Tanggapan Bedjo Lie, SE, M.Div.
1. Kontradiksi mengenai “keinginan” dalam pengajaran Budha. Di satu sisi Budha
menganggap bahwa keinginan pribadi untuk suatu pemenuhan tertentu adalah jahat, akan
tetapi sebaliknya Budha juga mendorong orang untuk memiliki keinginan dan mencari
pencerahan pribadi. Menurut pengajarannya, seseorang seharusnya menginginkan untuk
diselamatkan atau dibebaskan dari sikap berpusat pada diri sendri (selfishness) karena sikap
inilah yang menyebabkan penderitaan. Akan tetapi kontradiksi moralnya ialah: seseorang
harus menginginkan untuk dapat diselamatkan dari keinginan atau selfishness. Sementara itu,
menginginkan untuk menyelamatkan diri sendiri adalah sama egoisnya dengan tindakantindakan
lain yang pada akhirnya ditujukan untuk kepuasan diri sendiri. Jadi, jikalau
seserorang ingin mendapat pencerahan ia tetap harus “ingin”, sedangkan “ingin” itu sendiri
adalah suatu kesalahan yang justru mencegah pencerahan.20 Disinilah kita melihat adanya
problem kontradiksi dalam pengajaran mengenai jalan pembebasan dari penderitaan.21)
spt yg pernah gw tanyakan pd bro Upasaka....
jawabannya adalah : Keinginan rendah yg menyebabkan penderitaan. tapi koq kenapa tidak ditulis spt itu? ohhh soalnya keinginan baik.. bila kita melekat juga akan bisa menderita... nah ini pernah dijelaskan oleh bante Maha Thera Pannavaro.. , sayangnya pak Bedjo belum mendengarnya...
gimana menurut yg lain? mungkin bro Upasaka bisa menjalaskan sekali lagi tentang keinginan tsb.
Baiklah saya yang memulai...
Keinginan atau nafsu (dalam Bahasa Pali: "tanha") adalah wujud dari sifat keserakahan, kebencian dan kegelapan batin. Keinginan dan nafsu bukan hanya sebatas keinginan dan nafsu untuk menjadi orang kaya, untuk memakan makanan lezat, untuk berhubungan seks, ataupun untuk membunuh orang lain. Keinginan ini bahkan juga mencakup keinginan baik seperti keinginan untuk membahagiakan orangtua. Keinginan menunjukkan adanya ketidakpuasan.
Karena hidup ini tidak memuaskan, makanya manusia dan semua makhluk memiliki keinginan dan nafsu. Mengejar semua keinginan dan nafsu bisa mendatangkan kebahagiaan eksternal, namun sifatnya sementara dan tidak kekal. Ketika kebahagiaan eksternal berakhir, maka muncul ketidak-puasan lainnya. Inilah makna dari dukkha (ketidakpuasan yang pada akhirnya adalah penderitaan). Oleh karena itu muncullah keinginan-keinginan lagi. Di titik ini, keinginan yang kuat akhirnya menjadi kemelekatan dalam hidup. Karena batin melekat pada keinginan dan nafsu, maka setiap manusia mencari kebahagiaan di luar (eksternal). Padahal bahagia atau tidak bahagia bergantung dari pikiran. Orang miskin bisa sangat bahagia ketika diberi uang Rp 100.000,-. Tetapi orang kantoran akan sedih dan marah jika hanya digaji Rp 100.000,- per bulan. Jadi jelas sekali bahwa objek dan dunia adalah netral, namun pikiran yang memilah dan menilai suatu hal apakah bahagia atau tidak. Dengan pengertian ini, kita semua seharusnya mengerti bahwa kebahagiaan sejati bukanlah didapat dari pengejaran keinginan dan nafsu. Namun kebahagiaan sejati didapat dari kebijaksanaan dan pikiran yang benar.
Siddhattha Gotama menyadari hal ini, dan Beliau memiliki "keinginan" (dhammachanda) untuk melepaskan semua keinginan dan nafsu (tanha). Tanha adalah keinginan yang dilandasi untuk memuaskan indria. Sedangkan dhammachanda adalah keinginan untuk melepaskan semua pemuasan indria. Keinginan Siddhattha Gotama untuk mencapai Pembebasan dan Pencerahan adalah dhammachanda. Dhammachanda memiliki hakikat sebagai motivasi untuk mengambil langkah menuju kebahagiaan sejati, dan motivasi ini adalah buah dari kebijaksanaan.
Dalam sebuah Sutta, ada seorang bhikkhu yang bertanya kepada YA. Ananda (bhikkhu yang menjadi pelayan utama Sang Buddha). Bhikkhu itu bertanya: "Bagaimana caranya melepaskan keinginan sedangkan melepaskan keinginan saja membutuhkan keinginan yang lain?" Bhikkhu Ananda memberikan penjelasan dari sudut pandang lain. Bhikkhu Ananda menjelaskan bahwa: "Dalam hal ini sebenarnya yang paling penting adalah berakhirnya keinginan dan nafsu itu sendiri. Jika kita memiliki keinginan untuk memuaskan indria, maka pada akhirnya kebahagiaan yang didapatkan akan berakhir; dan kita akan berhadapan dengan ketidakpuasan lagi. Sedangkan jika kita memiliki keinginan untuk melepaskan semua pemuasan indria, maka kita tidak akan berhadapan dengan ketidakpuasan lagi. Sebab, apapun yang terjadi pada hidup kita pada saat itu, baik menyenangkan atau tidak menyenangkan; kita tidak lagi memiliki keinginan dan nafsu untuk memuaskan indria. Sehingga dengan kata lain tidak akan ada ketidakpuasan berikutnya."
Perihal ini juga pernah disinggung di thread
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,14020.0.html.
Teman-teman yang lain silakan menambahkan dan atau melanjutkan pembahasan opini lainnya...