Kemudian Sang Bhagavā, setelah menetap di Anupiyā selama yang Beliau kehendaki, pergi melakukan perjalanan menuju Kosambī. Dengan melakukan perjalanan secara bertahap Beliau tiba di Kosambī. Di sana Sang Bhagavā menetap di vihara Ghosita. Kemudian ketika Devadatta sedang bermeditasi di dalam kamarnya suatu pemikiran muncul dalam benaknya sebagai berikut: “Siapakah yang dapat menjadi gembira karena aku, sehingga karena ia gembira denganku maka aku akan dapat memperoleh banyak keuntungan dan kemasyhuran?” kemudian Devadatta berpikir: “Pangeran Ajātasattu masih muda [184] dan juga memiliki masa depan yang cerah. Bagaimana jika aku membuatnya gembira, sehingga karena ia gembira denganku maka aku akan dapat memperoleh banyak keuntungan dan kemasyhuran?”
Kemudian Devadatta, setelah merapikan tempat tinggalnya, dengan membawa mangkuk dan jubahnya, pergi menuju Rājagaha; akhirnya ia tiba di Rājagaha. Kemudian Devadatta, setelah mengubah wujudnya menjadi seorang anak kecil dengan sabuk ular muncul di pangkuan Pangeran Ajātasattu. Kemudian Pangeran Ajātasattu merasa khawatir, cemas, ketakutan, gelisah. Kemudian Devadatta berkata kepada Pangeran Ajātasattu sebagai berikut: “Apakah engkau takut padaku, Pangeran?”
“Ya, aku takut. Siapakah engkau?”
“Aku Devadatta.”
“Jika engkau, Yang Mulia, adalah sungguh Guru Devadatta, mohon engkau kembali ke wujudmu semula.” Kemudian Devadatta melepaskan wujud anak kecilnya, berdiri, dengan mengenakan jubah luarnya dan jubah (lainnya) dan membawa mangkuknya, di hadapan Pangeran Ajātasattu. Kemudian Pangeran Ajātasattu, yang sangat gembira melihat kekuatan batin Devadatta, pagi dan malam hari melayaninya dengan lima ratus kereta, dan lima ratus persembahan nasi susu diberikan kepadanya sebagai persembahan makanan. Kemudian muncul dalam diri Devadatta, dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran, pikirannya dikuasai oleh hal-hal itu, salah satu di antaranya adalah keinginan sebagai berikut: “Adalah aku yang akan memimpin perkumpulan para bhikkhu.” Tetapi pada saat itu juga ketika ia berpikir demikian Devadatta mengalami kejatuhan dalam hal kekuatan batinnya. ||1||
Pada saat itu Kakudha orang Koliya, pelayan Yang Mulia Moggallāna Yang Agung, baru saja meninggal dunia dan terlahir kembali dalam jasmani ciptaan-pikiran tertentu, dan sosoknya bagaikan dua atau tiga lahan desa Magadha, namun bahkan dengan sosok sebesar itu ia tidak melukai dirinya atau makhluk lain. Kemudian Kakudha sang deva muda menghadap Yang Mulia Moggallāna Yang Agung; setelah menghadap, setelah menyapa Yang Mulia Moggallāna Yang Agung, ia berdiri pada jarak yang selayaknya. Setelah ia berdiri pada jarak yang selayaknya, deva muda Kakudha berkata kepada Yang Mulia Moggallāna Yang Agung sebagai berikut:
“Devadatta, Yang Mulia, dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran, pikirannya dikuasai oleh hal-hal ini, salah satu di antaranya adalah keinginan sebagai berikut: “Adalah aku yang akan memimpin perkumpulan para bhikkhu.” Tetapi pada saat itu juga ketika ia berpikir demikian Devadatta mengalami kejatuhan dalam hal kekuatan batinnya.” Demikianlah Kakudha berkata si deva muda. Setelah mengatakan hal itu, setelah berpamitan dengan Yang Mulia Moggallāna Yang Agung, dengan Yang Mulia Moggallāna Yang Agung tetap di sisi kanannya ia lenyap dari sana. Kemudian Yang Mulia Moggallāna Yang Agung menghadap Sang Bhagavā; [185] setelah menghadap, setelah menyapa Sang Bhagavā, ia duduk dalam jarak selayaknya. Setelah ia duduk dalam jarak selayaknya, Yang Mulia Moggallāna Yang Agung berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:
“Kakudha orang Koliya, Yang Mulia, yang baru saja meninggal dunia dan telah terlahir kembali dalam jasmani ciptaan-pikiran tertentu … Kemudian Kakudha si deva muda menghadapku … dengan aku tetap di sisi kanannya, ia lenyap dari sana.”
“Tetapi, Moggallāna, apakah Kakudha si deva muda melingkupi pikiranmu dengan pikirannya agar engkau mengetahui apa yang dikatakan oleh Kakudha si deva muda, bahwa demikianlah adanya dan bukan sebaliknya?”
“Yang Mulia, Kakudha si deva muda melingkupi pikiranku dengan pikirannya agar aku mengetahui apa yang dikatakan oleh Kakudha si deva muda, bahwa demikianlah adanya dan bukan sebaliknya.”
“Perhatikan apa yang engkau katakan, Moggallāna, perhatikan apa yang engkau katakan, Moggallāna. Si dungu ini akan mengkhianati dirinya sendiri, oleh dirinya sendiri. ||2||
“Moggallāna, terdapat lima guru ini di dunia ini. Apakah lima ini?
“Ada kalanya, Moggallāna, ketika seorang guru, tidak murni dalam hal perilaku moral, berpura-pura, “aku murni dalam perilaku moral,’ dan ia mengatakan, “perilaku moralku murni, bersih, tanpa noda.’ Para siswa mengetahui ini sehubungan dengannya: ‘Guru ini, tidak murni dalam perilaku moral berpura-pura … tanpa noda.’ Tetapi mereka berpikir: ‘Jika kami memberitahukan hal ini kepada para perumah tangga, ia tidak akan menyukainya, dan bagaimana mungkin kami melakukan apa yang tidak disukainya? Terlebih lagi ia setuju untuk (menerima) benda-benda kebutuhan seperti jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan untuk yang sakit. Apa pun yang seharusnya dilakukan oleh seseorang, bahkan dengan itu ia akan dikenal.’ Moggallāna, para siswa melindungi guru seperti itu sehubungan dengan perilaku moral dan guru itu mengharapkan perlindungan dari para siswa sehubungan dengan perilaku moral. ||3||
“Kemudian, Moggallāna, ada kalanya ket8ika seorang guru, tidak murni dalam hal penghidupan, berpura-pura … [186] … tidak murni dalam hal mengajar dhamma, berpura-pura … tidak murni dalam pembabaran … tidak murni dalam pengetahuan dan penglihatan, berpura-puran … Moggallāna, para siswa melindungi guru seperti itu sehubungan dengan pengetahuan dan penglihatan dan guru itu mengharapkan perlindungan dari para siswa sehubungan dengan pengetahuan dan penglihatan. Ini, Moggallāna, adalah lima guru yang terdapat di dunia ini.
“Tetapi Aku, Moggallāna, murni dalam hal perilaku moral, Aku mengakui bahwa Aku murni dalam hal perilaku moral, bahwa perilaku moralKu adalah murni, bersih, tanpa noda. Dan para siswa tidak melindungiKu sehubungan dengan perilaku moral dan Aku tidak mengharapkan perlindungan dari para siswa sehubungan dengan perilaku moral. Aku murni dalam penghidupan … Aku murni dalam hal mengajar dhamma … Aku murni dalam hal pembabaran … Aku murni dalam hal pengetahuan dan penglihatan. Aku mengakui bahwa Aku murni dalam hal pengetahuan dan penglihatan, bahwa pengetahuan dan penglihatanKu adalah murni, bersih, tanpa noda. Dan para siswa tidak melindungiKu sehubungan dengan pengetahuan dan penglihatan dan Aku tidak mengharapkan perlindungan dari para siswa sehubungan dengan pengetahuan dan penglihatan.” ||4||
Kemudian Sang Bhagavā, setelah menetap di Kosambī selama yang Beliau kehendaki, melakukan perjalanan menuju Rājagaha. Melakukan perjalanan secara bertahap, akhirnya Beliau tiba di Rājagaha. Si sana Sang Bhagavā menetap di Hutan Bambu di Taman Suaka Tupai. Kemudian beberapa bhikkhu menghadap Sang bhagavā; setelah menghadap, setelah menyapa Sang Bhagavā, mereka duduk dalam jarak selayaknya. Setelah mereka duduk dalam jarak selayaknya, para bhikkhu ini berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:
“Pangeran Ajātasattu, Yang Mulia, setiap pagi dan malam hari pergi melayani Devadatta dengan lima ratus kereta, dan lima ratus persembahan nasi susu dibawa sebagai persembahan makanan.”
“Para bhikkhu, jangan iri pada perolehan dan kehormatan dan kemasyhuran Devadatta. Karena, para bhikkhu, selama Pangeran Ajātasattu setiap pagi dan malam pergi melayani Devadatta dengan dengan lima ratus kereta [187] dan (selama) lima ratus persembahan nasi susu dibawa sebagai persembahan makanan, maka Devadatta akan mengalami kemunduran dalam hal kondisi-kondisi batin, bukan kemajuan. Hal ini, para bhikkhu, bagaikan melemparkan kantung daging ke hidung seekor anjing buas – seperti halnya, para bhikkhu, anjing itu akan menjadi semakin buas, demikian pula, para bhikkhu, selama Pangeran Ajātasattu setiap pagi dan malam pergi melayani … maka Devadatta akan mengalami kemunduran dalam hal kondisi-kondisi batin, bukan kemajuan. Perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran Devadatta akan membawa bencana baginya. Perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran Devadatta akan membawa kehancuran baginya. Seperti halnya, para bhikkhu, sebatang pohon pisang yang berbuah untuk menghasilkan bencana bagi pohon itu, berbuah untuk menghasilkan kehancuran bagi pohon itu, demikian pula, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran Devadatta akan membawa bencana baginya, perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran Devadatta akan membawa kehancuran baginya. Seperti halnya, para bhikkhu, sebatang pohon bamboo … sebatang buluh, berbuah untuk menghasilkan bencana baginya … demikian pula, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran Devadatta akan membawa … kehancuran baginya,
Sesungguhnya buah pisang akan menghancurkan,
Buah bamboo, buah buluh,
Demikian pula kehormatan menghancurkan si dungu,
Bagaikan janin seekor bagal.” ||5||2||
Demikianlah bagian pengulangan pertama
Pada saat itu Sang Bhagavā sedang duduk membabarkan dhamma dengan dikelilingi oleh banyak pengikut, termasuk sang raja. Kemudian Devadatta bangkit dari duduknya, setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā dengan merangkapkan tangan, berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Yang Mulia, sekarang Sang Bhagavā sudah tua, jompo, didera bertahun-tahun, Beliau telah menjalani umur kehidupanNya dan menjelang akhir hidupNya ; Yang Mulia, sudilah Yang Mulia sekarang merasa puas dengan kediaman nyaman di sini dan saat ini, sudilah Beliau menyerahkan kumpulan para bhikkhu ini kepadaku. Adalah aku yang akan memimpin kumpulan para bhikkhu ini.”
“Cukup, Devadatta, jangan memimpin kumpulan para bhikkhu ini.” Dan untuk ke dua kalinya … Dan untuk ke tiga kalinya Devadatta berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Yang Mulia, sekarang Sang Bhagavā sudah tua, jompo, didera bertahun-tahun … Adalah aku yang akan memimpin kumpulan para bhikkhu ini.”
“Aku, Devadatta, tidak akan menyerahkan kumpulan para bhikkhu ini bahkan kepada Sāriputta dan Moggallāna. Bagaimana mungkin Aku menyerahkannya kepadamu, seorang malang yang untuk dimuntahkan bagai ludah?”
Kemudian Devadatta berpikir: [188] “Sang Bhagavā di depan kumpulan ini yang termasuk sang raja, mencelaku dengan (menggunakan) kata, ‘untuk dimuntahkan bagai ludah,’ sementara Beliau memuji Sāriputta dan Moggallāna,” karena marah dan tidak senang, setelah berpamitan pada Sang Bhagavā, ia pergi dengan Beliau tetap di sini kanannya.
Dan ini adalah kali pertama Devadatta merasa dengki terhadap Sang Bhagavā. ||1||
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Baiklah, para bhikkhu, silakan Sangha melakukan suatu tindakan (resmi) informasi melawan Devadatta di Rājagaha dengan tujuan mengumumkan bahwa Devadatta dulu bersifat seperti itu, sekarang ia berubah; dan bahwa apa pun yang dilakukan oleh Devadatta melalui tindakan atau ucapan, dalam hal itu baik Sang Tathāgata atau pun dhamma atau pun Sangha tidak bertangung jawab, melainkan hanya Devadatta yang bertanggung jawab. Dan beginilah, para bhikkhu, hal ini dilakukan: Sangha harus diberitahukan oleh seorang bhikkhu yang berkompeten dan berpengalaman sebagai berikut: ‘Yang Mulia, mohon Saṅgha mendengarkan saya. Jika dianggap baik oleh Saṅgha, silakan Sangha melakukan suatu tindakan informasi melawan Devadatta di Rājagaha, dengan tujuan mengumumkan bahwa Devadatta dulu bersifat seperti itu, sekarang ia berubah; dan bahwa apa pun yang dilakukan oleh Devadatta … hanya Devadatta yang bertanggung jawab. Ini adalah usul. Yang Mulia, mohon Sangha mendengarkan saya. Sangha melakukan tindakan (resmi) informasi melawan Devadatta di Rājagaha, untuk mengumumkan bahwa … hanya Devadatta yang bertanggung jawab. Jika pelaksanaan tindakan (resmi) informasi melawan Devadatta di Rājagaha ini sesuai dengan keinginan Yang Mulia, maka Yang Mulia cukup berdiam diri, mereka yang tidak menginginkan, silahkan berbicara. Tindakan (resmi) informasi melawan Devadatta di Rājagaha, dengan tujuan mengumumkan bahwa Devadatta dulu bersifat seperti itu, sekarang ia berubah; dan bahwa apa pun yang dilakukan oleh Devadatta … hanya Devadatta yang bertanggung jawab dilaksanakan oleh Sangha. Hal Ini sesuai keinginan Saṅgha, oleh karena itu Saṅgha berdiam diri. Demikianlah saya memahami hal ini.’”
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta sebagai berikut: “Baiklah, apakah engkau, Sariputta, yang akan memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha?”
“Sebelumnya, Yang Mulia, aku memuji Devadatta di Rājagaha dengan mengatakan: ‘Putera Godhi memiliki kekuatan batin yang luar biasa, putera Godhi memiliki keagungan luar biasa.’ Bagaimana aku dapat, Yang Mulia, memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha?”
“Bukankah hal itu adalah kebenaran yang engkau ucapkan, Sāriputta, ketika engkau memuji Devadatta di Rājagaha dengan mengatakan: ‘Putera Godhi memiliki … keagungan luar biasa’?”
“Benar, Yang Mulia.”
“Meskipun begitu, Sāriputta, jika engkau memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha, hal itu juga benar.”
“Baiklah, Yang Mulia,” Yang Mulia Sāriputta menyetujui Sang Bhagavā. ||2||
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu, sebagai berikut: “Baiklah, para bhikkhu, biarlah Saṅgha menunjuk Sāriputta untuk memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha dengan mengatakan: ‘Devadatta dulu bersifat seperti itu, sekarang ia berubah; dan bahwa apa pun yang dilakukan oleh Devadatta melalui tindakan atau ucapan, dalam hal itu baik Sang Tathāgata atau pun Sangha tidak bertangung jawab, melainkan hanya Devadatta yang bertanggung jawab.’ Dan beginilah, para bhikkhu, penunjukan Sāriputta disepakati: Pertama-tama, Sāriputta harus diminta; setelah diminta, Saṅgha harus diberitahukan oleh seorang bhikkhu yang berkompeten dan berpengalaman, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, mohon Saṅgha mendengarkan saya. Jika dianggap baik oleh Saṅgha, maka Saṅgha harus menyetujui Sāriputta [189] untuk memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha dengan mengatakan: ‘Devadatta dulu bersifat seperti itu … hanya Devadatta yang bertanggung jawab.’ Ini adalah usul. Jika kesepakatan untuk menunjuk Sāriputta untuk memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha, dengan mengatakan: ‘Devadatta dulu bersifat seperti itu … hanya Devadatta yang bertanggung jawab’ ini sesuai dengan keinginan Yang Mulia, maka Yang Mulia cukup berdiam diri, mereka yang tidak menginginkan, silahkan berbicara. Yang Mulia Sāriputta ditunjuk oleh Saṅgha untuk memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha dengan mengatakan: ‘Devadatta dulu bersifat seperti itu … hanya Devadatta yang bertanggung jawab’ … Hal ini sesuai keinginan Saṅgha, oleh karena itu Saṅgha berdiam diri. Demikianlah saya memahami hal ini’.”
Yang Mulia Sāriputta, yang telah ditunjuk (demikian), setelah memasuki Rājagaha bersama dengan beberapa bhikkhu, memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha dengan tujuan untuk mengumumkan bahwa: “Devadatta dulu bersifat seperti itu, sekarang ia berubah; dan bahwa apa pun yang dilakukan oleh Devadatta melalui tindakan atau ucapan, dalam hal itu baik Sang Tathāgata atau pun dhamma atau pun Sangha tidak bertangung jawab, melainkan hanya Devadatta yang bertanggung jawab.” Orang-orang itu yang kurang berkayinan, tidak mempercayai, yang kurang cerdas, berkata sebagai berikut: “Para petapa ini, para putera Sakya cemburu, mereka iri pada perolehan dan kehormatan Devadatta.” Tetapi mereka yang berkeyakinan dan yang percaya, yang bijaksana dan cerdas berkata sebagai berikut: “Hal ini pasti bukan urusan biasa sehingga Sang Bhagavā memutuskan untuk memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha.” ||3||
Kemudian Devadatta mendatangi Pangeran Ajatasattu; setelah mendatanginya, ia berkata kepada Pangeran Ajātasattu sebagai berikut: “Dulu, pangeran, orang-orang berumur panjang, sekarang mereka berumur pendek, dan adalah mungkin bahwa engkau, selagi masih menjadi seorang pangeran, meninggal dunia, sekarang engkau, pangeran, setelah membunuh ayahmu, akan menjadi raja. Aku, setelah membunuh Sang Bhagavā, aku menjadi Yang Tercerahkan.” Dan Pangeran Ajātasattu berpikir: “Guru Devadatta memiliki kekuatan batin yang luar biasa, keagungan yang luar biasa; Guru Devadatta pasti mengetahui (apa yang benar).” Setelah mengikatkan sebilah belati di pahanya, pada dini hari (walaupun) ngeri, cemas, takut, gelisah, memasuki kamar pribadi (raja) dengan paksa. Tetapi menteri yang menjaga kamar pribdi melihat Pangeran Ajātasattu pada dini hari itu (walaupun) ngeri, cemas, takut, gelisah, memasuki kamar pribadi (raja) dengan paksa. Melihatnya, mereka menangkapnya, mereka menggeledahnya, dan setelah melihat sebilah belati terikat dipahanya, mereka bertanya kepada Pangeran Ajātasattu: “Apa yang hendak engkau lakukan, pangeran?”
“Aku hendak membunuh ayahku.”
“Siapakah yang menyuruhmu?”
“Guru Devadatta.” Beberapa menteri memberikan pendapat: “Pangeran harus dibunuh dan Devadatta serta seluruh bhikkhu harus dibunuh.” Beberapa menteri memberikan pendapat: “Para bhikkhu tidak perlu dibunuh karena para bhikkhu tidak melakukan kesalahan, tetapi Pangeran dan Devadatta harus dibunuh.” Beberapa menteri memberikan pendapat: “Pangeran tidak perlu dibunuh, juga Devadatta dan para bhikkhu tidak perlu dibunuh. Raja harus diberitahu dan kita akan melakukan apa pun yang dikatakan raja.” ||4||
Kemudian para menteri ini, membawa Pangeran Ajātasattu menghadap Raja Seniya Bimbisara dari Magadha; [190] setelah menghadap, mereka memberitahukan persoalan ini kepada Raja Seniya Bimbisara dari Magadha. Ia berkata: “Pendapat apakah, yang telah terbentuk oleh para menteriku?”
“Beberapa menteri, Baginda, memberikan pendapat ini … Beberapa menteri, Baginda, memberikan pendapat ini … Beberapa menteri, Baginda, memberikan pendapat ini: ‘Pangeran tidak perlu dibunuh, juga Devadatta dan para bhikkhu tidak perlu dibunuh. Raja harus diberitahu dan kita akan melakukan apa pun yang dikatakan raja.’”
“Apakah, para menteriku, hubungan Sang Tathāgata atau dhamma dengan kasus (ini)? Bukankah Sang Bhagavā telah memberikan informasi melawan Devadatta di Rājagaha untuk memgumumkan bahwa Devadatta dulu bersifat seperti itu, sekarang ia berubah; dan bahwa apa pun yang dilakukan oleh Devadatta melalui tindakan atau ucapan, dalam hal itu baik Sang Tathāgata atau pun dhamma atau pun Sangha tidak bertangung jawab, melainkan hanya Devadatta yang bertanggung jawab?”
Para menteri ini yang telah memberikan pendapatnya sebagai berikut: ‘Pangeran harus dibunuh dan Devadatta serta seluruh bhikkhu harus dibunuh,’ mereka ini ia bubarkan. Para menteri ini yang telah memberikan pendapatnya sebagai berikut: ‘Para bhikkhu tidak perlu dibunuh karena para bhikkhu tidak melakukan kesalahan, tetapi Pangeran dan Devadatta harus dibunuh,’ mereka ini ia turunkan jabatannya. Para menteri ini yang telah memberikan pendapatnya sebagai berikut: ‘’Pangeran tidak perlu dibunuh, juga Devadatta dan para bhikkhu tidak perlu dibunuh. Raja harus diberitahu dan kita akan melakukan apa pun yang dikatakan raja.’ Mereka ini ia naikkan jabatannya. Kemudian Raja Seniya Bimbisara dari Magadha berkata kepada Pangeran Ajātasattu sebagai berikut:
“Mengapa engkau, pangeran, ingin membunuhku?”
“Baginda, aku menginginkan kerajaan.”
“Jika engkau, pangeran, menginginkan kerajaan, maka kerajaan ini menjadi milikmu,” dan ia menyerahkan kerajaan itu kepada Pangeran Ajātasattu. ||5||