kalau perumpamaan saya, seorang yang telah meninggalkan keakuan, apakah aku itu masih ada atau sudah ditinggalkan dan terpotong akarnya?
kalau perumpamaan bro kain sih, seorang yang telah meninggalkan keakuan, begitu telah meninggalkan keakuan dan meninggalkan "meninggalkan keakuan" maka keakuan telah terpotong akarnya.
agak aneh bro.
Salah, bukan begitu. Dari perumpamaan saya, perbuatan yang menjauhi keakuan, ketika keakuan tidak ada, maka perbuatan menjauhi keakuan itu pun ditinggalkan, karena telah terpotong akarnya.
Saya beri perumpamaan terakhir.
Seandainya seseorang terjebak dalam ilusi "umat beragama", maka bagi dia muncul diskriminasi. Ada saudara sedhamma (seiman) atau saudara "bukan sedhamma".
Berdasarkan keterkondisian tersebut, maka ada tindakan yang mengembangkan diskriminasi, misalnya pemaksaan agama.
Berdasarkan keterkondisian tersebut pula, maka ada tindakan yang tidak mengembangkan diskriminasi, misalnya toleransi antar umat.
Ketika seorang lepas dari belenggu diskriminasi tersebut, selain dia tidak mungkin memaksakan agama sendiri, juga otomatis pikiran "toleransi antar umat pun hilang". Mengapa? Karena toleransi antar umat itu hanya ada ketika diskriminasi itu ada. Ketika ia tidak lagi membedakan manusia berdasar agamanya, maka tidak ada lagi baik pemaksaan agama maupun toleransi, karena ia telah kehilangan akarnya.
dan saya lebih setuju pendapat bro Tesla.
Tidak masalah. Setiap orang memiliki kecenderungan masing-masing.