Tanah Buddha yang tidak murni sepenuhnya. Beberapa teks Mahayana mengatakan tiga jenis Tanah Buddha: murni, tidak murni, dan campuran. Sebagai contoh, dalam Tanah Buddha yang tidak murni terdapat non-Buddhis, makhluk-makhluk yang sangat menderita, perbedaan keturunan [suku bangsa] dll, makhluk-makhluk tidak bermoral, alam-alam rendah seperti neraka, perilaku yang buruk, dan Wahana Kecil (tradisi Buddhis awal), dsb. Para Bodhisattva yang berperilaku baik, dan kemunculan sejati seorang Buddha, adalah jarang.[18] Kenyataannya dunia Sakyamuni ini sangat suram bagi pengikut Mahayana yang taat. Tanah Buddha yang murni, pada sisi lain, seperti Sukhavati milik Amitayus, digambarkan seperti ini:
“dihiasi dengan indah, tidak ada kekotoran atau kejahatan, tidak ada kerikil atau bebatuan, tidak ada semak berduri, tidak ada kotoran atau ketidakmurnian lainnya. Tanahnya datar dan rata, tanpa dataran tinggi atau rendah, tidak ada lembah atau celah. Terdapat permata vairerya [‘beryl’ menurut Paul Harrison] pada tanahnya, dan pepohonan permata yang berbaris. Dengan pita yang terbuat dari emas jalannya dibatasi. Di mana-mana selalu bersih dan murni, dengan bunga-bunga permata tertaburan.” (Sutra Teratai, dalam Hurvitz 1976: 120)

Tanah Buddha yang murni demikian – di Asia Timur disebut ‘Tanah Murni’ – memiliki seorang Buddha yang hidup selama waktu yang sangat lama (mungkin untuk selamanya), yang tidak meninggalkan para pengikutnya, seperti Sakyamuni yang kelihatannya hanya melakukannya selama 40 tahun atau lebih. Terdapat banyak Bodhisattva di dunia tersebut, dan Mara yang jahat, dan para pengikutnya tidak dapat melakukan ulahnya. Jelasnya Tanah Murni demikian adalah tempat yang mengagumkan untuk mengembangkan jalan menuju pencerahan, sedangkan dunia Saha kita, khususnya sejak wafatnya Sang Guru, tidak lagi sangat baik. Karena terdapat tak terhingga Tanah Buddha dan oleh sebabnya juga ada tak terhingga Tanah Murni pada saat ini di seluruh penjuru 10 arah mata angin, pastinya tugas segera yang dikesampingkan adalah untuk mengunjungi Tanah-Tanah Murni ini jika semuanya memungkinkan dan akhirnya terlahir di sana.

Agama Buddha awal telah mengajarkan bahwa kebajikan membawa pada kelahiran di surga setelah kematian, tetapi semua surga adalah samsara, tidak kekal dan diliputi dengan kekecewaan dan penderitaan. Sebuah Tanah Murni secara tegas bukan, dalam istilah Buddhis, sebuah surga (svarga).[19] Alih-alih, seseorang seharusnya menjalankan meditasi yang benar (yaitu Buddhanusmrti) dan dengan terampil mengarahkan buah perbuatan baik, jasa kebajikan, untuk terlahir bukan di surga tetapi pada Tanah Murni yang dipilih. Sementara tentunya tidak mudah untuk dapat sampai di Tanah Murni, berada dalam Tanah Murni karena dengan kehadiran seorang Buddha dan ajaran-Nya seseorang dapat dengan relatif mudah untuk mencapai Nirvana, atau mengembangkan jalan menuju Kebuddhaan, seperti yang kita ketahui dari kisah orang-orang yang dapat melakukan demikian di India pada zaman Sakyamuni. Sesungguhnya, mencapai Nirvana di Tanah Murni lebih mudah daripada hal yang sama di India pada masa Sakyamuni, karena Tanah Murni lebih kondusif untuk menjalankan Dharma dibandingkan dengan India yang tidak murni saat itu dan sekarang. Dengan demikian, tidak seperti surga, dari Tanah Murni tidak terdapat kebutuhan untuk mengatasi kelahiran di samsara yang tidak terkendali.

Ini sangat logis dan sangat konsisten dengan perkembangan pemikiran Buddhis. Dunia saat ini setelah wafatnya seorang Buddha adalah tempat yang sulit dimana seseorang mencapai pencerahan. Namun demikian, pada tidak terhingga alam semesta masih terdapat para Buddha, bahkan mungkin Sakyamuni sendiri. Adalah memungkinkan untuk melihat Mereka dalam meditasi, dan mendengar ajaran Mereka yang mengagumkan. Dengan demikian tidak ada yang mencegah seseorang untuk terlahir di hadapan para Buddha tersebut. Akibatnya, pencarian Nirvana, atau mungkin Kebuddhaan yang sempurna, membutuhkan dalam kebanyakan kasus tujuan untuk segera terlahir di Tanah Murni di hadapan seorang Buddha. Dalam memastikan seseorang akan terlahir di sebuah Tanah Murni setelah kematian, praktisi saat ini dan di sini menjadi seorang ‘yang tidak kembali lagi’ (anagamin), seseorang yang tidak akan terlahir kembali ke dunia ini, tetapi akan mencapai pencerahan segera, mungkin dalam kehidupan berikutnya.[20] Ini sesungguhnya adalah tahap yang lebih maju dalam praktek Buddhis, lebih maju daripada kebanyakan orang yang secara normal mengharapkan untuk mencapai hal tersebut di bawah kondisi-kondisi saat ini di dunia ini karena saat ini Buddha sudah wafat.

Tetapi di mana ini menyisakan tempat untuk Sakyamuni yang malang? Tanah Buddha Beliau tidak murni, oleh sebabnya Sakyamuni dan aktivitas pemurnian-Nya sebagai seorang Bodhisattva jelas sekali tidak efektif. Mengutip dari pernyataan Sariputra dalam Vimalakirtinirdesa Sutra:
“Jika Tanah Buddha murni hanya karena tingkat pikiran dari para Bodhisattva yang murni, maka ketika Buddha Sakyamuni menjalankan karir Bodhisattva, pikiran-Nya pasti tidak murni. Kalau tidak, bagaimana mungkin Tanah Buddha ini sangat tidak murni?”

Lebih jauh lagi, Sakyamuni sekarang sudah wafat, sementara masih banyak makhluk di sini di dunia ini yang harus diselamatkan. Oleh sebab itu, mahakaruna Beliau pasti tidak sempurna.

Terdapat sejumlah cara di mana seseorang dapat menjawab pertanyaan ini. Pertama, seseorang dapat dengan mudah mengatakan bahwa semua Buddha kenyataannya identik. Sakyamuni telah muncul untuk menolong para makhluk pada waktu dan tempat tertentu. Walaupun Beliau telah wafat, masih ada banyak Buddha lainnya, dan juga Tanah Murni di luar sana. Para Buddha ini sedang melanjutkan menolong para makhluk di dunia Saha ini. Seseorang dapat menggabungkan jawaban ini dengan konsep tubuh Buddha [Trikaya], Sakyamuni merupakan Tubuh Perubahan [Nirmalakaya], sebuah perwujudan dari Buddha lain, yang berdiam di Tanah Buddha yang murni, masih aktif dalam semua cara demi kepentingan semua makhluk di dunia ini. Dengan kata lain, Tanah Buddha yang tidak murni bukan Tanah Buddha yang utama, tetapi merupakan upaya kausalya seorang Buddha yang tentunya, sebagai seorang Buddha, sesungguhnya memiliki Tanah Buddha yang murni. Kemungkinan Buddha di luar dunia ini tak lain adalah Sakyamuni sendiri (seperti dalam Sutra Teratai).

Strategi lain adalah melihat Tanah Buddha sebagai jangkauan aktivitas seorang Buddha, tetapi tidak mesti dimurnikan melalui aktivitas-Nya yang sebelumnya. Karena Beliau berbelas kasih, seorang Buddha membuat Tanah Buddha-Nya sebagai tempat yang paling sesuai untuk para makhluk tertentu yang akan ditolong. Strategi ini dipakai dalam Karunapundarika Sutra, sebuah sutra yang bertujuan memulihkan Sakyamuni kembali ke keunggulan dalam menghadapi kultus Tanah Murni yang dipusatkan pada Amitayus dan Aksobhya. Para Buddha lainnya mengajar para makhluk yang dapat sampai di Tanah Buddha mereka. Namun yang teragung di antara para Bodhisattva, Bodhisattva yang sejati, berikrar untuk muncul sebagai seorang Buddha di dunia yang tidak murni, Tanah Buddha yang bernoda, semata-mata karena mahakaruna-Nya (Yamada 1968: I, 78). Kenyataan bahwa Sakyamuni muncul di dunia Saha, tempat yang tidak menguntungkan, menunjukkan mahakaruna Beliau yang luar biasa.

Namun pemecahan atas dilema Sariputra [di atas] yang paling umum dan paling penting dalam Buddhisme di Asia Timur diberikan oleh Vimalakirtinirdesa itu sendiri. Tanah Buddha yang tidak murni ini sesungguhnya Tanah Murni. Ia hanya kelihatannya tidak murni karena pikiran para makhluk yang berdiam di dalamnya. Jika terdapat gunung di dunia ini, dan semuanya rata di Tanah Murni, itu karena terdapat gunung dalam pikiran. Sakyamuni bukan Buddha yang tidak sempurna. Bagi Beliau semuanya adalah murni. Ketidakmurnian yang kita lihat adalah hasil kesadaran yang tidak murni, dan juga belas kasih Buddha dalam membuat sebuah dunia yang di dalamnya para makhluk yang tidak murni dapat berkembang (Thurman 1976: 18–19; cf. Rowell 1937: 142 ff.). Dengan demikian jalan sejati untuk mencapai Tanah Murni adalah dengan memurnikan pikiran kita. Dengan kata lain, kita telah berada dalam Tanah Murni jika kita mengetahuinya. Apa pun dunianya, jika ia dihuni oleh orang-orang dengan pikiran murni yang tercerahkan maka itulah Tanah Murni. Ini sangat mirip dengan konsep sifat Kebuddhaan/Tathagatagarbha bahwa kita sudah menjadi Buddha yang telah mencapai pencerahan sempurna jika kita menyadari kenyataannya, dan ini bukan hanya langkah [mencapai pencerahan] singkat dari gagasan Chan (Zen) bahwa Tanah Murni sesungguhnya hanya pikiran yang tenang, jernih, cerah, dan murni. Oleh sebab itu, Tanah Murni sesungguhnya bukan ‘kediaman surgawi’ namun di-demitologi-kan sebagai pencerahan itu sendiri.[21]

Catatan:
15. Untuk perkenalan yang baik pada kosmologi Buddhis awal, lihat Gethin 1998: Ch. 5. Untuk beberapa diagram, lihat juga Gómez 1996: 257–60.
16. Lihat Rowell, 1935: esp. 379–81; 1937. Untuk studi yang lebih baru, lihat Fujita 1996a. Paul Harisson telah menarik perhatian saya pada anjuran yang masuk akal dalam Davidson 2002: 132-3 bahwa ksetra ‘tanah’ [secara harfiah ‘ladang’ dalam bahasa Pali ‘kheta’ (seperti dalam Sanghanussati ‘punnakkhetam’)] mungkin berhubungan dengan gagasan politis sebuah ‘domain’ kerajaan. Jika demikian, maka Buddhaksetra akan lebih baik diterjemahkan sebagai ‘Domain Buddha’.
17. Kemurnian, secara kebetulan, merupakan gagasan kultural yang penting di India, yang meliputi masyarakat India (brahmanis) dan yang paling pokok, sebagai contoh, pembedaan kasta. Semakin murni seseorang semakin tinggi status religiusnya. Turunannya, semakin murni lingkungan mereka semakin lebih mereka mempertahankan status religiusnya.
18. Samdhinirmocana Sutra, dalam Lamotte 1962: 397. Tetapi dicatat bahwa model awal Tanah Murni Aksobhya Abhirati juga ditemukan dalam praktisi non-Mahayana. Sesungguhnya, dalam banyak hal model awal Abhirati tidak selalu cocok dengan pandangan Mahayana yang telah berkembang tentang Tanah Murni.
19. Lihat Ducor 2004: 380–1. Tentang kesamaan dan perbedaan antara Sukhavati dengan surga, dalam pandangan pemahaman orang Jepang terhadap Tanah Murni Amitabha sebagai ‘dunia dari dimensi lain’, kenyataannya adalah pencerahan itu sendiri, lihat Fujita 1996a: 44–8, cf. Fujita 1996b: 26.
20. Tentang ‘buah dan jalannya’ ini dalam Buddhisme awal, lihat Gethin 1998: 194.
21. Mungkin saya juga harus menyebutkan di sini model lain dari Tanah Murni yang berkaitan dengan hal ini ditemukan dalam, misalnya, tradisi Nichiren, dan populer di antara para aktivis sosial Buddhis modern. Seperti yang kita lihat pada akhir bab pada Sutra Teratai, terdapat pernyataan bahwa pada beberapa lama di masa yang akan datang, ketika cukup banyak orang menjalankan Dharma sejati (atau saat, melalui aksi yang diinspirasi umat Buddhis, situasi politik dan sosial membaik), pada waktu itu dunia ini akan menjadi Tanah Murni. Tanah Murni di sini bukan pikiran murni seperti yang demikian, atau dunia yang dilihat oleh pikiran yang murni. Alih-alih, ia adalah masyarakat yang tertata dengan baik yang dihasilkan dari aktivitas mereka yang berpikiran murni (yaitu umat Buddhis yang pikiran benar). Pandangan Tanah Murni ini juga berhubungan dengan milenarianisme Buddhis (lihat Overmyer 1976: 157).

Semoga bermanfaat.

3351

Tanya:
Jika menyerang orangnya dan juga menjawab isinya, apakah ini termasuk Ad Hominem ?

 _/\_

Sebaiknya kita dalam berdiskusi tidak menyinggung perasaan orang lain apakah dengan isu SARA maupun menyerang kepribadiannya yang mungkin tidak baik.....

3352
Kelihatannya menarik utk dibuka kelad BERDEBAT....
dgn drilllll22222 masing2 point gitu?.

sehingga 21 point dpt dimengerti dan dipraktekan.

gimana? kapan kelasnya dimulai ?

Jangan di sini buka kelas debatnya, bro, tapi lebih baik di forum lain aja yang khusus untuk itu, forum ini bukan untuk debat kusir seperti itu.....

3353
 [at] riky_dave:
Cth ttg diskusi yg buntu d atas bs saja dtarik kemungkinan salah satu dr kesimpulan2 berikut:
1. Rujukan A benar & rujukan B salah.
2. Rujukan A salah & rujukan B benar.
3. Rujukan A benar jk kondisi tertentu terpenuhi & rujukan B benar jk kondisi lain terpenuhi.
4. Rujukan A & B keduany salah. Oleh karenany,dberikan kesimpulan ttg jwbn atau kemungkinan jwbn yg lbh tepat.

D sini peran moderator sangat penting agar dpt mencapai kesimpulan yg benar & diskusi tdk menjd buntut. Oleh krn itu,seorg moderator hrs berpengetahuan luas, menguasai topik yg didiskusikan & bersikap sbg penengah yg tdk memihak pd salah satu peserta diskusi.

3354
Quote
by johan 3000
thanks bro seniya atas posting yg menarik...

kalau begitu gw minta

TAKTIK BERSIH memenangkan diskusi....

Iya ya...penasaran juga gue he...he :-?

Saya pikir dalam diskusi tidak bertujuan untuk melihat siapa yang benar (yang menang) dan siapa yang salah (kalaH), melainkan untuk membahas suatu topik dari berbagai sudut pandang para peserta dan memperoleh suatu kesimpulan yang dapat diterima bersama. Oleh sebab itu, diskusi bukan debat yang harus dimenangkan.

Dalam diskusi bisa saja pendapat/pandangan kita ternyata tidak sesuai dengan kesimpulan yang dicapai, oleh sebabnya jika demikian halnya kita harus menerima kenyataan demikian dengan lapang dada dan menghormati perbedaan tersebut tanpa emosi.

3355
Mahayana / Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
« on: 04 March 2010, 09:23:03 PM »
[at] Seniya

Bro Seniya yang baik,agar diskusi ini lancar dan saya bisa memahami Mahayana sebagai 1 rumpun dengan Theravada yang sama2 menyakini Buddha Gotama sebagai guru manussa dan deva,maka saya memohon agar Bro Seniya berkenan mentranslate kata bahasa inggris yang ada diartikel tersebut kedalam bahasa Indonesia..

Anumodana _/\_

Ini terjemahannya dalam bahasa Indonesia (beberapa istilah diterjemahkan secara bebas):

Quote
Buddhanusmrti – perenungan terhadap Buddha

Sutta Nipata dari Kanon Pali umumnya dianggap oleh para ahli sebagai teks Buddhis tertua yang masih ada. Pada akhir Sutta Nipata, pada bagian yang juga dianggap sebagai tingkatan paling tua dari teks tersebut terdapat bagian yang sangat mengharukan dan, saya pikir, percakapan yang penting. Seorang brahmin bernama Pingiya ‘sang bijaksana’ memuliakan Sang Buddha dalam kata-kata yang tulus:

“Mereka menyebutnya Buddha, Yang Tercerahkan, Yang Telah Sadar, yang melenyapkan kegelapan, dengan pandangan menyeluruh, dan mengetahui dunia ini sampai akhirnya.... Orang ini... adalah sosok yang aku ikuti.... Pangeran ini, secercah cahaya ini, Gotama, adalah satu-satunya yang melenyapkan kegelapan. Orang ini Gotama adalah semesta kebijaksanaan dan dunia pemahaman.”[1]

Pingiya ditanya mengapa ia tidak menghabiskan waktunya dengan Sang Buddha, guru yang mengagumkan tersebut? Pingiya menjawab bahwa ia sendiri sudah tua, ia tidak dapat mengikuti Buddha secara fisik, karena ‘tubuhku sedang melapuk’. Namun:

“tidak ada waktu sedikit pun bagiku yang dihabiskan jauh dari Gotama, dari semesta kebijaksanaan ini, dunia pemahaman ini... dengan kewaspadaan yang terus-menerus dan hati-hati, adalah memungkinkan bagiku untuk melihat-Nya dengan pikiranku sejernih [melihat dengan] mataku, siang dan malam. Dan karena aku menghabiskan malamku dengan menghormati Beliau, tidak ada, dalam pikiranku, sesaat pun jauh dari-Nya.”

Dalam percakapan yang luar biasa dan kuno ini Pingiya menunjukkan bahwa adalah memungkinkan melalui perhatiannya, melalui pemusatan pikirannya, agar ia terus-menerus berada di hadapan Sang Buddha dan terus-menerus menghormati Beliau. Pada akhir [teks ini], Sang Buddha sendiri menyatakan bahwa Pingiya juga akan menuju ‘pantai yang lain’ dari Pencerahan.

Penafsiran percakapan ini mungkin sulit. Seseorang pastinya tidak akan menganggap bahwa kita di sini memiliki sistem keyakinan yang sudah baku. Walaupun demikian, pujian Pingiya terhadap Sang Buddha dan penghormatannya agar dapat melihat Beliau dalam pikirannya tampaknya berhubungan dengan praktek buddhanusmrti, perenungan terhadap Buddha, sebuah praktek yang telah diketahui dari konteks lain dalam Kanon Pali dan dijalankan, sejauh yang dapat kita katakan, semua aliran Buddhisme.

Berdasarkan komentator Theravada Buddhaghosa, seorang meditator yang ingin menjalankan perenungan terhadap Buddha harus pergi ke tempat yang cocok guna mengasingkan diri:
“dan merenungkan sifat-sifat khas dari Sang Buddha... sebagai berikut: ‘Demikianlah Sang Bhagava yang adalah yang telah menyelesaikan, tercerahkan sepenuhnya, memiliki pandangan (yang jernih) dan tindak tanduk (yang baik), mulia, pengenal dunia, pemimpin yang tak tertandingi dari para manusia yang dijinakkan, guru para manusia dan dewa, yang telah mencapai pencerahan dan yang dirahmati’.”[2]

Sang meditator merenungkan sifat-sifat Sang Buddha secara teratur dan terperinci. Di antara hasil dari meditasi yang demikian adalah bahwa, dalam kata-kata Buddhaghosa, sang meditator:
Mencapai sepenuhnya keyakinan, perhatian, pengertian dan kebajikan.... Ia menaklukan rasa takut dan kengerian.... Ia merasa seakan-akan ia tinggal dalam kehadiran Sang Guru. Dan tubuhnya... menjadi layak dihormati seperti ruang pemujaan. Pikirannya cenderung menuju pada kediaman para Buddha.[3]

Jika tergoda untuk melakukan perbuatan salah, sang meditator merasa sangat malu seakan-akan ia berhadapan langsung dengan Buddha. Bahkan jika perkembangan batinnya berhenti pada titik ini, ia akan maju menuju ‘tujuan bahagia’.

Tiga poin yang patut dicatat di sini. Pertama, terdapat hubungan antara buddhanusmrti dengan pencapaian taraf [spiritual] yang lebih tinggi, sebuah tujuan yang bahagia, atau ‘kediaman para Buddha’. Kedua, melalui perenungan terhadap Buddha seseorang menjadi bebas dari rasa takut. Kita mengetahui bahwa dari sumber sutra Sanskerta bahwa buddhanusmrti dianjurkan terutama sebagai penangkal rasa takut. Takut, dan keinginan untuk melihat Buddha, di sini saya pikir, adalah perasaan yang penting selama berabad-abad, bahkan berdekade-dekade, setelah wafatnya Sang Buddha. Gandavyuha Sutra mengatakan untuk banyak umat Buddha ketika ia menyatakan:

 “Adalah sulit, bahkan dalam waktu ratusan koti kalpa, untuk mendengar seorang Buddha mengajar;
Betapa semakin banyak melihat-Nya, penampakan-Nya menjadi penghapus utama semua keraguan....
Lebih baik terbakar selama berkoti kalpa dalam tiga keadaan yang menderita, walaupun mereka sangat mengerikan,
Daripada tidak melihat Sang Guru....
Lenyaplah semua penderitaan ketika seseorang telah melihat Sang Jina, Penguasa Dunia,
Dan menjadi mungkin untuk mencapai pengetahuan mendalam, dunia para Buddha yang tertinggi.”

Dan ketiga, melalui perenungan terhadapa Buddha, Buddhaghosa mengatakan, sang meditator akan merasa seakan-akan ia tinggal dalam hadapan Sang Buddha sendiri – sedemikian sehingga, bahwa rasa malu akan mencegahnya dari perbuatan jahat.[4]

Terdapat sebuah teks yang terdapat pada Ekottaragama milik Buddhisme awal, bagian dari kitab suci yang bertahan dalam terjemahan bahasa Cina, di mana diberikan sebuah kisah yang lebih rinci tentang perenungan terhadap Buddha daripada yang ditemukan dalam Kanon Pali. Dalam sutra ini, perenungan terhadap Buddha dikatakan membawa pada kekuatan batin dan bahkan pada Nirvana itu sendiri. Dalam ajaran Mahayana tentang para Buddha dan Bodhisattva yang tak terhingga banyaknya yang mendiami tak terhingga Tanah Buddha dari 10 arah mata angin (sebuah ajaran yang mungkin dipengaruhi oleh pengalaman buddhanusmrti), praktek perenungan terhadap Buddha mendapatkan kedudukan yang jauh lebih penting sebagai cara untuk berhubungan dengan para Buddha dan kediaman mereka. Saptasatika Prajnaparamita menjelaskan ‘Samadhi Perbuatan Tunggal’ di mana seseorang bisa dengan cepat mencapai pencerahan sempurna. Sang meditator:

“harus tinggal dalam kesunyian, membuang pikiran yang mengganggu, tidak melekat pada benda-benda, memusatkan pikiran mereka pada seorang Buddha, dan membaca nama-Nya denga tulus. Mereka harus menjaga tubuh mereka tetap tegak dan, dengan menghadap pada arah dari Buddha tersebut, bermeditasi terhadap-Nya secara terus-menerus. Jika mereka dapat menjaga perhatian terhadap Buddha tersebut tanpa henti dari waktu ke waktu, maka mereka akan dapat melihat semua Buddha dari masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang setiap waktu.”[5]

Pratyutpanna Sutra

Pratyutpanna Sutra pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Cina oleh Lokaksema mungkin sekitar tahun 179 M. Ini membuat ia salah satu terjemahan tertua sutra Buddhis ke dalam bahasa Cina. Ia berisi referensi literatur tertua yang dapat diidentifikasi datanya tentang Amitayus (= Amitabha) dan Tanah Buddha-Nya, Tanah Murni, di timur.[6] Di antara banyak ciri khas yang menarik dan tidak biasa dari sutra tertua ini adalah detail yang menggambarkan dan mendiskusikan pratyutpanna samadhi, yang tampaknya menjadi pesan penting sutra ini.

Dasar untuk menjalankan pratyutpanna samadhi adalah sila yang ketat. Seorang praktisi, umat awam atau viharawan, laki-laki atau perempuan, diminta untuk memenuhi sepenuhnya pelatihan sila sebelum memasuki pengasingan diri. Meditator kemudian mengasingkan diri di sebuah tempat terpencil dan menghadap ke arah di mana Buddha Amitayus berdiam. Ia memusatkan pikiran pada Buddha tersebut, dengan menghadap pada arah yang benar. Meditator melakukan apa yang telah kita bahas sebelumnya dalam praktek buddhanusmrti. Praktisi merenungkan Buddha tersebut langsung di hadapan:

“Para Bodhisattva harus memusatkan pikiran pada Sang Tathagata tersebut... yang sedang duduk di tahta Buddha dan mengajarkan Dharma. Mereka harus berkonsentrasi pada para Tathagata yang diberkahi dengan semua sifat yang mulia, gagah, menarik, menyenangkan untuk diperhatikan, dan dikaruniai dengan kesempurnaan tubuh [dst].”[7]

Selain itu kemulian tubuh dan kemampuan seorang Buddha dicatat dan direnungkan. Lebih jauh lagi, sang meditator diajarkan untuk tidak membiarkan timbulnya gagasan “diri” dalam cara apa pun selama tiga bulan, atau pun dikalahkan oleh ‘kemalasan dan kelambanan’ (yaitu tertidur), atau duduk ‘kecuali untuk buang air’ selama tiga bulan. Mereka harus berkonsentrasi pada Amitayus selama satu hari satu malam, atau selama dua, tiga, empat, lima, enam, atau tujuh hari tujuh malam, sehingga, ketika telah terlewati penuh tujuh hari tujuh malam, mereka melihat:

“Yang Dimuliakan Tathagata Amitayus. Jika mereka tidak melihat Buddha tersebut selama siang hari, maka Sang Buddha tersebut... akan mempelihatkan wajah-Nya kepada mereka dalam mimpi ketika mereka tidur.”

Dan setelah melihat Buddha tersebut, meditator dapat menghormati Beliau dan menerima ajaran [dari Beliau]. Penglihatan atas Buddha ini bukan dengan ‘mata dewa’, [karena] ia bukan hasil dari kekuatan batin. Meditator tidak perlu mengembangkan berbagai kemampuan supernormal seperti mata dewa yang, seperti yang kita bahas dalam bab sebelumnya, hanya dapat dikembangkan pada tingkat Bodhisattva ketiga [dari Dasabhumi atau 10 tingkat Bodhisattva dalam Mahayana], dan dipikirkan dalam teks lain sebagai alat di mana seseorang dapat melihat para Buddha dari 10 penjuru arah. Para Buddha yang dilihat dalam pratyutpanna samadhi dikatakan dapat dipahami dengan perumpamaan mimpi. Ini memungkinkan karena semua [fenomena] adalah kosong dari wujud yang hakiki, dan oleh sebab itu semuanya hanya [produk] pikiran [Mind Only = Hanya Pikiran, sebuah ajaran dalam Mahayana bahwa semua fenomena yang kita rasakan, amati hanyalah berasal dari pikiran kita].

Catatan:
1. Terjemahan oleh Saddhatissa 1985: vv. 1133, 1136. Cf. terjemahan oleh Norman (Sutta Nipata
1984).
2. Visuddhimagga 7: 2, dalam Buddhaghosa 1975, mengutip dari rumusan standar yang ditemukan dalam Kanon Pali [Buddhanussati]. Harrison 1992a: 228–31 berpendapat bahwa anusmrti [anussati] lebih baik diterjemahkan sebagai ‘commemoration’ (peringatan) daripada ‘recollection’ (perenungan).
3. Buddhaghosa 1975: 230. Cf. Harrison 1992a: 218.
4.Patut dicatat tentang ungkapan ‘tujuan bahagia’ dan juga ‘kediamana para Buddha’. Apa, atau, di mana, kediaman para Buddha? Seperti yang akan kita lihat, ‘Tanah Murni’ yang paling terkenal di mana dalam ajaran Mahayana seorang Buddha saat ini berdiam mengajar Dharma disebut Sukhavati, secara harfiah ‘Tempat Bahagia’. Di sanalah seseorang dapat tinggal dalam hadapan para Buddha, bebas dari rasa takut.
5. Terjemahan dalam Chang 1983: 110. Dari bahasa Cina. Cf. terjemahan oleh Conze 1973b: 101.
6. Ungkapan aktual ‘Tanah Murni’ diterjemahkan dalam bahasa Cina jingtu (ching-t’u; bahasa Jepang: jodo), dan ini tampaknya tercipta di Cina.
7. Perhatikan bahwa para Buddha adalah jamak; Amitayus di sini diberikan hanya sebagai contoh. Terjemahan dalam Harrison 1990: 68. Lihat juga Harrison 1978.

Di sini saja dulu kutipan kedua akan menyusul kemudian......

3356
Seremonial / Re: Happy Birthday! Fabian Chandra
« on: 04 March 2010, 12:49:30 PM »
Ini Fabian yg buat artikel ttg Kosmologi Buddhis d DC y? Kebetulan saya yg tertarik dg hal2 astronomi sangat suka dg buku tsb.

Terlepas dr apakah org ny atau bkn, saya jg ingin mengucap met ultah buat sdr. Fabian....

3357
Diskusi Umum / Taktik Kotor dengan Metode Pembodohan Logika [copas]
« on: 03 March 2010, 10:03:05 PM »
Ini saya peroleh dari forum tetangga tentang berbagai metode debat yang "kotor" untuk menjatuhkan lawan yang penulisnya tidak diketahui:

Quote
Untuk yg sdg belajar berdiskusi, boleh jadi pedoman, spy kita bisa berdiskusi dgn baik

****************************
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman berdiskusi dengan berbagai macam,
maka
saya dapat mengetahui adanya taktik-taktik kotor dengan metode
pemutarbalikan logika yang sangat mendasar.
Sasaran mereka adalah jelas, yaitu orang-orang yang gullible ( mudah
dipengaruhi ).
Ciri khasnya adalah mempunyai daya kritis lemah dan mudah
ditakut-takuti.

Dirty Tactics in Discussion : Taktik Kotor dengan Metode Pembodohan
Logika :

1. Ad Hominem :
Menyerang orangnya bukan menjawab isinya.
Ketika seorang arguer tidak dapat mempertahankan posisinya dengan
evidence /
fakta / reason, maka mereka mulai mengkritik sisi kepribadian lawannya.

2. Appeal to Ignorance ( Argumentum ex silentio ) :
Menganggap suatu ketidaktahuan sebagai fakta atas sesuatu.
Misalnya : Kita tidak memiliki bukti bahwa tidak ada kecurangan, maka
berarti ada kecurangan.
Padahal, ketiada-tahuan akan sesuatu hal tidak menyatakan bahwa sesuatu
itu
ada ataupun tidak ada.

3. Appeal to Belief :
Bila anda tidak memiliki kepercayaan, maka anda tidak akan mengerti.
Bila seorang pendebat berdasarkan pada kepercayaan sebagai dasar dari
argumennya, maka tiada lagi yang dapat dibicarakan dalam diskusi.
Itu namanya bukan diskusi, tapi pemaksaan kepercayaan.

4. Argument from Authority ( Argumentum ad verecundiam ) :
Menggunakan kata-kata "para ahli" atau membawa-bawa otoritas sebagai
dasar
dari argumen instead of menggunakan logic dan fakta untuk men-support
argumen itu.
Misalnya : Profesor Anu mengatakan bahwa creation-science adalah betul.
Sesuatu tidak lantas menjadi benar hanya karena suatu otoritas
mengatakan
sesuatu hal.
Bila pendebat memberikan testimoni dari seorang ahli, lihat apakah
dilengkapi dengan alasan yang logis dan masuk akal, serta hati-hati
terhadap
keotentikan sumber dan evidence di belakangnya.

5. Argument from Adverse Consequences :
Hanya karena suatu peristiwa terjadi, tidak menyatakan sesuatu mengenai
eksitensi maupun non-eksistensi dari sesuatu.
Ataupun tidak menyatakan suatu keharusan untuk mempercayai sesuatu.

5. Menakut-nakuti ( Argumentum ad Baculum ) :
Argumen yang didasarkan pada tekanan atau rasa takut
Misalnya : Saya telah diberi kuasa oleh Negara, bila Anda tidak percaya
kepada saya, maka Anda akan masuk Daftar Orang Tercela.

6. Argumentum ad Ignorantiam :
Argumen yang mempelesetkan ketidaktahuan seseorang.
Misalnya : Pernyataan bahwa saya pasti betul karena tidak ada yang
pernah
membuktikan salah.

8. Argumentum ad populum :
Argumen yang digunakan untuk mendapatkan popularitas dengan menggunakan
issue-issue yang sentimental daripada menggunakan fakta atau alasan.

9. Bandwagon Fallacy :
Menyimpulkan suatu idea adalah benar hanya karena banyak orang
mempercayainya demikian.
Hanya karena sekian banyak orang mempercayai sesuatu tidaklah
membuktikan
atau menyatakan fakta mengenai sesuatu.

10. Begging the question :
Mengantisipasi jawaban.

11. Circular Reasoning
Makhluk Adi Kuasa ada karena Kitab Suci menyatakan demikian.
Kitab Suci diwahyukan oleh Tuhan.

12. Confusion of Correlation and Causation :
Misalnya : Anak yang menonton acara kekerasan di TV cenderung untuk
menjadi
ganas ketika ia dewasa.
Tetapi apakah program di TV itu menyebabkan kekerasan ataukah anak-anak
yang
berbakat ganas cenderung menonton acara kekerasan di TV ???

13. Half Truths :
Suatu pernyataan yang biasanya ditujukan untuk menipu seseorang dengan
menyembunyikan sebagian fakta / kebenaran.

14. Communal Reinforcement :
Suatu proses dimana suatu klaim menjadi suatu kepercayaan kuat melalui
suatu
pernyataan yang diulang-ulang oleh suatu anggota komunitas.
Proses ini independent terhadap kebenaran klaim tersebut dan tidak
didukung
oleh data empiris yang signifikan untuk menggaransi bahwa kepercayaan
itu
didukung oleh alasan yang reasonable.

15. Non-Sequitur :
Nggak nyambung.
Suatu kesimpulan yang diambil tidak didasarkan pada suatu premis
ataupun
evidence / fakta.

16. Post Hoc, Ergo Propter Hoc :
Itu terjadi sebelumnya, maka itu disebabkan olehnya.
Semacam non-sequitur, tetapi berdasarkan waktu.
Misalnya : Seseorang menjadi sakit setelah pergi ke Mall, maka Mall
adalah
sumber penyakit.
Padahal sakitnya tidak disebabkan oleh sesuatu yang ada hubungannya
dengan
kepergiannya ke Mall.

17. Red Herring :
Sering terjadi ... sang pendebat buru-buru mengalihkan perhatian /
subyek
pembicaraan.

18. Statistic of Small Number :
Satu kasus digunakan untuk menjudge keseluruhan.
Hanya karena suatu kejadian, tidak dapat mewakili kemungkinan
keseluruhannya.

18. Straw Man :
Manusia jerami
Membuat suatu skenario yang salah image yang menyesatkan, kemudian
menyerangnya.

20. Dua Salah Menjadi Benar
Misalnya : Siapakah kamu yang mengatakan saya demikian apabila kamu
juga
begitu.
Saya mencoba menjustify apa yang saya lakukan dengan melemparkan
kesalahan
yang sama pada Anda sebagai teman diskusi saya.

21 Observational Selection
Menggembar-gemborkan kejadian yang menguntungkan dan menutupi kejadian
yang
merugikan.


Maksud saya memposting ini bukan agar metode ini digunakan supaya bisa menang debat di forum ini ataupun forum mana pun, tetapi agar kita di sini tidak terpancing untuk berdebat dengan cara kotor demikian dan mengantisipasi supaya diskusi/tanya jawab di forum ini tidak menjadi ajang perdebatan yang kotor seperti ini.

Semoga bermanfaat.

3358
Mahayana / Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
« on: 03 March 2010, 09:36:32 PM »
Ini tentang Tanah Buddha (Buddhaksetra):

Quote
The notion of a Buddha Field (buddhaksetra)

From the perspective of Buddhist cosmology space, like time, is infinite. Infinite space is
full of infinite universes, world systems, stretching to the 10 directions (the four cardinal
points, four intermediate directions, up and down). Within these infinite reaches some
universes are known as Buddha Fields or Buddha Lands. Generally, this term denotes an
area, a cosmos, where a Buddha exerts his spiritual influence.

The concept of a Buddha Field, while of considerable importance in Mahayana thought,
is not unique to the Mahayana. The Mahavastu, which is a Lokottaravada text, points out
that there are many, many universes or world systems which are devoid of a Buddha, for
Buddhas are relatively very rare. Moreover, the Mahavastu notes, there cannot be two Buddhas
in the same Buddha Field, for this would imply that one Buddha is not adequate to his task.
And even though Buddhas are relatively rare, still, throughout the infinite universes there
are innumerable Buddhas, and innumerable tenth-stage Bodhisattvas who are about to become
Buddhas. Each leads infinite beings to liberation, and yet there is no chance that eventually
all will be liberated and no one will be left. For with infinite sentient beings, even if infinite
Buddhas each liberate another infinite being, still there are infinite suffering sentient beings
left (Mahavastu 1949–56: I, 96 ff.).

Human beings live in a world sphere called Saha, said to be in the south, for which the
current Buddha is Sakyamuni.[15] The notion of a Buddha Field may have arisen from a consideration of Sakyamuni’s knowledge on the one hand, the field of his awareness, and his
authority and influence on the other – his field of activity.[16] In addition, one can refer to
the actual geographical area where the Buddha was born. Naturally the sizes of these three
fields are different. The Buddha’s knowledge (and from a Mahayana perspective, his compassion)
is often held in Mahayana to be infinite, although his direct spiritual power is exerted
over a vast but finite area, his Buddha Field in the primary sense, the area in the centre of
which the Buddha appeared.

The principal function of a Buddha is to teach sentient beings in his Buddha Field. But
the Buddha Field in this primary sense is not simply a place where the Buddha happens to
have appeared. Rather, during his career as a Bodhisattva the Buddha-to-be is said to ‘purify’
his Buddha Field, and the Buddha Field is in some sense the result of his great compassion
(Fujita 1996a: 34–5). In other words, the very existence of a Buddha Field depends upon
the Buddha’s wonderful career as a Bodhisattva. The Buddha’s infinite deeds of wisdom
and compassion have created his Buddha Field as an area where he can ‘ripen’ sentient beings.
Beings themselves also contribute, for it is a place where they have been reborn through
their deeds, as beings potentially able to be ripened. Moreover, a Bodhisattva can himself
be reborn in the Buddha Field of a Buddha, in the Buddha’s direct presence, or travel there
in meditation. The Buddha Field is precisely a place where conditions are obviously advantageous
to his spiritual progress. Thus a Buddha Field is both a place where a Bodhisattva
can see the Buddha and pursue his or her career, and also the goal of the Bodhisattva’s striving,
his own Buddha Field purified for sentient beings through his own efforts (Rowell 1935:
385 ff., 406 ff.). And from his place within his realm one text rather poetically informs us
that three times a day, and three times a night, the Buddha surveys his Buddha Field in
order to see who can be morally and spiritually helped (Lamotte 1962: 396–7).

So the Bodhisattva purifies his Buddha Field, and the realm within which the Buddha
exerts his activity is the result of his purifying deeds as a Bodhisattva. This gives rise to
a problem. It is agreed on all counts that the Saha world of Sakyamuni is not a very
pure place.[17] This world is indeed a thoroughly impure Buddha Field. Some Mahayana texts
speak of three types of Buddha Field: pure, impure, and mixed. For example, in an impure
Buddha Field there are non-Buddhists, seriously suffering beings, differences of lineage
etc., immoral beings, lower realms such as hells, inferior conduct and Inferior Vehicles (the
Mainstream Buddhist traditions), and so on. Bodhisattvas of excellent conduct, and the actual
appearance of a Buddha, are rare.[18] In fact this world of Sakyamuni is pretty grim for the
pious follower of Mahayana. A pure Buddha Field, on the other hand, such as Amitayus’
Sukhavatc, will be something like this:

"well adorned, having no filth or evil, no tiles or pebbles, no thorns or thistles, no excrement
or other impurities. Its soil shall be flat and even, having no high or low, no hills
or crevices. It shall have vairerya [‘beryl’, following Paul Harrison] for earth, and jewelled
trees in rows. With cords made of gold shall its highways be bordered. It shall be everywhere
clean and pure, with jewelled flowers scattered about."
(Lotus Sutra, in Hurvitz 1976: 120)

Such a pure Buddha Field – in East Asia it is spoken of as a ‘Pure Land’ – has a Buddha
who lives for a very long time (perhaps for all eternity), who does not abandon his flock,
as Sakyamuni appears to have done after only 40 years or so. There are many Bodhisattvas
in that realm, and the devil, Mara, and his evil host cannot work their vicious ways.
Obviously such a Pure Land is an excellent place for developing the path to enlightenment,
while our Saha world, particularly since the death of the Master, is not really so very good.
Since there are infinite Buddha Fields and therefore also infinite Pure Lands at this very
moment throughout the 10 directions, surely the overriding immediate task must be to visit
these Pure Lands if at all possible and eventually to be reborn there.

Earlier Buddhism had taught that merit led to a heavenly rebirth after death, but all
heavens are samsara, impermanent and pervaded with final frustration and suffering. A Pure
Land is emphatically not, in Buddhist terminology, a heaven (svarga).[19] Rather, one should
practise the correct meditations (i.e. buddhanusmrti) and skilfully direct the fruit of one’s
good deeds, merit, to be reborn not in a heaven but in the chosen Pure Land. While it may
certainly not be easy to get to a Pure Land, in a Pure Land because of the presence of a
Buddha and his teachings one can relatively easily attain nirvaua, or significantly advance
on the path to Buddhahood, as we know from the stories people were able to do in India
at the time of Sakyamuni.
Indeed, attaining nirvana in a Pure Land is much easier than
it was in India at the time of Sakyamuni, since a Pure Land is much more conducive to
practising the Dharma than impure India was and is. Thus, unlike a heaven, from a Pure
Land there need be no further uncontrolled samsaric rebirth.

This is all quite logical, and perfectly consistent with the development of Buddhist
thought. The present world bereft of a Buddha is a difficult place in which to attain enlightenment.
Nevertheless, in infinite universes there are still Buddhas, perhaps even Sakyamuni
himself. It is possible to see them in meditation, and to hear their wonderful teachings. There
is thus nothing to prevent one from being reborn in their presence. Consequently, the quest
for nirvana, or even Perfect Buddhahood, requires in most cases the immediate goal of rebirth
in a Pure Land in the presence of a Buddha. In ensuring that he or she will be reborn in a
Pure Land after death, the practitioner becomes here and now a ‘non-returner’ (anagamin),
one who will no longer be reborn in this world, but will attain enlightenment very soon,
perhaps in the very next life.[20] This is a very advanced stage of Buddhist practice indeed,
much more advanced than most people would normally expect to attain under present conditions
in the world as it is now bereft of a Buddha.

But where does this leave poor Sakyamuni? His Buddha Field is impure, therefore
Sakyamuni and his purifying activity as a Bodhisattva were obviously strikingly ineffective.
To quote from Sariputra in the Vimalakirtinirdesa Sutra:

"If the buddha-field is pure only to the extent that the mind of the bodhisattva is pure,
then, when Sakyamuni Buddha was engaged in the career of the bodhisattva, his mind
must have been impure. Otherwise, how could this buddha-field appear to be so impure?"

Moreover, Sakyamuni has now gone, while there are still many sentient beings here in this
world to be saved. His compassion must therefore be defective.

There are a number of ways in which one can deal with these problems. First, one could
simply say that all Buddhas are in fact identical. Sakyamuni appeared to help sentient beings
at a particular time and place. Although he has died there are many other Buddhas, and
also there are Pure Lands elsewhere. These Buddhas are continuing to help beings in this
Saha world. One could combine this with the scheme of the Buddha bodies. Sakyamuni was
a Transformation Body, an emanation of another Buddha, who remains in a pure Buddha
Field, still active in all ways for the benefit of sentient beings here on earth. In other words,
the impure Buddha Field is not the primary Buddha Field, but is a skilful means of a Buddha
who necessarily, as a Buddha, really has a Pure Buddha Field. Alternatively this supramundane
Buddha could himself be Sakyamuni (as in the Lotus Sutra).

Another strategy would be to see the Buddha Field as the range of a Buddha’s activity, but not necessarily completely purified by his previous activity. Since he is compassionate, a Buddha creates his Buddha Field as the most suitable place for particular beings to be saved. This strategy was strikingly adopted by the Karunapundarika Sutra, a sutra which sought to restore Sakyamuni to
pre-eminence in the face of Pure Land cults centred on Amitayus and Aksobhya. These
other Buddhas teach sentient beings who can reach their Pure Lands. But the greatest
Bodhisattvas, the real Bodhisattvas, vow to appear as Buddhas in impure realms, tainted Buddha
Fields, out of their great compassion (Yamada 1968: I, 78). The very fact that Sakyamuni
appeared in this Saha realm, a ghastly place, indicates his remarkable compassion.

The most common solution to Sariputra’s dilemma, however, and of crucial importance
in subsequent East Asian Buddhism, is that given by the Vimalakirtinirdesa itself. This impure
Buddha Field is indeed the Pure Land. It only appears impure because of the minds of
sentient beings dwelling in it. If there are mountains in this world, and all is flat in the
Pure Land, that is because there are mountains in the mind. Sakyamuni is not a deficient
Buddha. To him all is pure. The impurity that we see is the result of impure awareness,
and also the Buddha’s compassion in creating a world within which impure beings can grow
(Thurman 1976: 18–19; cf. Rowell 1937: 142 ff.). Thus the real way to attain a Pure Land
is to purify one’s own mind. Put another way, we are already in the Pure Land if we but
knew it. Whatever the realm, if it is inhabited by people with enlightened pure minds then
it is a Pure Land. This is very much like the Buddha-nature/tathagatagarbha assertion that
we are already fully-enlightened Buddhas if we but recognize the fact, and it is only a short
step from the Chan (Zen) notion that the Pure Land is really simply the tranquil, clear,
radiant, pure Mind. The Pure Land is truly, therefore, not a ‘heavenly abode’ but is rather
demythologized as enlightenment itself.[21]

Notes:
15. For a good introduction to Mainstream Buddhist cosmology, see Gethin 1998: Ch. 5.
For some diagrams, see also Gómez 1996: 257–60.
16. See Rowell, 1935: esp. 379–81; 1937. For a more recent study, see Fujita 1996a. Paul
Harrison has drawn my attention to the very plausible suggestion in Davidson 2002:
132–3 that ksetra, ‘field’ may have some connection here with the Indian political notion
of a royal ‘domain’. If so, then buddhaksetra would be better translated as ‘Buddha Domain’.
17. Purity, incidentally, was and is an important cultural notion in India, pervading
(Brahmanic) Indian society and underlying, for example, caste divisions. The more pure
a person is the higher their religious status. Derivatively, the more pure their environment
is the more they preserve their high religious status.
18. Samdhinirmocana Sutra, in Lamotte 1962: 397. Note, however, that in the early model of
Aksobhya’s Pure Land of Abhirati there are also found non-Mahayana practitioners.
Indeed, in various ways the early model of Abhirati does not always fit with the developed
Mahayana view of a Pure Land.
19. See Ducor 2004: 380–1. On the similarities and dissimilarities of Sukhavatc with a
heaven, in the light of Japanese understandings of Amitabha’s Pure Land as a ‘world
of another dimension’, in fact i.e. enlightenment itself, see Fujita 1996a: 44–8, cf. Fujita
1996b: 26.
20. On these ‘fruits of the Path’ in Mainstream Buddhism, see Gethin 1998: 194.
21. Perhaps I should also mention here another model of the Pure Land related to this
found in, e.g., Nichiren traditions, and popular among modern Buddhist social activists.
As we saw at the end of the chapter on the Lotus Sutra, there is the suggestion
that at some point in the future, when enough people are practising the true Dharma
(or when, through Buddhist-inspired action social and political conditions are right)
at that time this very world will then be the Pure Land. The Pure Land here is not the
pure mind as such, nor is it the world as seen by a pure mind. Rather, it is the properly
ordered society that results from the activities of those with pure minds (i.e. right thinking
Buddhists). This view of the Pure Land also has links with East Asian Buddhist
millenarianism (see, e.g., Overmyer 1976: 157).

Sumber kedua kutipan di atas adalah buku Mahayana Buddhism, The Doctrinal Foundations 2nd edition oleh Paul Williams

3359
Mahayana / Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
« on: 03 March 2010, 09:35:11 PM »
 [at]  Riky_dave:
Sori, tampaknya artikel yang dimaksud belum saya temukan (lupa apakah baca di forum tertentu atau baca dari buku), tetapi seingat saya intinya artikel menyatakan bahwa praktek penyebutan nama Buddha Amitabha (atau Buddha lainnya) baru dapat memberikan hasil yang maksimal jika memenuhi persyaratan berikut:
1. Keyakinan (meyakini adanya Buddha Amitabha beserta tanah Buddha-Nya)
2. Tekad (memiliki tekad kuat untuk terlahir di tanah Buddha tersebut)
3. Sila (memiliki sila yang tanpa cacat, kalau tidak salah harus menjalankan 10 sila/Dasasila)
4. Konsentrasi (memiliki pemusatan pikiran terhadap Buddha tersebut dengan praktek meditasi Buddhanussati/Buddhanusmrti)

Berikut ini ada kutipan artikel menarik tentang Buddhanusmrti dalam pandangan Mahayana:

Quote
Buddhanusmëti – recollection of the Buddha

The Sutta Nipata of the Pali Canon is generally held by scholars to be one of the oldest
extant Buddhist texts. At the very end of the Sutta Nipata, in a section also held to be among
the oldest strata of that text, is a wonderfully moving and, I think, potentially significant
discussion. A Brahmin named Pingiya ‘the wise’ praises the Buddha in heartfelt terms:

"They call him Buddha, Enlightened, Awake, dissolving darkness, with total vision, and
knowing the world to its ends. . . . This man . . . is the man I follow. . . . This prince, this
beam of light, Gotama, was the only one who dissolved the darkness. This man Gotama
is a universe of wisdom and a world of understanding."[1]

Why is it, Pingiya is asked, that you do not spend all your time with the Buddha, that
wonderful teacher? Pingiya replies that he himself is old, he cannot follow the Buddha
physically, for ‘my body is decaying’. But:

"there is no moment for me, however small, that is spent away from Gotama, from this
universe of wisdom, this world of understanding . . . with constant and careful vigilance
it is possible for me to see him with my mind as clearly as with my eyes, in night as well
as day. And since I spend my nights revering him, there is not, to my mind, a single moment
spent away from him."

In this ancient and extraordinary discussion Pingiya indicates that it was possible through
his awareness, through his meditation, for him to be constantly in the presence of the Buddha
and constantly to revere him. Towards the end the Buddha himself testifies that Pingiya
too will go to ‘the further shore’ of enlightenment.

The interpretation of this discussion is perhaps difficult. One certainly should not
assume that we have here a fully-fledged devotionalism. Nevertheless, Pingiya’s praise of
the Buddha and his reference to seeing him with the mind appear to connect with the
practice of buddhnnusmrti, recollecion of the Buddha, a practice known from other contexts
in the Pali Canon and practised by, as far as we can tell, all schools of Buddhism.

According to the Theravada commentator Buddhaghosa, a meditator who wishes to practise
recollection of the Buddha should go to a favourable spot for retreat:

"and recollect the special qualities of the Enlightened One . . . as follows: ‘That Blessed
One is such since he is accomplished, fully enlightened, endowed with (clear) vision and
(virtuous) conduct, sublime, the knower of worlds, the incomparable leader of men to
be tamed, the teacher of gods and men, enlightened and blessed’."[2]

The meditator recollects the features of the Buddha systematically and in detail. Among
the results of such a meditation are that, in the words of Buddhaghosa, the meditator:
attains the fullness of faith, mindfulness, understanding and merit. . . . He conquers fear
and dread. . . . He comes to feel as if he were living in the Master’s presence. And his
body . . . becomes as worthy of veneration as a shrine room. His mind tends towards the
plane of the Buddhas.[3]

If tempted to wrongdoing, our meditator feels as much shame as if face to face with
the Buddha. Even if his spiritual progress stops at this stage, he will progress to a ‘happy
destiny’.

Three points are particularly worth noting here. First, there is the connection of
buddhanusmrti with attaining to a higher plane, a happy destiny, or the ‘plane of the
Buddhas’. Second, through recollection of the Buddha one becomes free from fear. We
know from a Sanskrit sutra source that buddhanusmrti was particularly recommended as an
antidote to fear. Fear, and the desire to see the Buddha, were, I think, important feelings in the centuries, perhaps even the decades, after the death of the Buddha. The Gandavyuha Sutra speaks for many Buddhists when it states that:

"It is difficult, even in the course of hundreds of kotis of aeons, to hear a Buddha preach;
How much more to see him, his sight being the supreme remover of all hesitations . . .
Better it is to roast for Kotis of aeons in the three states of woe, terrible though they are,
Than not to see the Teacher . . .
Annulled are all the sufferings when one has seen the Jina, the Lord of the world,
And it becomes possible to enter on gnosis, the sphere of the supreme Buddhas."

And third, through recollecting the Buddha, Buddhaghosa says, the meditator comes to feel
as if he were living in the presence of the Buddha himself – so much so, that shame would
deter him from evil deeds.[4]

There is a passage contained in the Mainstream Buddhist Ekottaragama, part of the canon
which survives in Chinese translation, in which there is given a far more detailed account
of recollection of the Buddha than can be found in the Pali Canon. In this sutra, recollection
of the Buddha is said to lead to magic powers and even to nirvaua itself. With the Mahayana doctrine of infinite Buddhas and Bodhisattvas dwelling in infinite Buddha Lands of the 10 directions (a doctrine perhaps itself influenced by the experiences of buddhanusmrti) the practice of recollection of the Buddha gained still further in importance as a means of contacting those Buddhas and their realms. The Saptasatika Prajnaparamita describes the ‘Single Deed Samadhi’ by which one can quickly attain supremeenlightenment. The meditators:

"should live in seclusion, cast away discursive thoughts, not cling to the appearance of
things, concentrate their minds on a Buddha, and recite his name single-mindedly. They
should keep their bodies erect and, facing the direction of that Buddha, meditate upon
him continuously. If they can maintain mindfulness of the Buddha without interruption
from moment to moment, then they will be able to see all the Buddhas of the past, present,
and future right in each moment."[5]

Pratyutpanna Sutra

The Pratyutpanna Sutra was first translated into Chinese by Lokakwema in perhaps 179 CE.
This makes it one of the earliest Chinese translations of a Buddhist setra. It contains the
earliest datable literary reference to Amitayus (= Amitabha) and his Buddha Field, his Pure
Land, in the west.[6] Among the many interesting and unusual features of this early sutra is
the detail with which it describes and discusses the pratyutpanna samadhi, which appears to
be the principal message of the sutra.

The basis for practising the pratyutpanna samadhi is strict morality. A practitioner, lay or
monastic, male or female, is requested to fulfil completely the moral code before entering
into retreat. The meditator then retires to a secluded place and reflects on which direction
the Buddha Amitayus dwells. He or she concentrates on that Buddha, presumably
facing the correct direction. The meditation conforms to what we have seen already of
buddhanusmrti practices. The practitioner contemplates the Buddha as being directly in front:

"Bodhisattvas should concentrate on the Tathagatas . . . as sitting on the Buddha-throne
and teaching the Dharma. They should concentrate on the Tathagatas as being endowed
with all the finest aspects, handsome, beautiful, lovely to behold, and endowed with
bodily perfection [etc.]."[7]

Elsewhere cognitive as well as bodily excellences of the Buddha are noted and contemplated.
Moreover, meditators are exhorted not to give rise to the notion of ‘self ’ in any way for
three months, or be overcome by ‘sloth and torpor’ (i.e. sleep), or sit down ‘except to defecate
and urinate’ for three months. Thus they should concentrate on Amitayus for one day and one night, or for two, or three, or four, or five, or six, or seven days and nights. If they concentrate their thoughts with undistracted minds on the Tathagata Amitayus for seven days and nights, then, when a full seven days and nights have elapsed, they see:

"the Lord and Tathagata Amitayus. Should they not see that Lord during the daytime,
then the Lord . . . will show his face to them in a dream while they are sleeping."

And having seen the Buddha, our meditator can worship him, and receive teachings. This
seeing of the Buddha is not with the ‘divine eye’, it is not the result of magic powers. The
meditator does not need to develop the various supernormal faculties such as the divine
eye which, as we saw in the previous chapter, are only developed at the third Bodhisattva
stage, and were thought in other texts to be the means by which one can see the Buddhas
of the 10 directions. The Buddhas seen in the pratyutpanna samAdhi are said to be apprehended
on the analogy of dreams. This is possible because all is empty of intrinsic existence,
and all is likewise Mind Only.

Notes:
1. Trans. by Saddhatissa 1985: vv. 1133, 1136. Cf. the translation by Norman (Sutta NipAta
1984).
2. Visuddhimagga 7: 2, in Buddhaghosa 1975, quoting from the standard formula found in
the Pali Canon. Harrison 1992a: 228–31 argues that anusmVti is better understood as
‘commemoration’ than simply ‘recollection’.
3. Buddhaghosa 1975: 230. Cf. Harrison 1992a: 218.
4. Note the expression ‘a happy destiny’, and also ‘the plane of the Buddhas’. What, or
where, is the plane of the Buddhas? As we shall see, the most famous of the ‘Pure
Lands’ where in Mahayana a Buddha even now dwells teaching the Dharma is called
Sukhavati, literally ‘the Happy Place’. It is there that one can still live in the presence
of the Buddha, free from fear.
5. Trans. in Chang 1983: 110. From the Chinese. Cf. the translation by Conze 1973b: 101.
6. The actual expression ‘Pure Land’ translates the Chinese jingtu (ching-t’u; Japanese: jodo),
and as such appears to have been coined in China.
7. Notice the Buddhas are plural; Amitayus is given here only as an example. Trans. in
Harrison 1990: 68. See also Harrison 1978.

3360
Mahayana / Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
« on: 03 March 2010, 07:49:28 PM »
 [at] riky_dave:
Menurut saya, lagi2 ini adalah perbedaan konsep dan penekanan dari kedua aliran. Mahayana sendiri meyakini bahwa Buddha Sakyamuni memiliki kemampuan luar biasa yang dapat mengatasi hukum karma dan kelahiran kembali seperti pada kutipan salah satu bab dari Saddharma Pundarika Sutra berikut

Quote

Panjang Kehidupan Sang Tathagata

(Sebuah Bab dari Saddharma Pundarika Sutra)
[/b]

Pada waktu itu Sang Buddha berkata kepada para Bodhisattva dan seluruh perkumpulan besar itu, “Orang-orang baik, kalian seharusnya meyakini dan memahami kata-kata Sang Tathagata yang bersungguh-sungguh dan jujur.” Sekali lagi Beliau berkata kepada perkumpulan besar tersebut, “Kalian seharusnya meyakini dan memahami kata-kata Sang Tathagata yang bersungguh-sungguh dan jujur.” Beliau berkata lagi kepada perkumpulan besar itu, “Kalian seharusnya meyakini dan memahami kata-kata Sang Tathagata yang bersungguh-sungguh dan jujur.”

Kemudian perkumpulan besar para Bodhisattva, yang dipimpin oleh Maitreya, mendekatkan telapak tangan mereka bersama dan berkata kepada Sang Buddha, “Yang Dijunjung Dunia kami hanya memohon agar Anda akan mengatakannya. Kami akan meyakini dan menerima kata-kata Sang Buddha.” Mereka mengulangi hal ini tiga kali.

Lagi mereka berkata, “Kami hanya memohon agar Anda akan mengatakannya. Kami akan meyakini dan menerima kata-kata Sang Buddha.”

Pada waktu itu Yang Dijunjung Dunia, mengetahui bahwa para Bodhisattva tidak akan berhenti dalam tiga permohonan, berkata kepada mereka, “Kalian harus mendengarkan dengan penuh perhatian.”

“Kekuatan penembusan spiritual Sang Tathagata diketahui oleh semua dewa, manusia, dan asura di dunia. Mereka mengatakan bahwa Sakyamuni Buddha, setelah meninggalkan istana kaum Sakya dan setelah pergi ke tempat yang tidak jauh dari kota Gaya untuk duduk di Bodhimanda, sekarang telah mencapai anuttarasamyaksambodhi.”

“Namun, orang-orang baik, Aku sesungguhnya telah merealisasi Kebuddhaan tak terhingga ratusan ribu sangat banyak koti nayuta kalpa yang lampau.”

“Misalkan seseorang akan menggiling menjadi partikel-partikel debu halus lima ratus ribu banyak sekali koti nayuta asamkhyeya dari tiga ribu sistem seribu dunia yang besar. Kemudian, misalkan ia berjalan ke timur melewati lima ratus ribu banyak sekali koti nayuta asamkhyeya negeri, dan di sana ia menyimpan satu partikel debu. Misalkan ia terus-menerus melakukan hal ini, berjalan ke timur, sampai semua partikel debu habis.”

“Orang-orang baik, apakah pendapat kalian? Dapatkah jumlah dunia yang ia lewati dapat dihitung?”

Maitreya Bodhisattva dan yang lainnya semuanya berkata kepada Sang Buddha, “Yang Dijunjung Dunia, sistem dunia yang demikian akan tak terhingga banyaknya, melebihi perhitungan, dan melebihi kekuatan pikiran untuk diketahui. Semua Sravaka dan Pratyekabuddha, dengan menggunakan kebijaksanaan mereka yang tidak mengalir keluar, tidak dapat membayangkan hal ini ataupun mengetahui batas atau jumlahnya.”

“Kami sekarang berdiam pada tingkat avaivartika, tetapi kami tidak dapat memahami hal ini, Yang Dijunjung Dunia, dan demikianlah sistem dunia yang seperti itu akan tak terhingga banyaknya.”

Pada saat itu Sang Buddha berkata kepada sekumpulan besar Bodhisattva, “Orang-orang baik, Aku sekarang akan menjelaskan hal ini dengan jelas untuk kalian. Jika semua sistem dunia ini apakah sebuah partikel debu disimpan padanya atau tidak dibuat menjadi partikel-partikel debu, dan setiap partikel debu sama dengan satu kalpa, waktu yang telah berlalu sejak Aku menjadi Buddha akan melampaui bahkan sampai ratusan ribu banyak sekali koti nayuta asamkhyeya kalpa.”

“Sejak saat itu, Aku selalu berada di Dunia Saha, mengatakan Dharma untuk mengajar dan mengubah makhluk-makhluk. Juga, di tempat-tempat lain, pada ratusan ribu banyak sekali koti nayuta asamkhyeya dunia, Aku telah membimbing dan memberi manfaat pada makhluk-makhluk hidup.”

“Orang-orang baik, selama periode waktu tersebut, Aku mengatakan tentang Buddha Dipankara dan yang lainnya, dan Aku lebih lanjut mengatakan tentang Mereka memasuki Nirvana, tetapi ini hanyalah pembedaan yang dibuat dengan bijaksana.”

“Orang-orang baik, jika suatu makhluk datang ke hadapan-Ku, Aku mengamati dengan mata Buddha-Ku keyakinan dan sifat-sifat lainnya, serta ketajaman dan kelambanan sifat-sifatnya, dan Aku membimbingnya dengan cara yang sesuai.”

“Di semua tempat, walaupun nama-nama yang Ku-gunakan pada diri-Ku sendiri berbeda dan Aku mungkin lebih tua atau lebih muda, Aku juga muncul dan mengumumkan bahwa Aku akan memasuki Nirvana. Aku juga menggunakan berbagai cara yang bijaksana, dengan mengatakan Dharma yang mendalam dan mengagumkan dan memungkinkan makhluk-makhluk hidup dibimbing menuju kebahagiaan dalam pikiran mereka.”

“Orang-orang baik, Sang Tathagata, dengan melihat makhluk-makhluk menyukai dharma-dharma yang lebih rendah, makhluk-makhluk yang sedikit kebajikannya dan tebal kekotoran batinnya, berkata kepada orang-orang ini, ‘Ketika masih muda, Aku meninggalkan kehidupan rumah dan mencapai anuttarasamyaksambodhi.’ Namun sesungguhnya, Aku menjadi Buddha lama sebelum itu. Aku berkata dengan cara ini semata-mata sebagai jalan yang bijaksana untuk mengajar dan mengubah makhluk-makhluk hidup dan menyebabkan mereka memasuki Jalan Buddha.”

“Orang-orang baik, Sutra-Sutra yang dikumandangkan oleh Sang Tathagata semuanya bertujuan untuk menyelamatkan dan membebaskan makhluk-makhluk hidup. Ia dapat mengatakan tentang tubuh-Nya sendiri, atau Ia dapat mengatakan tentang tubuh orang lain. Ia dapat menjelma dalam tubuh-Nya sendiri, atau Ia dapat menjelma dalam tubuh orang lain. Ia dapat memanifestasikan pekerjaan-Nya sendiri, atau Ia memanifestasikan pekerjaan orang lain, tetapi semua yang Ia katakan benar dan tidak salah.”

“Apakah alasannya? Sang Tathagata mengetahui dan melihat ketiga alam sebagaimana adanya. Tidak ada kelahiran atau kematian, tidak ada kemunduran atau kemajuan, tidak ada keberadaan di dunia atau jalan menuju peristirahatan. Tidak ada kenyataan atau ketidaknyataan, tidak ada kesamaan atau perbedaan. Ia melihat ketiga alam tidak seperti ketiga alam. Hal-hal seperti ini, Sang Tathagata dengan jelas melihat, tanpa kesalahan.”

“Makhluk-makhluk hidup memiliki berbagai sifat, berbagai keinginan, berbagai tingkah laku, dan berbagai gagasan, pemikiran, dan perbedaan. Berharap untuk membimbing mereka menghasikan akar-akar kebajikan, Ia menggunakan sebab dan kondisi, perumpamaan, dan ungkapan yang berbeda-beda untuk menjelaskan berbagai dharma, melakukan tugas Buddha tanpa henti.”

“Demikianlah sejak Aku merealisasi Kebuddhaan pada masa lampau yang sangat jauh, panjang kehidupan-Ku tak terhingga asamkhyeya kalpa, abadi dan tidak pernah habis. Orang-orang baik, panjang kehidupan yang Aku alami ketika dulu melaksanakan jalan Bodhisattva masih belum selesai dan dua kali dari jumlah di atas.”

“Seperti Aku sekarang mengumumkan bahwa Aku akan memasuki peristirahatan, Aku tidak benar-benar wafat. Sang Tathagata menggunakan kemangkatan ini hanya sebagai jalan yang bijaksana untuk mengajar dan mengubah makhluk-makhluk hidup.”

“Apakah alasannya? Jika Sang Buddha tetap berdiam di dunia ini dalam waktu yang lama, mereka yang sedikit kebajikannya yang tidak menanam akar kebajikan, yang rendah, yang mendambakan objek-objek lima nafsu keinginan, dan yang terperangkap dalam jaring pola pikir dan pandangan salah, dengan melihat Sang Tathagata selalu hadir dan tidak memasuki ketenangan, akan menjadi sombong, lalai, dan acuh tak acuh. Mereka tidak akan memikirkan betapa sulitnya untuk berjumpa-Nya, ataupun hati mereka akan tidak hormat.”

“Oleh sebab itu, Sang Tathagata dengan bijaksana berkata, ‘Para bhikshu, kalian harus mengetahui bahwa sulit untuk berjumpa dengan seorang Buddha yang muncul di dunia ini.’ Apakah alasannya? Mereka yang sedikit kebajikannya mungkin melewati tak terhingga ratusan ribu banyak sekali koti kalpa, selama waktu tersebut mereka dapat atau tidak dapat melihat seorang Buddha. Karena itu, Aku berkata kepada mereka, ‘Para bhikshu, Sang Tathagata sulit untuk dijumpai.’ Para makhluk hidup ini, dengan mendengarkan kata-kata ini, akan menyadari betapa sulitnya untuk menjumpai Sang Buddha dan akan memendam kerinduan untuk berjumpa dengan-Nya. Mereka akan menanam akar-akar kebajikan. Itulah sebabnya Sang Tathagata, walaupun Ia tidak memasuki ketenangan, mengatakan tentang peristirahatan.”

 “Lebih jauh, orang-orang baik, Dharma semua Buddha, Tathagata, adalah seperti ini dan digunakan untuk menyelamatkan makhluk-makhluk hidup. Ini sepenuhnya benar dan tidak salah.

“Ini bagaikan terdapat seorang tabib yang baik, bijaksana dan sangat menguasai ilmu pengobatan dan pandai, yang ahli menyembuhkan banyak penyakit. Orang ini juga memiliki banyak putra, sepuluh, dua puluh atau bahkan seratus. Kemudian, dipanggil dalam suatu urusan, ia mengadakan perjalanan ke negeri yang jauh.”

“Sementara itu, anak-anaknya meminum sejenis racun, yang menyebabkan mereka berguling-guling di tanah dalam keadaan mabuk.”

“Lalu ayah mereka pulang ke rumah. Karena mereka meminum racun tersebut, beberapa putranya kehilangan kesadaran, sedangkan yang lain tidak. Melihat ayah mereka dari jauh, mereka semua sangat gembira. Mereka membungkuk kepada sang ayah, berlutut, dan bertanya kepadanya,

“Selamat datang kembali dengan selamat. Karena kebodohan kami, kami salah meminum racun tertentu. Kami mohon ayah akan menyelamatkan dan menyembuhkan kami, dan mengembalikan kehidupan kami.’”

“Melihat anak-anaknya dalam penderitaan yang demikian, sang ayah membaca buku-buku pengobatannya dan kemudian mencari tanaman obat yang baik yang memiliki warna, bau, dan rasa yang baik. Lalu ia menggiling, mengayak, dan mencampurkan semuanya bersama, dan memberikan bahan campuran ini kepada putra-putranya untuk diminum.”

“Dan ia berkata kepada mereka, ‘Ini adalah obat yang bagus dengan warna, bau, dan rasa yang baik. Minumlah. Penderitaan kalian akan berkurang, dan kalian tidak akan menderita siksaan yang lebih jauh.’”

“Beberapa di antara anak-anak tersebut tidak kehilangan akal sehat mereka. Melihat obat yang bagus dengan warna dan bau yang baik, mereka langsung meminumnya dan penyakit mereka sepenuhnya disembuhkan.”

“Walaupun yang lain yang kehilangan akal sehatnya bergembira saat kedatangan ayah mereka, telah menanyakan tentang keadaan sang ayah, dan telah meminta agar disembuhkan dari penyakit mereka, mereka menolak untuk meminum obat tersebut. Apakah alasannya? Uap beracun telah merasuki mereka sangat dalam sehingga mereka kehilangan akal sehat mereka, dan dengan demikian mereka mengatakan bahwa obat dengan warna dan bau yang baik itu tidak bagus.”

“Sang ayah kemudian berpikir, ‘Kasihan sekali anak-anak ini! Racun telah mengacaukan pikiran mereka. Walaupun mereka bergembira bertemu denganku dan memintaku untuk menyelamatkan dan menyembuhkan mereka, mereka masih menolak obat yang baik seperti ini. Aku sekarang harus mengatur suatu cara yang bijaksana untuk membujuk mereka meminum obat ini.’”

“Segera ia berkata, ‘Kalian harus tahu bahwa aku sekarang sudah tua dan lemah, dan waktu kematianku telah tiba. Aku sekarang akan meninggalkan obat yang baik ini di sini agar kalian minum. Jangan khawatir tidak dapat sembuh.’ Setelah memberitahukan mereka dengan cara ini, ia kemudian kembali ke negeri yang jauh dan mengirimkan utusan kembali untuk mengumumkan, ‘Ayah kalian telah meninggal dunia.’”

“Ketika anak-anak tersebut mendengar bahwa ayah mereka telah meninggal dunia, hati mereka terpukul dengan kesedihan, dan mereka berpikir, ‘Jika ayah kita di sini, beliau akan mengasihi dan menyayangi kita, dan kita memiliki seorang seorang penyelamat dan pelindung. Sekarang beliau meninggalkan kita dan wafat di negari lain, dengan meninggalkan kita sebagai anak yatim, tanpa seorang pun untuk bergantung.’ Terus-menerus bersedih, pikiran mereka lalu menjadi tersadarkan. Mereka memahami bahwa obat tersebut memiliki warna, bau, dan rasa yang baik. Mereka meminumnya, dan penyakit beracun mereka sepenuhnya tersembuhkan.”

“Sang ayah, mendengar bahwa para putranya telah sembuh sepenuhnya, kemudian kembali, dan mereka semua bertemu dengan ayah mereka.”

“Orang-orang baik, apakah pendapat kalian, dapatkah seseorang berkata bahwa tabib yang baik ini telah melakukan kejahatan berdusta?”

“Tidak, Yang Dijunjung Dunia.”

Sang Buddha berkata, “Aku juga seperti itu. Aku telah mencapai Kebuddhaan tak terhingga ratusan ribu banyak sekali koti nayuta asamkhyeya kalpa yang lampau. Demi kepentingan makhluk-makhluk hidup, Aku menggunakan kekuatan kebijaksanaan dan berkata bahwa Aku akan memasuki peristirahatan. Tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan dengan tepat bahwa Aku telah melakukan kejahatan berdusta.”

Pada waktu itu, Yang Dijunjung Dunia, bermaksud untuk mengulangi pemahaman ini, mengucapkan syair-syair berikut,

“Sejak Aku mencapai Kebuddhaan,
Kalpa-kalpa yang telah dilalui
Tak terhingga ratusan ribuan banyak sekali
Koti asamkhyeya jumlahnya.
Aku selalu mengatakan Dharma untuk mengajarkan dan mengubah
Tak terhitung jutaan makhluk hidup,
Hingga mereka memasuki Jalan Buddha.
Dan selama kalpa-kalpa tak terhitung ini,
Untuk menyelamatkan makhluk-makhluk hidup,
Aku dengan bijaksana memanifestasikan Nirvana.
Tetapi sesungguhnya Aku tidak memasuki peristirahatan.
Aku tetap di sini, selalu mengatakan Dharma.
Aku selalu berdiam di sini,
Dan menggunakan kekuatan penembusan spiritual,
Aku menyebabkan makhluk-makhluk hidup yang berbalik.
Walaupun berada di dekat-Ku, tidak melihat Aku.
Banyak orang melihat-Ku ketika memasuki peristirahatan.
Mereka secara besar-besaran memberikan persembahan kepada sharira-Ku.
Semuanya menyimpan kerinduan yang besar terhadap Aku,
Dan hati mereka mencari-cari Aku dalam dahaga.
Makhluk-makhluk hidup, kemudian menjadi yakin dan lembut,
Terus-menerus, dengan pikiran yang tunduk,
Dengan satu tujuan untuk berjumpa dengan Buddha,
Tidak mempedulikan kehidupan mereka saat ini juga.
Pada waktu itu Aku dan perkumpulan Sangha
Semuanya muncul bersama pada Gunung Burung Nazar Ajaib
Di mana Aku berkata pada makhluk-makhluk hidup
Bahwa Aku selalu di sini dan tidak pernah berhenti.
Tetapi menggunakan kekuatan cara yang bijaksana
Aku memanifestasikan ‘penghentian’ dan ‘bukan penghentian’.
Untuk makhluk-makhluk hidup di negeri lain,
Yang menghormati, yakin, dan memiliki cita-cita,
Aku mengatakan Dharma yang Tak Tertandingi.
Namun kalian yang tidak mendengar hal ini
Berpikir bahwa Aku telah memasuki peristirahatan.
Aku melihat makhluk-makhluk hidup
Tenggelam dalam penderitaan, dan masih
Aku menahan diri untuk bermanifestasi kepada mereka
Untuk menyebabkan mereka mencari-cari dalam kehausan,
Kemudian, ketika pikiran mereka dipenuhi dengan kerinduan,
Aku muncul dan mengucapkan Dharma.
Dengan penembusan spiritual yang demikian kuat,
Sepanjang ber-asemkhyeya kalpa,
Aku selalu berdiam pada Gunung Burung Nazar Ajaib
Dan juga berdiam di tempat-tempat lain.
Ketika makhluk-makhluk melihat akhir kalpa
Dan dihancurkan oleh api besar,
Negeri-Ku damai dan aman,
Selalu terisi oleh para dewa dan manusia,
Taman dan hutan, aula dan paviliun
Dan berbagai perhiasan berharga.
Terdapat pohon-pohon permata dengan banyak bunga dan buah
Di mana makhluk-makhluk hidup berkeliling dengan gembira.
Para dewa memainkan genderang surgawi,
Selalu menyanyikan berbagai jenis lagu,
Dan bunga-bunga mandarava
Bertaburan di atas Sang Buddha dan perkumpulan besar-Nya
Tanah Suci-Ku tidak hancur,
Tetapi banyak orang melihatnya terbakar seluruhnya.
Khawatir, ketakutan, dan menderita,
Orang-orang demikian ada di mana-mana.
Semua mahkluk ini dengan kejahatan-kejahatan,
Karena sebab dan kondisi karma buruk,
Melalui ber-asamkhyeya kalpa,
Tanpa mendengar nama Triratna.
Semua yang telah mengembangkan jasa dan kebajikan,
Yang tunduk, serasi, dan jujur
Mereka semuanya melihat-Ku
Di sini, mengucapkan Dharma.
Kadangkala untuk perkumpulan ini,
Aku mengatakan panjang kehidupan Buddha tak terbatas.
Kepada mereka yang melihat Buddha hanya setelah jangka waktu yang lama,
Aku mengatakan Buddha sulit untuk dijumpai.
Kekuatan kebijaksanaan-Ku
Pancaran kebijaksanaan-Ku yang tak terbatas
Adalah sedemikian sehingga panjang kehidupan-Ku satu kalpa tidak terhitung
Yang dicapai melalui pengembangan dan usaha yang panjang.
Kalian semua dengan kebijaksanaan,
Tidak seharusnya memiliki keraguan tentang hal ini.
Hapuskan semua sepenuhnya dan selamanya,
Karena kata-kata Sang Buddha adalah benar, tidak salah.
Ini bagaikan jalan bijaksana yang cekatan dari sang tabib
Yang, untuk menyembuhkan anak-anaknya yang hilang akal,
Sebenarnya masih hidup, tetapi mengatakan ia sudah meninggal,
Dan tidak ada yang dapat mengatakan bahwa ia berkata dusta.
Aku juga bagaikan bapak dunia,
Menyelamatkan semua dari penderitaan dan kesengsaraan.
Tetapi kepada makhluk-makhluk hidup, yang berbalik seperti mereka adanya,
Aku mengatakan penghentian, walaupun Aku sebenarnya tetap ada.
Jika tidak, karena mereka sering bertemu dengan-Ku,
Mereka akan berkembang menjadi sombong dan lalai.
Tidak patuh dan melekat pada lima nafsu keinginan,
Mereka akan jatuh ke dalam jalan kejahatan.
Aku selalu sadar akan makhluk-makhluk hidup
Mereka yang menjalankan Sang Jalan dan mereka yang tidak.
Aku mengatakan berbagai Dharma untuk kepentingan mereka
Untuk menyelamatkan mereka dengan cara yang sesuai.
Aku selalu berpikir,
‘Bagaimana Aku dapat menyebabkan makhluk-makhluk hidup
Untuk memasuki Jalan yang Tak Tertandingi
Dan dengan cepat menyempurnakan tubuh seorang Buddha?’”

Diterjemahkan dari: Lotus Sutra - Chapter Sixteen The Thus Come One's Life Span (http://buddhistdoor.com/resources/sutras/lotus/sources/lotus16.htm)

Buddha memang mengajarkan untuk tidak mudah percaya seperti dalam Kalama Sutta dan menurut saya konsep Mahayana tentang kekuatan tak terbatas seorang Buddha bukan untuk membuat orang mudah percaya, tetapi hanya untuk meneguhkan bahwa seorang Buddha jauh di atas kemampuan manusia biasa karena pencapaian Kebuddhaan-nya.

Mengenai hukum karma, memang manusia biasa tunduk pada hukum karma, tetapi tidak untuk seorang Buddha seperti pada kutipan di atas.

Soal mengapa Buddha yang bisa hidup berkalpa-kalpa cuma bisa hidup 80 tahun dalam sejarah yang kita kenal, pandangan anda sesuai dengan RAPB memang benar jika dilihat dari konsep Theravada. Namun konsep Mahayana memandang seorang Buddha memanifestasikan hukum ketidakkekalan untuk membuat semua makhluk lebih berjuang sungguh2 dalam Dharma seperti kutipan sutra di atas.

Pages: 1 ... 217 218 219 220 221 222 223 [224] 225 226 227 228
anything