Bergerak dari fana ke Buddha, kamu harus mengakhiri karma, tumbuhkan kesadaranmu, dan terimalah apa yang diberikan oleh kehidupan. Jika kamu selalu mudah marah, kau akan berpaling dari hakikat-dirimu dengan melawan Sang Jalan. Tidak ada manfaat dari menipu diri sendiri. Para Buddha bergerak dengan bebas melalui kelahiran dan kematian, muncul dan menghilang jika diingikan-Nya. Mereka tidak bisa dirintang oleh karma atau ditaklukkan oleh Si Jahat. Sekali yang fana melihat hakikat-sejati diri mereka, semua kemelekatan berakhir. Kesadaran tidak tersembunyi. Namun kamu hanya bisa menemukannya saat ini juga. Hanya pada saat ini. Jika kamu benar-benar ingin menemukan Sang Jalan, jangan terikat pada apapun. Sekali kau mengakhiri karma dan menumbuhkan kesadaranmu, kemelekatan apapun yang tersisa akan berakhir. Pemahaman datang secara alamiah. Kamu tidak perlu melakukan upaya apapun. Tetapi para fanatik tidak memahami apa maksud Sang Buddha. Dan semakin keras mereka berusaha, semakin jauh mereka dari maksud dari Para Bijak. Sepanjang setiap hari mereka memuja Para Buddha dan membaca sutra-sutra. Namun mereka tetap buta akan hakikat dirinya yang suci, dan mereka tidak bisa menghindar dari Siklus.
Buddha adalah seorang pemalas. Ia tidak mengejar-ngejar demi keberuntungan dan ketenaran. Apa baiknya hal demikian pada akhir nanti? Orang yang tidak melihat hakikat-sejati dirinya dan mengira bahwa membaca sutra, memuja Para Buddha, belajar dengan keras dan lama, berpraktik siang dan malam tanpa pernah berbaring, atau mendapatkan pengetahuan adalah Dharma, menyerapah Dharma. Para Buddha dari masa lalu dan masa depan hanya berbicara tentang melihat hakikat-sejati dirimu. Semua praktik adalah tak-permanen. Hingga mereka melihat hakikat-sejati mereka orang yang mengaku telah mencapai yang tak-terlampaui, penerangan sempurna adalah pembohong. Di antara sepuluh murid Shakyamuni, Ananda adalah yang paling terkemuka dalam belajar. Namun ia tidak mengenal Sang Buddha. Semua yang ia lakukan adalah belajar dan mengingat. Para Arahat tidak mengenal Sang Buddha. Semua yang mereka tahu adalah begitu banyak praktik untuk realisasi, dan mereka terperangkap dalam sebab dan akibat. Yang demikian ini adalah karma fana: tidak terhindar dari kelahiran dan kematian. Dengan bertindak bertentangan dari apa yang dimaksud, orang yang demikian menghina Sang Buddha. Membunuh mereka tidak akan salah. Sutra-sutra berkata, "Karena para icchantika (makhluk yang tercemar secara mendalam sehingga sulit menyadari hakikat diri, pentj.) tidak memiliki keyakinan, membunuh mereka tidak akan dipersalahkan, ketika orang yakin mencapai tahap Kebuddhaan.”
Hingga engkau melihat hakikat-sejati dirimu, kau tidak seharusnya ke mana-mana mengkritik kebaikan orang lain. Tidak ada gunanya menipu dirimu sendiri. Baik dan buruk adalah berbeda. Sebab dan akibat adalah jelas. Surga dan neraka adalah tepat di hadapan matamu. Namun para dungu tidak percaya dan jatuh langsung ke dalam neraka gelap tanpa ujung tanpa bahkan mengetahuinya. Apa yang menahan mereka dari memyakini adalah beratnya karma mereka. Mereka seperti orang buta yang tidak percaya terdapat sesuatu benda seperti cahaya. Bahkan jika kamu menjelaskan pada mereka, mereka masih tidak percaya, karena mereka buta. Bagaimana mereka mungkin mengenali cahaya?
Fakta yang sama berlaku juga untuk para dungu yang berakhir di antara peringkat terbawah eksistensi atau di antara yang miskin dan hina. Mereka tidak bisa hidup dan tidak bisa mati. Dan meskipun mereka menderita, jika kamu bertanya padanya, mereka menjawab mereka sebahagia para dewa. Semua yang fana, meskipun mereka mengira diri mereka terhormat dan mapan, adalah sama tidak sadarnya. Karena beratnya karma mereka, para dungu tidak bisa percaya dan tidak bisa terbebaskan.
Orang yang melihat bahwa pikiran mereka adalah Buddha tidak perlu mencukur rambutnya. Orang biasa adalah Buddhas juga. Jika mereka tidak melihat hakikat-sejati mereka, orang yang mencukur rambut mereka hanyalah para fanatik.
Namun ketika orang awam yang menikah tidak berhenti melakukan persetubuhan, bagaimana mereka bisa menjadi Buddha? Saya hanya berbicara tentang melihat hakikat-sejati dirimu. Saya tidak berbicara tentang persetubuhan hanya karena kamu belum melihat hakikat-sejati dirimu. Sekali kamu melihat hakikat-sejati dirimu, persebutuhan pada dasarnya adalah tidak penting. Persetubuhan berakhir bersamaan dengan saat kamu berbahagia di dalamnya. Bahkan jika beberapa kebiasaan bertahan, mereka tidak akan melukaimu, karena hakikat-sejati dirimu adalah pada esensinya murni. Meskipun bergumul dalam tubuh material empat elemen, hakikat-sejatimu pada dasarnya adalah murni. Ia tidak bisa tercemar.
Tubuh sejatimu pada dasarnya murni. Ia tidak bisa tercemar. Tubuh sejatimu tidak memiliki sensasi, tanpa lapar atau haus, tanpa panas atau dingin, tanpa sakit, tanpa cinta atau kemelekatan, tanpa hasrat atau sakit, tanpa baik atau buruk, tanpa pendek atau panjang, tanpa kelemahan atau kekuatan. Sebenarnya, tidak ada sesuatu pun di sini. Hanya karena kamu melekat pada tubuh material ini hal-hal seperti lapar dan haus, hangat dan dingin, dan sakit muncul. Sekali kamu berhenti untuk melekat dan membiarkan sesuatu terjadi, kamu akan terbebaskan, bahkan dari kelahiran dan kematian. Kamu akan merubah segala sesuatu. Kamu akan memiliki kekuatan spiritual yang tak terhalangi. Dan kamu akan menjadi damai di manapun kamu berada. Jika kamu meragukan ini, kau tidak akan melihat menembus apapun. Kamu lebih baik tidak melakukan apapun. Sekali kamu bertindak, kamu tidak bisa menghindari siklus kelahiran dan kematian. Namun ketika kamu melihat hakikat-sejati mu, kamu adalah seorang Buddha bahkan jika kamu bekerja sebagai tukang daging.
Tapi tukang daging menciptakan karma dengan membunuh hewan. Bagaimana mereka bisa menjadi Buddha?
Saya hanya berbiacara tentang melihat hakikat-sejati dirimu. Saya tidak berbicara tentang menghasilkan karma. Meskipun apa yang kita lakukan, karma kita tidak menjerat kita. Melalui berkalpa-kalpa tanpa akhir, hanya karena manusia tidak melihat hakikat-sejati sehingga mereka berakhir di dalam neraka. Sepanjang seseorang menciptakan karma, ia tetap melalui kelahiran dan kematian. Namun ketika seseorang menyadari hakikat-sejati asalnya, ia berhenti menciptakan karma. Jika ia tidak melihat hakikat-sejatinya, memuja Para Buddha tidak akan melepaskannya dari karmanya, tidak peduli apakah ia adalah tukang daging atau bukan. Namun sekali ia melihat hakikat-sejatinya, semua keraguan hilang. Bahkan karma miliki seorang tukang daging memiliki akibat pada orang demikian. Di India, kedua puluh tujuh sesepuh hanya mewariskan jejak pikiran tersebut.
Dan satu-satunya alasan saya datang ke China adalah untuk mewariskan ajaran [pencerahan] seketika Mahayana. Pikiran ini adalah Buddha. Saya tidak berbicara tentang sila, pemujaan atau praktik asketik seperti menenggelamkan dirimu dalam air dan api, menapak di roda pisau, makan sekali sehari, atau tidak pernah berbaring. Semua ini adalah fanatik, ajaran yang bersifat sementara. Sekali kamu mengenali gerakmu, hakikat-sejati sadar yang ajaib, pikiranmu adalah pikiran seluruh Para Buddha. Para Buddha di masa lalu dan masa depan hanya berbicara tentang mewariskan pikiran tersebut. Mereka tidak mengajarkan yang lain. Jika seseorang memahami ajaran ini, bahkan jika ia buta huruf ia adalah seorang Buddha. Jika kamu tidak melihat hakikat-sejati sadar yang ajaib dirimu, kamu tidak akan pernah menemukan seorang Buddha bahkan jika kamu memecahkan tubuhmu hingga ke atom-atomnya.
Buddha adalah tubuh sejatimu, pikiran sejatimu. Pikiran ini tidak memiliki wujud dan ciri, tanpa sebab dan akibat, tanpa otot dan tulang. Ia mirip dengan ruang. Kamu tidak bisa merengkuhnya. Ia bukan batin atau materialis atau nihilis. Kecuali Tathagata, tidak ada yang lain— tidak makhluk fana, tidak makhluk yang tercemar—bisa memahaminya.
Namun pikiran ini tidak berada di suatu tempat di luar tubuh material empat elemen. Tanpa pikiran ini kita tidak bisa bergerak. Tubuh tidak memiliki kesadaran. Seperti tanaman atau batu, tubuh tidak memiliki hakikat-sejati. Jadi bagaimana ia bergerak? Pikiranlah yang bergerak. Bahasa dan tingkah laku, persepsi dan konsepsi semuanya adalah fungsi dari pikiran yang bergerak. Semua gerakan adalah gerak pikiran. Gerak adalah fungsinya. Terpisah dari gerak tidak ada pikiran, dan terpisah dari pikiran tidak ada gerak. Namun gerak bukanlah pikiran. Dan pikiran bukanlah gerak. Gerakan pada dasarnya tanpa-pikiran. Dan pikiran pada dasarnya tanpa-gerak. Namun gerak takkan ada tanpa pikiran. Dan pikiran takkan ada tanpa gerak. Tidak ada pikiran agar gerak menjadi ada jika terpisah, tidak ada pikiran agar gerak menjadi ada jika terpisah. Gerak adalah fungsi dari pikiran, dan fungsinya adalah geraknya. Meskipun demikian, pikiran tidak bergerak ataupun berfungsi, esensi dari fungsinya adalah ketiadaan dan ketiadaan pada esensinya adalah tanpa-gerak. Gerak itu sama dengan pikiran. Dan pikiran pada esensinya adalah tanpa-gerak. Karena itu sutra-sutra mengajarkan pada kita agar bergerak tanpa bergerak, berpindah tanpa berpindah, melihat tanpa melihat, tertawa tanpa tertawa, mengetahui tanpa mengetahui, bahagia tanpa bahagia, berjalan tanpa berjalan, berdiri tanpa berdiri. Dan sutra-sutra berkata, "Lampauilah bahasa. Lampauilah pikiran." Intinya, melihat, mendengar, dan mengetahui adalah sepenuhnya tiada. Kemarahan, kebahagiaan atau rasa sakitmu seperti boneka itu. Kamu mencari namun kamu tidak akan menemukan sesuatu.
Menurut sutra-sutra, perbuatan jahat menghasilkan kesulitan dan perbuatan baik menhasilkan berkah. Orang yang marah pergi ke neraka dan orang yang bahagia pergi ke ke surga. Namun sekali kamu mengetahui hakikat-sejati kemarahan dan kebahagiaan adalah kosong dan kamu membiarkannya pergi, kamu membebaskan dirimu dari karma. Jika kamu tidak melihat hakikat-sejatimu, mengutip sutra-sutra tidak akan membantu. Saya akan terus pergi, namun ceramah pendek ini harus dilaksanakan.