//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Wiryanto

Pages: [1]
1
Diskusi Umum / Re: Nama dan Rupa
« on: 05 December 2007, 04:28:01 PM »
Kalimat I think therefore I am juga sudah kontradiksi dari awal kalau "I Think" baru "I am", dari awal sudah di state kalau sudah ada "I", mengasumsikan dari awal kalau sudah ada.

Kalu gitu dibalik, "I am, therefore I think!"

salam,

2
Theravada / Re: Cittajarupa
« on: 05 December 2007, 04:17:34 PM »
Thanks, Bro Markos!
Sebenarnya belajar abhidhamma masih terlalu jauh buat saya.  =P~

Eniwei, sebenarnya yang di dhammasukha itu dekat tuh, jadwalnya kapan aja? Sekarang sudah gedung baru kan?

O, ya. Ada referensi dimana bisa memperoleh ulasan kamma, citta, utu dan ahirajarupa itu? Kitab abhidhamma?

salam,

3
Theravada / Cittajarupa
« on: 05 December 2007, 12:15:10 AM »
Ga tahu tepat ga topik ini masuk ke kelompok ini.

Lagi pengen cari tahu tentang cittajarupa. (sekalian kammajarupa, utujarupa dan satu lagi, ahirajarupa, cmiiw.)

Ada yang punya referensi tentang ini?

Mohon maaf kalu topik ini sudah dibahas sebelumnya.
Thanks!



4
Diskusi Umum / Re: Aku berlindung....?
« on: 23 November 2007, 06:59:53 PM »
Ini tulisan beliau yang kedua. Menarik juga kalau dipikir, kalimat sederhana yang diucapkan pemula untuk entry ke agama buddha, penafsirannya harus dicari sampai ke abhidhamma.

Salam,
wiryanto

-----Original Message-----
From: milis_buddha [at] yahoogroups.com [mailto:milis_buddha [at] yahoogroups.com] On Behalf Of Suprayitno Dhammadhiro
Sent: Thursday, November 22, 2007 4:07 AM
To: milis_buddha [at] yahoogroups.com
Subject: RE: [MB] Aku berlindung kepada.....?


Para peng-akses
milis_buddha [at] yahoogroups.com yang budiman,


Setelah mem-post pandangan saya mengenai kata "saran.a" di beberapa saat yang lalu, saya mencari pengertian kata tersebut lebih lanjut.

Ternyata saya menemukan pengertian 'saran.a' dalam Pustaka Abhidhammapadiipikaa yang uraiannya ada di bawah ini.

Dan dengan posting uraian saya yang kedua di bawah ini, pandangan yang saya sampaikan di post sebelumnya mohon dikaji ulang lagi.

Demikian untuk diketahui dan terimakasih atas perhatiannya.

Kata ‘saran.a’ berasal dari akar kata ‘sar’. Akar kata ‘sar’ ada beberapa arti.

Saran.a = sar gaticintaahimsaasu + yu. (Abhidhaanavan.n.anaa, 207)

Sar + yu (atau pada esensinya adalah ana) = saran.a (n berubah menjadi n. karena pengaruh r di depannya).

‘Sar’ berarti ‘tempat memikirkan’; ‘alat pemberantas’ untuk mengacu ke pengertian ‘rumah’; ‘tempat berdiam’.

Telaahan:
‘subhaasubhakammaani saranti cintenti etthaati’; ‘sarati vaa suuriyasantaapaadikanti saran.am’.

(Terjemahan: ‘rumah adalah tempat di mana pendiam memikirkan pekerjaan yang baik ataupun pekerjaan tidak baik sehingga disebut ‘saran.a’ ’ atau ‘disebut ‘saran.a’ karena rumah sebagai tempat memberantas [melindungi dari] terik matahari, dsb.

Saran.a juga untuk menyebut Nibbaana dalam pengertian sebagai alat pemberantas; tempat bernaung.

Telaahan:

‘Yena cattaaro maggaa odhiso kilese saranti him.santi tam. saran.am.’, ‘ariyaanam.
vasitagehattaa vaa saran.am’.

(Terjemahan: ‘Nibbaana disebut ‘saran.a’ karena nibbaana memberantas kilesa dengan empat Magga berturut-turut.’ Atau ‘nibbaana disebut ‘saran.a’ karena sebagai rumah tinggal para ariya.’)

Di Sam.yuttanikaaya At.t.hakathaa disebutkan: “bhayasaran.at.t.hena saran.am., bhayanaasananti attho”

(Terjemahan: “Nibbaana disebut saran.a karena pengertian sebagai pemberantas ketakutan atau pemusnah ketakutan.”)

Kecuali itu, dalam Pustaka Abhidhaanappadiipikaa juga terdapat untaian kata-kata:

“saran.am. tu vadhe gehe rakkhitasminca rakkhane.”

(Terjemahan: “Sedangkan, kata ‘saran.a’ mengandung arti ‘pembunuhan’, ‘tempat berdiam’, ‘alat berlindung’, dan ‘perlindungan’.”

Kesimpulannya, menurut Pustaka Abhidhammanpadiipikaa, kata ‘saran.a’ bisa secara tepat diterjemahakan ‘tempat berlindung’ dalam bahasa Indonesia.

Anumodana untuk segenap pelajar Dhamma, pelaksana Dhamma.

Salam
Mettâ

Bhikkhu Dhammadhiro


5
Diskusi Umum / Re: Aku berlindung....?
« on: 23 November 2007, 06:57:54 PM »
Atas ijin penulisnya, saya forwardkan pendapat bhante dhammadhiro tentang doktrin aku berlindung kepada tisarana. Ada dua posting, yang pertama lebih ke pandangan pribadi. Yang kedua menurut abhidhamma.

wiryanto

-----Original Message-----
From: milis_buddha [at] yahoogroups.com [mailto:milis_buddha [at] yahoogroups.com] On Behalf Of Suprayitno Dhammadhiro
Sent: Thursday, November 22, 2007 1:13 AM
To: milis_buddha [at] yahoogroups.com
Subject: RE: [MB] Aku berlindung kepada.....?


            Terjemahan ‘berlindung’ untuk kata ‘saran.a’ adalah terjemahan ‘jadi’. Terjemahan jadi semacam ini memang bisa menimbulkan pro dan kontra. Sebenarnya memeng kata ‘berlindung’ perlu mendapat catatan kaki untuk menjelaskan lebih rinci batasan makna katanya.

Kata ‘saran.a’ berasal dari akar kata ‘sar’ artinya ‘mengingat’, ‘mengenang’. Sar + yu (atau pada esensinya adalah ana) = saran.a (n berubah menjadi n. karena ada r di depannya). Dari kata ‘mengingat’, ‘mengenang’ inilah, pemakai bahasa kemudian merombak menjadi ‘melekatkan’ ‘mendekatkan’ diri pada Tiratana. Mengapa harus mengingat, mengenang, melekatkan diri, mendekatkan diri pada Tiratana? Karena pengucap secara sadar mengetahui bahwa Tiratana memiliki keistimewaan yang tidak ia miliki yang perlu ia dengar, perlu ia contoh, perlu ia ikuti demi manfaat yang sebaik-baiknya bagi hidupnya. Karena secara sadar merasa harus mengingat, mengenang, melekatkan diri, mendekatkan diri pada Tiratana, ia disebut ‘bergantung’ pada Tiratana. Kata ‘bergantung’ inilah kemudian berubah menjadi ‘bernaung’, ‘berlindung’, dsb.

            Namun, sebenarnya, dari segi kronologisnya, kata ‘berlindung’ ini adalah terjemahan dari kata Inggris ‘to protect/protecting’. Literature buddhis berbahasa Indonesia kebayakan adalah terjemahan dari Inggris. Kata ini orang Barat yang munculkan lalu orang Indonesia menerjemahkan ke bahasanya ‘berlindung’. dua puluh tahun yang lalu, saya sudah banyak mendengar diskusi dengan topik yang persis sama. dengan tiada hentinya pembahasan tentang 'saran.a' dari dulu hingga ini, patut disadari bersama bahwa terjemahan ini rasa-rasanya ada 'kekurang-pasan' di dalamnya.



            Dalam artikel atau buku resmi, kadang saya berkeinginan agar para penulis menerjemahkan ‘saran.a’ adalah ‘objek yang dikenang’. Namun, ini saya rasa sulit terjadi karena kata ‘berlindung’ sudah kadung mendarah daging dalam pengertian masyarakat umum dan juga apabila ditelusuri asal-usulnya, masih ada kaitannya, dengan catatan ‘perlu lampiran penjelasan’. Kita bisa memikirkan bersama, bagaimana sebaiknya keta semestinya bersepakat atas terjemahan kata 'saran.a' dalam bahasa Indonesia.



            Saya amat mendukung media komunikasi di milis seperti ini. Amat berguna ke khalayak umum. Mudah-mudahan diskusi yang didasari oleh rasa dan pikiran saling menghormati dan demi kemajuan batin sendiri dan batin lawan bicara ini dapat lestari dan berkembang terus.

Anumodana untuk segenap pelajar Dhamma, pelaksana Dhamma.


   
Salam Mettâ

Bhikkhu Dhammadhiro


6
Diskusi Umum / Re: Aku berlindung....?
« on: 23 November 2007, 05:32:56 PM »
Yah ajaran sang Buddha seperti rakit yang membawa kita kepada pencerahan, dan ketika sudah terbebas maka tidak perlu lagi lah membawa2 rakit itu terus.

Bro ryu, maksudnya apa pengertian ajaran budha sebagai rakit dengan doktrin aku berlindung?

wiryanto
*btw, anda  belum kasih ijin soal forward posting anda ke milis lain. Boleh?*

7
Diskusi Umum / Re: Aku berlindung....?
« on: 23 November 2007, 10:19:04 AM »
Atas ijin penulisnya, saya forward satu pendapat dari milis MB, Pak Hudoyo, seorang yang pernah menjalani kebhikhuan. Sekarang praktisi MMD (meditasi vipasana).

wiryanto

======
HUDOYO:

Dulu, ketika saya baru masuk Agama Buddha (1966-1968) dan mempelajari ajaran Sang Guru secara intelektual, setiap hari saya mengucapkan "Buddham saranam gacchami ... dst". Bagi saya, di situ "berlindung" berarti "mengingat". Kalau saya mengingat Buddha, Dhamma & Sangha, saya bisa terhindar dari pikiran, perkataan & perbuatan akusala (tidak baik). Begitu pengertian saya pada waktu itu.

Pada tahun 1968, saya menjalani retret vipassana pertama kali dalam hidup saya di bawah bimbingan alm. Bhikkhu Girirakkhito (Mahathera) di Vihara Nagasena, Pacet. Retret itu berlangsung selama dua minggu penuh. Di situ saya belajar mengamati pikiran-pikiran saya secara pasif, tanpa memilih & menolak. Pikiran-pikiran baik (kusala) tidak dilekati, dan pikiran-pikiran buruk (akusala) tidak ditolak. Cukup diamati saja secara pasif, sehingga kedua-duanya (kusala & akusala) runtuh, tidak menjelma menjadi karma baru. Jadi bagi saya, vipassana berarti "berhenti membuat karma baru."

Sejak saat itu sampai sekarang, sebagai pemeditasi vipassana, Tisarana (berlindung kepada Buddha, Dhamma & Sangha) tidak lebih daripada sekadar ritual belaka, yang tidak berarti apa-apa bagi batin saya sendiri. Tetapi itu tidak berarti bahwa saya menolak membaca Tisarana sama sekali; saya tetap membaca Tisarana apabila saya berada bersama umat Buddha yang lain, demi memberikan teladan bagi mereka yang masih berkutat dengan pikirannya.

Bahkan kemarin, ketika membimbing MMD Akhir Pekan di Vihara Siripada, Tangerang, seperti biasanya, saya memimpin para peserta MMD yang beragama Buddha untuk mengawali retret (pada 16 Nov 2007) dengan melakukan ritual kecil: Namaskara, membaca Vandana, Tisarana & Atthasila; kemudian mengakhiri retret (pada 18 Nov 2007) dengan kembali melakukan ritual: Namaskara, membaca Vandana, Tisarana & Pancasila.

Namun, saya menekankan pada para peserta bahwa selama retret berlangsung (3 hari 2 malam) itu tidak ada lagi ritual apa pun: keluar masuk Dhammasala (ruang kebaktian di vihara tersebut), tempat meditasi duduk dilakukan, peserta retret TIDAK PERLU bernamaskara kepada patung Buddha, apalagi membaca paritta, dsb. Di dalam kesadaran vipassana, melakukan ritual (apa pun) berarti sama dengan melekat kepada ritual (silabata-paramasa); ritual memang suatu perbuatan baik (kusala), tetapi tidak sesuai dengan maksud & tujuan vipassana itu sendiri, yakni "mengakhiri semua karma baru (termasuk membuat karma yang baik)." (Itulah sebabnya di ruang meditasi vipassana versi Goenka tidak ada simbol-simbol agama Buddha sama sekali, termasuk tidak ada patung Buddha.)

***

Nah, kepada teman-teman Buddhis, marilah kita merenungi batin kita masing-masing: Apakah saya mempelajari ajaran Sang Guru hanya secara intelektual belaka? Ataukah saya sudah mengembangkan kesadaran vipassana, yang sesungguhnya adalah intisari ajaran Sang Guru sendiri?

"Seperti rasa asin meresapi air di seluruh samudra, para bhikkhu, begitu pula 'pembebasan' meresapi seluruh ajaran-Ku." (Buddha Gotama)

Salam,
Hudoyo


8
Diskusi Umum / Re: Aku berlindung....?
« on: 21 November 2007, 03:31:46 PM »
Topik 'berlindung' ini ternyata mendapat tanggapan yang menarik dari
berbagai milis. Baiknya saya rangkumkan singkat pendapat dari umat budha
tentang pengertian aku berlindung pada budha-dhamma-sangha. (rangkuman dari
diskusi, bukan merangkum hasil akhir arti berlindung kepada tisarana)

Milis Samaggiphala
Subhadevi mengatakan bahwa berlindung berarti kita berada di dalam 'rumah'
budha-dhamma-sangha, plus kita yang berlindung yang aktif, sedangkan
Willibordus dan bodhi taruna sepakat, berlindung = bernaung.

Adhi_2000 mirip2 subhadevi, berlindung = mencari perlindungan secara aktif.
Mira mengartikan berlindung = menjadi panutan + sanghanya harus yang ariya.

Markos prawira lain lagi, tisarana = rakit, alat untuk mencapai seberang
tetapi tidak boleh terikat.

'Sad elf pls don't cry' (nama yang unik) yang mengaku atheist humanis lebih
setuju berlindung kepada budha nature yang ada di dalam diri kita sendiri,
dharma yang universal, ajaran kebenaran, dan sangha selaku komunitas yang
sama, karma merupakan bagian dari dharma.

Rudy Phanjaya dan Markos Prawira mirip2 Mira, Rudy P: Berlindung = mengikuti
dan mencontoh. Markos: berlindung = dijadikan pegangan dan rujukan, mirip2
jadi panutan.

David Santana: Bukan berlindung kepada Budha-dhamma-sangha, tetapi:
"aku berlindung kepada kesadaran."
"aku berlindung kepada kebenaran."
"aku berlindung kepada kesucian."

Abin mengatakan berlindung=naungan namun sekaligus berlindung itu
melindungi.
(Nah lo, berlindung kepada pelindung, tetapi sekaligus melindungi pelindung
itu.)

Radi muliawan lebih concern pada sanghanya yang ariya atau yang biasa?

Milis MB:
Yao Sugiar: menyatakan berlindung kepada tisarana ga ada gunanya.

Ariya chandra mencoba menguraikan sejarah 'tisarana gamana upasampada',
kemudian sering terjadi kekeliruan dengan menjadikan tisarana sebagai
pelindung. Sang Budha kemudian mengajarkan 'kammassaka, kammadayada,
kammayoni, kammabandhu, kammapatisarana, dst', perlindungan pada karmanya
sendiri, bagi umat yang belum mencapai kesucian. Sebelum parinibbana, Budha
Gautama mengajarkan 'Attadipa viharatha, attasarana anannasarana' yang
berarti 'jadikanlah dirimu sebagai pulau bagi kediamanmu, jadikanlah
dirimu sebagai pelindungmu, jangan mencari perlindungan pada orang lain'.

Iansw: berlindung=menyatakan keyakinan, tekad dan janji untuk melaksanakan
sesuai budha-dhamma-sangha.

Forum dhammacitta:
Kemenyan : berlindung=bernaung,
Ryu : tisarana = tempat yang aman dari bahaya, tempat berlindung yang
memberi kita kekuatan, kepercayaan dan kepastian yang tidak dapat diberi
oleb perlindungan yang lain.

***

Paling sedikit ada 2 issue yang menarik untuk dibahas. Pertama soal
pengertian berlindung. Kedua soal fungsi sebagai kalimat syahadat untuk new
entry.

Dari sekian banyak pendapat, yang merujuk pada arti 'berlindung' hanyalah
'bernaung'. Mayoritas berpendapat arti berlindung kepada tisarana bukanlah
arti berlindung / bernaung sebagaimana yang kita mengerti se-hari2, tetapi
arti berlindung yang mempunyai arti lain, berlindung plus. Bukan service
biasa, tetapi service plus-plus. :-)

Kita periksa kamus sebentar.
Menurut oxford, to protect = to keep a person/something safe.
Menurut kamus-online.com, berlindung = to seek protection; to shelter; to
hide; (dictionary.reference.com, berlindung = to shelter).

Dalam arti umum / se-hari2, berlindung = berada di bawah
perlindungan/naungan PELINDUNG untuk menghindari dari (ancaman) SESUATU.
Misal: aku berlindung dibawah naungan PAYUNG untuk menghindari dari
(ancaman) HUJAN. Seperti kata bro. Hiro, berlindung tentu bisa aktif dan
bisa pasif. Dua2nya tidak melarikan arti kata berlindung = bernaung.
Biasanya kalu pelindungnya pasif, ya subjek yang butuh perlindungan kudu
aktif. Namun jika pelindungnya aktif, subjeknya bisa aktif bisa juga pasif.

Pertanyaannya, kita berlindung kepada tisarana dari APA?

Lalu kenapa berlindung kepada tisarana diartikan keluar dari arti umum?
Seperti pendapat mayoritas milis, dan mungkin juga mayoritas umat budha.
Kemungkinan besar karena konsep berlindung kepada tisarana ini bentrok
dengan konsep hukum karma, dalam hal bahwa hanya 'kita sendiri dengan karma
kita' yang menjadi pelindung kita sesungguhnya dan satu2nya. Maka
perlindungan lain sesungguhnya tidak ada, jika ada harus gugur demi hukum
(hukum karma, mangsudnya), atau konsep hukum karmanya yang gugur.

Pertanyaan selanjutnya, mana yang salah? Kelihatannya konsep hukum karma
100% tidak ada yang bantah, berarti yang menjadi mangsalah ada pada
'berlindung kepada tisarana' ini.

Mari kita coba beberapa kemungkinan:
1. Ada salah penterjemahan atau penafsiran. Arti sesungguhnya bukan
berlindung kepada tisarana. (yao sugiar=salah arti, David sentana=salah
penafsiran)
2. Tidak ada kesalahan di KS, kata2nya memang 'berlindung'.

Dari yang no.2, kita bisa mendapat menduga kuat bahwa karena konsep hukum
karma tidak memungkinkan adanya perlindungan dalam bentuk yang lain, maka
berarti kedua doktrin memang bentrok satu dengan yang lain. Lazimnya, dalam
setiap KS (kitab suci), jika ada 2 doktrin bentrok, maka upaya yang
dilakukan adalah melakukan penafsiran terhadap salah satunya, dicari arti
yang beda, karena upaya mencari sumber otentik biasanya sangat sulit sekali.
Lagian hampir tidak mungkin merubah KS yang sudah ribuan tahun.

Apakah kemungkinan ini yang terjadi pada arti 'berlindung kepada tisarana'?

Issue ke 2, soal fungsi sebagai kalimat syahadat, semacam sumpah pramuka,
sapta marga TNI, dll untuk new entry. Sebagai pihak yang baru mau masuk
mempelajari ajaran budha, dihadapkan dengan konsep berlindung yang ternyata
artinya tidak sama dengan arti kata berlindung yang lazim se-hari2, apakah
tidak menyesatkan para new entry? Apakah sebagai new entry, sudah dijelaskan
bahwa kata berlindung disini artinya bla..bla..? Kalau memang artinya lebih
condong sebagai panutan, kenapa tidak sebut saja panutan, bukan berlindung,
misalkan?


wiryanto

9
Diskusi Umum / Re: Aku berlindung....?
« on: 19 November 2007, 10:21:45 AM »
Thanks atas tanggapan semuanya, terutama ryu.
Topik yang sama di milis lain juga mendapat tanggapan beraneka ragam. Kalau diijinkan, beberapa pendapat saya ingin postingkan ke milis lain, terutama jawaban ryu yang komplit banget ini, sebagai referensi bagi yang lain.

Sementara, jujur bilang, saya belum puas secara tuntas dengan jawaban yang ada. Nanti saya tanggapin belakangan, sambil menyimpulkan pendapat2 yang lain tentang hal ini.

salam metta,
wiryanto

10
Diskusi Umum / Aku berlindung....?
« on: 17 November 2007, 11:13:31 PM »
Satu lagi yang berkaitan dengan konsep hukum karma.

Sebagian besar dari kita yang merasa telah mempelajari buddha dharma, pasti yakin banget dengan bekerjanya hukum karma dan yakin dengan prinsip free-will. Karmaku adalah pelindungku, maka segala tetek bengek budha, bodhisatva atau mahasatva sebenarnya tidak diperlukan lagi. Fungsi Budha Gautama sebatas memberikan ajaran, selebihnya kita serahkan semua pada karma kita. Yang penting kita berbuat karma baik, yang kemudian akan menghasilkan buah baik pula.

Nah, yang saya ingin tanyakan adalah tentang berlindung kepada tisarana, budha-dhamma-sangha. Kalimat berlindung kepada budha-dhamma-sangha ini sudah seperti kalimat syahadat dalam islam. Semacam statement yang menyatakan kita masuk sebagai penganut budhisme.

Lalu apa maksudnya dengan berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha? Bukankah kita berlindung kepada karma kita sendiri? Memangnya kalau kita menyatakan berlindung kepada Tisarana, kita dilindungi?

Apakah pernyataan yang nota bene banyak diucapkan justru untuk penganut pemula, tidak menimbulkan kerancuan bahwa di dalam agama buddha, kita pertama-tama minta perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha?

Mohon pencerahannya!

Wiryanto

11
Diskusi Umum / Re: Buddha tanpa doa
« on: 16 November 2007, 06:36:04 PM »
Salam kenal kembali untuk semua,
Beberapa kayaknya sudah pernah diskusi di tempat lain. Namun heran, suasana di sini koq kayaknya sejuk dan kondusif ya! Topik2 peka aja ditanggapi secara cool. Beda dengan milis tetangga yang suasananya kayak perang. Pendapat yang sama aja bisa bentrok.

Padahal yang ikut diskusi orangnya ada yang sama, sehingga seharusnya karmanya sama. Mungkin ini yang disebut faktor kondisi mempengaruhi hasil karma?

Nah, dikaitkan dengan topik doa dalam buddha, dengan percaya penuh pada karma dan free-will, intinya manusia punya kontrol penuh pada kehidupannya. Mau menjadi apa tergantung pada diri sendiri, bukan pada kekuatan siluman. Tetapi ada faktor lain, yaitu faktor kondisi "kapan yang ini berbuah, kapan yang ono yang berbuah" yang tidak bisa dikendalikan. Kita cuman bisa menabung, menabung terus. Tetapi kita ga bebas mengambil bunganya. Jadi kayak ikut arisan ibu2, giliran siapa yang dapat sistemnya dilotere.

Apa yang bisa kita lakukan untuk mengontrol kondisi ini? Termasuk mengatur datangnya hasil buruk yang keliwat besar yang mungkin kita ga sanggup terima sekarang. Berdoa / baca paritta? Kepada siapa/apa? Atau sabar aja menunggu? Apakah peran doa dalam budhisme di sini?

Pemancaran Metta sasaran utamanya adalah: Batin kita sendiri.
Apakah ber-effect/tidak terhadap orang lain, tidaklah penting.
Dalam meditasi metta, kita melatih meningkatkan trend positif dalam pikiran kita.
 

Wah, kalau begitu kita rada muna juga dong! Ceritanya sok baik berdoa semoga semua mahluk berbahagia, tetapi ujung2nya sebenarnya kita tahu ini ga bisa, tujuannya adalah untuk diri sendiri.

Terus, bagaimana dengan konsep bodhisatva dalam hal ini?

Salam,
wiryanto

12
Diskusi Umum / Re: Buddha tanpa doa
« on: 15 November 2007, 03:04:01 AM »
Salam kenal,
Tertarik untuk ikutan topik ini. Menurutku, secara teoritis betul bahwa dalam budhisme ga ada doa dalam pengertian meminta sesuatu kepada mahluk 'siluman'. Namun prakteknya?
Mari kita periksa sedikit tujuan paritta2 dalam agama budha.
Antara lain yang saya tahu: puja-puji, menghormati budha, bodhisatva dan mahasatva, pernyataan atau janji (untuk melaksanakan pancasila), perlindungan kepada tisarana, mengulang dhammadesana, terakhir 'minta' sesuatu.

Yang terakhir ini, biasanya kita malu untuk mengakui dan kadarnya beragam. Dari yang paling halus hingga yang lebih terang2an. Yang paling halus dan boleh dibilang mulia, semoga semua mahluk berbahagia. Wong mendoakan semoga semua mahluk berbahagia. Tingkat berikutnya, semoga semua yang ada kaitan karma dengan ku berbahagia, atau semoga semua keluarga sanak saudara berbahagia. Kenapa mereka didoakan, bukankah bahagia atau tidak tergantung dengan karmanya masing2?

Mungkin ada yang menjawab kita cuman memancarkan metta. Apakah ada efek jika kondisi karma orang yang kita pancarkan memang tidak menguntungkan? Kalu tidak efek, buat apa kita berbuat sia2?

Menurutku lagi, sebenarnya jauh di dalam hati kita sesungguhnya juga ada permintaan, minimal pamrih lah. Kalu semua mahluk berbahagia, berarti aku juga bahagia, pan aku masuk di dalamnya. :-)

Yang pelajar dan mahasiswa mungkin ada yang menyelipkan permintaan supaya ujian bisa lulus. Yang single menyelipkan diantara puja-puji kepada budha harapan (baca permintaan) bisa dapat jodoh. Yang dagang menyelipkan doa (baca: permintaan) di-sela2 paritta puja-puji syukur semoga dagang lancar.

So what gitu lo? Emang ga boleh? Dengan ke vihara aku kan berbuat karma baik dan mengharapkan karma baiknya adalah bla-bla-bla... Artinya meski kita yakin dengan free-will dan hukum karma, ada unsur tak berdaya. Saya sudah berbuat segudang karma baik, kapan berbuahnya? Bagaimana proses kerja hukum karma ini? FIFO? Prosesnya berapa lama? Semua masih gelap. Makanya kita tetap perlu berdoa untuk meminta ’yang lebih berkuasa’ entah budha atau bodhisatva supaya bisa sedikit ’memperlancar’ agar berkas2 karma yang sudah kita buat bisa segera diproses dan keluar juklak (petunjuk pelaksanaannya) sehingga kita segera bisa menikmatinya.

Sekarang coba kita jujur pada diri sendiri, berapa persentase kita ke vihara, yang benar2 hanya untuk puja – puji, berapa persen yang menganggap ke vihara adalah investasi karma baik, dan berapa persen yang ke vihara untuk MINTA (doa).

Kalau memang masih ada unsur mintanya, apakah secara budhisme ini sudah salah? Minimal minta bantuan dikondisikan supaya kusala karma berbuah lebih cepat.

wiryanto

Pages: [1]
anything