//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw  (Read 16486 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #15 on: 15 September 2011, 05:49:23 PM »
Pada tingkat ini muncul keinginan untuk meraih kebebasan. Ia berharap bisa berlatih lagi sehingga kebebasan yang diimpikannya bisa diperoleh.

Jika harapannya tidak terpenuhi akan muncul rasa sedih, kecewa dan bentuk perasaan ragu-ragu. Tapi, perasaan ini pun mendatangkan berkah tersendiri karena setelah itu ada sementara yogi yang membangun tekad baru serta mengandakan daya upaya. Hal ini tentu akan mengusir keragu-raguannya meski ia belum meraih kebebasan.

Tentu saja hal terbaik yang bisa dilakukan adalah meraih kemajuan batin berupa kesadaran tak terputus. Sehingga mereka bisa memperoleh pengalaman batin yang mendatangkan banyak suka cita. Ada banyak sutta yang membahas objek kegembiraan dalam dhamma. Meski tak bisa dipungkiri ada sementara yogi yang membuat target dalam latihannya. Bila harapannya tak terkabul yogi ini mengalami depresi.

Dalam pusat meditasi kami menjelaskan tingkat-tingkat kemajuan batin pada sedikit yogi yang berkualitas. Hal ini dimaksudkan untuk membantu mereka melakukan evaluasi terhadap pengalamannya sendiri.

Kami meyakini salah satu ajaran yang mengatakan untuk melakukan seleksi tingkah laku. Perlu dikatakan hal ini tak akan berguna bagi seseorang yang tak memiliki pengalaman meditasi. Ajaran ini hanya bermanfaat bagi yogi berpengalaman. Penjelasan-penjelasan kami ini dinamakan lokomotif atau katalisator untuk mendorong tumbuhnya usaha yang lebih besar.

Bagi seseorang yang berharap mendengar ajaran kami tanpa didasari pengetahuan batin yang akan timbul hanya kekecewaan. Karena harapan mereka tak terpenuhi. Tapi, kekecewaan ini adalah baik karena membuat mereka semakin berupaya sehingga bisa menumbuhkan pengalaman yang sejalan dengan ajaran kami. Setelah itu lah mereka baru bisa melakukan evaluasi dengan penuh suka cita.

Beberapa yogi yang memiliki konsentrasi lemah merasa berkecil hati. Akibatnya ada yang meningkatkan usahanya sehingga bisa memperoleh pengalaman batin yang luar biasa. Menurut kitab komentar, kita harus jujur mengakui adanya keputusasaan sebagai akibat tidak terpenuhinya keinginan. Keinginan ini berhubungan dengan penolakan, refleksi (anusati), meditasi dan jhana. Bahwa keputusasaan atau kesedihan karena ketidakmampuan kita menjadi seorang bhikkhu, untuk melakukan praktek meditasi, atau bahkan untuk mendengarkan dhamma, atau untuk mengunjungi sebuah vihara adalah sesuatu yang baik. Kesedihan ini bermanfaat. Ada contoh tentang seorang umat buddha perempuan di Sri Lanka yang mengalami kesedihan yang mendatangkan manfaat.

Orang tua perempuan muda ini pergi ke sebuah vihara meninggalkannya di rumah. Ia hanya dijaga oleh salah satu sanak familinya. Vihara ini tak jauh letaknya dari rumah mereka.

Karena letaknya yang tidak jauh ia bisa mendengarkan dhamma yang dibabarkan oleh seorang bhikkhu. Dalam hatinya wanita muda ini merasa memiliki karma buruk di masa lalu sehingga ia tak bisa pergi ke vihara. Di sisi lain ia merasa berbahagia melihat para umat yang mengunjungi vihara. Kegembiraannya mendatangkan kegiuran (Pali: ubbega piti). Karena kegiurannya ini membuatnya mampu terbang ke udara. Setelah itu ia menemukan dirinya berada di atap vihara. Inilah proses kesedihan yang membawa keinginannya terpenuhi dengan cara yang luar biasa.

Ada cerita dalam Sakka Panha tentang seorang bhikkhu bernama Mahasiva Thera. Ini adalah contoh nyata tentang kesedihan bermanfaat yang membuat thera ini meraih kearahatan.

Mahasiva thera adalah seorang guru meditasi dengan banyak pengikut. Bhikkhu-bhikkhu yang melakukan praktek meditasi di bawah bimbingannya berhasil meraih kearahatan. Melihat kenyataan gurunya belum mencapai arahat salah satu arahat muridnya meminta thera ini memberi pelajaran dhamma. Mahasiva Thera berkata ia tak memiliki waktu untuk memberi pelajaran karena telah mengisi seluruh hari dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan para muridnya, menyingkirkan keragu-raguan mereka, dan lain-lain.

Kemudian arahat muridnya berkata, “Yang mulia, engkau seharusnya memiliki waktumu sendiri untuk melakukan perenungan dhamma di pagi hari”.

“Kalau keadaannya demikian terus, engkau bahkan tak memiliki waktu untuk mati. Engkau selalu siap melayani orang lain. Tapi engkau tak memiliki usaha untuk dirimu sendiri. Karena itu sejak saat ini aku tak ingin mendengarkan pelajaran apapun darimu”, kata muridnya yang kemudian terbang ke udara dan pergi dari hadapan gurunya.

Sekarang Mahasiva Th menyadari bahwa muridnya datang tidak untuk belajar dhamma. Tapi untuk memperingatkan agar lebih memperhatikan diri sendiri dan menyingkirkan keragu-raguannya.

Tak lama setelah itu Sang Thera meninggalkan vihara. Kemudian ia mencari tempat yang cocok untuk berlatih meditasi pandangan terang dengan penuh disiplin.

Tapi, tak seperti harapannya, meski telah bekerja keras dan menyakitkan ia gagal meraih kemajuan batin. Bahkan setelah bertahun-tahun ia masih jauh dari tujuan akhir.

Ia tengah menangis ketika muncul sesosok dewi. Dewi ini mulai menangis pula. Dewi ini berpikir dengan menangis ia akan meraih pengetahuan batin.

Kenyataan ini menyadarkan sang Thera akan masalahnya sendiri. Setelah itu ia berusaha lebih keras dan berhasil memperoleh tingkat-tingkat pengetahuan yang membawanya ke tujuan akhir.

Cerita ini memberi ilham bahwa para yogi pun bisa memperoleh tingkat-tingkat kesucian dalam waktu singkat melalui berbagai pengalaman. Sang Thera gagal meraih tujuan akhir, meski berusaha keras karena konsentrasinya pecah. Hal ini berasal dari kemampuan teori dhamma yang dimilikinya.

Setelah menyadari hal itu muncul kesedihan. Kesedihan ini meningkatkan usahanya. Ini adalah sejenis kesedihan yang bermanfaat yang harus diterima.
Ada dua jenis kesedihan bermanfaat seperti tertulis dalam Sakka Panha sutta. Yang pertama disertai dengan vitakka-vicara (pikiran yang terpecah-pecah) dan yang lain tanpa vitakka-vicara. Tapi, kenyataannya bila kita berpikir tentang kesedihan hal ini benar-benar nyata dan bukan suatu metafora.

Singkatnya, kesedihan dikatakan tidak bermanfaat jika berasal dari hasrat-hasrat indrawi atau sebab-sebab keduniawian. Sehingga kita harus mengabaikan pikiran-pikiran penyebab kesedihan. Jika kesedihan itu muncul secara spontan kita pun tak boleh menyimpannya. Ia bisa hilang dengan sendirinya.

Di sisi lain kesedihan dikatakan bermanfaat akibat rasa frustrasi atas semua usaha spiritual yang telah kita lakukan. Misalnya, usaha untuk bergabung dalam lingkungan sangha, usaha untuk memperoleh pandangan terang, dan lain-lain. Kita harus menerima jenis kesedihan semacam ini karena hal ini akan mendukung dan mendatangkan kemajuan pada jalan spiritual kita. Yang terbaik adalah memiliki kegembiraan yang bermanfaat untuk mengantarkan kita meraih pencerahan.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #16 on: 15 September 2011, 05:49:35 PM »
Perasaan netral yang Bermanfaat dan tak Bermanfaat

Perasaan netral atau keseimbangan bisa digambarkan ke dalam bentuk perasaan yang bukan kegembiraan dan bukan kesedihan. Perasaan netral muncul lebih sering dibandingkan bentuk perasaan lainnya seperti kesedihan atau kegembiraan.

Perasaan netral ini hanya nampak pada yogi yang memiliki konsentrasi baik. Sekali lagi, perasaan netral terbagi menjadi dua jenis, yaitu perasaan netral yang bermanfaat dan yang tak bermanfaat. Dengan memiliki perasaan netral yang bermanfaat bisa membawa seseorang melakukan tindakan yang baik. Yang lain adalah perasaan netral yang tidak bermanfaat. Ini akan membawa pada tindakan yang tak bermanfaat. Dalam Sutta Salhayatana Vibhanga tertulis, perasaan netral terbagi enam jenis menurut tempat munculannya melalui enam pintu indra, yakni, mata, telinga, hidung, lidah, kulit dan pikiran.

Perasaan netral yang tak bermanfaat muncul dari kebingungan dan ketidaktahuan (Pali: gehasita upekkha). Orang awam akan merasa senang melihat obyek-obyek yang disukainya dan sedih melihat obyek-obyek yang tak disukainya.

Perasaan netral adalah perasaan yang tidak memihak bila bertemu suatu obyek. Contohnya, kita tidak merasa senang atau sedih ketika bersua dengan sebongkah batu atau pohon.

Bentuk perasaan ini sering dialami umat awam (puthujjana). Orang awam bukanlah para ariya atau orang suci. Juga bukan golongan orang yang memiliki pengetahuan di atas manusia pada umumnya (Pali: Kalyana Puthujjana). Orang terakhir ini adalah pihak yang awas akan adanya anicca, dukka, dan anatta. Kami maksudkan orang awam adalah orang-orang yang “tidak tahu”. Mereka tidak tahu kondisi alami dari obyek-obyek indra.

Sekali lagi orang awam tak menyadari dan tidak awas akan adanya anicca, dukkha dan anatta. Pikiran mereka dipenuhi khayalan akan kekekalan. Mereka menganggap semua fenomena adalah baik.

Kitab komentar menjelasan lebih rinci tentang orang awam ini. Mereka adalah subyek dari perasaan netral yang tak berfaedah. Orang-orang ini bukanlah para sotapanna. Karena para sotapanna telah menaklukkan sebagian kekotoran batin yang ditandai dengan lenyapnya keragu-raguan akan adanya konsep “aku”. Orang suci tingkat pertama ini tak akan terlahir lagi di empat alam-alam tingkat rendah. Mereka juga bukan para sakadagami yang dijamin terbebas dari hasrat indrawi dan kehendak-kehendak buruk. Para umat awam ini juga bukan para Anagami.

Masyarakat awam ini bukanlah salah satu dari ketiga golongan ariya itu. Dimana dikatakan mereka (orang awam) belum selesai melakukan pengikisan atas kekotoran batin apapun.

Masyarakat awam ini bukan pula golongan yang bisa menetralisir karma. Hanya para arahat saja yang bisa menyingkirkan akibat dari karma seperti tumimbal lahir, dan lain-lain. Sehingga perasaan netral yang tak bermanfaat, dikatakan, hanya muncul di antara para puthujjana, bukan di antara para ariya. Pada kitab komentar ditegaskan, mereka tak memiliki pengetahuan batin yang dicapai melalui praktek meditasi vipassana.

Orang awam ini bisa digambarkan sebagai seseorang yang memiliki moha (ketidaktahuan). Mereka juga tidak memiliki kesadaran yang baik. Pikiran mereka dipenuhi khayalan.

Keadaan inilah yang mendorong tumbuhnya keinginan-keinginan. Ini membuat orang-orang awam terbelenggu di wilayah duniawi untuk memenuhi keinginan-keinginannya. Perjuangan atau usaha mereka pada gilirannya menumbuhkan karma baik dan buruk. Hal ini yang mengakibatkan kelahiran kembali, usia tua, sakit, kematian, serta penderitaan-penderitaan lainnya.

Para puthujjana tak melihat hal negatif dari berbagai khayalan yang muncul di dalam dirinya. Hal ini terjadi karena ia tak memiliki pengetahuan.

Pengetahuan dhamma terbagi dua. Pengetahuan tentang ajaran Sang Buddha yang diperoleh melalui ceramah-ceramah atau pengajaran-pengajaran. Kedua, pengetahuan empiris, melalui praktek meditasi pandangan terang. Kedua jenis pengetahuan ini terasa asing bagi para puthujjana.

Terkadang muncul perasaan tidak gembira juga bukan kesedihan ketika tengah menikmati obyek-obyek indra. Tapi, hal ini sudah pasti membuatnya masuk ke dunia indra. Ada lagi istilah gehasika upekkha. Dimana geha adalah rumah dari indra. Dengan kata lain, para puthujjana adalah golongan orang yang belum mencabut akar keterikatan dari fenomena dunia indra.

Kembali ke perasaan netral. Perasaan netral tak bermanfaat bisa berubah menjadi perasaan netral yang bermanfaat. Kitab komentar mengupas panjang lebar salhayatana vibhanga Sutta. Sutta ini membahas tentang penolakan menyakitkan yang membawa pada tujuan baik.

Inilah penjelasannya. Menjadi awas melihat lenyapnya obyek indra, para yogi menyadari semua fenomena adalah subyek dari ketidakkekalan, dan lain-lain. Pandangan terang menyadari realitas alam mendatangkan ketenangan hati atau keseimbangan. Ini akan menolong para yogi melepaskan keterikatan kenikmatan indrawi serta berbagai keterikatan lainnya. Setelah itu mereka memiliki keseimbangan lebih baik ketika berhadapan dengan objek-objek menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Yogi yang memiliki konsentrasi dan kesadaran mampu melihat segala sesuatu muncul dan lenyap dengan cepat. Sutta di atas menekankan kenyataan ini. Proses muncul dan lenyap bisa terlihat pada obyek kasad mata seperti jasmani. Atau lebih jelas pada naik dan turunnya perut. Bagi yang konsentrasinya tajam bisa melihat fenomena ini pada obyek pikiran.

Saat seorang yogi lebih awas melihat naik dan turunnya perut, ia akan melihat bentuk-bentuk pikiran muncul dan lenyap dengan cepat. Bila konsentrasi telah berkembang yogi ini menyadari kemunculan dan kelenyapan berjalan berkesinambungan. Di tingkat pengetahuan batin bhanga (bhanga nana), ia menemukan bahwa perut, tangan, dan lain-lain bukanlah suatu substansi. Mereka adalah fenomena yang lenyap, hilang secara cepat.

Lenyapnya segala fenomena jelas terlihat dengan semakin matangnya bhanga nana. Sehingga yogi ini lebih mengerti adanya hukum perubahan.

Menyadari kondisi alami jasmani dan batin, seorang yogi tidak merasa bahagia juga tak merasa sedih. Tapi ia tetap waspada. Ini akan membawanya pada kondisi seimbang. Keseimbangan ini terlihat lebih nyata di tingkat bhanga sampai Sankharaupekkha nana.

Pada kondisi ini seseorang tak merasa puas juga tidak merasa tidak puas ketika bersua dengan obyek-obyek yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Dalam keadaan demikian ia berada di atas kondisi yang berhubungan dengan proses melihat, mendengar dan lain-lain. Keseimbangannya berada di atas alam indra. Ini berarti ia telah mencicipi sedikit kebebasan dan memperoleh hasil dari praktek meditasi.

Para yogi harus mengumpulkan hal bermanfaat yang berorientasi pada vipassana. Karena hal ini akan mengarah pada keseimbangan. Hal bermanfaat tumbuh setelah seorang yogi berhasil meraih kemampuan batin melihat muncul dan lenyap.

Sutta Salyatana Vibhanga membagi keseimbangan menjadi dua. Yakni keseimbangan dengan dan tanpa vitakka-vicara. Kenyataannya semua upekha, keseimbangan batin, muncul ketika seorang yogi mulai meraih jhana I. Pada tingkat konsentrasi kesatu ini keseimbangan yang muncul disertai vitakka-vicara. Sementara keseimbangan yang muncul ketika terserap pada jhana ke dua dinamakan keseimbangan yang tanpa vitakka-vicara. Dari dua jenis keseimbangan batin ini, keseimbangan yang tanpa vitakka-vicara lebih baik.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #17 on: 15 September 2011, 05:49:46 PM »
Di sisi lain kita harus memelihara kesedihan bermanfaat yang bersumber dari rasa frustrasi akibat terhambatnya proses latihan meditasi. Sementara itu kita harus mengabaikan kesedihan tak bermanfaat. Yang paling penting kita harus mencari keseimbangan bermanfaat yang muncul melalui jalan dhamma.

Inilah faktor-faktor positif yang berkembang melalui praktek vipassana. Kita pun harus berkonsentrasi mengumpulkan kesenangan dan kegembiraan serta perasaan netral yang bermanfaat. Bila memiliki pengertian atas sesuatu yang bermanfaat akan membantu membersihkan sisi negatif kita.

Seorang yogi juga harus merubah kesedihan bermanfaat menjadi kegembiraan bermanfaat. Ini artinya, ketika seorang yogi merasa latihannya terhambat akan muncul depresi. Tapi, melalui perasaan sedih itu ia bisa melipat gandakan usahanya. Sehingga ia mampu meraih pandangan terang.

Sementara kegembiraan yang bermanfaat pun harus disingkirkan dengan keseimbangan batin bermanfaat. Manfaat akan adanya keseimbangan batin dari vipassana adalah awal kehidupan suci.

Tapi kegembiraan yang muncul dalam vipassana tak harus ditolak karena kegembiraan adalah dasar pencapaian tiga tingkat jhana dan buah dhamma. Lebih jauh, para yogi yang tak bisa mencapai jhana satu–tiga tak bisa meraih jhana keempat dengan keseimbangan batin. Tanpa ini, ia hanya bisa meraih kegiuran tiga jhana pertama. Sementara ia baru bisa meraih magga dan phala, jalan dan buah, melalui pencapaian pengetahuan batin anuloma. Setelah sampai di sini akan muncul kegembiraan yang lebih besar lagi. Lebih jauh Sang Buddha menyimpulkan keseimbangan batin yang diraih melalui vipasana adalah wilayah tertinggi dari tumbuhnya kesadaran. Sementara pengetahuan batin sankhara upekkha disertai kegembiraan hanya satu tempat lebih rendah dari “jalan” para ariya dan dari phala, buah.

Sang Buddha berkata demikian pada Sakka, “O raja para dewa, para bhikkhu yang menjauhi dhamma tak bermanfaat serta mencari dhamma bermanfaat berada di tengah jalan kehidupan suci yang akan membawanya ke nibbana, tempat lenyapnya segala kekotoran batin”.

Saat mendengar pembabaran dhamma Sakka mengawasi perasaannya. Karenanya ia memetik kegembiraan bermanfaat dan mampu meraih keseimbangan batin. Setelah meraih kebahagiaan ia berhasil meraih tingkat kesucian pertama, sotapanna. Ini diawali dengan lenyapnya Sakka dan lahir kembali sebagai Sakka yang baru. Sakka hanya mampu meraih kesucian tingkat pertama karena potensi spiritualnya yang terbatas.

Kelahiran Sakka memperlihatkan bahwa dewa yang tengah sekarat pun bisa memetik manfaat ketika mendengarkan dhamma. Melalui kesadaran penuh serta kegembiraan bermanfaat para yogi bisa meraih kemajuan di jalan dhamma. Ini bisa terjadi bila sebagian besar kegembiraan yang mendominasi adalah jenis kegembiraan yang bermanfaat.

Ada cerita yang berhubungan dengan kegembiraan ini. Suatu kali di Sri Lanka hidup seorang bhikkhu bernama Phussadeva. Ia berhasil menjadi seorang arahat setelah melakukan perenungan atas perasaan gembiranya yang muncul di dalam dirinya ketika tengah merenungkan sifat-sifat luhur Sang Buddha. Juga istri raja Asoka berhasil meraih tingkat sotapanna setelah melakukan perenungan atas kegembiraan yang menguasai dirinya ketika ia mendengar nyanyian burung yang bersuara seperti suara Sang Buddha.

Menurut kitab komentar, para yogi punya kemungkinan menjadi seorang arahat ketika melakukan perenungan atas piti (kegiuran). Mereka pun punya peluang meraih tingkat-tingkat kesucian melalui perenungan atas kegembiraan bermanfaat akibat menjalankan dana, sila dan melihat ketidakkekalan.

Saat meraih tingkat kesucian pertama Sakka terbebas dari keragu-raguan dan khayalan-khayalan tentang “diri”. Kebebasan yang dirasakannya berbeda dari “kebebasan” yang dimilikinya pada kehidupan sebelumnya. Karena kebebasannya sekarang adalah kebebasan seorang sotapanna. Dimana jenis kebebasan terakhir ini didasari atas perenungan dan pengetahuan batin.

Patimokkhasamvara Sila

Pertanyaan Sakka berikutnya tentang pentingnya moralitas bagi kehidupan suci. Pertanyaannya demikian, “Yang mulia, praktek sila (moral) macam apakah yang bisa melindungi seseorang dari jatuh ke alam-alam rendah?”

“Perbuatan tak bermanfaat macam apa yang harus dihindari. Dimana ini bisa melindungi seseorang terjatuh ke alam-alam rendah?”

“Kata-kata atau pikiran macam apa yang harus dihindari sehingga bisa melindungi seseorang dari kejatuhan ke alam-alam rendah?”

Sang Buddha menjelaskan perbuatan terbagi menjadi dua jenis. Pertama, perbuatan bermanfaat. Kedua, perbuatan tidak bermanfaat. Demikian pula mata pencaharian dan pikiran terbagi dua yakni yang bermanfaat dan tidak bermanfaat.

Mata pencaharian, perkataan atau tindakan yang menumbuhkan karma baik adalah bermanfaat. Sementara, segala perkataan atau perbuatan yang membawa akibat karma buruk adalah tak bermanfaat.

Contoh tindakan tak bermanfaat adalah mencuri, membunuh, melakukan perbuatan seks menyimpang, dan lain-lain. Di sisi lain, tidak melakukan hal-hal semacam ini berarti suatu tindakan yang baik. Inilah aturan atau sila untuk masyarakat awam. Disamping itu masih banyak sila atau aturan moral lain seperti terdapat dalam Vinaya Pitaka.

Tentang berbicara ada aturannya pula. Tindakan verbal (kata-kata) tak bermanfaat misalnya, berbohong, mengumpat, mencaci-maki, mengejek sampai ke berbicara omong kosong. Sementara melakukan tindakan verbal bermanfaat berarti tidak melakukan semua pembicaraan yang tak bermanfaat. Bila seseorang terbiasa berkata dan bertindak ceroboh akan memiliki kecenderungan bermatapencaharian tak bermanfaat pula.

Jenis mata pencaharian bermanfaat adalah pekerjaan yang tak ada hubungannya dengan sikap atau kata-kata yang tak bermanfaat. Singkatnya, berkeraslah melaksanakan lima sila yang akan berbuah bersihnya moral.

Sementara orang berkata, apakah berbicara tanpa tujuan, dan lain-lain melanggar sila ke empat? Perlu diketahui sila ke empat adalah menghindari berkata yang tidak benar. Mereka berkeras kalau hal itu tak ada hubungannya dengan sila-sila lainnya yang berimplikasi pada matapencaharian salah. Yang perlu diketahui, tidak berdusta berarti abstain dari jenis pembicaraan salah lainnya. Juga, berusaha berkata jujur menghindari seseorang bermatapencaharian salah. Karena pembicaraan salah merupakan bentuk dusta atau kebohongan.

Kita tak bermatapencaharian salah jika kita menghindar melakukan pembunuhan, dan lain-lain. Pancasila menekankan untuk tidak melakukan pembunuhan, mencuri, dan lain-lain yang dimaksudkan untuk keuntungan seseorang atau untuk alasan lain. Jadi, ke lima sila adalah intisari dari Patimokkha Sila, sila untuk para bhikkhu.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #18 on: 15 September 2011, 05:50:00 PM »
Indriyasamvara Sila :
Kontrol terhadap panca indra

Sakka bertanya bagaimana para bhikkhu menjaga panca indranya? Ini berhubungan dengan penjagaan atas ke enam indra yakni, mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran. Dimana keberadaan indra menjadi salah satu sebab terjadinya proses melihat, mendengar, membau, merasa, kontak dan proses kesadaran.

Sang Buddha membagi obyek indra menjadi dua. Pertama obyek indra yang harus diterima. Kedua obyek indra yang harus disingkirkan. Seseorang harus menerima obyek indra yang bisa menumbuhkan karma baik serta menghindari obyek yang mendatangkan karma buruk.

Kita harus menghindari obyek-obyek yang membawa kenikmatan indra, kemarahan dan lain-lain. Jika tak bisa menghindar kita harus berhenti memikirkannya dan sesegera mungkin melakukan perenungan. Atau membuat catatan dalam batin dari proses melihat. Serta secepatnya menghentikan pikiran yang mondar-mandir dan kembali sadar. Inilah cara-cara menghindari obyek indra yang tak berfaedah.

Sama seperti itu kita harus tak memberi perhatian atas dhamma tak bermanfaat. Di sisi lain misalnya, kita harus mendengarkan pembabaran dhamma. Karena ini menumbuhsuburkan tumbuhnya karma-karma baik.

Bagaimana menyikapi obyek yang menghampiri kita? Apapun bentuk suara itu, jika berkonsentrasi saat suara datang, mencatatnya, kita bisa melihat bentuk ketidakkekalan, penderitaan dan ketanpaintiannya. Hal ini akan menambah pengetahuan batin kita.

Perlu diketahui “rasa” dari bebauan seringkali memicu tumbuhnya karma buruk. Demikian juga, “rasa” yang sama bisa memicu tumbuhnya karma baik. Contoh pemicu karma baik, misalnya, kita memcatat aroma bunga pada suatu waktu. Ketika melakukannya sungguh-sungguh, kita bisa melihat “peristiwa itu” memiliki tiga karakteristik yakni bersifat tidak kekal, penuh penderitaan dan tak ada inti yang kekal di dalamnya.

Rasa pun bisa kita lihat dengan cara sama. Sejujurnya kita tak bisa hidup tanpa makanan dan minuman. Tapi, kita bisa menghindari tumbuhnya karma buruk melalui makan dengan penuh kesadaran terutama saat menyantap makanan yang sangat lezat.

Kita harus tak menyantap makanan dan minuman yang mengandung racun. Kembali ke soal kekotoran batin. Kita menuai kekotoran batin jika kita tidak perduli atau merindukan kelezatan makanan tersebut. Inilah kontrol kita terhadap panca indra. Dimana cara ini tak mungkin dilakukan seseorang yang belum membangun kesadarannya dengan baik.

Karma tak bermanfaat bisa muncul dari kontak fisik. Meski mustahil meniadakan semua kontak fisik kita harus menghindari kontak seksual yang akan menimbulkan kenikmatan dan keterikatan.

Kita harus mengontrol panca indra. Sehingga kita bisa melindungi diri dan melupakan sensasi keenakkan dan ketidakenakkannya. Cara terbaik untuk melakukan kontrol adalah, seperti disebut sebelumnya, mencatat ketidakkekalan, dan lain-lain atas semua sensasi yang kita rasakan. Karma baik tumbuh melalui kesadaran melihat semua kesan yang timbul seperti termuat dalam Satipatthana Sutta.

Dalam sutta ini tertulis pikiran harus menghindar membedakan sosok laki-laki, perempuan, kawan, lawan, dan lain-lain. Karena pembedaan itu memicu munculnya nafsu-nafsu, kehendak jahat, dan lain-lain. Secepat pikiran tumbuh, ia harus disingkirkan melalui praktek sila, meditasi dengan objek perenungan terhadap keluhuran Sang Buddha serta melihat kemunculan dan kelenyapannya.

Banyak sutta membahas ajaran Sang Buddha tentang kontrol terhadap indra. Salah satunya berbunyi, “Jika bersua dengan seorang laki-laki atau perempuan, engkau tidak seharusnya berpikir bahwa ia laki-laki atau perempuan secara fisik. Disamping itu engkau harus menghindar mencatat matanya, alisnya dan bagian-bagian lain dari tubuhnya secara rinci. Bila hal ini tidak dilakukan akan dapat menimbulkan kekotoran batin”.

Laki-laki tidak seharusnya berpikir tentang jasmani perempuan sebagai suatu kesatuan. Hal yang sama harus dilakukan pula oleh perempuan. Mereka tak seharusnya berpikir tentang bagian-bagian tubuh lawan jenis seperti rambutnya, mulutnya, dadanya, dan lain-lain. Karena jenis pikiran ini dipenuhi nafsu.

Para yogi harus awas saat melihat atau mendengar serta menghindari berpikir tentang bentuk tubuh secara keseluruhan atau perbagian dari suatu mahluk hidup. Sang Buddha menjelaskan, hal-hal buruk bisa muncul bila seseorang kehilangan kontrol atas panca indranya.

Sang Buddha berkata, “Bagi seseorang yang tidak menjaga penglihatannya ia akan selamanya memiliki kehendak-kehendak buruk serta selalu mencari sesuatu yang dirindukannya”.

Dengan demikian kita harus berlatih mengontrol panca indra melalui cara yang tepat. Para yogi harus menghindar melihat obyek tak berfaedah baik itu objek menyenangkan atau tak menyenangkan. Jika sekali waktu tak mampu menghindar, ia harus tak menaruh perhatian pada bentuknya, warnanya, dan lain-lain atau tidak menaruh kesan apapun pada mereka. Ia berusaha menjaga dirinya tetap sadar ketika sedang melihat. Ia membuat pikirannya waspada melihat hukum ketidakkekalan, dan lain-lain.

Proses yang sama berlaku pada indra lainnya seperti saat mendengar, membau, menyentuh dan berpikir. Bila konsentrasi telah berkembang seorang yogi bisa memusatkan perhatian melihat semua fenomena batin dan jasmani. Ia juga bisa melihat berlangsungnya hukum ketidakkekalan, dan lain-lain.

Dengan demikian yogi ini meninggalkan sedikit ruang bagi berkembangnya kekotoran batin. Inilah cara terbaik untuk mengontrol panca indra. Melalui cara ini seorang yogi memperoleh “jalan” dan “buah”. Dalam Visudhi Magga ada kisah tentang Mahatissa Thera yang menggunakan metode ini sampai meraih kearahatan.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #19 on: 15 September 2011, 05:50:13 PM »
Kisah Mahatissa Thera

Suatu kali seorang bhikkhu bernama Mahatissa Thera pergi ke kota Anurudha untuk ber-pindapatta, meminta-minta dana makanan kepada umat. Dalam perjalanan beliau bertemu dengan seorang perempuan muda. Perempuan ini baru bertengkar dengan suaminya. Saat itu ia dalam perjalanan ke rumah orang tuanya.

Mahatissa Thera adalah seorang bhikkhu yang sering melakukan perenungan akan ketidakmurnian tubuh manusia. Jika bersua dengan seseorang yang dilihatnya hanya setumpuk kerangka. Dengan cara ini beliau meraih tingkat konsentrasi, jhana, ke satu. Dari sana beliau beralih ke meditasi vipassana. Beliau kemudian berlatih tekun dan berhasil mencapai tingkat kesucian arahat.

Kembali ke kisah perempuan muda tadi. Tak lama lewatlah suami dari perempuan tadi. Ia pun bertemu dengan Sang Thera. Ia bertanya apakah beliau bertemu dengan seorang perempuan muda sebelumnya? Sang Thera menjawab ia hanya berpapasan dengan sebuah kerangka yang baru saja lewat ke salah satu arah.

Sudah pasti Sang Thera telah melakukan perenungan atas ketidakmurnian tubuh manusia dalam waktu lama. Pengalaman beliau bisa dijadikan contoh bagi siapapun untuk menyingkirkan penghalang bagi kemajuan meditasi mereka.

Kisah Cittagutta Thera

Dalam Visudhi Magga juga ada kisah Cittagutta Thera yang berjuang mengontrol panca indranya. Kisahnya demikian:

Cittagutta Thera tinggal di sebuah gua di pedalaman Sri Lanka. Di dinding dan langit-langit gua ada pahatan-pahatan berisi kisah-kisah Sang Buddha seperti termuat dalam kitab Jataka. Sang thera selalu teliti menjaga indra-indranya. Beliau tak pernah melihat ke dinding dan langit-langit gua. Sehingga Beliau tak tahu tentang pahatan itu.

Suatu hari beberapa bhikkhu muda mengunjungi beliau. Setibanya di gua para bhikkhu muda terpesona melihat aneka pahatan di gua itu. Mereka mengatakan betapa indah dan halus pahatan-pahatan tersebut. Sang Thera mengatakan tak pernah tahu tentang pahatan-pahatan tersebut meski telah tinggal di gua ini selama enam puluh tahun.

Tanggapan Sang Thera sebenarnya merupakan teguran halus kepada para bhikkhu muda. Beliau sesungguhnya mengomeli para bhikkhu itu secara tak langsung. Betapa mereka telah kehilangan kewaspadaan sehingga tidak awas dengan penglihatannya.

Suatu waktu tumbuh sebatang pohon gangaw tak jauh dari pintu gua. Sang Thera tak pernah melihat keberadaan pohon tersebut. Beliau hanya tahu pohon itu telah berbunga setelah bunga-bunganya jatuh ke tanah.

Mendengar berita kesucian Sang Thera, penguasa negeri ini, raja dan ratu Sri Lanka, mengundang beliau ke istana. Sang thera menolak undangan raja. Karena penolakan ini raja memerintahkan menahan bayi-bayi yang masih menyusu dari desa dimana Sang Thera sering ber-pindapatta. Karena kasih sayangnya kepada para bayi itulah Sang thera bersedia datang ke istana.

Raja dan ratu memberi hormat kepada Cittagutta Thera. Cittagutta Thera memberkati mereka dengan berkata, “semoga sri baginda berbahagia”.

Kata-kata itu diucapkan baik kepada raja dan ratu. Belakangan para bhikkhu muda yang menyertai beliau bertanya mengapa Thera Cittagutta memberi berkah kepada Raja dan ratu dengan menyebut, “Sri Baginda”? Sang Thera menjawab, beliau tak membuat pembedaan di antara raja dan ratu. Cerita ini adalah pelajaran berharga bagi siapa saja yang mempraktekkan pengendalian indra.

Yang perlu diingat, pertama hindari melihat sesuatu yang bisa membangkitkan kekotoran batin. Jika pemandangan itu tak bisa dihindarkan, seseorang harus membuat catatan, “melihat… melihat”.

Suatu kali bhikkhu Ananda bertanya kepada Sang Buddha, apa yang harus dikerjakan seorang bhikkhu bila bertemu lawan jenisnya. Pertanyaan itu diajukan bhikkhu Ananda di tahun Sang Buddha Parinibbana.

Sang Bhuddha menjawab, seorang bhikkhu harus menghindar menatap perempuan. Jika hal tersebut tidak bisa dihindari, ia harus berusaha tidak berbicara dengan mereka. Bila hal itu tak bisa dilakukan Ia harus menganggap mereka sebagai ibunya, saudarinya atau anaknya menurut usia.

Ini adalah praktek pertapaan seperti termuat dalam Bharadvaja Sutta dari Samyutta Nikaya. Praktek-praktek pertapaan yang tertulis disana berhubungan dengan menaklukkan hasrat indrawi. Dalam sutta yang sama disebutkan juga praktek pertapaan lain, yakni perenungan atas ketidakmurnian tubuh. Praktek terakhir tentang pengekangan terhadap panca indra.

Bagaimana dengan pengekangan terhadap indra lainnya? Kita harus menghindar mendengar suara-suara seperti musik, nyanyian, dan lain-lain. Karena hal ini memicu munculnya kekotoran batin. Jika tak mampu menghindar kita harus membuat catatan dari proses tersebut.

Penting untuk mempraktekkan hal itu. Tapi, bagaimana dengan praktek pengekangan bagi mahluk lain seperti dewa? Perlu diketahui kehidupan Sakka dan para dewa penuh dengan kenikmatan indrawi. Sehingga Sang Buddha menyarankan untuk melakukan pengekangan sejauh mereka bisa. Cara ini bisa diumpamakan seperti umat Yahudi yang menjalani hari Sabat atau ketika seorang yogi tengah melakukan praktek meditasi.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #20 on: 15 September 2011, 05:50:26 PM »
Kembali ke mengekang panca indra. Kita harus tetap waspada ketika mencium aroma bunga atau parfum. Bila tidak akan muncul kekotoran batin. Sikap kita pun harus tetap waspada saat hendak menyantap makanan. Seorang yogi harus mengerti ia makan bukan untuk menikmati makanan tapi untuk mempertahankan kesehatan dan kehidupannya.

Seorang yogi harus berusaha menjauhi sensasi rasa dan sentuhan yang menyebabkan tumbuhnya kekotoran batin. Jika hal ini tak bisa dihindari ia harus bersikap sama yakni waspada. Contoh kewaspadaan ini misalnya, ia membuat suatu catatan ketika sedang berjalan, duduk, dan lain-lain. Demikianlah sikap seorang yogi dengan penuh kesadaran melihat dan mencatat sensasi dari sentuhan.

Kitab komentar mengulas praktek nissaji dutanga. Ini adalah praktek pertapaan yang sengaja mencari sensasi-sensasi bermanfaat dari sentuhan. Jenis praktek nissaji dutanga misalnya tidak membaringkan tubuh, tapi tetap dalam posisi duduk, meski dalam keadaan tidur. Bhikkhu Sariputta, Maha Kasappa dan para bhikkhu terdahulu mempraktekkan ajaran ini dalam waktu lama. Rahula Thera mempraktekkan cara ini selama dua belas tahun. Maha Kassapa Thera melakukannya selama 120 tahun. Perlu diketahui para thera ini adalah arahat. Mereka mempraktekkan cara ini tidak untuk mengumpulkan kebajikan tapi memberi contoh teladan pertapaan yang baik kepada generasi berikutnya.

Kembali ke soal kewaspadaan. Para yogi harus sabar membuat catatan melihat munculnya sensasi bermanfaat saat berlatih vipassana. Ketika muncul ketidaksabaran atas sensasi-sensasi jasmani ia akan cepat putus asa. Tak seharusnya ia gampang menyerah. Ia harus terus mempraktekkan kesabaran sejauh mungkin.

Ketika tengah mencatat segala sesuatu yang muncul seorang yogi harus tak memiliki pikiran macam-macam. Karena ini akan memicu munculnya kerinduan, kemelekatan dan kehendak-kehendak jahat. Bentuk-bentuk pikiran yang muncul baik dari masa lalu, masa kini maupun rencana-rencana ke depan harus disingkirkan. Ia harus abstain dari melakukan hal ini.

Pengendalian Tiga Thera

Dalam kitab komentar tertulis kisah tiga thera. Mereka ber-vassa, menghabiskan musim hujan selama tiga bulan di suatu tempat tertentu, bersama-sama. Kisah mereka bisa dijadikan contoh bagi siapapun untuk menumbuhkan daya upaya yang teguh. Daya upaya ini diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran dan menyingkirkan bentuk-bentuk pikiran tak bermanfaat.

Pada hari pertama masa vassa-nya ketiga thera saling mengingatkan untuk membuang pikiran indrawi dan menyingkirkan bentuk pikiran ambisius lainnya. Pada hari Pavarana (hari terakhir dalam vassa dimana seorang bhikkhu senior mengundang bhikkhu yunior untuk mencari tahu apakah mereka telah melakukan pelanggaran) thera tertua bertanya kepada thera termuda bagaimana ia mengontrol pikirannya selama masa vassa. Sejauh mana thera termuda bisa memenuhi kesepakatan? Thera termuda menjawab ia tak mengizinkan pikirannya keluar dari dinding vihara. Ia menjaga pikirannya tetap aman di dalam dinding vihara.

Yang dimaksud thera termuda ini adalah jika pikirannya berkeliaran, ia membatasi pikirannya hanya pada vihara. Ia tak pernah memikirkan hal-hal di luar dinding vihara. Keterampilan thera termuda ini sungguh luar biasa dengan memberi batasan semacam ini. Karena faktanya sebagian besar yogi yang berlatih tak bisa menjaga pikirannya sebelum konsentrasinya benar-benar berkembang. Sehingga mereka tak bisa menjaga pikirannya tetap “diam” ketika mulai berlatih vipassana. Awalnya, pikiran yang tak terlatih ini berkeliaran dengan bebas.

Thera tertua mengajukan pertanyaan yang sama kepada thera kedua. Thera kedua menjawab ia tak mengizinkan pikirannya keluar dari ruang meditasi. Ini membuktikan kekuatan konsentrasi thera kedua lebih berkembang dan lebih baik dari thera termuda.

Setelah itu kedua thera bertanya kepada thera tertua berapa banyak pengawasan yang ia miliki atas pikirannya. Thera tertua menjawab ia hanya membiarkan pikirannya mengawasi kelima khanda. Ini menunjukkan Thera tertua menumpahkan seluruh perhatiannya mengawasi fenomena batin-jasmani yang muncul dari keenam pintu indra. Kemampuan thera tertua dalam mengendalikan pikiran sungguh luar biasa. Barangkali beliau adalah seorang arahat.

Sebagai tambahan, dalam kitab komentar tertulis perenungan cinta kasih, metta bhavana, adalah perenungan yang penting dilakukan. Bila cinta kasih sudah berkembang dengan baik akan membantu perkembangan vipassana.

SATIPATTHANA :
Ladang Subur untuk Mengumpulkan Kebajikan

Sang Buddha mengatakan dari berbagai perenungan satipatthana adalah yang terbaik. Inilah satu-satunya jalan untuk mengumpulkan karma baik dan dhamma bermanfaat secara lengkap. Melalui dana atau melaksanakan sila seseorang bisa mengumpulkan banyak karma baik. Tapi pemberi dana atau orang yang menjalankan sila sewaktu-waktu bisa disinggahi bentuk pikiran negatif. Sehingga ia tidak bisa berdana atau melaksanakan sila secara murni sepanjang hari. Alhasil tidak benar jika ada pendapat yang mengatakan cara terbaik mengumpulkan karma baik adalah dengan berdana dan melaksanakan sila.

Di sisi lain, dengan berlatih satipatthana vipassana seseorang bisa memperoleh kesadaran secara konstan. Sehingga ia bisa menjaga dan mengawasi sikap tubuh, perasaan serta gerak-gerik pikirannya ketika sedang mendengar, melihat dan lain-lain. Bahkan, menjelang tidur di malam hari, seorang yogi bisa menjaga kesadarannya setiap saat sampai benar-benar terlelap.

Saat berlatih seorang yogi wajib mengawasi pikirannya setiap detik. Berarti pada waktu itu ia bisa mengumpulkan dhamma bermanfaat satu kali. Bila dijumlah ia bisa mengumpulkan 3600 dhamma bermanfaat dalam satu jam. Jika dikurangi 4 jam waktu tidur, ia bisa mengumpulkan 720.000 dhamma bermanfaat sehari. Kebajikan hadir kala mereka tengah berlatih setiap waktu, saat duduk, berjalan, berdiri, dan lain-lain. Ia tetap bisa mengumpulkan kebajikan bahkan saat buang air kecil. Jadi cara terbaik mengumpulkan kebajikan secara menyeluruh adalah dengan satipatthana.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #21 on: 15 September 2011, 05:50:39 PM »
Jenis-jenis Perbedaan Cara Pandang

Sakka sangat puas dengan pembabaran dhamma Sang Buddha. Sebelum mengunjungi Sang Buddha ia telah bertemu dengan banyak “orang bijak”. Waktu itu Sakka pun mengajukan pertanyaan kepada mereka tentang dhamma. Sakka mengetahui orang-orang bijak yang ditemuinya itu memiliki cara pandang yang berbeda-beda.

Saat ini ketika ia telah mencapai tingkat kesucian sotapanna ia tahu dhamma sesungguhnya yang membabarkan kesunyataan. Ia juga tahu sosok Buddha dan Sangha sejati. Saat ini ia telah terbebas dari segala keragu-raguan. Kenyataan ini tak diucapkannya kepada Sang Buddha. Tapi, pengertian yang dimilikinya terkandung dalam pertanyaan-pertanyaannya.

“Yang Mulia, apakah semua orang yang menyebut dirinya samana – brahmana memiliki pandangan yang sama? Apakah mereka memiliki kualitas moral yang sama? Apakah mereka punya keinginan dan tujuan hidup yang sama?”

Sakka tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya. Ia menanyakan hal ini sebagai pembuka atas pertanyaannya tentang perbedaan-perbedaan mereka.

Sang Buddha menjawab pertanyaan Sakka sebagai berikut, “O Sakka, di dunia ini orang-orang tak memiliki tingkah laku yang sama. Mereka mengungkapkan cara pandang yang salah. Tapi mereka tetap berpegang erat pada pandangan salah yang menyenangkan hatinya”.

“Mereka berkeras kepercayaannya saja yang benar sementara yang lainnya salah. Hal ini terjadi karena kefanatikannya atas ajaran salah yang berpegang pada konsep diri. Orang-orang yang menganggap dirinya suci ini memiliki cara pandang berbeda-beda. Mereka juga memiliki sistem moral, keinginan dan tujuan hidup yang berbeda-beda pula”, demikian Sang Buddha menjelaskan.

Karena berbeda dalam tingkah laku mereka berbeda pula dalam kebiasaan. Misalnya, mereka memilih cara berpakaian, warna, nyanyian, dan lain-lain, yang berbeda-beda. Disamping itu, mereka selalu berbicara tentang kepercayaan yang telah diterima sebagai dasar akan keterikatannya. Hal inilah yang menimbulkan banyak spekulasi di belakang hari. Kelompok-kelompok “orang suci” ini meyakini adanya jiwa yang kekal.

Mereka mengatakan jiwa, atta, adalah kekal. Jiwa tak mungkin musnah atau rusak seperti halnya tubuh. Inilah bentuk ajaran adanya kekekalan (sassata dithi). Kepercayaan ini memiliki banyak pengikut. Inti ajaran kelompok ini tak jauh berbeda dari agama-agama yang mengajarkan bahwa manusia diciptakan oleh tuhan. Lebih jauh, orang-orang yang disukai tuhan meraih penyelamatan dan tinggal di surga setelah meninggal. Sementara orang-orang yang tak disukai tuhan akan terjerumus di neraka selamanya.

Ada lagi kepercayaan yang menyebutkan tak ada kehidupan selanjutnya setelah seseorang meninggal dunia (uccheda ditthi). Bahwa tubuh dan jiwa ini akan hancur setelah kematian. Para penganut kedua ajaran ini meyakini ajaran merekalah yang benar dan yang lainnya salah. Sikap fanatik semacam inilah yang menyebabkan perbedaan dalam ajaran, nilai moral, aspirasi dan tujuan hidup.

Ajaran Sang Buddha dan Kepercayaan Adanya Kekekalan

Dalam Buddha Sasana disebutkan orang yang meninggal akan tumimbal lahir. Orang baru itu tercipta melalui kondisi yang dibentuk oleh karma lalunya. Ketika Sang Buddha membabarkan ajaran hal ini muncul pertentangan karena fakta di atas menjadi pukulan bagi ajaran tentang jiwa yang kekal.

Ajaran Sang Buddha memang jauh dari konsep atau ide tentang eksistensi “diri” atau “ego” yang tetap dan permanen. Sang Buddha menyebutkan, realitas atau kesunyataan sejati berupa proses muncul dan lenyapnya fenomena jasmani dan batin yang berkesinambungan. Ketika proses tumimbal lahir terjadi kesadaran berhenti. Kemudian muncul kekuatan bawah sadar (bhavanga citta). Kekuatan bawah sadar ini pun mengalami proses muncul dan lenyap.

Selama periode itu, bhavanga citta selalu berfluktuasi terus-menerus yang dilanjutkan dengan munculnya kesadaran baru. Kesadaran baru yang muncul tercermin dalam bentuk kemampuan melihat, mendengar, dan lain-lain. Cerminan kesadaran ini kemudian diikuti oleh adanya kesadaran mata, kesadaran telinga dan lain-lain. Ketika kesadaran ini sekali lagi berhenti prosesnya diambil alih oleh bawah sadar lagi.

Dengan cara itulah dua aliran kuat, bawah sadar dan kesadaran, bergelombang, mengalir, secara bergantian. Inilah hidup. Saat kematian bagian terakhir bawah sadar, cuti citta, berlalu. Padamnya cuti citta dikenal oleh umat awam dengan istilah meninggal dunia. Dengan padamnya cuti citta berarti berhentinya proses jasmani dan batin tanpa munculnya kesadaran.

Segera setelah cuti citta berlalu muncul proses kelahiran kembali kesadaran dan kondisinya yang dibentuk oleh karma lalu seseorang. Kelahiran kembali kesadaran ini menandai kemunculan suatu mahkluk baru.

Jadi kelahiran kembali tak ada hubungannya dengan hadirnya “ego” atau perjalanan batin-jasmani yang tetap dari hidup sebelumnya. Dengan berhentinya kesadaran yang baru ini, muncul gelombang bawah sadar, dan lain-lain sebagaimana terjadi dalam kehidupan sebelumnya. “Orang” atau “manusia” adalah nama lain dari adanya bentukan batin – jasmani. Ini bukan berarti ada “ego” di dalamnya. Fakta ini bisa dibuktikan oleh orang yang berlatih vipassana.

Jadi ajaran Sang Buddha jauh dari kepercayaan sassata dithi. Karena beliau mengatakan kerinduanlah yang memicu kelahiran kembali. Ketika seorang yogi meraih kearahatan ia terbebas dari kerinduan, kemelekatan dan kekotoran batin. Saat kematiannya seorang arahat tak diserang oleh berbagai jenis objek. Ia tak dilekati proses kemunculan batin dan jasmani yang baru.

Dhamma Sang Buddha juga tak mempercayai ajaran kehancuran total setelah kematian (uccheda ditthi). Bagi pandangan terakhir ini kehancuran mensyaratkan adanya “ego” atau “diri” pada mahluk hidup. Ego adalah subjek dari pengalaman, baik atau buruk. Sementara yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah apa yang dinamakan “orang’ hanya terdiri dari proses batin dan jasmani. Saat seseorang meninggal bukan ego yang lenyap tapi jasmani dan batin yang mengalami penghentian. Kelenyapan ini bisa diamati melalui praktek vipassana.

Theravada dan Mahayana

Ada empat jenis aliran kepercayaan yang diyakini manusia. Kepercayaan yang berbeda-beda itu mengacu pada perbedaan temperamen para pengikutnya. Ini pulalah yang menyebabkan timbulnya perbedaan cara pandang dari pengikut ajaran yang sama.

Dalam Agama Buddha terdapat dua aliran besar yakni Theravada dan Mahayana. Perbedaan keduanya telah berlangsung selama 2000 tahun. Perbedaan ini menyebabkan adanya perbedaan cara pandang dari ajaran yang dibabarkan Sang Buddha.

Dasar pandangan aliran Mahayana adalah semua mahluk hidup memperoleh kebebasan mutlak dan bisa keluar dari lingkaran samsara setelah meraih tingkat kebuddhaan. Seorang arahat atau paccekabuddha belum meraih kebebasan mutlak. Setelah menjadi Buddha kaum Mahayana tak langsung memasuki nibbana. Ia akan menikmati kedamaian nibbana bersama-sama dengan mahkluk hidup lain. Yakni setelah semua mahkluk hidup lain telah menjadi Buddha pula.

Cara pandang ini secara tak langsung menyangkal ajaran tentang adanya “ego”. Tapi pandangan ini pun sulit untuk dipertahankan. Jika parinibbana para Buddha menunggu pencapaian kebuddhaan semua mahkluk hidup dimana dan bagaimana mereka hidup selama itu? Itu tentu bukan waktu yang pendek.

Serangga dan mahkluk-mahkluk dunia bawah tak terhitung jumlahnya. Bila mengacu pada teori ini para Buddha itu akan menunggu pencerahan mereka dengan menderita usia tua, sakit dan kematian. Meski demikian aliran Mahayana ini memiliki banyak pengikut. Karena ajaran ini cocok dengan tabiat atau karakter para pengikutnya.

Cara pandang itu berbeda dengan Theravada. Dimana dasar dhamma Theravada berasal dari ajaran Sang Buddha yang termuat dalam Tipitaka Pali. Menurut cara pandang Theravada, para murid sejati, savaka, adalah mereka yang telah berhasil meraih tingkat terakhir dari kesucian. Setelah meraih kebebasan mutlak para arahat ini selesai, padam, dari memiliki batin dan jasmani yang baru setelah mati. Disinilah akhir penderitaan mereka dalam lingkaran samsara. Mereka tak perlu menunggu setiap orang menjadi arahat ketika parinibbana tiba.

Ajaran Mahayana mengidentifikasikan nibbana-nya dengan kediaman sukhavati. Mereka menggambarkan kediaman ini sebagai surga. Mereka mengatakan Sang Buddha dan semua mahluk hidup akhirnya tinggal di sana. Semua mahluk ini hidup berbahagia selamanya serta terbebas dari usia tua, sakit dan kematian.

Esensi surga sukhavati ternyata tak berbeda dengan surga dari agama lain yang mewah dan megah. Agama-agama ini meyakini jiwa-jiwa yang ada di sini hidup kekal selamanya. Bila belakangan muncul sekte-sekte baru di dalam Mahayana, kemunculan ini ada seiring dengan kebutuhan para pengikutnya.

Kitab komentar menulis Theravada terpecah menjadi delapan aliran. Di Burma saat ini ada perbedaan cara pandang dari ajaran Sang Buddha. Meski demikian ajaran Sang Buddha bisa disarikan kedalam tiga materi utama yakni sila, samadhi dan panna. Dimana ketiganya berasal dari dua ajaran pokok yakni empat kesunyataan mulia dan delapan jalan utama.

Kembali ke aliran Theravada. Beberapa umat dalam lingkungan Theravada menganggap praktek vipassana tak diperlukan. Rupanya orang-orang ini ingin mencari cara termudah untuk menyelamatkan “diri”. Sementara yang lainnya meremehkan praktek sila. Menurut mereka sila tak ada hubungannya dengan tujuan tertinggi dari ajaran agama Buddha.

Pandangan terakhir ini adalah pandangan yang ditularkan oleh mereka yang tak perduli dengan moralitas. Bila berkeras dengan pandangan ini berarti mereka tak mengakui apa yang tertulis dalam Sakka Panha dan sutta-sutta lainnya.

Kepada seorang pertapa penggembara bernama Subbada Sang Buddha menceritakan adanya sekte-sekte lain di luar ajaran Beliau yang menganggap ajaran merekalah yang paling benar. Bahwa ajaran merekalah yang akan membuat seseorang bisa menghapus kekotoran batin.

Dalam intisari Mahaparinibbana Sutta tertulis, ajaran apapun yang tidak mengandung empat kesunyataan mulia dan delapan jalan utama tak akan mengantarkan seseorang ke tingkat-tingkat kesucian. Delapan jalan utama hanya ditemukan di dalam Buddha Dhamma. Itu artinya hanya dhamma Sang Buddha sajalah yang bisa mengantarkan seseorang menjadi sotapanna dan tingkat kesucian lainnya. Melalui cara ini seseorang bisa melihat apakah sebuah ajaran berhubungan dengan dhamma Sang Buddha atau tidak. Meski begitu kenyataan sehari-hari berkata sebaliknya. Sebagian besar orang menganut suatu ajaran (baca: agama) karena sesuai dengan kehendak hatinya.

Cita-cita setiap orang berbeda. Beberapa umat ingin menikmati hidup sebagai manusia. Bila mereka tumimbal lahir bisa muncul sebagai dewa atau mahluk lain. Beberapa yang lain punya keinginan bisa lahir di alam-alam tanpa kenikmatan indra seperti alam brahma. Sementara sebagian lain mempercayai adanya takdir tertentu misalnya mereka akan terlahir lagi di surga atau musnah selamanya. Sedang golongan lainnya ingin terlahir di dunia non konsep bernama asanna. Dimana tempat terakhir ini diyakini sebagai tempat tak berbentuk, arupa, yang bebas dari semua derita.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #22 on: 15 September 2011, 05:50:59 PM »
Sementara itu sebagian umat Buddha berharap dengan melaksanakan sila, sebagaimana yang dipraktekkan para ariya, mereka bisa memiliki moralitas seperti para ariya. Beberapa dari mereka malah merindukan pembaruan dari jasmani dan batinnya.

Semua orang di atas tak memiliki gambaran bahwa proses pembentukan jasmani dan batin bisa dihentikan. Juga, penderitaan bisa diakhiri. Bagi orang-orang bijaksana yang menyadari keburukan samsara, siklus kehidupan, akan mencari cara untuk memadamkan proses tumimbal lahir.

Sekali lagi adanya tujuan hidup yang beraneka ragam ini bergantung pada perbedaan watak para pemujanya. Faktanya, tujuan tertinggi dari hidup adalah nibbana para arahat. Nibbana berarti penghentian mutlak proses jasmani dan batin. Dimana hal ini akan terjadi setelah seseorang mampu membersihkan kekotoran batinnya secara total.

Tujuan Tertinggi

Sakka sangat senang dengan jawaban-jawaban Sang Buddha. Kemudian Sakka mengajukan pertanyaan lain, “Yang mulia, apakah orang-orang yang sering disebut samana – brahmana benar-benar telah meraih tujuan tertinggi?”

“Apakah ada akhir yang benar-benar nyata untuk yoga mereka? Apakah mereka hidup secara bersih dan suci? Apakah mereka meyakini dhamma sejati?”

Apa yang disebut dengan tujuan terakhir dan tertinggi dari yoga, iccantayogakekhami, dan dhamma sejati, iccantapariyosana, merujuk pada nibbana. Kehidupan suci yang dimaksud adalah jalan para ariya dan praktek vipassana. Dengan kata lain, dengan mengajukan keempat pertanyaan di atas Sakka sebenarnya bertanya kepada Sang Buddha apakah para pertapa dan brahmana mempraktekkan vipassana dan delapan jalan utama? Serta, apakah mereka telah meraih nibbana?

Sang Buddha menjawab pertanyaan Sakka dengan kalimat lain berikut ini. Menurut Sang Buddha, hanya para bhikkhu dan orang-orang yang telah terbebas melalui praktek empat kesunyataan mulia yang mampu memadamkan kerinduan dan kemelekatan. Mereka berhasil meraih tujuan tertinggi dan mengakhiri yoganya. Mereka inilah orang-orang yang hidup dengan kehidupan suci dan mengenal dhamma sejati.

Para bhikkhu yang dimaksud Sang Buddha di sini terdiri dari para Buddha, Paccekabuddha dan Arahat. Singkatnya mereka semua arahat. Para arahat telah menyempurnakan yoganya (asava: bias, prasangka, purbasangka, konsep “aku”) yang menyebabkan kelahiran kembali. Arahat adalah orang yang telah mencabut akar-akar yoga. Mereka telah meraih tujuan terakhir dan dhamma tertinggi.

Bagi seseorang yang belum membebaskan diri dari yoganya atau prasangka-prasangkanya masih jauh dari nibbana. Akibatnya ia masih menjadi subjek dari tumimbal lahir dan penderitaan.

Suatu kali Sang Buddha pergi ke hadapan Brahma Baka. Brahma ini bertanya apa yang dimaksud surga yang kekal? Sang Buddha mengatakan kepadanya untuk tak menyimpan khayalan tentang kekekalan dan tak memiliki kerinduan tentang bentuk kehidupan apapun.

Sang Buddha berkata, “Setelah melihat sisi buruk dari semua jenis kehidupan, apakah itu kehidupan di alam manusia, dewa, brahma atau jutaan kehidupan kelas bawah, saya tak mengidamkan jenis kehidupan apapun tapi mencelanya”.

Setiap jenis kehidupan adalah subjek penderitaan. Penderitaan yang amat ekstrim dialami mahluk-mahluk dunia bawah (alam binatang, peta, dan lain-lain). Sementara kehidupan manusia mempunyai sisi buruknya karena pasti mengalami usia tua, sakit dan kematian.

Para dewa menderita karena hasrat-hasrat indrawinya yang tak terpuaskan. Hal ini bisa menimbulkan rasa frustrasi. Penderitaan dirasakan pula oleh para brahma. Brahma adalah pelayan dari pikiran. Karena, mereka selalu dipenuhi rencana yang sering berubah-ubah tiada akhir.

“Saya telah melihat sisi buruk setiap bentuk kehidupan. Saya pun telah melihat kehidupan dari pihak-pihak yang tak menginginkannya serta orang-orang yang mencari pemadamannya. Melihat hal ini saya mencela setiap bentuk kehidupan”, demikian Sang Buddha menjelaskan.

Beberapa orang bijak mulai bertapa dan mencari jalan pembebasan setelah melihat sisi buruk setiap kehidupan. Tapi, mereka tak tahu jalan pembebasan akhir. Mereka pun tak tahu adanya delapan jalan utama yang akan membawa ke kebebasan.

Para pertapa ini hanya mengerti tentang jhana, tingkat-tingkat konsentrasi, yang bisa membuat pikiran tenang dan terpusat. Beberapa dari mereka meraih rupa jhana dan percaya bahwa mereka akan memperoleh hidup kekal di alam kehidupan rupavacarabrahma, salah satu tujuan dari jhana. Bagi pertapa lain kehidupan kekal bisa ditemui di alam asanna. Asanna dianggapnya sebagai kediaman tanpa persepsi dari alam rupavacara. Sementara bagi yang lain hal ini bisa dinikmati hanya di alam arupavacara.

Berseberangan dengan harapan ini, para yogi yang telah berhasil meraih jhana tidak hidup kekal di alam brahma. Setelah meninggal dari alam ini mereka akan turun ke alam panca indra sebagai dewa atau manusia. Di tempat terakhir ini mereka akan meninggal dan terlahir lagi sebagai mahluk baru sesuai dengan karmanya. Sebagai akibat dari karma buruknya, bisa jadi mereka menemukan dirinya terlahir lagi di alam-alam tingkat rendah.

Orang-orang ini tak memperoleh cara memadamkan lingkaran kehidupan meski telah mencarinya dengan banyak cara. Mereka terus terikat pada penderitaan. Karenanya Sang Buddha mencela setiap jenis kehidupan.

Kehidupan baru mengacu pada keterikatan terhadap hidup itu sendiri. Keterikatan ini (tanha) sama dengan kamayoga (prasangka indra) dan prasangka pada kehidupan. Sang Buddha telah berhasil mencabut keterikatan ini.

Menurut kitab komentar, ada 14 pertanyaan yang diajukan Sakka. Tertulis di sana Sakka sangat puas dengan jawaban-jawaban Sang Buddha.

Setelah memberi hormat sekali lagi Sakka menyatakan pandangannya tentang Tanha yang tersurat pada pertanyaan berikut:
“Yang Mulia, tanha yang aktif adalah suatu penyakit. Ia seperti anak panah atau sebuah bisul di dalam daging. Ia merusak mahluk hidup hingga mereka harus hidup dalam penderitaan”.
“Tanha bersifat aktif. Sifatnya suka merindukan ini dan itu. Ia terikat pada dirinya sendiri, pada objek menyenangkan dan keinginan menikmatinya dalam waktu lama”.
“Seperti sehelai daun tertiup angin. Daun itu tak pernah beristirahat. Ia terbang kemana-mana. Ia selalu sibuk, lapar dan rakus. Tanha adalah penyakit kronis yang tak bisa disembuhkan. Tapi tak terlalu akut untuk bisa menyebabkan kematian secara tiba-tiba. Tanha membuat seseorang takluk ketika ia terpuaskan. Tapi tanha sendiri tak pernah merasa puas seberapa banyak pun ia diberi makan dengan obyek-obyek indra yang disukainya. Tanha rindu obyek indra yang disukainya dan ingin menikmatinya lagi dan lagi”.
“Tanha begitu menakutkan dan menjijikkan. Ia seperti sepotong duri dalam daging. Sepotong duri dalam daging tersembunyi rapi sehingga kita tak bisa melihat keberadaannya. Kita sulit melepaskannya sehingga tetap menimbulkan rasa sakit”.
“Begitu pula sangat sulit menyingkirkan tanha yang selalu menganggu kita. Kita mencemaskan obyek-obyek yang diingini sehingga tak dapat tidur siang dan malam. Karena keterikatan pada hidup kita terus-menerus berputar-putar dari satu jenis kehidupan ke kehidupan yang lain bergantung pada karma-karma kita”.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #23 on: 15 September 2011, 05:51:47 PM »
Setelah mengemukakan komentar di atas kini Sakka terbebas dari semua keragu-raguan. Sebagai akibat tersingkirnya keragu-raguan ini Sakka berhasil meraih tingkat kesucian pertama. Dengan ini ia terjamin tak akan terlahir kembali di alam-alam tingkat rendah setelah kematiannya. Nantinya, ia akan terlahir kembali dalam alam kehidupan yang baik. Dari tempat itu ia bisa meraih tingkat kesucian yang lebih tinggi sampai memperoleh kebebasan akhir.

Praktek-praktek Moral untuk Terlahir sebagai Sakka

Kitab komentar menulis tujuh tugas yang harus dilakukan seseorang bila ingin terlahir sebagai Sakka. Dalam Sagatha Vagga Samyutta hal ini tertulis sebagai berikut:

1. Ia mendukung dan menjaga kedua orang tuanya seumur hidup.
2. Selalu menghormati orang yang lebih tua khususnya di lingkungan sanak familinya.
3. Selalu berbicara lembut dan baik tutur katanya.
4. Tak pernah berbicara buruk yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain.
5. Ia mengatur dan menjaga rumah tangganya dengan pikiran bebas dari noda penderitaan.
6. Selalu berbicara jujur.
7. Tak pernah marah. Bila muncul kemarahan akan ia singkirkan pada saat itu juga.

Dalam kehidupannya yang lampau Sakka adalah seorang pemuda bernama Magha dari desa Macala – kerajaan Magadha. Pemuda Magha hidup jauh sebelum munculnya ajaran Sang Buddha.

Magha adalah pemimpin 33 pemuda. Kelompok pemuda ini suka memperbaiki jalan dan jembatan. Mereka pun membangun rumah-rumah peristirahatan dan melakukan perbuatan baik lainnya untuk kesejahteraan masyarakat desanya.

Kepala kampung tempat Magha tinggal membenci para pemuda itu. Ia terkenal korup. Sebelumnya, Ia selalu memperoleh uang dari pajak minum-minuman keras yang diperoleh dari orang-orang yang telah melakukan pelanggaran hukum. Setelah mereka berhenti mabuk dan melanggar hukum berhenti pula penghasilan haram si kepala kampung. Setelah berhenti berbuat onar bekas pelanggar hukum yang umumnya berusia muda ini mengikuti keteladanan Magha dan bernaung dibawah lindungannya.

Karena dendam si kepala desa pergi menghadap raja. Di istana ia membuat tuduhan palsu pada Magha dan kelompoknya. Tanpa menyelidiki raja memerintahkan para pengawalnya menangkap kelompok pemuda tersebut. Mereka akan diberi hukuman mati dengan diinjak oleh gajah.

Kepada kawan-kawannya Magha berkata, “Ketidakberuntungan bisa menimpa mahluk-mahluk dalam lingkaran samsara. Itu hal alami. Hal yang sulit dilakukan oleh seseorang justru berkata jujur. Jadi camkan kata-kata ini dalam hati. Jika kalian adalah sekumpulan pencuri atau perampok biarlah gajah menginjak kita. Jika bukan, biarlah gajah menjauh dari kita”.

Teman-teman Magha berbuat seperti petunjuk pemimpinnya. Tak lama seekor gajah menghampiri mereka. Alih-alih mendekat ke kelompok pemuda itu, si gajah justru berlari ketakutan dengan mengeluarkan suara ribut.

Karena kejadian aneh ini Magha dibawa menghadap raja. Menjawab pertanyaan Raja tentang peristiwa itu, Magha berkata bahwa kekuatan kebenaran, sacca, yang mereka himpun telah menahan serangan gajah. Ia juga bercerita kepada Raja apa saja yang telah mereka kerjakan. Secara jujur Magha menuturkan bagaimana keserakahan telah menguasai kepala desa. Sehingga ia tega memberi laporan palsu yang telah merugikan para pemuda tersebut.

Mendengar ini Raja membebaskan para pemuda. Ia juga memerintahkan pengawal untuk memberi mereka hadiah dan kepemilikan atas desa Macala. Para pemuda kian menghargai diri mereka. Mereka semakin tekun dan rajin membantu masyarakat. Setelah meninggal, Magha menjadi Sakka. Dan 33 pemuda lainnya menjadi dewa di wilayah kekuasaannya.

Itulah garis besar kebajikan Magha yang membawanya terlahir kembali sebagai Sakka. Inilah satu hal baik yang harus kita tiru dari cerita pemuda Magha. Meski perbuatan baik yang telah mereka lakukan terjadi jauh sebelum masa Sang Buddha.

Barangkali mereka pernah mendengar cerita bahwa perbuatan baik menghasilkan buah yang baik. Ajaran sederhana itu telah mengilhami Magha untuk melakukan hal-hal baik. Ia tak berharap bisa meraih tingkat-tingkat kesucian atau nibbana dengan melakukan hal itu. Meski begitu, karena perbuatan baiknya ia terlahir kembali sebagai raja para dewa. Kelak setelah mendengar pembabaran dhamma dari Sang Buddha ia berhasil meraih tingkat kesucian pertama.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #24 on: 15 September 2011, 05:53:24 PM »
Kebahagiaan Sakka

Setelah Sakka meraih tingkat kesucian pertama kebahagiaan terpancar dari dirinya. Sang Buddha bertanya apakah ia pernah memiliki jenis kebahagiaan semacam itu sebelumnya?

Sakka menjawab demikian, “Yang mulia, sekali waktu saya pernah memiliki jenis kebahagiaan tertentu. Itu terjadi ketika saya keluar sebagai pemenang dalam pertarungan dengan mahluk-mahluk asura. Tapi, kemenangan itu berkaitan dengan senjata. Hal itu tak ada hubungan sama sekali dengan pelenyapan kekotoran batin. Kemenangan itu tidak membawa tumbuhnya pengetahuan pandangan terang yang khusus atau nibbana. Sementara, kebahagiaan setelah meraih tingkat sotapanna tak berhubungan dengan senjata apapun. Kebahagiaan ini dipenuhi keyakinan tanpa ada sedikit pun terselip perasaan kecewa. Keadaan ini mengarah pada pandangan terang dan kebebasan akhir”.

Kebahagiaan Sakka diliputi keyakinan dan enam keberuntungan yang muncul di dalam diri, yaitu :

1. Hal pertama yang membuatnya sangat gembira karena ia telah meraih tingkat kesucian sotapanna. Dimana ia telah terlahir kembali sebagai Sakka yang baru. Perhatikan kenyataan ini, karena perbuatan baiknya di masa lalu pemuda Magha terlahir kembali di alam dewa sebagai raja para dewa. Di tempat ini ia memiliki rentang hidup yang panjang. Masa hidup Sakka 35 juta tahun manusia. Ketika mengetahui kematiannya sudah dekat ia mengunjungi Sang Buddha untuk mendengarkan dhamma. Saat mendengarkan pembabaran dhamma Sakka memperoleh keseimbangan batin positif. Ia terus melanjutkan perenungannya sehingga berhasil meraih tingkat kesucian pertama. Melihat kenyataan itu ia merasa berbahagia karena tak akan terlahir kembali di alam-alam rendah. Sementara, sebagai Sakka yang baru ia memiliki peluang hidup 36 juta tahun lagi.

2. Setelah kematiannya nanti ia akan terlahir kembali di sebuah keluarga manusia yang dipilihnya sendiri. Ini terjadi setelah ia menjalani kehidupan di alam dewa sebagai Sakka yang baru. Tertulis di banyak sutta panjang kehidupan manusia mengalami penurunan setahun dalam satu abad. Telah lewat 2500 tahun sejak Sang Buddha hidup. Sehingga bisa diasumsikan panjang kehidupan manusia telah menurun 25 tahun. Asumsi ini banyak mendapat pembuktian ilmiah kini. Dimana saat ini hanya sedikit saja manusia yang hidup sampai 75 tahun.
    Panjang hidup manusia akan menjadi rata-rata 10 tahun pada 6500 tahun lagi. Waktu itu bahan makanan yang lezat seperti madu, mentega, dan lain-lain sudah lenyap. Varietas beras unggul hanya jadi cerita masa lalu. Hanya padi berkualitas buruk saja yang dikonsumsi manusia saat itu.
    Banyak manusia melanggar sila. Perbuatan tak bermoral sering terjadi. Tak ada penghormatan bagi yang lebih tua. Pencurian, perzinahan dan pembunuhan menjadi hal biasa. Karenanya sulit bagi umat manusia membangun kualitas moralnya. Kehidupan moral umat manusia mengalami penurunan sampai ke tingkat sama dengan hewan.
    Orang-orang menjadi pembenci, suka menyerang dan membunuh. Keadaan ini terjadi pula di antara orang tua dan sanak saudara. Hubungan antar manusia ditandai dengan kesalahfahaman, percekcokkan, perselisihan juga pembunuhan. Selain itu akan muncul konflik bersenjata diikuti lenyapnya kelompok-kelompok masyarakat. Hal ini akan membawa kerusakan yang dahsyat. Bahkan di zaman modern ini ada negara tertentu yang membuat senjata pemusnah massal.
    Kerusakan dahsyat membuat lenyapnya ras manusia. Sebelum ini terjadi segelintir orang yang menolak membunuh dan melakukan perbuatan buruk lainnya telah menyingkir ke hutan. Mereka inilah yang selamat dari kepunahan.
    Merupakan hal sulit menjalani hidup bagi orang-orang yang mencoba bertahan ini. Sulit bagi mereka untuk bertemu satu sama lain. Mereka akan bertemu setelah menempuh perjalanan yang panjang, lama dan jauh. Akibatnya ketika bersua muncul perasaan saling menyayangi satu sama lain. Selain itu muncul keinginan untuk menjaga sesama, tak hendak menyakiti dan membunuh saudaranya. Kualitas-kualitas moral yang mulai tumbuh ini membuat usia manusia semakin panjang. Sekali lagi manusia mulai melakukan hal baik. Kelahiran kembali Sakka akan terjadi ketika kualitas hidup manusia telah mengalami banyak kemajuan. Karena ia hanya akan berhubungan dengan orang-orang baik.
    Sakka menuturkan bahwa ia akan terbentuk lagi di dalam kandungan ibunya tanpa mengalami kebingungan. Ini merupakan kondisi alamiah dari seorang sotapanna. Pada waktu itu ia akan tumimbal lagi sebagai dewa sotapanna. Para dewa umumnya memiliki pikiran yang jernih ketika akan meninggal dunia karena ketiadaan penderitaan fisik.
    Seorang manusia sotapanna juga akan meninggal dunia tanpa mengalami kebingungan. Ada kemungkinan ia akan mengalami beberapa jenis penderitaan fisik. Tapi, kesadarannya tetap jernih dan normal. Meski tak mampu berkata-kata ia akan meninggal tanpa dihinggapi kebingungan dan ketidakpastian akan menuju kemana. Ia akan terlahir kembali di keluarga berbudi luhur yang dipilihnya sendiri.

3. Sakka mengungkapkan rasa senangnya karena mengenal ajaran Sang Buddha. Sakka akan berusia 9000 tahun di abad 90. Pada waktu itu usia manusia hanya akan berkisar sepuluh tahun saja. Sebagian besar ras manusia sudah berkurang separuhnya karena lenyap melalui perang nuklir. Sementara Sakka akan hidup selama 35 juta tahun. Di akhir masa hidupnya sebagai dewa umur rata-rata manusia akan berkisar antara ratusan dan ribuan tahun.
    Membahas ke tahun 5000. Ajaran Sang Buddha sudah lenyap. Tak ada seorang pun mengingat Buddha Dhamma. Juga tak ada satu pun buku yang berisi ajaran Sang Buddha. Prasasti-prasasti Tipitaka kemungkinan masih ada di Burma. Tapi tak ada seorang pun mengerti artinya.
    Meski begitu Sakka kini adalah seorang sotapanna. Sebagai sotapanna ia tetap mengingat dhamma dengan baik. Bila terlahir kembali, ia akan tetap menjalankan lima sila, memahami aniccha, dukkha dan anatta dan mampu mengikis beberapa kekotoran batin lagi. Dengan kata lain, Sakka akan melanjutkan latihan-latihannya sebagai pengikut Sang Buddha.
    Di alam non materi mahluk sotapanna tak akan lupa mempraktekkan kesadaran. Ia mampu “melihat” proses-proses batin sehingga bisa meraih kearahatan. Mungkin saja mahluk sotapanna ini tinggal di alam Rupavacara brahma selama masa hidup Buddha akan datang. Tapi, sebagai pengikut Buddha terdahulu Ia akan mengenali dirinya sendiri. Keadaan ini terbukti pada masa hidup Sang Buddha Gotama.
    Sakka berkata sejak mengenal Buddha Dhamma seterusnya ia akan menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Ia akan terus berlatih menumbuhkan kesadaran dalam kehidupan Buddha mendatang sama seperti yang tengah dipraktekkannya kini. Sakka diliputi kegembiraan karena harapan hidupnya yang baik di kemudian hari.

4. Sakka berkata, “Yang Mulia, jika melalui praktek benar dari vipassana saya memperoleh sambodhi, saya akan terus bermeditasi lagi agar bisa meraih pandangan terang yang lebih tinggi. Sambodhi yang akan aku raih sebagai mahkluk manusia akan menandai akhir dari perwujudanku sebagai manusia”.
    Setelah meraih tingkat kesucian Anagami, Sakka akan melewati alam Sudhavasa. Nantinya Ia akan meraih kearahatan di alam Akanittha. Sebagai tambahan keterangan kitab komentar menulis kata Sambodhi mengacu pada pengetahuan batin yang diraih para sakadagami.
    Jadi Sakka akan berada pada tingkat Sakadagami ketika ia berada di bumi. Sebagai manusia Sakadagami ia akan mengalami usia tua, sakit dan kematian serta jenis-jenis penderitaan khas manusia. Inilah alasan keempat yang membuat Sakka sangat bergembira.

5. Sakka berkata setelah kematiannya di alam manusia sekali lagi ia akan terlahir sebagai dewa berpengaruh, Uttamo Devo. Dalam Kitab komentar tertulis, Sakka akan menjadi ketua para dewa di alam surga Tavatimsa. Kesimpulannya, bila Sakka melewatkan satu kehidupan di alam manusia maka masa hidup manusia sama dengan panjang hidup dewa-dewa Tavatimsa. Ini berarti ia akan hidup selama 36 juta tahun. Apakah usia manusia akan selama itu? Kesimpulan lain, Sakka yang sotapanna hidup tujuh kali lagi. Bila Sakka hidup sebagai manusia ia akan terlahir sebagai manusia anagami. Seorang manusia anagami menjadi subjek kelahiran kembali satu kali lagi. Di sisi lain bisa dikatakan, ada kemungkinan Sakka memiliki banyak kelahiran di alam manusia. Seluruh kelahiran Sakka sebagai manusia dianggap sebagai satu kelahiran tunggal Sakka. Meski demikian Sakka sangat gembira menyadari kemungkinan bisa meraih tingkat sakadagami sebagai mahluk manusia dan akan terlahir kembali sebagai raja para dewa.
   
6. Sakka berkata, “Akanitta dunia, begitulah disebut karena di sana para dewa memiliki kekuatan, kekuasaan, panjang usia, dan lain-lain. Mereka adalah dewa-dewa mulia. Saya akan memiliki kehidupan terakhir di alam luar biasa ini”.
    Akanitta adalah kehidupan tertinggi di alam Sudhavasa. Meski penghuninya tetap disebut dewa, faktanya mereka adalah para brahma. Dikatakan setiap brahma di sana memiliki banyak pembantu. Jadi Sakka akan meraih tingkat kesucian Sakadagami di bumi dan anagami di alam dewa. Setelah itu ia akan memasuki aviha. Aviha adalah kediaman paling rendah di alam dewa Sudhavasa. Setelah melewati beberapa alam di atasnya, Sakka akan menjadi arahat di alam anakittha.
    Menurut kitab komentar, Sakka akan berada di alam brahma selama 31.000 kalpa. Di tempat ini hanya ada dua brahma lain yakni Anathapindika Sang pedagang dan Visakha. Kualitas hidup ketiga Brahma ini tak ada bandingannya dibanding alam lain dalam lingkaran samsara. Jadi, sebab keenam yang membuat Sakka bahagia adalah adanya peluang baginya meraih kearahatan di alam anakittha.

Kemudian Sakka menyimpulkan seluruh kebahagiaannya dengan kalimat demikian, “Yang Mulia, hari ini saya memberi hormat kepadaMu. Engkaulah sebenar-benarnya Buddha. Engkaulah guru sejati yang bisa memberi petunjuk kepada dewa dan manusia untuk kesejahteraan mereka. Engkau tak ada bandingannya”.

Setelah itu Sakka memberi hormat tiga kali sambil menyebut, “Namo Tassa Bhagavatto Arahatto Samma Sambudhasa“. Arahatto berarti orang yang berjasa mulia. Samma Sambuddha berarti seseorang yang “tahu” empat kebenaran mulia secara langsung.

Inilah akhir uraian Sakka Panha Sutta. Sutta ini telah memberi pencerahan bagi banyak mahkluk sebagai mana yang terjadi pada Sakka dan para pengikutnya. Bagi siapa saja yang mempraktekkan ajaran pasti akan memperoleh pandangan terang.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline Mas Tidar

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.262
  • Reputasi: 82
  • Gender: Male
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #25 on: 15 September 2011, 07:36:20 PM »
beberapa kali baca Sakka Panha Sutta, kami selalu mencari ini:

...
Suatu kali di Burma ada seorang bhikkhu muda. Ia murid Sayadaw terkenal. Ia memutuskan meninggalkan Sangha untuk menikah dengan gadis pujaan hatinya. Murid Sayadaw lainnya mencela pasangan itu. Tapi Sang guru, Sayadaw tersebut hanya bereaksi demikian, “Tidak seharusnya kalian menyalahkan mereka”.

“Mereka terperangkap dalam kondisi ini karena belenggu kerinduan. Jadi yang harus kalian salahkan adalah kerinduannya,” lanjut Sayadaw tersebut. Betapa realistisnya ajaran ini.



 _/\_
Saccena me samo natthi, Esa me saccaparamiti

"One who sees the Dhamma sees me. One who sees me sees the Dhamma." Buddha

Offline lucky

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 230
  • Reputasi: -7
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #26 on: 16 September 2011, 11:04:48 AM »
beberapa kali baca Sakka Panha Sutta, kami selalu mencari ini:

...
Suatu kali di Burma ada seorang bhikkhu muda. Ia murid Sayadaw terkenal. Ia memutuskan meninggalkan Sangha untuk menikah dengan gadis pujaan hatinya. Murid Sayadaw lainnya mencela pasangan itu. Tapi Sang guru, Sayadaw tersebut hanya bereaksi demikian, “Tidak seharusnya kalian menyalahkan mereka”.

“Mereka terperangkap dalam kondisi ini karena belenggu kerinduan. Jadi yang harus kalian salahkan adalah kerinduannya,” lanjut Sayadaw tersebut. Betapa realistisnya ajaran ini.



 _/\_

Realistis sih realistis, tapi buat apa mengagumi wanginya buah mangga tapi kagak pernah dimakan sampe akhirnya buahnya busuk gak bisa dimakan

Offline Mas Tidar

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.262
  • Reputasi: 82
  • Gender: Male
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #27 on: 16 September 2011, 11:10:20 AM »
Anda ingin makan, langsung aja diproses...
Anda ingin dibiarkan busuk, tinggalkan saja

keputusannya hanya sebatas pada "keinginan" Anda saja
Saccena me samo natthi, Esa me saccaparamiti

"One who sees the Dhamma sees me. One who sees me sees the Dhamma." Buddha

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #28 on: 16 September 2011, 12:33:00 PM »
Realistis sih realistis, tapi buat apa mengagumi wanginya buah mangga tapi kagak pernah dimakan sampe akhirnya buahnya busuk gak bisa dimakan

Loh, kok masih main internet ?
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline lucky

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 230
  • Reputasi: -7
Re: Sakka Panha Sutta -- Komentar / Penjelasan dari Mahasi Sayadaw
« Reply #29 on: 16 September 2011, 01:49:48 PM »
Mang sambil main internet gak bisa latihan konsetrasi ?

Dan lagi saya internet untuk melibas pandangan sesat, makin banyak pandangan sesat yang dilibas, makin saya merasa kemampuan dan pencapaian Dhamma saya tinggi, semoga semuanya memahami teori Anatta, jangan sampai menganut pandangan roh dan atta atau atman yang sesat. Sebenarnya Anda bicara dengan siapa ? Atau saya bicara dengan siapa ? Tiada suatu pribadi, semua  hanya gabungan unsur kesadaran dan berbagai unsur materi dan unsur niyama. Ketahuilah bahwa kau itu tak berpribadi, jangan lagi kau pertahankan pendapat pribadimu, karena dengan demikian kau menganggap kau berpribadi dan Dhamma itu berpribadi.