//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Mr. Wei

Pages: 1 [2] 3 4 5 6 7 8 9 ... 204
16
Udana 2.7. Anak Tunggal: Ekaputta Sutta
Telah kudengar pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di dekat Sāvatthī di Hutan Jeta, vihara milik Anāthapiṇḍika. Dan pada kesempatan tersebut seorang anak tunggal yang disayangi dan dicintai oleh seorang pengikut awam telah meninggal. Maka sejumlah besar pengikut awam – bajunya basah, rambutnya basah – pergi menemui Sang Bhagavā di tengah hari dan, setibanya, bersujud kepada beliau, duduk di satu sisi. Ketika mereka duduk di sana Sang Bhagavā bertanya: “Mengapa kalian datang ke sini – baju kalian basah, rambut kalian basah – di tengah hari?”

Ketika hal ini dikatakan, pengikut awam berkata kepada Sang Bhagavā, “Anak tunggalku yang kusayang dan kucintai, tuan, telah meninggal. Karena inilah aku datang ke sini – baju kami basah, rambut kami basah – di tengah hari.”

Kemudian, dengan menyadari pentingnya hal tersebut, Sang Bhagavā pada kesempatan itu berseru:


Terikat oleh daya tarik
dari apa yang terlihat disayangi,1
makhluk-makhluk surgawi, kebanyakan orang,
lelah oleh kesengsaraan,
jatuh di bawah kekuasaan
dari Raja Kematian.
Teapi mereka yang, siang dan malam,
Dengan penuh perhatian mengabaikan
apa yang terlihat disayangi,
mencabut kesengsaraan
dari akarnya –
   Umpan kematian
   begitu sulit
   untuk diatasi.

Catatan:
1. Mengikuti bacaan, piyarūpassāda-gaddhitāse dalam edisi Thai, Burma, dan BJT. Edisi Srilanka tersedia dalam Jurnal Etika Buddhist (Journal of Buddhist Ethics) memiliki piyarūpā-sātanīpa-gaddhitā ye: “Mereka yang terikat pada sesuatu yang terlihat disayangi dan terlihat cocok”; edisi PTS, piyarūpāsāta-gaddhitā ve: “Benar-benar terikat oleh sesuatu yang terlihat disayangi dan sesuatu yang tidak cocok.” Bagian paralel dalam Udānavarga (5.10) memiliki, priyarūpa-sāta-grahitā: “Terikat oleh sesuatu yang terlihat disayangi dan cocok.”

Lihat juga: MN 87, SN 42.11, Ud 2.8, Ud 8.8

17
Udana 1.8. ketinggalan dicopas nih.

Sangamaji Sutta: ShowHide
Udana 1.8. Saṅgāmaji: Saṅgāmaji Sutta
Telah kudengar pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di dekat Sāvatthī di Hutan Jeta, vihara milik Anāthapiṇḍika. Dan pada kesempatan tersebut Y.M. Saṅgāmaji telah tiba di Sāvatthī untuk menemui Sang Bhagavā. Mantan istrinya mendengar, “Guru Saṅgāmaji, kata mereka, telah tiba di Sāvatthī.” Membawa anaknya yang masih kecil, ia pergi ke Hutan Jeta. Pada saaat itu Y.M. Saṅgāmaji sedang duduk di bawah pohon for the day’s abiding. Mantan istrinya datang menemuinya dan, setibanya, berkata kepadanya, “Lihatlah aku, pertapa – (seorang perempuan) dengan anak laki-lakinya.” Ketika kalimat itu diucapkan, Y.M. Saṅgāmaji hanya diam. Untuk kedua kalinya… untuk ketiga kalinya, mantan istrinya berkata kepadanya, “Lihatlah aku, pertapa – (seorang perempuan) dengan anak laki-lakinya.” Untuk ketiga kalinya, Y.M. Saṅgāmaji tetap diam.

Kemudian mantan istrinya, membawa sang bayi dan meninggalkannya di depan Y.M. Saṅgāmaji, pergi, berkata, “Itu anakmu, pertapa. Jagalah dia.”

Kemudian Y.M. Saṅgāmaji tidak melihat anak kecil itu maupun berkata kepadanya. Istrinya, setelah pergi tidak terlalu jauh, melihat kembali dan melihat Y.M. Saṅgāmaji tidak melihat anak kecil itu maupun berkata kepadanya. Melihat ini, ia berpikir, “Sang pertapa bahkan tidak memedulikan anak laki-lakinya.” Kembali dari sana dan membawa anaknya, ia pergi.

Sang Bhagavā – dengan mata dewanya, suci dan melampaui manusia – melihat mantan istri Y.M. Saṅgāmaji berperilaku tak pantas seperti itu.

Kemudian, dengan menyadari pentingnya hal tersebut, Sang Bhagavā pada kesempatan itu berseru:

Saat dia datang,
   ia tidak bergembira;
Saat dia pergi,
   ia tidak berduka;
Seorang pemenang dalam pertempuran, terbebas dari ikatan:1
   Ialah yang kusebut sebagai
   seorang Brahmana

Catatan:
1. Baris ini merupakan permainan kata pada nama Saṅgāmaji. Secara harfiah, berarti pemenang dalam pertempuran – gabungan dari saṅgāma (pertempuran) dan –ji (pemenang) – tapi Sang Buddha juga mengambil bagian pertama pada gabungan kata yaitu saṅgā yang berarti “dari ikatan”. Sebenarnya, saṅgāma dan saṅgā tidak berkaitan satu sama lain. Kemampuan untuk melakukan permainan kata menggunakan kata-kata yang tidak berkaitan seperti ini dianggap sebagai tanda kecerdasan dan berpengetahuan.

18
Udana 2.5. Pengikut Awam: Upāsaka Sutta
Telah kudengar pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, vihara milik Anāthapiṇḍika. Dan pada kesempatan tersebut seorang pengikut awam dari Icchānaṅgalaka telah tiba di Sāvatthī untuk beberapa urusan bisnis. Setelah menyelesaikan urusannya di Sāvatthī, ia menemui Sang Bhagavā dan, setibanya, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi. Saat ia duduk di sana, Sang Bhagavā berkata kepadanya, “Pada akhirnya kau berhasil datang ke sini.”

“Pada akhirnya, tuan, saya telah ingin datang untuk menemui Sang Bhagavā, tapi terlibat dalam urusan bisnis satu demi satu, saya belum mampu untuk melakukannya.”

Kemudian, dengan menyadari pentingnya hal tersebut, Sang Bhagavā pada kesempatan itu berseru:

Betapa bahagianya, bagi seseorang yang tidak memiliki apa-apa
   yang telah menguasai Dhamma,
   dipelajari.
Melihatnya menderita, seseorang yang memiliki sesuatu,
   seseorang terikat dalam tubuh
   bersama orang-orang.

Lihat juga Dhp 200, 221, 396, 421.

19
Udana 2.4. Pemuliaan: Sakkāra Sutta
Telah kudengar dalam satu kesempatan Sang Bhagavā sedang menetap di dekat Sāvatthī di Hutan Jeta, vihara milik Anāthapiṇdika. Dan pada kesempatan tersebut Sang Bhagavā sedang dipuji, dipuja, ditinggikan, dimuliakan, dan diberikan penghormatan – menerima jubah, dana makanan, penginapan, dan kebutuhan obat-obatan bagi yang sakit. Komunitas bhikkhu juga dipuji, dipuja, ditinggikan, dimuliakan, dan diberikan penghormatan - menerima jubah, dana makanan, penginapan, dan kebutuhan obat-obatan bagi yang sakit. Tapi pengembara dari sekte lain tidak dipuji, dipuja, ditinggikan, dimuliakan, atau diberikan penghormatan; juga tidak menerima jubah, dana makanan, penginapan, dan kebutuhan obat-obatan bagi yang sakit. Maka para pengembara dari sekte lain, tidak dapat menerima pemuliaan yang diberikan kepada Sang Bhagavā dan komunitas bhikkhu, melihat para bhikkhu di desa atau alam liar, akan menyerang, mencaci, mengganggu, dan mengusik mereka dengan bahasa yang kasar dan menghina.

Kemudian sekelompok bhikkhu datang menemui Sang Bhagavā dan, setibanya, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi. Saat mereka duduk di sana, mereka berkata kepada beliau, “Saat ini Sang Bhagavā dipuji, dipuja, ditinggikan, dimuliakan, dan diberikan penghormatan – menerima jubah, dana makanan, penginapan, dan kebutuhan obat-obatan bagi yang sakit. Komunitas bhikkhu juga dipuji, dipuja, ditinggikan, dimuliakan, dan diberikan penghormatan – menerima jubah, dana makanan, penginapan, dan kebutuhan obat-obatan bagi yang sakit. Tapi pengembara dari sekte lain tidak dipuji, dipuja, ditinggikan, dimuliakan, dan diberikan penghormatan – menerima jubah, dana makanan, penginapan, dan kebutuhan obat-obatan bagi yang sakit. Maka pengembara dari sekte lain, tidak dapat menerima pemuliaan yang diberikan kepada Sang Bhagavā dan komunitas bhikkhu, melihat para bhikkhu di desa atau alam liar, akan menyerang, mencaci, mengganggu, dan mengusik mereka dengan bahasa yang kasar dan menghina.”

Kemudian, dengan menyadari pentingnya hal tersebut, Sang Bhagavā pada kesempatan itu berseru:

Ketika berkontak dengan kesenangan atau rasa sakit
   di desa atau alam liar,
jangan jadikan sebagai milikmu atau milik orang lain.
Kontak menyebabkan kontak
   bergantung dengan rasa memiliki.
Ketika di sana tidak ada rasa memiliki,
   kontak akan menyebabkan kontak
      dengan apa?

Lihat juga DN 21 dan MN 28.

20
Udana 2.3. Tongkat: Daṇda Sutta
Telah kudengar dalam satu kesempatan Sang Bhagavā sedang menetap di dekat Sāvatthī di Hutan Jeta, vihara miliki Anāthapiṇdika. Dan pada kesempatan tersebut, sejumlah anak laki-laki berada di jalan antara Sāvatthī dan Hutan Jeta sedang memukul seekor ular dengan SEBUAH tongkat. Kemudian pada pagi dini hari Sang Bhagavā merapikan jubahnya dan – membawa mangkuk serta jubahnya – pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Beliau melihat sejumlah anak laki-laki berada di jalan antara Sāvatthī dan Hutan Jeta sedang memukul seekor ular dengan SEBUAH tongkat.

Kemudian, dengan menyadari pentingnya hal tersebut, Sang Bhagavā pada kesempatan itu berseru:

Siapapun yang memukul dengan tongkat
Karena menginginkan kemudahan,
Tidak akan menemukan kemudahan setelah kematian.
Siapapun yang tidak memukul dengan tongkat
Karena menginginkan kemudahan,
Akan menemukan kebahagiaan setelah kematian.1

Catatan:
1. Syair-syair ini identik dengan Dhp 131-132

21
Udana 2. 2. Raja-Raja: Rājā Sutta
Telah kudengar dalam satu kesempatan Sang Bhagavā sedang menetap di dekat Sāvatthī, Hutan Jeta, vihara miliki Anāthapiṇdika. Dan pada kesempatan tersebut sejumlah bhikkhu, setelah makan, kembali dari menerima dana makanan, duduk berkumpul bersama di aula pertemuan ketika diskusi ini muncul:

“Sahabat, yang mana dari kedua raja ini yang memiliki kekayaan lebih besar, kepemilikian lebih besar, harta karun yang lebih besar, wilayah yang lebih besar, persediaan binatang kendaraan yang lebih besar, tentara yang lebih besar, kekuatan yang lebih besar, kekuasaan yang lebih besar: Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha atau Raja Pasenadi dari Kosala?” Dan diskusi ini menjadi tanpa akhir.

Kemudian Sang Bhagavā, keluar dari pengasingannya di sore hari, pergi menuju aula pertemuan dan, setibanya, duduk di tempat yang disediakan. Duduk dan beliau bertanya kepada para bhikkhu: “Topik apa yang membuatmu duduk bersama di sini? Dan diskusi apa yang menjadi tanpa akhir?”

“Tadi, tuan, setelah makan, setelah kembali dari menerima dana makanan, kami duduk berkumpul di aula pertemuan ketika diskusi ini muncul: ‘Sahabat, yang mana dari kedua raja ini yang memiliki kekayaan lebih besar, kepemilikian lebih besar, harta karun yang lebih besar, wilayah yang lebih besar, persediaan binatang kendaraan yang lebih besar, tentara yang lebih besar, kekuatan yang lebih besar, kekuasaan yang lebih besar: Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha atau Raja Pasenadi dari Kosala?’ Inilah diskusi yang tidak menjadi tanpa akhir saat Sang Bhagavā tiba.”

“Hal ini tidak patut, para bhikkhu, bahwa anak-anak dari keluarga yang baik, telah yakin meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, harus membicarakan topik seperti ini. Ketika kalian berkumpul, kalian memiliki dua kewajiban: baik itu membicarakan Dhamma atau keheningan mulia.”1

Kemudian, dengan menyadari pentingnya hal tersebut, Sang Bhagavā pada kesempatan itu berseru:

Berbagai kebahagiaan indriawi di dunia,
berbagai kebahagiaan surgawi,
tidak layak seperenambelas dari seperenambelas,
oleh kebahagiaan dari berhentinya keinginan

Catatan:
1. SN 21:1 menyamakan keheningan luhur dengan jhāna kedua. Hal ini nampaknya berkaitan dengan fakta bahwa pikiran yang diarahkan dan evaluasi, yang diidentifikasi pada MN 44 sebagai bentukan verbal, dilepaskan ketika berpindah dari jhāna pertama ke jhāna kedua.

22
Udana 2.1. Muccalinda: Muccalinda Sutta
Telah kudengar dalam satu kesempatan, Sang Bhagavā sedang menetap di Uruvelā di tepi sungai Nerañjarā di kaki pohon Muccalinda, baru tercerahkan. Dan pada kesempatan tersebut beliau duduk selama tujuh hari dalam satu sesi, merasakan kebahagiaan kebebasan.

Dan pada kesempatan tersebut, awan badai besar yang tidak sesuai dengan musimnya muncul, bersama dengan musim penghujan, angin dingin, dan kegelapan intens selama tujuh hari. Kemudian Muccalinda sang raja nāga – meninggalkan tempat kediamannya dan melingkari tubuh Sang Bhagavā selama tujuh hari dengan lilitannya – berdiri dengan tudung yang terbuka menutupi Sang Bhagavā, (berpikir,) “Jangan biarkan Sang Bhagavā terganggu oleh dingin. Jangan biarkan sang Bhagavā terganggu oleh panas. Jangan biarkan Sang Bhagavā terganggu oleh sentuhan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan hewan melata.”

Kemudian, dengan berlalunya tujuh hari, Sang Bhagavā bangun dari konsentrasinya. Muccalinda sang raja nāga, menyadari bahwa langit sudah cerah dan bebas dari awan, melepaskan lilitannya dari tubuh Sang Bhagavā, menampakkan penampilannya sendiri dan, mengambil wujud seorang laki-laki muda, berdiri di depan Sang Buddha dengan tangan di dada, memberikan penghormatan.

Kemudian, dengan menyadari pentingnya hal tersebut, Sang Bhagavā pada kesempatan itu berseru:

Kebahagiaan adalah kesendirian
bagi orang-orang yang berpuas,
yang sudah mendengarkan Dhamma,
yang melihat.
Kebahagiaan adalah tanpa derita
dengan perhatian kepada dunia,
mengatasi hawa nafsu.
Tetapi dengan menundukkan kesombongan “Aku”1 –
   itulah yang sesungguhnya
   kebahagiaan tertinggi.

Catatan:
1. Lihat Ud 1.1, catatan 3.

23
Udana 1.10. Bāhiya: Bāhiya Sutta
Telah kudengar dalam satu kesempatan Sang Bhagavā sedang menetap di dekat Sāvatthi di Hutan Jeta, vihara milik Anāthapiṇdika. Dan pada kesempatan tersebut Bāhiya dari kaum berpakaian kulit sedang menetap di Suppāraka di pantai – penerima jubah, dana makanan, penginapan, & kebutuhan obat-obatan bagi orang sakit. Kemudian, ia sedang sendirian dalam pengasingan, sebaris pemikiran ini kemudian muncul dalam kesadarannya: “Sekarang, dari orang-orang di dunia ini yang adalah arahat atau sudah memasuki jalan menuju ke-arahat-an, apakah aku salah satunya?”

Kemudian seorang devatā yang pernah memiliki hubungan darah dengan Bāhiya dari kaum berpakaian kulit – berbelaskasihan, mengharapkan kesejahteraan dirinya, mengetahui dengan kesadarannya sendiri sebaris pemikiran yang sudah muncul pada kesadarannya – pergi menghadapnya dan setibanya berbicara kepadanya, “Kau, Bāhiya, bukanlah seorang arahat atau sudah memasuki jalan ke-arahat-an. Kau bahkan tidak memiliki latihan yang dapat membuatmu menjadi arahat atau memasuki jalan menuju ke-arahat-an.”

“Lalu siapa, di dunia ini bersama dengan para deva, adalah arahat atau telah memasuki jalan menuju ke-arahat-an?”

“Bāhiya, ada sebuah kota di negara utara bernama Sāvatthī. Di sana ada Sang Bhagavā – seorang arahat, yang berkewaspadaan diri dengan benar – sedang hidup saat ini. Beliau benar-benar seorang arahat dan mengajarkan Dhamma yang membawa menuju ke-arahat-an.

Kemudian Bāhiya, didera secara mendalam oleh sang devatā, meninggalkan Suppāraka pada saat itu dan, dalam waktu satu malam,1 pergi sepanjang hari menuju tempat Sang Bhagavā sedang menetap di dekat Sāvatthi di Hutan Jeta, vihara milik Anāthapiṇdika. Sekarang pada kesempatan itu, sejumlah besar bhikkhu sedang melakukan meditasi berjalan di tempat dengan udara terbuka. Ia pergi menemui mereka, dan setibanya, berkata, “Di mana, para yang mulia, Sang Bhagavā – sang arahat, yang berkewaspadaan diri dengan benar – sedang menetap?” Kami ingin melihat Sang Bhagavā itu – sang arahat, yang berkewaspadaan diri dengan benar.”

“Sang Bhagavā sudah pergi ke kota untuk menerima dana makanan.”

Kemudian Bāhiya, dengan terburu-buru menginggalkan Hutan Jeta dan memasuki Sāvatthī, melihat Sang Bhagavā sedang menerima dana makanan di Sāvatthī – tenang dan kepercayaan diri tenang yang menginspirasi, menenangkan, indra terasa damai, batin terasa damai, telah mencapai ketenangan penuh dan seimbang, terkendali, terjaga, indranya terkendali, a Great One (nāga). Melihatnya, ia mendekati Sang Bhagavā dan, saat tiba, bersujud, dengan kepalanya berada di kaki Sang Bhagavā, dan berkata, “Ajarkan aku Dhamma, oh Bhagavā! Ajarkan aku Dhamma, oh Yang Telah Pergi, yang akan menjadi kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang bagiku.”

Ketika hal ini diucapkan, Sang Bhagavā berkata kepadanya, “Bukan waktunya, Bāhiya, kami telah memasuki kota untuk menerima dana makanan.”

Untuk kedua kalinya, Bāhiya berkata kepada Sang Bhagavā, “Tapi sulit sekali untuk mengetahui dengan pasti bahaya apa yang mungkin muncul pada hidup Bhagavā, atau bahaya apa yang mungkin muncul padaku. Ajarkan aku Dhamma, oh Bhagavā! Ajarkan aku Dhamma, oh Yang Telah Pergi, yang akan menjadi kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang bagiku.”

Untuk kedua kalinya, Sang Bhagavā berkata kepadanya, “Bukan waktunya, Bāhiya. Kami telah memasuki kota untuk menerima dana makanan.”

Untuk ketiga kalinya, Bāhiya berkata kepada Sang Bhagavā, “Tapi sulit sekali untuk mengetahui dengan pasti bahaya apa yang mungkin muncul pada hidup Bhagavā, atau bahaya apa yang mungkin muncul padaku. Ajarkan aku Dhamma, oh Bhagavā! Ajarkan aku Dhamma, oh Yang Telah Pergi, yang akan menjadi kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang bagiku.”

“Kemudian, Bāhiya, kau harus melatih dirimu seperti ini: mengacu pada yang terlihat, maka hanya ada yang terlihat. Mengacu pada yang terdengar, hanya yang terdengar. Mengacu pada yang terasa, hanya akan terasa. Mengacu kepada yang diperhatikan, hanya yang diperhatikan. Demikianlah kau harus melatih dirimu sendiri. Ketika bagimu sudah hanya melihat pada acuan yang terlihat, hanya mendengar pada acuan yang terdengar, hanya merasa pada acuan yang terasa, hanya memerhatikan pada acuan yang diperhatikan, kemudian, Bāhiya, kau tidak berhubungan dengan hal itu. Ketika dirimu tidak berhubungan dengan hal itu, maka tidak ada dirimu di sana. Ketika tidak ada dirimu di sana, kau tidak berada di sini atau di sana atau keduanya. Ini, hanya ini, akhir dari penderitaan.”2

Dengan mendengarkan penjelasan singkat mengenai Dhamma dari Sang Bhagavā, pikiran Bāhiya dari kaum berpakaian kulit di sana pada saat itu juga terlepas dari arus melalui berkurangnya kemelekatan/makanan. Setelah menasihati Bāhiya dari kaum berpakaian kulit dengan penjelasan singkat mengenai Dhamma, Sang Bhagavā pergi.

Tidak lama setelah Sang Bhagavā berlalu, Bāhiya diserang dan terbunuh oleh seekor sapi dengan seekor anak sapi. Kemudian Sang Bhagavā, setelah selesai menerima dana makanan di Sāvatthī, setelah makan, kembali dari menerima dana makanan bersama dengan sejumlah besar bhikkhu, melihat Bāhiya telah meninggal. Saat melihatnya, beliau berkata kepada para bhikkhu, “Bawa tubuh Bāhiya, para bhikkhu, dan, tempatkan pada sebuah tandu dan bawalah pergi, kremasikan dan bangun tanda peringatan baginya. Temanmu dalam kehidupan suci telah meninggal.”

Dijawab, “Seperti yang kau katakana, tuan,” kepada Sang Bhagavā, para bhikkhu – meletakkan tubuh Bāhiya pada sebuah tandu, membawanya pergi, mengkremasikannya, dan membangun tanda peringatan baginya – pergi menghadap Sang Bhagavā. Setibanya, setelah bersujud kepadanya, duduk di sebuah sisi. Saat mereka duduk di sana, mereka berkata kepada beliau, “Tubuh Bāhiya sudah dikremasikan, tuan, dan tanda peringatan baginya sudah dibangun. Apa tujuannya? Apa kehidupannya di masa depan?”

“Para Bhikkhu, Bāhiya dari kaum berpakaian kulit bersifat bijak. Ia melaksanakan Dhamma sesuai dengan Dhamma dan tidak menggangguku dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan Dhamma. Bāhiya dari kaum berpakaian kulit, para bhikkhu, sudah terbebas secara total.”

Kemudian, dengan menyadari pentingnya hal tersebut, Sang Bhagavā pada kesempatan itu berseru:

Di mana air, tanah,
api, dan air
tidak memiliki pijakan:
Di sana bintang-bintang tidak bersinar,
matahari tidak dapat terlihat.
Di sana rembulan tidak muncul.
Di sana kegelapan tidak ditemukan.
Dan di mana seorang bijak,
seorang brahmana melalui kebijaksanaannya,
telah merealisasikan (hal ini) untuk dirinya sendiri,
kemudian dari berbentuk dan tidak berbentuk,
dari kebahagiaan dan rasa sakit,
ia terbebaskan.

Catatan:
1. Eka-ratti-parivāsena: Frase ini juga bisa berarti, “mengambil persinggahan satu malam” (yakni, beristirahat tidak lebih dari satu malam dalam satu tempat); atau “dengan persinggahan satu malam.” Komentar memilih makna yang digunakan dalam terjemahan, memerhatikan jarak di antara Suppāraka dan Sāvatthī yang berjumlah 120 liga, atau kira-kira 1.200 mil. Dalam versi kisah Bāhiya sendiri, Bāhiya tidak memiliki pencapaian meditatif sama sekali, sehingga kecepatan ajaib dari perjalanannya harus dikatikan baik dengan kekuatan deva atau kekuatan Buddha. Namun, ia mungkin sebenarnya telah memiliki kekuatan konsentrasi yang besar dengan pencapaian kekuatan psikis melalui dirinya sendiri.
2. Untuk diskusi mengenai instruksi-instruksi tersebut, lihat artikel, “Makanan untuk Pencerahan: Peran dari Perhatian Sesuai”

24
Udana 1.9. Pertapa: (Jaṭila Sutta)
Telah kudengar pada satu kesempatan Sang Bhagavā sedang menetap di dekat Gayā di puncak Gayā. Dan pada kesempatan tersebut, banyak pertapa – di malam musim dingin dari “Di antara-para-Delapan,”1 ketika salju sedang turun di Gayā – melompat ke dalam air, melompat keluar dari dalam air, melompat ke dalam-dan-keluar dari air, menuang (air kepada diri mereka sendiri), dan melakukan pengorbanan api, (berpikir,) “Melalui inilah terdapat kesucian.”

Sang Bhagavā melihat pertapa yang banyak tersebut – di malam musim dingin dari “Di antara-para-Delapan,” ketika salju sedang turun di Gayā – melompat ke dalam air, melompat keluar dari dalam air, melompat ke dalam-dan-keluar dari air, menuang (air kepada diri mereka sendiri), dan melakukan pengorbanan api, (berpikir,) “Melalui inilah terdapat kesucian.”

Kemudian, dengan menyadari pentingnya hal tersebut, Sang Bhagavā pada kesempatan itu berseru:

“Bukan oleh air seseorang menjadi bersih,
meskipun banyak orang mandi di sini.
Siapapun yang memiliki kebenaran
dan kejujuran:
Dialah seorang yang bersih
dia, seorang brahmana.2”

Catatan:
1. “Delapan” merupakan memudarnya hari setengah bulan (masing-masing pada hari kedelapan dari siklus pemudaran) setelah tiga kali bulan purnama di musim dingin. Hal ini merupakan tanggal-tanggal dari perayaan brahmanis untuk melimpahkan jasa kepada orang yang sudah meninggal. Periode di antara hari pertama dan terakhir dari hari-hari tersebut – “Di antara-para-Delapan” – dianggap di India Utara sebagai bagian yang paling dingin dalam setahun. Lihat AN 3:35
2. Setengah terakhir dari syair ini identik dengan setengah terakhir dari Dhp 393.

25
Udana 1.7. Aja: Aja Sutta
Telah kudengar dalam satu kesempatan Sang Bhagavā sedang menetap dekat Pāva di kuil Ajakalāpaka (kawanan kambing), tempat tinggal dari roh Ajakalāpaka. Dan pada kesempatan tersebut, dalam malam gelap yang pekat, Sang Bhagavā duduk di tempat udara terbuka, dan hujan turun dengan tersebar. Kemudian roh Ajakalāpaka – ingin menyebabkan rasa takut, teror, & bulu tengkuk berdiri pada Sang Bhagavā – pergi menghadapnya dan, setelah tiba, tidak jauh dari dirinya, sebanyak tiga kali membuat kegaduhan dan kekacauan: “Kegaduhan dan kekacauan! Kegaduhan dan kekacauan! Kegaduhan dan kekacauan! – Itulah hantu untukmu, pertapa!”

Kemudian, dengan menyadari pentingnya hal tersebut, Sang Bhagavā pada kesempatan itu berseru:

Ketika,
dengan menghormati kualitas-kualitasnya sendiri,1
seorang brahmana adalah seseorang
yang telah pergi jauh
ia melampaui hantu ini
dan kekacauannya.

Catatan:
1. Dhamma. Kata ini dengan jelas mengacu pada kualitas mental yang terampil dan tidak terampil – yang bisa berarti bahwa sutta ini berpihak pada bagian-bagian dalam Kanon mengategorikan kebebasan bukan sebagai sebuah dhamma, tetapi sebagai terlampaunya semua dhamma. (Sutta-sutta tersebut secara umum tidak konsisten dengan hal ini. Iti 90, di antara lainnya, dengan jelas menyatakan bahwa kebebasan dihitung sebagai dhamma. AN 10:58, di sisi lain, menyebut kebebasan sebagai berakhirnya semua dhamma. SN 5:6 menyebut pencapaian dari tujuan melampaui semua dhamma, seperti pada SN 4:6 dan SN 4:10 yang menyatakan bahwa arahat telah melampaui kebebasan nafsu, dikatakan merupakan dhamma yang paling tinggi. MN 22, dalam kiasan terkenal mengenai rakit, menyatakan bahwa semua dhamma ditinggalkan pada akhir dari jalan.

26
Udana 1:6 Mahā Kassapa (Kassapa Sutta)
Telah kudengar dalam satu kesempatan Sang Bhagavā sedang menetap dekat Rājagaha di Hutan Bambu, tempat perlindungan tupai. Dan pada kesempatan tersebut Y.M. Mahā Kassapa sedang menetap di Gua Pipphali, menderita, dalam rasa sakit dan penyakit yang serius. Kemudian, setelah itu, beliau sembuh dari penyakitnya. Pada saat beliau telah sembuh dari penyakitnya, sebuah pemikiran muncul padanya: “Bagaimana jika Aku pergi menuju Rājagaha untuk menerima dana makanan?”

Pada saat itu 500 devatā berada dalam keadaan bersemangat untuk kesempatan berdana kepada Y.M. Mahā Kassapa. Tetapi Y.M. Mahā Kassapa, menolak ke-500 devatā tersebut, pada awal pagi hari merapikan jubahnya1 dan – membawa mangkuk dan jubah – pergi menuju Rājagaha untuk menerima dana makanan di sepanjang jalan orang miskin, di sepanjang jalan orang yang tidak beruang, di sepanjang jalan penenun. Sang Bhagavā melihat bahwa Y.M. Mahā Kassapa telah pergi menuju Rājagaha untuk menerima dana makanan di sepanjang jalan orang miskin, di sepanjang jalan orang yang tidak beruang, di sepanjang jalan penenun.

Kemudian, menyadari pentingnya hal tersebut, Sang Bhagavā pada kesempatan tersebut berseru:

(belum selesai diterjemahkan...)

27
Udana 1.5. Brahmana: Brāhmaṇa Sutta
Telah kudengar dalam satu kesempatan Sang Bhagavā sedang menetap dekat Sāvatthī di Hutan Jeta, vihara milik Anāthapiñdika. Dan pada kesempatan tersebut Y.M. Sāriputta, Y.M. Mahāmoggalāna, Y.M. Mahā Kassapa, Y.M. Mahā Kaccāyana, Y.M. Mahā Koṭṭhita, Y.M. Mahā Kappina, Y.M. Mahā Cunda, Y.M. Anuruddha, Y.M. Revata, dan Y.M. Nanda1 pergi menghadap Sang Bhagavā. Sang Bhagavā melihat mereka datang dari kejauhan dan, saat melihat mereka, berbicara kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu, mereka adalah para brahmana yang sedang datang. Para bhikkhu, mereka adalah adalah para brahmana yang sedang datang

Saat hal ini selesai diucapkan, seorang bhikkhu yang merupakan brahma berdasarkan kelahiran berkata kepada Sang Bhagavā, “Sejauh apa, tuan, seseorang disebut brahmana? Dan di mana kualitas-kualitas yang membuat seseorang disebut brahmana?” Kemudian, dengan menyadari pentingnya hal tersebut, Sang Bhagavā pada kesempatan itu berseru:

Telah melenyapkan kualitas-kualitas jahat,2
mereka yang berpergian dengan senantiasa penuh perhatian
Tercerahkan, belenggu-belenggu mereka berakhir:   
Mereka, di dunia ini,
adalah brahmana yang sesungguhnya

Catatan:
1. Terjemahan ini mengikuti versi Thailand dan Burma dalam bagian ini. Versi Sri Lanka mengganti Y.M. Nanda dalam daftar ini dengan Y.M. Finanda; versi PTS menggantinya dengan Y.M. Devadatta dan Y.M. Finanda. Kemudian kedua bacaan tersebut muncul kembali sebagai kesalahan, karena Buddha dalam sutta ini mendefinisikan “brahma” sebagai seseorang yang belenggu-belenggunya telah berakhir – dengan kata lain, seorang Arahat – di mana Y.M. Finanda menjadi seorang arahat hanya setelah Buddha wafat; Devadatta, setelah menyebabkan perpecahan dalam Saṅgha pada akhir dari hidup Buddha, jatuh ke neraka.
2. Baris ini mengandung permainan kata dalam kata-kata brāhmaṇa dan bāhita (terlenyapkan) – permainan kata sama yang digunakan dalam Dhp 388 dan Ud 1:4.

28
Udana 1:4. Kesombongan: (Huhuṅka Sutta)
Telah kudengar dalam satu kesempatan, Sang Bhagavā sedang menetap di Uruvelā pada tepi Sungai Nerañjarā di kaki pohon Bodhi – pohon pencerahan – baru tercerahkan. Dan pada kesempatan tersebut ia duduk di kaki pohon Bodhi selama tujuh hari dalam satu sesi, merasakan kebahagiaan kebebasan. Pada akhir dari tujuh hari, beliau keluar dari konsentrasi tersebut.

Kemudian seorang Brahma yang sombong pergi menghadap Sang Bhagavā dan, setibanya, bertukar hormat dengan beliau. Setelah pertukaran salam yang bersahabat dan penghormatan, ia berdiri di satu sisi. Selama ia berdiri di sana, ia berkata kepada Sang Bhagavā, “Sejauh apa, Guru Gotama, seseorang disebut brahma? Dan apakah kualitas-kualitas yang membuat seseorang disebut brahmana?” Lalu, dengan menyadari pentingnya hal tersebut, Sang Bhagavā dalam kesempatan itu berseru:

Para brahmana
yang telah melenyapkan kualitas-kualitas buruk,1
- tidak sombong,
tidak ternoda,
batinnya terkendali –
pergi menuju akhir kebijaksanaan2
hidup yang suci terselesaikan3
brahmana tersebut akan dengan benar
mengucapkan ajaran suci
Ia tidak memiliki harga diri yang berlebihan4
di dunia mana pun

Catatan:
1. Baris ini mengandung permainan kata dalam kata-kata brāhmaṇa dan bāhita (terlenyapkan) – permainan kata yang sama digunakan dalam Dhp 388 dan Ud 1:5.
2. Baris ini bermain dengan istilah vedanta, yang bisa berarti “akhir dari kebijaksanaan,” “akhir dari Veda-Veda,” atau “tambahan untuk Veda-Veda.” Pada dua kasus terakhir, istilah ini mungkin merujuk pada brahma berdasarkan kelahiran yang sudah memelajari semua Veda dan tambahan-tambahannya, tetapi Buddha secara jelas memberikan makna yang berbeda pada istilah ini.
3. Di sini dan dua baris di bawah, kata “suci” diterjemahkan brahma.
4. Lihat Sn 4:10 dan Sn 4:14

29
Udana 1.3. Bodhi Sutta: Pencerahan (3)
Telah kudengar dalam satu kesempatan, Sang Bhagavā sedang menetap di Uruvelā di tepi Sungai Nerañjarā pada kaki pohon Bodhi – pohon pencerahan – baru tercerahkan. Dan pada kesempatan itu beliau duduk pada kaki pohon Bodhi selama tujuh hari, setelah keluar dari konsentrasi tersebut, dalam jaga ketiga malam, beliau memberikan perhatian erat pada kemunculan bergantungan dalam urutan maju dan mundur, yaitu:

Ketika ini ada, maka itu ada.
Dari munculnya ini, maka munculah itu.
Ketika ini tidak ada, maka itu tidak ada.
Dari berhentinya ini, maka berhentinya itu.

Dalam kata lain:
Dari ketidaktahuan sebagai kondisi syarat, muncullah bentukan-bentukan.
Dari bentukan-bentukan sebagai kondisi syarat, muncullah kesadaran.
Dari kesadaran sebagai kondisi syarat, muncullah nama-dan-rupa.
Dari nama-dan-rupa sebagai kondisi syarat, muncullah landasan enam indra.
Dari landasan enam indra sebagai kondisi syarat, muncullah kontak.
Dari kontak sebagai kondisi syarat, muncullah perasaan.
Dari perasaan sebagai kondisi syarat, muncullah keinginan.
Dari keinginan sebagai kondisi syarat, muncullah kemelekatan/makanan.
Dari kemelekatan/makanan sebagai kondisi syarat, muncullah pembentukan.
Dari pembentukan sebagai kondisi syarat, muncullah kelahiran.
Dari kelahiran sebagai kondisi syarat, kemudian penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, rasa sakit, penderitaan, dan keputusasaan seluruhnya terjadi. Demikianlah asal mula dari seluruh penderitaan.

Sekarang dari pemudaran yang tidak bersisa dan berhentinya ketidaktahuan tersebut muncullah berhentinya bentukan-bentukan. Dari berhentinya bentukan-bentukan muncullah berhentinya kesadaran. Dari berhentinya kesadaran muncullah berhentinya nama-dan-rupa. Dari berhentinya nama-dan-rupa muncullah berhentinya landasan enam indra. Dari berhentinya landasan enam indra muncullah berhentinya kontak. Dari berhentinya kontak muncullah berhentinya perasaan. Dari berhentinya perasaan muncullah berhentinya kehausan. Dari berhentinya kehausan muncullah berhentinya kemelekatan/makanan. Dari berhentinya kemelekatan/makanan muncullah berhentinya kemenjadian. Dari berhentinya kemenjadian muncullah berhentinya kelahiran. Dari berhentinya kelahiran, kemudian penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, rasa sakit, penderitaan, dan keputusasaan semuanya lenyap. Demikianlah berhentinya seluruh penderitaan.

Lalu, menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagavā pada kesempatan itu berseru:

Dengan jelasnya fenomena
kepada brahma – bergairah, dalam jhāna –
Ia bertahan, mengusir tentara Mara
layaknya matahari, mencerahkan langit. 1

Catatan:
1. Syair ini merupakan contoh dari sebuah “lampu” – gambaran puitis di mana sebuah kata, seperti pada kata sifat atau kata kerja, berfungsi pada dua atau lebih klausa atau kalimat “memancar” dari sebuah kata. Dalam kasus ini kata-lampu adalah “bertahan.” Untuk contoh lain mengenai lampu-lampu, lihat Ud 5:3 dan Ud 8:9.

30
Udana 1.2. Bodhi Sutta: Pencerahan (2)
Telah kudengar dalam satu kesempatan, Sang Bhagavā sedang menetap di Uruvelā di tepi sungai Nerañjarā pada kaki pohon Bodhi – pohon pencerahan – baru tercerahkan. Dan pada kesempatan tersebut beliau duduk di kaki pohon Bodhi selama tujuh hari dalam satu sesi, merasakan kebahagiaan kebebasan. Kemudian, dengan berlalunya tujuh hari, setelah keluar dari konsentrasi tersebut, pada jaga kedua malam, beliau memberikan perhatian yang erat kepada kemunculan bergantungan dalam urutan terbalik,1 lalu:

Saat hal ini tidak ada, maka itu tidak ada.
Dari berhentinya ini, maka berhentilah itu.

Dalam kata lain:

Dari berhentinya ketidaktahuan, muncullah berhentinya bentukan-bentukan.
Dari berhentinya bentukan-bentukan, muncullah berhentinya kesadaran.
Dari berhentinya kesadaran, muncullah berhentinya nama-dan-rupa.
Dari berhentinya nama-dan-rupa, muncullah berhentinya landasan enam indra.
Dari berhentinya landasan enam indra, muncullah berhentinya kontak.
Dari berhentinya kontak, muncullah berhentinya perasaan.
Dari berhentinya perasaan, muncullah berhentinya keinginan.
Dari berhentinya keinginan, muncullah berhentinya kemelekatan/makanan.
Dari berhentinya kemelakatan/makanan, muncullah berhentinya pembentukan.
Dari berhentinya pembentukan, muncullah berhentinya kelahiran.
Dari berhentinya kelahiran, kemudian penuaan-&-kematian, kesedihan, ratapan, rasa sakit, penderitaan, dan keputusasaan seluruhnya berhenti. Demikianlah berhentinya seluruh penderitaan.

Kemudian, dengan menyadari pentingnya hal tersebut, Sang Bhagavā pada kesempatan itu berseru:

Dengan jelasnya fenomena
kepada brahma – bergairah, dalam jhāna –
semua keragu-raguannya sirna
ketika ia menembus akhir
dari kondisi-kondisi syarat.

Catatan:
1. Dalam bagian paralel dalam Mv.I.1.4, Buddha memberikan perhatian kepada kemunculan bergantungan dalam urutan maju dan mundur.

Pages: 1 [2] 3 4 5 6 7 8 9 ... 204