//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Simbolis. ---- Sampai sejauh mana? ------  (Read 11437 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Mahadeva

  • Sebelumnya: raynoism
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 602
  • Reputasi: 10
  • Gender: Male
Re: Simbolis. ---- Sampai sejauh mana? ------
« Reply #30 on: 12 May 2011, 01:57:50 PM »
Majalah apa n siapa yang menjawab?

itu artikel dengan berbagai sumber referensi...dimuat di majalah harmoni edisi april...warna hijau...(majalah gratis)

iya saya juga baru denger kok.....

Offline kuswanto

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 399
  • Reputasi: 16
  • kematian bisa saja menghampiriku hari ini..
Re: Simbolis. ---- Sampai sejauh mana? ------
« Reply #31 on: 12 May 2011, 02:18:42 PM »
saya kemaren baca majalah, ada pertanyaan mengapa umat Buddha sujud di depan patung Buddha? jawabane karena Buddha adalah sosok paling agung dan sempurna sosoknya sehingga Beliau mempersilahkan para seniman membuat patung, supaya umat di masa mendatang bisa melihat fisik Beliau dalam bentuk patung, ada di sutra mana kisah ini?


tapi patung Buddha bagus kok...

Buddha ijinin orang laen bikin patung kek dirinya? wah ini agak aneh.. brarti byk yang ngk manfaatkan ijin tsb.. karena kl tidak salah rupang2 buddha gautama baru ada beberapa ratus tahun setelah parinibanna Buddha.. kl tidak salah abad 1 atau ke 2 masehi.

Spoiler: ShowHide
http://www.buddhanet.net/e-learning/dharmadata/fdd35.htm

Dharma Data: Buddha Statues
     

 
     

No representations of the Buddha were made for about four or five centuries. It is sometimes said that prior to this time it was 'forbidden' to make statues or pictures of the Buddha, but this is unlikely and there is no evidence of such a prohibition. A more likely explanation is that until then symbols of the Buddha (stupas, footprints, an empty throne etc.) and written descriptions of him were deemed sufficient. Whatever the reasons, the first Buddha statues were produced in about the 1st or 2nd century AD in Bactria (Afghanistan and northern Pakistan) perhaps as a result of Greek influence, and in Mathura. There is no standard way of representing the Buddha which may differ according to the artistic inspiration, the tastes or the iconographical canons of the different cultures in which they are produced. Some features however are common to most statues. The Buddha is depicted in one of several postures- standing, sitting in meditation or lying down. Statues sitting in the so - called 'Western fashion' are usually not of the Buddha but of Maitreya. Statues lying down are not of the Buddha sleeping, as is commonly supposed, but of him dying. The hands of the Buddha statues are shown in different gestures (mudra), each indicative of important things the Buddha did and which we should do also.

The hands nestled in the lap suggest meditation, held in front of the chest suggest teaching the Dhamma, one hand held up with the palm facing outwards suggests the giving of confidence or fearlessness. The ear lobes of the Buddha statues are nearly always shown elongated, this is indicative of renunciation in that while a layman, the Buddha wore large ear plugs which he stopped wearing when he became a monk, but which left his ear lobes stretched.

It is often said that Buddhists worship statues, in the sense that they believe that Buddha statues actually are the Buddha or that they have some inherent power. But such ideas are quite incorrect. Buddhists do not 'worship' Buddha statues any more than Christians worship the cross or Muslims the Kabba, which they face when they pray. Like the cross etc. the Buddha statue is seen as a symbol that can be seen as helpful in creating devotion, uplifting the mind and focusing attention.

D.L. Snellgrove, The Image of the Buddha. UNESCO/ Kadansha, 1978.
B. Rowland, The Evolution of the Buddha Image (np) 1963.
 
        
   Copyright © 1996-2011, © BDEA/BuddhaNet. All Rights Reserved.       



yang saya tahu, Buddha tidak menganjurkan pembuatan patung, rupang dll sebagainya, dengan tujuan hal tsb malah membuat umat menjadi memuja patung tsb bukan menjadikan apa yang di ajarkan Buddha (Dhamma) sebagai hal yang paling penting dalam kemunculan sammasambuddha..

Offline Mahadeva

  • Sebelumnya: raynoism
  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 602
  • Reputasi: 10
  • Gender: Male
Re: Simbolis. ---- Sampai sejauh mana? ------
« Reply #32 on: 12 May 2011, 02:31:31 PM »
hmm...iya sih..saya juga baru denger....iya paling baik tu dana, sila dan samadhi.....

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Simbolis. ---- Sampai sejauh mana? ------
« Reply #33 on: 13 May 2011, 11:21:52 PM »
hmm, sy kasih info dikit deh...menurut yg saya dengar dari beberapa suhu orang pintar yg memang jago...

patung misalkan dewa kalau di sentuh itu sebaiknya hati hati....why?
misalkan kalau kamma buruk atau orang sebut bintang nya lagi gelap...itu bisa jatuh sakit.

misalkan patung dewa yg di puja di klenteng tertentu.....
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline wang ai lie

  • Sebelumnya: anggia.gunawan
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.204
  • Reputasi: 72
  • Gender: Male
  • Terpujilah Sang Bhagava,Guru para Dewa dan Manusia
Re: Simbolis. ---- Sampai sejauh mana? ------
« Reply #34 on: 13 May 2011, 11:36:10 PM »
hmm, sy kasih info dikit deh...menurut yg saya dengar dari beberapa suhu orang pintar yg memang jago...

patung misalkan dewa kalau di sentuh itu sebaiknya hati hati....why?
misalkan kalau kamma buruk atau orang sebut bintang nya lagi gelap...itu bisa jatuh sakit.

misalkan patung dewa yg di puja di klenteng tertentu.....
IMO, sugesti aja atau tahayul
Namo Mahakarunikaya Avalokitesvaraya, Semoga dengan cepat saya mengetahui semua ajaran Dharma,berada dalam perahu Prajna,mencapai Sila, Samadhi, dan Prajna,berada dalam kediaman tanpa perbuatan,bersatu dengan Tubuh Agung Dharma

Offline kuswanto

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 399
  • Reputasi: 16
  • kematian bisa saja menghampiriku hari ini..
Re: Simbolis. ---- Sampai sejauh mana? ------
« Reply #35 on: 14 May 2011, 10:42:13 AM »
hmm, sy kasih info dikit deh...menurut yg saya dengar dari beberapa suhu orang pintar yg memang jago...

patung misalkan dewa kalau di sentuh itu sebaiknya hati hati....why?
misalkan kalau kamma buruk atau orang sebut bintang nya lagi gelap...itu bisa jatuh sakit.


misalkan patung dewa yg di puja di klenteng tertentu.....

anggep aja kek gini.. kl mau nyentuh preman2 di pasar hati2.. why?
kl kamma buruk berbuah bisa2 di kasi bogem mentah ama preman pasar tersebut.. dan itu bisa masuk rumah sakit beneran..

untuk kasus patung2 dewa, ya anggep saja memang patung2 tersebut katakanlah benar2 ada makhluk2 dr alam lain yg menghuninya.
sehingga ketika kita sentuh2 patung itu, dia gak seneng ya memakai kekuatan goibnya kita di kerjai,,

nah apa bedanya preman pasar dan mahkluk di patung tsb? gak ada yg mistis di sini.. yg menariknya adalah mungkin saja kamma baik kita sedang berbuah., kita sentuh2 patung atau preman tsb eh malah dianya seneng.. (yg preman mungkin sudah di elus2 =)) , yg patung mungkin kasi kita mimpi kode togel.. huff..

point penting yang mau saya garis bawahi ya itu, tentang kamma baik atau buruk yang berbuah.. datang dari mana? ya dari diri sendiri..

IMO, sugesti aja atau tahayul

sgt setuju dgn pendapat bro wang.. kebiasaan manusia ya seperti itu, dikit2 dianggap mistis,
mistis tidak  nya suatu hal bagi manusia adalah faktor kebiasaan saja,, itu saja.. kl uda terbiasa gak dianggap aneh lagi..

Spoiler: ShowHide
buat anak kecil pertama kali lihat korek api menyala adalah hal luar biasa, setelah besar hal itu dianggap tidak menarik lagi..
padahal kl dipikir2 bukan kah itu hal menakjubkan? dari tidak ada wujud menjadi tiba2 ada wujud.. terbiasa atau tidak saja pada akhirnya

Offline PIKOCHAN RAPTOR

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 261
  • Reputasi: -2
  • Gender: Male
  • SSBS
Re: Simbolis. ---- Sampai sejauh mana? ------
« Reply #36 on: 14 May 2011, 05:42:41 PM »
Kalo mis sy elus-elus Premannya, trus Dia maw kasi kiss gimana solusinnya?  :-*

Kalo mis sy elus-elus Patungnnya, trus Patungnnya jadi idup gimana solusinnya?   :)

 _/\_ SSBS
« Last Edit: 14 May 2011, 05:46:48 PM by PIKOCHAN RAPTOR »
 [at]  Perjalanan seribu mil diawali dengan sebuah langkah.
 [at]  Sebuah batu permata tak bisa dipoles tanpa gesekan, seperti halnnya seorang manusia disempurnakaan dengan cobaan hidup.

Offline icykalimu

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 121
  • Reputasi: 4
  • Gender: Male
  • from zero to hero
Re: Simbolis. ---- Sampai sejauh mana? ------
« Reply #37 on: 28 June 2011, 01:18:04 PM »
Kalo mis sy elus-elus Premannya, trus Dia maw kasi kiss gimana solusinnya?  :-*

Kalo mis sy elus-elus Patungnnya, trus Patungnnya jadi idup gimana solusinnya?   :)

 _/\_ SSBS

ya premannya dikiss saja biar gak dihajar. =))
kalau patung dielus2 gak mungkin jadi hidup. kecuali org yg nyamar jadi mannequin.
...

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Simbolis. ---- Sampai sejauh mana? ------
« Reply #38 on: 28 June 2011, 10:28:17 PM »
saya kemaren baca majalah, ada pertanyaan mengapa umat Buddha sujud di depan patung Buddha? jawabane karena Buddha adalah sosok paling agung dan sempurna sosoknya sehingga Beliau mempersilahkan para seniman membuat patung, supaya umat di masa mendatang bisa melihat fisik Beliau dalam bentuk patung, ada di sutra mana kisah ini?


tapi patung Buddha bagus kok...

Mungkin yg ini sumbernya:

Quote
Ada beberapa cerita di negara-negara Buddhis -- yang mengisahkan bagaimana asal mula dibuatnya Patung Sang Buddha. Cerita tradisi versi Sri Lanka dapat dijumpai dalam bahasa Sinhala, yaitu pada naskah Kosalabimba varnanava, yang diambil dari naskah berbahasa Pali dengan judul yang sama. Kisah versi ini, menceritakan apa sebabnya sampai Raja Prasenjit dari Kosala membuat patung Sang Buddha dari kayu cendana yang semerbak harumnya.

Di Museum Nasional Kolombo, banyak terdapat manuskrip kuno tentang Kosalabimba varnanava, tertulis juga dalam bahasa Sinhala atau Pali. Dokumen dalam bahasa Sinhala telah diterbitkan oleh M.S Karunatilaka tahun 1939 pada Vidyakalpa Press, Kegalle. Singkat ceritanya adalah sebagai berikut :

"Ketika Sang Buddha tinggal di Savatti, suatu saat ketika Beliau sedang pergi, Raja Kosala datang berkunjung dan tidak dapat berjumpa dengan Sang Buddha. Raja Kosala amat kecewa. Lalu, di lain kesempatan ia mengundang-Nya, sang raja memohon ijin, agar sebagai pengikut yang setia, ia dapat membuat patung Sang Buddha untuk menggantikan -- bila Beliau tidak ada. Sang Buddha menyetujui dan menyatakan, bahwa patung-Nya dapat dibuat dari kayu, tanah liat, logam, perak, emas, tembaga atau batu. Setelah itu raja kembali, dari mulai mengukir-Nya pada sekeping kayu cendana merah -- persis seperti Sang Guru -- dan menempatkannya pada sebuah ruangan yang khusus dibangun untuk menempatkan patung itu."

Sang Buddha, menurut cerita itu, datang melihat patung diri-Nya dan memberikan restu. Para bhikkhu yang menyertai Sang Buddha ke istana saat itu, dengan segera memberikan penghormatan kepada Buddharupam (Baca : Buddharupang, 'Patung Sang Buddha' -- red) dengan bunga-bunga segar di tangannya. Sang Buddha lalu memberikan khotbah tentang manfaat melakukan penghormatan dan menerbitkan Kitab Suci.


Hsuan Tsang (Tong Sam Chong -- red), yang mengunjungi India pada abad ke-7, melihat patung Sang Buddha di sebuah istana kuno di Kosambi, dan menghubungkannya dengan tradisi yang berlaku semasa zaman Sang Buddha. Kisah yang sama, juga diceritakan oleh Fa Hien pada abad ke-5 -- memberikan pujian kepada Raja Prasenajit dari Kosala yang pertama kali membuat patung sang Buddha. Tulisan Hsuan Tsang diterjemahkan oleh S. Beal dari Hsi-vu-chi (Buddhist Records of Western World). Sangat menarik untuk memetik bagian yang relevan dari buku ini :

"Di kota Kosambi, di sebuah istana kuno, terdapatlah sebuah vihara yang sangat besar dengan tinggi kira-kira enam puluh kaki; disana ada patung Sang Buddha yang dipahat dari sekeping kayu cendana, yang diletakkan pada sebuah batu. Itu adalah karya Raja U-to-yen-a (Udayana) .... banyak pangeran dari berbagai negeri berusaha membawa patung itu, tetapi sekalipun telah banyak yang mencoba, ternyata semua gagal mengangkatnya. Lalu, mereka membuat tiruannya. Dan mereka menganggap, bahwa itu adalah yang sesungguhnya -- itulah patung yang asli.

Setelah Tathagatha mencapai Penerangan Sempurna, Beliau pergi ke surga selama tiga bulan memberikan khotbah Dhamma untuk membalas budi kepada ibu-Nya, sehingga ibu-Nya mencapai tingkat kesucian Arahat di alam surga. Raja Udayana merenungkan tentang kasih sayang Beliau, dan menginginkan untuk mendapat gambaran tentang Beliau. Ia meminta Yang Ariya Moggalanaputta -- dengan kekuatan batinnya -- mengirim seorang seniman ke surga untuk mencari tahu bagaimana ukuran tubuh Sang Buddha, lalu memerintahkan untuk membuat patung-Nya dari kayu cendana. Ketika Tathagatha kembali dari surga, patung tersebut berdiri dan menghormat kepada Raja diraja (Sang Buddha) itu. Sang Buddha kemudian dengan ramah memusatkan perhatian lalu berkata, "Karya anda adalah hasil kerja keras dari pernyataan orang yang beribadat dan demi memajukan jalan keagamaan, sampai zaman mendatang."


Laporan Fa Hsien tentang hal yang istimewa ini diakhiri dengan kalimat sebagai berikut :

"Ketika Sang Buddha kembali dari Alam Surga Tiga Puluh Tiga Dewa (Surga Tavatimsa -- red), dan masuk ke vihara, patung diri Sang Buddha datang menyambut kedatangan Sang Buddha. Sang Buddha kemudian berkata: "Kembalilah, Aku memberkatimu, kembalilah ke tempatmu. Setelah Aku mencapai Parinibbana nanti, kamu akan menjadi contoh diri-Ku bagi para pengikut-Ku, semoga mereka akan mengukir perbuatan mereka sesuai dengan patung-Ku."

Kemudian patung itu kembali ketempatnya semula."


Banyak sekali legenda seperti ini, akan tetapi harus berdasarkan teks Mahasanghika Ekottaragama dan Mulasarvastivadin Vinaya sebagai narasumber. Menurut cerita, Raja Udayana dari Vatsalah, yang membuat patung Sang Buddha untuk pertama kalinya dari kayu cendana, dengan tinggi lima kaki (kira-kira 1,5 meter tingginya -- red). Tiruan dari patung itu dibuat dari emas oleh Raja Prasenjit dari Kosala. Ada kisah lain yang mengatakan, bahwa patung Sang Buddha dibuat oleh Anathapindika atau Raja Bimbisara.

Kalingabodhi Jataka dari Jatakathakatha mengakui, bahwa Anathapindika-lah yang mendapat persetujuan dari Sang Buddha untuk membuat patung-Nya. Prasasti kuno banyak menceritakan tentang seni pahat, sebagaimana terbukti dari prasasti kuno yang disimpan di Museum Peshawar (no. 1534), yang menggambarkan figur Sang Buddha pada kayu cendana. Relief Buddhis Graeco telah ditemukan di daerah Peshawar (Barat laut, India), daerah kerajaan Kusana. Karya seni pahat ini diperkirakan dibuat pada abad kedua Masehi.

Salah satu patung Sang Buddha yang dibuat paling awal, dipersembahkan kepada kerajaan Kanishka. Sebuah peninggalan Shah-ji-ki-dheri, menuliskan tentang sejarah pembukaan tahun pertama kerajaannya dengan mempersembahkan patung Sang Buddha. Replika dari patung Sang Buddha yang pertama belakangan dibawa ke Timur Jauh (Asia Timur -- red). Mereka umumnya menghubungkannya sebagai Patung Sang Buddha yang dibuat oleh Raja Udayana. Hal tersebut dimulai pada awal abad ke-satu, dimana Buddhisme untuk pertama kalinya disebarkan ke China, dan kira-kira pada abad ke-4 dengan nyata mulai dikenal di negara itu. Di China, ada dua tiruan patung Sang Buddha yang dibuat oleh Raja Udayana. Banyak patung yang sama tersebar di kuil-kuil di Jepang. Aliran baru yang kemudian timbul, yang disebut Mahayana atau 'Kendaraan Besar', menganggap patung Sang Buddha cukup berarti dalam kegiatan keagamaan mereka.
Dipengaruhi oleh aliran Mahayana, pengikut Sravakayana (kaum Theravada -- red) juga sependapat -- dan menganggapnya sebagai Uddesika-dhatu-puja (penghomatan kepada Sang Buddha dengan symbol patung ini -- red).
Di Kalingabodhi Jataka, Sang Buddha juga menghargai penghormatan terhadap Saririka (Relik para Ariya -- red), Paribhogika (Pohon Bodhi -- red) dan Uddesika Cetiya (Stupa yang menyimpan peninggalan para Ariya atau Patung sang Buddha --red).

Cerita berbau sejarah Sri Lanka 'Mahavamsa' menceritakan, bahwa patung Sang Buddha dibuat pada masa pemerintahan Raja devanampi-yatissa (307-267 SM), akan tetapi, tulisan itu tidak ditulis pada pemerintahan raja tersebut, tapi pada masa pemerintahan yang kemudian, yaitu pada masa pemerintahan Raja Jetthatissa I (267-277 M).W. Gelger menterjemahkan bagian itu sebagai berikut :

"Patung terbuat dari batu yang besar dan indah itu, ditempatkan oleh Raja Devanampiyatissadi di Thuparama, oleh Raja Jetthatissa. Kemudian dipindahkan ke 'Pacinatissapabbata arama'. Raja Mahasena (227-304 M) yang berhasil dalam pemerintahannya -- diceritakan oleh seorang penulis pada masa yang sama -- memindahkan patung yang istimewa tersebut dari tempat yang terakhir disebutkan, untuk ditempatkan di Vihara Abhayagiri, sebuah bangunan yang khusus didirikan untuk menempatkan-Nya."

Sebuah sumber sejarah menyebutkan tentang patung Sang Buddha itu, terdapat pada tulisan seorang penulis kronik, yang dapat ditemui di ruang peninggalan sejarah Maha-thupa (Ruvanveliseya), yang ditulis pada masa pemerintahan Raja Dutthagamini Abhaya (161-137 SM).

Di tengah ruang peninggalan itu, raja menempatkan sebuah pohon Bodhi yang terbuat dari permata.... Di sekeliling pohon Bodhi itu terhampar sebuah vedika (permada --red) yang terbuat dari berbagai jenis permata; lantainya terbuat dari mutiara myrobalan. Bederet-deret vas, dengan beberapa diantaranya kosong, sedangkan yang lainnya ditanami dengan bunga-bunga yang terbuat dari beragam permata, dan diiisi dengan empat jenis air harum, semuanya terhampar di kaki pohon Bodhi itu. Di atas altar, di sebelah timur pohon Bodhi itu, Raja Dutthagamini Abhaya menempatkan sebuah patung Buddha berwarna keemasan dalam posisi duduk. Bagian tubuhnya terbuat dari permata beraneka warna, bersinar dengan amat indahnya. Maha Brahma berdiri dengan memegang payung perak dan Sakka Raja Dewa dengan sikap penuh pengabdian membawa mangkuk Vijayuttara. Pancasikha dengan kecapi di tangannya dan Kalanaga dengan penari wanita, dan Mara, dengan seribu tangan yang masing-masing memegang senjata, dan menunggang Gajah Girimekhala bersama pasukannya. Disisi lain, yaitu disebelah timur dibangun altar lain......., yaitu sebuah koti, memperlihatkan tujuh daerah surga. Dan ditempat lainnya, disebelah pohon Bodhi juga koti, dihias dengan berbagai jenis permata.

Mahavamsa adalah catatan sejarah Sri Lanka, dihimpun pada abad ke-5 Masehi dari sumber yang ada pada masa itu. Kita tidak memiliki alasan untuk tidak mempercayai kebenaran catatan sejarah tersebut, yang telah dipelihara dengan baik secara turun temurun. Pada awal abad Masehi patung/gambar Sang Buddha mulai dikenal di India. Sedangkan relief sebelum Masehi tidak menggambarkan sang Guru dalam bentuk manusia, namun bentuk Roda Dhamma, Pohon Bodhi, telapak kaki, Vajrasana-lah yang dipergunakan dalam relief untuk memperkenalkan keberadaan Sang Buddha. Hasil karya seniman India (umumnya dihubungkan dengan Gandhara) yang mengubah hal itu, dengan memperkenalkan Sang Buddha dalam bentuk patung/gambar sebagai manusia. Jika kita mempercayai tradisi yang berlangsung pada masa kehidupan Sang Buddha, bagaimana patung-Nya sampai dibuat, sesuai catatan yang cukup berharga, yang dicatat sesudah percobaan pertama pada masa abad ke-6 SM, tidak ada percobaan lanjutan lagi di India, sampai menjelang 500 tahun setelah zaman Sang Buddha. Pada kira-kira abad permulaan Masehi, Sutra-Sutra Mahayana seperti Prajnaparamita Sutra, mulai dirumuskan sebagai doktrin Mahayana yang cukup otentik. Di India, penampilan figur Sang Buddha dalam bentuk patung atau gambar, dimulai bertepatan dengan perkembangan Buddhisme di India.

Seperti di Sri Lanka, dengan lingkungan berbagai ragam kebudayaan mereka, sangat mungkin bahwa penyebab Buddhisme masuk ke Sri Lanka, tidak hanya sekedar membawa Dhamma, seni dan karya pahat tanah air mereka, akan tetapi juga replika (tiruan --red) patung Sang Buddha. Relik Sang Guru (Saririkadhatu), sebuah cabang pohon Bodhi dari Buddha-Gaya (Paribhogika-dhatu) dibawa ke Sri Lanka dari India selama pemerintahan Devanampiyatissa. Sangat sulit dibayangkan, bagaimana mungkin patung Sang Buddha (Uddesika-dhatu atau uddesika cetiya) tidak ikut dibawa ke pulau tersebut, jika memang di India sungguh ada.
Kita telah melihat diatas, catatan sejarah yang berhubungan dengan patung Sang Buddha, yang terbuat dari batu pada maas pemeritahan raja Buddhis pertama di Sri Lanka. Beberapa ratus tahun terakhir, ada catatan mengenai pembuatan patung Sang Buddha oleh rejim terbesar dari Raja Sinhala, yang beragama Buddha -- Dutthagamini Abhaya. Fakta yang cukup kuat membuktikan, bahwa eksistensi patung Sang Buddha terjadi di Sri Lanka sebelum abad Masehi.

Raja Vasabha (66-110 M), sebagaimana dilaporkan dalam sejarah, telah membuat empat buah patung Sang Buddha yang amat indah dan sebuah vihara khusus untuk menempatkannya -- dengan halaman yang ditanami pohon Bodhi yang besar. Besar kemungkinan, empat buah patung tersebut ditempatkan di bawah pohon Bodhi dan menghadap ke empat penjuru. Untuk melindungi patung-patung tersebut dari gangguan cuaca, maka didirikan bangunan khusus. Arsitektur bangunan tersebut -- yang dibangun pada awal abad Masehi -- dinamakan Bodhighara dan Pati-maghara.
Tentu saja, waktu yang berjalan tiada hentinya telah mengubah segalanya, termasuk Pati-maghara tersebut. Ketika pertama kali bangunan didirikan sesuai rencana -- sama bentuknya seperti Gandhakuti, yakni kediaman Sang Buddha di Jetavanarama di Savatti, yang terdiri dari sebuah ruangan dan serambi -- namun ketika tempat untuk puja ini makin terkenal, Gandhakuti tersebut terpaksa diperbesar untuk menampung mereka yang akan melakukan Puja.

Beraneka bentuk bangunan vihara, telah didirikan dengan arsitektur sebagaimana yang terdapat di Anuradhapura dan banyak tempat lainnya di Sri Lanka. Diantaranya terdapat juga vihara yang terletak di dalam sebuah gua, dan dua yang paling terkenal di Sri Lanka adalah Gal-vihara di Polonnaruwa dan tempat suci di Dambulla. Ciri khas dari sebuah vihara adalah memiliki bangunan stupa yang berbentuk genta besar atau kubah yang umumnya disebut 'Gedige'. Model lain seperti di daerah Kandyan, stupa dibangun berbentuk segi empat, dari panggung timah, ditopang oleh tiang atau pilar.
Di semua vihara, patung Sang Buddha -- yang ditempatkan -- ada yang dalam posisi duduk, berdiri atau berbaring. Kini, banyak patung Sang Buddha yang dibangun dengan ukuran raksasa, sehingga tidak memerlukan bangunan berbentuk rumah untuk melindunginya lagi. Bahkan karena penghormatan yang amat besar, para pengikut Sang Buddha membangun patung Sang Guru di persimpangan jalan atau di jalan bebas hambatan.

Sesungguhnya, tujuan membuat patung Sang Buddha adalah untuk membantu seseorang melaksanakan perenungan terhadap sifat-sifat Agung Sang Buddha (Buddhanussati).

Patung Sang Buddha -- hasil karya seni pahat yang melukiskan figur seorang Pembimbing dalam keadaan pikiran yang selalu terkontrol. Tatanan yang harmonis antar anggota tubuh yang sempurna dan ketegapan tubuh nan Agung, melambangkan seseorang -- yang telah merenung dengan sangat bijaksana.

Inilah Karya Agung dalam perwujudan --
SIFAT SEORANG MANUSIA AGUNG YANG MAHA SEMPURNA.

Cukuplah bukti untuk menetapkan, bahwa seni pahat Sinhala bukan tiruan. Akan tetapi, itu adalah suatu hasil karya yang sangat mengagumkan!

Majalah Jalan Tengah
Naskah Asli : THE BUDDHA IMAGE, Its History and Legend


Diambil dari http://www.w****a.com/forum/topik-umum/483-patung-buddha-berhala.html#post4729

Sedikit komentar dari saya, untuk tulisan bahwa Kalingabodhi Jataka menyatakan pembuatan patung Buddha oleh Anathapindika sebenarnya tidak tepat karena Sang Buddha tidak menganjurkan pembuatan patung Buddha, melainkan menyarankan penanaman pohon Bodhi sebagai simbol kehadiran Beliau di depan pintu gerbang Jetavana.

Quote
No. 479.
KĀLIṄGA-BODHI-JĀTAKA.


“Raja Kāliṅga,” dan seterusnya—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang pemujuaan pohon bodhi yang dilakukan oleh Ananda Thera.

Ketika Sang Tathagata telah berangkat melakukan perjalanan dengan tujuan mengumpulkan orang-orang yang karmanya telah matang untuk mengubah hidupnya, para penduduk kota Savatthi pergi ke Jetavana dengan membawa kalung bunga dan karangan bunga yang harum. Karena tidak menemukan tempat untuk bersembahyang, mereka meletakkan semua itu di depan pintu gandhakuṭi dan kemudian pulang. Hal ini menimbulkan kesenangan yang besar. Tetapi Anathapindika mendengar mengenai hal ini, dan sekembalinya Sang Tathagata, menjumpai Ananda Thera dan berkata kepadanya,— “Vihara ini, Bhante, menjadi tidak terurus ketika Sang Tathagata pergi berkelana dan tidak ada tempat bagi umat untuk bersembahyang yang datang dengan membawa kalung dan karangan bunga. Bersediakah Bhante memberitahukan Sang Tathagata tentang masalah ini dan melihat apakah mungkin Beliau dapat menemukan sebuah tempat untuk tujuan ini.”

Ananda pun menanyakannya kepada Sang Tathagatha, “Ada berapa cetiya (obyek penghormata) di sana, Bhante?”—“Tiga, Ananda.”—“Apa saja, Bhante?”—“Cetiya untuk relik jasmani (sārīrika), relik barang bekas pakai (pāribhogika), relik gambar (uddesika).”

“Bolehkah membuat satu cetiya untuk pemujaan, semasa Bhante masih hidup?”— “Tidak untuk sārīrika, Ananda. Itu hanya boleh dibuat ketika seorang Buddha telah mencapai parinibbana. Uddesika tidaklah cocok karena hanya tergantung kepada imaginasi pikiran. Tetapi pohon bodhi yang agung yang pernah digunakan oleh para Buddha adalah benda yang cocok digunakan sebagai cetiya, baik pohon itu masih hidup maupun telah mati”

“Bhante, di saat Anda pergi melakukan perjalanan, vihara Jetavana yang besar ini tidak ada yang menjaga dan umat yang datang tidak menemukan tempat agar mereka dapat melakukan pemujaan. Bolehkah saya menanam biji pohon bodhi di sini, di depan pintu gerbang kota Jetavana?”—“Tentu saja boleh, Ananda, dan itu nantinya harus terlihat seperti tempat tinggal bagiku.”

[dst]

Sumber: http://www.w****a.com/forum/kisah-kisah-sang-buddha/7820-jataka-474-jataka-483-a.html#post98726

Sedangkan untuk teks Pali/Sinhala berjudul Kosalabimba varnanava yg mengisahkan pembuatan patung Buddha pertama oleh Raja Pasenadi Kosala tidak dapat saya temukan. Walaupun hasil googling mengindikasikan ada teks kuno (manuskrip) Sinhala berjudul Kosalabimba varnanava yg disimpan di British Museum (http://www.archive.org/stream/cu31924023065315/cu31924023065315_djvu.txt), tetapi saya tidak dapat menemukan isi manuskrip tsb di internet.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa