//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kitab SUTTA NIPATA - Buddhisme pra-doktrinal  (Read 7072 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Kitab SUTTA NIPATA - Buddhisme pra-doktrinal
« on: 27 May 2008, 08:49:56 AM »
[Rekan-rekan yang berminat terhadap artikel ini, ada baiknya memiliki kitab Sutta-Nipaata yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Sangha Theravada Indonesia./hudoyo]


BUDDHISME PRA-DOKTRINAL DI DALAM KITAB SUTTA-NIPAATA:
POTRET PSIKOLOGIS ORANG SUCI BUDDHIS ZAMAN AWAL
[01]

Oleh: Dharmacaari Naagapriya

        Apakah doktrin-doktrin Buddhisme yang paling pokok? Apakah sesungguhnya yang diajarkan oleh Sang Buddha? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang menggoda dan banyak diperdebatkan, dan mungkin tidak akan pernah ada jawaban yang diterima secara universal. Dalam kenaifan kita, kita mungkin serta-merta menjawab dengan, misalnya: Empat Kebenaran Suci, Jalan Suci Berunsur Delapan, Tiga Sifat Eksistensi (Tilakkha.na), atau Hukum Mengada Saling Bergantungan (Pa.ticca-samuppaada). Mungkin dianggap bahwa jawaban seperti itu sesuai dengan ortodoksi (paham keagamaan yang diterima secara umum) dan dengan demikian tidak ada masalah. Barangkali tidak ada seorang Buddhis akan mengingkari bahwa semua rumusan Dharma yang telah saya sebutkan---ditambah beberapa lagi--membentuk landasan yang tak mungkin dihilangkan, yang di atasnya dibangun tradisi Buddhisme (sekalipun mungkin mereka mengklaim bahwa tradisi mereka sendiri jauh melampaui ajaran-ajaran ini). Yang menarik perhatian ialah bahwa rumusan-rumusan doktrinal ini sama sekali tidak tercantum dalam kitab Sutta-Nipaata atau sedikit sekali disinggung.  Sesungguhnya, kitab Sutta-Nipaata--yang termasuk Khuddaka Nikaaya dari Sutta Pi.taka--memperlihatkan secara mencolok tidak adanya rumusan-rumusan doktrinal apa pun. [2]

        Pengamatan ini bisa disimpulkan dengan beberapa cara. Pertama, kita dapat menyimpulkan begitu saja bahwa dengan demikian Kitab Sutta-Nipaata merupakan penyimpangan dan bukan kitab Buddhis yang sesungguhnya. Kedua, kita bisa menyimpulkan bahwa ajaran-ajaran di dalam Sutta-Nipaata ditujukan kepada orang-orang yang terlalu sederhana untuk memahami kedalaman doktrin-doktrin Buddhis. Namun, bahkan penyelidikan sepintas lalu terhadap isi Sutta-Nipaata dan perenungan sedikit mengenai beraneka-ragamnya orang-orang yang berbicara dengan Sang Buddha akan menunjukkan bahwa pendapat ini tidak bisa dipertahankan. Banyak  di antara ajaran-ajaran di dalam Sutta-Nipaata sesungguhnya dalam [3], dan banyak di antara pencari spiritual yang tampil di dalam teks ini adalah orang-orang yang relatif berpendidikan dan canggih--seperti para brahmana Weda [4]--atau bahkan telah cukup jauh maju secara spiritual [5] ketika mereka bertemu dengan Sang Buddha. Dalam beberapa kasus, Sang Buddha hanya sekadar "mendorong mereka dari tepi  jurang". Sekalipun jelas bahwa sebagian besar sutta-sutta itu ditujukan kepada pelaku awam [6], semuanya memiliki kemurnian isi tanpa kompromi, suatu integritas spiritual yang tampak memperkuat kedalamannya.

        Ketiga, yang jauh lebih mungkin, kita dapat memperkirakan bahwa isi kitab Sutta-Nipaata merekam suatu periode dari masa mengajar Sang Buddha--dan dengan demikian suatu periode dalam perkembangan Buddhisme--sebelum salah satu sajian sistematik yang terkenal dari ajaran telah berkembang. Inilah tesis yang menarik bagi saya dan akan saya kembangkan dalam tulisan ini. Tetapi ada satu kemungkinan lain yang menarik bagi saya: mungkin susunan pertanyaannya keliru. Mungkin bertanya, "Apakah doktrin orisinal Buddhisme?", adalah suatu anakronisme (pertanyaan yang tidak pas untuk zaman Buddhisme awal itu sendiri), yang sama sekali tidak cocok dengan sifat-sifat dan citarasa Buddhisme awal. Singkatnya, mungkin tidak ada doktrin apa-apa pada Buddhisme awal. Tapi, jika demikian, apa yang ada?

[Kalau kemungkinan ini benar, maka suasana ajaran pada zaman Buddhisme awal mirip dengan apa yang kita lihat dalam abad ke-20 ini dalam fenomena J. Krishnamurti: Sang Buddha mengajarkan sadar/eling, tanpa teori metafisikal apa pun, begitu pula J Krishnamurti./hudoyo]

        Bagaimana pun juga, di situ ada Sang Buddha--teladan Pencerahan yang dapat dicapai oleh manusia. Ada beliau seperti apa adanya, karakter beliau, bagaimana tingkah laku beliau, dan bagaimana beliau berkomunikasi dengan manusia. Lebih dari doktrin apa pun, Sang Buddha memberikan, melalui kepribadian beliau sendiri, suatu teladan dari cita-cita Pencerahan--tidak perlu ada deskripsi yang canggih mengenai hal itu. Kitab Sutta-Nipaata, dan banyak teks lainnya, banyak menampilkan dampak pribadi dari Sang Buddha terhadap orang-orang yang bicara dengan beliau [7], khususnya dengan banyak penekanan pada peristiwa melihat Sang Buddha sebagai peristiwa yang secara spiritual bermanfaat [8]. Lebih daripada apa pun yang beliau katakan, kehadiran Sang Buddha itu sendirilah--karisma spiritual beliau [9]--yang memberikan landasan bagi otoritas dan dampak transformatif beliau pada pendengarnya. Ajaran beliau adalah beliau sendiri: suatu saksi hidup dari pesan yang diserukan oleh beliau. Di dalam kitab Sutta-Nipaata--dan sesungguhnya juga di dalam teks-teks Paali lainnya--kita menemukan banyak contoh tentang Sang Buddha memberikan apa yang sesungguhnya ajaran yang amat sederhana dan gamblang. Ketika mendengar ajaran itu, satu--atau kadang-kadang lebih--dari hadirin mencapai kesucian Sotapanna. Begitu mudah tampaknya! Di dalam membaca sutta-sutta, kita harus membayangkan dampak langsung dari kehadiran Sang Buddha terhadap hadirin, suatu kehadiran yang dikomunikasikan melalui kata-kata yang beliau ucapkan, tetapi tidak sepenuhnya terkandung di dalamnya. Berabad-abad kemudian, kita harus merekonstruksikan kembali secara imajinatif kehadiran Sang Buddha hidup untuk dapat memahami dampak beliau terhadap orang lain.

        Sekalipun jika uraian yang diikhtisarkan di atas diterima, itu hanya menimbulkan kesulitan lebih jauh. Jika sifat Buddhisme zaman awal dapat paling baik dipahami melalui kepribadian Sang Buddha (yang sekarang tidak diketahui lagi), maka timbul pertanyaan: seperti apa Sang Buddha itu sesungguhnya? Pertanyaan ini juga penuh dengan kesulitan. Begitu banyak terselimuti kabut waktu, begitu banyak tertutupi pengubahan-pengubahan editorial dari generasi-generasi berikutnya, mencari sosok Sang Buddha tampak akan sia-sia seperti mengejar pelangi. Individu historis yang bernama Gotama Buddha tampak hilang tanpa dapat ditemukan kembali. Bahkan, pencarian apa yang dianggap biografi Sang Buddha 'historis' itu sendiri mungkin keliru dan tak dapat diandalkan. Berapa banyak dari kitab-kitab suci yang ada (Kanon Paali) mewakili ajaran Sang Buddha yang sesungguhnya dan berapa banyak merupakan tambahan-tambahan belakangan, sama sekali tidak mudah untuk ditetapkan dengan akurat. Namun, kitab-kitab suci itu mungkin menyajikan petunjuk-petunjuk berharga tentang, jika bukan Sang Buddha sendiri, sekurang-kurangnya manusia seperti apa yang dicita-citakan oleh kaum Buddhis zaman awal.

--------------------
Catatan kaki:

[1 : Orang suci Buddhis bisa laki-laki bisa perempuan.]
[2 : Kekecualian yang paling nyata terhadap ini ialah Sn 3.12 yang, di
dalam konteks seluruh kumpulan teks ini, agak tidak cocok tempatnya.]
[3 : Lihat, misalnya, seluruh A.t.taka-vagga, yang menyajikan kritik yang
amat tinggi dan canggih terhadap hakekat paham-paham.]
[4 : Lihat, misalnya, brahmana Aggikabhaaradvaaja (sutta 1.7) atau brahmana
Sundarikabhaaradvaaja (sutta 3.4).]
[5 : Lihat, misalnya, petapa kelana Sabhiya (sutta 3.6).]
[6 : Misalnya, sutta-sutta 1.6, 2.4.]
[7 : Lihat, misalnya, sutta 3.1.]
[8 : Praktek ini di Barat dikenal sebagai 'darshan' (Hindi).]
[9 : Kamus Collins: "suatu sifat atau kekuatan pribadi yang istimewa dari
seseorang, yang membuatnya mampu mempengaruhi atau mengilhami sejumlah
besar orang." Saya tidak menggunakan istilah itu dalam pengertiannya yang
modern dan sekuler.]

<bersambung>
« Last Edit: 27 May 2008, 08:59:52 AM by hudoyo »

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kitab SUTTA NIPATA - Buddhisme pra-doktrinal
« Reply #1 on: 27 May 2008, 09:18:34 AM »
BUDDHISME PRA-DOKTRINAL DI DALAM KITAB SUTTA-NIPAATA:
POTRET PSIKOLOGIS ORANG SUCI BUDDHIS ZAMAN AWAL
[lanjutan - 02]

Oleh: Dharmacaari Naagapriya

         Tesis yang ingin saya kembangkan adalah sebagai berikut: Buddhisme awal kurang mementingkan doktrin dibandingkan apa yang kita namakan psikologi dan etika. Kitab Suta-Nipaata adalah simpanan kepustakaan Buddhis yang relatif kuno yang menekankan pada pengembangan suatu "psikologi Tercerahkan": pelepasan keadaan-keadaan batin tertentu--yang dianggap sebagai rintangan di jalan Pencerahan--dan pemegangan keadaan-keadaan batin alternatif yang merupakan cara berfungsi yang Tercerahkan. "Psikologi Tercerahkan" ini mempunyai citarasa etikal yang kuat. Berkaitan dengan itu, kitab Sutta-Nipaata menekankan pelepasan jenis-jenis perilaku tertentu dan pemegangan jenis-jenis perilaku lain yang lebih sesuai dengan kesadaran Tercerahkan. Bahkan, Pencerahan di dalam kitab Sutta-Nipaata dapat dilihat tidak lebih daripada pelepasan keadaan batin dan perilaku yang buruk dan sebagai gantinya pemegangan keadaan batin dan perilaku yang baik, sampai tercapai titik di mana pola-pola kebiasaan baru ini menjadi menetap tanpa bisa mundur kembali.

         Reginald Ray, dalam bukunya yang membuka wawasan baru, "Buddhist Saints in India"[10], mengemukakan apa yang dinamakannya sebagai 'paradigma hagiografis' dari orang suci Buddhis normatif. Ray menyusun paradigma ini berdasarkan analisis mendetail terhadap kitab Buddhacarita dari Asvaghosa, suatu pengungkapan kembali secara puitis kehidupan Sang Buddha. Ray mengidentifikasikan 35 tema di dalam kitab Buddhacarita yang menurutnya terdapat pula--dengan variasi moderat--di dalam hagiografi (kisah-kisah pemujaan) tentang semua orang suci Buddhis.[11]  Proposisi saya sedikit berbeda. Mengembangkan contoh yang baik sekali dari Ray, saya bermaksud--melalui penyelidikan atas kitab Sutta-Nipaata--membuat sketsa potret psikologis-dan-perilaku dari orang suci di zaman Buddhisme awal, untuk menghidupkan kembali bagaimana rupanya: apa yang dipikirkannya, dirasakannya dan dilakukannya.

Struktur dan Isi Kitab Sutta-Nipaata

         Namun, sebelum terjun ke dalam penyelidikan mendetail terhadap sifat-sifat orang suci awal, saya akan menyentuh sedikit informasi latar belakang yang akan membantu meletakkan makna ajaran-ajaran yang terkandung di dalam kitab Sutta-Nipaata di dalam konteks yang tepat. Pertama-tama, penting untuk dipahami bahwa kitab Sutta-Nipaata itu sendiri merupakan antologi naskah-naskah--suatu kompendium, bukan satu kesatuan koheren--yang tersajikan dalam bentuk balada-balada spiritual. Kitab itu terdiri dari lima bab yang beraneka-ragam, yang seluruhnya mengandung 70 sutta, yang kebanyakan di antaranya tidak lebih panjang dari beberapa halaman. Sangat sedikit dari sutta-sutta itu yang dimulai dengan ungkapan klasik, "Demikianlah telah kudengar"; sedangkan seluruh Bab 5 tersusun dalam bentuk tanya-jawab. Koleksi ini mengandung banyak sutta-sutta yang sangat populer dari Buddhisme awal, termasuk Mettaa-sutta, Ratana-sutta dan Mangala-sutta.

         Sementara tampak masuk akal untuk menganggap bahwa substansi ajaran-ajaran yang terkandung dalam Sutta-Nipaata berasal dari Sang Buddha, namun jelas bahwa bahan-bahan ini telah mengalami rekayasa demi alasan estetik dan mnemonik (untuk membantu penghafalan), belum lagi kemungkinan pengeditan untuk kepentingan golongan. Ada kemungkinan, dalam bentuknya yang sekarang, kitab Sutta-Nipaata merupakan buku pegangan ritual zaman awal.[12]  Kitab itu tersusun dari beberapa lapisan teks yang berbeda, yang tidak semuanya mempunyai sifat-sifat yang sama, namun semuanya bersifat relatif kuno.[13]  Misalnya, menilik dari lebih banyaknya istilah-istilah teknis terdapat dalam Bab 3--yang  mengandung kebanyakan sutta-sutta yang panjang--tampaknya bahan-bahan ini berasal dari kumpulan pustaka yang lebih belakangan. Selain itu, sudah dapat dipastikan bahwa A.t.taka-vagga--yang sekarang membentuk Bab 4 dari Sutta-Nipaata--pada mulanya merupakan karya yang berdiri sendiri. Sesungguhnya, sebuah komentar terhadap bab ini juga ditemukan di dalam Khuddaka-nikaaya[14], dan juga acuan-acuan kepada bab ini terdapat di bagian-bagian lain dari Kanon, yang memperkuat kesimpulan akan asal yang berbeda dari bab itu dan ketuaan relatifnya. Karena alasan ini dan alasan-alasan lain, diterima secara luas bahwa A.t.taka-vagga merupakan lapisan naskah Buddhis yang paling tua.

         Bab 5 juga dianggap sangat tua, sekalipun mungkin tidak setua Bab 4. Tambahan pula, sekelompok kecil naskah yang tersebar di dalam bab-bab lain dari Sutta-Nipaata mempunyai sifat-sifat tua yang digunakan untuk menetapkan ketuaan Bab 4 dan 5. Naskah-naskah itu meliputi Uraga-sutta, Dhaniya-sutta, Khaggavisaa.na-sutta, dan Muni-sutta. Dengan demikian, naskah-naskah itu dapat memberikan petunjuk berharga mengenai sifat-sifat orang suci Buddhis awal dan citarasa Buddhisme awal.

         Untuk mendukung klaim bahwa kitab Sutta-Nipaata termasuk masa yang sangat tua didalam perkembangan Buddhisme, saya akan menyebutkan beberapa sifat stilistik dan tematik sebelum menguraikan sifat-sifat orang suci secara mendetail.

(1) Relatif Tidak Adanya Frasa dan Rumusan Baku

         Berbeda secara relatif dengan antologi-antologi lain dari Kanon Paali (seperti sutta-sutta yang terdapat dalam Diigha-nikaaya dan Majjhima-nikaaya), Sutta-Nipaata memperlihatkan tidak adanya frasa dan rumusan baku. Di lain tempat dalam Kanon biasa ditemukan ajaran yang sama diungkapkan dalam kata-kata yang identik di dalam beberapa sutta yang berbeda yang disisipkan di dalam dialog-dialog spiritual di mana ajaran itu tidak secara langsung tampak berkaitan. Namun, di dalam Sutta-Nipaata sangat sedikit digunakan ajaran-ajaran "siap-pakai" atau doktrin-doktrin "tinggal-ambil" seperti itu, dan mencolok tidak adanya daftar-daftar numerik yang begitu terkenal di dalam Buddhisme. Pande telah mengemukakan bahwa semakin banyak jumlah, keluasan, kehalusan dan frekuensi dari kelompok-kelompok bilangan teologis dan metafisikal merupakan petunjuk jelas bahwa naskah bersangkutan berasal dari masa belakangan.[15]  Sesungguhnya, dialog-dialog di dalam Sutta-Nipaata memiliki kesegaran dan semangat dari komunikasi eksistensial yang otentik, bukan kekakuan rekayasa bhikkhu-bhikkhu. Sementara banyak sutta menggunakan refrain sebagai prinsip pengorganisasian naskah[16], yang mungkin mempunyai fungsi estetik dan mnemonik (membantu penghafalan), sutta-sutta itu bebas dari pengulangan terus-menerus dari sekumpulan yang sama doktrin-doktrin tersistematisasi atau kelompok-kelompok terbilang yang begitu khas di dalam sutta-sutta yang belakangan.

(2) Pendefinisian-ulang Istilah-Istilah dari Wacana Sosio-Religius yang Ada

         Dengan menerima bahwa Siddhattha Gotama mencapai pencerahan yang merupakan terobosan sesungguhnya, namun ia tetap harus mengkomunikasikan pemahamannya dengan menggunakan suatu kosa kata yang tidak memiliki kata-kata untuk mendeskripsikannya secara memadai--tidak ada kata-kata Buddhis. Seperti penemu-jalan atau penerjemah lain, Sang Buddha harus menggunakan bahasa dan konsep-konsep yang sudah ada di lingkungan sosio-religius di sekitarnya--sampai pada masa ia mampu mengembangkan kosa katanya sendiri yang lebih tepat. Sebagai pewaris 2500 tahun Buddhisme, kita mempunyai akses kepada kamus istilah Buddhis yang tidak ada di zaman Sang Buddha. Akibatnya, kita menemukan di dalam Sutta-Nipaata berlangsung suatu proses pendefinisian-ulang. Sang Buddha meminjam suatu konsep atau istilah dari wacana normal, tetapi memberinya makna baru. Dalam banyak kasus, ia melakukan 'peningkatan-makna' terhadap istilah bersangkutan--artinya, ia memberinya makna yang lebih tinggi, makna yang termasuk tingkat pengalaman yang sama sekali baru. Misalnya, Sang Buddha mengambil istilah-istilah yang mempunyai makna sosial dan memberinya makna spiritual-eksistensial.

         Di dalam Vaase.t.tha-sutta (sutta 3.9), misalnya, Sang Buddha mengambil istilah 'brahmana' untuk tujuannya sendiri.[17]  Vaase.t.tha dan sahabatnya, Bhaaradvaaja, berdebat tentang hal-ihwal brahmana sejati. Sementara Vaase.t.tha beranggapan bahwa orang adalah brahmana berkat tindakan baiknya dan ketaatan terhadap kewajibannya, Bhaaradvaaja beranggapan bahwa keturunan adalah penting:

"Bila orang terlahir dari ibu dan ayah yang baik, dan mempunyai leluhur murni dalam tujuh keturunan, tidak tercela dan tidak terkecam dalam hal kelahiran, begitulah orang menjadi brahmana."

Karena tidak berhasil memecahkan perselisihan paham itu, kedua brahmana muda itu memutuskan untuk mendapatkan Sang Buddha dan bertanya kepadanya tentang masalah itu. Sang Buddha menjawab singkat:

"Bukan berkat kelahiran orang menjadi brahmana; bukan berkat kelahiran orang menjadi bukan-brahmana. Berkat tindakannya orang menjadi brahmana; berkat tindakannya orang menjadi bukan-brahmana." (Sn. bait 650)

Sang Buddha membuang  makna sosio-biologis kata 'brahmana' dan memberinya makna yang sepenuhnya spiritual. Dalam sutta ini, Sang Buddha memberikan profil brahmana yang ideal secara terperinci, menguraikan berbagai sifat yang dimiliki dan keadaan batin di mana seorang brahmana berada. Seorang brahmana sejati sekarang dianggap sepadan dengan orang yang telah mencapai pencerahan sempurna, dan keadaan ini harus dicapai:

"Dengan kehidupan bertarak, dengan kehidupan suci, dengan pengendalian-diri, dengan penjinakan-diri, dengan ini orang menjadi brahmana. Inilah keadaan tertinggi seorang brahmana." (Sn, 655)

Vasala-sutta (sutta 1.7) menunjukkan proses redefinisi serupa. Sundarika-bhaaradvaaja-sutta (sutta 3.4) menampilkan Sang Buddha mendefinisikan kembali makna ritual-ritual keagamaan, dalam hal ini suatu upacara korban. Sundarika-bhaaradvaaja baru saja menyelesaikan upacara korban api dan mencari orang yang akan diberinya sisa-sisa upacara korban itu. Ia melihat Sang Buddha dan mendekatinya. Sekalipun pada mulanya mencemooh ketika melihat Sang Buddha tidak lebih dari "orang yang bercukur kepala" atau "orang botak" (mundaka), namun Sundarika bercakap-cakap dengannya. Ia segera menyadari bahwa ia berbicara bukan dengan seorang pengemis biasa, dan minta nasehat Sang Buddha tentang bagaimana cara melakukan upacara korban agar benar-benar berhasil. Sang Buddha menjawab bahwa persembahan yang paling berhasil adalah persembahan yang diberikan kepada seorang yang mencapai Pencerahan Sempurna. Praktik persembahan dilepaskan dari konteks permohonan yang setengah magis (yang fungsinya melunakkan hati para dewa dan memohon berkah mereka) dan diletakkannya ke dalam konteks devosional (kebaktian). Persembahan menjadi ungkapan penghormatan kepada orang suci dan penerimaan pengaruhnya.

Kitab Sutta-Nipaata memberikan banyak contoh-contoh serupa tentang pendefinisian-ulang istilah-istilah. Dengan cara ini, Sang Buddha memangkas akar-akar tradisi brahmana. Ia menolak makna yang mengikat dari kepercayaan, pencirian dan praktik keagamaan etnik, dan menggantikannya dengan sesuatu yang bersifat universal. Namun, alih-alih sekadar menolak agama etnik begitu saja, Sang Buddha juga dengan cerdik menggunakan bahasa agama etnik (yang adalah satu-satunya kosa kata yang tersedia baginya) untuk mengkomunikasikan suatu pesan universal.

<bersambung>


Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: Kitab SUTTA NIPATA - Buddhisme pra-doktrinal
« Reply #2 on: 27 May 2008, 07:32:19 PM »
lagi ditunggu sambungannya nih pak...  :-w

karena thread ini saya langsung membaca Atthaka Vagga 1-10. ;D
kesan yg berbeda dg digha nikaya (soalnya saya baru baca linear sutta dikit aja, baca lompat2 pun hanya yg kebetulan ada pemicu)...
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kitab SUTTA NIPATA - Buddhisme pra-doktrinal
« Reply #3 on: 28 May 2008, 06:41:57 AM »
lagi ditunggu sambungannya nih pak...  :-w

karena thread ini saya langsung membaca Atthaka Vagga 1-10. ;D
kesan yg berbeda dg digha nikaya (soalnya saya baru baca linear sutta dikit aja, baca lompat2 pun hanya yg kebetulan ada pemicu)...


Jelas Sutta Nipata berbeda dengan sutta-sutta dalam Digha Nikaya & Majjhima Nikaya. ... DN dan MN itu datang belakangan ... disusun (bukan dikarang) oleh para penghafal Tipitaka berdasarkan sutta-sutta pendek yang jauh lebih tua umurnya ... berisi konsep-konsep dan frasa-frasa baku yang berulang dalam puluhan sutta (struktur seperti itu memang diperlukan dengan alasan mnemonik, untuk lebih memudahkan penghafalannya) ... lebih bersifat intelektual daripada spiritual ...

Sedangkan Sn berasal dari zaman yang lebih dekat ke zaman Sang Buddha ... bahkan beberapa sutta diperkirakan datang dari mulut Sang Buddha sendiri ... tapi dalam Sn hampir tidak ditemukan rumusan-rumusan baku seperti cattari ariya saccani, ariya atthangika magga ... dll, yang menempati kedudukan sentral dalam "AGAMA" Buddha yang berkembang belakangan.

Misalnya, banyak orang beranggapan bahwa Mahasatipatthana-sutta itu dikhotbahkan oleh Sang Buddha dalam satu sesi khotbah ... yang jelas tidak masuk akal ... kalau itu benar, mungkin para bhikkhu sudah tertidur ketika mendengar khotbah itu ... ;D ...cobalah Anda sendiri membaca sutta itu seperti yang tercantum dalam Tipitaka sekarang ... ;D ... YM Buddhadasa Mahathera, guru vipassana, tidak terlalu respek pada Mahasatipatthana-sutta itu ...

Saya melihat Sang Buddha adalah guru meditasi, bukan pemimpin agama ... dalam meditasi tidak diperlukan banyak konsep intelektual, bahkan mungkin tidak perlu konsep intelektual sama sekali ... sebaliknya "Agama" Buddha, seperti agama-agama lain, justru tidak mungkin ada tanpa konsep-konsep intelektual yang memberikan IDENTITAS pada masing-masing agama itu. ...

BTW, mohon Tesla bersabar sebentar, ... pasti sambungannya akan saya terjemahkan & muat di thread ini ... Kedua bagian pertama itu saya ambilkan dari milis MMD, yang saya terjemahkan pada tahun 2005, dan belum saya teruskan lagi. ... Jadi, mohon bersabar sebentar sampai akhir minggu ini, karena pekerjaan kantor sudah bertumpuk.

Salam,
hudoyo

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Kitab SUTTA NIPATA - Buddhisme pra-doktrinal
« Reply #4 on: 28 May 2008, 10:12:13 AM »
Jelas Sutta Nipata berbeda dengan sutta-sutta dalam Digha Nikaya & Majjhima Nikaya. ... DN dan MN itu datang belakangan ... disusun (bukan dikarang) oleh para penghafal Tipitaka berdasarkan sutta-sutta pendek yang jauh lebih tua umurnya ... berisi konsep-konsep dan frasa-frasa baku yang berulang dalam puluhan sutta (struktur seperti itu memang diperlukan dengan alasan mnemonik, untuk lebih memudahkan penghafalannya) ... lebih bersifat intelektual daripada spiritual ...

Sedangkan Sn berasal dari zaman yang lebih dekat ke zaman Sang Buddha ... bahkan beberapa sutta diperkirakan datang dari mulut Sang Buddha sendiri ... tapi dalam Sn hampir tidak ditemukan rumusan-rumusan baku seperti cattari ariya saccani, ariya atthangika magga ... dll, yang menempati kedudukan sentral dalam "AGAMA" Buddha yang berkembang belakangan.

Misalnya, banyak orang beranggapan bahwa Mahasatipatthana-sutta itu dikhotbahkan oleh Sang Buddha dalam satu sesi khotbah ... yang jelas tidak masuk akal ... kalau itu benar, mungkin para bhikkhu sudah tertidur ketika mendengar khotbah itu ... ;D ...cobalah Anda sendiri membaca sutta itu seperti yang tercantum dalam Tipitaka sekarang ... ;D ... YM Buddhadasa Mahathera, guru vipassana, tidak terlalu respek pada Mahasatipatthana-sutta itu ...

Saya melihat Sang Buddha adalah guru meditasi, bukan pemimpin agama ... dalam meditasi tidak diperlukan banyak konsep intelektual, bahkan mungkin tidak perlu konsep intelektual sama sekali ... sebaliknya "Agama" Buddha, seperti agama-agama lain, justru tidak mungkin ada tanpa konsep-konsep intelektual yang memberikan IDENTITAS pada masing-masing agama itu. ...

Memang tidak ada bukti empiris bahwa seluruh Sutta memang dikatakan oleh Sang Buddha. Tipitaka telah disusun oleh banyak orang sedemikian rupa sehingga mungkin tidak bisa diketahui mana yang asli dan mana yang bukan. Mencoba menguraikan Sutta menurut umurnya, gaya bahasa, dan lain-lain mungkin ada benarnya juga, tetapi mungkin juga tidak benar. Siapa yang tahu? Tetapi banyak juga yang konon telah membuktikan dengan pengalaman langsung bahwa memang itulah yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Karena itu saya menerima sesuatu bukan hanya pakai logika atau metode empiris saja, melainkan ke arah kebenaran : tidak merugikan orang, tidak membuat akibat negatif kepada diri sendiri, dipuji para bijaksana, dan membawa kepada perkembangan batin.

Sebagai contoh : Pandangan heterodoks seperti menolak kelahiran kembali literal (YM Buddhadasa) karena tidak ada bukti empiris, itu sesuatu yang tidak saya hormati begitu saja. Tentunya pandangan selanjutnya dan lain-lainnya bisa diterka, apakah semata-mata penolakan terhadap sesuatu atau bukan. Apakah yang berpandangan demikian bisa diikuti atau tidak.

Menurut saya ada baiknya mengetahui apa yang disebut pandangan heterodoks, dan mana yang disebut pandangan ortodoks, dan tentu saja pada akhirnya ini semua hanyalah rakit, yang seharusnya ditinggalkan untuk mencapai pantai seberang.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline EVO

  • Sebelumnya Metta
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.369
  • Reputasi: 60
Re: Kitab SUTTA NIPATA - Buddhisme pra-doktrinal
« Reply #5 on: 28 May 2008, 10:17:52 AM »
iya lah kalau rakitnya dibawa akan menghambat kita jalan ^-^ ^-^ ^-^ ^-^
kan berat karrr :D ;D

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kitab SUTTA NIPATA - Buddhisme pra-doktrinal
« Reply #6 on: 28 May 2008, 10:36:56 AM »
iya lah kalau rakitnya dibawa akan menghambat kita jalan ^-^ ^-^ ^-^ ^-^
kan berat karrr :D ;D

hehe ... benar. ... Saya malah tidak jalan ke mana-mana, tapi mau berhenti ... Selama ini saya terus berlari ... :)

Perumpamaan Jalan dengan rakit tidak saya ikuti.
Saya mengikuti sabda Sang Buddha kepada Angulimala: "Aku sudah lama berhenti, kamulah yang masih terus berlari. Berhentilah." ... untuk berhenti tidak perlu rakit, tidak ada konsep pantai seberang.

Salam,
hudoyo

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Perumpamaan Pantai dalam Sutta Nipana
« Reply #7 on: 28 May 2008, 11:01:16 AM »
Quote
KAMA SUTTA
Kenikmatan indera yang harus dihindari

1.    Jika manusia menginginkan kenikmatan-kenikmatan indera, dan kemudian berhasil mendapatkannya, pastilah dia akan merasa terpuaskan karena telah memperoleh apa yang diinginkan oleh makhluk yang tidak kekal.    (766)

2.    Tetapi jika manusia yang menginginkan dan mengharapkan kenikmatan-kenikmatan indera itu tidak memperolehnya, maka ia akan menderita bagaikan tertusuk anak panah.    (767)

3.    Bila manusia menghindari kenikmatan-kenikmatan indera, sebagaimana dia tidak akan menginjak kepala ular, maka manusia seperti itu akan dapat menaklukkan nafsu ini karena kewaspadaannya.    (768)

4-5.    Manusia yang menginginkan berbagai obyek indera, seperti misalnya:, rumah, kebun, emas, uang, kuda, pelayan, handai taulan dll., maka emosi yang kuat akan menguasainya, bahaya akan menghimpitnya, dan penderitaan akan mengikutinya bagaikan air yang masuk ke dalam kapal yang karam.    (769)

6.    Oleh karenanya, semoga manusia selalu penuh kewaspadaan dan menghindari kenikmatan-kenikmatan indera. Setelah meninggalkannya, hendaknya ia menyeberangi banjir (kekotoran batin) dan --bagaikan menyelamatkan diri dari kapal yang akan karam-- menyeberang ke pantai sebelah sana [Nibbana].    (771)

perumpamaan yg diberikan memang menyebrangi banjir & menyebrang ke pantai sebelah.
tetapi kalau dibaca keseluruhan, maknanya pantai seberang adalah terbebas dari pemuasan indra (dari apa yg dilihat, didengar, ... bahkan apa yg dipikirkan)...

+note: jadinya pembicaan doktrin (termasuk praktek dhamma, sila, dll....) menjadi tidak relevan sebagai jalan pembebasan. pembicaraan doktrin tampak hanya seperti dorongan Sang Buddha agar manusia mengerti bahaya pemuasaan indra...
« Last Edit: 28 May 2008, 11:13:31 AM by tesla »
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kitab SUTTA NIPATA - Buddhisme pra-doktrinal
« Reply #8 on: 28 May 2008, 11:17:37 AM »
Memang tidak ada bukti empiris bahwa seluruh Sutta memang dikatakan oleh Sang Buddha. Tipitaka telah disusun oleh banyak orang sedemikian rupa sehingga mungkin tidak bisa diketahui mana yang asli dan mana yang bukan.

Memang betul. ... Tetapi, memang dasar manusia, orang membutuhkan kepastian ... orang tidak suka dengan ketidakpastian ... mereka membutuhkan kepastian apa yang sebenarnya diajarkan oleh Sang Buddha ... maka dengan mudah dikatakan bahwa semua yang ada dalam Sutta Pitaka seperti apa adanya sekarang berasal dari mulut Sang Buddha. ...

Bagi saya tidak perlu kepastian seperti itu, karena memang kalau mau jujur, hal itu tidak bisa dipastikan, ... Kehidupan ini sifat dasarnya justru adalah ketidakpastian. ... Menghadapi suatu faset dari ajaran, tidak perlu dipermasalahkan apakah itu datang dari mulut Sang Buddha atau tidak (itu cuma masalah saintifik & akademik belaka) ... melainkan harus "diuji" dengan pengalaman dalam kehidupan pribadi ... ajaran apa pun Theravada, Mahayana, Zen, Vajrayana ... dst ... akhirnya sama-sama punya makna.


Quote
Mencoba menguraikan Sutta menurut umurnya, gaya bahasa, dan lain-lain mungkin ada benarnya juga, tetapi mungkin juga tidak benar. Siapa yang tahu?

Para sarjana Tipitaka itu sendiri mengakui bahwa mereka tidak berusaha memilah-milah sutta mana yang berasal dari Sang Buddha dan mana yang tidak. ... Mereka cuma menunjukkan FAKTA bahwa Sutta Pitaka itu berlapis-lapis usianya. ... Itu saja sudah cukup menggemparkan bagi umat Buddha yang sejak kecil diajari bahwa seluruh isi Sutta Pitaka itu diajarkan oleh Sang Buddha seperti apa adanya yang tercantum dalam Tipitaka yang kita terima sekarang.

Maka umat Buddha terpecah dalam dua kubu:
(1) satu kubu menganut kepercayaan/iman bahwa Sutta Pitaka itu ajaran Sang Buddha persis seperti apa yang kita lihat sekarang;
(2) kubu yang lain menolak kepercayaan/iman seperti itu, tanpa usaha memilah-milah, yang adalah mustahil.


Quote
Tetapi banyak juga yang konon telah membuktikan dengan pengalaman langsung bahwa memang itulah yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Anda PERCAYA itu? ... Saya tidak percaya. ... Menurut saya, kalau ada bhikkhu/orang yang mengklaim dengan "pengalaman langsung" bahwa isi Sutta Pitaka seperti apa adanya sekarang berasal dari mulut Sang Buddha, bagi saya orang itu mengkhayal. ...


Quote
Karena itu saya menerima sesuatu bukan hanya pakai logika atau metode empiris saja, melainkan ke arah kebenaran : tidak merugikan orang, tidak membuat akibat negatif kepada diri sendiri, dipuji para bijaksana, dan membawa kepada perkembangan batin.

"tidak merugikan orang, tidak membuat akibat negatif kepada diri sendiri, dipuji para bijaksana, dan membawa kepada perkembangan batin" itu berlaku umum, buat Anda dan buat saya.

Patokan itu tidak memecahkan masalah yang dibicarakan dalam topik ini. Orang yang memegang patokan umum itu, seperti Anda dan saya, tetap saja bisa berbeda pendapat tentang apa yang dibicarakan di sini.


Quote
Sebagai contoh : Pandangan heterodoks seperti menolak kelahiran kembali literal (YM Buddhadasa) karena tidak ada bukti empiris, itu sesuatu yang tidak saya hormati begitu saja. Tentunya pandangan selanjutnya dan lain-lainnya bisa diterka, apakah semata-mata penolakan terhadap sesuatu atau bukan. Apakah yang berpandangan demikian bisa diikuti atau tidak.

YM Buddhadasa TIDAK MENOLAK pandangan rebirth secara literal; tolong dibuktikan kalau beliau menolaknya.

Yang beliau lakukan adalah MENGGESER pandangan tradisional tentang rebirth, bahwa sesudah mati orang akan lahir kembali, menjadi melihat rebirth sebagai proses muncul & lenyap semua fenomena pada saat kini, terus-menerus. ... Ini bisa dipahami sepenuhnya karena beliau adalah bhikkhu patipatti, bhikkhu meditasi ... bukan bhikkhu pariyatti, yang belajar dan melekat pada kitab suci.

Itu persis seperti Sang Buddha menggeser pengertian kata 'brahmana', yang semula berarti suatu kedudukan spiritual yang diperoleh melalui keturunan, menjadi kedudukan spiritual yang ditentukan oleh pikiran, sikap & perilaku seseorang, bukan dari keturunan seseorang.


Quote
Menurut saya ada baiknya mengetahui apa yang disebut pandangan heterodoks, dan mana yang disebut pandangan ortodoks, dan tentu saja pada akhirnya ini semua hanyalah rakit, yang seharusnya ditinggalkan untuk mencapai pantai seberang.

Saya sudah lama meninggalkan rakit itu di sini dan sekarang ... karena saya mau berhenti ... tidak pergi ke "pantai seberang" mana pun.

Istilah "pantai seberang" cuma alegori/perumpamaan, yang menyiratkan si aku, waktu dan usaha. ... Perumpamaan seperti itu bisa menghambat pemahaman seorang pemeditasi vipassana.

Salam,
hudoyo
« Last Edit: 29 May 2008, 07:50:21 AM by hudoyo »

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: Kitab SUTTA NIPATA - Buddhisme pra-doktrinal
« Reply #9 on: 28 May 2008, 11:26:48 AM »
Quote
KAMA SUTTA
[...]
6.    Oleh karenanya, semoga manusia selalu penuh kewaspadaan dan menghindari kenikmatan-kenikmatan indera. Setelah meninggalkannya, hendaknya ia menyeberangi banjir (kekotoran batin) dan --bagaikan menyelamatkan diri dari kapal yang akan karam-- menyeberang ke pantai sebelah sana [Nibbana].    (771)

perumpamaan yg diberikan memang menyebrangi banjir & menyebrang ke pantai sebelah.
tetapi kalau dibaca keseluruhan, maknanya pantai seberang adalah terbebas dari pemuasan indra (dari apa yg dilihat, didengar, ... bahkan apa yg dipikirkan)...

+note: jadinya pembicaan doktrin (termasuk praktek dhamma, sila, dll....) menjadi tidak relevan sebagai jalan pembebasan.

Saya cukup setuju dengan pemahaman seperti ini. ... Namun saya rasa, perumpamaan itu hanya relevan bagi orang kebanyakan yang tidak bermeditasi.

Bagi seorang pemeditasi vipassana, perumpamaan seperti itu harus dilepaskan. ... Kalau tidak ia akan melihat meditasinya sebagai rakit, sebagai upaya untuk mencapai sesuatu ... di situ meditasinya akan macet ... karena tanpa disadarinya, ke dalam meditasinya telah menyusup kembali atta, usaha/viriya, waktu, dan tujuan (nibbana).


Quote
pembicaraan doktrin tampak hanya seperti dorongan Sang Buddha agar manusia mengerti bahaya pemuasaan indra...

Maka, begitu orang melihat bahwa alternatifnya adalah SADAR/ELING, ia harus melepaskan doktrin itu sendiri SEKARANG JUGA ... atau lebih tepat dikatakan, bila orang sadar/eling, doktrin apa pun akan terlepas dengan sendirinya ... dengan kata lain, selama orang melekat kepada doktrin ajaran Buddha, itu tanda bahwa ia belum sadar/eling. ...

Kalau doktrin ajaran Buddha itu tidak lepas, salah-salah doktrin itu akan menggantikan pemuasan indra yang telah dilepaskannya, dalam arti ia melekat & bergantung pada KEPUASAN MENTAL terhadap ajaran Buddha ... yang bukan kebebasan itu sendiri.

Salam,
hudoyo
« Last Edit: 29 May 2008, 07:39:46 AM by hudoyo »

 

anything