//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (3)  (Read 2403 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (3)
Terjemahan Saṃyukta-āgama Kotbah 59 sampai 87

Bhikkhu Anālayo

Abstaksi

Artikel ini menerjemahkan jilid ketiga dari Saṃyukta-āgama, yang mengandung kotbah 59 sampai 87.<1>

59. [Kotbah tentang Muncul dan Lenyapnya]<2>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Terdapat lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati. Apakah lima hal itu? Mereka adalah kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati... perasaan... persepsi... bentukan... kelompok unsur kesadaran yang dilekati.

“[Para bhikkhu], renungkanlah lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini, sifatnya yang muncul dan lenyap, yaitu: ‘Inilah bentuk jasmani, inilah munculnya bentuk jasmani, inilah lenyapnya bentuk jasmani; inilah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, inilah munculnya kesadaran, inilah lenyapnya kesadaran.’

“Apakah munculnya bentuk jasmani? Apakah lenyapnya bentuk jasmani? Apakah munculnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran? Apakah lenyapnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran?

“Dengan munculnya ketagihan dan kenikmatan, bentuk jasmani muncul; dengan lenyapnya ketagihan dan kenikmatan, bentuk jasmani lenyap. Dengan munculnya kontak, perasaan... persepsi... bentukan muncul; dengan lenyapnya kontak, perasaan... persepsi... bentukan lenyap. Dengan munculnya nama-dan-bentuk, kesadaran muncul; dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, kesadaran lenyap.

“Para bhikkhu, dengan cara ini bentuk jasmani muncul dan bentuk jasmani lenyap, inilah munculnya bentuk jasmani dan lenyapnya bentuk jasmani. Dengan cara ini perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran muncul dan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran lenyap, inilah munculnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran dan lenyapnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

60. [Kotbah tentang Tidak Menyenangi]<3>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Terdapat lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati. Apakah lima hal itu? Yaitu, mereka adalah kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati... perasaan... persepsi... bentukan... kelompok unsur kesadaran yang dilekati.

“Akan baik, para bhikkhu, jika kalian tidak menyenangi bentuk jasmani, tidak memuji bentuk jasmani, tidak melekat pada bentuk jasmani, tidak terikat pada bentuk jasmani. Akan baik, para bhikkhu, jika kalian tidak menyenangi perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, tidak memuji kesadaran, tidak melekat pada kesadaran, tidak terikat pada kesadaran. Mengapa demikian?

“Jika seorang bhikkhu tidak menyenangi bentuk jasmani, tidak memuji bentuk jasmani, tidak melekat pada bentuk jasmani, tidak terikat pada bentuk jasmani, maka dengan tidak menyenangi bentuk jasmani pikirannya mencapai pembebasan. Dengan cara yang sama [jika ia] tidak menyenangi perasaan [15c]... persepsi... bentukan... tidak menyenangi kesadaran,<4> tidak memuji kesadaran, tidak melekat pada kesadaran, tidak terikat pada kesadaran, maka dengan tidak menyenangi kesadaran pikirannya mencapai pembebasan.

“Jika seorang bhikkhu tidak menyenangi bentuk jasmani dan pikirannya telah mencapai pembebasan... dengan cara yang sama [jika ia] tidak menyenangi perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran dan pikirannya telah mencapai pembebasan, [baginya] tidak ada kemusnahan dan tidak ada kemunculan [kembali], ia berkembang dalam keseimbangan yang stabil, dengan perhatian benar dan pemahaman benar.

“Bhikkhu itu, yang memahami seperti ini dan melihat seperti ini, selamanya telah melenyapkan pandangan tentang masa lampau tanpa sisa. Dengan pandangan tentang masa lampau yang selamanya telah dilenyapkan tanpa sisa, ia juga selamanya telah melenyapkan pandangan tentang masa depan tanpa sisa. Dengan pandangan masa depan yang selamanya telah dilenyapkan tanpa sisa, ia juga selamanya telah melenyapkan pandangan tentang masa sekarang tanpa sisa dan tidak melekat pada apa pun.

“Seseorang yang tidak melekat pada apa pun tidak terikat pada apa pun di seluruh dunia. Seseorang yang tidak terikat pada apa pun tidak mencari apa pun. Seseorang yang tidak mencari apa pun secara pribadi merealisasi Nirvāṇa, [dengan mengetahui]: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsung yang lebih jauh lagi.’”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

61. [Kotbah tentang Analisis]<5>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Terdapat lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati. Apakah lima hal itu? Yaitu, terdapat kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati... perasaan... persepsi... bentukan... kelompok unsur kesadaran yang dilekati.

“Apakah kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati? Apa pun bentuk jasmani, semua darinya yang merupakan empat unsur dan bentuk yang terbentuk dari empat unsur. Ini disebut kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati.

“Selanjutnya, bentuk jasmani itu adalah tidak kekal, dukkha, dan bersifat berubah-ubah. Jika kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati itu selamanya dilepaskan tanpa sisa, sepenuhnya dilepaskan, lenyap, memudar,<6> ditenangkan, dan hancur, dan lebih jauh [kemunculan] kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati dihentikan, tidak muncul, tidak timbul – [maka] ini disebut luhur, ini disebut damai, ini disebut ditinggalkannya sepenuhnya semua perolehan, lenyapnya ketagihan, lenyapnya nafsu, terhentinya, Nirvāṇa.

“Apakah kelompok unsur perasaan yang dilekati? Yaitu, terdapat enam kelompok perasaan. Apakah enam hal itu? Yaitu, terdapat perasaan yang muncul dari kontak-mata... [kontak]-telinga... [kontak]-hidung... [kontak]-lidah... [kontak]-badan... perasaan yang muncul dari kontak-pikiran. Ini disebut kelompok unsur perasaan yang dilekati. Selanjutnya, kelompok unsur perasan yang dilekati itu adalah tidak kekal, dukkha, dan bersifat berubah-ubah... sampai dengan... terhentinya, Nirvāṇa.

“Apakah kelompok unsur persepsi yang dilekati? Yaitu, terdapat enam kelompok persepsi. Apakah enam hal itu? Yaitu, terdapat persepsi yang muncul dari kontak-mata... sampai dengan... persepsi yang muncul dari kontak-pikiran. Ini disebut kelompok unsur persepsi yang dilekati. Selanjutnya, kelompok unsur persepsi yang dilekati itu adalah tidak kekal, dukkha, dan bersifat berubah-ubah... sampai dengan... terhentinya, Nirvāṇa.

“Apakah kelompok unsur bentukan yang dilekati? Yaitu, terdapat enam kelompok kehendak.<7> Apakah enam hal itu? Yaitu, terdapat kehendak yang muncul dari kontak-mata... sampai dengan... kehendak yang muncul dari kontak-pikiran. [16a] Ini disebut kelompok unsur bentukan yang dilekati. Selanjutnya, kelompok unsur bentukan yang dilekati itu adalah tidak kekal, dukkha, dan bersifat berubah-ubah... sampai dengan... terhentinya, Nirvāṇa.

“Apakah kelompok unsur kesadaran yang dilekati? Yaitu, terdapat enam kelompok kesadaran. Apakah enam hal itu? Yaitu, terdapat kelompok kesadaran-mata... sampai dengan... kesadaran-pikiran. Ini disebut kelompok unsur kesadaran yang dilekati. Selanjutnya, kelompok unsur kesadaran yang dilekati itu adalah tidak kekal, dukkha, dan bersifat berubah-ubah... sampai dengan... terhentinya, Nirvāṇa.

“Para bhikkhu, jika seseorang memberikan pengamatan dengan kebijaksanaan pada ajaran ini, menyelidikinya, menganalisisnya, dan menerimanya, [maka] ia disebut seorang pengikut-keyakinan, yang melampaui dan meninggalkan di belakang [lingkaran] kelahiran,<8> yang melampaui tingkat seorang duniawi, yang pasti akan mencapai buah pemasuk-arus dan tidak akan meninggal dunia di antaranya tanpa mencapai buah pemasuk-arus.

“Para bhikkhu, jika seseorang memberikan pengamatan dengan kebijaksanaan yang lebih tinggi pada ajaran ini, menyelidikinya, [menganalisisnya], dan menerimanya, [maka] ia disebut seorang pengikut-Dharma, yang melampaui dan meninggalkan di belakang [lingkaran] kelahiran, yang melampaui tingkat seorang duniawi, yang pasti akan mencapai buah pemasuk-arus dan tidak akan meninggal dunia di antaranya tanpa mencapai buah pemasuk-arus.

“Para bhikkhu, seseorang yang melihat ajaran ini sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar akan melenyapkan tiga belenggu, meninggalkannya dengan pengetahuan, yaitu, [tiga belenggu dari] pandangan personalitas, kemelekatan pada aturan-aturan, dan keragu-raguan. Para bhikkhu, ini disebut buah pemasuk-arus; tanpa jatuh ke [alam] tujuan yang buruk ia pasti akan maju dengan tepat menuju pencerahan sempurna, setelah [paling banyak] tujuh kehidupan terlahir sebagai seorang deva atau manusia, ia akan kemudian [mencapai] akhir dukkha sepenuhnya.

“Para bhikkhu, jika seseorang melihat ajaran ini sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar dan tidak membangkitkan arus-arus [kekotoran batin] dalam pikiran, ia disebut seorang arahant, yang telah melenyapkan arus-arus [kekotoran batin], telah melakukan apa yang harus dilakukan, melepaskan beban berat, memperoleh manfaatnya sendiri, melenyapkan semua belenggu kehidupan, seseorang yang pikirannya dengan pemahaman benar telah mencapai pembebasan.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

62. [Kotbah tentang Kemelekatan yang Penuh Nafsu]

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Terdapat lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati, yaitu, kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati... perasaan... persepsi... bentukan... kelompok unsur kesadaran yang dilekati.

“Seorang duniawi dungu yang tidak terpelajar, yang bodoh dan tanpa kebijaksanaan, sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati memunculkan pandangan diri, yang adalah suatu ikatan dari kemelekatan dan kecenderungan batin pada belenggu yang memunculkan nafsu keinginan.<9>

“Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terpelajar, yang memiliki pengetahuan dan penglihatan sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati tidak memiliki pandangan diri, yang adalah suatu ikatan dari kemelekatan dan kecenderungan batin pada belenggu yang memunculkan nafsu keinginan.

“Bagaimanakah seorang duniawi dungu yang tidak terpelajar, yang bodoh dan tanpa kebijaksanaan, sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati memiliki pandangan diri, yang adalah suatu ikatan dari kemelekatan dan kecenderungan batin pada belenggu yang memunculkan nafsu keinginan?

“Para bhikkhu, seorang duniawi dungu yang tidak terpelajar, yang bodoh dan tanpa kebijaksanaan, melihat bentuk jasmani sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau suatu diri] sebagai ada [di dalam bentuk jasmani]. Dengan cara yang sama [ia melihat] perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau suatu diri] sebagai ada [di dalam kesadaran]. Dengan cara ini seorang duniawi dungu yang tidak terpelajar, yang bodoh dan tanpa kebijaksanaan, sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati menyatakan suatu diri, yang adalah suatu ikatan dari kemelekatan dan kecenderungan batin pada belenggu yang memunculkan nafsu keinginan. [16b]

“Para bhikkhu, bagaimanakah seorang siswa mulia [yang terpelajar], yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan, tidak menyatakan suatu diri, yang adalah suatu ikatan dari kemelekatan dan kecenderungan batin pada belenggu yang memunculkan nafsu keinginan? Seorang siswa mulia [yang terpelajar] tidak melihat bentuk jasmani sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau suatu diri] sebagai ada [di dalam bentuk jasmani]. Dengan cara yang sama ia tidak melihat perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau suatu diri] sebagai ada [di dalam kesadaran]. Dengan cara ini seorang siswa mulia yang terpelajar, yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan, sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan tidak memiliki pandangan diri, yang adalah suatu ikatan dari kemelekatan dan kecenderungan batin pada belenggu yang memunculkan nafsu keinginan.

“Apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua [bentuk jasmani] demikian ia dengan benar merenungkannya semua sebagai sepenuhnya tidak kekal. Dengan cara yang sama [apa pun] perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua [kesadaran] demikian ia dengan benar merenungkannya semua sebagai sepenuhnya tidak kekal.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

63. [Kotbah tentang Jenis-Jenis Perenungan]<10>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Terdapat lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati, yaitu, kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati... perasaan... persepsi... bentukan... kelompok unsur kesadaran yang dilekati.

“Para bhikkhu, jika para pertapa dan brahmana berspekulasi tentang keberadaan diri, mereka semuanya berspekulasi tentang keberadaan diri sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan ini.<11> Apakah lima hal itu?

“Para pertapa dan brahmana melihat bentuk jasmani sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau suatu diri] sebagai ada [di dalam bentuk jasmani]. Dengan cara yang sama mereka melihat perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau suatu diri] sebagai ada [di dalam kesadaran].

“Dengan cara ini seorang duniawi bodoh yang tidak terpelajar berspekulasi tentang diri, yang tidak tahu [bagaimana] membedakannya. Dengan merenungkannya seperti ini, ia tidak terpisahkan dari “milikku”. Seseorang yang tidak terpisahkan dari “milikku” terlibat dalam indera-indera.<12> Terlibatnya dalam indera-indera memunculkan kontak. [Melalui] enam kontak yang terlibat dengan kontak, kenikmatan dan penderitaan muncul dalam seorang duniawi bodoh yang tidak terpelajar, di mana jenis [pandangan] ini atau yang lain muncul, yaitu, [melalui] enam kelompok kontak. Apakah enam hal itu?

“Yaitu, terdapat landasan kontak-mata, [kontak-]telinga... [kontak-]hidung... [kontak-]lidah... [kontak-]badan... landasan [kontak-]pikiran. Para bhikkhu, terdapat unsur pikiran, unsur objek-pikiran dan unsur ketidaktahuan. Dengan dikontak oleh kontak yang bodoh, seorang duniawi dungu yang tidak terpelajar menyatakan keberadaan, menyatakan ketiadaan, menyatakan keberadaan-dan-ketiadaan, menyatakan bukan-keberadaan-ataupun-bukan-ketiadaan, menyatakan dirinya sebagai yang lebih tinggi, [menyatakan diri sebagai yang lebih rendah],<13> menyatakan dirinya sebagai sama, [dengan mengatakan:] ‘Aku mengetahuinya, aku melihatnya.’<14>

“Selanjutnya, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terpelajar, [selagi] berkembang dalam enam landasan kontak,<15> dapat menjadi kecewa dengan ketidaktahuan dan [dengan] munculnya pengetahuan ia tidak [menyatakan] keberadaan, tidak [menyatakan] ketiadaan, tidak [menyatakan] keberadaan-dan-ketiadaan, tidak [menyatakan] bukan-keberadaan-ataupun-bukan-ketiadaan, tidak [menyatakan] dirinya sebagai lebih tinggi, tidak [menyatakan] dirinya sebagai lebih rendah, [16c] tidak [menyatakan] dirinya sebagai sama, [dengan mengatakan:] ‘Aku mengetahuinya, aku melihatnya.’ Setelah menghasilkan pengetahuan seperti ini, penglihatan seperti ini, kontak yang sebelumnya muncul karena ketidaktahuan lenyap, sedangkan kontak karena pengetahuan muncul.”<16>

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (3)
« Reply #1 on: 05 July 2015, 01:33:28 PM »
64. [Kotbah tentang Ucapan yang Menginspirasi]<17>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Taman Timur, Aula Ibu Migāra.

Pada waktu itu Sang Bhagava bangkit dari meditasi pada sore hari, pergi keluar dari aula itu dan pada tempat terteduh di aula itu duduk di sebuah tempat duduk yang telah disediakan di depan sejumlah besar perkumpulan.<18> Pada waktu itu Sang Bhagava mengucapkan suatu ucapan yang menginspirasi:

“Dalam Dharma tidak ada ‘aku’
dan juga tidak ada ‘milikku’.
Karena tidak akan ada ‘aku’,
bagaimana mungkin ‘milikku’ muncul?
Seorang bhikkhu yang berketetapan pada hal ini,<19>
akan meninggalkan jenis belenggu-belenggu yang lebih rendah.”<20>

Kemudian seorang bhikkhu tertentu bangkit dari tempat duduknya, membuka bahu kanannya, berlutut di lantai dengan lutut kanannya dan dengan kedua telapak tangan disatukan berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava, bagaimanakah:

‘Tidak ada ‘aku’
dan juga tidak ada ‘milikku’.
Karena tidak akan ada ‘aku’,
bagaimana mungkin ‘milikku’ muncul?
Seorang bhikkhu yang berketetapan pada hal ini
akan meninggalkan jenis belenggu-belenggu yang lebih rendah’?”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Seorang duniawi bodoh yang tidak terpelajar berspekulasi bahwa bentuk jasmani adalah diri, berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], ada [dalam diri, atau suatu diri] ada [di dalam bentuk jasmani]... bahwa perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri, berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], ada [dalam diri, atau suatu diri] ada [di dalam kesadaran].<21>

“Seorang siswa mulia yang terpelajar tidak melihat bentuk jasmani sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau suatu diri] sebagai ada [di dalam bentuk jasmani]. Ia tidak melihat perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau suatu diri] sebagai ada [di dalam kesadaran]; ia bukan seseorang yang memahami [hal itu dengan cara ini], bukan seseorang yang melihat [hal itu dengan cara ini].

“Bentuk jasmani ini adalah tidak kekal; perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal. Bentuk jasmani adalah dukkha; perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah dukkha. Bentuk jasmani adalah bukan diri; perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah bukan diri. Bentuk jasmani ini akan tidak ada; perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran akan tidak ada.<22> Bentuk jasmani ini akan menjadi musnah;<23> perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran akan menjadi musnah. Oleh sebab itu ia bukan aku dan bukan milikku. Tidak akan ada aku dan milikku. Seseorang yang berketetapan dengan cara ini akan meninggalkan lima jenis belenggu yang lebih rendah.”

Kemudian bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava, setelah meninggalkan lima jenis belenggu yang lebih rendah, bagaimana seseorang melenyapkan arus-arus [kekotoran batin] dan dengan pembebasan pikiran yang bebas dari arus-arus [kekotoran batin] dan pembebasan melalui kebijaksanaan mengetahui di sini dan saat ini bagi dirinya sendiri dan sepenuhnya berkembang dalam realisasi bahwa: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi’?”<24>

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Seorang duniawi yang bodoh, seorang yang tidak terpelajar, memunculkan ketakutan dan kekhawatiran pada hal-hal yang tidak menakutkan. Bagi seorang duniawi yang bodoh, seorang yang tidak terpelajar, ini memunculkan ketakutan bahwa ‘tidak ada ‘aku’,’ bahwa ‘tidak ada ‘milikku’,’ bahwa dua hal ini seharusnya tidak muncul.<25>[17a]

“Terdapat empat pengembangan kesadaran, di mana ia disokong. Apakah empat hal itu? Yaitu, kesadaran dikembangkan pada bentuk jasmani, disokong oleh bentuk jasmani, menginginkan dan menyenangi bentuk jasmani, [dengan cara itu] bertambah, berkembang, dan mengembang. Kesadaran dikembangkan pada perasaan... persepsi... bentukan, disokong oleh mereka, menginginkan dan menyenangi mereka, [dengan cara itu] bertambah, berkembang, dan mengembang.

“Bhikkhu, pada saat ini kesadaran – seraya ia datang, seraya ia pergi, seraya ia berkembang, seraya ia muncul, seraya ia lenyap – meningkat, berkembang, dan mengembang.<26> Seandainya seseorang berkata: ‘Masih ada cara lain bagaimana kesadaran – seraya ia datang, seraya ia pergi, seraya ia berkembang, seraya ia muncul, seraya ia lenyap – meningkat, berkembang, dan mengembang.’ Tetapi, ketika ditanya, ia yang mengatakan demikian tidak akan mengetahui dan memunculkan lebih banyak kebingungan,<27> karena ini di luar bidang pengalamannya.<28> Mengapa demikian?

“Bhikkhu, setelah menjadi terbebaskan dari nafsu terhadap landasan bentuk jasmani, belenggu yang muncul dalam pikiran terhadap bentuk jasmani juga ditinggalkan. Setelah meninggalkan belenggu yang muncul dalam pikiran terhadap bentuk jasmani, sokongan untuk kesadaran juga ditinggalkan. Kesadaran tidak akan lebih jauh dikembangkan dan tidak akan lebih jauh meningkat, berkembang, atau mengembang. Setelah menjadi terbebaskan dari nafsu terhadap landasan perasaan... persepsi... bentukan, belenggu yang muncul dalam pikiran terhadap perasaan... persepsi... bentukan juga ditinggalkan, dukungan [untuk kesadaran] juga ditinggalkan. Kesadaran tidak akan lebih jauh dikembangkan dan tidak akan lebih jauh bertambah, berkembang, atau mengembang.

“Karena kesadaran tidak dikembangkan lagi di mana pun, ia tidak bertambah. Karena tidak bertambah, ia tidak aktif di mana pun. Karena tidak aktif di mana pun, ia stabil.<29> Karena stabil, ia puas. Karena puas, ia terbebaskan.<30> Karena terbebaskan, tidak ada kemelekatan pada apa pun di seluruh dunia. Karena tidak ada kemelekatan pada apa pun, tidak ada keterikatan pada apa pun. Karena tidak ada keterikatan pada apa pun, seseorang secara pribadi merealisasi Nirvāṇa, [dengan mengetahui]: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’

“Bhikkhu, Aku katakan kesadarannya tidak berkembang pada arah timur, arah selatan... barat... arah utara, empat arah di antaranya, di atas, atau di bawah.<31> Setelah melepaskan keinginan ia melihat Dharma, Nirvāṇa, terhentinya, kedamaian, padamnya.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

65. [Kotbah tentang Perasaan]<32>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Kalian seharusnya terus-menerus berlatih meditasi dengan tekun, menenangkan pikiran dari dalam. Mengapa demikian? Para bhikkhu, kalian seharusnya berlatih meditasi dengan tekun, menenangkan pikiran dari dalam dan menyelidiki [kelompok unsur kehidupan] sebagaimana adanya.

“Bagaimanakah menyelidiki [kelompok unsur kehidupan] sebagaimana adanya? [Dengan cara ini:] ‘Inilah bentuk jasmani, inilah munculnya bentuk jasmani, inilah lenyapnya bentuk jasmani. Inilah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, inilah munculnya kesadaran, inilah lenyapnya kesadaran.’

“Apakah munculnya bentuk jasmani, munculnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran? Seorang duniawi bodoh yang tidak terpelajar tidak menyelidiki perasaan menyakitkan, menyenangkan atau netral sebagaimana adanya: [17b] ‘inilah munculnya perasaan, lenyapnya perasaan, kepuasan dari perasaan, bahaya dalam perasaan, dan jalan keluar dari perasaan.’ Karena tidak menyelidikinya sebagaimana adanya, ia menyenangi perasaan dan terikat padanya, memunculkan kemelekatan.<33> Bergantung pada kemelekatan, terdapat kemenjadian. Bergantung pada kemenjadian, terdapat kelahiran. Bergantung pada kelahiran, terdapat usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan. Dengan cara ini keseluruhan kumpulan besar dukkha ini muncul terus-menerus. Ini disebut munculnya bentuk jasmani, ini disebut munculnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran.

“Apakah lenyapnya bentuk jasmani, lenyapnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran? Seorang siswa mulia yang terpelajar menyelidiki pengalaman dari perasaan menyakitkan, menyenangkan atau netral sebagaimana adanya: ‘inilah munculnya perasaan, lenyapnya perasaan, kepuasan dari perasaan, bahaya dalam perasaan, dan jalan keluar dari perasaan.’ Karena menyelidikinya sebagaimana adanya, kesenangan dalam perasaan dan keterikatan padanya lenyap. Karena lenyapnya keterikatan, kemelekatan lenyap. Karena lenyapnya kemelekatan, terdapat lenyapnya kemenjadian. Karena lenyapnya kemenjadian, terdapat lenyapnya kelahiran. Karena lenyapnya kelahiran, terdapat lenyapnya usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan. Dengan cara ini keseluruhan kumpulan besar dukkha ini sepenuhnya lenyap. Ini disebut lenyapnya bentuk jasmani, lenyapnya perasaan... perasaan... bentukan... kesadaran.

“Oleh sebab itu, para bhikkhu, kalian seharusnya terus-menerus berlatih meditasi dengan tekun, menenangkan pikiran dari dalam. Seorang bhikkhu yang berkembang dalam meditasi dengan usaha yang tekun dan yang menenangkan pikiran dari dalam, menyelidiki [kelompok unsur kehidupan] sebagaimana adanya.”<34>

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Seperti halnya “menyelidiki”, dengan cara yang sama untuk “menganalisis”, “menganalisis dengan berbagai cara”, “memahami”, “memahami secara luas”, “memahami dengan berbagai cara”, “menjadi familiar dengan”, “menjadi familiar dengan berlatih”, “terlibat dalam”, “mengontak”, dan “menyadari”, dua belas kotbah seharusnya dibacakan secara lengkap dengan cara yang sama.<35>

66. [Kotbah tentang Munculnya]<36>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Kalian seharusnya terus-menerus berlatih meditasi dengan tekun, menenangkan pikiran dari dalam. Mengapa demikian? Setelah berlatih meditasi dengan tekun dan menenangkan pikiran dari dalam, seseorang menyelidiki [kelompok unsur kehidupan] sebagaimana adanya.

“Bagaimanakah menyelidiki [kelompok unsur kehidupan] sebagaimana adanya? Dengan menyelidikinya sebagaimana adanya: ‘Inilah bentuk jasmani, inilah munculnya bentuk jasmani, inilah lenyapnya bentuk jasmani. Inilah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, inilah munculnya kesadaran, inilah lenyapnya kesadaran.’

“Apakah munculnya bentuk jasmani? Apakah munculnya perasan... persepsi... bentukan... kesadaran? Para bhikkhu, karena seorang duniawi bodoh yang tidak terpelajar tidak menyelidiki sebagaimana adanya munculnya bentuk jasmani, [lenyapnya bentuk jasmani], kepuasan dari bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani, ia menyenangi bentuk jasmani, ia memuji ketagihan dan keterikatan padanya, dan ia memunculkan bentuk jasmani lebih jauh pada masa depan... perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran seharusnya dibacakan secara lengkap dengan cara yang sama.

“Bahwa bentuk jasmani yang telah muncul, perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran yang telah muncul, ia tidak terbebaskan dari bentuk jasmani, ia tidak terbebaskan dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran. Aku katakan, ia tidak terbebaskan dari kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan, dari keseluruhan kumpulan besar dukkha ini. Ini disebut munculnya bentuk jasmani, munculnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran.

“Apakah lenyapnya bentuk jasmani? Apakah lenyapnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran? Seorang siswa mulia yang terpelajar menyelidiki sebagaimana adanya munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dari bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani, memahaminya sebagaimana adanya. Karena memahaminya sebagaimana adanya, [17c] ia tidak menyenangi bentuk jasmani, ia tidak memuji bentuk jasmani. Dengan tidak menyenangi dengan keterikatan pada bentuk jasmani, ia juga tidak memunculkan bentuk jasmani di masa depan... perasan... persepsi... bentukan... kesadaran seharusnya juga dibacakan secara lengkap dengan cara yang sama.

“Karena tidak memunculkan bentuk jasmani, tidak memunculkan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, ia mencapai pembebasan dari bentuk jasmani, mencapai pembebasan dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran. Aku katakan, ia terbebaskan dari kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan, dari keseluruhan kumpulan besar dukkha ini.<37> Ini disebut lenyapnya bentuk jasmani, lenyapnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran.

“Oleh sebab itu, para bhikkhu, kalian seharusnya terus-menerus berlatih meditasi dengan tekun, menenangkan pikiran dari dalam, membuat usaha yang tekun untuk menyelidiki [kelompok unsur kehidupan] sebagaimana adanya.”
Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Seperti halnya “menyelidiki”, dengan cara yang sama... sampai dengan... “menyadari”, dua belas kotbah seharusnya dibacakan secara lengkap dengan cara yang sama.

67. [Kotbah tentang Menyenangi]<38>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Kalian seharusnya terus-menerus berlatih meditasi dengan tekun, menenangkan pikiran dari dalam. Mengapa demikian? Setelah berlatih meditasi dengan tekun dan menenangkan pikiran dari dalam, seseorang menyelidiki [kelompok unsur kehidupan] sebagaimana adanya.

“Bagaimanakah menyelidiki [kelompok unsur kehidupan] sebagaimana adanya? Dengan memahami sebagaimana adanya: ‘Inilah bentuk jasmani, inilah munculnya bentuk jasmani, inilah lenyapnya bentuk jasmani. Inilah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, inilah munculnya kesadaran, inilah lenyapnya kesadaran.’

“Apakah munculnya bentuk jasmani, munculnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran? Seorang duniawi bodoh yang tidak terpelajar tidak memahami sebagaimana adanya munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dari bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani. Karena tidak memahaminya sebagaimana adanya, ia menyenangi dengan keterikatan pada bentuk jasmani itu, ia memuji bentuk jasmani. Karena menyenangi dengan keterikatan pada bentuk jasmani dan memuji bentuk jasmani, terdapat kemelekatan. Bergantung pada kemelekatan, terdapat kemenjadian. Bergantung pada kemenjadian, terdapat kelahiran. Bergantung pada kelahiran, terdapat usia tua, [penyakit], kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan. Dengan cara ini keseluruhan kumpulan besar dukkha ini muncul. Ini disebut munculnya bentuk jasmani, munculnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran.

“Apakah lenyapnya bentuk jasmani, lenyapnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran? Seorang siswa mulia yang terpelajar memahami sebagaimana adanya munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dari bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani. Karena memahaminya sebagaimana adanya, ia tidak menyenangi dengan keterikatan pada bentuk jasmani, ia tidak memuji bentuk jasmani. Karena tidak menyenangi dengan keterikatan pada bentuk jasmani dan tidak memujinya, ketagihan dan kesenangan lenyap. Karena lenyapnya ketagihan dan kesenangan, kemelekatan lenyap. Karena lenyapnya kemelekatan, kemenjadian lenyap. Karena lenyapnya kemenjadian, kelahiran lenyap. Karena lenyapnya kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan lenyap. Dengan cara ini keseluruhan kumpulan besar dukkha ini lenyap.

“Seorang siswa mulia yang terpelajar memahami perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagaimana adanya,<39> memahami munculnya kesadaran, lenyapnya kesadaran, kepuasan dari kesadaran, bahaya dari kesadaran, dan jalan keluar dari kesadaran. Karena memahaminya [sebagaimana adanya], ia tidak menyenangi dengan keterikatan pada kesadaran itu, ia tidak memuji kesadaran. Karena tidak menyenangi dengan keterikatan pada kesadaran dan memujinya, ketagihan dan kesenangan lenyap. Karena lenyapnya ketagihan dan kesenangan, kemelekatan lenyap. Karena lenyapnya kemelekatan, kemenjadian lenyap. Karena lenyapnya kemenjadian, kelahiran lenyap. Karena lenyapnya kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan lenyap. [18a] Dengan cara ini keseluruhan kumpulan besar dukkha ini lenyap, ia semuanya mencapai lenyapnya sepenuhnya. Para bhikkhu, ini disebut lenyapnya bentuk jasmani, lenyapnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran.

“Para bhikkhu, kalian seharusnya terus-menerus berlatih meditasi dengan tekun, menenangkan pikiran dari dalam.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Seperti halnya “menyelidiki”... sampai dengan... “menyadari”, dua belas kotbah seharusnya dibacakan secara lengkap dengan cara yang sama.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (3)
« Reply #2 on: 05 July 2015, 01:42:06 PM »
68. [Kotbah tentang Enam Landasan Indera]<40>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Kalian seharusnya terus-menerus berlatih meditasi dengan tekun, menenangkan pikiran dari dalam, dan menyelidiki [kelompok unsur kehidupan] sebagaimana adanya.

“Bagaimanakah menyelidiki [kelompok unsur kehidupan] sebagaimana adanya? Dengan memahami sebagaimana adanya: ‘Inilah bentuk jasmani, inilah munculnya bentuk jasmani, inilah lenyapnya bentuk jasmani. Inilah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, inilah munculnya kesadaran, inilah lenyapnya kesadaran.’

“Apakah munculnya bentuk jasmani, munculnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran? Bergantung pada mata dan bentuk, kesadaran-mata muncul. Dengan bertemunya ketiganya, kontak muncul.<41> Bergantung pada kontak, perasaan muncul. Bergantung pada perasaan, ketagihan muncul... sampai dengan... keseluruhan kumpulan besar dukkha ini muncul. Ini disebut munculnya bentuk jasmani.

“Dengan cara yang sama bergantung pada telinga... hidung... lidah... badan... pikiran dan objek pikiran,<42> kesadaran-pikiran muncul. Dengan bertemunya ketiganya, kontak muncul. Bergantung pada kontak, perasaan muncul. Bergantung pada perasaan, ketagihan muncul... dengan cara yang sama sampai dengan... keseluruhan kumpulan besar dukkha ini muncul. Ini disebut munculnya bentuk jasmani, munculnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran.

“Apakah lenyapnya bentuk jasmani, lenyapnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran? Bergantung pada mata dan bentuk, kesadaran-mata muncul.<43> Dengan bertemunya ketiganya, kontak muncul. Dengan lenyapnya kontak, perasaan lenyap... sampai dengan... keseluruhan kumpulan besar dukkha ini lenyap.

Dengan cara yang sama bergantung pada telinga... hidung... lidah... badan... pikiran dan objek pikiran, kesadaran-pikiran muncul. Dengan bertemunya ketiganya, kontak muncul. Dengan lenyapnya kontak, perasaan lenyap. Dengan lenyapnya perasaan... sampai dengan... keseluruhan kumpulan besar dukkha ini lenyap.<44> Ini disebut lenyapnya bentuk jasmani, lenyapnya perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran.

“Oleh sebab itu, para bhikkhu, kalian seharusnya terus-menerus berlatih meditasi dengan tekun, menenangkan pikiran dari dalam.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Seperti halnya “menyelidiki”... sampai dengan... “menyadari”, dua belas kotbah seharusnya dibacakan secara lengkap dengan cara yang sama.

69. [Kotbah tentang Jalan]<45>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Aku sekarang akan mengajarkan kalian jalan menuju munculnya identitas (sakkāya) dan jalan menuju lenyapnya identitas.

“Apakah jalan menuju munculnya identitas? Seorang duniawi bodoh yang tidak terpelajar tidak memahami sebagaimana adanya [bentuk jasmani],<46> munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dari bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani. [18b]

“Karena tidak memahaminya sebagaimana adanya, ia menyenangi bentuk jasmani, memuji bentuk jasmani, terikat pada bentuk jasmani, dan menjadi berkembang pada bentuk jasmani. Karena menyenangi bentuk jasmani, memuji bentuk jasmani, terikat pada bentuk jasmani, dan menjadi berkembang pada bentuk jasmani, ia melekat padanya dengan ketagihan dan kesenangan. Bergantung pada ketagihan, terdapat kemenjadian. Bergantung pada kemenjadian, terdapat kelahiran. Bergantung pada kelahiran, terdapat usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kesakitan dan kekesalan. Dengan cara ini keseluruhan kumpulan besar dukkha ini muncul.

Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran dibacakan secara lengkap. Ini disebut jalan menuju munculnya identitas. Para bhikkhu, kalian seharusnya mengetahui bahwa jalan menuju munculnya identitas adalah jalan menuju munculnya dukkha.

“Apakah jalan menuju lenyapnya identitas? Seorang siswa mulia yang terpelajar memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani, munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dari bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani.

“Karena memahaminya sebagaimana adanya, ia tidak menyenangi bentuk jasmani, tidak memujinya, tidak terikat padanya, dan tidak menjadi berkembang padanya. Karena tidak menyenanginya, tidak memujinya, tidak terikat padanya, dan tidak menjadi berkembang padanya, ketagihan dan kesenangan terhadap bentuk jasmani lenyap. Dengan lenyapnya ketagihan dan kesenangan, kemelekatan lenyap. Dengan lenyapnya kemelekatan, kemenjadian lenyap. Dengan lenyapnya kemenjadian, kelahiran lenyap. Dengan lenyapnya kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kesakitan, dan kekesalan [lenyap], dan keseluruhan kumpulan besar dukkha ini lenyap.

Seperti halnya bentuk, dengan cara yang sama untuk perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran. Ini disebut jalan menuju lenyapnya identitas. Jalan menuju lenyapnya identitas adalah jalan menuju lenyapnya dukkha. Oleh sebab itu Aku telah mengajarkan kalian jalan menuju lenyapnya identitas.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Seperti halnya “aku akan mengajarkan”, [demikian juga] “terdapat” dan “kalian seharusnya memahami” [tiga kotbah] seharusnya dibacakan dengan cara yang sama.<47>

70. [Kotbah tentang Realisasi Sejati]<48>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu:<49> “Aku sekarang akan mengajarkan kalian apa yang berada pada sisi identitas (sakkāyanta),<50> munculnya apa yang berada pada sisi identitas, dan lenyapnya apa yang berada pada sisi identitas. Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama apa yang akan Ku-katakan pada kalian. Apakah yang berada pada sisi identitas? Yaitu, ini adalah lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati. Apakah lima hal itu? Mereka adalah kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati... perasaan... persepsi... bentukan... kelompok unsur kesadaran yang dilekati. Ini disebut apa yang berada pada sisi identitas.

“Apakah munculnya apa yang berada pada sisi identitas? Yaitu, ini adalah ketagihan untuk mengalami kemenjadian masa depan, yang bergabung dengan nafsu dan kesenangan, yang menyenangi dengan keterikatan di sini dan di sana – ini disebut munculnya apa yang berada pada sisi identitas.<51>

“Apakah lenyapnya apa yang berada pada sisi identitas? Yaitu, ini adalah ditinggalkannya tanpa sisa ketagihan untuk mengalami kemenjadian masa depan ini, yang bergabung dengan nafsu dan kesenangan, yang menyenangi dengan keterikatan di sini dan di sana, memuntahkannya, melenyapkannya, memudarnya, terhentinya, penenangannya, lenyapnya – ini disebut lenyapnya apa yang berada pada sisi identitas.

“Untuk alasan ini [Aku mengatakan]: ‘Aku akan mengajarkan kalian apa yang berada pada sisi identitas, munculnya apa yang berada pada sisi identitas, dan lenyapnya apa yang berada pada sisi identitas’.”<52>

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Seperti halnya “Aku akan mengajarkan”, [demikian juga] “terdapat” dan “kalian seharusnya memahami” [tiga kotbah] dibacakan dengan cara yang sama.<53>

71. [Kotbah tentang Identitas]<54>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Aku sekarang akan mengajarkan kalian identitas, [18c] munculnya identitas, lenyapnya identitas, dan jalan menuju lenyapnya identitas. Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama pada apa yang akan Ku-katakan kepada kalian.

“Apakah identitas? Yaitu, ini adalah lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati.<55> Apakah lima hal itu? Mereka adalah kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati... perasaan... persepsi... bentukan... kelompok unsur kesadaran yang dilekati. Ini disebut identitas.

“Apakah munculnya identitas? Ini adalah ketagihan terhadap kemenjadian masa depan, yang bergabung dengan nafsu dan kesenangan, yang menyenangi dengan keterikatan di sini dan di sana – ini disebut munculnya identitas.<56>

“Apakah lenyapnya identitas? Ini adalah ditinggalkannya tanpa sisa ketagihan terhadap kemenjadian masa depan ini, yang bergabung dengan nafsu dan kesenangan, yang menyenangi dengan keterikatan di sini dan di sana, memuntahkannya, melenyapkannya, memudarnya, lenyapnya – ini disebut lenyapnya identitas.

“Apakah jalan menuju lenyapnya identitas? Yaitu, in adalah jalan mulia berunsur delapan: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini disebut jalan menuju lenyapnya identitas.

“Inilah yang disebut [penjelasan dari:] ‘Aku akan mengajarkan kalian identitas, munculnya identitas, lenyapnya identitas, dan jalan menuju lenyapnya identitas’.”<57>

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Satu [kotbah] lainnya harus dibacakan dengan cara yang sama, dengan perbedaan: “kalian seharusnya memahami identitas, kalian seharusnya memahami ditinggalkannya munculnya identitas, kalian seharusnya memahami realisasi lenyapnya identitas, dan kalian seharusnya memahami pelatihan jalan menuju ditinggalkannya identitas.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Seperti halnya “Aku akan mengajarkan”, [demikian juga] “terdapat” dan “kalian seharusnya memahami”, [tiga kotbah] seharusnya dibacakan dengan cara yang sama, lagi dengan perbedaan: “seorang bhikkhu yang memahami identitas, meninggalkan munculnya identitas, merealisasi lenyapnya identitas, dan berlatih jalan menuju lenyapnya identitas disebut seorang bhikkhu yang telah meninggalkan belenggu keinginan dan ketagihan, dan semua yang bersifat membelenggu, yang telah mengembangkan pemahaman dan sepenuhnya membuat akhir dukkha.”

Lagi [ini seharusnya dibacakan] dengan perbedaan: “Ini disebut seorang bhikkhu yang [telah mencapai] akhir sepenuhnya, kebebasan tertinggi dari debu [batin], kehidupan suci tertinggi, seorang manusia sejati [sappurisa].”

Lagi [ini seharusnya dibacakan] dengan perbedaan ini: “Ini disebut seorang bhikkhu yang adalah seorang arahant, yang telah melenyapkan arus-arus [kekotoran batin], yang telah melakukan apa yang harus dilakukan, yang telah melepaskan beban berat, yang telah mendapatkan manfaatnya sendiri, yang telah melenyapkan semua belenggu kehidupan, dan yang pikirannya telah terbebaskan dengan pemahaman benar.”

Lagi [ini seharusnya dibacakan] dengan perbedaan ini: “Ini disebut seorang bhikkhu yang telah meninggalkan penghalang, menyeberangi parit, melampaui pembatasan, melepaskan semua penjaga, dan mendirikan panji Dharma yang mulia.”

Lagi [ini seharusnya dibacakan] dengan perbedaan: “Apakah ditinggalkannya penghalang? Yaitu, ini adalah ditinggalkannya lima jenis belenggu yang lebih rendah. Apakah menyeberangi parit? Yaitu, ini adalah menyeberangi parit ketidaktahuan yang dalam. Apakah melampaui pembatasan? Yaitu, ini adalah [terlampauinya] [lingkaran] kelahiran dan kematian tanpa awal yang tertinggi. Apakah melepaskan semua penjaga? Yaitu, ini adalah pelenyapan ketagihan terhadap kemenjadian. Apakah mendirikan panji Dharma yang mulia? Yaitu, ini adalah pelenyapan kesombongan-‘aku’.”

Lagi [ini seharusnya dibacakan] dengan perbedaan ini: “Ini disebut seorang bhikkhu yang telah meninggalkan lima faktor,<58> yang telah menyelesaikan enam faktor, yang dilindungi oleh yang satu, yang telah menyokong empat jenis, yang telah melepaskan semua kebenaran [duniawi individual], yang bebas dari pencarian apa pun, yang telah memurnikan semua realisasi,<59> yang perbuatan jasmaninya tenang, yang pikirannya terbebaskan dengan baik, [19a] yang terbebaskan dengan baik melalui kebijaksanaan, yang satu demi satu berkembang dalam kehidupan suci, yang adalah seorang yang tiada bandingnya.”

72. [Kotbah tentang Memahami Hal-hal]<60>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Aku akan mengajarkan kalian hal-hal yang harus dipahami, pengetahuan, dan seseorang yang mengetahui. Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama pada apa yang akan Ku-katakan padamu.

“Apakah hal-hal yang harus dipahami? Yaitu, mereka adalah lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati. Apakah lima hal itu? Mereka adalah kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati... perasaan... persepsi... bentukan... kelompok unsur kesadaran yang dilekati. Ini disebut hal-hal yang harus dipahami.

“Apakah pengetahuan? Mendisiplinkan nafsu keinginan, meninggalkan nafsu keinginan, melampaui nafsu keinginan – ini disebut pengetahuan.<61>

“Siapakah seseorang yang mengetahui? Ia adalah seorang arahant.<62> Seorang arahant bukan ada di dunia lain setelah kematian, ataupun ia tidak ada di dunia lain setelah kematian, ataupun ia ada-dan-tidak-ada di dunia lain setelah kematian, ataupun ia bukan-ada-ataupun-bukan-tidak-ada di dunia lain setelah kematian. Dengan menyatakan ini secara terperinci adalah tanpa batas, [karena baginya] semua penyebutan telah selamanya lenyap.

“Inilah yang disebut ajaran tentang hal-hal yang harus dipahami, pengetahuan, dan seseorang yang mengetahui.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

73. [Kotbah tentang Beban Berat]<63>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Aku sekarang akan mengajarkan kalian beban berat, membawa beban, melepaskan beban, dan seseorang yang [mengangkut] beban.<64> Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama pada apa yang akan Ku-katakan kepada kalian.<65>

“Apakah beban berat? Yaitu, ini adalah lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati. Apakah lima hal itu? Mereka adalah kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati... perasaan... persepsi... bentukan... kelompok unsur kesadaran yang dilekati.<66>

“Apakah mengambil beban? Ini adalah ketagihan terhadap kemenjadian masa depan, yang bergabung dengan nafsu dan kesenangan, yang menyenangi dengan keterikatan di sini dan di sana.<67>

“Apakah melepaskan beban? Ini adalah jika ketagihan terhadap kemenjadian masa depan, yang bergabung dengan nafsu dan kesenangan, yang menyenangi dengan keterikatan di sini dan di sana, telah selamanya ditinggalkan tanpa sisa, telah lenyap, telah dimuntahkan, telah dicabut, memudar, lenyap, dan menghilang.<68>

“Siapakah seseorang yang [mengangkut] beban? Yaitu, ia adalah orang itu; seseorang yang memiliki nama demikian, kelahiran demikian, keluarga demikian, makanan demikian, pengalaman kesenangan dan kesakitan yang demikian, masa kehidupan demikian, panjang kehidupan demikian, batas masa kehidupan demikian.<69>

“Inilah yang disebut beban berat, mengambil beban, melepaskan beban, dan seseorang yang [mengangkut] beban.”<70>
Pada waktu itu Sang Bhagava mengucapkan bait-bait syair ini:

“Setelah melepaskan beban berat,<71>
seseorang seharusnya tidak mengambilnya lagi.
Beban berat adalah dukkha yang besar,
melepaskan beban adalah suatu kegembiraan besar.

“Seseorang seharusnya meninggalkan semua ketagihan
dan melenyapkan semua bentukan.<72>
Dengan sepenuhnya memahami kehidupan dan sisa landasan batin
seseorang tidak akan berputar-putar dalam kehidupan yang lebih jauh.”<73> [19b]

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

74. [Kotbah tentang Mendekati]<74>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Terdapat lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati. Apakah lima hal itu? Mereka adalah kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati... perasaan... persepsi... bentukan... kelompok unsur kesadaran yang dilekati.<75>

“Seorang duniawi bodoh yang tidak terpelajar tidak memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani, munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dari bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani.<76>

“Karena tidak memahaminya sebagaimana adanya, ia menyenangi bentuk jasmani, memujinya, terikat padanya dengan keterikatan, dan berkembang padanya. Terikat oleh ikatan dari bentuk jasmani, ia terikat oleh ikatan dari dalam, tanpa memahami asal mulanya, tanpa memahami menyeberanginya,<77> tanpa memahami jalan keluar darinya.<78>

“Ini disebut seorang duniawi bodoh yang tidak terpelajar yang dengan demikian berada dalam ikatan kelahiran dan dengan demikian berada dalam ikatan kematian. Oleh karenanya ia berada dalam ikatan pergi dari dunia ini menuju dunia berikutnya.<79> Di sana, juga, ia dengan demikian berada lagi dalam ikatan kelahiran dan dengan demikian dalam ikatan kematian.<80> Ini disebut seorang duniawi bodoh yang tidak terpelajar yang mengikuti kekuatan Māra, yang telah masuk ke dalam jaring Māra, yang mengikuti manifestasi Māra, yang telah terikat oleh Māra dan yang ditarik oleh Māra.<81> Untuk perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran ini juga dengan cara ini.

“Seorang siswa mulia yang terpelajar memahami sebagaimana adanya bentuk jasmani,<82> munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dari bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani.

“Karena memahaminya sebagaimana adanya, ia tidak memiliki nafsu yang menyenangi bentuk jasmani, tidak memujinya, tidak terikat padanya dengan keterikatan dan berkembang padanya. Dengan tidak terikat oleh ikatan dari bentuk jasmani, ia tidak terikat oleh ikatan dari dalam,<83> ia memahami asal mulanya, memahami menyeberanginya, dan memahami jalan keluar darinya.

“Ini disebut seorang siswa mulia yang terpelajar yang tidak mengikuti ikatan kelahiran dan tidak mengikuti ikatan kematian. Ia tidak mengikuti ikatan pergi dari dunia ini menuju dunia berikutnya dan tidak mengikuti kekuatan Māra, tidak masuk ke dalam tangan Māra, tidak mengikuti aktivitas Māra, tidak terikat oleh Māra; ia terbebaskan dari ikatan Māra dan bebas dari ditariknya oleh Māra.<84> Untuk perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran ini juga dengan cara yang sama.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (3)
« Reply #3 on: 05 July 2015, 01:48:07 PM »
75.<85>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Terdapat lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati. Apakah lima hal itu? Mereka adalah kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati... [perasaan... persepsi... bentukan... kelompok unsur kesadaran yang dilekati].<86>

“Para bhikkhu, terbebaskan melalui menjadi kecewa dengan bentuk jasmani dan bebas dari keinginan terhadapnya,<87> melalui lenyapnya dan tidak munculnya, seseorang disebut seorang Tathāgata, yang adalah seorang arahant, yang tercerahkan sempurna. Dengan cara yang sama terbebaskan melalui menjadi kecewa dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran dan bebas dari keinginan terhadapnya, melalui lenyapnya dan tidak munculnya, seseorang disebut seorang Tathāgata, yang adalah seorang arahant, yang tercerahkan sempurna.

“Para bhikkhu, juga melalui menjadi kecewa dengan bentukan jasmani dan bebas dari keinginan terhadapnya, melalui lenyapnya [dan tidak munculnya], seseorang disebut seorang arahant yang telah terbebaskan melalui kebijaksanaan.<88> Dengan cara yang sama menjadi kecewa dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran dan bebas dari keinginan terhadapnya, melalui lenyapnya [dan tidak munculnya], seseorang disebut seorang arahant yang telah terbebaskan melalui kebijaksanaan.

“Para bhikkhu, apakah perbedaan antara Sang Tathāgata, yang adalah seorang arahant, yang tercerahkan sempurna, dan seorang arahant yang telah terbebaskan melalui kebijaksanaan?”<89>

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Sang Tathāgata adalah akar Dharma, mata Dharma, [19c] landasan Dharma.<90> Semoga Sang Bhagava menjelaskan makna dari hal ini secara lengkap kepada para bhikkhu. Setelah mendengarkannya, para bhikkhu akan menjunjung tingginya dan menerimanya dengan hormat.”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama apa yang akan Ku-katakan kepadamu. Sang Tathāgata, yang adalah seorang arahant,<91> yang tercerahkan sempurna, telah merealisasi Dharma yang tidak pernah Ia dengar sebelumnya, -dapat memampukan diri-Nya sendiri untuk merealisasi Dharma, untuk menembus pencerahan tertinggi. Ia mengajarkan Dharma kepada generasi yang akan datang untuk mencerahkan para siswa-Nya, yaitu, empat penegakan perhatian,<92> empat usaha benar, empat landasan untuk kekuatan batin, lima kemampuan, lima kekuatan, tujuh [faktor] pencerahan, dan jalan [berunsur] delapan.<93>

“Para bhikkhu, ini disebut seorang Tathāgata, yang adalah seorang arahant, yang tercerahkan sempurna, yang telah mencapai apa yang belum tercapai,<94> yang telah memperoleh apa yang belum diperoleh, yang memahami sang jalan, yang melihat dengan jelas sang jalan, yang mengajarkan sang jalan, yang menembus sang jalan, yang lebih lanjut dapat dengan berhasil mengajarkan dan menasehati para siswa, yang dengan cara ini mengajarkan mereka dengan benar dan dengan cara demikian sehingga mereka dengan bahagia bergembira dalam Dharma yang baik. Inilah yang disebut perbedaan antara seorang Tathāgata dan seorang arahant.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

76. [Kotbah tentang Perenungan]<95>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Terdapat lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati. Apakah lima hal itu? Mereka adalah kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati... perasaan... persepsi... bentukan... kelompok unsur kesadaran yang dilekati.<96> Para bhikkhu, kalian seharusnya menyelidiki bentuk jasmani. Setelah menyelidiki bentuk jasmani, apakah kalian melihatnya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau suatu diri] sebagai ada [di dalam bentuk jasmani]?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Tidak, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Bagus, bagus. Bentuk jasmani adalah bukan diri. Apa yang bukan diri adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah dukkha.<97> Jika ia dukkha, maka ia sepenuhnya tanpa suatu diri, ia tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], dan ia tidak ada [dalam diri, ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Inilah bagaimana ia seharusnya direnungkan. Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.

“Seorang siswa mulia yang terpelajar menyelidiki lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai tanpa suatu diri dan tanpa apa yang menjadi milik suatu diri. Setelah menyelidikinya demikian dengan cara ini, ia tidak melekat pada apa pun di dunia. Ia yang tidak melekat pada apa pun secara pribadi merealisasi Nirvāṇa, [dengan mengetahui]: “Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

77. [Kotbah tentang Keinginan dan Nafsu]<98>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Kalian seharusnya meninggalkan keinginan dan nafsu terhadap bentuk jasmani. Setelah meninggalkan keinginan dan nafsu terhadapnya, bentuk jasmani akan ditinggalkan. Setelah meninggalkan bentuk jasmani, kalian akan mencapai pemahaman bahwa ia telah ditinggalkan. Setelah mencapai pemahaman bahwa ia telah ditinggalkan, akarnya akan ditinggalkan, bagaikan memotong tajuk sebatang pohon Palmyra, sehingga ia tidak akan tumbuh lagi pada masa yang akan datang.

“Dengan cara yang sama, kalian seharusnya meninggalkan keinginan dan nafsu terhadap perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran... sampai dengan... sehingga ia tidak akan tumbuh lagi pada masa yang akan datang.”<99> [20a]

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

78. [Kotbah tentang Munculnya]<100>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Jika bentuk jasmani muncul, berkembang, dan timbul, maka dukkha muncul bersamaan dengan itu, penyakit berkembang bersamaan dengan itu, serta usia tua dan kematian timbul bersamaan dengan itu. Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran seharusnya juga dibacakan dengan cara yang sama.

“Para bhikkhu, jika bentuk jasmani lenyap, ditenangkan, dan musnah, [maka] dukkha lenyap bersamaan dengan itu, penyakit ditenangkan bersamaan dengan itu, serta usia tua dan kematian musnah bersamaan dengan itu. Persepsi... bentukan... bentukan... kesadaran juga seperti ini.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

79. [Kotbah tentang Ajaran Singkat]<101>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Bentuk jasmani masa lampau dan masa depan semuanya tidak kekal, apa yang harus dikatakan tentang bentuk jasmani masa sekarang!<102> Seorang siswa mulia yang terpelajar yang menyelidikinya dengan cara ini tidak merisaukan bentuk jasmani masa lampau dan tidak bergembira dalam bentuk jasmani masa depan.<103> Dengan menjadi kecewa dengan bentuk jasmani masa sekarang, ia menjadi bebas dari keinginan terhadapnya dan maju menuju lenyapnya.<104> Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga dengan cara ini.<105>

“Para bhikkhu, jika tidak ada bentuk jasmani masa lampau, tidak akan [terjadi bahwa] siswa mulia yang terpelajar tidak merisaukan bentuk masa lampau.<106> Karena terdapat bentuk jasmani masa lampau, siswa mulia yang terpelajar tidak merisaukan bentuk jasmani masa lampau.<107>

“Para bhikkhu, jika tidak ada bentuk jasmani masa depan, tidak akan [terjadi bahwa] siswa mulia yang terpelajar tidak bergembira dalam bentuk jasmani masa depan.<108> Karena terdapat bentuk jasmani masa depan, siswa mulia yang terpelajar tidak bergembira dalam bentuk jasmani masa depan.<109>

“Para bhikkhu, jika tidak ada bentuk jasmani masa sekarang,<110> tidak akan [terjadi bahwa] siswa mulia yang terpelajar membangkitkan kekecewaan terhadap bentuk jasmani masa sekarang, menjadi bebas dari keinginan terhadapnya, dan maju menuju lenyapnya. Karena terdapat bentuk jasmani masa sekarang,<111> siswa mulia yang terpelajar membangkitkan kekecewaan terhadap bentuk jasmani masa sekarang, menjadi bebas dari keinginan terhadapnya dan maju menuju lenyapnya. Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran seharusnya juga dibacakan dengan cara yang sama.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Seperti halnya “tidak kekal”, [demikian juga]dukkha”, “kosong” dan “bukan diri” tiga kotbah seharusnya dibacakan dengan cara yang sama.

80. [Kotbah tentang Tanda Dharma]<112>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Aku akan mengajarkan kalian tanda Dharma yang mulia dan tercapainya pemurnian [pengetahuan dan] pandangan. Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama.

“Jika seorang bhikkhu berkata seperti ini: ‘Tanpa mencapai konsentrasi dalam kekosongan, aku akan membangkitkan ketanpa-tandaan (animitta), ketiadaan, dan memiliki pengetahuan dan penglihatan yang bebas dari kesombongan’, ia tidak seharusnya berkata seperti ini. Mengapa demikian? Tanpa mencapai [konsentrasi dalam] kekosongan, adalah tidak mungkin menyatakan: [20b] ‘Aku mencapai ketanpa-tandaan, ketiadaan, dan memiliki pengetahuan dan penglihatan yang bebas dari kesombongan’.

“Jika seorang bhikkhu berkata seperti ini: ‘Aku mencapai [konsentrasi dalam] kekosongan dan aku dapat membangkitkan ketanpa-tandaan, ketiadaan, dan memiliki pengetahuan dan penglihatan yang bebas dari kesombongan,’ maka ini dikatakan dengan baik. Mengapa demikian? Memang mungkin bahwa, setelah mencapai [konsentrasi dalam] kekosongan, seseorang dapat membangkitkan ketanpa-tandaan, ketiadaan, dan memiliki pengetahuan dan penglihatan yang bebas dari kesombongan.

“Bagaimanakah seorang siswa mulia mencapai pemurnian [pengetahuan dan] penglihatan?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Sang Buddha adalah akar Dharma, mata Dharma, landasan Dharma. Semoga Beliau mengajarkan kami! Setelah mendengarkan Beliau mengajarkan Dharma, para bhikkhu akan menerimanya dengan hormat seperti yang telah Beliau ajarkan.”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Seumpamanya seorang bhikkhu duduk di sebuah tempat kosong pada akar sebuah pohon dan dengan baik merenungkan bentuk jasmani sebagai tidak kekal, bersifat menjadi usang dan memudar. Dengan cara yang sama ia menyelidiki perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagai tidak kekal, bersifat menjadi usang dan memudar. Dengan menyelidiki kelompok-kelompok unsur kehidupan itu sebagai tidak kekal, bersifat menjadi usang, tidak stabil, dan berubah-ubah, pikirannya menjadi gembira, dimurnikan, dan terbebaskan. Ini disebut kekosongan. Seseorang yang merenungkan dengan cara ini, walaupun belum dapat bebas dari kesombongan, memurnikan pengetahuan dan penglihatannya.

“Selanjutnya terdapat suatu perhatian dengan benar pada konsentrasi dengan merenungkan ditinggalkannya tanda (nimitta) bentuk, ditinggalkannya tanda suara, bebauan, rasa, sentuhan, dan objek-objek pikiran.<113> Ini disebut ketanpa-tandaan.<114> Seseorang yang merenungkan dengan cara ini, walaupun belum bebas dari kesombongan, memurnikan pengetahuan dan penglihatannya.

“Selanjutnya terdapat suatu perhatian dengan benar pada konsentrasi dengan merenungkan ditinggalkannya tanda nafsu, ditinggalkannya tanda kebencian... dan delusi.<115> Ini disebut ketiadaan. Seseorang yang merenungkan dengan cara ini, walaupun belum bebas dari kesombongan, memurnikan pengetahuan dan penglihatannya.

“Selanjutnya terdapat perhatian dengan benar pada konsentrasi dengan merenungkan: ‘Dari mana [gagasan] ‘aku’ dan ‘milikku’ muncul’<116>

“Selanjutnya terdapat perhatian dengan benar pada konsentrasi dengan merenungkan: ‘[Gagasan] ‘aku’ dan ‘milikku’ muncul dari melihat, dari mendengar, dari membaui, dari merasakan, dari menyentuh, dan dari mengetahui.’<117>

“Selanjutnya ia menyelidiki seperti ini: ‘Apa pun sebab dan kondisi yang memunculkan kesadaran,<118> apakah sebab dan kondisi untuk kesadaran itu kekal atau tidak kekal?’<119>

“Selanjutnya ia merenungkan seperti ini: ‘Apa pun sebab dan kondisi yang memunculkan kesadaran,<120> semua sebab dan kondisi untuk kesadaran itu sepenuhnya tidak kekal’. Selanjutnya, sebab dan kondisi itu semuanya yang sepenuhnya tidak kekal, bagaimana mungkin kesadaran, yang muncul darinya, adalah kekal?’

“Bahwa apa yang tidak kekal adalah suatu bentukan yang berkondisi, ia muncul dari kondisi-kondisi dan ia bersifat penuh bahaya, bersifat melenyap, bersifat memudar, bersifat harus ditinggalkan dengan pemahaman.<121> Ini disebut tanda Dharma yang mulia dan pemurnian pengetahuan dan penglihatan.

“Inilah yang disebut [penjelasan dari]: ‘Para bhikkhu, aku akan mengajarkan kalian tanda Dharma yang mulia dan pemurnian pengetahuan dan penglihatan’, seperti yang diajarkan secara lengkap dengan cara ini.”<122>

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (3)
« Reply #4 on: 05 July 2015, 01:55:53 PM »
81. [Kotbah tentang Pūraṇa]<123>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vesalī di Aula dengan Atap yang Berujung Runcing di tepi Kolam Kera.<124>

Pada waktu itu terdapat seorang Licchavi bernama Mahānāma, yang setiap hari terbiasa berkeliling di sekitar itu. [20c] Ketika ia mendekati Sang Buddha,<125> orang Licchavi itu berpikir: “Jika aku mendekati Sang Bhagava di pagi hari, maka Sang Bhagava dan para bhikkhu yang kuketahui semuanya sedang bermeditasi. Biarlah aku sekarang mendekati para ājīvika dan para praktisi ajaran menyimpang yang sedang berada di Tujuh Pohon Mangga.” Ia mendekati tempat di mana Pūraṇa Kassapa berdiam.

Kemudian Pūraṇa Kassapa, yang merupakan pemimpin dari suatu perkumpulan para praktisi ajaran menyimpang, dikelilingi pada semua sisi oleh lima ratus orang praktisi ajaran menyimpang, yang membuat keributan mendiskusikan hal-hal duniawi. Lalu Pūraṇa Kassapa, ketika melihat dari jauh bahwa Mahānāma orang Licchavi datang, berkata kepada para pengikutnya agar mereka berdiam diri: “Kalian tenanglah! Ini adalah Mahānāma orang Licchavi, yang adalah seorang siswa pertapa Gotama. Di antara mereka yang adalah para siswa berjubah putih pertapa Gotama di Vesalī, ia adalah yang paling terkemuka. Mereka selalu bergembira dalam ketenangan dan memuji ketenangan. Ia mendekati perkumpulan yang tenang, oleh sebab itu kalian harus tenang.”

Kemudian Mahānāma mendekati perkumpulan Pūraṇa dan bertukar salam ramah tamah dengan Pūraṇa. Setelah dengan ramah memberi salam satu sama lain, ia mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Lalu Mahānāma berkata kepada Pūraṇa: “Aku mendengar bahwa Pūraṇa memberikan ajaran ini kepada para siswanya: ‘Tidak ada sebab, tidak ada kondisi untuk kekotoran makhluk-makhluk hidup; tidak ada sebab, tidak ada kondisi untuk pemurnian makhluk-makhluk hidup.’<126>

“Di dunia, adakah suatu ajaran yang demikian? Apakah benar ini ajaran anda? Atau apakah ini suatu perkataan oleh orang luar untuk mencela anda? Apakah ini disusun oleh orang-orang di dunia, apakah ini ajaran anda atau bukan ajaran anda? Adakah orang-orang di dunia yang telah mendiskusikan ini dengan anda, dengan dekat menanyakan anda tentang ini, dan mencelanya?”

Pūraṇa Kassapa berkata: “Adalah benar bahwa terdapat suatu ajaran yang demikian [olehku], ini tidak diturunkan dengan salah di dunia. Aku telah mengembangkan ajaran ini, ajaran ini sesuai dengan pengajaran dan ajaranku. Aku menyatakan ajaran ini, ini sesuai dengan ajaranku dan tidak ada orang di dunia ini yang datang dan, dengan dekat menanyakanku, mencelanya. Mengapa demikian? Mahānāma, aku memiliki pandangan ini dan membuat pernyataan ini: ‘Tidak ada sebab, tidak ada kondisi untuk kekotoran makhluk-makhluk hidup; tidak ada sebab, tidak ada kondisi untuk pemurnian makhluk-makhluk hidup.’”

Kemudian Mahānāma, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Pūraṇa, tidak bergembira dalam pikirannya. Setelah tidak menyetujuinya, ia bangkit dari tempat duduknya dan pergi. Ia mendekati Sang Bhagava, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki [Sang Buddha], mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi dan menceritakan pada Sang Buddha secara lengkap diskusi yang telah ia lakukan dengan Pūraṇa.

Sang Buddha berkata kepada Mahānāma orang Licchavi: “Apa yang dikatakan Pūraṇa, yang mengemukakan gagasannya, tidak layak diingat. Demikianlah Pūraṇa adalah seorang yang bodoh, ia tidak membedakan dan tidak terampil. Dengan menyangkal sebab, ia mengatakan ini: ‘Tidak ada sebab, tidak ada kondisi untuk kekotoran makhluk-makhluk hidup; tidak ada sebab, tidak ada kondisi untuk pemurnian makhluk-makhluk hidup.’ Mengapa demikian? [Karena] terdapat sebab, terdapat kondisi untuk kekotoran makhluk-makhluk hidup; terdapat sebab, terdapat kondisi untuk pemurnian makhluk-makhluk hidup.’<127>

“Mahānāma, apakah sebabnya, apakah kondisi untuk kekotoran makhluk-makhluk hidup? [21a] Apakah sebabnya, apakah kondisi untuk pemurnian makhluk-makhluk hidup?

“Mahānāma, jika bentuk jasmani sepenuhnya dukkha dan tidak menyenangkan,<128> tidak diikuti oleh kesenangan dan tidak memelihara kesenangan, yang tanpa kesenangan, [maka] makhluk-makhluk hidup tidak akan membangkitkan kesenangan dan kemelekatan karenanya.<129> Mahānāma, karena bentuk jasmani tidak sepenuhnya dukkha dan tidak menyenangkan, [tetapi] diikuti oleh kesenangan dan memelihara kesenangan, yang bukan tanpa kesenangan, oleh sebab itu makhluk-makhluk terkotori oleh kemelekatan pada bentuk jasmani. Karena terkotori oleh kemelekatan, mereka terikat padanya. Karena terikat padanya, terdapat kekesalan.<130>

“Mahānāma, jika perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sepenuhnya dukkha dan tidak menyenangkan,<131> tidak diikuti oleh kesenangan dan tidak memelihara kesenangan, yang tanpa kesenangan, [maka] makhluk-makhluk hidup tidak akan membangkitkan kesenangan dan kemelekatan karenanya.<132> Mahānāma, karena kesadaran tidak sepenuhnya dukkha dan tidak menyenangkan, [tetapi] diikuti oleh kesenangan dan memelihara kesenangan, yang bukan tanpa kesenangan, oleh sebab itu makhluk-makhluk terkotori oleh kemelekatan pada kesadaran. Karena terkotori oleh kemelekatan, mereka terikat padanya. Karena terikat padanya, kekesalan muncul.<133>

“Mahānāma, inilah yang disebut [penjelasan tentang]: ‘terdapat sebab, terdapat kondisi untuk kekotoran makhluk-makhluk hidup.’

“Mahānāma, apakah sebabnya, apakah kondisi untuk pemurnian makhluk-makhluk hidup?<134>

“Mahānāma, jika bentuk jasmani sepenuhnya menyenangkan dan bukan dukkha, tidak diikuti oleh dukkha dan tidak memelihara dukacita dan kesakitan, yang tanpa dukkha, [maka] makhluk-makhluk hidup tidak akan membangkitkan kekecewaan karena bentuk jasmani. Mahānāma, karena bentuk jasmani tidak sepenuhnya menyenangkan dan adalah dukkha,<135> diikuti oleh dukkha dan memelihara dukacita dan kesakitan, yang bukan tanpa dukkha, oleh sebab itu makhluk-makhluk hidup membangkitkan kekecewaan terhadap bentuk jasmani. Karena menjadi kecewa, mereka tidak menyenanginya. Karena tidak menyenanginya, mereka terbebaskan darinya.

“Mahānāma, jika perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sepenuhnya menyenangkan dan bukan dukkha, tidak diikuti oleh dukkha dan tidak memelihara dukacita dan kesakitan,<136> yang tanpa dukkha, [maka] makhluk-makhluk hidup tidak akan membangkitkan kekecewaan karena kesadaran. Mahānāma, karena perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran tidak sepenuhnya menyenangkan dan adalah dukkha, diikuti oleh dukkha dan memelihara dukacita dan kesakitan, yang bukan tanpa dukkha, oleh sebab itu makhluk-makhluk hidup membangkitkan kekecewaan terhadap kesadaran. Karena menjadi kecewa, mereka tidak menyenanginya. Karena tidak menyenanginya, mereka terbebaskan darinya.

“Mahānāma, inilah yang disebut [penjelasan dari]: ‘Terdapat sebab, terdapat kondisi untuk pemurnian makhluk-makhluk hidup’.”<137>

Kemudian Mahānāma, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, sangat bergembira. Ia memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan pergi.

82. [Kotbah di Taman Bambu]<138>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di tempat kediaman di Taman Bambu [Timur] di antara orang-orang Ceti.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Apakah yang seorang siswa mulia yang terpelajar anggap sebagai tidak kekal dan dukkha?”<139>

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava adalah akar Dharma, mata Dharma, landasan Dharma. Semoga Beliau mengajarkan kami! Setelah mendengarkannya, para bhikkhu akan menerimanya dengan hormat seperti yang telah Beliau ajarkan.”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama pada apa yang akan Ku-katakan kepada kalian.<140> Seorang siswa mulia yang terpelajar menganggap bentuk jasmani sebagai tidak kekal dan dukkha,<141> [21b] ia menganggap perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagai tidak kekal dan dukkha. Para bhikkhu, apakah bentuk jasmani kekal atau tidak kekal?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Tidak kekal, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Para bhikkhu, apa yang tidak kekal, apakah ia dukkha?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Dukkha, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Para bhikkhu, apa yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, akankah seorang siswa mulia yang terpelajar di sini menganggapnya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau suatu diri] sebagai ada [di dalamnya]?”<142>

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Tidak, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini. Oleh karena itu, para bhikkhu, apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat,<143> semua darinya sepenuhnya bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri, ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.<144>

“Seorang siswa mulia yang terpelajar yang menyelidikinya dengan cara ini menjadi kecewa dengan bentuk jasmani, menjadi kecewa dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran.<145> Karena kecewa, ia tidak menyenanginya. Karena tidak menyenanginya, ia terbebaskan darinya. Karena terbebaskan, [ia memahami]:<146> ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

83. [Kotbah di Vesalī]<147>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vesalī di Aula dengan Atap Berujung Runcing di tepi Kolam Kera.<148>

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Apakah yang seorang siswa mulia yang terpelajar anggap sebagai bukan diri, bukan berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai tidak ada [dalam diri, ataupun suatu diri] sebagai ada [di dalamnya], sehingga dengan benar dan sama merenungkannya dengan cara ini ia mengetahui dan melihatnya sebagaimana adanya?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava adalah akar Dharma, mata Dharma, landasan Dharma. Semoga Beliau mengajarkan kami! Setelah mendengarkannya, para bhikkhu akan menerimanya dengan hormat seperti yang telah Beliau ajarkan.”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama pada apa yang akan Ku-katakan kepada kalian. Seorang siswa mulia yang terpelajar menganggap bentuk jasmani sebagai bukan diri, sebagai tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai tidak ada [dalam diri, ataupun suatu diri] sebagai ada [di dalamnya]. Ini disebut dengan benar merenungkannya sebagaimana adanya. Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Apakah bentuk jasmani kekal atau tidak kekal?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Tidak kekal, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha] berkata lagi kepada para bhikkhu: “Apa yang tidak kekal, apakah ia dukkha?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Dukkha, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Para bhikkhu, apa yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, akankah seorang siswa mulia yang terpelajar di sini menganggapnya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri, sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Tidak, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini. Oleh sebab itu, apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua darinya sepenuhnya bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri, ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Ini disebut dengan benar merenungkannya sebagaimana adanya. [21c] Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.

“Seorang siswa mulia yang terpelajar yang menyelidikinya dengan cara ini mencapai pembebasan dari bentuk jasmani, mencapai pembebasan dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran. Aku katakan, ia terbebaskan dari kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan, dari keseluruhan kumpulan besar dukkha ini.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

84. [Kotbah tentang Pemurnian]<149>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Bentuk jasmani adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah dukkha. Apa yang merupakan dukkha adalah bukan aku dan bukan diri; ia sepenuhnya bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], dan tidak ada [dalam diri, ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Memahami hal ini, sebagaimana adanya, disebut perenungan benar.<150>

“Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini. Seorang siswa mulia yang terpelajar menyelidiki lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai tanpa suatu diri dan tanpa apa yang menjadi milik suatu diri. Dengan menyelidiki mereka dengan cara ini ia tidak melekat pada apa pun di seluruh dunia. Karena tidak melekat pada apa pun, ia tidak terikat pada apa pun. Karena tidak terikat pada apa pun, ia secara pribadi merealisasi Nirvāṇa, [dengan mengetahui]: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”<151>

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

85. [Kotbah tentang Dengan Benar Menyelidiki]<152>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, apakah yang seseorang tidak anggap sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava adalah akar Dharma, mata Dharma, landasan Dharma. Semoga Beliau mengajarkan kami! Setelah mendengarkannya, para bhikkhu akan menerimanya dengan hormat seperti yang telah Beliau ajarkan.”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama pada apa yang akan Ku-katakan kepada kalian. Seseorang tidak menganggap bentuk jasmani sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]. Seseorang tidak [menganggap] perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran... juga seperti ini.

“Para bhikkhu, apakah bentuk jasmani kekal atau tidak kekal?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Tidak kekal, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata: “Para bhikkhu, apa yang tidak kekal, apakah ia dukkha?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Dukkha, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Para bhikkhu, apa yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, akankah seorang siswa mulia yang terpelajar di sini menganggapnya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Tidak, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini. Oleh sebab itu, para bhikkhu, apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua darinya adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri, ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.”

“Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terpelajar menyelidiki lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati sebagai tanpa suatu diri dan tanpa apa yang menjadi milik suatu diri. [22a] Seseorang yang menyelidiki mereka dengan cara ini tidak melekat pada apa pun di seluruh dunia. Seseorang yang tidak melekat pada apa pun tidak terikat pada apa pun. Karena tidak terikat pada apa pun, ia secara pribadi merealisasi Nirvāṇa, [dengan mengetahui]: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (3)
« Reply #5 on: 05 July 2015, 01:57:49 PM »
86. [Kotbah tentang Ketidakkekalan]

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Jika bentuk jasmani yang tidak kekal adalah kekal, maka tidak seharusnya terjadi bahwa bentuk jasmani menjadi sakit dan berada dalam kesakitan, dan tidak akan ada pengejaran sehubungan dengan bentuk jasmani, dengan mengharapkannya agar seperti ini dan tidak seperti itu. Karena bentuk jasmani tidak kekal, bentuk jasmani menjadi sakit dan kesakitan muncul, dan seseorang mendapatkan apa yang tidak ia harapkan seperti ini dan bukan seperti itu. Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.”

“Para bhikkhu, apakah yang kalian pikirkan, apakah bentuk jasmani kekal atau tidak kekal?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Tidak kekal, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Para bhikkhu, apa yang tidak kekal, apakah ia dukkha?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Dukkha, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Para bhikkhu, apa yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, akankah seorang siswa mulia yang terpelajar di sini menganggapnya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau suatu diri] sebagai ada [di dalamnya]?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Tidak, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini. Oleh sebab itu, para bhikkhu, apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua darinya sepenuhnya tanpa suatu diri dan tanpa apa yang menjadi milik suatu diri; ini seharusnya dipahami sebagaimana adanya. Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.

“Seorang siswa mulia yang terpelajar dengan benar merenungkan bentuk jasmani. Setelah dengan benar merenungkannya, ia membangkitkan kekecewaan terhadap bentuk jasmani, menjadi tanpa nafsu terhadapnya, tidak menyenanginya, dan terbebaskan darinya. Ia membangkitkan kekecewaan terhadap perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, menjadi tanpa nafsu terhadapnya, tidak menyenanginya, dan terbebaskan darinya, [dengan mengetahui]: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

87. [Kotbah tentang Dukkha]

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Bentuk jasmani adalah dukkha. Jika bentuk jasmani bukan dukkha, maka tidak seharusnya terjadi bahwa bentuk jasmani menjadi sakit dan kesakitan muncul, dan seseorang tidak akan mengharapkannya seperti ini ataupun [mengharapkan]-nya tidak seperti itu. Oleh sebab itu bentuk jasmani adalah dukkha. Karena bentuk jasmani adalah dukkha, penyakit muncul dalam bentuk jasmani dan seseorang mengharapkan bentuk jasmani seperti ini dan bukan seperti ini. [22b] Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.

“Para bhikkhu, apakah yang kalian pikirkan, apakah bentuk jasmani kekal atau tidak kekal?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Tidak kekal, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Para bhikkhu, apa yang tidak kekal, apakah ia dukkha?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Dukkha, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Para bhikkhu, apa yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, akankah seorang siswa mulia yang terpelajar di sini menganggapnya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Tidak, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha berkata]: “Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini. Oleh sebab itu, para bhikkhu, apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua darinya sepenuhnya bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri, ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Selidikilah ia sebagaimana adanya. Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.

“Seorang siswa mulia yang terpelajar mencapai pembebasan dari bentuk jasmani, mencapai pembebasan dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran. Aku katakan, ia terbebaskan dari kelahiran, usia tua, penyakit, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan, dari keseluruhan kumpulan besar dukkha ini.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.
« Last Edit: 05 July 2015, 09:42:37 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (3)
« Reply #6 on: 05 July 2015, 02:02:34 PM »
Catatan Kaki:

<1> Bagian yang diterjemahkan mengandung jilid ketiga dari Saṃyukta-āgama edisi Taishō, T II 15b10 sampai 22b13, yang berhubungan dengan bagian ketiga dari bagian tentang kelompok unsur kehidupan berdasarkan urutan yang direkonstruksi dari kumpulan ini. Identifikasi saya atas paralel Pāli didasarkan pada Akanuma 1929/1990 dan Yìnshùn 1983, dalam hal paralel penggalan Sanskrit saya berhutang pada Chung 2008; paralel Tibetan dalam ikhtisar Śamathadeva tentang kutipan kotbah dari Abhidharmakośabhāṣya telah diidentifikasi oleh Honjō 1984 dan diterjemahkan oleh Dhammadinnā 2013, yang dalam catatan kakinya mencakup variasi-variasi yang ditemukan dalam paralel Tibetan. Di sini dan di tempat lain, saya mengadopsi istilah Pāli untuk nama-nama diri dan istilah-istilah doktrinal untuk memfasilitasi perbandingan dengan paralel Pāli, kecuali untuk istilah-istilah seperti Dharma dan Nirvāṇa, tanpa berdasarkan itu bermaksud mengambil posisi pada bahasa asli naskah Saṃyukta-āgama yang digunakan untuk terjemahan. Dalam hal mereproduksi teks Sanskrit dari edisi yang diromanisasi, saya mengikuti kebiasaan dari masing-masing penyunting (kecuali untuk kapitalisasi). Untuk kotbah 56 sampai 64 rekonstruksi saya dari masing-masing judul didasarkan pada uddāna yang ditemukan setelah kotbah 64. Dalam hal judul sama yang diterapkan pada lebih dari satu kotbah, saya menambahkan “pertama”, “kedua”, dst., pada judulnya, yang tanpa dukungan dalam uddāna masing-masing.

<2> Paralel: Akanuma 1929/1990: 29 mendaftarkan SN 22.5 dalam SN III 13,28 sebagai sebuah paralel, tetapi kotbah itu tampaknya hanya berhubungan jauh pada SĀ 59 sebanyak keduanya menjelaskan bagaimana masing-masing dari lima kelompok unsur kehidupan muncul dan lenyap; cf. juga pembahasan dalam Vetter 2000: 174. SN 22.5 berbeda sebanyak ia berangkat dari topik konsentrasi, yang menyediakan judul untuk kotbah itu, yang menyatakan bahwa konsentrasi diperlukan untuk memahami hal-hal sebagaimana adanya. Menurut SN 22.5, munculnya masing-masing kelompok unsur kehidupan disebabkan oleh kesenangan yang membawa pada kemelekatan dan mata rantai sisanya dari kemunculan bergantungan (paṭicca samuppāda), oleh sebab itu lenyapnya terjadi melalui lenyapnya kemelekatan, dst.

<3> Paralel: seperti dalam kasus kotbah sebelumnya SĀ 59, Akanuma 1929/1990: 29 mendaftarkan SN 22.5 dalam SN III 13,28 sebagai sebuah paralel; cf. komentar pada catatan no.2 di atas.

<4> Terjemahan saya mengikuti Yìnshùn 1983: 95 catatan no.1 untuk menghapus suatu kemunculan “kesadaran”, 識, yang ditemukan tepat sebelum frase “tidak menyenangi kesadaran”, 不樂於識.

<5> Paralel: kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 10,19, (cf. juga 75,3 dan 309,10), yang diidentifikasi sebagai suatu kutipan dari kotbah yang saat ini dalam Pāsādika 1989: 22 (§11), dengan kutipan yang lebih lengkap yang dipertahankan dalam Abhidharmakośopāyikāṭīkā oleh Śamathadeva, D 4094 ju 18a2 atau Q 5595 tu 20a2, D 4094 ju 75a3 atau Q 5595 tu 84b4, dan D 4094 ju 281b7 atau Q 5595 thu 26b3, yang diterjemahkan di bawah oleh Dhammadinnā 2013: 125ff; cf. juga Abhidharmakośavyākhyā, Wogihara 1932: 37,16, dan Nibandhana pada Arthaviniścaya-sūtra, Samtani 1971: 111,7.

<6> SĀ 61 dalam T II 15c19 membaca: 離欲, yang berhubungan dengan virāga, di mana dalam konteks saat ini saya menganggapnya memiliki makna “memudarnya” alih-alih “lenyapnya nafsu”; tentang kedua makna dari istilah Pāli virāga cf. Anālayo 2009: 36–39.

<7> Pradhan 1967: 10,19: ṣaṭ cetanākāyā iti; Samtani 1971: 111,7: saṃskāropadānaskandhaḥ katamaḥ, ṣaṭ cetanākāyā iti; Wogihara 1932: 37,16: saṃskāra-skandhaḥ katamaḥ, ṣaṭ cetanā-kāyā iti.

<8> SĀ 61 dalam T II 16a6: 超昇離生. Sebuah frase padanan yang ditemukan dalam suatu penggambaran seorang saddhānusārin pada SN 25.10 dalam SN III 227,29 yang sebaliknya tidak berhubungan membaca okkanto sammattaniyāmaṃ. Saya meragukan bahwa frase dalam SĀ 61 menerjemahkan bahasa India asli yang dibunyikan dengan sama, oleh karenanya terjemahan saya yang bersifat terkaan sebagai “melampaui dan meninggalkan di belakang [lingkaran] kelahiran”.

<9> Terjemahan saya mengikuti Yìnshùn 1983: 99 catatan no.1, yang memperbaiki bacaan saat ini sesuai dengan pembacaan yang ditemukan belakangan dalam kotbah itu.

<10> Paralel: SN 22.47 dalam SN III 46,8 dan kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 282,1, yang diidentifikasi sebagai suatu kutipan dari kotbah saat ini dalam Pāsādika 1989: 94 (§365), dan dalam Abhidharmadīpa & Vibhāṣāpṛabhāvṛtti, Jaini 1959: 272,6. Suatu kotbah yang mirip dengan dekat dalam kumpulan yang sama adalah SĀ 45 dalam T II 11b1. Sebagian dari SĀ 63 telah diterjemahkan oleh Choong 2000: 63.

<11> Pradhan 1967: 282,1: ye kecid bhikṣavaḥ śramaṇā vā brāhmaṇā vā ātmeti samanupaśyantaḥ samanupaśyanti sarve ta imān eva pañcopdānaskandhān iti; Jaini 1959: 272,6: ye kecid ātmeti samanupaśyantaḥ samanupaśyanti sarve ta imān eva pañcopdādānaskandhān samanupaśyantaḥ samanupaśyanti; cf. juga Wogihara 1932: 300,13: ye kecic chramaṇā brāhmaṇā va ātmêti samanupaśyantaḥ samanupaśyaṃti sarve ta imān eva paṃcôpādāna-skandhān iti.

<12> SĀ 63 dalam T II 16b20: 入於諸根, yang secara harfiah berarti “masuk” di antara alat-alat indera. SN 22.47 dalam SN III 46,21 mengatakan tentang “turunnya”, avakkanti, dari lima indera, di mana setelah itu ia melanjutkan dengan mendaftarkan pikiran, objek-objek pikiran, dan unsur ketidaktahuan.

<13> Penambahan mengikuti Yìnshùn 1983: 100.

<14> Pada SN 22.47 dalam SN III 46,26 orang duniawi memiliki gagasan “aku”, “aku seperti ini”, “aku akan menjadi”, “aku tidak akan menjadi”, “aku akan berbentuk”, “aku akan tidak berbentuk”, “aku akan memahami dengan cepat”, “aku akan tidak memahami dengan cepat”, “aku akan bukan-memahami-juga-bukan-tidak-memahami dengan cepat”.

<15> SN 22.47 dalam SN III 47,1 mengatakan tentang lima indera alih-alih.

<16> Pernyataan dengan tipe ini tidak ditemukan dalam SN 22.47, yang juga tidak memiliki penutup standar yang melaporkan kegembiraan para bhikkhu yang mendengarkannya.

<17> Paralel: SN 22.55 dalam SN III 55,28. Sebagian SĀ 64 telah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh Lamotte 1980: 2291 catatan no.1.

<18> SN 22.55 tidak memiliki pembukaan yang demikian.

<19> SĀ 64 dalam T II 16c10: 比丘解脫此, di mana saya mengasumsikan bahwa 解脫 di sini menerjemahkan adhimukta; cf. Hirakawa 1997: 1068.

<20> Ucapan yang menginspirasi (udāna) yang berhubungan pada SN 22.55 dalam SN III 55,29 membaca: “ini mungkin tidak ada, ini mungkin tidak ada bagiku; ini akan tidak ada, ini akan tidak ada bagiku.”

<21> SN 22.55 dalam SN III 56,13 melanjutkan dengan menjelaskan bahwa orang duniawi yang tidak terpelajar tidak memahami bahwa kelompok unsur kehidupan adalah tidak kekal, dukkha, bukan diri, berkondisi, dan bahwa mereka akan musnah.

<22> SN 22.55 dalam SN III 56,31 dengan sama mengatakan pemusnahan masing-masing kelompok unsur kehidupan, vibhavissati, yang dijelaskan oleh Spk II 275 menunjuk pada bhijjissati, “akan melapuk”. Bodhi 2000: 1063 catatan 76 mengutip penjelasan komentar dan kemudian menyarankan sebuah interpretasi alternatif, di mana menurut “kata kerja itu menunjuk pada lenyapnya kelompok unsur kehidupan terakhir dengan pencapaian anupādisesanibbānadhātu. Makna ini bersesuaian lebih baik dengan rumusan pembukaan, dan juga tampaknya didukung oleh Th 715cd: saṅkhārā vibhavissanti, tattha kā paridevanā, ‘bentukan-bentukan (hanya) akan dimusnahkan, jadi ratap tangis apakah yang ada atas hal itu’.” Karena dalam SĀ 64 udāna-nya tidak memiliki referensi yang dapat dianggap untuk menyatakan Nirvāṇa akhir seorang arahant, ungkapan “tidak akan ada”, T II 16c20: 非當有, akan menyatakan suatu jenis kelenyapan sesuai dengan penjelasan komentar. Sehubungan dengan penggambaran orang duniawi yang tidak terpelajar dalam SN 22.55, karakteristik lain dari kelompok unsur kehidupan – tidak kekal, dukkha, bukan diri, berkondisi – semuanya diterapkan dalam kasus orang duniawi itu sendiri. Sebaliknya, kenyataan bahwa kelompok unsur kehidupan seorang arahant lenyap akan berbeda, karena seorang duniawi bukan seorang arahant ataupun berada dalam jalan menuju kearahantaan. Dengan demikian mungkin dalam SN 22.55 vibhavissati juga mengandung makna yang diterapkan pada orang duniawi, sama seperti ungkapan yang berhubungan dalam SĀ 64. Sehubungan dengan Th 715, pembacaan bait syair itu agaknya tidak pasti, seperti Be dan Ce alih-alih membaca saṅkhārā vigamissanti, walaupun Norman 1969: 226 berargumentasi bahwa “struktur syair itu, dengan bhavati yang muncul empat kali dalam satu bentuk atau yang lain pada baris pertama, tampaknya membutuhkan sebuah kata majemuk dari bhavati pada baris kedua.”

<23> Ungkapan ini tidak memiliki padanan dalam SN 22.55.

<24> Pertanyaan yang berhubungan pada SN 22.55 dalam SN III 57,25 lebih pendek: bhikkhu itu hanya bertanya bagaimana seseorang seharusnya mengetahui dan melihat sehingga arus-arus [kekotoran batin] dihancurkan segera.

<25> Dalam SN 22.55 pada SN III 57,29 orang duniawi mengkhawatirkan hal ini: ‘ini mungkin tidak ada, ini mungkin tidak akan ada bagiku; ini tidak akan ada, ini tidak akan ada bagiku.’ SN 22.55 tidak menyatakan bahwa kekhawatiran demikian tidak seharusnya muncul, di mana alih-alih ia melanjutkan dengan menjelaskan kasus seorang siswa mulia yang tidak khawatir.

<26> Pernyataan ini tidak memiliki padanan dalam SN 22.55, di mana penjelasan kesadaran yang datang dan pergi, dst. muncul hanya sebagai bagian dari pernyataan yang tidak mungkin untuk menunjukkan suatu modus tambahan dari kesadaran.

<27> Yìnshùn 1983: 106 catatan no.2 membaca “keragu-raguan”, 疑, alih-alih “kebingungan”, 癡.

<28> SN 22.55 dalam SN III 58,12 hanya menyatakan bahwa pernyataan ini tidak mungkin.

<29> SĀ 64 dalam T II 17a14: 住, sebuah karakter yang muncul pada awal kalimat dalam pernyataan bahwa kesadaran adalah “tidak berkembang di mana pun”, 無所住. Pernyataan yang berhubungan dalam SN 22.55 pada SN III 58,22, dengan sama mulai dengan ungkapan apatiṭṭhita dan pada titik yang saat ini memiliki ṭhita. Saya telah mengikuti contoh dari Bodhi 2000: 894, yang menerjemahkan apatiṭṭhita sebagai “tidak berkembang” dan ṭhita sebagai “stabil”.

<30> SN 22.55 dalam SN III 58,24 melanjutkan dari menjadi puas melalui tidak gelisah menuju mencapai Nirvāṇa.

<31> Kalimat ini dan berikutnya tidak memiliki padanan dalam SN 22.55.

<32> Paralel: SN 22.5 dalam SN III 13,28. Akanuma 1929/1990: 29 juga menyebutkan SN 22.6. Kedua kotbah itu berbeda satu sama lain hanya berkenaan dengan bagian pendahuluan, di mana dalam SN 22.5 pada SN III 13,29 Sang Buddha menganjurkan pengembangan konsentrasi, sedangkan dalam SN 22.6 pada SN III 15,20 Beliau menganjurkan pengasingan diri. Karena SĀ 65 menganjurkan meditasi dan menenangkan pikiran, SN 22.5 tampaknya menjadi paralel yang lebih dekat. Untuk kotbah 65 sampai 68 rekonstruksi saya atas masing-masing judulnya didasarkan pada uddāna yang ditemukan setelah kotbah 68.

<33> Penjelasan muncul dan lenyapnya dalam SN 22.5 pada SN III 14,7 hanya mengatakan tentang menyenangi masing-masing kelompok unsur kehidupan, tanpa menghubungkan ini pada tiga perasaan, dst.

<34> SN 22.5 tidak mengulangi anjuran yang diberikan Sang Buddha pada permulaan kotbah.

<35> Teks aslinya hanya menunjuk pada “dua kotbah”, 二經, yang telah saya perbaiki menjadi “dua belas kotbah”, 十二經,  mengikuti Yìnshùn 1983: 111 catatan no.3, sesuai dengan uddāna dan rumusan yang ditemukan dalam dua kotbah berikutnya. Seperti yang ditunjukkan oleh Yìnshùn 1983: 111 catatan no.2, jumlah kotbah sebenarnya berjumlah hanya sebelas, di mana ia menyatakan mungkin hasil dari kesalahan tekstual di mana ungkapan “menjadi familiar dengan”, “menjadi familiar dengan berlatih”, 親近, 親近修習, mungkin adalah “menjadi familiar dengan”, “berlatih”, “banyak berlatih”, suatu ungkapan yang ditemukan dalam Yogācārabhūmi (sebuah pencarian digital dalam CBETA menghasilkan sepuluh kemunculan dari 親近, 修習, 多修習 dalam T 1579).

<36> Paralel: SN 22.5 dalam SN III 13,28; cf. komentar dalam catatan no.32 di atas.

<37> Mengadopsi sebuah varian yang menambahkan 純大苦, sesuai dengan rumusan dalam bacaan yang mendahului tentang orang duniawi; cf. juga Yìnshùn 1983: 112 catatan no.5.

<38> Paralel: Akanuma 1929/1990: 29 menyebutkan SN 22.7 dalam SN III 51,26 tetapi kotbah itu tampaknya terlalu berbeda dari SĀ 67 untuk dianggap suatu paralel.

<39> Terjemahan saya mengikuti Yìnshùn 1983: 112 catatan no.6, kalimat aslinya alih-alih difrasekan sebagai sebuah pertanyaan.

<40> Paralel: sebuah kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 143,5, yang diidentifikasi sebagai sebuah kutipan dari kotbah saat ini dalam Pāsādika 1989: 63 (§217); untuk terjemahan sebagian dari SĀ 68 cf. Choong 2000: 45.

<41> Cf. Pradhan 1967: 143,5: iti ya eṣāṃ trayāṇāṃ dharmāṇāṃ saṃgatiḥ saṃnipātaḥ samavāyaḥ sa sparśaḥ; untuk kutipan yang lebih lanjut dari rumusan ini cf. Chung 2008: 55.

<42> Di sini dan pada paragraf berikutnya terjemahan saya mengikuti sebuah varian yang ditemukan hanya dalam paragraf berikutnya yang membaca hanya 意 alih-alih意緣意. Yìnshùn 1983: 112 catatan no.10 memperbaiki hal yang sama menjadi 緣意.

<43> Mengadopsi varian 及 alih-alih 乃至; cf. juga Yìnshùn 1983: 112 catatan no.11.

<44> Mengadopsi varian 受 alih-alih 愛; cf. juga Yìnshùn 1983: 112 catatan no.13.

<45> Paralel: SN 22.44 dalam SN III 43,33. Untuk kotbah 69 sampai 71 rekonstruksi saya atas masing-masing judulnya didasarkan pada uddāna yang ditemukan setelah kotbah 71.

<46> Terjemahan saya mengikuti saran oleh Yìnshùn 1983: 115 catatan no.2 untuk menghapus referensi pada “melihat”, 見, yang ditemukan pada permulaan frase “tidak memahami sebagaimana adanya”.

<47> Jumlah tiga kotbah disebutkan dalam uddāna.

<48> Paralel: SN 22.103 dalam SN III 157,22. Untuk terjemahan sebagian dari SĀ 70 cf. Choong 2000: 39f.

<49> Uraian dalam SN 22.103 pada SN III 157,23 mulai dengan menjelaskan bahwa terdapat empat anta, yaitu: sakkāyanta (tentang istilah ini cf. catatan di bawah ini), munculnya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya.

<50> SĀ 70 dalam T II 18b17: 有身邊, padanan pada istilah sakkāyanta. Terjemahan dari sakkāyanta berbeda-beda. Bodhi 2000: 963 menggunakan “bagian identitas”, Woodward 1925/1975: 134: “bungkusan pribadi”, dan Nānaponika 1967/2003: 173 “Endpunkt der Persönlichkeit”. Saya tidak mengikuti yang mana pun dari terjemahan ini karena alasan berikut: Walaupun “bungkusan pribadi” mengejutkan saya sebagai agak tidak jelas, makna “bagian” atau “titik akhir” tidak tampak bagi saya akan bekerja dengan baik juga, karena sakkāyanta dalam kedua kotbah itu menunjuk pada semua lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati dan dengan demikian pada seluruh identitas, bukan sebagian darinya dan juga bukan titik akhirnya. Choong 2000: 39 menerjemahan istilah Mandarin yang ekivalen sebagai “keseluruhan personalitas”, yang sesuai dengan kenyataan juga bahwa ungkapan itu menunjuk pada semua lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati. Namun saya telah memilih “apa yang berada pada sisi identitas”, karena “sisi” adalah salah satu makna utama dari anta, cf., misalnya ungkapan ekamantaṃ dalam penjelasan standar seseorang yang duduk atau berdiri “pada satu sisi”.

<51> SN 22.103 dalam SN III 158,10 menyebutkan tiga jenis ketagihan: terhadap kenikmatan indera, terhadap kelangsungan, dan terhadap pemusnahan; tentang perbedaan yang berulang kali antara kotbah-kotbah Pāli dan paralel Saṃyukta-āgama-nya cf. Choong 2000: 166, Delhey 2009: 69 catatan no.4 dan Anālayo 2011: 70 catatan no.216.

<52> Alih-alih suatu pengulangan pada pernyataan pendahuluan, SN 22.103 dalam SN III 158,15 menguraikan jalan mulia berunsur delapan sebagai apa yang membawa pada lenyapnya sakkāyanta.

<53> Jumlah tiga kotbah disebutkan dalam uddāna.

<54> Paralel: SN 22.105 dalam SN III 159,5 dan sebuah kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 281,20, dengan sebuah kutipan yang lebih lengkap dalam Abhidharmakośopāyikāṭīkā oleh Śamathadeva, D 4094 ju 268b1 atau Q 5595 thu 11b4, yang diterjemahkan di bawah oleh Dhammadinnā 2013: 130f. Sebagian SĀ 71 telah diterjemahkan oleh Choong 2000: 39f.

<55> Pradhan 1967: 281,20: satkāyaḥ pañcopādānaskandhāḥ.

<56> Terjemahan saya mengikuti saran oleh Yìnshùn 1983: 115 catatan no.5 untuk memperbaiki 染 menjadi 樂, sesuai dengan rumusan yang digunakan dalam penguraian tentang lenyapnya.

<57> Pernyataan yang demikian tidak ditemukan dalam SN 22.105.

<58> Terjemahan saya dari sepuluh gelar pertama didasarkan pada daftar yang mirip dalam AN 10.20 pada AN V 30,5, di mana menurutnya lima faktor (aṅga) adalah lima rintangan; enam faktor menunjuk pada keseimbangan pada enam pintu-indera; penjaga yang satu adalah perhatian; empat penyokong adalah menggunakan, menahan, menghindari dan melenyapkan dengan perenungan; kebenaran individual (paccekasacca) adalah pandangan-pandangan salah standar (dunia adalah kekal, dst.); pencarian (esaṇā) adalah [pencarian] atas kesenangan indera, kelangsungan, dan kehidupan suci; kehendak yang harus dimurnikan adalah tiga [kehendak] standar; perbuatan jasmani ditenangkan dengan penyerapan [jhāna] keempat; pikiran terbebaskan dengan baik dari tiga racun; dan pikiran yang terbebaskan dengan baik melalui kebijaksanaan menunjuk pada pemahaman bahwa pikiran telah terbebaskan dengan baik dari tiga racun.

<59> SĀ 71 dalam T II 18c29 di sini menggunakan覺, sedangkan kualitas yang berhubungan dalam AN 10.20 pada AN V 30,7 mengatakan tentang “kehendak”, saṅkappa.

<60> Paralel: SN 22.106 dalam SN III 159,23. Akanuma 1929/1990: 30 menyebutkan juga SN 22.23 dalam SN III 26,18, tetapi kotbah ini hanya mengambil hal-hal yang seharusnya dipahami sepenuhnya dan pemahaman penuh, dengan demikian ia tidak memiliki padanan pada penguraian tentang arahant sebagai seseorang yang telah sepenuhnya memahami. Oleh sebab itu SN 22.106 adalah paralel yang lebih dekat pada SĀ 72. Untuk kotbah 72 sampai 81 rekonstruksi saya atas judulnya masing-masing didasarkan pada uddāna yang ditemukan setelah kotbah 81.

<61> SN 22.106 dalam SN III 160,1 alih-alih mendefinisikan pemahaman penuh sebagai penghancuran nafsu, kebencian, dan delusi.

<62> SN 22.106 dalam SN III 160,4 melanjutkan dengan menyatakan bahwa seorang arahant yang demikian akan menjadi seorang yang mulia dari nama demikian dan suku demikian; dengan demikian ia tidak memiliki padanan pada penggambaran berikut dalam SĀ 72.

<63> Paralel: SN 22.22 dalam SN III 25,14, EĀ 25.4 dalam T II 631c11, SHT IV 30b, Sander dan Waldschmidt 1980: 79, dan kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 468,2, dalam Abhidharmakośavyākhyā, Wogihara 1971: 706,3, yang diidentifikasi sebagai sebuah kutipan dari kotbah saat ini dalam Pāsādika 1989: 128 (§518); dalam Tattvasaṅgraha, Shastri 1981: 165,1; dan dalam Abhidharmakośopāyikāṭīkā oleh Śamathadeva, D 4094 nyu 85b4 atau Q 5595 thu 132a7, yang diterjemahkan di bawah oleh Dhammadinnā 2013: 132ff. SĀ 73 telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Frauwallner 1956: 25f.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (3)
« Reply #7 on: 05 July 2015, 02:09:01 PM »
<64> Pradhan 1967: 468,2: bhāraṃ ca vo bhikṣavo deśayiṣyāmi bhārādānaṃ ca bhāranikṣepaṇaṃ ca bhārahāraṃ ceti (= Wogihara 1971: 706,3 yang melanjutkan kutipan itu dan oleh sebab itu berakhir dengan ca), Shastri 1981: 165,1: bhāraṃ vo bhikṣavo deśayiṣyāmi bhārādānaṃ bhāranikṣepaṃ bhārahāraṃ ca. Padanan pada bhārāhāra dalam SĀ 73 pada T II 19a17 hanya membaca: 擔者. SN 22.22 dalam SN III 25,15 dan EĀ 25.4 dalam T II 631c12 mengadopsi urutan yang berbeda dari daftar di sini dan dalam penguraiannya, karena setelah beban muncul pada orang yang mengangkutnya, yang kemudian diikuti oleh membawa (atau kondisi penyebabnya, 因緣, dalam EĀ 25.4) dan meletakkan atau melepaskan beban. Dalam ikhtisar dari pernyataan awal, EĀ 25.4 dalam T II 631c25 kemudian mengadopsi urutan yang lain lagi: beban, kondisi penyebabnya, pembawanya, dan pelepasannya.

<65> Wogihara 1936: 706,4: tac chṛṇuta sādhu sa suṣṭhu ca manasi-kuruta bhāṣiṣye.

<66> Wogihara 1936: 706,5: bhāraḥ katamaḥ? paṃcôpādāna-skaṃdhāḥ. Shastri 1981: 165,2: tatra bhāraḥ pañcopādānaskaṃdhāḥ.

<67> Wogihara 1936: 706,6: bhār'ādānaṃ katamat? tṛṣṇā paunarbhavikī nandī-rāgasahagatā tatra-tatrâbhinandinī. Shastri 1981: 165,2: bhārādānam tṛṣṇā. SN 22.22 dalam SN III 26,3 menyebutkan tiga jenis ketagihan; cf. catatan no.51 di atas.

<68> SHT IV 30b V1, Sander dan Waldschmidt 1980: 79: (tatt)ra tattr-ābhinandinyāḥ a(śe). Wogihara 1936: 706,7: bhāra-nikṣepaṇaṃ katamat. yad asyā eva tṛṣṇāyāḥ paunarbhavikyā nandī-rāga-sahagatāyāḥ tatra-tatrâbhinandinyāḥ aśeṣa-prahāṇaṃ pratiniḥsargo vyantī-bhāvaḥ kṣayo virāgo nirodho vyupaśamo 'staṃgamaḥ. Shastri 1981: 165,3: bhāranikṣepaḥ mokṣaḥ.

<69> SHT IV 30b V2, Sander and Waldschmidt 1980: 79: (e)[va](ṃ)nāmā evaṃjātyaḥ evaṃgottraḥ. Pradhan 1967: 468,5: yo 'sāv āyuṣmān evaṃnāmā yāvad evaṃcirasthitika evamāyuḥparyantaḥ. Wogihara 1936: 706,10: bhāra-hāraḥ katamaḥ? pudgala iti syād vacanīyaṃ. yo 'sāv āyuṣmān evaṃ-nāmā evaṃ-janya evaṃ-gotraḥ evam-āhāraḥ evaṃ-sukha-duḥkha-pratisaṃvedī evaṃ-dīrgh'āyur evaṃ-cirasthitika evam-āyuṣmanta iti. Shastri 1981: 165,3: bhārahāraḥ pudgalaḥ, dan Shastri 1981: 165,12: yo 'sāv āyuṣmānn evaṃ nāmā evaṃ jātiḥ evaṃ gotraḥ evamāhāraḥ evaṃsukhaduḥkhapratisaṃvedī evaṃ-dīrghāyuḥ. Definisi yang berhubungan dalam SN 22.22 pada SN III 25,22 lebih pendek; ia hanya menyebutkan bahwa orang itu adalah seorang yang mulia, āyasmant, dengan nama demikian dan suku demikian. EĀ 25.4 dalam T II 631c19 lebih terperinci, sama seperti SĀ 73.

<70> SHT IV 30b V3, Sander dan Waldschmidt 1980: 79: bhāraharaṃ c-eti iti me ya. EĀ 25.4 dalam T II 631c27 alih-alih melanjutkan dengan anjuran kepada para bhikkhu bahwa mereka seharusnya mendekati sebatang pohon, dst., dan bermeditasi tanpa lalai.

<71> Sebuah padanan pada dua baris pertama dapat ditemukan pada awal bait syair kedua dalam SN 22.22 pada SN III 26,14, dengan perbedaan bahwa tidak mengambil beban lain adalah suatu perbuatan yang telah selesai, alih-alih suatu anjuran. Bait syair pertama dalam SN 22.22 pada SN III 26,10 mulai alih-alih dengan mengidentifikasi lima kelompok unsur kehidupan sebagai beban dan orangnya sebagai seseorang yang mengangkut beban. Sama seperti SĀ 73, bait syair dalam EĀ 25.4 pada T II 631c29 mulai dengan tema melepaskan beban tanpa mengambil yang baru.

<72> SHT IV 30b V4, Sander dan Waldschmidt 1980: 79: (sa)ṃskārasaṃkṣayāt sarvvopatipa (catatan penyunting no.4 menyarankan membaca sarvvopadhi°). Alih-alih menunjuk pada bentukan secara umum, 行, EĀ 25.4 dalam T II 632a2 menganjurkan melepaskan aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan Dharma, 捨非法行.

<73> SN 22.22 dalam SN III 26,16 menyatakan bahwa seseorang yang telah mencabut ketagihan dengan akarnya ditenangkan (nicchāta) dan sepenuhnya padam (parinibbuta). Menurut EĀ 25.4 dalam T II 632a3, seseorang seharusnya sepenuhnya melepaskan hal ini (yaitu apa yang disebutkan dalam bait syair sebelumnya), sehingga ia tidak akan mengalami kemenjadian lebih jauh (mengadopsi varian有 alih-alih 愛).

<74> Paralel: SN 22.117 dalam SN III 164,25 dan SHT IV 30b, Sander dan Waldschmidt 1980: 79; Akanuma 1929/1990: 30 juga menyebutkan SN 22.65 dalam SN III 75,23, tetapi kotbah itu tampaknya terlalu berbeda dari SĀ 74 untuk dianggap suatu paralel.

<75> SHT IV 30b V5, Sander dan Waldschmidt 1980: 79: (vijñ)[ā]nam-upādānaskandhaḥ bālo. SN 22.117 tidak memiliki padanan pada penguraian pendahuluan ini.

<76> SHT IV 30b V6, Sander dan Waldschmidt 1980: 79: (astaṃ)gamaṃ c-āsvādaṃ c-ādīnavaṃ ca. Dalam SN 22.117 pada SN III 164,27 orang duniawi alih-alih menganggap kelompok unsur kehidupan sebagai suatu diri.

<77> Terjemahan saya mengikuti saran oleh Yìnshùn 1983: 122 catatan no.2 untuk memperbaiki 邊 menjadi 津, sesuai dengan pembacaan yang ditemukan di bawah ini untuk kasus siswa mulia.

<78> SHT IV 30b V7, Sander dan Waldschmidt 1980: 79: anissaraṇadar[ś]ī aya.

<79> SHT IV 30b V8, Sander dan Waldschmidt 1980: 79: baddho mriyate baddhastasmāl-lo.

<80> Dalam SN 22.117 pada SN III 164,30 orang duniawi terikat oleh belenggu bentuk jasmani, terikat oleh belenggu dalam dan luar, tidak melihat pantai ini, tidak melihat pantai lainnya, lahir dalam belenggu, meninggal dalam belenggu, dan pergi dari dunia ini ke dunia lainnya dalam belenggu. SN 22.117 tidak melanjutkan dengan membawa masuk Māra. Seperti yang telah dicatat oleh Bodhi 2000: 1091 catatan no.223, Be memiliki varian baddho jīyati (cf. juga Se bandho jiyyati) sedangkan Ee dan Ce membaca baddho jāyati. Ungkapan yang berhubungan dalam SĀ 74 pada T II 19b8: 縛生 sesuai dengan Ee dan Ce.

<81> SHT IV 30b V9, Sander dan Waldschmidt 1980: 79: (bandha)[nai]ḥ aparimukto mārapāśaiḥ.

<82> SHT IV 30b V10, Sander dan Waldschmidt 1980: 79: prajānāti sa rūpasya sa(mu).

<83> SHT IV 30b R1, Sander dan Waldschmidt 1980: 79: baddh ... ntabandha[na] baddh[aḥ].

<84> SHT IV 30b R2, Sander dan Waldschmidt 1980: 79: mukto mārabandhanebhyaḥ pari.

<85> Seperti yang ditunjukkan oleh Chung 2008: 56 catatan no.36 dan Sū 2009: 115, kotbah ini tampaknya tidak disebutkan dalam uddāna. Paralel: SN 22.58 dalam SN III 65,20 dan SHT IV 30b R, Sander dan Waldschmidt 1980: 80; untuk terjemahan sebagian dari SĀ 75 cf. Choong 2000: 68.

<86> SHT IV 30b R3, Sander dan Waldschmidt 1980: 80: (upā)dānaskandhaḥ vedanā saṃjñā. Pernyataan pendahuluan demikian tidak ditemukan dalam SN 22.58.

<87> SHT IV 30b R4, Sander dan Waldschmidt 1980: 80: (saṃjñā)yāḥ saṃskārāṇāṃ vijñānasya.

<88> SHT IV 30b R5, Sander dan Waldschmidt 1980: 80: (u)pādāya vimokṣād-arhānpra[jñā].

<89> SHT IV 30b R6, Sander dan Waldschmidt 1980: 80: (i)ty-ucyate iha bhikṣavaḥ ko.

<90> SHT IV 30b R7, Sander dan Waldschmidt 1980: 80: nnetrīyā bhagavatpratisaraṇ[ā] (mengikuti koreksi dalam Wille dan Bechert 2004: 368).

<91> SHT IV 30b R8, Sander dan Waldschmidt 1980: 80: (bhā)[ṣ](i)ṣye, tathāgato bhikṣava arhāṃ.

<92> SHT IV 30b R9, Sander dan Waldschmidt 1980: 80: [pa]ti yad-uta catvāri smṛtyu[pa].

<93> Penjelasan tentang perbedaan itu dalam SN 22.58 pada SN III 66,15 adalah bahwa Sang Tathāgata telah membangkitkan, menjadikan ada, dan menyatakan sang jalan; Beliau adalah seseorang yang mengetahui sang jalan, telah menemukannya, dan terampil di dalamnya. Para siswa sekarang berdiam mengikuti jalan itu, setelah diwarisi dengannya kemudian. Kedua versi tidak menyediakan penggambaran yang dapat dibandingkan dari arahant, yang tampaknya tersirat dalam penggambaran yang diberikan untuk Sang Tathāgata, dalam pengertian hanya Sang Tathāgata menemukan sang jalan.

<94> SHT IV 30b R10, Sander dan Waldschmidt 1980: 80: [sa]ṃmyaksaṃbuddho anadhigata(ya).

<95> Paralel: SN 22.118 dalam SN III 165,26. Akanuma 1929/1990: 30 juga menyebutkan SN 22.119 dalam SN III 166,9 yang sama dekatnya. Perbedaan antara dua kotbah Pāli itu adalah bahwa dalam SN 22.118 para bhikkhu menyatakan bahwa mereka tidak menganggap bentuk jasmani, dst., sebagai diri, sedangkan dalam SN 22.119 mereka menyatakan bahwa mereka menganggap bentuk jasmani, dst., sebagai bukan diri. Dengan demikian SN 22.118 adalah paralel yang lebih dekat pada SĀ 76.

<96> SN 22.118 tidak memiliki penguraian pendahuluan tentang lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati.

<97> SN 22.118 tidak membawakan ketidakkekalan dan dukkha.

<98> Paralel: SN 22.25 dalam SN III 27,12 dan sebuah kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 92,20, yang diidentifikasi sebagai sebuah kutipan dari kotbah saat ini dalam Pāsādika 1989: 44 (§124), dengan suatu kutipan yang lebih lengkap yang dipertahankan dalam Abhidharmakośopāyikāṭīkā oleh Śamathadeva, D 4094 ju 95b5 atau Q 5595 tu 109a7, yang diterjemahkan di bawah oleh Dhammadinnā 2013: 134f.

<99> Pradhan 1967: 92,20: yo rūpe cchandarāgas taṃ prajahīta, cchandarāge prahīṇe evaṃ vas tad rūpaṃ prahīṇaṃ bhaviṣyati parijñātaṃ vistareṇa yāvad vijñānam iti.

<100> Paralel: SN 22.30 dalam SN III 31,29, SN 26.10 dalam SN III 231,11 (yang diidentifikasi oleh Salomon dalam Allon yang akan diterbitkan), dan sebuah paralel penggalan Gāndhārī, RS 22.4, yang secara ringkas dijelaskan oleh Allon dalam Glass 2007: 16; saya berhutang pada Mark Allon untuk berbagi dengan saya informasi tentang penggalan yang masih belum diterbitkan itu.

<101> Paralel: SN 22.9 dalam SN III 19,14 dan kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 295,9, dalam Abhidharmakośavyākhyā, Wogihara 1936: 468,29, yang identifikasi sebagai kutipan dari kotbah saat ini dalam Pāsādika 1989: 97 (§376), 135ff, suatu kutipan yang lebih lengkap yang dipertahankan dalam Abhidharmakośopāyikāṭīkā oleh Śamathadeva, D 4094 ju 273b7 atau Q 5595 thu 17b4, yang diterjemahkan di bawah oleh Dhammadinnā 2013: 135ff; dalam Abhidharmadīpa & Vibhāṣāpṛabhāvṛtti, Jaini 1959: 265,1; dan dalam Prasannapadā, La Vallée Poussin 1903/1992: 444,11. Akanuma 1929/1990: 30 juga mendaftarkan SN 22.10 dan SN 22.11 sebagai paralel, tetapi dua kotbah ini menerapkan penguraian yang sama sebaliknya pada kelompok unsur kehidupan yang adalah dukkha (22.10) dan bukan diri (22.11). Karena SĀ 79 mengambil ketidakkekalan, paralel yang tepat tampaknya SN 22.9, yang juga mengambil tema tentang ketidakkekalan. Pernyataan yang diberikan pada akhir SĀ 79 untuk membacakan penguraian yang sama dengan menggantikan ketidakkekalan dengan dukkha dan dengan bukan diri maka akan berhubungan dengan SN 22.10 dan SN 22.11.

<102> Wogihara 1936: 468,29: rūpam anityam atītânāgataṃ kaḥ punar vādaḥ pratyutpannasya? Jaini 1959: 265,1: rūpam anityam atītānāgatam, kaḥ punar vādaḥ pratyupannasya?

<103> Wogihara 1936: 468,30: evaṃ-darśī śrutavān ārya-śrāvakaḥ atīte rūpe 'napekṣo bhavati anāgataṃ rūpaṃ nâbhinandati. Jaini 1959: 265,2: evaṃdarśī śrutavān āryaśrāvako 'tīte rūpe 'napekṣo bhavaty anāgataṃ rūpaṃ nābhinandati.

<104> SĀ 79 dalam T II 20a14 sebenarnya membaca: 滅寂靜, yang telah saya perbaiki menjadi 滅盡向, pembacaan yang ditemukan belakangan dalam kotbah itu pada T II 20a20 dan T II 20a21; cf. juga SN 22.9 dalam SN III 19,19: nirodhāya paṭipanno hoti, Wogihara 1936: 468,31: pratyutpannasya rūpasya nirvide virāgāya nirodhāya pratipanno bhavati, dan Jaini 1959: 265,3: pratyutpannasya rūpasya nirvide virāgāya nirodhāya pratipanno bhavati.

<105> SN 22.9 berakhir pada titik ini dan tidak memiliki padanan pada sisa SĀ 79.

<106> Pradhan 1967: 295,9: atītaṃ ced bhikṣavo rūpaṃ nābhaviṣyan na śrutavān āryaśrāvako 'tīte rūpe 'napekṣo 'bhaviṣyat. Wogihara 1936: 468,32: atītaṃ ced bhikṣavo rūpaṃ nâbhaviṣyan na śrutavān ārya-śrāvako atīte rūpe 'napekṣo 'bhaviṣyat. Jaini 1959: 265,4: atītaṃ ced rūpaṃ nābhaviṣyan na śrutavān āryaśrāvako 'tīte rūpe 'napekṣo 'bhaviṣyat. La Vallée Poussin 1903/1992: 444,11: atītaṃ ced bhikṣavo rūpaṃ nābhaviṣyan na śrutavān āryaśrāvako 'tītaṃ rūpam abhyanandiṣyat.

<107> Pradhan 1967: 295,10: yasmāt tarhy asty atītaṃ rūpaṃ, tasmāc chrutavān āryaśrāvako 'tīte rūpe 'napekṣo bhavati. Wogihara 1936: 468,33: yasmāt tarhy asty atītaṃ rūpaṃ, tasmāc chrutavān ārya-śrāvako atīta-rūpe 'napekṣo bhavati. La Vallée Poussin 1903/1992: 444,12: yasmāt tarhi bhikṣavo 'sty atītaṃ rūpam, tasmād āryaśrāvakaḥ śrutavān atītaṃ rūpam abhinandatī ti. Jaini 1959: 265,5: yasmāt tarhy asty atītaṃ rūpaṃ, tasmāc chrutavān āryaśrāvakaḥ atīte rūpe 'napekṣo bhavati.

<108> Pradhan 1967: 295,11: anāgataṃ ced rūpaṃ nābhaviṣyat na śrutavān āryaśrāvako 'nāgataṃ rūpaṃ nābhyanandiṣyat. Wogihara 1936: 469,1: anāgataṃ ced rūpaṃ nâbhaviṣyan na śrutavān ārya-śrāvako 'nāgataṃ rūpaṃ nâbhyanandiṣyat. Vallée Poussin 1903/1992: 444,13: anāgataṃ ced bhikṣavo rūpam ity ādi.

<109> Pradhan 1967: 295,12: yasmāt tarhy asty anāgataṃ rūpam iti. Wogihara 1936: 469,2: yasmāt tarhy asty anāgataṃ rūpam, tasmāc chrutavān ārya-śrāvako 'nāgataṃ rūpaṃ nâbhinandati.

<110> Wogihara 1936: 469,4: pratyutpannaṃ ced bhikṣavo rūpaṃ nâbhaviṣyad iti vistaraḥ.

<111> Mengadopsi varian 有 alih-alih 欲; cf. juga Yìnshùn 1983: 127 catatan no.2.

<112> Paralel: T 103 dalam T II 500a4, T 104 dalam T II 500b17, dan SHT I 106 b, Waldschmidt 1965: 90 (yang diidentifikasi sebagai paralel pada SĀ 80 oleh Tang Huyen dalam Bechert dan Wille 1995: 239).

<113> SHT I 106 bB1, Waldschmidt 1965: 90: tte prahīnaṃ sama samanu[p].

<114> SHT I 106 bB2, Waldschmidt 1965: 90: [ma]sy-ocyate ānimittaṃ evaṃ.

<115> SHT I 106 bB3, Waldschmidt 1965: 90: sa rāga kiñca.

<116> Mengadopsi suatu varian yang menambahkan 我; cf. juga Yìnshùn 1983: 130 catatan no.1. SHT I 106 bB5, Waldschmidt 1965: 90: yat-punar-idam-ucyate aha(a)m-(a)vāma[m].

<117> Yìnshùn 1983: 130 catatan no.2 membaca bagian ini sebagai masih termasuk pada perenungan sebelumnya. SHT I 106 bB6, Waldschmidt 1965: 90: bhavati aham-asmi yad-yad-eva paśyāmi y.

<118> SHT I 106 bA1, Waldschmidt 1965: 90: vijānāmi tāṃs-thāṃ hetupratyayāt-pratītyo.

<119> SHT I 106 bA2, Waldschmidt 1965: 90: tyayā nityā vā anityā vā tasy-aivaṃ [bh].

<120> SHT I 106 bA2, Waldschmidt 1965: 90: tupratyayā[t-pr].

<121> SHT I 106 bA4, Waldschmidt 1965: 90: vyayadharmī vi.

<122> SHT I 106 bA5, Waldschmidt 1965: 90: [ā]ryāyā vo bhikṣavo dharma[k].

<123> Paralel: SN 22.60 dalam SN III 68,30; SHT I 376, Waldschmidt 1965: 167; dan kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 332,11; dalam Abhidharmakośavyākhyā, Wogihara 1936: 521,10, yang diidentifikasi sebagai sebuah kutipan dari kotbah saat ini dalam Pāsādika 1989: 103 (§406); dengan kutipan yang lebih lengkap yang dipertahankan dalam Abhidharmakośopāyikāṭīkā oleh Śamathadeva, D 4094 nyu 7b6 atau Q 5595 thu 40a2, yang diterjemahkan di bawah oleh Dhammadinnā 2013: 138ff; dan sebuah kutipan kotbah dalam Dharmaskandha, Dietz 1984: 50,17.

<124> Kolam Kera tampaknya tidak dikenal dalam kanon Pāli; cf. Lamotte 1958/1988: 155, Skilling 1997: 406f, Bingenheimer 2011: 198f catatan no.35, dan Anālayo 2011: 223f catatan no.95.

<125> Pengunjung Sang Buddha dalam SN 22.60 bernama Mahāli; ia secara langsung mendekati Sang Buddha untuk melaporkan pandangan yang dianut oleh Pūraṇa Kassapa. Dengan demikian SN 22.60 tidak melaporkan suatu pertemuan sebenarnya dengan Pūraṇa.

<126> Walaupun SN 22.60 dalam SN III 69,3 bersepaham dengan SĀ 81 bahwa pandangan ini dianut oleh Pūraṇa Kassapa, DN 2 dalam DN I 53,25 alih-alih menghubungkan pandangan ini dengan Makkhali Gosāla, seperti halnya sebuah paralel dalam Saṅghabhedavastu, Gnoli 1978: 221,28, sedangkan DĀ 27 dalam T I 108c10 menghubungkan pandangan yang demikian dengan Pakudha Kaccāyana; untuk studi perbandingan tentang versi-versi paralel dari DN 2 cf. Bapat 1948, Meisig 1987, dan Macqueen 1988.

<127> Pada titik ini SN 22.60 dalam SN III 69,12 melanjutkan dengan suatu pertanyaan oleh Mahāli tentang sebab dan kondisi.

<128> Terjemahan saya di sini dan di bawah ini mengikuti saran oleh Yìnshùn 1983: 133 catatan no.3 dan 4 untuk menghapus 非 yang ditemukan pada permulaan frase.

<129> Pradhan 1967: 332,11: rūpaṃ cen mahānāmann ekāntaduḥkham abhaviṣyan na sukhaṃ na sukhānugatam ity. Wogihara 1936: 521,11: rūpaṃ cen mahānāmann ekâṃta-duḥkham abhaviṣyat na sukhaṃ na sukhânugataṃ na saumanasyaṃ na saumanasyânugataṃ na sukha-veditaṃ hetur api na prajñāyate rūpe saṃrāgāya. Dietz 1984: 50,17: rūpaṃ cen mahānāmann ekāntaduḥkham bhaven na sukhaṃ na sukhānugataṃ na sukhasaumanasyaparītam avakkrāntam eva sukhena hetur api mahānāman na prajñāyate satvānāṃ rūpe saṃrāgāya na ceme satvā rūpe saṃrajyeran.

<130> SHT I 376 V2, Waldschmidt 1965: 167: (saṃra)jyant[e] saṃraktā. Wogihara 1936: 521,13: yasmāt tarhi asti rūpaṃ sukhaṃ sukhânugataṃ pūravavad ato rūpe hetuḥ prajñāyate yad uta saṃrāgāyeti. Dietz 1984: 50,20: yasmāt tu mahānāman rūpaṃ naikāntaduḥkhaṃ sukhaṃ sukhānugataṃ sukhasaumanasyaparītam avakkrāntam eva sukhena tasmād ime satvā rūpe saṃrajyaṃte saṃraktāḥ saṃyujyaṃte saṃyuktāḥ saṃkliṣyaṃte. Pernyataan dalam SN 22.60 pada SN III 69,19 bahwa kondisi terikat membawa pada terkotori juga tidak diikuti oleh referensi pada kekesalan.

<131> Dietz 1984: 50,26: vedanā saṃjñā saṃskārā.

<132> Dietz 1984: 50,27: vijñānaṃ cen mahānāmann ekāntaduḥkham bhaven na sukhaṃ na sukhānugataṃ na sukhasaumanasyaparītam avakkrāntam ceva sukhena hetur api mahānāman na prajñāyate sa(tvānāṃ) v[i ]jñāne saṃrāgāya na ceme satvā vijñāne saṃrajyeran.

<133> Dietz 1984: 51,3: yasmāt tu mahānāman vijñānaṃ naikāntaduḥkhaṃ sukhaṃ sukhānugataṃ sukhasaumanasyaparītam anavakkrāntam eva sukhena tasmād ime satvā vijñāne [saṃra]jyaṃte saṃra[k]t[ā](ḥ saṃ)yujyaṃte saṃyuktāḥ saṃkliṣyaṃte.

<134> SHT I 376 V3, Waldschmidt 1965: 167: y(e) kathaṃ sahetusap[ra]. SN 22.60 dalam SN III 70,15 di sini lagi-lagi memiliki suatu pertanyaan oleh Mahāli yang meminta penguraian Sang Buddha tentang sebab dan kondisi untuk pemurnian makhluk-makhluk hidup.

<135> SHT I 376 V4, Waldschmidt 1965: 167: [pa]ḥ tasmāt-tarhi ma[h] ... na rūpam.

<136> SHT I 376 V6, Waldschmidt 1965: 167: (vi)ñ(ā)[na]m-(e)kāntasukhaṃ duḥkhaṃ duḥkhānu.

<137> SHT I 376 V7, Waldschmidt 1965: 167: yaḥ satvānāṃ viśuddhaye evaṃ sahetu.

<138> Paralel: SHT I 376, Waldschmidt 1965: 167. Untuk kotbah 82 sampai 87 rekonstruksi judul masing-masing didasarkan pada uddāna yang ditemukan pada akhir kotbah 36.

<139> SHT I 376 V9, Waldschmidt 1965: 167: (a)[nit]y[aṃ d]uḥkham.

<140> SHT I 376 R1, Waldschmidt 1965: 167: [s ](ā)dhu ca su[ṣṭhu ca].

<141> SHT I 376 R2, Waldschmidt 1965: 167: anityaṃ duḥkham-[iti] dṛṣṭaṃ.

<142> SHT I 376 R3, Waldschmidt 1965: 168: ryyaśrāvakaḥ ātmata upagacched-etan-mama.

<143> SHT I 376 R4, Waldschmidt 1965: 168: [v]ā audārikaṃ vā sūkṣmaṃ vā hīnaṃ vā.

<144> SHT I 376 R5, Waldschmidt 1965: 168: kācit-saṃjñā ye keci.

<145> SHT I 376 R6, Waldschmidt 1965: 168: nāyāḥ saṃjñāyāḥ (sa)[ṃ]skārebhyo vijñā.

<146> SHT I 376 R7, Waldschmidt 1965: 168: [pra]jānāmi.

<147> Paralel: SHT I 376, Waldschmidt 1965: 168.

<148> SHT I 376 R7, Waldschmidt 1965: 168: vaiśāly(āṃ).
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (3)
« Reply #8 on: 05 July 2015, 02:14:25 PM »
<149> Paralel: SN 22.45 dalam SN III 44,33, penggalan Kha ii 1d/10c/12a, La Vallée Poussin 1913: 577f, edisi yang direvisi dalam Chung 2008: 311-313; cf. Anālayo 2012: 16f; untuk kutipan kotbah cf. juga Chung 2008: 59.

<150> Menurut SN 22.45 dalam SN III 45,3, melihat demikian dengan kebijaksanaan menghasilkan lenyapnya nafsu dan pembebasan dari arus-arus [kekotoran batin] melalui ketidakmelekatan.

<151> SN 22.45 dalam SN III 45,9 melanjutkan secara berbeda, karena ia menyatakan bahwa dengan terbebaskan pikiran menjadi stabil, puas, dan tidak gelisah, yang kemudian membawa pada realisasi Nirvāṇa. Urutan dalam SN 22.45 tidak seluruhnya jelas bagi saya, karena pembebasan melalui ketidakmelekatan sehubungan dengan masing-masing kelompok unsur kehidupan tampaknya untuk menyatakan pencapaian tujuan akhir, oleh sebab itu tidak perlu melanjutkan dari hal itu dengan menyatakan bahwa pikiran yang stabil, puas, dan tidak gelisah merealisasi Nirvāṇa. Mungkin ini adalah akibat dari suatu kesalahan penyebaran tekstual. Kenyataannya, sehubungan dengan bagian terakhir, yang tampaknya agak berlebihan, Bodhi 2000: 1056 catatan no.59 menunjukkan bahwa “patut dicatat bahwa bacaan itu membuat transisi yang tidak diharapkan dari bentuk nominatif netral impersonal (yang menjelaskan pikiran bhikkhu itu, cittaṃ) menjadi kata kerja yang menyatakan suatu subjek personal (na paritassati, parinibbāyati, pajānāti).” Transisi yang tidak diharapkan demikian bisa jadi tanda suatu bacaan telah ditambahkan, mungkin tidak disengaja dalam penyebaran lisan, yang awalnya tidak termasuk dalam kotbah ini.

<152> Paralel: Akanuma 1929/1990: 30 menyebutkan SN 22.46 dalam SN III 45,17 dengan tanda tanya; kenyataannya kotbah itu tampaknya sangat berbeda dari SĀ 85.

Singkatan

ANAṅguttara-nikāya
BeBurmese edition
CeCeylonese edition
DDerge edition
Dīrgha-āgama (T 1)
DNDīgha-nikāya
EePTS edition
Ekottarika-āgama (T 125)
QPeking edition
SeSiamese edition
Saṃyukta-āgama (T 99)
SHTSanskrithandschriften aus den Turfanfunden
SNSaṃyutta-nikāya
SpkSāratthappakāsinī
TTaishō edition, CBETA
ThTheragāthā
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

 

anything