//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - fabian c

Pages: 1 ... 127 128 129 130 131 132 133 [134]
1996
Theravada / Re: Abhidhamma Pernahkah di Sabdakan Oleh Sang Buddha?
« on: 27 August 2008, 01:28:33 AM »
   Seorang Bhikkhu dari Yunani yang berkunjung ke Indonesia beberapa waktu yang lalu dan lama menetap serta belajar di Sri Lanka menuturkan, bahwa ia telah me riset mengenai topik ini, pendapat yang mengatakan bahwa Abhidhamma disusun oleh pada konsili ketiga adalah tidak tepat.

   Sebenarnya kitab-kitab Abhidhamma (kecuali kathavatthu) telah ada pada konsili ke-2, namun pada waktu itu kitab-kitab Abhidhamma masih merupakan bagian dari Khuddaka Nikaya, sehingga pernyataan bahwa pada waktu konsili ke-2 diadakan hanya ada Sutta dan Vinaya, juga benar adanya.

Semua kekisruhan soal Abhidhamma disebabkan jejak sejarah mengenai pemisahan itu yang terselip entah dimana, dan keraguan terhadap kitab-kitab Abhidhamma terutama disebabkan oleh kitab Kathavatthu yang sangat meyakinkan sekali merupakan hasil kompilasi perdebatan pada waktu konsili ke-3.

   Jadi kesimpulannya Abhidhamma telah ada pada konsili ke-2, namun pada waktu itu ke-enam kitab Abhidhamma (minus Kathavatthu) masih bercampur baur dengan kitab-kitab Khuddaka Nikaya lainnya, seperti Jataka dan sebagainya. pencampuran ini bisa dimengerti, karena umumnya kitab-kitab Abhidhamma tak tepat digolongkan dengan kumpulan Sutta yang lain (Selain Khuddaka Nikaya), maupun kitab peraturan (Vinaya).

   Pertimbangan lebih jauh, akhirnya memisahkan kitab-kitab Abhidhamma menjadi golongan kitab tersendiri (ini yang paling tepat) berdasarkan kedekatan topik seperti yang kita kenal sekarang ini.

1997
Meditasi / Re: Abhidhamma & vipassana
« on: 20 August 2008, 05:20:33 PM »

Uraian kedua mengenai Vipassana II

Sebenarnya awal perbedaan pendapat yang  agak tajam terjadi antara mereka yang berlatih vipasana dan mereka yang berlatih samatha… disebabkan ke tidak tepatan pernerjemahan apa itu khanika samadhi…
Khanika berasal dari kata khana yang berarti moment atau saat, siswa Abhidhamma tentu mengerti apa yang dimaksud khana (cittakhana). Kemudian khanika (kalau tidak salah bentuk plural dari khana) diartikan sebagai momentary concentration atau moment to moment concentration (perlu di mengerti bahwa penerjemah kata tersebut belum tentu seorang meditator Vipassana, atau bila yang menerjemahkan seorang meditator Vipassana, mungkin ia tidak menemukan padanan kata yang lebih tepat, mengingat Inggris bukan bahasa nativenya).

Masalah penerjemahan inilah yang akhirnya menimbulkan perbedaan pandangan diantara praktisi Vipassana dan praktisi Samatha. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti konsentrasi saat ke saat atau terjemahan yang lebih parah yaitu konsentrasi se-saat !!!.
Sehingga menurut pengertian salah tersebut meditasi Vipassana tidak memerlukan konsentrasi yang kuat, hanya perlu konsentrasi sekali-sekali (saat ke saat/moment to moment) atau hanya konsentrasi sesaat saja (momentary).


Padahal pengertian yang benar dari khanika samadhi adalah konsentrasi terhadap khana-khana, (mungkin terjemahan bahasa Inggrisnya yang lebih tepat adalah moments concentration? Atau changing moments consentration? Atau arising and passing away concentration? Nampaknya tak ada terjemahan yang memuaskan dari  khanika samadhi). Apa itu khana? Khana yaitu satu momen atau satu saat, setiap khana terdiri dari proses muncul(upada), berkembang (thiti) dan lenyap kembali (bhanga). Satu proses timbul tenggelam atau yang kita sebut khana ini nampak pada meditator sebagai satu denyut atau satu impuls (mungkin lebih cocok nampak bagai gelombang sinus pada gelombang analog). Jadi satu khana yang terdiri dari upada, thiti dan bhanga, adalah satu denyut atau satu impuls.

Kembali lagi pada objek konsentrasi yang kita perhatikan terus-terusan (objek utama), lambat laun kita tidak lagi melihat kembung kempis sebagai bagian dari perut atau badan jasmani, kita hanya melihat kembung-kempis hanya merupakan suatu proses yang terdiri dari serangkaian proses timbul tenggelam, atau serangkaian denyut atau serangkaian impuls atau serangkaian…….anicca. Secara lebih konkritnya, setiap tarikan kembung atau kempis hanya merupakan serangkaian proses gerak yang kelihatan bagai denyut yang nampak jelas terlihat oleh batin meditator. Mengapa hanya nampak bagai denyut? Karena proses timbul tenggelam (anicca) telah menjadi jelas dan ia meliputi semua fenomena yang diamati, dan ia tak terkait dengan ke enam indera. Pada tahap ini meditator telah melihat objek pada karakteristik (lakkhana)nya.

Pada tahap ini meditator semakin mampu melihat apa adanya, karena gerak hanyalah nampak sebagai gerak dan tak terkait dengan perut walaupun gerak tersebut diakibatkan oleh perut. Karena tidak terkait dengan apapun maka dapat kita katakan bahwa inilah yang disebut pengamatan tanpa konsep, inilah pengamatan apa adanya.

Bukan hanya kembung kempis yang nampak demikian, pada waktu meditasi jalanpun juga nampak demikian, yaitu hanya nampak sebagai denyut, dan tak nampak kesan kaki melangkah, karena perhatian terpusat hanya pada gerakan kaki dan tak terkait dengan kaki. Dengan demikian pada waktu melangkahpun juga, tanpa-konsep terjadi dengan sendirinya secara alami, bukan dipikirkan atau berusaha “di tanpa-konsep kan”
Bukan hanya pada kaki atau perut. Semua gerak jasmani hanya nampak bagai denyut belaka.
Perlu rekan-rekan netter berhati hati dengan istilah tanpa konsep, karena tanpa konsep adalah pengamatan yang terjadi secara alamiah sebagai akibat konsentrasi yang dan perhatian yang kuat, bila tidak disertai dengan perhatian dan konsentrasi yang kuat, maka hanya menjadi konsep “tanpa konsep”, yang berarti sebenarnya adalah sebuah konsep juga.

Tanpa konsep yang sebenarnya adalah kemampuan untuk batin melihat apa adanya yang muncul secara alamiah, itu merupakan hasil dari latihan konsentrasi dan perhatian, (disertai usaha tentunya… bagi anda yang pernah bermeditasi tentu mengerti apa dampak buruk dari rasa ngantuk yang tak teratasi yang timbul karena kurang seimbangnya antara konsentrasi dan usaha atau semangat). Bila perhatian dan konsentrasi belum kuat, maka melihat apa adanya bersifat konseptual belaka, bukan melihat apa adanya yang sesungguhnya. Mungkin boleh coba crosscheck dengan ahli meditasi Samatha atau Vipassana yang sudah berpengalaman dan juga para ahli teori Abhidhamma maupun Sutta, mereka sudah pasti akan mengiakan bahwa kedua hal ini berkaitan langsung.

Keempat, meditator semakin lepas dari persepsi indera lebih jauh lagi, bila ia telah meditasi selama 3 jam, mungkin ia hanya merasa baru bermeditasi satu jam atau setengah jam, pada saat ini batinnya telah masak, ia dapat bermeditasi untuk waktu yang lama tanpa terganggu oleh perasaan atau persepsi yang muncul. Inilah yang dikatakan batin yang telah seimbang. Apakah yang menyebabkan keseimbangan tersebut? (Keseimbangan itu disebabkan oleh batin tidak merespon fenomena yang muncul. Semua fenomena hanya dilihat sebagai suatu bentuk saja, tanpa melihat isi dari bentuk tersebut, pada tahap ini baru batin bisa melihat semua fenomena apa adanya seperti yang tertulis di dalam Bahiya sutta atau Cula Malunkyaputta sutta (catatan: saya sudah mengenal Bahiya Sutta bahkan sebelum mengenal Vipassana, dan saya pernah mencoba mempraktekkan sesuai dengan nasehat Sang Buddha kepada Y.A. Bahiya pada waktu berVipassana, tetapi menurut pengalaman saya dengan mengamati fenomena cara Bahiya Sutta, tidak membuat orang menemukan jalan pintas. Karena kematangan batin tetap berproses secara bertahap, tidak meloncati tahap tertentu.)

Karena ia tidak melihat isinya maka ia dapat melihat apa adanya yaitu: fenomena hanya fenomena tidak lebih…!!! Fenomena tidak terkait dengan indera, tidak terkait dengan perasaan dan tidak terkait dengan apapun. Bila fenomena terkait dengan batin dan jasmani, itu karena kita mengaitkannya, kita mengonsepkannya, sehingga timbul rasa malas, rasa kantuk, rasa sakit dan berbagai hal negatif lainnya. Fenomena muncul diakibatkan suatu kondisi yang mendahului. Tetapi bila kita bisa terlepas dari kondisi tersebut maka kita juga akan terlepas dari fenomena.

Pada akhir tahap ke empat ini perhatian sudah tak tergoyahkan dan melekat kuat pada objek, ia terus menerus memperhatikan objek tanpa terputus (tetapi objeknya sendiri timbul tenggelam/berdenyut/anicca) dan hampir tak ada objek yang mengganggu perhatiannya.

Tidak ada rasa senang, rasa tidak senang, rasa bosan, rasa malas, rasa ingin tahu, rasa suka, rasa tidak suka, rasa sedih, rasa gembira dsbnya. Karena tidak ada rasa negatif yang muncul maka ia tidak bosan memperhatikan objek selama 2 jam, 3 jam… bahkan seharian… Inilah yang disebut batin telah mengatasi nivarana (penghalang batin) Inilah yang disebut khanika samadhi yang sesungguhnya, yaitu pemusatan perhatian yang kuat terhadap khana-khana (yaitu terhadap proses timbul tenggelam objek yang kita amati) bila diterapkan pada objek konsentrasi, maka batin terus mengamati denyut/impuls yang terjadi pada proses kembung-kempis tanpa terputus bahkan bisa sehari semalam selalu mengamati denyut pada kembung-kempis. Mengapa bisa sehari semalam? Karena rasa enggan, rasa bosan, rasa malas, serta kondisi-kondisi batin negatif (nivarana) lainnya sebelumnya telah diatasi dengan dengan memunculkan faktor-faktor batin positif yang berlawanan, yaitu: berusaha tidak malas bila kemalasan timbul, dengan berusaha bertahan pantang menyerah bila rasa bosan timbul dsbnya.

Kelima, sesudah batin berhenti sama sekali merespon fenomena apapun yang muncul maka, fenomena batin yang muncul sama sekali kehilangan daya tariknya, karena sebenarnya dalam keadaan yang lebih halus fenomena batin hanya nampak sebagai fenomena batin, baik atau buruk ditimbulkan oleh persepsi kita. (umpamanya rasa durian adalah rasa yang positif bagi sebagian orang Asia, tetapi merupakan rasa negatif bagi sebagian orang Asia lainnya atau orang barat. Sebaliknya rasa blue cheese (sejenis keju) adalah rasa negatif bagi sebagian besar orang Asia karena baunya seperti bau keju tengik, dan memang sebenarnya sudah tengik. Tetapi bagi sebagian orang barat, malah blue cheese mereka lebih suka daripada cheese biasa. Perbandingannya kurang lebih seperti respon terhadap terasi yang berbeda antara orang barat dibandingkan orang Indonesia. Padahal bau yang dicium sama, namun mereka merespon berbeda, karena konsep kesenangan mereka berbeda, didasarkan persepsi/ingatan yang berbeda)
Batin yang tidak merespon maka tak akan menolak maupun menyukai durian, blue cheese maupun terasi. Semua itu hanya ditanggapi sebagai suatu impuls belaka, tidak lebih. Demikian juga dengan semua fenomena yang lain, juga hanya ditanggapi sebagai suatu impuls belaka.

Karena batin menanggapi hanya sebagai suatu impuls belaka maka ketertarikan terhadap objek menjadi hilang, setelah terus menerus diperhatikan, pada akhirnya mengakibatkan meditator kehilangan ketertarikan terhadap objek yang terus menerus diperhatikan tersebut, dan akhirnya objek yang terus menerus diperhatikan juga menjadi berhenti.

Dengan berhentinya objek yang terus menerus diperhatikan maka batin terbebas. Dengan terbebasnya batin maka timbul ketenangan dan kedamaian yang luar biasa, dan dari situ muncul kebahagiaan. Pada waktu batin terbebas, ia mengetahui bahwa
-   fenomena-fenomena batin dan kondisi-kondisi batin yang mendahuluinya tidak menyenangkan, karena ia membandingkan dengan keadaan setelah lenyapnya kondisi-kondisi (inilah kebenaran Ariya pertama, yaitu kondisi-kondisi yang menimbulkan fenomena tidak menyenangkan/dukkha).
-   Selanjutnya ia mengetahui bahwa penyebab ketidak bahagiaan adalah karena fenomena fenomena batin yang timbul dari kondisi-kondisi batin (inilah kebenaran Ariya kedua).
-   Dengan berhentinya kondisi-kondisi batin maka fenomena-fenomena batin akan berhenti juga (inilah kebenaran Ariya ketiga).
-   Dan yang keempat: jalan untuk menghentikan ketidak bahagiaan yang disebabkan oleh kondisi-kondisi yang menimbulkan fenomena-fenomena adalah jalan Ariya berunsur delapan. Yang telah dilaluinya.

(terjemahan mulia saya ganti dengan Ariya sebagai terjemahan alternatif)

Dari uraian diatas bisa dilihat segala sesuatu terjadi melalui proses, memang lebih mudah bagi orang yang tak mengenal prosesnya untuk mengatakan bahwa, semua terjadi secara tiba-tiba, instantly (sehingga tak perlu menjawab bagaimana prosesnya).

Sang Buddha mengatakan dalam salah satu sutta di Samyutta Nikaya yang isinya kurang lebih mengatakan bahwa Dhamma yang Beliau ajarkan tidak terjadi secara tiba-tiba, semuanya terjadi melalui proses yang bertambah lama bertambah dalam, bagai kemiringan lantai samudera (ocean slope). Mohon kalau ada para netter yang masih ingat nomer suttanya dengan tepat, mohon beritahukan kepada para netter yang lain.
Orang-orang sekaliber Y.A. Bahiya maupun Y.A. Malunkyaputta sudah memiliki kematangan batin sehingga bisa dengan cepat masuk pada keadaan penghentian.

(sekedar tambahan) Kematangan batin juga merupakan prasyarat seorang calon Bodhisatta yang akan mendapatkan penetapan dari seorang Buddha, ia juga harus memiliki persyaratan kematangan batin sebagai berikut:
1.   Ia adalah orang yang terlahir dengan akar alobha, adosa dan amoha (tihetuka puggala)
2.   Ia adalah seorang Petapa atau Bhikkhu, maksudnya adalah orang yang batinnya telah terlatih.
3.   Apabila ia mau, ia telah sanggup menghancurkan kekotoran batin hanya dengan mendengarkan empat baris syair.
Dan berbagai persyaratan lain misalnya: ia manusia, ia pria normal, dsbnya. Dengan kata lain, batin calon Bodhisatta telah matang.

Kesimpulan akhir
Tak ada suatu peristiwa yang berkenaan batin dan jasmani yang terjadi begitu saja, semuanya melalui proses yang bertambah lama tambah berkembang, tak ada peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba. Sebenarnya pada kebenaran mutlak, perbedaan terletak pada kecepatan pencapaian (cepat atau lambatnya),

Maksudnya begini:
Y.A. Bahiya mencapai tingkat kesucian Arahat mungkin hanya dalam waktu 5 atau 10 menit dengan melalui proses 7 stages of purification dengan cepat, bukan dengan secara mendadak tiba-tiba mencapai tingkat kesucian Arahat (sudden enlightenment) seperti mendapat wahyu, bukan demikian.
Sedangkan si A bermeditasi mencapai tingkat kesucian Arahat mungkin dengan bermeditasi selama 5 bulan. Perhatikan disini, bukan berarti si A bermeditasi harus melalui proses, sedangkan Y.A. Bahiya tidak melalui proses, bukan demikian.
Melainkan Y.A. Bahiya menyelesaikan 7 stages of purification hanya dalam waktu 5 atau 10 menit, karena pengalaman pandangan terangnya yang sudah matang (ini bagai seseorang yang sudah ahli bermain catur, dengan tutup matapun ia dapat mengalahkan pemain catur yang cukup lumayan, demikian juga dengan seseorang yang telah mahir bersepeda, walau telah puluhan tahun tak pernah bersepeda ia dengan mudah bersepeda tanpa perlu belajar) Bisa dimaklumi Y.A. Bahiya telah berlatih Vipassana puluhan ribu tahun, maka ia dengan mudah melewati berbagai rintangan batin. sedangkan si A menyelesaikan 7 stages of purification harus menghabiskan waktu selama 5 bulan karena kurangnya latihan Vipassana di kehidupan lampau.

Bila asumsi bahwa kesucian batin bisa dicapai secara tiba-tiba tanpa melalui proses, maka kita tak perlu bermeditasi, siapa tahu kita sedang melihat daun mendadak mencapai pencerahan seperti yang dialami oleh seorang Pacceka Buddha.
Bila ada peristiwa yang terjadi secara mendadak, berarti itu terjadi secara kebetulan, karena tidak melalui proses. Bila tidak melalui proses maka semua bisa terjadi begitu saja, bila bisa terjadi begitu saja maka tak ada hukum sebab-akibat, bila tak ada hukum sebab-akibat maka tak ada hukum karma.

Lantas bagaimana yang terjadi dengan Sang Pacceka Buddha? Sama saja, Mereka menyelesaikan 7 stages of purification hanya dalam waktu singkat, karena sering berlatih di kehidupan lampau.

Dari uraian saya mudah-mudahan para netter sekalian bisa mengerti bahwa kemampuan batin “melihat segala sesuatu apa adanya” atau “melihat tanpa konsep” muncul dengan sendirinya sebagai akibat dari meditasi, yaitu seiring dengan bertambah kuatnya sati (perhatian) dan samadhi (konsentrasi atau kemampuan perhatian terus bertahan pada objek)
Kita tidak perlu berusaha untuk “melihat hanya melihat, mendengar hanya mendengar”dsbnya..karena bila meditator pemula yang batinnya belum terlatih, melakukan seperti yang dinasehatkan Sang Buddha kepada Y.A. Bahiya maupun Y.A. Malunkyaputta, maka itu adalah berarti me”melihat apa adanya”kan atau meng”tanpa konsep”kan sesuatu yang sebenarnya berkonsep. Dengan kata lain batin seorang meditator yang belum terlatih akan selalu melihat segala sesuatu dengan konseptual dan ini bersifat alami dan demikianlah adanya.

Bila meditator pemula berusaha melihat segala sesuatu apa adanya atau tanpa konsep maka itu seperti menyuruh pengemudi mobil melihat melalui kaca depan dengan jelas padahal kacanya masih penuh lumpur, maka itu tidak akan terjadi, penglihatan terhadap apa yang ada di depan kaca akan menjadi jelas dengan sendirinya bila kaca tersebut telah bersih…
Dengan kata lain meditator yang “berusaha” men”tanpa konsep”kan pengamatannya atau berusaha me”melihat apa adanya”kan pengamatannya, maka ini adalah sesuatu yang dibuat-buat…tidak alami…
Pada meditasi yang alami meditator hanya selalu menyadari dan mencatat apapun yang terjadi, tidak berpikir ini dengan konsep atau ini tanpa konsep…,ia hanya mengamati… entah itu baik atau tidak baik, konsep atau tanpa konsep, suka atau tidak suka dsbnya, dengan kata lain meditasi Vipassana tidak dilandasi praduga atau judgment ini berpikir atau ini tidak berpikir.

Bila ia mengamati “ini tanpa konsep” atau “ini dengan konsep” maka meditator tersebut sebenarnya secara halus terperangkap pada bentuk pikiran yang halus, yaitu berkontemplasi mengenai konseptual atau tidak konseptual.
Pada meditator yang belum terlatih, mengamati dengan konseptual adalah sifat alami yang tak terhindarkan dan selalu terjadi, hal itu tak perlu ditolak, hanya amati saja, bila nanti batinnya telah terlatih dan bersih maka pengamatan menjadi murni dan pengamatan tanpa konsep terjadi dengan sendirinya secara alami.

Bedakan kata-kata pengamatan dengan kontemplasi.

Semoga uraian saya mengenai proses meditasi vipassana memuaskan teman-teman para netter. 

Sukhi hotu

1998
Meditasi / Re: Abhidhamma & vipassana
« on: 20 August 2008, 05:18:19 PM »
Uraian kedua mengenai Vipassana I

Pada waktu menerjemahkan untuk para guru meditasi yang datang berkunjung ke Indonesia, saya sering mendengar mengenai para Yogi yang setelah beberapa hari berlatih meditasi melapor demikian,
   “Waw Sayadaw, luar biasa… saya melihat cahaya terang…. wah Sayadaw… saya merasakan chi saya berputar putar…, wah Sayadaw saya bisa melihat mahluk halus…wah Sayadaw saya merasa kosong…Wah Sayadaw saya merasa hening sekali, hingga semua suara terdengar sangat jelas… dsbnya. Teman teman ini untungnya berlatih dibawah bimbingan guru meditasi Vipassana yang terlatih yang memang dianggap telah mencapai tahap pandangan terang tertentu, sehingga dapat meluruskan pandangan siswa tersebut.

Saya pernah bertanya seberapa jauh pengalaman/pengetahuan/nyana, seorang calon guru Vipassana  di Myanmar (metode Mahasi Sayadaw) sebelum mereka diijinkan mendampingi guru meditasi meng-interview para siswa? Beliau katakan minimum Sankharupekkha nana. Sedangkan saya pernah mendengar dari Y.M. U Janaka Sayadaw sendiri mengatakan siswa yang paling cepat mencapai tahap itu dibawah bimbingannya minimum memerlukan waktu satu bulan intensif, itupun siswa tersebut memang memiliki “kecerdasan batin” yang tajam (bedakan dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan intelektual dicapai di bangku sekolah bukan di ruang meditasi).

Semua teman-teman yang memiliki pengalaman aneh tersebut berlatih Vipassana, tetapi pengalaman yang mereka alami hanya merupakan kekotoran Vipassana, bukan insight atau pandangan terang.
Tidak ada yang luar biasa pada munculnya pandangan terang, tetapi sang siswa melihat sesuatu pada jasmani atau batinnya yang selama ini tidak tampak, sesuatu  yang menimbulkan pengertian. Pengertian inilah yang disebut nyana (perhatikan: pengertian atau nyana timbul setelah mendapatkan suatu pengalaman, bukan muncul seperti mendapat ilham atau wahyu). Memang pengalaman yang muncul bisa berbeda, tetapi prinsip dari semua pengalaman itu sama bagi semua meditator, yaitu pengalaman pengalaman yang timbul pada waktu berlatih Vipassana membuat bertambah matangnya pengertian dan kebijaksanaan meditator (wisdom dan understanding) pengertian bagaimana? yaitu batin dan jasmani bersifat tidak permanen, selalu berubah, tidak menyenangkan dan tidak memuaskan, serta susah dikendalikan, tak mau menurut dan berjalan semaunya (saya tak mau memakai istilah anicca, dukkha, dan anatta karena nanti dituduh konsep dan mencari cari atau berpikir atau kontemplasi) Bila meditator setelah bermeditasi untuk jangka waktu yang lama tidak melihat anicca, dukkha dan anatta dan tidak bertambah tajam wisdom dan understandingnya maka pastilah bahwa ia tidak ber Vipassana atau ia kurang memiliki kecerdasan batin.

Batin kita tidak mau menurut, ia berkelana semaunya, oleh karena itu diperlukan usaha agar ia mau menurut dan memperhatikan, umpamanya bila mengantuk, maka diperlukan usaha agar tidak memperhatikan sambil mengantuk, bila rasa mengantuk yang diperhatikan, maka diperlukan usaha agar jangan jatuh tertidur. Lain halnya jika batin telah menurut, seperti yang terjadi pada seorang meditator yang telah sampai pada tingkatan advance. Segala sesuatunya menjadi mudah karena batinnya telah menurut dan lentur, mudah diarahkan.

Tak ada pekerjaan apapun yang bisa dilakukan tanpa usaha, untuk bisa memperhatikan tanpa usaha atau untuk bisa memperhatikan apa adanya, juga diperlukan usaha.

Dari uraian ini mudah-mudahan teman-teman mengerti bahwa usaha selalu diperlukan pada meditator agar berbagai faktor pendukung kemajuan batin jadi seimbang, ini adalah bentuk praktek yang sesungguhnya yang diajarkan Sang Buddha, sesuai dengan Tipitaka. Bisakah anda membayangkan mengerjakan sesuatu tanpa usaha? Walau menerima hadiah undianpun masih diperlukan usaha untuk mengambil hadiahnya. Usaha adalah kondisi, hanya keadaan yang terbebas dari kondisi, maka tidak diperlukan lagi usaha, nanti akan saya terangkan seperti apa batin yang terbebas dari kondisi.

Seiring bertambah majunya meditasi Vipassana yang dilakukan meditator tersebut, maka sifat batin dan jasmani semakin dikenali dan dipahami. Bila pengertian-pengertian yang berkaitan dengan sifat sifat batin dan jasmani tidak muncul, maka meditator tak akan terdorong untuk melepas…, apalagi timbul pengalaman dahsyat yang membuat mereka menganggap mereka pendapatkan suatu “pencerahan” maka ia akan melekat pada “pengalaman pencerahannya” tersebut dan lupa bahwa prinsip Vipassana adalah melihat segala sesuatu apa adanya. Apa adanya bagaimana? Melihat apa adanya bahwa batin dan jasmani bersifat tidak kekal, bersifat tidak menyenangkan dan tidak memuaskan, susah dikendalikan dan tak mau menurut.
Pengalaman sedahsyat apapun hanya dilihat sebagai suatu fenomena saja, tidak lebih.

Pada umumnya bagi meditator pemula mudah sekali terseret, dan ia menganggap bahwa inilah Vipassana, dan tanpa ia sadari ia melekat pada fenomena tersebut karena menikmati pengalaman tersebut. Umumnya meditator pemula tidak mengerti bahwa dalam Vipassana tak ada sesuatu apapun yang berharga untuk dilekati atau dikagumi dan  pada waktu kita berlatih meditasi Vipassana, segala sesuatu hanya dianggap suatu pengalaman yang menambah pengertian kita terhadap sifat sifat batin dan jasmani, tidak lebih.

Ada seorang teman yang belum berlatih secara mendalam dan belum mengerti sifat sifat sifat Vipassana, bercerita bahwa gurunya berlatih meditasi neikung dan mengatakan bahwa gurunya telah menembus cakra ke sekian…, lebih lanjut ia mengatakan bahwa apabila latihan pengendalian neikung tersebut telah sempurna maka chi (prana)nya akan sanggup menembus cakra ubun-ubun dan bila demikian yang terjadi maka ia sudah sempurna dan ia mungkin menjadi Buddha.

Betapa banyaknya orang-orang yang berlatih neikung (atau yang sejenis) yang menganggap bahwa apabila ia telah sanggup menembus cakra ubun ubun maka ia telah menjadi Buddha. Barangkali ini yang diyakini oleh orang orang yang berlatih meditasi Chikung/neikung seperti Lu Shen Yen yang menganggap dirinya telah menjadi Buddha, dan yang lebih parah lagi adalah Lie hong Zie (pemimpin Falun Gong) yang menganggap dirinya lebih tinggi dari Buddha.

Bagaimana bila orang orang seperti Lu Shen Yen dan Lie Hong Zie beranggapan bahwa cara yang mereka latih juga adalah Vipassana? Tentu percuma berdebat dengan mereka karena mereka akan bersikeras mencari pembenaran dengan mengatakan toh banyak jalan ke Roma. Ini sesuai dengan cara berpikir orang barat dan bhikkhu barat yang terbiasa berpendapat semaunya, karena salah satu prinsip demokrasi yang dianut mereka adalah freedom of speech. Kita harus menghargai prinsip yang mereka anut. Walaupun prinsip yang mereka anut juga memiliki nilai positif dan negatif.

Tulisan ini bukan dimaksudkan justifikasi apapun hanya ingin mengungkapkan kepada teman-teman netter sekalian bahwa apabila dalam berlatih Vipasssana pengertian dan kebijaksanaan tidak berkembang, maka itu bukan Vipassana, atau bisa juga disebabkan kurang memiliki kecerdasan batiniah sehingga tidak maju-maju. Sebaliknya bila pengertian dan kebijaksanaan timbul pada waktu bermeditasi Vipassana metode tertentu, maka anda telah berlatih Vipassana.

Pengertian dan kebijaksanaan yang bagaimana? Pengertian dan kebijaksanaan yang timbul dari melihat segala sesuatu apa adanya (dengan kata lain secara lebih khusus yaitu melihat semua fenomena batin dan jasmani diliputi oleh anicca, dukkha dan anatta) inilah yang dimaksud dengan bertambah matangnya pengertian anicca, dukkha dan anatta, karena bila kita melihat apa adanya maka ketiga corak (lakkhana) inilah yang selalu nampak. Bila dalam meditasi Vipassana metode tertentu dan dalam metode tersebut kita tidak melihat anicca dukkha dan anatta maka ia sebenarnya tidak berVipassana, walaupun ia mengklaim berVipassana).

Perhatikan bahwa saya menggunakan kata “melihat” karena dalam Vipassana kita tidak berpikir tetapi mengamati, dan mencatat bila pikiran timbul. Sekali lagi ini bukan mencari, bila kita bermeditasi Vipassana dengan benar maka ketiga corak inilah yang nampak semakin lama semakin jelas. Bila ketiga corak ini tidak nampak semakin jelas maka meditasi Vipassananya tidak maju atau ia tidak berlatih meditasi Vipassana dengan benar.

Berikut adalah urutan kemajuan yang dicapai seorang meditator Vipassana,

Pertama, ia melihat ada objek yang muncul silih berganti, bila ia tidak mampu melihat maka kewaspadaannya belum berkembang. Semakin lama objek yang muncul silih berganti semakin mengerucut ( semakin sedikit) dengan semakin sedikit objek yang muncul silih berganti, maka semakin jelas objek yang muncul tersebut, oleh karena objek yang muncul semakin jelas maka ia dapat melihat dengan teliti objek yang muncul tersebut, yang selalu memiliki sifat muncul berkembang dan lenyap kembali.

Karena bersifat muncul berkembang dan lenyap kembali, maka objek objek itu nampak tidak memuaskan (batin cenderung tidak menyukai perubahan, terutama batin selalu mencari cari hal yang menyenangkan dan bila mungkin hal menyenangkan tersebut tidak berubah, inilah konseptual halus yang dibentuk oleh batin kita, berdasarkan pengalaman dan persepsi yang menyebabkan batin kita menjadi keruh). Dengan kata lain bila kita melihat segala sesuatu dengan merasa tidak senang, atau merasa senang, atau rasa bosan ataupun rasa sakit dsbnya, maka kita masih melihat dengan konsep.

Haruskah kita memperhatikan bila rasa bosan timbul? …bila kita menyadari dan memperhatikan bila rasa bosan timbul tentu rasa bosan akan lebih cepat hilang, tetapi bila tidak diperhatikan atau diamati jika kita bermeditasi terus maka rasa bosan tidak akan cepat hilang, disini kita mulai menyadari bahwa proses batin sebesar apapun akan lenyap sendirinya setelah lewat beberapa waktu karena tidak permanen, inilah anicca.

Kedua, pada tahap ini objek yang muncul silih berganti tersebut semakin lama semakin cepat lenyapnya, setelah objek batin yang muncul tersebut lenyap semakin cepat, pada saat itu juga meditator mulai kehilangan konsep yang berhubungan dengan objek yang muncul tersebut. Dalam keadaan ini batinnya mulai terlepas dari kesan kesan jasmani, dan ia mulai melihat bahwa fenomena-objek yang muncul hanya merupakan sebuah fenomena, umpamanya rasa sakit di kaki muncul, ia melihat dengan jelas rasa sakit tersebut, tetapi ia tidak melihat kesan kaki, atau kaki yang sakit, ia melihat hanya suatu fenomena yang muncul dan berubah di arah tertentu, pada jarak tertentu dari perhatiannya, tetapi itu bukan lagi sakit kaki, karena konseptual indera yang disebut kaki telah lenyap.

Konsentrasinya telah bertambah kuat sehingga ia hanya melihat objek yang masih berkait dengan indera (dalam hal ini kaki), tetapi tidak nampak indera tersebut, karena meditator tidak melihat objek tersebut berkait dengan indera maka ia melihat objek tersebut dengan batin seimbang, tidak menolak dan juga tidak menerima dengan demikian ia melihat apa adanya.

Disini kemampuan melihat apa adanya meditator semakin kuat, dibarengi dengan konsentrasi yang semakin menguat dengan sendirinya. Konsentrasi yang bagaimana? Konsentrasinya dalam hal ini ia melihat suatu objek yang muncul hanya sebagai objek (memang dalam pengertian apa adanya objek yang muncul tersebut hanya sebagai fenomena, ia bukan objek kaki, dan ia bukan bagian dari kaki, menurut kebenaran mutlak, rasa sakit di kaki hanya merupakan keadaan batin yang muncul diakibatkan oleh persepsi penolakan) pada tahap ini secara otomatis ia sanggup melihat lebih lama pada objek karena tidak terganggu (inilah samadhi atau konsentrasi), karena penyebab gangguan sudah semakin tidak memiliki daya untuk mengganggu, ini disebabkan konsentrasi yang kuat, sedangkan bagi meditator yang belum kuat konsentrasinya maka ia melihat rasa sakit tersebut adalah bagian dari kaki, karena perhatiannya terhadap fenomena rasa sakit masih ter”distracted”  oleh kesan kaki. Ini disebabkan kemelekatan yang kuat terhadap persepsi (konsep) kita, yang menghubungkan rasa sakit tersebut dengan kaki kita.

pengganggu pengganggu (distraction) yang jelas muncul pada waktu kita mengamati rasa sakit tersebut yang menyebabkan kita tak mampu melihat sakit tanpa embel embel apapun umpamanya adalah: rasa bosan…, rasa enggan..., dan distraction lainnya (misalnya ingin tahu buah pikiran)…, ingin tahu kakinya patah atau tidak…, bagaimana kalau nanti kakinya lumpuh…, jangan jangan nanti urat darahnya pecah…., dan berbagai macam distraction lainnya. Disini kita juga menguji sejauh mana batin kita tidak ter “distracted”? batin yang tidak ter-distracted disebut batin yang terkonsentrasi, inilah yang disebut batin yang tidak berkelana, inilah yang dimaksud melihat apa adanya, yaitu sakit adalah sakit dan sakit tidak terkait dengan apapun, bila objek atau fenomena sakit yang muncul masih terkait dengan sesuatu, maka itu sudah bersifat konseptual, dan itu berarti ia masih belum bisa melihat apa adanya saya ulangi lagi hubungan timbal baliknya, karena masih konseptual dan tidak melihat apa adanya maka perhatiannya masih terseret, karena perhatiannya masih terseret maka ia masih merasa sakit.

Ketiga, pada tahap lebih jauh ini semakin lama semua pengganggu semakin semakin tidak nampak isinya, semua hanya terlihat sebagai suatu impuls atau denyut belaka, sehingga tidak mengganggu. Karena ia tidak melihat isinya, inilah yang sesungguhnya yang disebut batin melihat apa adanya, karena pada tahap ini batin tidak melihat isi dari objek, maka batin tidak terlibat dengan objek tersebut, sehingga batin dapat melihat, dengan kata lain batin terlepas dari objek tersebut, dan karena tidak terlibat maka batin tidak meng “konsep” kan objek tersebut.

Karena batin tidak meng “konsep” kan semua objek yang muncul dan hanya mengamati objek yang terus menerus diamatinya, maka perhatiannya hanya memusat terhadap objek yang ia perhatikan terus menerus tersebut, dan inilah yang disebut konsentrasi. Disini kita bisa melihat bahwa konsentrasi dan perhatian saling berkait. Perhatian (sati) bersifat mengarahkan pengamatan kita pada objek, sedangkan konsentrasi (samadhi) mempertahankan pengamatan kita pada objek.

Lebih jauh lagi, semua pengganggu yang tadinya telah lemah, lambat laun tidak muncul sama sekali untuk jangka waktu yang lama, katakanlah dua jam atau tiga jam, yang tersisa hanyalah objek yang diperhatikan terus menerus. Pada tahap ini meditator mulai merasakan suatu kenyaman batin, yaitu kenyamanan karena kekotoran kekotoran pengganggu telah tidak muncul.  Satu objek yang diperhatikan tersebut hanya terlihat muncul berproses dan lenyap kembali, lalu muncul kembali berproses lalu lenyap kembali.

Sebenarnya ini juga merupakan penjelasan yang lebih lengkap lagi mengenai apa yang disebut kanika samadhi. Pada tahap inilah tercapai kanika samadhi yang sesungguhnya, yang memiliki dua kondisi, yang pertama yaitu hanya mengamati satu objek terus-menerus (samadhi) dan yang kedua yaitu, objek yang diamati terus-menerus tersebut selalu muncul dan lenyap kembali (moment to moment/anicca/khanika).

Timbul pertanyaan pada orang yang katanya sudah mencapai khanika samadhi, seperti apa?
Jika perhatiannya pada rasa sakit tidak terkait dengan apapun tentu ia dapat melihat apa adanya dan batinnya tak akan terseret dan ia tak akan merasa sakit. Bila memang demikian berarti benar ia telah mencapai kanika samadhi yang sesungguhnya, dan batinnya mulai masak. Jika masih merasa sakit duduk satu jam, maka kemungkinan besar ia belum mencapai tahap khanika samadhi yang sesungguhnya.

Kanika samadhi yang sesungguhnya adalah batin yang terus-menerus memerhatikan satu objek (selalu hanya objek tersebut karena objek batin maupun jasmani yang lain telah tidak muncul, karena meditator telah kehilangan kesan persepsi terhadap ke enam indera, yaitu kesan terhadap: indera penglihatan mata (pada waktu kita menutup mata, bukan berarti telah lenyap kesan terhadap indera mata),  indera penciuman, indera pengecapan, indera sentuhan, indera pendengaran dan terakhir indera pikiran yang sering mengganggu dan paling berbahaya. Harus diingat bahwa samma samadhi ( konsentrasi yang benar berarti perhatian kita memusat pada satu objek perhatian, mengosongkan pikiran bukan samadhi yang benar !!!),. Samadhi yang benar selalu memiliki objek yang diperhatikan. Baik dalam meditasi Samatha (sesuai dengan 40 objek meditasi yang diterangkan dalam Tipitaka) maupun meditasi Vipassana, selalu ada objek yang diperhatikan..!!!
bila batin tidak memperhatikan objek berarti batinnya lengah, idle, tak ada sati…!
[/size]

berlanjut pada bagian ke II

1999
Meditasi / Re: Abhidhamma & vipassana
« on: 11 August 2008, 01:59:58 AM »
Oh ya, mungkin saya tak dapat membalas postingan balasan pak hudoyo dalam seminggu ini karena saya akan keluar kota.

2000
Meditasi / Re: Abhidhamma & vipassana
« on: 11 August 2008, 01:58:43 AM »
Pak Hudoyo yang saya hormati,

Maaf saya baru membalas postingan pak Hudoyo sekarang, sebab saya lupa passwordnya, saya telah mencoba meminta link ke server, ternyata linknya entah masuk ke mailbox yang mana, jadi saya pikir lebih baik memakai username baru.

kembali ke topik bahasan..

Mengenai rujukan, pak Hudoyo mengatakan bahwa sebagai pemeditasi Vipassana saya menggunakan Mahasatipatthana Sutta, itu benar, tetapi tidak tepat, sebab saya juga menggunakan rujukan Bahiya Sutta dan Malunkyaputta sutta, serta berbagai Sutta yang lain, cuma saya tidak mengambil satu sutta sebagai acuan lalu mengacuhkan yang lain karena dalam meditasi ternyata saling berkaitan. Dalam Bahiya Sutta Sang Buddha mengajarkan bahwa bila melihat hanya melihat dsbnya, ini diberikan oleh Sang Buddha kepada petapa Bahiya maupun Bhikkhu Malunkyaputta karena melihat kematangan batin mereka.

Sang Buddha tidak memberikan khotbah sembarangan kepada sembarang orang, Beliau selalu melihat kematangan batin orang tersebut, apakah batinnya sudah masak atau belum.
Bagi orang yang baru belajar mereka tidak bisa bermeditasi seperti itu karena batin meditator pemula mudah sekali terseret. Contoh yang umum bagi mereka adalah rasa kantuk, rasa sakit dsbnya. Disini kita mudah sekali melihat kekokohan batin seseorang, apabila seorang meditator masih terpengaruh oleh rasa sakit waktu duduk bermeditasi maka ia telah terseret. Saya beranggapan meditasi dengan cara seperti yang ada di Bahiya Sutta bukan untuk pemula...
Hanya seseorang yang telah mencapai advance stage bisa bermeditasi seperti itu, oleh sebab itu Sang Buddha mengajarkan kedua Sutta tersebut  kepada Petapa.

Maaf, saya numpang bertanya kepada pak Hudoyo. Benarkah Pak Hudoyo selalu memberikan bimbingan MMD hanya tiga hari? dan benarkah Pak Hudoyo mengatakan bahwa meditator yang pak Hudoyo bimbing telah mengalami khanika samadhi? coba pak Hudoyo secara jujur tanyakan kepada mereka apakah mereka masih merasa mengantuk di siang hari, terutama setelah makan? apakah mereka masih terpengaruh oleh rasa sakit di kaki bila meditasi duduk, katakanlah misalnya duduk tak bergerak selama dua jam?

Bila ia masih merasa sakit atau terpengaruh atau timbul rasa tak menyenangkan, maka saya menganggap bahwa ia belum mengalami khanika samadhi yang sesungguhnya.

Kemudian bila ia mengatakan bahwa ia tidak merasa sakit atau tidak mengantuk, coba tanyakan mengenai kanika samadhi yang mereka alami itu objeknya apa? mohon pak Hudoyo informasikan kepada saya supaya saya bisa lebih memahami MMD.

bagaimana dengan umat awam yang sama sekali tidak mengerti? Sang Buddha selalu memberi khotbah awal anupubikatha yaitu lima tingkat latihan yang membawa kemajuan, dimulai dengan berdana
dsbnya... setelah batinnya lembut dan mulai menerima baru mengajarkan meditasi yang sesuai untuk orang tersebut.

Dalam Tipitaka Sang Buddha mengajarkan berbagai macam cara meditasi, tetapi kita harus memilah milah sesuai dengan penggunaannya, contoh: Sang Buddha mengajarkan mengenai Kayagatasati, Asubha dsbnya, demikian juga dengan terhadap objek objek Arupa yaitu kesadaran tak terbatas dsbnya tetapi objek Arupa ditujukan kepada mereka yang telah mencapai keempat rupa Jhana bukan kepada pemula. Tidak mungkin seorang pemula langsung berlatih meditasi dengan objek ke empat Arupa.

Demikian juga dengan Bahiya sutta, tidak mungkin meditator pemula untuk bermeditasi dengan hanya melihat, hanya mendengar dsbnya, karena batin mereka pasti terseret. Lain halnya dengan seorang meditator tingkat lanjut, mereka sudah kokoh dan mantap, sehingga bila ada fenomena batin yang timbul umpamanya rasa sakit atau mengantuk begitu diamati langsung lenyap seketika, tanpa bekas...!

Dan mereka mampu mengamati segala sesuatu apa adanya, saya banyak menemui pemeditator yang telah mencapai kematangan batin seperti itu.

Saya setuju keadaan batin seperti itu masih bisa dicapai oleh meditator yang beragama lain tetapi mereka tak akan mencapai pencerahan versi ajaran Sang Buddha (entah kalau pencerahan versi agama mereka), mengapa? Ajaran Sang Buddha mengajarkan bahwa salah satu faktor pencerahan awal yaitu lenyapnya sakkayaditthi, adalah lenyapnya pandangan salah mengenai aku atau atta, mungkin bagi mereka yang kurang menyelami menganggap bahwa ada atta atau aku yang dihancurkan.

Kenyataannya tidaklah demikian, karena jika ada atta yang dihancurkan atau dilenyapkan maka kita terperangkap pada paham nihilisme. Bagaimanakah pandangan salah itu bisa lenyap? Pada waktu meditator mengamati timbul dan tenggelamnya batin dan jasmani ia harus sepenuhnya melepas ide, paham apapun, suatu ketika fenomena timbul tenggelam itu lenyap, pada waktu itu ia melihat bahwa semua ini hanya proses, tidak lebih. Dengan demikian maka pandangan salah mengenai atta akan lenyap dengan sendirinya.

Disini titik pentingnya, apabila orang tersebut memiliki paham yang terus dia pegang maka ia tak akan menembus, karena jika ia tak melepas paham tersebut maka batinnya tak akan diam sepenuhnya.

Non Buddhis dapat mencapai pandangan terang hanya pada batas sankharupekkha nana dan tak dapat maju lebih daripada itu. Bukan karena mereka tidak menjadi pengikut Sang Buddha... bukan demikian. Mereka tak dapat menembus karena mereka tak mau melepaskan pandangan salah mengenai atta (atta ditthi). Atau bisa juga karena aspirasi yang kuat untuk menjadi Bodhisatta, sehingga batinnya tak dapat melepas sepenuhnya.

Dalam meditasi Vipassana kita tidak boleh sedikitpun melekat pada satu paham. karena melekat pada paham akan menghalangi pembebasan. Kemelekatan bahwa atta ada, kemelekatan bahwa atta tak ada, kemelekatan atta ada dan sementara, kemelekatan bahwa atta antara ada dan tidak ada dsbnya, ini semua adalah paham yang hanya akan menghalangi pembebasan, bahkan ada kemelekatan yang lebih halus yaitu kemelekatan bahwa aku tidak melekat juga merupakan kemelekatan ditthi, yang sesungguhnya tidak melekat sudah tidak lagi mempersoalkan mengenai melekat atau tidak melekat, karena batinnya tidak menolak maupun memegang.

Memang amat sulit sekali melihat kemelekatan yang halus, yaitu bila kita berpandangan orang lain berpikiran sempit kita berjiwa besar, ini adalah kemelekatan. Orang lain melekat pada pandangan kita tidak melekat pada pandangan, ini juga kemelekatan yang halus. Orang lain menganggap dia benar sendiri, sedangkan saya tidak demikian, inipun juga kemelekatan, kemelekatan terhadap metode orang lain berkonsep, metode saya tidak berkonsep, ini pun juga merupakan kemelekatan. Metode orang lain mencari cari metode saya tidak... ini juga kemelekatan...

Tetapi bagaimana jika kita melekat pada salah satu paham, seperti yang dikatakan pak Hudoyo yaitu setiap 'usaha' apa pun tidak terlepas dari atta ... dan tidak ada 'usaha' apa pun dari atta bisa mencapai 'anatta', dengan melekat kepada paham ini maka ia tak akan bisa melihat segala sesuatu apa adanya. Dan ini sejalan dengan bagian lain dari Tipitaka yang menyebutkan kemelekatan terhadap paham atta (atta ditthi) juga termasuk kemelekatan yang menghalangi pembebasan.

Mungkin saya mau menambahkan sedikit bahwa pikiran merupakan manifestasi dari atta dan itu merupakan atta ditthi, pada kenyataannya, sebenarnya kita nampak seolah olah terlibat dengan atta disebabkan kita terseret, dikuasai, dimanipulasi oleh pikiran kita yang telah terkonsepsi. Dicemarkan oleh persepsi dan ingatan (sanna), yang membuat kita tak dapat melihat apa adanya.
Dan dari uraian itu kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, pikiran yang telah tercemar bukan atta, tetapi hanya merupakan bagian dari citta, yang berkaitan erat dengan indera keenam.

Mengenai Y.M. Thanissaro ingin menerjemahkan ekayano maggo sebagai jalan langsung, itu hak beliau. Tetapi saya lebih suka menerjemahkan ekayano = satu kendaraan; maggo = jalan.

Pandangan pak Hudoyo bahwa metode meditasi tradisi Mahasi lebih menekankan pada usaha dan konsentrasi saya hargai, karena tentu sah sah saja pak Hudoyo beranggapan demikian, tetapi pendapat itu baru saya dengar dari pak Hudoyo, saya belum pernah mendengar mengenai hal ini dari guru meditasi Mahasi yang sering saya temui, tidak satupun.

Semua guru meditasi apabila ia mengerti dan mendalami Dhamma dengan baik, dapat mengarahkan sesuai dengan keadaan muridnya sehingga ia mendapat kemajuan. Seringkali meditator pemula yang berlatih meditasi, entah metode meditasi Mahasi atau lainnya, diganggu oleh rasa kantuk. Oleh karena itu kewajiban seorang guru meditasi yang baik untuk memberikan bantuan nasehat untuk mengatasi kantuknya karena rasa kantuk menyebabkan pengamatan terhadap batin dan jasmani menjadi kabur (seperti yang dialami oleh Y.A. Mogallana ketika Beliau diserang rasa kantuk yang kuat).

Rasa kantuk  disebabkan oleh konsentrasi dan semangat yang tidak seimbang, saya beri contoh yang mudah:
   
    umpamanya kita mendengarkan khotbah dari seseorang yang tidak menarik, mudah sekali menyebabkan rasa bosan atau mengantuk karena kita tidak tertarik oleh isi dari khotbah tersebut.
Pada kesempatan lain kita mendengarkan khotbah dari seseorang yang pintar berkhotbah, ia menyelipkan berbagai cerita dalam khotbahnya dan juga diselingi berbagai humor segar, sehingga kita yang mendengar tahan mendengarkan walau khotbahnya berlangsung dua jam lebih.. mengapa? karena kita tertarik mendengarkan dan dengan demikian kita bersemangat.

Demkian juga dengan memperhatikan objek meditasi terus-terusan seperti kembung kempis sama sekali tidak menarik akhirnya kemalasan dan keengganan timbul sehingga kita jadi mengantuk.

 Oleh karena itu seorang guru meditasi yang berpengalaman tahu bahwa untuk saat itu batinnya belum cukup kuat untuk mengatasi rasa kantuk maka dianjurkan untuk bersemangat menimbulkan Viriya, agar tidak mengantuk.

Sedangkan bagi meditator yang telah mencapai tingkat lanjut saya tak pernah mendengar guru meditasi mengajarkan untuk menimbulkan semangat, mengapa? karena bagi seorang meditator tingkat lanjut rasa kantuk yang merupakan kekotoran batin dan merupakan perintang kemajuan itu tidak muncul, kalaupun muncul hanya sesaat, seketika itu juga disadari dan diamati, seketika itu juga lenyap.. tak bersisa….

Mudah mudahan pak Hudoyo mengerti pancabalani bukan sesuatu yang selalu diteliti atau dicari-cari seperti pendapat pak Hudoyo, tetapi adalah pengertian yang merupakan  jalan keluar untuk mengatasi rintangan batin yang jelas mengganggu dan menjadi perintang meditasi (namanya juga rintangan, bila fenomena tersebut muncul, maka ia akan merintangi meditasi kita). Agar meditasi kita menjadi baik.. penuh harmoni dan keseimbangan.

thinamidha umpamanya yang merupakan salah satu objek Dhamma , adalah sesuatu yang tidak dicari, demikian juga dengan rasa sakit (dukkha), hanya meditator bodoh yang mencari cari, karena apa yang mau dicari, Lha wong mereka muncul sendiri tanpa dicari kok.

Respon terhadap rasa ngantuk adalah dengan berusaha agar tidak mengantuk, karena meditator mengerti mereka telah meluangkan waktu dan mungkin materi untuk mengikuti retret bukan untuk tidur...! bila mereka mau tidur tidak perlu ke tempat retret, kemungkinan kamar mereka lebih nyaman. Jadi mereka berusaha selalu bertahan agar tidak jatuh tertidur.

Demikian juga dengan respon terhadap rasa sakit, mereka bertahan tidak mengubah posisi, bukan karena mereka mencari cari, tetapi rasa sakit muncul sendiri mengganggu mereka sehingga mereka tak dapat duduk bermeditasi lama, mereka lalu berusaha mengatasi dengan bertahan tidak bangun dan berusaha melihat rasa sakit yang muncul apa adanya, dengan sabar dan penuh perhatian.

Dari penjelasan saya mengenai metode mengatasi rasa kantuk dan sakit adakah tersirat bahwa metode yang saya tekuni dalam meditasi mencari-cari,
seperti pandangan pak Hudoyo?


Pak Hudoyo mengatakan bahwa  tuntunan Vipassana Sang Buddha samasekali tidak mengatakan mengenai usaha dan konsentrasi, tuntunan Vipassana yang mana? Bahiya Sutta dan Malunkyaputta sutta? Di dunia Buddhis saya belum mendengar ada guru meditasi yang mengatakan bahwa nasehat yang diberikan Sang Buddha kepada Y.A. Bahiya dan kepada Y.A Malunkyaputta Sutta merupakan tuntunan Vipassana (kecuali sebagai referensi), sedangkan mengambil tuntunan dari Mahasatipatthana sutta?... ya itu adalah tuntunan yang diakui di dunia Buddhis.

Setahu saya nasehat kedua sutta itu hanya dijadikan bahan referensi karena sangat minim informasi. Masih banyak faktor faktor lain yang diperlukan dalam meditasi Vipassana, yang bisa kita ambil dari bagian Tipitaka yang lain, bila tidak dibahas disana. Jadi Tipitaka adalah tuntunan meditasi yang merupakan kesatuan yang saling mendukung bukan terpisah satu sama lain seperti yang dipahami oleh pak Hudoyo.

Mengenai pentingnya objek utama mungkin saya perlu mengutip salah satu sutta (tetapi maaf saya sudah lupa dibagian mana, tetapi seingat saya di bagian Samyutta Nikaya, bila ada teman yang masih ingat dimana tolong beritahu, karena saat ini saya belum sempat mencari cari), nama suttanya saya lupa. Sang Buddha mengumpamakan mengendalikan pikiran (meditasi) seperti menundukkan banteng liar:

        "Pada jaman dahulu, bila ada seekor kerbau liar yang akan dijinakkan maka pertama kali kerbau tersebut diikat dengan tali, lalu talinya ditambatkan pada sebatang pohon. Pada awalnya kerbau tersebut akan mengamuk, berlari kesana kemari dan terus meronta ronta, hingga suatu ketika pada titik dimana banteng tersebut menjadi lelah dan malas untuk meronta, maka banteng tersebut akan jadi menurut, lalu pemilik yang menjinakkan memasukkan ring di hidungnyanya, sehingga bisa dikendalikan.

Demikian juga dengan pikiran yang ditambatkan pada jangkar yaitu keluar masuk napas atau kembung kempis perut sebagai objek utama pertama tama akan meronta ronta berlari kesana kemari, hingga akhirnya pikiran tersebut menjadi lelah, dan enggan melakukan perlawanan, akhirnya pikiran menjadi menurut dan mau menuruti kehendak kita.

Sebaliknya bila kerbau liar tersebut tidak diikat pada suatu pohon dan dibiarkan bebas berkeliaran maka kerbau tersebut tak akan menjadi jinak. Demikian juga dengan pikiran jika dibiarkan bebas berkeliaran dan tidak ditambatkan pada objek utama maka pikiran tersebut akan bebas berkeliaran tidak menjadi jinak.

Saya ingin menjawab pertanyaan penutup dari pak Hudoyo, tadinya saya merasa tak perlu menjawab, karena perkataan cocok atau tidak cocok tentu tidak tepat untuk diterapkan karena sifatnya sangat subjektif, tetapi saya lebih suka mengatakan effektif atau tidak effektif.

Bila mau jujur jika ada metode meditasi yang dilakukan hanya setengah jam sehari, selama seminggu sudah mencapai pencerahan. Tentu saya akan lebih cocok metode itu...demikian juga banyak orang orang lain. Tetapi apakah memang benar demikian? atau mungkin pada contoh yang lebih ekstrim saya akan lebih cocok lagi jika ada guru meditasi yang membuat saya mencapai pencerahan hanya dengan semburan air mantra atau inisiasi sederhana...

pada jaman dimana Ughatitannu dan Vipancitannu telah tidak muncul di dunia ini apakah mungkin mencapai seperti Y.A. Bahiya? Sedangkan kita paling paling hanya Neyya puggala, untung untung bukan Padaparama puggala.

Pak Hudoyo, sekali lagi saya memohon maaf, bahwa perbedaan perbedaan ini saya harap hanya dijadikan sebagai cara untuk saling memahami pandangan kita masing masing
 
Sukhi hotu.

Pages: 1 ... 127 128 129 130 131 132 133 [134]