//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato  (Read 37755 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« on: 26 January 2013, 06:28:05 PM »
Berikut ini adalah terjemahan dari tulisan Bhikkhu Sujato yang berjudul "Sects and Sectarianism". Ini project yang diberikan Tuhan Sumedho dan Batara Indra kepada saya tahun 2012 yang lalu, namun karena satu hal dan hal yang lainnya baru dapat diselesaikan saat ini dan sekarang dalam proses oleh Yang Maha Kuasa ;D. Mudah2an bisa diterbitkan dalam waktu dekat di perpustakaan DC :)

Seperti judulnya, buku ini membahas tentang asal mula aliran-aliran Buddhisme awal dari berbagai sumber teks Buddhis yang masih bertahan sampai sekarang dan perspektif Bhikkhu Sujato tentang berbagai kisah perpecahan yang menyebabkan munculnya aliran-aliran Buddhis. Tulisan ini merupakan perspektif yang baru atas pandangan terhadap sektarianisme dalam Buddhisme yang tak habis-habisnya diperdebatkan dalam kalangan Buddhis sendiri, namun kita tetap harus bersikap kritis atas pandangan penulis seperti yang dikatakan Bhikkhu Bodhi pada awal buku:

Quote
“Ini adalah buku yang ditulis dengan cerdas dan merangsang pemikiran yang menyelidiki salah satu dari lebih masa yang samar-samar dalam sejarah Buddhis India, masa yang melihat pembentukan aliran Buddhis awal. Diambil dari berbagai sumber yang dilestarikan dalam beberapa bahasa kanonik, Ven. Sujato telah berusaha menembus ke belakang mitos yang mencegah pemahaman yang jernih atas periode ini, dengan memberikan masing-masing dari aliran awal pendengarannya sendiri. Kesimpulan beliau kadangkala radikal – dan saya tidak mengikuti beliau dalam setiap langkah – tetapi karyanya dicerahkan dengan banyak pandangan yang tajam dan diskusi yang merangsang secara cerdas.”

Ven. Bhikkhu Bodhi

Semoga dapat bermanfaat dan menambah wawasan kita semua _/\_

NB: Harap untuk tidak memberikan komentar/tanggapan (reply) pada thread ini untuk kerapian thread ini. Trims
« Last Edit: 27 January 2013, 11:47:28 AM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #1 on: 26 January 2013, 06:36:36 PM »
Aliran-Aliran dan Sektarianisme
Asal Mula Aliran-Aliran Buddhis
Bhikkhu Sujato
2006

Sangha bhikkhu dan bhikkhuni telah dibuat bersatu.
Sepanjang anak-anak dan cucu-cucuku masih hidup, dan sepanjang matahari dan bulan masih bersinar, siapa pun bhikkhu atau bhikkhuni yang memecah belah Sangha akan dibuat memakai jubah putih dan tinggal di luar vihara.
Apakah keinginanku?
Agar kesatuan Sangha akan bertahan lama.

Raja Aśoka, Minor Pillar Edict, Sāñchī

Mahāsaṅghika Śāriputraparipṛcchā

Aliran Mahāsaṅghika dengan rajin mempelajari Sutta-Sutta dan mengajarkan makna sejatinya, karena mereka adalah sumber dan pusatnya. Mereka mengenakan jubah kuning.

Aliran Dharmaguptaka menguasai rasa dari jalan sejati. Mereka adalah para pemandu untuk manfaat semuanya. Cara pengungkapan mereka khusus. Mereka mengenakan jubah merah.

Aliran Sarvāstivāda dengan cepat mendapatkan pengetahuan yang tak terhalangi, karena Dharma adalah panduan mereka. Mereka mengenakan jubah hitam.

Aliran Kaśyapīya rajin dan bersemangat dalam menjaga makhluk-makhluk. Mereka mengenakan jubah magnolia [sejenis bunga].

Aliran Mahīśāsaka mempraktekkan jhana, dan menembus dengan mendalam. Mereka mengenakan jubah biru.

(CBETA, T24, no. 1465, p. 900, c12-18)

Theravāda Dīpavaṁsa

Tujuh belas aliran ini bersifat memecah belah, hanya satu aliran yang tidak bersifat memecah belah.
Dengan aliran yang tidak bersifat memecah belah, terdapat delapan belas [sub-aliran] semuanya.
Seperti sebatang pohon banyan besar, Theravāda merupakan yang tertinggi, Dispensasi [sasana/ajaran] dari Sang Penakluk, sempurna, tanpa kekurangan atau kelebihan.
Aliran-aliran lainnya muncul bagaikan duri pada pohon tersebut.

(Dīpavaṁsa 4.90-91)

« Last Edit: 26 January 2013, 10:11:39 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #2 on: 26 January 2013, 06:41:34 PM »
Prakata

DUA KUTIPAN INI, masing-masing berasal dari teks-teks yang penting, menyoroti perbedaan yang radikal terhadap perspektif perpecahan aliran Buddhis. Apakah kita melihat aliran-aliran yang berkembang sebagai kerusakan dari suatu kesatuan yang murni awal mulanya, atau sebagai hamparan unik dari sifat potensial Dhamma?[1] Keyakinan saya sendiri bahwa kedua perspektif ini mungkin mengandung beberapa kebenaran, namun tidak ada dari keduanya yang mengandung kebenaran seluruhnya.

Jika kita merenungkan isu dasar yang memecah belah aliran-aliran, kita menemukan banyak yang mengingatkan pada dialog Buddhis saat ini. Adalah hal yang sama bahwa rumit dan mendalamnya sejarah pemikiran filosofis Buddhis menjadi sangat mudah dikecilkan menjadi penolakan yang gencar dari aliran-aliran lain hanya karena mereka tidak setuju dengan penafsiran dari kelompok yang dipilih sendiri. Sebanyak yang dapat kita bayangkan bahwa semua jawaban terselubung, sifat filosofi adalah sedemikian sehingga isu dasar yang dihasilkan aliran-aliran pemikiran tetap ada, dan muncul kembali dalam berbagai kedok dalam pembicaraan di dalam aliran itu sendiri.

Sebagai contoh, tesis dasar Mahāsaṅghika adalah sifat Sang Buddha yang melampaui manusia biasa. Kita mungkin menganggap beberapa ekstrem pandangan ini dengan candaan – seperti halnya gagasan bahwa kotoran tidak pernah lengket pada tubuh Sang Buddha, tetapi Beliau membersihkannya sesuai dengan kebiasaan sehari-hari – tetapi ini menunjukkan perhatian Buddhis yang asli: bagaimana kita membayangkan sifat Kebuddhaan, dengan sangat manusiawi tetapi juga sepenuhnya di luar kehidupan kita dengan kecemasan dan ketakutan? Inilah isu hidup dalam Theravāda modern. Sementara posisi “resmi” (baca “rasionalis, modernis, kelas menengah”) adalah bahwa Sang Buddha adalah manusia yang sempurna, perspektif yang penuh ketaatan dari mayoritas Theravādin melihat Sang Buddha sebagai sesuatu yang agak berbeda.

Sama halnya, Sarvāstivādin mendukung suatu realisme filosofis yang cenderung memperlakukan objek-objek luar sebagai “ada” dalam dan dari dirinya sendiri, sehingga bahkan sebuah hubungan abstrak seperti “kepemilikan” dianggap sebagai substansi yang nyata. Ini menjadi naïf, tetapi dalam membentuk filosofinya mereka menunjukkan suatu kesadaran terhadap masalah metafisik yang fundamental: jika kita mengizinkan “keberadaan” satu hal, ini akan sulit untuk menyangkal keberadaan segala hal. Maka Sarvāstivādin menganggap bahwa masa lampau dan masa depan “ada” persis dalam pengertian yang sama seperti masa sekarang. Sarvāstivādin dengan sempurna menyadari bahwa ini kelihatannya menyalahi aksioma dasar Buddhis tentang ketidakkekalan. Namun mereka berusaha menemukan penafsiran filosofis yang masih berkaitan atas ketidakkekalan tidak berdasarkan ontologi, tetapi berdasarkan kemanjuran sebab akibat: masa sekarang “ada” seperti halnya masa lampau dan masa depan “ada”, tetapi masa depan dibedakan dalam hal ia bersifat operatif atau fungsional. Mengambil analogi modern, bandingkan hal ini dengan tombol-tombol pada dokumen Word yang sedang saya ketik; mereka semuanya “ada”, tetapi hanya menjadi operatif ketika saya melayangkan kursor di atas mereka: saat itulah “masa sekarang”. Kita dapat bertanya tentang rumusan gagasan ini, tetapi kita harus melakukannya seperti yang dilakukan Sarvāstivādin sendiri, yaitu, dalam konteks Buddhis, mencari cara terbaik untuk menyampaikan kebenaran Buddhis dengan jelas. Kita akan perlu menyampaikan pertanyaan yang sama yang dihadapi Sarvāstivādin; jika semuanya tidak kekal, apakah yang terdapat di sana yang menghubungkan masa lampau, masa depan, dan masa sekarang? Pertanyaan ini lebih banyak dari suatu candaan abstrak. Dalam agama yang penuh ketaatan seperti Buddhisme, ini penting sekali dalam membentuk sikap emosional kita terhadap Sang Guru yang kita cintai, yang hadir dalam kesadaran kita, tetapi sangat jauh dalam waktu. Theravādin walaupun kerasnya ajaran resmi tentang kesementaraan yang berakar kuat, masih dengan populer menganggap Sang Buddha entah bagaimana masih ada, yang mengakibatkan dikotomi yang tidak mudah antara perspektif yang resmi dan yang populer. Pendekatan Sarvāstivādin akan mengizinkan pemahaman yang sedikit patah di seluruh komunitas, yang dapat menjadi salah satu alasan di belakang keberhasilan luar biasa mereka di India kuno.

Sebagai contoh lainnya, Puggalavādin mengambil posisi mereka berdasarkan pada tesis bahwa terdapat suatu “pribadi” yang tidak sama ataupun bukan tidak sama dengan lima kelompok unsur kehidupan yang membentuk keberadaan empiris kita. “Pribadi” ini tidak dapat digambarkan, tetapi bukan “diri” dari penganut ajaran non-Buddhis. Ini adalah “pribadi” yang merasakan buah kamma dan yang mencapai pencerahan. Puggalavādin tidak buta terhadap kesulitan dalam mendamaikan teori ini dengan ajaran “bukan-diri”. Agak bertentangan; upaya filosofis utama mereka masuk ke dalam penjelasan yang rumit tentang bagaimana “pribadi” sesungguhnya adalah pemahaman yang benar atas “bukan-diri”. Sekali lagi, ini adalah isu kunci dalam dialog Buddhis modern. Bagaimana kita mendamaikan realitas “atomik” atas pengalaman empiris kita dengan pengertian identitas pribadi yang tak dapat disangkal? Masalah ini terutama genting dalam hubungan antara pemikiran Buddhis dan pemikiran psikologis. Banyak psikologi terkait dengan pembangunan suatu “diri” yang menyatu dan terpadu, suatu proyek yang terkutuk bagi penafsiran harfiah dari Buddhisme tradisional. Tetapi pendekatan psikologis telah berkembang dalam menanggapi suatu masalah sesungguhnya, jiwa modern yang patah dan terasing. Ini adalah suatu konteks yang berbeda dengan apa yang dihadapi Sang Buddha ketika ia mengkritik ajaran Brahmanis atau Jainis tentang suatu inti yang kekal dan berlangsung terus yang bertahan saat kematian. Karena kita mengembangkan tanggapan yang modern pada pertanyaan semacam ini, tampaknya akan masuk akal untuk mengenali bahwa kita bukan generasi pertama yang bergulat dengan bagaimana menerapkan Buddhisme dalam suatu konteks historis yang jauh terpisah dari generasi Sang Buddha sendiri.

Dalam mengejar pertanyaan historis sepanjang karya ini, maka, saya membenarkan bahwa berbagai aliran semuanya berusaha menjelaskan dan menjalankan penafsiran yang sungguh-sungguh atas ajaran Sang Buddha. Ketika diselidiki dengan dekat, ajaran aliran-aliran tersebut tidak dapat dijelaskan sebagai kesalahan sederhana, atau penyusupan asing, atau kerusakan yang disengaja. Ini akan mengikuti perspektif yang lebih simpatik dan lembut tentang aliran-aliran mungkin akan lebih objektif daripada catatan-catatan pendukung kuat yang sengit.

Tampaknya bagi saya terlalu banyak bobot yang telah diberikan pada Dīpavaṁsa, kronologi Sri Lanka yang paling awal. Versi kejadian ini, walaupun memperkuat kredibilitas dalam hampir setiap hal, terus menggunakan pengaruh yang kuat pada pengertian Theravādin atas identitas bersama. Kenyataannya bahwa beberapa sarjana modern telah memperlakukannya dengan baik hanya menambah kekuatan bagi kecenderungan ini.

Penelitian yang terkandung dalam karya ini terutama diinspirasi oleh keterlibatan saya dalam reformasi Sangha bhikkhuni dalam Theravāda. Sementara kita hanya akan memandang sepintas terhadap isu ini di sini, salah satu pertanyaan utama dalam pembangkitan kembali silsilah bhikkhuni dari perspektif Theravādin adalah keabsahan silsilah penahbisan dalam aliran lain. Pandangan Theravādin tradisional akan mengatakan bahwa para bhikkhuni yang ada sekarang adalah “Mahāyāna”. Mahāyāna, diklaim diturunkan dari Mahāsaṅghika, dan Dīpavaṁsa menyatakan bahwa Mahāsaṅghika tidak lain daripada para Vajjiputtaka yang “jahat”, yang menganjurkan penggunaan uang oleh para bhikkhu, dan yang dikalahkan pada Konsili Kedua, tetapi kemudian bereformasi dan membuat pembacaan baru. Oleh sebab itu Mahāyāna adalah perwakilan dari suatu tradisi yang prinsip dasarnya mendorong kelalaian dalam Vinaya. Mereka “bersifat memecah belah” dan tidak mungkin untuk menerima mereka sebagai bagian dari komunitas yang sama.

Tampaknya bagi saya bahwa pandangan ini, yang asalnya diinspirasi oleh Dīpavaṁsa, mendasari posisi yang diambil oleh banyak Theravādin aliran utama saat ini. Saya hendak menunjukkan bagaimana posisi Dīpavaṁsa tidak sesuai dan  jelas tidak masuk akal, dan bahwa lebih masuk akal penggambaran asal mula aliran Buddhis dapat dibentuk dari pembacaan yang simpatik terhadap semua sumber.

Baru-baru ini saya sedang berada dalam suatu pertemuan di mana isu ini dibahas. Seorang bhikkhu Vietnam mengakui silsilahnya berasal dari Vinaya Dharmaguptaka; seorang bhikkhu Tibet mencatat warisannya dari Vinaya Mūlasarvāstivāda; tetapi Theravādin terus-menerus mengatakan seakan-akan mereka semata-mata “Mahāyāna”. Situasi ini, walaupun patut disesali, dapat dipahami karena kebanyakan Theravādin tidak pernah mendengar tentang “Dharmagupta” atau “Mūlasarvāstivāda”. Sekali 17 aliran telah dijauhkan sebagai “yang bersifat memecah belah” dan “duri” oleh Dīpavaṁsa, dan ajaran mereka telah disangkal oleh Kathāvatthu, tidak perlu lagi diberitahukan tentang aliran-aliran lain.

Tetapi kenyataannya bahwa tidak pernah ada secara khusus Vinaya atau silsilah penahbisan “Mahāyāna”. Alih-alih, beberapa bhikkhu dan bhikkhuni, setelah ditahbiskan dalam salah satu silsilah aliran awal, memilih untuk mempelajari dan menjalankan beberapa teks dan cita-cita etis yang dikenal sebagai “Mahāyāna”. Inilah, sejauh yang dapat kita katakan, masalah di India kuno dan ia tetap menjadi masalah saat ini. Saat ini, para bhikkhu dan bhikkhuni dari tradisi Asia Timur mengikuti aliran Dharmaguptaka, sedangkan tradisi Asia Tengah mengikuti Mūlasarvāstivāda. Oleh sebab itu, tidak ada seorang bhikkhu atau bhikkhuni “Mahāyāna” dari sudut pandang Vinaya. Vinaya sendiri diam sepenuhnya atas pertanyaan tentang aliran-aliran. Jika kita berharap untuk memahami hubungan antara Sangha yang masih ada dari berbagai aliran, maka kita harus menyelidiki hubungan antara aliran Buddhisme awal di mana Vinaya dan silsilah penahbisan berasal.

Salah satu cara melakukan hal ini adalah dengan menyelidiki asal mula aliran-aliran yang dipertanyakan. Di sini kita memasuki dunia mitologi yang berputar-putar dan tidak tentu, di mana penafsiran memerintah tak terbatas, dan prasangka sektarian tidak semata-mata diharapkan, tetapi merupakan motivasi yang menggerakan. Dengan pertimbangan sifat yang kontradiksi, tidak lengkap, dan meragukan dari sumber-sumber tertulis, tidak jelas apakah kita dapat mengharapkan untuk menemukan bahkan secercah cahaya redup kebenaran. Tetapi bukti kita yang paling pasti berasal dari kebetulan yang menggembirakan dari kisah sejarah/mistik dan penemuan arkeologis, dan di sinilah kita memulai pencarian kita.

Saya telah menetapkan diri saya kemungkinan tugas yang tidak mungkin dalam upaya mengkomunikasikan gambar yang lebih realistis atas pembentukan aliran-aliran kepada para praktisi Buddhis. Walaupun saya menggunakan metode dan hasil dari kesarjanaan modern, saya tidak berharap untuk berbicara pada seorang pendengar akademik murni. Saya harap terdapat beberapa Buddhis yang bermaksud untuk menghabiskan waktu untuk meneliti sejarah sedikit dengan lebih hati-hati, dan tidak hanya menerima polemik dari aliran mereka berdasarkan persaingan sektarian kuno.

Akan lebih baik jika saya dapat mencerna karya mengagumkan dari para peneliti modern tentang topik ini dan hanya menyajikannya dalam suatu bentuk yang sesuai. Tetapi sayangnya, saya menemukan diri saya sendiri tidak dapat menerima banyak penemuan dari para peneliti modern, lebih banyak daripada saya dapat menerima tradisi aliran-aliran. Kelihatannya bagi saya bahwa kebanyakan karya modern, sementara ia telah menyelesaikan suatu masalah besar, terhambat oleh masalah-masalah yang mengganggu studi Buddhis secara umum: penerimaan yang tidak kritis terhadap bukti tekstual atas penemuan arkeologis; prasangka dalam mendukung salah satu dari tradisi selatan atau utara; kepercayaan pada pembacaan yang tidak tepat atau salah dari karya dan terjemahan sekunder; gagasan yang sederhana atau tidak realistis atas kehidupan beragama secara umum dan kehidupan monastic secara khusus; kurangnya pemahaman atas Vinaya;  membaca kembali situasi yang belakangan ke dalam masa yang lebih awal; dan mungkin yang paling penting, kurangnya penghargaan terhadap mitos, sehinggi informasi “historis” terpisahkan dari konteks mitos yang memberinya makna. Pembaca dapat menilai sendiri sampai tingkat mana saya telah dapat mengatasi masalah-masalah ini.

Terima kasih yang luar biasa kepada Bhikkhuni Samacitta, untuk bantuan beliau dalam terjemahan Mandarin, dan Bhikkhu Santidhammo yang membantu saya memahami sifat perpecahan dan komunitas. Terima kasih juga kepada Bhikkhu Bodhi, yang telah memberikan waktunya untuk membaca karya saya dan memberikan komentarnya. Marcus Bingenheimer, Bhikkhuni Thubten Chodren, Bhikkhuni Chi Kwang Sunim, Bhikkhuni Jampa Tsedron, Terry Waugh, Mark Allon, Rod Bucknell dan banyak lagi yang lainnya telah memberikan umpan balik dan dukungan. Saya juga ingin menyampaikan penghargaan saya kepada banyak donator yang telah mendukung kehidupan kebhikkhuan saya, dengan memberikan kebutuhan-kebutuhan fisik yang memungkinkan terciptanya karya ini: sādhu, sādhu, anumodāmi!

Sepanjang penelitian ini saya telah mendatangi beberapa wilayah yang bermanfaat bagi penelitian, walaupun bersinggungan dengan argumen utama buku ini. Dalam beberapa kasus ini hanya pernyataan teknis, sedangkan yang lain mengkritik beberapa penafsiran khusus dari isu-isu yang berkaitan, dan yang lain lagi merupakan sketsa terhadap studi yang lebih jauh. Esai ini, bersama dengan teks dari buku yang sekarang, dapat ditemukan pada situs jaringan:


Catatan Kaki:

[1] Ini tanpa mengatakan bahwa klaim Śāriputraparipṛcchā tentang warna jubah dari berbagai aliran tidak seharusnya diartikan secara harfiah.
« Last Edit: 26 January 2013, 10:23:39 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #3 on: 26 January 2013, 06:49:58 PM »
Abstraksi

KONSEP “ALIRAN” yang telah berevolusi dalam pikiran saya seraya saya mengejar karya ini telah memiliki suatu hubungan dengan gagasan sesuatu “yang berbeda sepenuhnya”: sekelompok Sangha yang telah melihat dirinya sendiri karena dalam beberapa pengertian berbeda dari Sangha lainnya, dan yang memandang sistem mereka sendiri sebagai sesuatu yang lengkap, cukup untuk suatu kehidupan spiritual. Ini akan melibatkan suatu tradisi tekstual, pusat ketaatan, silsilah para guru, dukungan institusi, dst. Ketika faktor-faktor ini ada di sana dalam suatu tingkat yang cukup untuk bagian tertentu dari Sangha guna menyetujui bahwa mereka sendiri mengandung sesuatu “yang berbeda sepenuhnya”, kita dapat mengatakannya suatu aliran.

Marilah kita mempertimbangkan bukti utama untuk pembentukan sektarian, dengan membagi sumber kita menjadi dua kelompok, yang sebelum dan yang sesudah Masehi (sekitar 400-500 AN), dan melihat di mana sesuatu yang berbeda sepenuhnya itu dapat diamati. Dalam setiap kelompok saya akan menganggap bukti arkeologis pertama-tama, karena itu dapat dengan jelas ditetapkan waktunya. Masa semua sumber tekstual dapat dipertanyakan, dan kebanyakan darinya mungkin mengangkangi pembagian kita. Namun demikian, saya berusaha memberikan suatu tempat sebaik yang saya bisa.

Periode Awal (Sebelum Masehi)

Di sini sumber utama kita adalah bukti arkeologis dari prasasti Aśoka serta prasasti dan stupa Vedisa, literatur doxografis [menggambarkan pendapat atau filosofis masa sebelumnya] (Kathāvatthu dan Vijñānakāya), dan Komentar Vinaya Sinhala (yang dengan pastinya berhubungan dengan bukti arkeologis dibuktikan memiliki akar dalam periode ini). Kita dapat juga memasukkan legenda Aśoka yang, sementara tidak memiliki kepastian arkeologis yang berbeda demikian seperti Komentar Vinaya, namun sedikitnya mungkin memiliki beberapa asal mula yang sama dalam periode ini.

Prasasti-prasasti Aśoka tidak menyebutkan aliran mana pun atau kejadian perpecahan eksplisit mana pun. Ketika maklumat-maklumat mengatakan Sangha telah “dibuat bersatu”, ini menyatakan bahwa terdapat beberapa konflik, tetapi ini jatuh pada sejenis pengembangan bahwa perpecahan telah terjadi. Dalam semua kasus, bahkan jika telah terjadi perpecahan, maklumat itu memastikan bahwa itu telah diselesaikan. Atau maklumat-maklumat Aśoka tidak menyebutkan ajaran, teks, atau apa pun lainnya yang dapat memberi petunjuk keberadaan aliran-aliran. Faktor utama pembentuk aliran yang sedang bekerja di sini akan berupa penyebaran geografis Sangha, yang akan menjadi kekuatan yang besar dalam evolusi identitas sektarian yang berbeda.

Tulisan pada peti mati yang diambil dari stupa-stupa di Vedisa menyebutkan beberapa faktor pembentuk aliran, seperti para orang suci lokal, institusi lokal, dan nama Hemavata, yang sedikitnya pada beberapa waktu dianggap sebagai nama suatu aliran. Tetapi di sana tidak ada bukti yang jelas dan pasti atas keberadaan suatu aliran. Hemavata mungkin murni istilah geografis di sini. Seperti yang diteliti Cousins, tidak ada bukti jelas atas teks-teks Hemavata yang tertahan, maka status aliran ini meragukan dalam setiap hal. Munculnya identitas lokal merupakan perkembangan alami dari penyebaran geografis di bawah Aśoka, dan kita tidak memiliki bukti bahwa komunitas Vedisa melihat dirinya sendiri berbeda dari komunitas Buddhis lainnya.

Literatur doxografis juga sama membuktikan faktor-faktor pembentuk aliran, khususnya penjelasan atas ajaran-ajaran kontroversial yang mencirikan aliran-aliran tertentu. Tetapi tidak ada pengakuan eksplisit atas keberadaan aliran-aliran, dengan pengecualian tersendiri dari penyebutan Puggalavāda dalam Vijñānakāya.

Komentar Vinaya Sinhala diselesaikan sangat belakangan, tetapi terdapat bukti arkeologis yang pasti yang membuktikan bagian-bagian yang sesuai pasti berasal dari catatan sejarah yang asli. Ini terutama benar dalam kasus Sudassanavinayavibhāsā, yang terbukti dibawa ke Cina dan diterjemahkan dari suatu teks yang lebih tua daripada revisi komentar Buddhaghosa pada abad ke-5 M. Teks ini menguraikan kejadian yang luas dari periode yang dipertanyakan, dan tidak menemukan alasan untuk menyebutkan bahkan sambil lalu keberadaan aliran mana pun.

Hal yang sama dengan Aśokavadāna, Aśokarājasūtra, Divyavadāna, dst menguraikan banyak kisah tentang Aśoka tanpa melibatkan aliran-aliran. Tentu saja karya legenda ini banyak ditambah sepanjang waktu, tetapi jika apa pun tambahan ini memperkuat argumen kita: karena teks-teks ini tak diragukan lagi diselesaikan dalam masa sektarian, pasti ada usaha untuk secara eksplisit menghubungkan Aśoka dengan aliran mereka sendiri. Tetapi ini tidak dilakukan, setidaknya sejauh yang telah saya lihat.

Sebagai kesimpulan pada periode ini, tidak ada bukti yang dengan jelas milik periode ini yang menyebutkan atau menyatakan keberadaan aliran-aliran. Kita hanya menemukan penyebutan berbagai kekuatan yang membawa pada pembentuk aliran, tidak pernah aliran sesungguhnya yang berasal dari kekuatan-kekuatan ini. Ini masih benar bahkan jika kita mengizinkan teks-teks yang sebenarnya diselesaikan belakangan, tetapi mungkin memiliki akar dalam periode ini.

Periode Pertenngahan (Setelah Masehi)

Untuk periode ini sumber utama kita adalah bukti prasasti, berbagai kisah perpecahan, dan literatur śāstra/komentar.
Prasasti-prasasti, yang dimulai di Mathura sekitar tahun 100 M, secara teratur menyebutkan nama-nama aliran.
Śāstra (misalnya Abhidharmakośa, dst) dan komentar-komentar (misalnya Kathāvatthu-aṭṭhakathā, Mahāvibhāṣā, dst) secara teratur menyebutkan aliran-aliran berdasarkan nama, dan membahas ajaran-ajaran mereka. Sumber tekstual bersesuaian dengan sangat baik satu sama lainnya, dan juga dengan prasasti-prasasti.

Kisah perpecahan juga menyebutkan nama-nama yang sama dan kadangkala ajaran yang sama seperti sumber lainnya.
Kisah perpecahanlah yang harus kita bahas secara lebih detail, karena merupakan sumber utama di mana gagasan perpecahan awal berasal. Empat teks utama berhubungan erat dan harus dikembalikan pada asal mula yang sama dalam beberapa aspek. Beberapa daftar lainnya tidak dianggap di sini (seperti Bhavya I dan II) tetapi saya percaya daftar ini tidak akan mengubah masalah secara signifikan. Empat teks utama ini adalah:

•   Śāriputraparipṛcchā (Mahāsaṅghika)
•   Samayabhedoparacanacakra oleh Vasumitra (Sarvāstivāda: ini harus ditafsirkan bersama dengan Mahāvibhāṣā)
•   Dīpavaṁsa (Mahāvihāra/Vibhajjavāda/Sthavira)
•   Bhavya III (Puggalavāda)

Kisah-kisah ini lebih jauh dibagi ke dalam dua pasang berdasarkan masanya. Śāriputraparipṛcchā dan karya Vasumitra lebih awal, dan mungkin berasal dari masa sekitar tahun 200 M. Dīpavaṁsa dan Bhavya III lebih mungkin berasal dari tahun 400 M (walaupun teks Bhavya III masih lebih belakangan, 600 M+).

Śāriputraparipṛcchā, yang adalah kisah perpecahan yang paling awal atau kedua paling awal, berasal dari Mahāsaṅghika. Kisah ini, yang menghubungkan perpecahan pada suatu upaya pada pihak Sthavira untuk mengembangkan Vinaya kuno, memberikan waktu perpecahan sekitar satu abad setelah Aśoka. Seperti yang telah kita lihat, ini adalah catatan yang sangat cocok dengan bukti prasasti, dan dengan semua bukti teksual awal. Teks ini telah diabaikan para sarjana yang telah menyatakan teks tersebut tidak jujur dan secara kronologis membingungkan. Namun, pemeriksaan yang dekat terhadap teks ini tidak mendukung hal ini. Teks ini, tak dapat disangkal, suatu teks yang miskin dan sulit diterjemahkan, tetapi kronologi periode yang dipertanyakan sesuai secara koheren pada keseluruhan naratif. Perpecahan tidak dapat secara acak dimundurkan sebelum masa Aśoka tanpa menghancurkan konteks ini. Sesungguhnya, salah satu tujuan utama naratif adalah untuk mengklaim atas otoritas mitos aliran Mahāsaṅghika terhadap Upagupta, seorang tokoh yang berhubungan erat dengan Aśoka.

Vasumitra menempatkan perpecahan pada masa Aśoka, di mana untuk kronologis pendeknya adalah tahun 100+ AN. Versi ini, yang menghubungkan perpecahan pada suatu perselisihan tentang “lima poin” di Pāṭaliputta, yang berhubungan erat dengan Mahāvibhāṣā dan Bhavya III. Tetapi kita mencatat bahwa, sementara tiga sumber menggambarkan kejadian yang sama, hanya Vasumitra yang menghubungkan ini secara eksplisit dengan Aśoka. Disebabkan perbedaan cara menghitung tahun antara Sang Buddha dan Aśoka, penanggalan ini sangat membingungkan: Vasumitra menempatkan kejadian pada masa Aśoka, di mana teks tersebut mengatakan adalah tahun 100+ AN; Bhavya III menempatkan kejadian yang sama sebelum masa Aśoka, tetapi tahunnya adalah 137 AN. Mahāvibhāṣā tidak memberi nama raja, sehingga tidak menyediakan dukungan terhadap penanggalan tertentu. Sebagai tambahan, kisah, yang adalah suatu serangan yang sangat polemik pada “Mahādeva”, hanya ditemukan pada Mahāvibhāṣā yang lebih besar dan belakangan, yang bertanggal sekurangnya setengah milenium setelah kejadian itu. Dari Mahāvibhāṣā kita dapat melihat bagaimana aliran Sarvāstivāda menggunakan kejadian ini untuk mengembangkan mitos yang berbeda untuk menjelaskan bagaimana mereka dapat berkembang di Kaśmīr. Ini akan menyediakan banyak dorongan bagi Sarvāstivādin untuk menghubungkan perpecahan dengan Aśoka, tanpa memperhatikan fakta historis mana pun.

Dīpavaṁsa disusun sesaat sebelum Buddhaghosa, dan oleh sebab itu sangat belakangan daripada Śāriputraparipṛcchā atau Vasumitra. Bertanggalkan 700 tahun setelah kejadian, inilah teks pertama yang mengklaim bahwa perpecahan terjadi sebelum masa Aśoka, dengan menempatkannya segera setelah Konsili Kedua pada tahun 100 AN. Kisah perpecahan telah disisipkan dari teks bergaya Vasumitra. Namun, sebab perpecahan (penyimpangan teks), waktu, dan tempat (Vesālī) semuanya berbeda sepenuhnya. Teks ini dengan kasar ditambahkan ke dalam suatu penceritaan kembali kisah Konsili-Konsili selain yang dipertahankan dalam Komentar Vinaya Sinhala. Tidak perlu untuk menganggap bahwa konteks asal perpecahan yang ditambahkan menempatkan kejadian itu dalam konteks historis tertentu; sebaliknya, latarnya jelas ganjil. Penanggalan Dīpavaṁsa atas perpecahan segera setelah Konsili Kedua mungkin suatu temuan penulis Dīpavaṁsa sendiri, yang tujuannya untuk membangun mitos eksklusif untuk Mahāvihāra. Kredibilitas sejarah kisah ini mendekati nol.

Akhirnya, seperti Dīpavaṁsa, Bhavya III menempatkan perpecahan sebelum masa Aśoka. Tetapi kejadian-kejadian itu tidak ada hubungannya dengan kisah dalam Dīpavaṁsa. Alih-alih Bhavya III menghubungkan perpecahan dengan “lima poin” seperti halnya Vasumitra, dengan penanggalan yang tidak konsisten seperti yang saya sebutkan di atas. Kurangnya konteks mitos membuat kisah ini sulit untuk dinilai, tetapi tidak untuk meragukannya ditekan untuk melayani guna membenarkan aliran Puggalavāda. Kita mencatat bahwa inilah dua sumber terakhir (Bhavya III dan Dīpavaṁsa) yang menempatkan perpecahan sebelum masa Aśoka. Ini kelihatannya bahwa penanggalan perpecahan perlahan-lahan menjadi lebih awal, suatu ciri alami proses mitos.

Untuk merangkum periode ini, maka, kita memiliki bukti yang konsisten dan jelas atas penanggalan aliran-aliran Buddhis dari periode pertengahan (setelah Masehi). Dalam semua kisah kita tentang Buddhis dari periode ini, keberadaan dan sifat alami aliran-aliran diterima begitu saja dan merupakan suatu unsur yang penting. Persetujuan dari sumber-sumber sejauh sampai nama-nama aliran, antarhubungannya, dan ajaran-ajaran mereka yang berbeda-beda, semua hal dipertimbangkan, adalah sangat mungkin, seperti yang dapat kita harapkan karena hal-hal ini menggambarkan kondisi saat itu. Tetapi kisah-kisah asal mula perpecahan, sudah jauh di masa lampau dari perspektif mereka sendiri, merupakan sekumpulan kontradiksi. Dari ketiga kisah perpecahan yang menyediakan kita dengan informasi yang cukup (Śāriputraparipṛcchā, Vasumitra/Mahāvibhāṣā, Dīpavaṁsa), tidak dapat bantah bahwa fungsi utama dari kisah-kisah tersebut tidak untuk mencatat sejarah tetapi untuk membenarkan aliran sendiri. Saya mempercayai ini menyediakan alasan yang cukup untuk menjelaskan bagaimana aliran-aliran muncul dengan berbagai sistem penanggalan mereka.

Tentu saja, ini tidak membuktikan bahwa penanggalan dalam teks-teks ini semuanya salah. Sangat mungkin dan dalam kenyataannya sangat umum untuk membangun suatu mitologi di luar kejadian sebenarnya. Tetapi dengan mempertimbangkan kontradiksi-kontradiksi yang nyata saya berpikir ini semata-mata yang tidak dibuat-buat untuk menggunakan penanggalan dalam teks-teks ini untuk mencapai kesimpulan sederhana mana pun. Seperti semua mitos, mereka menggambarkan situasi pada masa mereka sendiri (suatu situasi Buddhisme sektarian) dan penanggalan kembali hal tersebut untuk mencari pembenaran kuno.

Membandingkan bukti sebelum Masehi dan sesudah Masehi

Walaupun rumitnya situasi, di mana semua kisah termasuk kisah saya sendiri tak dapat diacuhkan harus menyimpang dengan menyederhanakan, keseluruhan pola sungguh konsisten. Semua bukti dari periode awal (sebelum Masehi) kelihatanya cukup bahagia mengatakan tentang Buddhisme dengan tidak menyebutkan aliran-aliran. Berlawanan sepenuhnya, dalam periode pertengahan (sesudah Masehi) bahan-bahan keberadaan aliran-aliran tak terpisahkan dalam bagaimana Buddhisme dipahami. Bukti tekstual dan arkeologis sangat bersesuaian di sini.

Saya menyimpulkan bahwa berbagai kekuatan yang bersifat memisahkan berkumpul melalui periode awal dan bermanifestasi dalam kemunculan “aliran-aliran “ pada akhir periode awal, seperti yang digambarkan dalam Śāriputraparipṛcchā (dan berbagai karya berbahasa Mandarin dan Tibet). Seraya pertanyaan identitas sektarian menjadi lebih disadari, kisah mitos tentang perpecahan muncul di periode pertengahan.

Mahāvihāravāsin

Untuk menemukan gambaran yang lebih realistis tentang bagaimana aliran-aliran dapat muncul kita akan melihat di tempat lain. Salah satu kisah yang paling lengkap tentang asal mula semua aliran ditemukan dalam Komentar Vinaya Sinhala, yang ada dalam versi Pali Samantapāsādikā, dan penerjemahan bahasa Mandarin Sudassanavinayavibhāsā (T 1462 善見律毘婆沙 Shan-Jian-Lu-Pi-Po-Sha). Komentar Vinaya Sinhala mengisahkan beberapa kejadian yang menentukan yang terjadi pada masa Aśoka. Terdapat konflik di dalam Sangha yang diselesaikan dengan mengeluarkan para bhikkhu yang jahat oleh Aśoka bersama dengan Moggaliputtatissa Thera, yang diikuti dengan “Konsili Ketiga” yang diadakan untuk menetapkan kembali identitas bersama. Setelah itu Moggaliputtatissa mengatur pengiriman “misionaris” ke berbagai bagian India. Tujuan utama kisah ini adalah untuk membangun kepercayaan atas aliran Sinhala.

Saat ini kita menyebut aliran ini “Theravāda”, tetapi nama ini mengundang berbagai bentuk kebingungan. Secara khusus adalah suatu kesalahan mengidentifikasi aliran ini dengan “Sthavira” yang memisahkan diri dari Mahāsaṅghika pada perpecahan pertama. Alih-alih, Mahāvihāravāsin hanyalah satu cabang dari Sthravira yang berkembang di Sri Lanka dengan markas besar mereka di Mahāvihāra di Anuradhapura. Dalam teks-teks mereka sendiri mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai Mahāvihāravāsin (“Yang Mendiami Vihara Besar”) dan saya akan mengambil istilah ini. Harus dicatat bahwa ketika saya menunjuk pada teks-teks dari aliran ini, ini tidak menyatakan bahwa aliran tersebut memang membuat teks-teks tersebut; saya hanya memaksudkan teks-teks tersebut “sebagai yang diterima oleh” atau “yang diturunkan oleh” Mahāvihāra. Dalam beberapa kasus teks-teks ini disahkan oleh aliran tersebut, tetapi banyak darinya dipakai bersama secara umum dengan aliran lainnya, dengan perbedaan tingkat editorial yang berbeda-beda.

Terdapat dua buah bukti prasasti yang utama yang berasal dari periode awal Buddhisme India: maklumat Aśoka dan peninggalan kotak penyimpanan di Vedisa. Menariknya, keduanya memperkuat bukti yang ditemukan dalam Komentar Vinaya Sinhala. Prasasti Vedisa menyebutkan nama-nama beberapa bhikkhu di mana Komentar Vinaya Sinhala mengatakan mereka dikirimkan sebagai misionaris ke Himalaya segera setelah “Konsili Ketiga”. Dan maklumat Aśoka yang disebut juga “maklumat perpecahan” (yang sebenarnya mengatakan bahwa Sangha telah bersatu, tidak terpecah belah!) menyebutkan pengusiran para bhikkhu yang jahat, di mana banyak sarjana mengidentifikasi kejadian ini sebelum “Konsili Kedua”. Kita juga harus mencatat bahwa pengiriman misionaris oleh Moggaliputtatissa sering dibandingkan dengan pengiriman menteri-Dhamma oleh Aśoka; dan bahwa catatan arkeologis Sri Lanka bersesuaian secara umum dengan gambaran misi tersebut. Dua bukti ini, sementara tidak menentukan, menyediakan poin-poin persetujuan antara Komentar Vinaya Sinhala dan catatan arkeologis. Hubungan antara bukti prasasti dan tekstual ini mendorong kita untuk menganggap kisah [pengiriman] misi dalam Komentar Vinaya Sinhala benar-benar sebuah sumber untuk asal mula aliran-aliran.

Kisah [pengiriman] misi menggambarkan bagaimana aliran Sinhala dibangun oleh putra Aśoka Mahinda dan putrinya bhikkhuni Saṅghamittā. Beberapa guru lainnya digambarkan dikirim ke tempat-tempat yang berbeda. Sementara banyak misi ini tidak dapat dikonfirmasi, Frauwallner dan yang lainnya telah menunjukkan bahwa terdapat pola umum hal yang masuk akal dalam kisah ini.

Dalam konteks membangkitkan kembali silsilah bhikkhuni saat ini dalam Theravāda, patut diingat misi Soṇa dan Uttara ke Suvaṇṇabhūmi, yang dipercaya orang Burma menunjuk pada Burma, dan oleh orang Thai menunjuk pada Thailand. Misi ini, yang sampai hari ini membentuk kisah penting tentang identitas diri bagi umat Buddhis di daerah-daerah ini, dikatakan menghasilkan penahbisan 1500 orang wanita. Dengan demikian penahbisan bhikkhuni bersifat intrinsik bagi Buddhisme Asia Tenggara dari awalnya.

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #4 on: 26 January 2013, 06:50:40 PM »
Dharmaguptaka

Salah satu dari misionaris lainnya adalah Yonaka Dhammarakkhita. Ia adalah, seperti yang ditunjukkan namanya, seorang bhikkhu Yunani, penduduk asli “Alasanda” (Alexandria). Salah seorang tokoh utama dalam kisah [pengiriman] misi, ia menonjol dalam tradisi Pali sebagai seorang ahli kekuatan batin dan ahli Abhidhamma. Ia pergi ke wilayah yang diduduki bangsa Yunani di timur India. Dulu Pryzluski, yang ikuti oleh Frauwallner, menyatakan Dhammarakkhita dapat diidentifikasi dengan pendiri aliran Dharmaguptaka, karena dhammarakkhita dan dhammagutta memiliki makna yang sama. Sejak waktu itu dua potong bukti menjadi titik terang yang membuat pernyataan ini sangat masuk akal. Salah satunya adalah identifikasi positif atas manuskrip yang sangat awal milik Dharmaguptaka di wilayah Gandhāra, tepat di mana kita berharap menemukan Yonaka Dhammarakkhita. Yang kedua adalah penerjemahan fonetik namanya dalam Sudassanavinayavibhāsā (versi Mandarin dari komentar Vinaya Sinhala) dengan jelas menerjemahkan “Dharmagutta” alih-alih “Dhammarakkhita”. Kita juga mencatat beberapa teks yang mengatakan bahwa Dharmaguptaka didirikan oleh seseorang tertentu yang bernama “Moggallāna”. Sementara ini secara tradisional diidentifikasi dengan nama seorang siswa besar, saya pikir lebih masuk akal untuk melihat ini sebagai suatu penunjukan pada Moggaliputtatissa, kepala Konsili Ketiga, yang juga dianggap oleh Mahāvihāravāsin sebagai pendiri aliran mereka. Dengan demikian kita membenarkan untuk melihat Mahāvihāravāsin dan Dharmaguptaka, tidak sebagai kelompok perpecahan yang saling bertempur, tetapi sebagai saudara jauh yang hilang hanya oleh kejadian sejarah dan tirani jarak.

Mūlasarvāstivādin

Berkenaan dengan aliran kita yang ketiga, Mūlasarvāstivādin, sejarahnya jelas suram. Dalam pendapat saya teori yang paling meyakinkan untuk asal mula aliran ini adalah lagi-lagi disediakan oleh Frauwallner, yang berargumen bahwa mereka mulanya berbasis di Mathura. Ini akan menghubungkan aliran ini dekat dengan Arahat terkenal dari Mathura: Śāṇavāsin dan Upagupta. Śāṇavāsin menonjol sebagai Sesepuh dan ahli Vinaya yang dihormati dalam kisah Vinaya tentang Konsili Kedua. Ia dikatakan telah membangun sebuah vihara hutan besar, yang dinamakan Urumuṇḍa dalam sumber [aliran] utara dan Ahogaṅga dalam sumber Pali.

Belakangan, di vihara ini Moggaliputtatissa beristirahat untuk mengasingkan diri. Kekuatan batin Moggaliputtatissa yang berasal dari waktu ia di vihara hutan Śāṇavāsin menentukan dalam meyakinkan Aśoka untuk meyakinkannya dengan tugas memurnikan Saṅgha dan mengatur misi [pengiriman Dhammaduta]. Dengan demikian berkembangnya Mahāvihāravāsin dan Dharmaguptaka berhubungan erat dengan silsilah Śāṇavāsin. Bahkan mungkin bahwa Soṇaka, guru dari pembimbing Moggaliputtatissa, hanya salah pengejaan untuk Śāṇaka (-vāsin), di mana dalam kasus silsilah penahbisan Mahāvihāravāsin secara langsung berasal dari Śāṇavāsin dan tradisi hutan dari Mathura.

Jika teori Frauwallner tentang asal mula aliran Mūlasarvāstivāda dari Mathura yang berbeda ditemukan tidak benar, maka ini dipastikan bahwa kita harus mencari asal mula aliran ini entah bagaimana berhubungan dengan Sarvāstivādin dari Kaśmīr. Aliran ini berasal dari salah satu dari misionaris Aśoka, Majjhantika. Setelah berperan sebagai guru penahbis Mahinda di Pāṭaliputra, ia pergi ke Kaśmir dan mendirikan aliran yang kemudian dikenal sebagai Sarvāstivāda. Kisah ini termasuk menghubungkan Majjhantika dan Mahinda, bersesuaian dengan versi aliran utara (kecuali mereka umumnya menempatkan waktunya lebih awal).

Sebagai kesimpulan, kita menemukan bahwa tidak ada bukti apa pun dari aliran-aliran yang disebabkan oleh “perpecahan” dalam pengertian yang didefinisikan secara sempit yang dibutuhkan oleh Vinaya. Munculnya komunitas monastik Buddhis sebagai “keseluruhan yang berbeda” mungkin terjadi perlahan-lahan setelah periode Aśoka sebagai akibat alami dari penyebaran geografis dan sebagai akibat perbedaan [lainnya]. Kisah-kisah konflik yang kita miliki saat ini lebih baik dibaca sebagai respon mitos pada kejadian-kejadian pada waktu kisah ini ditulis, bukan sebagai sejarah yang sebenarnya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #5 on: 26 January 2013, 07:25:41 PM »
Bab 1
“Maklumat Persatuan”

AŚOKA MENERBITKAN MAKLUMAT DI TIGA TEMPAT tentang Sangha, yang telah dikenal sebagai “Maklumat Perpecahan.” Ini adalah nama yang tidak cocok, dan ini sendiri mungkin dipengaruhi oleh harapan para sarjana modern bahwa pada masa Aśoka Sangha telah terpecah-pecah.

Maklumat-maklumat ini menggambarkan keadaan kesatuan dari Sangha, bukan keadaan perpecahan. Tiga prasasti yang sangat singkat ditemukan pada “Minor Pillar Edicts” di Sarnath, Sāñchī, dan Kosambi dalam berbagai keadaan reruntuhan, terbentang sepanjang jalan antara Pāṭaliputta, ibukota Aśoka, ke Avanti dan Vedisa. Ini semua adalah tempat-tempat kuno Buddhisme.

Maklumat-maklumat ini memerintahkan para menteri Aśoka bahwa, karena Sangha telah dibuat bersatu,[2] siapa pun bhikkhu atau bhikkhuni yang memecah belah Sangha harus dibuat memakai jubah awam dan tinggal terpisah. Maklumat Sāñchī menambahkan bahwa Sangha yang bersatu ini, baik bhikkhu dan bhikkhuni, tidak seharusnya terpecah belah selama anak-anak dan cucu-cucuku berkuasa, serta matahari dan bulan bersinar, karena inilah keinginanku agar Sangha yang bersatu akan tetap bertahan untuk waktu yang lama.[3]  Maklumat Sarnath menambahkan bahwa salinan maklumat ini harus dibuat tersedia untuk para umat awam, yang harus meninjau kembali pesan ini setiap dua minggu uposatha.

Pernyataan bahwa Sangha telah “dibuat bersatu” menyatakan suatu kejadian sebenarnya, bukan teoritis, di mana maklumat ini menanggapi dengan memperingatkan akibat berat dari perilaku memecah belah. Kenyataan bahwa maklumat-maklumat ini ditemukan dalam beberapa tempat menyatakan bahwa kecenderungan perpecahan tersebar luas, dan, jika maklumat diterapkan, mungkin terdapat beberapa episode. Maklumat Sarnath mulai dengan bacaan yang rusak sebagian: pāṭa[liput]..., yang kelihatannya menunjuk pada Pāṭaliputta. Ini menyatakan bahwa, seperti yang dapat seseorang harapkan, kekuatan perpecahan sedang bekerja di ibukota, mungkin terpusat di saa. Jika demikian halnya, maka perintah Aśoka kepada para menterinya akan, seperti biasanya, agar mereka mengikuti contoh pribadinya. Dengan demikian kita dapat berpikir suatu pusat krisis di ibukota yang ditangani oleh Aśoka secara pribadi, dan mungkin beberapa gema yang lebih kecil sepanjang wilayah itu, yang ditangani oleh para menteri.

Tidak ada contoh dalam Vinaya bagi seorang penguasa sekuler untuk ikut campur dengan cara ini dalam operasi Sangha. Sementara Vinaya menggambarkan suatu Sangha yang mampu mengurusi urusannya sendiri, dengan anggapan diam-diam bahwa kekuatan pemerintah akan menyediakan dukungan umum, sekarang kita memiliki seorang penguasa yang secara langsung memaksakan kehendaknya terhadap Sangha. Mungkin hal yang paling mengejutkan adalah bahwa Sangha kelihatannya menyambut campur tangan ini. Ini hanya dapat dijelaskan jika masalahnya adalah masalah yang sebenarnya, di mana Sangha tidak dapat menyelesaikannya dengan prosedur normalnya (saṅghakamma). Prosedur ini bekerja dengan kesepakatan bersama, dan dengan demikian menganggap suatu tingkat dasar dari ketulusan dan kerjasama. Inilah bagaimana perselisihan diselesaikan dalam Konsili Kedua. Tetapi jika orang-orang yang menyebabkan masalah mengganggu berfungsinya saṅghakamma, Sangha tidak berkuasa.

Perpecahan dan Persatuan

Untuk memahami Maklumat Persatuan, kita pertama-tama harus meninjau sifat dari perpecahan dan persatuan. Dalam Buddhisme, perpecahan awal mula dan mendasar adalah [yang dilakukan oleh] sepupu Sang Buddha yang jahat, Devadatta, Yudas atau Set dalam Buddhisme. Kisahnya terlalu panjang dan sudah terlalu diketahui untuk diulangi di sini.[4] Semua kisah perpecahan mempunyai Devadatta di belakang pikiran mereka, dan semua pencerita kisah-kisah itu berusaha menyeimbangkan dua kekuatan: membenarkan dan mensahkan aliran terpisah mereka, sementara pada saat yang sama dengan keras menghindari bayangan anggapan apa pun bahwa mereka mengikuti jejak Devadatta.

Ini jelas terlihat dalam Maklumat Persatuan, karena ungkapan yang digunakan Aśoka menggemakan ungkapan dari kutipan terkenal di mana Sang Buddha memperingatkan Devadatta bahwa seseorang yang memecah belah Sangha yang bersatu akan menderita di neraka selama satu kappa, sedangkan seseorang yang “membuat bersatu Sangha yang terpecah belah”[5]  akan bergembira di surga selama satu kappa. Penyusunan kata-kata ini muncul berulang kali dalam kutipan-kutipan yang mengikuti.[6] Ketika Sangha, setelah terpecah belah pada salah satu masalah ini, mengadakan uposatha, pavāraṇā atau saṅghakamma yang terpisah, suatu hasil dari perpecahan.[7]

Makna paralel dari perpecahan ini diberikan dalam Oxford Reference Dictionary saya: “Pemisahan suatu Gereja ke dalam dua Gereja atau pemisahan diri dari suatu kelompok karena perbedaan ajaran, tata tertib, dst.” Akan menjadi salah satu tugas kita untuk menentukan apakah semua pemisahan historis Buddhisme menjadi aliran-aliran yang berbeda, atau memang salah satu darinya, merupakan perpecahan dalam pengertian ini.

Diskusi modern atas pertanyaan ini telah menekankan dua bentuk perpecahan yang agak berbeda. Bechert menggunakan istilah saṅghabheda untuk menunjuk pada pemisahan suatu komunitas individual, dan nikāyabheda untuk menunjuk pada proses pembentukan aliran. Sasaki menggunakan kammabheda dan cakkabheda untuk membuat pembedaan yang sama: kammabheda terjadi ketika dua kelompok mengadakan uposatha secara terpisah dalam batas yang sama, sedangkan cakkabheda menunjuk pada pemisahan komunitas religius karena dasar ajaran [yang berbeda].[8] Poin kunci pada perbedaan ini adalah bahwa pembentukan aliran-aliran tidak harus menyatakan suatu sanghabheda. Untuk mengklarifikasi poin ini mari kita melihat lebih dekat pada bacaan Vinaya, yang dimulai dari teks Pali.

Perilaku Devadatta menyebabkan penetapan aturan saṅghādisesa yang melarang penghasutan yang disengaja untuk memecah belah. Aturan itu sendiri berbunyi: “Suatu Sangha yang bersatu, bergembira satu sama lain, tanpa pertentangan, dengan satu pembacaan, berdiam dalam kenyamanan.”[9]  Di sini gagasan persatuan berhubungan erat dengan diadakannya pembacaan yang bersatu atas pāṭimokkha pada uposatha yang diadakan dua minggu sekali, seperti yang ditunjukkan pada istilah kunci “satu pembacaan”. Perasaan ini diulangi dalam baris penutup dalam pembacaan pāṭimokkha: “Di sini masing-masing dan setiap orang harus berlatih, dengan persatuan, dengan saling bergembira, tanpa pertentangan.”[10]

Tetapi kita sedikit tidak jelas apa yang dimaksud di sini: apakah persatuan membutuhkan semua monastik untuk ikut serta, sedikitnya secara potensial dalam saṅghakamma yang sama, atau hanya mereka dalam satu vihara tertentu? Definisi “bersatu” sedikit di bawah ini mengatakan: “‘Bersatu’ berarti suatu Sangha yang berasal dari satu persatuan yang sama, berdiam dalam batas monastik yang sama”.[11] Ini menunjuk pada Sangha di dalam batas tertentu, alih-alih Sangha universal “dari empat arah”.

Ini dijelaskan lebih jauh dalam kutipan di mana pembacaan setiap dua minggu ditetapkan:

Sekarang pada suatu kesempatan kelompok enam bhikkhu, berdasarkan perkumpulan mereka, membacakan pāṭimokkha, masing-masing dalam perkumpulan mereka sendiri. Sang Bhagava menyatakan tentang hal ini: “Para bhikkhu, kalian tidak seharusnya, berdasarkan perkumpulan kalian, membacakan pāṭimokkha, masing-masing dalam perkumpulan kalian sendiri. Siapa pun membacakan demikian, ini adalah pelanggaran perbuatan-salah. Aku mengizinkan, para bhikkhu, suatu tindakan uposatha bagi mereka yang bersatu.”

Dan kemudian para bhikkhu berpikir: “Sang Bhagava telah menetapkan ‘suatu tindakan uposatha bagi mereka yang bersatu.’ Sampai jangkauan mana terdapat persatuan, sejauh satu vihara, atau untuk seluruh bumi?” Sang Bhagava menyatakan tentang hal ini: “Aku mengizinkan, para bhikkhu, persatuan sampai jangkauan sejauh satu vihara.”[12]

Dengan demikian persatuan Sangha berkaitan erat dengan pembacaan uposatha setiap dua minggu sebagai upacara penegasan identitas bersama Sangha. Untuk tujuan biasa, Sangha harus mengumpulkan semua yang tinggal dalam batas monastik (sīmā) yang sama untuk membacakan pāṭimokkha setiap dua minggu.

Mendefinisikan perpecahan dalam cara ini kelihatannya legalistik yang sempit. Tetapi kisah Devadatta (dan para bhikkhu dari Kosambi dan Campā) menggambarkan kemunduran kerukunan komunitas yang perlahan-lahan, suatu proses disintegrasi yang bertahan walaupun upaya berulang-ulang untuk menahannya. Penyelenggaran aktual uposatha yang terpisah hanyalah tindakan legal yang menentukan tanda pada perpecahan. Sementara tindakan resmi ini secara teknis terbatas pada satu Sangha lokal, tidak diragukan lagi kelanjutannya dirasakan relevan bagi Buddhisme secara umum.

Dan dengan demikian walaupun lokalisasi saṅghakamma ini, kelihatannya bahwa pada kejadian yang besar Sangha akan berkumpul dalam kelompok yang lebih besar yang valid bagi seluruh komunitas monastik. Demikianlah Konsili Pertama dan Kedua [berlangsung]. Konsili-konsili ini menggabungkan aspek Dhamma dan Vinaya, di mana sangat mengejutkan karena bagi Sangha, Vinaya hanya penerapan sehari-hari dari Dhamma. Bentuk dialog dalam konsili ini menggemakan saṅghakamma, meskipun prosedur untuk suatu konsili tidak ditetapkan dalam Vinaya sebagai suatu saṅghakamma. Kisah narasi dimasukkan di dalam Vinaya Skandhaka, dan kedua konsili membahas masalah Vinaya: untuk Konsili Pertama, “aturan kecil dan tidak penting” yang diperdebatkan dan masalah-masalah lainnya; untuk Konsili Kedua “sepuluh poin” yang menyebabkan kejadian ini. Dalam setiap kasus, keputusan konsili jelas dianggap valid bagi seluruh Sangha Buddhis.

Mengejutkan, ini tidak memiliki contoh atau pembenaran di dalam Vinaya itu sendiri. Seperti yang kita telah lihat, Vinaya memperlakukan tindakan saṅghakamma hanya berhubungan pada satu vihara individu. Hanya Sang Buddha yang menetapkan aturan bagi Sangha sebagai keseluruhan. Tetapi dengan wafatnya Sang Buddha, tidak ada prosedur bagi pembuatan keputusan Sangha yang universal. Para sesepuh tidak diragukan lagi melakukan hal terbaik yang dapat mereka lakukan, dan prosedur mereka memenuhi persetujuan umum dalam Sangha sejak saat itu. Tetapi ini harus diingat bahwa mereka bertindak tanpa pembenaran yang eksplisit dari Vinaya.

Ini bukan banyak masalah yang dapat muncul. Sebenarnya, bagi kami yang menjalankan Vinaya setiap hari, jelas bahwa banyak darinya bekerja sebagai pedoman. Terdapat tak terhitung situasi yang muncul terus-menerus yang tidak secara eksplisit dapat diselesaikan dalam Vinaya. Vinaya sendiri memasukan prinsip-prinsip untuk bagaimana menerapkan contoh-contoh dalam situasi yang baru. Sangat sering, aturan-aturan Vinaya diungkapkan dalam cara legalistik yang membuat mereka cukup mudah untuk diterapkan dalam praktek, jika seseorang sangat condong padanya. Dan demikianlah di Myanmar mereka mengatakan: “Jika kamu mengetahui Vinaya kamu dapat membunuh seekor ayam”. Mungkin hanya dalam pemikiran para akademik bahwa Vinaya dengan seksama mengatur setiap segi kehidupan seorang bhikkhu. Dalam kehidupan nyata ini tidak mungkin. Ini tidak ada hubungannya dengan pertanyaan apakah seseorang mengambil pendekatan yang keras atau longgar terhadap aturan-aturan [Vinaya], menekankan pada makna harfiah atau semangatnya. Ini hanya untuk mengakui kenyataan sederhana bahwa aturan-aturan hanya mencakup sejumlah konteks yang terbatas, dan di luar itu kami harus menggunakan penilaian terbaik kami.

Seperti yang dinyatakan dalam namanya, Konsili Ketiga, yang akan kita lihat memiliki hubungan dekat dengan Maklumat Persatuan, berdiri kokoh dalam tradisi konsili-konsili. Konsili ini diadakan sebagai suatu tindakan yang valid bagi seluruh Sangha dalam cara yang persis sama seperti Konsili Pertama dan Kedua. Dan seperti keduanya, jika seseorang mencoba menyelidiki Vinaya itu sendiri untuk pembenaran atas konsili itu, anda akan mengalami kesulitan. Namun demikian ia diterima dalam tradisi Vinaya sebagai tindakan yang valid.

Aśoka dan Persatuan

Kita harus berhati-hati menganggap apa persisnya yang dipikirkan Aśoka ketika mengatakan bahwa “Sangha telah dibuat bersatu”. Kelihatannya bagi saya cukup masuk akal bahwa Aśoka akan bersusah payah membuat tiga maklumat sepanjang wilayah yang luas dari daerah pedalaman Buddhis jika ia menunjuk pada semata-mata perselisihan lokal. Aśoka memiliki pikiran yang besar: ia biasa berpikir dalam istilah pan-India. Pastinya ketika ia mengatakan “Sangha telah dibuat bersatu” ia pasti memaksudkannya sebagai Sangha dalam pengertian universal.

Karena bahasa Aśoka di sini diturunkan dengan dekat dari kisah terkenal Devadatta, ia secara implisit menempatkan kejadian ini dalam konteks itu, melihat konflik itu sebagai suatu yang serius yang mengancam Sangha sebagai keseluruhan, dan ketetapan yang bersesuaian yang menjadi tindakan yang sama penting (dengan, perlu satu penambahan, semua hasil karma yang menyenangkan bagi yang mempersatukan!). Sementara kejadian yang bermasalah di Pāṭaliputta sendiri mungkin hanya melibatkan satu vihara sentral,[13] kehadiran Maklumat Persatuan di beberapa tempat membuatnya pasti bahwa Aśoka memaksudkan solusi itu untuk diterapkan secara umum, bukan hanya dalam satu vihara.

Bahasa yang digunakan Aśoka seperti “Sangha yang bersatu”, ketika digunakan dalam pengertian teknis Vinaya, seperti yang telah kita lihat, menunjuk pada suatu Sangha lokal. Tetapi ini satu-satunya bahasa yang ia punyai, dan ia harus menggunakan ini untuk menghubungkan kisah itu dengan kosakata yang telah dikenali. Umat Buddha saat itu, seperti saat ini, akan memahami dan menggunakan kata-kata dalam pengertian yang lebih resmi daripada yang dibutuhkan oleh definisi teknis yang terbatas dalam Vinaya.

Oleh sebab itu, akan menjadi sungguh-sungguh melampaui bukti untuk menyatakan bahwa pernyataan Sangha telah dibuat bersatu membuktikan bahwa telah ada sebelumnya suatu keadaan perpecahan.[14] Lagi, teks-teks Vinaya biasanya menggambarkan keadaan sebagai hitam dan putih: apakah terdapat suatu perpecahan atau persatuan. Tetapi teks-teks ini adalah teks legal yang sifatnya mencari definisi hitam dan putih yang jelas. Sayangnya kenyataan selalu muncul dalam bayangan abu-abu. Kita akan melihat bahwa kisah Konsili Ketiga menggambarkan suatu keadaan ketidaktentraman, suatu “masalah” muncul dan tidak terselesaikan yang sangat mengganggu berfungsinya Sangha selama bertahun-tahun. Ini tidak dapat digambarkan sebagai “persatuan”, tetapi keadaan perpecahan yang resmi belum terjadi. Ini bukan suatu perpecahan maupun persatuan. Dalam konteks demikian Maklumat Persatuan kenyataannya sangat tepat. Maklumat tersebut menggambarkan tibanya suatu keadaan persatuan, tanpa menyatakan bahwa telah terdapat suatu perpecahan.

Kemudian kita harus bertanya, apakah Aśoka memaksudkan bahwa ia telah mempersatukan Sangha dari suatu aliran tertentu, atau Sangha dari semua Buddhism? Bukti maklumat menunjukkan dengan jelas bahwa Aśoka sepenuhnya non-sektarian dan toleran dalam pandangannya. Tidak ada aliran yang disebutkan, baik secara tersurat maupun tersirat. Terdapat daftar terkenal teks-teks yang dianjurkan Aśoka untuk dipelajari para bhikkhu dan bhikkhu. Sementara terdapat beberapa keraguan tentang teks-teks persisnya yang ditunjukkan, semuanya termasuk dalam strata awal yang digunakan bersama dari sutta-sutta dan bukan teks-teks sektarian, seperti Abhidhamma. Seperti yang dikatakan Bechert: “Ini dapat ditunjukkan dengan analisis yang hati-hati terhadap catatan sejarah dan prasasti-prasasti bahwa sang raja tidak memihak terhadap golongan mana pun dalam Sangha.”[15] Tanpa bukti yang pasti apa pun yang menunjuk pada arah lain, maka kita hanya dapat menyimpulkan bahwa Aśoka memaksudkan seluruh Sangha telah bersatu.

Tindakan Aśoka menandakan suatu perubahan besar dalam hubungan Sangha-negara. Sangha didirikan sebagai badan internasional yang mengatur urusannya sendiri, dan peran penguasa adalah untuk mendukung, tidak untuk mengendalikan. Kisah Vinaya tentang Konsili Pertama dan Kedua tidak menyebutkan terlibatnya pihak kerajaan. Pastinya ini telah menyebabkan krisis institusional yang besar karena Aśoka harus ikut campur dengan sangat dramatis.

Mungkinkah ini muncul disebabkan oleh perselisihan sektarian? Mungkinkah, katakanlah, suatu perbedaan pendapat atas sifat sesungguhnya pencerahan Arahat mengarah pada hal ini? Ini tampaknya masuk akal. Kita hanya dapat membayangkan bahwa terdapat masalah serius yang melibatkan Aśoka secara pribadi. Ketika kita melihat pada teks-teks kita melihat bahwa kenyataannya terdapat satu catatan yang demikian: kisah dari tradisi Pali, khususnya komentar Vinaya Samantapāsādikā, dan versi Mandarin-nya Sudassanavinayavibhāsā.[16] Sebagai tambahan, bacaan pendek dari Mahāsaṅghika Vinaya dapat memberikan kita petunjuk apa yang sebenarnya terjadi.

« Last Edit: 26 January 2013, 10:55:55 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #6 on: 26 January 2013, 07:30:01 PM »
Konsili Ketiga

Kisah utama menceritakan “Konsili Ketiga” di Pataliputta, yang diadakan karena banyak para penganut ajaran non-Buddhis[17] yang tidak murni, mencari keuntungan dan penghormatan, banyak dari mereka yang memasuki Sangha secara meniru dengan menahbiskan diri mereka sendiri, dengan demikian membuat berfungsinya Sangha tidak mungkin:

Para penganut ajaran lain, yang keuntungan dan penghormatannya telah berkurang sampai batas di mana mereka gagal mendapatkan makanan dan pakaian,[18] pergi meninggalkan keduniawian dalam sāsana mencari keuntungan dan penghormatan, masing-masing menyatakan pandangan mereka yang berbelit-belit: “Inilah Dhamma, inilah Vinaya”. Mereka yang tidak dapat pergi meninggalkan keduniawian, setelah mencukur [rambut] mereka sendiri dan mengenakan jubah kuning, berkeliaran di dalam vihara, mengganggu uposatha, pavāraṇā, dan saṅghakamma. Para bhikkhu tidak mengadakan uposatha bersama dengan mereka.[19]

Uraian bahwa para bhikkhu ini menyalah-tafsirkan Dhamma dan Vinaya, dan bahwa mereka mengganggu “uposatha, pavāraṇā, dan saṅghakamma” tidak meninggalkan keraguan bahwa penulis bacaan ini memiliki contoh Vinaya tentang Saṅghabhedakkhandhaka dalam pikiran, seperti halnya Aśoka dalam maklumatnya.[20] Teks itu sangat konsisten dalam poin ini: para bhikkhu yang baik tidak mengadakan uposatha dengan para pengikut ajaran lain; kenyataannya, uposatha di vihara sentral terganggu selama tujuh tahun.[21] Ini jelas berarti bahwa tidak ada perpecahan dalam pengertian legal (kammabheda), karena ini membutuhkan uposatha-uposatha yang terpisah yang diadakan dalam sīmā yang sama.

Oleh sebab itu, dalam Dīpavaṁsa kisah pertama tentang masalah ini[22] tidak menyebutkan perpecahan (bheda). Tetapi, dalam suatu kontradiksi yang tampak, versi kedua dari kejadian yang sama[23] menyebutkan bheda,[24]  dengan mengatakan bahwa 236 tahun setelah Sang Buddha [wafat]: “bheda lainnya muncul dalam Theravāda yang tertinggi.” Ini masih tidak menyatakan bahwa terdapat uposatha-uposatha yang terpisah atau yang lainnya yang dapat mencirikan suatu perpecahan yang resmi. Tentu saja Dīpavaṁsa merupakan syair mitos alih-alih suatu teks legal, dan kita tidak perlu membaca penggunaan bheda di sini untuk menegaskan bahwa suatu perpecahan telah nyata terjadi. Sebenarnya, perpecahan adalah suatu kata yang terlalu kuat untuk [menerjemahkan] bheda, karena bheda digunakan sangat umum untuk memaksudkan “pemisahan, pembagian, analisis”, dst, dalam semua konteks, sedangkan perpecahan dalam bahasa Inggris hanya berhubungan dengan gagasan yang lebih formal dari saṅghabheda sebagai pembagian yang disengaja dari suatu komunitas monastik.

Adalah dalam Samantapāsādikā kita berharap menemukan penyebutan yang lebih formal atas perpecahan. Tetapi teks ini tidak menyebutkan bheda sama sekali. Setelah masalah muncul di Pāṭaliputra, Moggaliputtatissa merenungkan bahwa suatu “masalah” (adhikaraṇa) telah muncul di dalam Sangha.[25] Dalam cara yang mirip, perselisihan ditunjukkan dengan diselenggarakannya suatu saṅghakamma. Jika suatu “masalah” masih tertunda penyelesaiannya, tidak mungkin ada suatu perpecahan pada titik ini, karena seseorang tidak mengadakan saṅghakamma dengan orang-orang yang membuat perpecahan. Dari sudut pandang Vinaya, tidak terdapat perpecahan.

Apakah Ajaran Menyimpang Itu?

Para penipu dari ajaran lain digambarkan mengemukakan banyak ajaran, seperti eternalisme, eternalisme sebagian, pandangan berbelit-belit, dan sebagainya, suatu daftar yang familiar bagi banyak Buddhis terpelajar sebagai 62 pandangan yang disanggah dalam Brahmajāla Sutta.[26]  Penyebuatan 62 pandangan adalah konvensional, dan tidak mewakili pandangan sebenarnya dari para penganut ajaran lain.

Kita mungkin membayangkan mengapa para penganut ajaran lain digambarkan dalam cara ini: apakah implikasi atau konotasi dari pandangan-pandangan ini, seperti para umat Buddha pada waktu itu akan melihatnya? Dalam kanon Pali, 62 pandangan semuanya dilihat sebagai berasal dari akar pandangan salah atas kepercayaan terhadap suatu “diri”. Penafsiran ini secara eksplisit dinyatakan dalam Saṁyutta Nikāya Pali:

“62 pandangan berbelit-belit ini yang diajarkan dalam Brahmajāla; pandangan-pandangan ini, perumah tangga, ada ketika pandangan identitas ada, ketika pandangan identitas tidak ada pandangan-pandangan ini tidak ada.”[27]

Tetapi versi Sarvāstivādin dari sutta yang sama, sementara sama dalam hal lain, tidak menyebutkan 62 pandangan dari Brahmajāla. Alih-alih, teks tersebut hanya menyebutkan “pandangan-pandangan diri, pandangan-pandangan suatu makhluk, pandangan-pandangan suatu roh (jīva), pandangan-pandangan tentang yang menguntungkan dan tidak menguntungkan”.[28]

Ini membuat kita berpikir apakah penekanan pada 62 pandangan dari Brahmajāla mungkin suatu prasangka sektarian dari Mahāvihāra. Tentu saja sutta itu sendiri ditemukan dalam versi Dharmaguptaka, Sarvāstivādin, dan yang lainnya dan harus dianggap sebagai bagian dari warisan bersama. Tetapi terdapat suatu alasan untuk berpikir bahwa Mahāvihāravāsin memperlakukan kotbah tertentu ini dengan penghormatan yang khusus.

Dalam kisah Konsili Pertama mereka, Mahāvihāravāsin membuat Brahmajāla sebagai yang pertama dari semua sutta, tidak seperti aliran lain yang kita ketahui dengan pengecualian Dharmaguptaka. Bhikkhu Bodhi menyatakan bahwa penempatan ini “... bukan masalah kebetulan atau karena penyusunan yang sembarangan, tetapi karena rancangan yang disengaja pada pihak para Sesepuh yang menyusun kanon dan mengaturnya dalam bentuk yang sekarang.”[29] Ia melanjutkan menggambarkan relevansi Dhamma dari posisi ini: “... seperti halnya sutta kita, dalam hal posisinya, berdiri pada pintu masuk menuju keseluruhan kumpulan kotbah yang diucapkan Sang Buddha, demikian juga pesan utamanya memberikan pengantar pada seluruh Ajaran itu sendiri.” Sesungguhnya, seseorang dapat menyatakan bahwa sutta ini mewakili faktor pertama dari jalan mulia berunsur delapan, pandangan benar, sedangkan sutta-sutta berikutnya dari Dīgha Nikaya berfokus pada unsur etis dan meditatif dari sang jalan.
Tetapi sementara posisi sutta ini memenuhi suatu peranan Dhamma, kita tidak seharusnya mengabaikan dimensi politis dari pemilihan ini. Dalam menyatakan bahwa prioritas pertama dari para Sesepuh yang mengorganisasikan Dhamma pada Konsili Pertama adalah untuk menyalahkan 62 jenis pandangan salah, Mahāvihāravāsin mengembangkan suatu contoh mitos untuk tindakan Aśoka dan Moggaliputtatissa dalam membersihkan Sangha dari 62 jenis pandangan salah pada Konsili Ketiga.

Kita mulai mencurigai bahwa kisah kanonik Mahāvihāravāsin (dan Dharmaguptaka?) tentang Konsili Pertama telah disesuaikan untuk memberi contoh bagi Konsili Ketiga.[30] Kecurigaan ini ditegaskan ketika kita melihat pada hanya satu-satunya sutta lain yang disebutkan dalam Konsili Pertama Mahāvihāravāsin, Sāmaññaphala Sutta. Ini berkenaan dengan kisah Ajātasattu, seorang raja Magadha yang berkuasa, yang pada awal pemerintahannya telah melakukan perbuatan kekerasan yang mengerikan, tetapi, merasakan penyesalan yang mendalam, [ia] membuat pengakuan publik yang dramatis atas kesalahannya, mengambil perlindungan dalam Buddha Dhamma, dan, menurut sumber Mahāvihāravāsin, kemudian mensponsori Konsili Pertama. Aśoka juga seorang raja Magadha yang berkuasa, yang pada awal pemerintahannya telah melakukan perbuatan kekerasan yang mengerikan, tetapi, mengalami penyesalan yang mendalam, [ia] membuat pengakuan publik yang dramatis atas kesalahannya, mengambil perlindungan dalam Buddha Dhamma, dan menurut sumber Mahāvihāravāsin, kemudian mensponsori Konsili Ketiga. Dapatkah kita dimaafkan untuk melihat hubungan lain yang mungkin di sini?

Dorongan untuk menekankan Sāmaññaphala kelihatannya cukup transparan. Setelah penobatan Aśoka, penyerangan berdarahnya, khususnya di Kalinga, pasti menimbulkan antipati yang luas, terutama dari para umat Buddha yang mencintai kedamaian. Politik pada masa tersebut yang sama persis sinisnya dengan politik saat ini, ini akan membuat upaya yang sulit untuk meyakinkan orang-orang bahwa perubahan dan penyesalan Aśoka adalah murni. Kisah Ajātasattu dapat dijadikan suatu paradigma mitos untuk ketulusan dan kredibilitas Aśoka sebagai seorang simpatisan Buddhis. Ini akan menjadi penting khususnya untuk membenarkan langkah Aśoka yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan benar-benar ikut campur dalam urusan internal Sangha dan memutuskan siapa yang menyimpang dan yang tidak.

Setelah menyelidiki para bhikkhu yang buruk dan mendengarkan semua pandangan salah mereka, Aśoka bertanya kepada para bhikkhu yang baik apakah yang diajarkan Sang Buddha (kiṁvādī bhante sammāsambuddhoti?) dan mereka mengatakan Sang Buddha adalah seorang vibhajjavādin (vibhajjavādī mahārājāti).[31]  Ini ditegaskan oleh pahlawan dalam kisah ini, Moggaliputtatissa, yang dalam kisah Mahāvihāravāsin adalah penasehat dan guru pribadi raja yang dekat, dan dianggap oleh aliran tersebut sebagai guru awal mula. Belakangan kita akan melihat lebih dekat apa yang dimaksud vibhajjavāda dalam konteks ini, tetapi untuk sekarang kita akan berkonsentrasi pada uraian yang dapat dikonfirmasikan dalam maklumat.

Menurut Samantapāsādikā, Aśoka telah mempelajari Buddhisme di bawah Moggaliputtatissa sebelum Konsili [Ketiga] dan dengan demikian dapat mengenali pengakuan keliru dari para penganut ajaran lain. Ia merenungkan:

“Ini bukanlah para bhikkhu, mereka adalah para pertapa dari ajaran lain.” Mengetahui ini, ia memberi mereka pakaian putih dan mengusir mereka.[32]

Dalam kasus ini, kata-kata persis yang digunakan Samantapāsādikā dan maklumat berbeda, tetapi maknanya sama.[33]  Setelah para bhikkhu yang buruk diusir, Aśoka menyatakan kepada Moggaliputtatissa:

“Sekarang, bhante, sāsana sudah murni, semoga Sangha mengadakan uposatha.” Setelah memberikan perlindungannya, ia memasuki kota. Sangha dalam persatuan berkumpul dan mengadakan uposatha.[34]

Tampaknya bagi saya, sejauh uraian utama berlanjut, Samantapāsādikā dan maklumat sangat bersesuaian:[35]  Sangha telah dibuat bersatu; pemecah belah Sangha seharusnya dibuat memakai pakaian awam putih dan diusir; pengusiran ini berhubungan dengan kekuasaan sementara dari Aśoka alih-alih suatu tindakan Sangha; dan kejadian ini dihubungkan dengan uposatha.[36]

Versi kejadian ini juga memungkinkan kita untuk memahami mengapa Aśoka harus ikut campur. Adalah ia yang secara berlebihan menyokong Sangha, yang secara tak sengaja menciptakan masalah. Sementara ia mungkin atau tidak mungkin merasa bertanggung jawab atas masalah ini, ia pastinya tidak senang terus-menerus memberi para penipu itu dengan kebutuhan materi.

Keseluruhan kisah ini sangat masuk akal, dan familiar dalam banyak negeri di mana Buddhisme berkembang saat ini. Segera setelah Sangha menarik sokongan yang berlebihan dari para penyokong yang kaya dan baik hati, terdapat arus para bhikkhu palsu yang hanya tertarik dalam mendapatkan sebanyak-banyaknya uang yang dapat mereka peroleh. Ini adalah gangguan yang terus-menerus terjadi dan sulit atau tidak mungkin bagi Sangha sendiri untuk menanganinya. Mereka berkembang tidak dapat dicegah jika pemerintah tidak memiliki kekuatan kehendak untuk secara paksa melepas jubah mereka dan mencegah mereka dari mengganggu dan menipu para donatur Buddhis.
Kenyataan bahwa Aśoka mengusir para bhikkhu palsu dan membuat mereka kembali ke pakaian awam adalah detail yang penting. Musuh pada Konsili [Ketiga] ini bukan para bhikkhu Buddhis yang berbeda dalam penafsiran atas beberapa poin ajaran, mereka adalah non-Buddhis, tidak layak menjadi bhikkhu sama sekali. Walaupun Mahāvihāravāsin mengaku sebagai satu-satunya aliran yang tidak bersifat pecahan, bahkan mereka tidak berlanjut sampai menganggap anggota aliran lain harus dilepas jubahnya. Bahkan jika kita menerima posisi Mahāvihāravāsin bahwa semua aliran lain adalah bersifat pecahan dalam pengertian harfiah yang didefisinikan dalam Vinaya, ini hanya akan berarti komunitas tersebut tidak melakukan pembacaan uposatha bersama yang sama. Ini tidak berarti para musuh itu bukan para bhikkhu: dalam kenyataannya, hanya para bhikkhu yang dapat menyebabkan perpecahan, sehingga jika para musuh pada Konsili Ketiga adalah benar-benar orang awam, tidak ada cara mereka dapat menyebabkan perpecahan. Satu-satunya jalan lain adalah mengenali status tipuan mereka dan mengusir mereka. Maka kisah Konsili Ketiga bukan kisah suatu perpecahan dari sudut pandang Aśoka atau Mahāvihāravāsin. Kenyataannya, komentar Vinaya Mahāvihāravāsin arus utama, baik dalam versi Pali maupun Mandarin, tidak menyebutkan perpecahan sama sekali.

Tampaknya bagi saya bahwa implikasi dari “maklumat perpecahan” ini telah diremehkan oleh para sarjana disebabkan oleh kecenderungan mereka, yang berdasarkan terutama pada kisah tekstual dari Dīpavaṁsa dan Vasumitra, untuk melihat perpecahan terjadi sebelum masa Aśoka. Demikianlah Cousins mengatakan: “Jika terdapat perkumpulan Buddhis yang berbeda pada waktu ini, dan setidaknya perbedaan antara tradisi Vinaya dari Mahāsaṅghika dan Theravāda/Theriya mungkin lebih awal dari masa ini, maka raja tidak akan mempermasalahkan hal itu.”[37] Lamotte, dengan sedikit usaha pembenaran yang sama, mengatakan: “Keinginan raja adalah untuk memaksa orang-orang yang tidak sepaham untuk kembali ke status awam.... Namun demkian, perintahnya tidak diikuti.”[38] Warder mengatakan: “Tidak diketahui apakah yang seharusnya dilakukan Aśoka jika kenyataannya bahwa umat Buddhis telah terbagi menjadi sedikitnya lima aliran.”[39] Tidak ada dari penafsiran ini berupaya untuk bergulat dengan serius dengan fakta yang tidak dapat disangkal bahwa tidak ada kata-kata Aśoka memberikan petunjuk apa pun bahwa aliran Buddhis yang berbeda ada pada masanya.

Aśoka dalam Mahāsaṅghika Vinaya?

Sasaki menunjukkan bahwa suatu bacaan unik dalam Mahāsaṅghika Vinaya dapat menunjuk pada terlibatnya Aśoka dalam mengembalikan para bhikkhu yang memecah belah pada status awam. Bacaan yang relevan muncul dalam Mahāsaṅghika Vinaya Skandhaka, yang menurut Sasaki, hanya berada pada titik di mana teks ini berpisah dari pola dari Sthavira Skandhaka lainnya. Oleh sebab itu, ia menyatakan bahwa kejadian ini, berdasarkan kejadian nyata pada masa Aśoka, merupakan pengaruh penting dalam merangsang pembentukan kembali Mahāsaṅghika Vinaya. Di sini adalah terjemahan bacaan yang bersesuaian:

Jika para bhikkhu telah melihat bahwa seorang bhikkhu tertentu akan melakukan saṅghabheda mereka harus berkata kepadanya: “Yang Mulia, janganlah melakukan saṅghabheda. Saṅghabheda adalah kesalahan yang berat. Anda akan jatuh ke dalam keadaan kelahiran yang buruk atau masuk neraka. Aku akan memberikanmu pakaian dan mangkuk dana. Aku akan mengajarkanmu sūtra-sūtra dan membacakan sūtra-sūtra untukmu. Jika anda memiliki beberapa pertanyaan, aku akan mengajarkan anda.”

Jika ia tidak menghentikannya, mereka harus berkata pada seorang upāsaka yang berkuasa: “Si anu akan melakukan saṅghabheda. Pergilah dan halangi ia agar tidak melakukannya.” Sang upāsaka harus berkata pada [sang bhikkhu]: “Yang Mulia, janganlah melakukan saṅghabheda. Saṅghabheda adalah kesalahan yang berat. Anda akan jatuh ke dalam keadaan kelahiran yang buruk atau masuk neraka. Aku akan memberikanmu pakaian, mangkuk dana, dan obat-obatan untuk menyembuhkan sakit. Jika anda merasa bosan dalam kehidupan seorang bhikkhu kembalilah ke kehidupan awam. Aku akan menemukan seorang istri untuk anda dan memberikan anda kebutuhan hidup.”

Jika ia masih tidak menghentikannya, para bhikkhu harus mengusirnya dengan melepaskan śalāka (tongkat pemungutan suara) yang menunjukkan keanggotannya [dalam Sangha]. Setelah mengusirnya, Sangha mengumumkan sebagai berikut: “Semua orang! Ada seseorang yang merencanakan saṅghabheda. Jika ia mendekati kalian, berhati-hatilah!”

Jika, walaupun peringatan ini, ia telah melakukan saṅghabheda ini disebut “saṅghabheda”... [40]

Sasaki mempercayai bahwa ungkapan unik “upāsaka yang berkuasa” menunjuk tak lain pada Aśoka sendiri. Tindakannya dalam membujuk para bhikkhu yang buruk untuk kembali ke kehidupan awam di sini muncul lebih seperti jaringan pengaman sosial daripada pengusiran yang memalukan. Ini akan lebih masuk akal jika kita melihat para bhikkhu yang buruk sebagai pembonceng dan pencari kesempatan, alih-alih para pengikut ajaran lain yang berusaha menghancurkan Buddhisme, atau Buddhis sebenarnya yang berusaha mendirikan ajaran atau praktek baru. Jika mereka telah bergabung dalam Sangha untuk mencuri penghidupan, dapat menjadi metode yang efektif dengan pemecahan masalah yang non-konfrontatif dengan menawarkan untuk mendukung kebutuhan mereka setelah pelepasan jubah, dengan demikian mencegah kemungkinan masalah muncul kembali.

Seperti sumber kita lainnya, teks ini termasuk teks yang mengembangkan asumsi bahwa perpecahan terjadi selama pemerintahan Aśoka. Pertama-tama kita harus ingat bahwa menghubungkannya dengan Aśoka tentu saja spekulatif, dan bacaan ini dapat juga menunjuk pada sesuatu yang sangat berbeda. Teks ini hanya membahas kejadian teoritis, dan tidak menyatakan bahwa suatu perpecahan telah terjadi. Dan tahap memanggil seorang “upāsaka yang berkuasa” hanya tahap kedua dari tiga tahap pendahuluan sebelum suatu perpecahan dapat terjadi. Bahkan jika, karena saya pikir sangat mungkin, bacaan ini nyatanya tidak menunjuk pada kejadian aktual yang sama seperti Maklumat Persatuan dan Konsili Ketiga, tidak perlu untuk menganggap bahwa ketiga tahap ini semuanya telah lengkap. Kenyataannya, satu-satu sumber kita tentang kejadian ini sebagai keseluruhan, kisah narasi Konsili Ketiga, menyatakan bahwa intervensi “upāsaka yang berkuasa” adalah efektif dan perpecahan dapat dihindari.

Juga penting untuk memperhatikan bahwa jika ini memang menunjuk pada perpecahan sesungguhnya, ini pasti adalah perpecahan awal mula antara Mahāsaṅghika dan Sthavira. Tetapi ini sangat problematik. Sumber kita adalah Mahāsaṅghika Vinaya, tetapi Mahāsaṅghika Śāriputraparipṛcchā menempatkan perpecahan awal mula lama kemudian, yang akan menyebabkan ketidaksesuaian yang besar atas masalah ini di dalam Mahāsaṅghika. Bahkan lebih buruk, tiga sumber kita – dari sudut pandang Sthavira, Mahāsaṅghika, dan Aśoka – semuanya mengambil sisi yang sama, menentang para bhikkhu pemecah belah yang dikembalikan ke kehidupan awam. Tidak mungkin bahwa ini dapat mewakili sisi yang berlawanan dalam perdebatan. Penafsiran yang paling sederhana adalah untuk menyetujui bahwa tidak ada perpecahan pada masa ini.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #7 on: 26 January 2013, 07:42:39 PM »
Catatan Kaki Bab 1:

[2]  Sāñchī: [saṁ](ghe)e*[sa]*mag(e) kate; Kosambi: (sa)ma(ge)* kate* saṁghas [ i ].

[3]  Ichā hi me kiṁ-ti saṁghe samage cilathitīke siy

[4]  Kisah kejadian Devadatta yang populer khas [ada] di http://www.tipitaka.net/pali/ebooks/pageload.php?book=0003&page=17. Suatu pandangan alternatif [lihat] pada Ray.

[5]  Pali Vinaya 2.198: saṅghaṁ samaggaṁ karoti

[6]  Sambil lalu, kutipan ini juga menjelaskan bahwa, bertentangan dengan pendapat yang populer, tidak semua perpecahan menyebabkan sang pelaku pemecah belah akan dihukum di neraka selama satu kappa. Ini hanya berlaku jika seseorang dengan sengaja dan secara jahat memecah belah Sangha, menyatakan Dhamma sebagai bukan-Dhamma, Vinaya sebagai bukan-Vinaya, dst, seperti tingkah laku Devadatta.

[7]  Pali Vinaya 2.204. Uposatha adalah pembacaan aturan monastik dua minggu sekali; pavāraṇā adalah undangan bersama untuk peringatan pada akhir pengasingan musim hujan tahunan; saṅghakamma adalah istilah umum untuk semacam “tindakan Sangha” yang formal, termasuk penahbisan (upasampadā).

[8]  Tanggapan saya terhadap Sasaki ada di http://sectsandsectarianism.googlepages.com/sasakiandschism. Secara singkat, saya berargumentasi bahwa pergeseran historis dari cakrabheda ke karmabheda tidak secara cukup dikembangkan oleh bukti-bukti Sasaki, dan lebih baik melihat kedua hal ini untuk mewakili aspek informal dan formal dari proses yang sama: karmabheda adalah jeda legal di mana cakrabheda adalah penyelesaiannya.

[9]  Pali Vinaya 3.172: samaggo hi saṅgho sammodamāno avivadamāno ekuddeso phāsu viharatī'ti

[10]  Pali Vinaya 4.207: ‘tattha sabbeheva samaggehi sammodamānehi avivadamānehi sikkhitabban’ti.

[11]  Pali Vinaya 3.172: samaggo nāma saṅgho samānasaṁvāsako samānasīmāyaṁ ṭhito.

[12]  Pali Vinaya 1.105

[13]  Aśokārāma atau Kukkutārāma.

[14]  Contra Sasaki 1989, 186

[15]  Bechert, Notes on the Formation of Buddhist Sects and the Origins of Mahayana, 26

[16]  Sudassanavinayavibhāsā merupakan komentar Vinaya Sinhala yang dibawa ke Cina dan diterjemahkan oleh Saṅghabhadra sekitar tahun 489 M. judulnya merupakan rekonstruksi dari bahasa Cina 善見律毘婆沙 (dalam CBETA, T49, no. 2034, p. 95, c3 ia ditunjukkan sebagai 善見毘婆沙 ’Sudassanavibhāsā’). Teks ini sedikit diketahui, walaupun kenyataan bahwa terdapat terjemahan Inggris yang baik oleh Bapat dan Hirakawa. Bapat dan Hirakawa mengikuti Taisho dalam memperlakukan teks ini sebagai terjemahan dari Samantapāsādikā, walaupun mereka mencatat terdapat banyak perbedaan dari teks Pali yang ada. Kenyataannya Guruge pasti benar dalam berpendapat bahwa Sudassanavinayavibhāsā bukan terjemahan dari Samantapāsādikā; sementara keduanya memiliki banyak hal yang umum, perbedaannya terlalu jauh. Bacaan yang telah saya bandingkan akan mendukung tesis bahwa teks ini merupakan versi yang lebih awal dari komentar Sinhala yang digunakan oleh Buddhaghosa, yang diadaptasikan olehnya dalam cara minor untuk menyesuaikan dengan pandangan Mahāvihāravāsin. Ini membuat teks ini suatu dokumen historis yang unik dan penting.

[17]  Dīpavaṁsa 6.47: Tithiyā lābhaṁ disvāna sakkārañca mahārahaṁ, Saṭṭhimattasahassāni theyyasaṁvāsakā ahū. Djelaskan lebih rinci dalam Dīpavaṁsa 6.35 sebagai: paṇḍaraṅgā jaṭilā ca nigaṇṭhā'celakādikā, dan dalam Dīpavaṁsa 6.37 sebagai: ājīvakā aññaladdhikā nānā.

[18]  Cf. Dīpavaṁsa 6.34: Mahālābho ca sakkāro uppajji buddhasāsane, Pahīṇalābhasakkārā tithiyā puthuladdhikā.

[19]  Samantapāsādikā 1.53. Juga di bawah ini para bhikkhu berkata kepada menteri Aśoka: “Kami tidak mengadakan uposatha bersama para penganut ajaran lain”. (“na mayaṁ titthiyehi saddhiṁ uposathaṁ karomā’ti”.)

[20]  Hal yang sama digambarkan di tempat lain, misalnya dalam Sthavirian San Lun Xuan, yang disusun oleh Jia-xiang antara tahun 397-419: “Pada waktu itu di Magadha terdapat seorang upāsaka yang sangat besar mendukung Buddhisme. Berbagai penganut ajaran lain untuk kepentingan keuntungan mencukur rambut mereka dan pergi meninggalkan keduniawian. Demikianlah muncul apa yang disebut para bhikkhu “yang berdiam sebagai pencuri”, di mana Mahādeva adalah pemimpinnya.” (CBETA, T45, no 1852, p.9 a22-24)

[21]  Misalnya Dīpavaṁsa 6.36: Ariyā pesalā lajji na pavisanti uposathaṁ, Sampatte ca vassasate vassaṁ chattiṁsa satāni ca. Atau Samantapāsādikā 1.53: asokārāme sattavassāni uposatho upacchijji.

[22]  Dīpavaṁsa 6.34-42

[23]  Dīpavaṁsa 6.43-58. Disebabkan oleh ketidakteraturan penyusunannya, Dīpavaṁsa seringkali memasukkan lebih dari satu versi dari kejadian yang sama.

[24]  Dīpavaṁsa 6.43. Nikkhante dutiye vassasate vassāni chattiṁsati, Puna bhedo ajāyitha theravādāna'muttamo. Syair-syair lain menggunakan istilah yang berhubungan dengan bheda, tetapi di sini istilah ini berarti “penghancuran” ajaran: 6.53-4: Buddhavacanaṁ bhidiṁsu visuddhakañcanaṁ iva.
Sabbe'pi te bhinnavādā vilomā theravādato…

[25]  Samantapāsādika 1.53:‘Uppannaṁ dāni idaṁ adhikaraṇaṁ, taṁ nacirasseva kakkhaḷaṁ bhavissati. na kho panetaṁ sakkā imesaṁ majjhe vasantena vūpasametun’ti

[26]  DN 1/DA 21/T 21, juga dalam bahasa Tibet dan Sanskrit. Cf. Dīpavaṁsa 6.26-33. Sudassanavinyavibhāsā menyepakati: CBETA, T24, no. 1462, p. 684, a29-b1.

[27]  SN 41.3: ‘yāni cimāni dvāsaṭṭhi diṭṭhigatāni brahmajāle bhaṇitāni; imā kho, gahapati, diṭṭhiyo sakkāyadiṭṭhiyā sati honti, sakkāyadiṭṭhiyā asati na hontī’ti.

[28]  或說有我。或說眾生。或說壽命。或說世間吉凶 (SA 570 at CBETA, T02, no. 99, p. 151, a12-13)

[29]  Bodhi, The Discourse on the All-embracing Net of Views, 1

[30]  Pada sisi lain, saya mempercayai kisah Mahāvihāravāsin tentang pembacaan Vinaya dalam Konsili Pertama disesuaikan untuk membentuk suatu contoh untuk Konsili Kedua. Keserupaan ini rapi: Konsili Kedua adalah tentang perselisihan Vinaya, dan dengan demikian berhubungan dengan sisi Vinaya dari Konsili Pertama; Konsili Ketiga adalah tentang perselisihan Dhamma, dan dengan demikian berhubungan dengan sisi Dhamma dari Konsili Pertama.

[31]  Dīpavaṁsa tidak menggunakan istilah vibhajjavādin di sini, alih-alih menunjuk pada Theravāda dan Sakavāda. Vibhajjavādin ditemukan dalam komentar-komentar, termasuk Samantapāsādikā dan Sudassanavinayavibhāsā: 王復更問。大德。佛法云何。答言。佛分別說也 (CBETA, T24, no. 1462, p. 684, b4-5.)

[32]  Samantapāsādikā 1.61. Cp. Dīpavaṁsa 4.52: Therassa santike rājā uggahevāna sāsanaṁ,Theyyasaṁvāsabhikkhuno nāseti liṅganāsanaṁ

[33]  Samantapāsādikā menunjuk pada pemberian pakaian awam putih sebagai: setakāni vatthāni datvā; maklumat memiliki: odātāni dusāni saṁnaṁdhāpayitu. Diusir secara fisik dari vihara dinyatakan dalam Samantapāsādikā sebagai: uppabbājesi; dalam maklumat sebagai: anāvāsasi āvāsayiye. Sudassanavinayavibhāsā memiliki: 王即以白衣服與諸外道驅令罷道 (CBETA, T24, no. 1462, p. 684, b3)

[34]  Samantapāsādikā 1.61

[35]  Banyak tulisan akademik berbeda pendapat tentang hal ini. Untuk sudut pandang alternatif lihat Sasaki, 1989.

[36]  Satu-satunya perbedaan yang penting adalah bahwa, bagi Aśoka, pembuat masalah adalah para bhikkhu dan bhikkhuni, sedangkan kisah Sri Lanka beberapa ditahbiskan, sedangkan yang lain adalah para bhikkhu theyyasaṁvāsika, yang berpura-pura memakai jubah pada diri mereka sendiri dan tidak benar-benar ditahbiskan. Tetapi ini adalah poin kecil, karena ini juga dapat ditunjukkan sebagai para bhikkhu theyyasaṁvāsika, dan maklumat tidak diragukan lagi tidak memperhatikan ketelitian legal ini.

[37]  Cousins, On the Vibhajjavādins, 138

[38]  Lamotte, History of Indian Buddhism, 238

[39]  Warder, 262

[40]  Sasaki, 1989, 193-194. Saya telah mengubah terjemahan ini sedikit. Teks asli ada di CBETA, T22, no. 1425, p. 441, a11-23.
« Last Edit: 26 January 2013, 11:17:34 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #8 on: 26 January 2013, 10:02:58 PM »
Bab 2
Orang-Orang Suci dari Vedisa

BUKTI KITA BERIKUTNYA BERASAL DARI PETI PENYIMPANAN RELIK dari para guru Hemavata kuno, yang baru-baru ini telah diklarifikasi oleh Michael Willis. Di sini saya mengkombinasikan informasi yang diberikan Willis dalam tabelnya 1 dan 3.

Para Guru Hemavata
Teks Pali
Peti Jenazah di Stupa Sonārī 2
Peti Jenazah di Stupa Sāñchī 2
Peti Jenazah di Andher
Majjhima
Majhima Koṣinīputa
Majhima/Koṣinīputa

Kassapagota
Kotīputa Kāsapagota
Kāsapagota

Ālavakadeva[41]
Ālābagira
Āpa(=Āla?)gira

Sahadeva
Kosikiputa
Kosīkiputa

Dundubhissara
Gotiputa Dudubhisaradāyada
Gotiputa



Hāritīputa
Hāritiputa


Mogaliputa
Mogaliputa, murid dari Gotiputa


Vāchiya Suvijayita, murid dari Goti[puta]
Vāchiputa, murid dari Gotiputa


Mahavanāya


Peti-peti jenazah tersebut telah diperkirakan berasal dari akhir abad kedua SM, yaitu, satu abad lewat sedikit setelah Aśoka. Prasasti-prasasti ini adalah bukti tertulis kita yang tertua untuk nama-nama pribadi, lokasi, dan masa para bhikkhu. Willis menunjukkan bahwa lima bhikkhu yang disebut dalam peti penyimpanan dapat diidentifikasikan dengan lima bhikkhu, yang, seperti yang tercatat dalam Samantapāsādikā dan sumber-sumber Pali lainnya, dikirim ke wilayah Himalaya sebagai bagian dari upaya misionaris Aśoka. Nama-nama tambahan merupakan murid dan pengikut dari misionaris awal mula. Dengan demikian sumber Pali mendapatkan pembuktian yang penting dalam dua sumber informasi prasasti kita: Maklumat Aśoka mengkonfirmasikan Konsili Ketiga, dan prasasti Vedisa mengkonfirmasi kisah [pengiriman] misi.[42]

Peti-peti jenazah menggambarkan para bhikkhu ini sebagai “guru-guru dari semua Himalaya”. Oleh sebab itu, kita juga harus melihat kelompok ini sebagai perkumpulan di mana sumber-sumber yang belakangan menggambarkannya sebagai “aliran Himalaya” (Haimavata Nikāya). Namun saya akan mempertanyakan sampai jangkauan apa bukti prasasti memungkinkan kita untuk menyimpulkan bahwa suatu “aliran” ada pada waktu itu.

Jelasnya, terdapat banyak unsur yang penting untuk pembentukan suatu “aliran”. Kita melihat suatu kelompok yang terikat erat, semuanya yang mengetahui satu sama lain, dengan guru-guru yang umum. Kita melihat munculnya suatu kultus pemujaan orang-orang suci lokal, seperti halnya Sang Buddha dan para siswa besar yang dihormati oleh semua umat Buddha. Kita melihat suatu pusat institusi yang berkembang dengan baik dan sangat disokong.

Tetapi terdapat juga banyak hal yang tidak kita lihat. Sejauh yang saya sadari, kita tidak melihat penggunaan istilah nikāya atau istilah lainnya untuk menunjuk pada suatu aliran. Kita tidak memiliki bukti silsilah tekstual yang terpisah, atau ajaran yang dikembangkan secara mandiri. Kita tidak memiliki bukti bahwa kelompok ini mengadakan saṅghakamma yang terpisah.

Saya akan menyatakan bahwa, dengan hanya membaca bukti dalam cara yang paling harfiah seperti yang kita lakukan dengan maklumat Aśoka, prasasti Vedisa menunjukkan bahwa suatu pusat berkembang di sekeliling suatu kelompok monastik yang pada masa yang belakangan dikenal sebagai aliran Haimavata. Kita tidak mengetahui apakah mereka menganggap diri mereka suatu “aliran” yang berbeda pada tahap ini. Alih-alih melihat penemuan Vedisa sebagai bukti bahwa aliran-aliran telah ada pada waktu itu, kita lebih baik menganggap ini bukti untuk apa yang dapat mengajarkan kita tentang bagaimana aliran-aliran muncul.

Sementara identifikasi misionaris Himalaya hampir pasti, sisa nama-nama memberikan kita beberapa pertanyaan yang membangkitkan rasa ingin tahu.

Gotiputa

Gotiputa jelas merupakan seorang bhikkhu yang penting, dan mungkin instrumental dalam membentuk kehadiran Hemavata di Vedisa. Willis menempatkan penanggalannya pada kira-kira pertengahan abad kedua SM.[43] Namun, kesimpulan ini menyisakan beberapa asumsi yang sangat fleksibel, dan benar-benar Gotiputa dan murid-muridnya mungkin telah hidup pada waktu antara masa [pengiriman] misi dan pendirian stupa.[44]

Gotiputa dikatakan sebagai “pewaris” (dāyāda) salah satu dari lima misionaris awal mula, Dundubhissara. Penyebutan dāyāda bukanlah istilah Vinaya yang biasanya untuk menunjukkan hubungan guru-murid, sehingga Willis menganggapnya menunjukkan bahwa Gotiputa hidup beberapa waktu setelah misi awal mula. Tetapi, makna dāyāda kelihatannya lebih menyatakan suatu hubungan akrab yang hidup, alih-alih suatu silsillah pewaris yang jauh. Dalam pengertian spiritual (dhammadāyāda atau sāsanadāyāda) ini berarti seseorang yang benar-benar layak atas ajaran yang hidup. Dalam pengertian yang lebih awam, seorang pewaris adalah seseorang yang paling layak untuk menerima barang-barang kepemilikan materi dari seseorang yang telah meninggal. Dengan demikian bagi orang awam dalam masyarakat patriarkal waktu itu, anak laki-laki adalah pewaris alih-alih saudara perempuan.[45] Ketika seorang bhikkhu meninggal, barang-barang miliknya dikembalikan kepada Sangha. Namun, karena seorang perawat bermanfaat besar, Sangha dianjurkan memberikan kebutuhan sang bhikkhu yang meninggal kepada bhikkhu pelayan yang mengurus almarhum.[46] Dalam Mahāsaṅghika Vinaya bhikkhu yang mewarisi kebutuhan itu tidak hanya seorang murid langsung (saddhivihārika atau antevāsin), tetapi juga dapat dipercaya dan disetujui oleh Sangha.[6] Kata dāyāda tidak digunakan dalam konteks ini dalam Pali Vinaya. Namun demikian, saya pikir contoh-contoh ini menunjukkan bahwa seorang dāyāda lebih mungkin seorang pewaris yang “dinobatkan” secara khusus dan dekat alih-alih keturunan yang jauh dari silsilah yang sama. Dalam pengertian ini istilah ini dapat lebih akrab daripada hanya “murid” (antevāsin), karena seorang guru dapat memiliki sejumlah murid berapa pun, dan sementara guru dan murid secara ideal dianggap menganggap satu sama lain seperti ayah dan anak, dalam kenyataannya mereka mungkin tidak memiliki hubungan dekat secara khusus. Ini juga sesuai dengan konteks kita, karena ini meninggikan status Gotiputa lebih banyak jika ia dilihat sebagai seseorang yang benar-benar layak menjalankan misi Dundubhissara setelah kematiannya. Jika hubungan dāyāda adalah sesuatu seperti yang kita asumsikan, maka lebih mungkin bahwa Gotiputa adalah sezaman lebih muda dari para guru Hemavata.

Berikutnya kita harus bertanya, siapakah Gotiputa ini? Ia jelas seorang guru yang penting. Tetapi ia secara misterius tidak diketahui – atau adakah ia? Catatan komentar Vinaya dari Konsili Ketiga menceritakan kisah berikut. Saya menerjemahkannya dari bahasa Mandarin, yang dalam hal ini sama dengan Pali-nya:

Pada waktu itu, raja Aśoka telah naik tahta selama 9 tahun. Terdapat seorang bhikkhu, bernama Kotaputtatissa[48], yang sakit parah. Berkeliling meminta dana untuk mencari obat, ia hanya menerima sejumput ghee. Penyakitnya bertambah sehingga kekuatan hidupnya akan berakhir. Ia mendekati para bhikkhu dan berkata: “Di tiga alam, berwaspadalah, janganlah malas!” Setelah itu, ia terbang ke udara. Duduk di angkasa, ia memasuki [meditasi] unsur api, membakar tubuhnya dan memasuki Nibbana. Pada waktu itu raja Aśoka mendengar orang-orang membicarakan hal ini, dan kemudian memberikan persembahan. Sang raja berpikir dan berkata: “Bahkan dalam wilayah kekuasaanku para bhikkhu yang membutuhkan pengobatan tidak dapat memperolehnya!...”[49]

Di sini kita memiliki seorang guru yang namanya kelihatannya luar biasa mirip dengan guru Hemavata dari prasasti. Variasi Pali yang berbeda dari nama ini termasuk Kontiputta, Kuntaputta, dan Kontaputta.[50] Prasasti relik memasukan bentuk-bentuk Kotīputa dan Gotiputa.[51] Ini tampaknya bahwa ini adalah dua orang bhikkhu yang berbeda, karena kedua bentuk ini muncul dalam dua peti jenazah yang ditemukan sebagai bagian dari kumpulan yang sama dari kelimanya.

Tetapi kita membayangkan apakah mungkin tidak ada semacam hubungan keluarga di sini.[52] Bahasa dari prasasti biasanya mengerutkan apa yang dibentuk sebagai kumpulan konsonan dalam bahasa Pali atau Sanskrit; dengan demikian, sebagai contoh, Pali Dundubhissara menjadi Dudubhisara dalam prasasti. Kita juga mencatat beberapa kasus pada peti penyimpanan di mana ejaan berkisar antara i dan ī. Jayawickrama menyatakan identifikasi Goti- dan Kotī-, yang menunjukkan perubahan g > k dalam bahasa Prākrit barat laut[53] (walaupun kita bukan di barat laut!). Tanpa menyimpulkan dalam satu cara atau yang lain, kita memunculkan kemungkinan bahwa ini adalah bentuk variasi dari nama yang sama. Tetapi jika terdapat suatu hubungan keluarga, persisnya jenis keluarga apakah yang sedang kita bicarakan?

Mahāvaṁsa menceritakan suatu kisah. Kontiputtatissa adalah anak dari seorang kinnarī (peri hutan) yang bernama Kuntī, yang tergoda oleh seorang pria dari Pāṭaliputta dan “kelihatannya” (kira) melahirkan dua anak laki-laki, Tissa dan Sumitta. Mereka berdua pergi meninggalkan keduniawian di bawah sesepuh Mahāvaruṇa.[54] (Jelas memiliki ibu seorang peri hutan tidak membatalkan seseorang dari anggapan seorang “manusia” untuk tujuan penahbisan.) Kontiputtatissa digigit oleh serangga, tetapi walaupun ia mengatakan kepada saudara laki-lakinya segenggam penuh ghee dibutuhkan sebagai obatnya, ia tidak akan pergi mencarinya setelah ia makan. Versi ini sesuai dengan kisah lain tentang cara kematian Kontiputtatissa. Semua versi juga setuju bahwa penyesalan Aśoka dalam mendengar kisah ini merupakan sebab langsung baginya untuk secara dramatis meningkatkan sokongannya yang dermawan kepada Sangha, yang pada gilirannya dorongan langsung bagi unsur yang merusak masuk Sangha, yang mengharuskan [penyelenggaraan] Konsili Ketiga. Kita melihat bahwa saudara laki-laki Kontiputtatissa, Sumitta, juga meninggal dalam tahun yang sama. Kisah peri hutan dan dua putranya yang bernasib buruk menambah dimensi yang membangkitkan rasa ingin tahu pada kisah kita.[55] Tetapi untuk saat ini adalah cukup untuk melihat bahwa klan “Kuntī” tampaknya tidak memiliki keluarga yang biasa.

Mogaliputa

Sekarang, Gotiputa memiliki sejumlah murid, yang menonjol adalah “Mogaliputa” dan “Vāchiputa” tertentu. Satu silsilah sarjana, dimulai dari Cunningham dan Geiger, membuat hubungan yang jelas antara Mogaliputa ini dengan Moggaliputtatissa dari kronologis Pali. Silsilah yang lain, termasuk Lamotte dan Willis, menolak identifikasi ini segera. Baik alasan untuk membuat kesamaan ini dan alasan untuk menolaknya adalah hampir sederhana. Di sini kita memiliki seorang bhikkhu tertentu, dengan jelas berhubungan dengan masa umum dan kegiatan misionaris yang sama dari 5 bhikkhu yang sama, dan bersama-sama menggunakan nama yang sama. Masalahnya adalah dalam kisah Pali, Moggaliputtatissa hidup pada masa Aśoka, sedangkan murid Gotiputa, jika penanggalan Willis benar, hidup lebih dari satu abad kemudian. Tetapi ketika kita mengenali bahwa penanggalan demikian didasarkan pada asumsi yang fleksibel jika bukan sepenuhnya sembarangan, kita tidak dapat begitu pasti tentang perbaikan penanggalan Gotiputa dalam bukti arkeologis.

Suatu masalah yang lebih jauh dengan mengidentifikasi Moggaliputtatissa dari tradisi Pali dengan Mogaliputa dari peti penyimpan relik adalah bahwa Moggaliputtatissa dianggap sebagai pemimpin dari para guru Hemavata. Tetapi, jika kita menyamakan keduanya, kita berakhir dengan Moggaliputtatissa sebagai murid dari pewaris para guru Hemavata.

Tetapi penempatan Moggaliputtatissa sebagai pemimpin misi pada beberapa cakupan adalah ungkapan prasangka Mahāvihāravāsin. Jelasnya, terdapat banyak bhikkhu senior yang terlibat. Misi-misi ini, dalam semua kemungkinan, diorganisasikan oleh suatu kelompok sesepuh yang berhubungan secara longgar yang mengambil keuntungan dari kondisi yang menguntungkan dari kekuasaan Aśoka untuk menyebarkan Dhamma. Dan organisatornya tidak harus [bhikkhu] yang paling senior: baik Konsili Pertama ataupun Kedua bhikkhu yang memimpin bukan yang paling senior. Kegiatan misionaris melibatkan sedikitnya tiga generasi bhikkhu: Moggaliputtatissa, Majjhantika, dan Mahādeva yang memimpin penahbisan Mahinda, dan Mahinda pada gilirannya memiliki sejumlah murid, termasuk seorang samanera, yang bersamanya ke Sri Lanka. Oleh karena itu, kita sangat bersesuaian dengan teks untuk mengasumsikan bahwa para guru Hemavata kira-kira sama dalam kedudukannya dengan Moggaliputtatissa.

Satu asumsi yang tidak terucapkan dari alasan Willis adalah bahwa informasi pada peti penyimpanan relik, karena informasi ini konkrit, dapat diperkirakan waktunya, dan dapat ditentukan tempatnya, mungkin lebih akurat. Tentu saja, ini adalah asumsi yang masuk akal – tetapi asumsi yang masuk akal tidak selalu benar. Sejak masa yang paling awal, kita dapat mengasumsikan bahwa komunitas-komunitas [monastik] berebut posisi, yang bertujuan agar silsilah mereka sendiri dianggap tertinggi. Mereka yang menulis prasasti pada peti-peti jenazah tidak lebih atau kurang berupaya membuat catatan historis yang tepat daripada mereka yang menyusun kronologis yang telah diperbaiki.

Kita mengetahui bahwa posisi para sesepuh terkemuka dalam daftar silsilah tidak konsisten. Contoh yang terkenal adalah Majjhantika. Dalam teks Pali, ia adalah seorang misionaris Aśoka; tetapi dalam sumber utara ia biasanya digambarkan sebagai seorang murid langsung dari Ānanda. Ini karena ia sezaman dengan Śāṇavāsin dan Upagupta, yang mewakili silsilah Mathura, dan silsilah Kaśmīri harus dimasukkan dalam silsilah Mathura yang telah berkembang, tidak bertepatan dengan patriark Kaśmīr yang menjadi seniornya. Hal yang sama, Samantapāsādikā (dan Sudassanavinayavibhāsā) menggambarkan Siggava dan Caṇḍavajji sebagai guru-guru Moggaliputtatissa. Tetapi sumber Mandarin yang belakangan mengatakan Caṇḍavajji sebagai murid Moggaliputtatissa.[56]

Oleh karena itu, kita dapat menganggap perbedaan dalam perspektif antara teks Pali dan prasasti sebagai, bukan suatu jurang yang tidak dapat didamaikan, tetapi suatu penyajian yang sepenuhnya normal berdasarkan prasangka masing-masing aliran. Mahāvihāravāsin menganggap Moggaliputtatissa sebagai yang menetapkan posisi ajaran mereka, dan oleh sebab itu berharap menempatkannya pada pusat kegiatan misionaris. Hemavata, sangat dipahami, berharap untuk menekankan pentingnya silsilah mereka sendiri, sehingga menempatkan guru-guru mereka pada kedudukan yang lebih tinggi daripada Moggaliputtatissa.

Terdapat satu poin kecil lain yang dapat dirasa memperkuat hubungan antara dua “Moggaliputta”. Dalam Dīpavaṁsa, Aśoka, yang kecewa dengan para pengikut ajaran lain, dikatakan berpikir kapan ia dapat berkesempatan bertemu dengan seorang sappurisa, yang tentu saja ternyata adalah Moggaliputtatissa. Ini adalah istilah kanonik yang terkenal yang menunjuk pada seorang ariya, seseorang yang telah mencapai jalan mulia. Peti penyimpanan relik menunjuk pada para bhikkhu sebagai sappurisa, termasuk sapurisa mogaliputa. Ini menunjukkan setidaknya bahwa istilah tersebut umum digunakan dalam konteks ini, dan mungkin digunakan oleh orang yang sama.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #9 on: 26 January 2013, 10:07:31 PM »
Vāchiputa

Kebetulan lain yang mengejutkan dalam nama-nama di Vedisa adalah Vāchiputa, murid (antevāsī) dari Gotiputa, memiliki nama yang sama dengan pendiri aliran Puggalavāda (“Personalis”).[57] Ajaran utama kelompok aliran ini adalah bahwa terdapat suatu “pribadi” (puggala), yang bukan “diri” (attā), dan tidak dapat digambarkan, bukan sama ataupun tidak berbeda dari lima kelompok unsur kehidupan. Kelompok aliran ini tidak secara jelas dibedakan, dan mungkin aliran yang sama yang dikenal menurut [nama] gurunya sebagai “Vātsīputrīya”, dan menurut ajaran utamanya sebagai “Puggalavāda” (sama halnya Mahāvihāravāsin dikenal menurut ajaran mereka sebagai vibhajjavādin, dan menurut pengikut mereka dari para “Sesepuh” sebagai Theriya).

Sementara Puggalavādin dan pendirinya Vātsīputra tidak secara eksplisit disebutkan dalam kisah Konsili Ketiga, ajaran utama mereka secara panjang lebar dibahas dalam Kathāvatthu yang dianggap berasal dari Moggaliputtatissa. Cousins menyatakan bahwa jika Vāchiputa dari prasasti benar-benar pendiri Puggalavādin, maka pasti ia yang berdebat dengan Moggaliputtatissa dalam Kathāvatthu.

Mungkin tampaknya aneh untuk menemukan dua bhikkhu ini diingat sebagai murid dari guru yang sama, karena Moggaliputtatissa adalah seorang anti-personalis yang diakui, yang warisan ajaran utamanya menurut Mahāvihāravāsin dan Sarvāstivādin adalah serangannya terhadap ajaran “pribadi”. Tetapi sedikit pemikiran akan menyatakan bahwa ini kenyataannya sangat mungkin, karena adalah dengan keluarga dan sahabat terdekat kita di mana kita mendapatkan ketidaksepahaman yang paling dalam. Jika aliran-aliran hanya menjauh tanpa ketidaksepahaman ajaran yang jelas, seperti Dharmaguptaka dan Mahāvihāravāsin, tidak akan ada sebab untuk perselisihan. Tetapi hidup berdekatan bersama, berbagi murid dan penyokong awam, perbedaan mungkin menguat, meninggalkan sisa kepahitan yang bertahan sepanjang masa.

Xuan-zang mencatat tradisi bahwa debat tentang “pribadi” muncul dari konflik antara dua orang arahat Devaśarman, penulis Vijñānakāya, dan Gopa di dekat Viśoka.[58] Cousins mencatat kesamaan nama “Gopa” dan “Gotiputa” dalam hubungan ini, keduanya ternyata berasal dari akar kata √gup, dan membayangkan apakah nama sang guru telah digantikan oleh nama muridnya.[59]

Willis dan Lamotte mengabaikan identifikasi Mogaliputa dengan Moggaliputtatissa, dengan Willis berargumen bahwa adalah lebih sederhana menerima bahwa terdapat dua sesepuh dengan nama yang sama. Tetapi jika bukan satu, tetapi tiga nama - Moggaliputta, Vāchiputta, Kontiputta – yang berhubungan dengan kisah Konsili Ketiga muncul dalam prasasti, keseimbangan kemungkinan bergeser, dan kita mungkin harus menetapkan lagi kesimpulan kita.

Kita tidak akan pernah dapat berusaha lebih dari spekulasi yang menggiurkan tentang identitas sebenarnya dari para bhikkhu ini. Dalam kehidupan mereka adalah manusia yang kompleks dan paradoks, tetapi mereka kelihatan bagi kita hanyalah nama, gema dari suatu gagasan, dan pecahan tulang yang telah terbakar. Betapa putus asanya kita meraba-raba pengetahuan yang kita senangi untuk menemukan hanya sebanyak ini. Betapa lebih banyak kita seharusnya menghargai keyakinan di mana prasasti Vedisa mengkonfirmasi kisah [pengiriman] misi. Sangat luar biasa bahwa hanya dua buah bukti prasasti dari masa ini sangat sesuai dengan kisah yang dilestarikan oleh tradisi komentar Vinaya Sinhala.

Sementara kita tidak akan menghabiskan waktu membahas hal ini dengan rinci di sini, terdapat bukti lebih jauh yang cenderung mendukung kisah [pengiriman] misi, walaupun bukti itu tidak sejelas pengakuan Aśoka yang telah mengirimkan “utusan” (atau “misionaris”, dūta) untuk menyelesaikan “kemenangan Dhamma”-nya. Wynne menunjukkan bahwa ini perlu dibedakan dari “menteri Dhamma” Aśoka, yang terlibat dalam kerja sosial sekuler di dalam kerajaan.[60] Para utusan pergi keluar kerajaan dan melakukan pengajaran religius dan etis. Wynne menyimpulkan bahwa ini mungkin adalah para bhikkhu Buddhis dari misi [penyebaran Dhamma]. Akhirnya, kita harus memperhatikan bahwa catatan arkeologis Sri Lanka bersesuaian dengan kronologi, kejadian, dan tempat-tempat yang digambarkan dalam kisah [pengiriman] misi.[61] Tulisan telah ditemukan di Sri Lanka yang berasal dari masa abad ke-5 SM, lebih awal daripada di mana pun di India, dan bahkan legenda pra-Buddhis atas kolonialisasi Sri Lanka pada masa ini kelihatannya memiliki dasar. Sementara ini tidak terdapat referensi definitif pada [pengiriman] misi yang telah ditemukan, bebatuan telah mengatakan jenis kisah yang sama seperti kisah [pengiriman] misi. Pada bab berikutnya kita akan melihat bahwa bukti ini sama kuatnya tidak sesuai dengan kebanyakan bukti tekstual lainnya.

Catatan Kaki Bab 2:

[41] Ālavakadeva dan Sahadeva keduanya ditunjuk sebagai ‘Deva’ dalam Sudassanavinayavibhāsā.

[42] Salah satu misi dianggap telah pergi ke Suvaṇṇabhūmi, yang biasanya diidentifikasikan dengan Thaton di Burma atau Nakom Pathom di Thailand. Tetapi Buddhisme biasanya dikatakan telah masuk ke sana lebih belakangan. Oleh sebab itu, Lamotte menyatakan bahwa kisah [pengiriman] misi tidak mungkin disusun sebelum abad ke-5 M. (Lamotte, History of Indian Buddhism, 298) Tetapi identifikasi Suvaṇṇabhūmi dengan wilayah ini tidak pasti. Dengan demikian masuknya Buddhisme yang belakangan di Asia Tenggara, bahkan jika benar, tidak dapat digunakan sebagai bukti bahwa penyebutan misi Aśoka ke Suvaṇṇabhūmi adalah tidak sesuai dengan sejarah. Lihat diskusi di http://web.ukonline.co.uk/buddhism/tawsein8.htm

[43] Willis, 228

[44] Untuk penyelidikan mendetail, lihat http://sectsandsectarianism.googlepages.com/names%26datesatvedisa.

[45] Pali Vinaya 3.66

[46] Pali Vinaya 1.303

[47] T 1425, 479b23-c23. Translation at Walser, 143-145.

[48] 拘多子。名帝須 (CBETA, T24, no. 1462, p. 682, a15-16) Ini tentu saja hanya perkiraan dari bentuk bahasa India.

[49] 爾時阿育王登位九年。有比丘拘多子。名帝須。病困劇。持鉢乞藥得酥一撮。其病增長命將欲斷。向諸比丘言。三界中慎勿懈怠。語已飛騰虛空。於虛空中而坐。即化作火自焚燒身。入於涅盤。是時阿育王。聞人宣傳為作供養。王念言。我國中比丘。求藥而不能得 (CBETA, T24, no. 1462, p. 682, a15-21)

[50] Jawawickrama, 1986, 173

[51] Willis, 223

[52] Seperti yang disarankan oleh Jawawickrama, 105 catatan 53.1

[53] Jawawickrama, 108

[54] Mahāvaruṇa juga adalah guru pembimbing dari Nigrodha, samanera yang menginspirasi Aśoka menjadi seorang Buddhis.

[55] Lihat http://sectsandsectarianism.googlepages.com/whoiskunti%3F

[56]目揵連子帝須欲涅槃付弟子旃陀跋闍 (CBETA, T49, no. 2034, p. 95, b26-27). Juga dalam CBETA, T55, no. 2154, p. 535, c19.

[57] Cf. Cousins, Person and Self, 86.

[58] CBETA, T51, no. 2087, p. 898, c15-17. Bagi Xuan-zang tampaknya bukan tidak mungkin bagi dua orang arahat tidak sepaham atas ajaran yang mendasar demikian, yang menyatakan bahwa perbedaan dalam ungkapan konseptual Dhamma tidak menyatakan perbedaan dalam realisasi.

[59] Cousins, Person and Self, 86

[60] Wynne, 12-21

[61] Allchin, 156-183
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #10 on: 27 January 2013, 08:11:17 AM »
Bab 3
Dīpavaṁsa

SETELAH MENINJAU BUKTI PRASASTI, saya sekarang ingin beralih pada kisah tekstual yang belakangan. Kita telah melihat bahwa bagian yang penting dari tradisi Pali telah ditegaskan oleh penemuan prasasti. Dengan pengecualian yang mungkin dari bacaan Mahāsaṅghika Vinaya yang dibahas lebih awal, tradisi utara sepenuhnya tidak ada dukungan arkeologis untuk masa ini. Tetapi ini tidak berarti bahwa kita harus menerima tradisi Mahāvihāravāsin sepenuhnya. Saya telah menunjukkan bahwa saya memiliki reservasi yang berat tentang kisah Dīpavaṁsa atas pembentukan aliran-aliran, dan inilah yang sekarang kita tinjau. Pertanyaan utama apakah kita dapat menerima identifikasi Dīpavaṁsa atas Mahāsaṅghika dengan Vajjikaputta yang lalai dari Konsili Kedua.

Kesarjanaan yang baru-baru ini menyambut kematian teori Dīpavaṁsa. Tetapi beberapa sarjana, setelah menghadiri pemakaman di sore hari yang cerah, kembali pada larut malam dengan sebuah sekop. Mereka menggali tanah, yang masih lembut, dan mengganggu jenazahnya dari tidur abadi yang sangat layak baginya. Dengan sihir dan mantra mereka menanamkan dengan kehidupan yang tidak alami, dan mengaturnya pada tugas yang mengerikan: menghancurkan anak-anak muda agar mereka tidak tumbuh sampai kehidupan baru yang penuh. Misi saya jelas: untuk memutus teori perpecahan Dīpavaṁsa seperti tunggul pohon palem, sehingga ia tidak lagi muncul pada masa yang akan datang; kemudian memotong-motong kayunya menjadi serpihan, membakar serpihan itu, dan memencarkan abunya dalam angin.

Jelas saya tidak bermaksud mengkritik Dīpavaṁsa secara umum. Ataupun saya tidak bermaksud mengkritik apa pun tentang kisah Dīpavaṁsa tentang aliran-aliran: urutan munculnya aliran-aliran dan antarhubungan mereka satu sama lain, secara umum dikatakan, tidak kurang masuk akal daripada mana pun yang lainnya; dan kenyataan bahwa teks menganggap penyebab perpecahan akar adalah suatu perselisihan dalam penyusunan tekstual memiliki unsur yang masuk akal.

Secara khusus, saya bermaksud untuk menyanggah pernyataan Dīpavaṁsa bahwa Mahāsaṅghika berasal dari suatu kelompok Vajjikaputta yang terbentuk kembali yang mengadakan suatu “Konsili Besar” yang terpisah setelah Konsili Kedua. Ini tidak didukung oleh sumber lain. Ini jelas bertentangan dengan pesan utama dari Konsili Kedua seperti yang tercatat dalam semua Vinaya: perselisihan telah berhasil diselesaikan.

Membaca dengan dekat Dīpavaṁsa menunjukkan bahwa bacaan tentang perpecahan merupakan suatu penambahan ke dalam suatu bacaan yang berbeda yang berhubungan dengan Konsili Kedua dan Ketiga: Dīpavaṁsa 4.68 dengan jelas menyatakan kesimpulan Konsili Kedua: Aṭṭhamāsehi niṭṭhāsi dutiyo saṅgaho ayan’ti (“Dalam delapan bulan Konsili Kedua selesai.”) Di sini kata niṭṭhāsi menyatakan penyelesaian, dengan mengatakan pada kita bahwa kisah ini seharusnya berakhir di sini. Petunjuk istilah ini didukung dengan ciri sintaksis: baris itu berakhir dengan partikel –ti, yang menunjukkan akhir dari suatu bagian. Dengan demikian Konsili Kedua seperti yang dikisahkan dalam Dīpavaṁsa (atau sumbernya) awalnya ditutup dengan penyelesaian yang berhasil dari Konsili [Kedua], sesuai dengan semua kisah Vinaya.

Detail tekstual ini mungkin ambigu, tetapi terdapat yang lain lagi. Mengikuti penutupan dari Konsili Kedua, Dīpavaṁsa berlanjut memberikan kisah munculnya Mahāsaṅghika dan perpecahan-perpecahan berikutnya yang mengarah pada pembentukan delapan belas aliran semuanya. Jelas ini pasti proses yang memakan waktu bertahun-tahun. Tetapi mengikut semua ini Dīpavaṁsa 5.1 menghubungkannya kembali dengan Konsili Kedua:

Di masa yang akan datang, dalam seratus delapan belas tahun,
Akan muncul bhikkhu tersebut, seorang pertapa sejati.[62]

“Pertapa sejati” adalah Moggaliputtatissa, dan menurut kronologi Dīpavaṁsa masa “118 tahun di masa yang akan datang” adalah masa antara Konsili Kedua dan Ketiga. Dengan kata lain ungkapan ini, walaupun diduga ditetapkan setelah seluruh proses perpecahan, dinyatakan dari sudut pandang segera setelah Konsili Kedua. Keseluruhan kisah perpecahan telah ditambahkan di sini, meninggalkan “118 tahun di masa yang akan datang” tergantung tanpa konteks. Kita tidak dapat meminta petunjuk yang lebih jelas bahwa seluruh kisah perpecahan dan pembentukan Mahāsaṅghika adalah di luar kisah konsili-konsili.

Mencatat bahwa kisah perpecahan sepenuhnya tidak ada dalam komentar Vinaya, Cousins menyimpulkan bahwa: “Ini sangat kuat menyatakan bahwa tidak ada kisah “delapan belas aliran” dilestarikan dalam tradisi komentar Mahāvihāra.”[63] Ia lebih jauh berkata: “Erich Frauwalker memberikan bukti bahwa kisah pembentukan delapan belas aliran dalam Dīpavaṁsa tidak berasal dari tradisi komentar kuno dari Mahāvihāra dan mungkin kenyataannya berasal dari suatu sumber Abhayagiri...”.[64] Dalam setiap kasus, bacaan itu berhubungan dekat dengan Vasumitra, Bhavya I, dan Śāriputraparipṛcchā, dan oleh sebab itu jelas berasal dari suatu sumber “utara”. Adalah ironis bahwa teks yang sama yang sangat mengutuk semua aliran lain itu sendiri mengandung penambahan yang merusak. Mahāvihāra akan lebih baik melekat pada sumber tradisi komentar mereka yang lebih dipercaya.

Dalam menerima sumber utara ini dan berusaha mencocokkannya dengan sejarah mereka yang sangat berbeda, Mahāvihāra pasti berakhir dengan kisah yang membingungkan. Ini sangat jelas bahwa para penulis bacaan Konsili Kedua, baik dalam Vinaya maupun Dīpavaṁsa, memaksudkan ini dibaca sebagai kisah suatu trauma yang penting dalam sejarah Buddhis, suatu kisah yang meskipun demikian mengatasi dengan rukun karena penerapan yang tekun atas prinsip-prinsip Vinaya. Sangat penting, Mahāsaṅghika mempertahankan tradisi yang persis sama dalam Vinaya mereka. Mereka memiliki aturan melarang penggunaan uang seperti yang ditemukan dalam semua aliran lain. Karenanya, mereka mengutuk Vijjaputtaka, menolak mereka dalam Konsili Kedua, dan menyimpulkan bacaan konsili mereka dengan mengatakan: “Demikianlah semua sesepuh seharusnya berlatih dengan rukun”.[65]

Dalam berusaha menyatukan kisah konsili dan perpecahan, Dīpavaṁsa mengaburkan fakta sederhana bahwa masalah problematik yang dibahas dalam kaitan dengan Vajjikaputtaka dalam Konsili Kedua sama sekali tidak ada yang umum dengan masalah yang berkaitan dengan Mahāsaṅghika dari “Konsili Besar”. Konsili Kedua menuduh Vajjikaputta tentang 10 poin kelalaian dalam Vinaya. Tetapi kisah perpecahan Mahāsaṅghika dalam Dīpavaṁsa tidak mengatakan tentang Vinaya. Di sana masalah yang penting adalah pembentukan kembali kitab suci Buddhis. Kita harus jelas tentang hal ini: walaupun pernyataan yang bertentangan oleh beberapa sarjana modern,[66] Dīpavaṁsa tidak menganggap perpecahaan disebabkan oleh 10 poin. Alih-alih, Dīpavaṁsa mengisahkan kisah Konsili Kedua memasukkan 10 poin, kemudian melanjutkan menggambarkan bagaimana Vajjikaputta yang telah dikalahkan bereformasi sebagai Mahāsaṅghika[67] dan mengubah teks-teks. Hubungan antara Mahāsaṅghika dan 10 poin adalah suatu kisah sulap: ini adalah kerjaan Māra. Kita dikondisikan oleh bacaan sebelumnya untuk membaca 10 poin ke dalam bacaan yang belakangan; ini adalah maksud naratif dari Dīpavaṁsa. Tetapi sekali kita menyadari dua kejadian berasal dari awal yang berbeda sepenuhnya, hubungan apa pun antara Mahāsaṅghika dan 10 poin lenyap. Bagaikan bunga langit, ini adalah ilusi yang diciptakan oleh pikiran.

Gagasan sebenarnya bahwa Mahāsaṅghika telah menolak teks-teks secara langsung bertentangan dengan suatu asumsi penting dari seluruh kisah Konsili Kedua, yaitu, bahwa Sangha telah mencapai kesepahaman tentang 10 masalah Vinaya dengan menunjukkannya pada aturan disiplin mereka bersama. Semua dengan bebas ikut serta dalam konsili, dan semua setuju untuk menyelesaikan masalah dengan menunjuk suatu komite dari delapan orang, yang keputusannya, karena ini dengan hati-hati dibenarkan poin demi poin terhadap aturan Vinaya yang diterima secara universal, diterima oleh semua. Jika Vajjiputtaka bermaksud untuk mengubah teks, mereka pasti akan menentang referensi tekstual yang dikemukakan oleh komite.
Kesulitan lebih lanjut dengan posisi Dīpavaṁsa adalah bahwa ia mengasumsikan bahwa Vajjiputtaka dapat dengan gembira pergi dengan mengabaikan Konsili Kedua dan membuat perpecahan mereka sendiri tanpa tanggapan apa pun dari Sangha lainnya. Ini jelas tidak masuk akal, karena kejadian yang mencetuskan Konsili Kedua itu sendiri lebih kurang penting daripada suatu perpecahan besar, tetapi para bhikkhu berkumpul dari seluruh India Buddhis. Setiap kisah lainnya yang kita punyai tentang perpecahan awal mengisahkan berkumpulnya para bhikkhu yang berselisih secara panjang lebar, dan terpecah hanya setelah gagal menemukan suatu penyelesaian.

Ini penceritaan yang khusus jika dibandingkan dengan kisah Samantapāsādikā tentang apa yang terjadi setelah Konsili Kedua. Para sesepuh (yang tidak bernama) mempertimbangkan apakah bencana lainnya akan mempengaruhi sāsana, dan melihat bahwa dalam 118 tahun pada masa Aśoka, banyak bhikkhu akan memasuki Sangha untuk mencari keuntungan dan kemasyhuran. Mereka memikirkan bagaimana untuk mencegah hal ini, dan melihat bahwa satu-satunya yang mampu adalah seorang Brahma bernama Tissa. Mereka pergi ke alam Brahma, dan meminta Tissa untuk turun guna menyelamatkan Buddhisme.[68] Ia setuju – bagaimana mungkin tidak? – setelah itu para sesepuh kembali ke alam manusia dan mengatur sepasang arahat muda, Siggava dan Caṇḍavajji, untuk mengajar sang Brahma ketika ia terlahir kembali sebagai Moggaliputtatissa. Ini adalah suatu pengaturan latar yang mengagumkan dan dramatis untuk Konsili Ketiga. Tetapi jika kita menerima kisah Dīpavaṁsa, maka ketika para sesepuh sedang membuat persiapan yang rumit demikian untuk menyelamatkan Buddhisme di masa yang akan datang, tepat di bawah batang hidung mereka Vajjikaputta sedang menghancurkan kesatuan Sangha selamanya. (Mungkin mereka sedang pergi ke alam Brahma ketika ini sedang terjadi.)

Setelah menggambarkan perpecahan awal, Dīpavaṁsa mengatakan pada kita bahwa berbagai aliran memisahkan diri satu sama lain satu per satu. Ini tidak menyebutkan alasan apa pun mengapa banyak perpecahan ini terjadi, ataupun mengapa perpecahan ini harus terjadi sangat cepat. Namun demikian, keseluruhan proses berakhir dan selesai dengan “delapan belas” aliran semuanya terbentuk sebelum masa Aśoka. Konsili Kedua terjadi pada tahun 100 AN, dan karena Dīpavaṁsa adalah suatu teks “kronologi panjang”, ini memungkinkan 118 tahun bagi aliran-aliran untuk terbentuk.[69] Ini sangat pendek, tetapi jika kita mengikuti kronologi menengah kita hanya memiliki 40 tahun atau lebih. Proses pembentukan suatu aliran dalam agama seperti Buddhisme tidaklah mudah. Ia membutuhkan seorang pemimpin yang kharismatik, seseorang yang dapat mengemukakan suatu penafsiran yang meyakinkan terhadap ajaran, yang menginspirasi baik biarawan maupun pengikut awam. Ia membutuhkan suatu tingkatan pemisahan geografis untuk membangun dukungan umat yang dibutuhkan. Ini membutuhkan pembangunan suatu dasar institusional, yaitu sedikitnya satu vihara, termasuk tempat pemujaan, ruang pertemuan, kamar tinggal, dan sebagainya. Semua ini terjadi, menurut Dīpavaṁsa, dalam satu atau dua generasi, tanpa meninggalkan jejak fisik satu pun. Ini berbeda dengan kisah lainnya seperti Śāriputraparipṛcchā, yang memberikan proses itu beberapa abad untuk terjadi.

Mungkin bahkan lebih tidak masuk akal, kisah ini menyatakan bahwa dalam abad-abad berikutnya hampir tidak ada aliran baru apa pun. Benar, komentar tidak menyebutkan sedikit aliran yang muncul berturut-turut, tetapi kita diharapkan untuk mempercayai bahwa “delapan belas” aliran muncul hampir seketika, dan dalam seribu tahun setelah itu hanya sejumlah kecil aliran baru perlahan-lahan muncul.

Akibat penting dari pandangan Dīpavaṁsa adalah bahwa misi Aśoka adalah “Theravādin” dalam pengertian yang sempit, yang berarti aliran yang sama dengan Mahāvihāravāsin, alih-alih Sthavira atau Vibhajjavādin secara umum. Dengan demikian Theravādin sendiri yang bertanggung jawab sesungguhnya mengubah seluruh India menjadi Buddhisme, suatu keadaan yang terang-terangan bertentangan dengan semua bukti tekstual dan prasasti yang ada.

Tampaknya tidak baik untuk menghubungkan Theravādin dengan gagasan bahwa mereka sendiri yang menyebarkan Buddhisme ke seluruh India, suatu perspektif kesombongan yang menyesakkan. Tetapi bukti prasasti utama untuk aliran dari daratan utama  menegaskan persis seperti itu. Dua prasasti dari vihara Sinhala di Nāgārjunikoṇḍa, berasal dari masa sekitar tahun 250 M, menunjuk pada para guru dari “Theriyas, Vibhajjavādas, Mahāvihāravāsin” yang telah membawa ajaran ke berbagai negeri: Kaśmīr, Gandhāra, Yava[na] (= Yonaloka dari kisah [pengiriman] misi = Bactria Yunani), Vanavāsi, Cīna-Cilāta, Tosali, Avaraṁta, Vaṅga, Da[mila], [Pa]lura, dan Tambapṁṇidīpa.[70] Bukti ini lebih tua dari Dīpavaṁsa dan kisah [pengiriman] misi, tetapi kesamaan penyusunan kata-kata, seperti yang ditunjukkan oleh Cousins, menunjukkan bahwa mereka pasti berasal dari suatu sumber yang umum, diperkirakan tradisi Sinhala kuno.

Mahāvihāravāsin ingin menggambarkan diri mereka pada pusat Buddhisme. Jenius kreatif yang unik dari Dīpavaṁsa adalah untuk mengabadikan pandangan dunia ini dalam mitos penting Buddhisme. Tepat dari awalnya ia menyatakan bahwa Sang Buddha, selama tujuh hari setelah pencerahan-Nya, mengamati dunia, melihat Sri Lanka, dan meramalkan kedatangan Dhamma-Nya di sana setelah Konsili Ketiga.[71] Sangha yang bersatu ditunjukkan sebagai “Theravāda” sejak masa Konsili Pertama.[72] Tidak diragukan lagi, seperti yang diberikan dalam bacaan pembuka, bahwa dengan hal ini Dīpavaṁsa, dengan pengabaian yang sewenang-wenang atas kronologi, memaksudkan Theravādin dalam pengertian sempit (= Mahāvihāravāsin).

Dalam konteks ini motif menempatkan perpecahan awal sebelum Aśoka sudah jelas. Jika perpecahan terjadi setelah Aśoka, maka tidak mungkin untuk menyatakan bahwa Aśoka adalah penyokong khusus Theravāda. Ia akan dilihat sebagai pendukung Buddhisme secara umum. Jika perpecahan terjadi pada masa Aśoka, ini akan bertentangan dengan pesan kemenangan dari Konsili Ketiga Moggaliputtatissa yang berhasil. Satu-satunya solusi adalah menempatkan perpecahan sebelum Aśoka. Kemudian aliran-aliran lain secara implisit dikeluarkan dari narasi, dan Aśoka secara alami menjadi penyokong khusus dari Theravāda.

Penyimpangan Tata Bahasa

Jika kita menyetujui bahwa kisah Dīpavaṁsa tentang perpecahan tidak dapat menunjuk pada masa segera setelah Konsili Kedua, dapatkah kita mengembangkan kapan dan dalam konteks apa perpecahan bermula? Saya pikir kita bisa. Untuk melakukan hal ini, kita perlu melihat lebih dekat pada cara perpecahan yang sebenarnya digambarkan dalam Dīpavaṁsa. Ia menekankan prinsip interpretasi yang digunakan pada konsili:

Ajaran-ajaran yang bersifat kiasan, dan ajaran-ajaran yang bersifat pasti.
Ajaran-ajaran dengan makna yang telah disimpulkan dan dengan makna yang harus disimpulkan
telah dijelaskan oleh para ahli sutta.[73]

Syair ini secara menghina digemakan dalam kisah “Mahāsaṅgīti” dari Vajjiputtaka:

Ajaran-ajaran yang bersifat kiasan, dan ajaran-ajaran yang bersifat pasti.
Ajaran-ajaran dengan makna yang telah disimpulkan dan dengan makna yang harus disimpulkan;
tanpa pemahaman, para bhikkhu tersebut [bingung].[74]

Dīpavaṁsa lebih jauh menjelaskan (4.77) bahwa para Vajjiputtaka (=Mahāsaṅghika) bingung akan kata benda, gender, dan sebagainya. Pendek kata, mereka menyimpang dalam tata bahasa, yang kejahatan terutamanya adalah tekstualitas yang buruk. Akan tidak baik berkepanjangan pada poin ini, tetapi ironisnya bahwa tuduhan ini dibuat oleh Dīpavaṁsa, mungkin buku yang ditulis paling buruk dalam bahasa Pali.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #11 on: 27 January 2013, 08:13:45 AM »
Tuduhan penting lainnya adalah bahwa Vajjiputtaka/Mahāsaṅghika mengubah teks-teks kuno, dengan menolak Parivāra, enam kitab Abhidhamma,[75] Paṭisambhidā, Niddesa, beberapa Jātaka, dan beberapa syair, dan melanjutkan menyusun teks-teks lain.[76] Semua karya ini ditemukan dalam kanon Pali. Tanpa kecuali, para sarjana modern setuju bahwa karya-karya ini kenyataannya belakangan dan tidak dapat dianggap buddhavacana yang asli. Dengan demikian Mahāsaṅghika dapat dengan benar diakui sebagai pelopor pendekatan historis-kritis yang akurat pada teks-teks Buddhis.

Gambaran Dīpavaṁsa tentang teks-teks yang ditolak merupakan proyeksi dari sisi gelap Mahāvihāra. Secara bawah sadar, mereka mengetahui sepenuhnya bahwa teks-teks ini adalah belakangan. Kedahsyatan serangan mereka – yang digemakan di tempat lain – menunjukkan ketakutan mereka menerima hal ini, dan hal yang sama dibutuhkan untuk menyebabkan masalah keluar. Mengapa mereka sangat takut? Mengapa tidak hanya menerima, seperti yang dipunyai semua bukti, bahwa beberapa teks mereka bukan buddhavacana? Menerima ketidakaslian teks mereka sendiri akan menghancurkan gambaran diri mereka sendiri sebagai benteng pertahanan dari Buddhisme yang asli, murni. Ini pada gilirannya akan membuat omong kosong ideologi Sri Lanka sebagai “Dhammadīpa”, dan akan meruntuhkan kredibilitas Mahāvihāra dalam persaingan atas dukungan kerajaan dengan Abhayagiri. Ketakutan ini sangat nyata: kita tidak perlu ragu bahwa pada waktu tertentu Mahāvihāra harus berdiri berhadapan dengan kehancurannya sendiri. Tetapi kenyataan tentang ancaman tidak seharusnya membutakan kita pada ilusi yang menyihir tanggapan terhadap ancaman itu.

Daftar teks yang ditolak sangat teliti: “beberapa Jātaka”, “beberapa syair”. Seperti yang telah diketahui, beberapa Jātaka membentuk bagian dari kumpulan kitab suci awal, sedangkan yang lainnya ditambahkan terus-menerus bertahun-tahun. Sama halnya, banyak syair dari Khuddakanikāya adalah awal, tetapi lebih banyak terdapat di antara tingkatan penambahan yang terbaru pada kanon.

Dalam bentuk yang sekarang, semua teks yang ditolak ini berasal dari masa sesudah Aśoka. Sementara proyek Abhidhamma pasti telah berjalan pada masa Aśoka – seperti yang dinyatakan oleh hubungan Abhidhamma Moggaliputtatissa dan ditegaskan oleh kesamaan substansial antara teks-teks Abhidhamma yang ada – teks-teks seperti yang kita ketahui pasti diselesaikan belakangan. Sama halnya, Paṭisambhidāmagga berasal dari masa sekitar 100 M.[77] Niddesa merupakan penerapan metodologi Abhidhamma pada beberapa syair awal, dan pasti berasal dari masa yang sama. Dengan demikian kita dengan teguh berada pada periode “kanonik belakangan” dari literatur Mahāvihāra, dan karenanya seharusnya melihat perselisihan dalam periode ini.

Jika kita ingin mengetahui dengan siapa Mahāvihāravāsin berdebat, komentar Kathāvatthu, walaupun disusun belakangan, merupakan sumber utama informasi kita. Sangat berlimpah, ini menyebutkan perselisihan pendapat dengan Andhaka,[78] suatu kelompok aliran Mahāsaṅghika di wilayah Andhra, termasuk Amarāvati, Nāgārjunikoṇḍa, dst. Demikianlah kita mengetahui bahwa Mahāvihāravāsin berdebat Abhidhamma dengan panjang lebar dengan Andhaka, dan ini pasti mengikuti bahwa Andhaka menolak Abhidhamma Mahāvihāra dan literatur yang berkaitan. Tetapi ini mungkin tidak begitu penting dengan sendirinya, karena ini mungkin bahwa kebanyakan aliran India tidak menerima Abhidhamma Mahāvihāra – dalam kenyataannya, mereka mungkin hampir tidak pernah mendengarnya. Apa masalahnya tidak begitu banyak bahwa Andhaka menolak teks-teks ini, tetapi bahwa Mahāvihāravāsin mengetahui mereka menolak teks-teks ini, dan ini menyakitkan.

Paṭisambhidāmagga dan Niddesa juga penting di sini, walaupun dalam cara yang berbeda. Keduanya dimasukkan dalam Khuddakanikāya, tetapi masing-masing memiliki persamaan dengan Abhidhamma. Paṭisambhidā merupakan kumpulan ajaran minor untuk sutta-sutta awal. Makna utamanya menghubungkan kemampuan pada penjelasan teks dengan penembusan Dhamma: dhamma (teks); attha (makna); nirutti (bahasa); paṭibhāṇa (kelancaran berbicara, yaitu kemampuan seseorang yang, dengan mengetahui teks dan maknanya, dan lancar dalam cara pengungkapan, untuk secara spontan memberikan suatu ajaran yang akurat dan menginspirasi). Paṭisambhidāmagga mengambil kelompok tak berkala ini dan, dengan melebarkan penerapannya hampir melampaui pengenalan, mengembangkan “Buku Sang Jalan” Mahāvihāra pertama yang berbeda. Seperti halnya semua kanonik Abhidhamma, penekanannya pada definisi ajaran yang tepat dan jelas. Warder menunjukkan bahwa penekanan pada kategori ajaran tertentu ini merupakan khas Mahāvihāra.[79]

Niddesa adalah sama tentang penjelasan tekstual. Teks ini merupakan pasangan komentar bergaya Abhidhamma pada Khaggavisāṇa Sutta, Aṭṭhakavagga, dan Pārāyanavagga, syair-syair awal yang kemudian disusun dalam Sutta Nipāta. Gaya teks-teks ini sangat Abhidhammik, yang sangat berlawanan dengan bahasa yang sederhana dan alami dari teks-teks yang dikomentarinya. Dalam kenyataannya, teks ini muncul sebagai upaya untuk “menjinakkan” beberapa teks awal yang mengungkapkan posisi ajaran yang tidak mudah didamaikan dengan pendirian perkembangan Mahāvihāra.

Mengenai Jataka dan syair-syair yang belakangan, ini kelihatannya seakan-akan tidak mungkin kontroversial secara ajaran. Teks ini terutama berkaitan dengan ajaran Bodhisattva yang sedang muncul, yang umum di seluruh aliran Buddhis, dan jika ada kita mengharapkan aliran Mahāsaṅghika, seperti Andhaka, menjadi pelopor dalam gerakan ini. Namun demikian, Kathāvatthu memang mencatat beberapa kontroversi tentang Bodhisattva dan karirnya. Andhaka terbukti menegaskan bahwa Bodhisattva terlahir sebagai hewan atau di neraka atas kemauannya sendiri (issariyakāmakārikāhetu),[80] yang bagi mereka merupakan ungkapan sifat melampaui duniawi (lokuttara), tetapi dilihat Mahāvihāravāsin sebagai suatu penolakan atas hukum kamma. Tidak pasti apakah Mahāsaṅghika menolak beberapa Jataka dan syair-syair karena akibat doktrinal seperti ini, atau hanya karena teks ini ekstra-kanonik.

Mengingat kembali tuduhan Dīpavaṁsa atas tekstualitas yang jelek, saya terkejut oleh kecerdasan suatu pernyataan oleh Franklin Edgerton. Sebelumnya, Emile Senart telah mengedit salah satu dari karya yang paling penting dan sulit dalam literatur Mahāsaṅghika, Mahāvastu, dalam penerangan dari bentuk Sanskrit dan Pali. Edgerton berkomentar bahwa: “catatan panjang lebar Senart sering membiarkan pembaca menerima keputusasaan yang terus-menerus mengancam untuk membingungkannya.”[81] Mengikuti karya Edgerton, saat ini secara umum diakui bahwa teks Mahāsaṅghika ditulis dalam bahasa “Sanskrit Hibrid” Mahāsaṅghika yang khas, dan bukan sekedar bahasa Sanskrit yang buruk. Tetapi keputusasaan Senart akan menggemakan reaksi sarjana Mahāvihāravāsin mana pun, yang dibesarkan dalam tradisi Pali yang lebih sederhana dan murni, yang menentang teks Mahāsaṅghika. Oleh sebab itu kita menyatakan bahwa tuduhan Dīpavaṁsa atas penolakan tekstual dan tata bahasa yang buruk disamakan secara khusus pada aliran Mahāsaṅghika dari Andhra, dan dengan perluasan Buddhism Sanskrit atau “yang dimodernisasi” secara umum, seperti Abhayagiri.[82] Dalam gaya mitos yang biasa, debat-debat yang sezaman dimundurkan untuk memberikannya relevansi universal.

Terdapat beberapa sumber lain yang sama mengaitkan perpecahan pada perbedaan bahasa. Sebagai contoh, Vinītadeva memberikan alasan ini, dan menyebutkan penggunaan bahasa berikut ini: Sarvāstivādin menggunakan bahasa Sanskrit; Mahāsaṅghika menggunakan bahasa Prākrit; Saṁmitiya menggunakan bahasa Apabhraṁśa; Sthavira menggunakan bahasa Paiśacī.[83] Kisah Dīpavaṁsa pasti dilihat dalam penjelasan ini, yaitu, ia menyoroti terutama perselisihan bahasa. Tetapi perbedaan bahasa hanyalah akibat dari penyebaran geografis. Hampir tidak mungkin bahwa komunitas-komunitas yang tinggal di lokasi yang sama akan memperdebatkan apakah bahasa yang digunakan. Bahasa pasti berbeda-beda seraya aliran-aliran menyebar di seluruh India dan mengikuti nasehat Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma dalam dialek lokal.[84] Perhatikan bahwa orang Sri Lanka tidak mengikuti nasehat ini, dan memelihara Dhamma dalam lidah asing, yang mereka sangat kuat meyakini secara harfiah sebagai bahasa yang diucapkan Sang Buddha.

Kenyataan bahwa teks-teks ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Sinhala menunjukkan bahwa mereka telah mencapai tingkat “kanonisasi” yang tinggi bahkan sebelum mencapai pulau tersebut. Kecenderungan ini memuncak pada ideologi esensialis bahasa yang belakangan, di mana Pali dianggap sebagai “bahasa akar dari semua makhluk”.[85] Ini berarti bahwa seseorang yang telah mencapai paṭisambhidā melalui pengetahuan mendalamnya sendiri akan memahami bahwa phassā or vedano adalah bentuk nominatif yang salah dan akan mengetahui bahwa dalam “bahasa inti” (Pali) ini seharusnya phasso dan vedanā. Bagi aliran Pali, bahasa Sanskrit Hibrid Mahāsaṅghika bukan semata-mata dialek yang berbeda, tetapi suatu penyimpangan Dhamma yang fundamental.[86]
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #12 on: 27 January 2013, 08:15:32 AM »
Konteks Orang Sri Lanka

Ini semua menjadi lebih masuk akal ketika kita mempertimbangkan iklim di mana Dīpavaṁsa dan kronologi-kronologi berikutnya disusun. Kejadian-kejadian yang digambarkan dekat dengan kematian raja Mahāsena sekitar tahun 304 M, yang mengikuti kemenangan Mahāvihāra atas saingan sengitnya vihara Abhayagiri. Persaingan ini telah dimulai sekitar 400 tahun sebelumnya, ketika vihara Abhayagiri, setelah dibangun oleh raja Vaṭṭagāminī, menjadi rumah bagi Bahalamassutissa, pengikut seseorang tertentu yang bernama Mahātissa, yang diusir dari Mahāvihāra karena keakraban yang tidak pantas dengan umat awam. Vihara ini kemudian dianggap sebagai yang bersifat memecah belah dari Theravāda.[87] Abhayagiri menjadi [vihara] yang dihubungkan dengan ajaran-ajaran yang dicurigai diimpor dari daratan [India]. Karena sedikit jika ada dari literatur mereka yang bertahan, tidak jelas persisnya bagaimana posisi doktrinal mereka berkembang.[88]

Kedua vihara menerima dukungan kerajaan sampai masa Vohārika Tissa, kira-kira tahun 230 M, ketika Abhayagirivāsin dituduh mengimpor kitab “Vetulya”. Biasanya diasumsikan bahwa ini sesuatu yang berhubungan dengan Mahāyāna, walaupun terdapat sedikit bukti langsung. Dalam setiap kasus, kitab-kitab ini diganyang. Tidak ada pembahasan tentang ajaran-ajaran yang diajarkan atau mengapa ajaran-ajaran ini sangat berbahaya. Kita bahkan mungkin dimaafkan untuk membayangkan apakah isi sebenarnya dari teks-teks ini sepenuhnya relevan.[89]

Dalam setiap kasus, buku-buku “Vetulya” dibakar dan para bhikkhu dilecehkan. Mengikuti ini, raja-raja Vohārikatissa, Goṭhābhaya, dan Jeṭṭhatissa mendukung Mahāvihāra. Tetapi Abhayagiri terus menyebabkan masalah. 60 orang bhikkhu diusir oleh Goṭhābhaya karena menganut Vetullavāda; ini digambarkan dalam Mahāvaṁsa sebagai “duri dalam ajaran sang penakluk”,[90] persis seperti Dīpavaṁsa menyebut Vajjiputtaka dan para pemecah belah lainnya sebagai “duri dalam pohon banyan”. Belakangan kemudian, Nikāyasaṅgraha dari Dharmakīrti (abad ke-14) mengubah perumpamaan yang murni harfiah ini menjadi sejarah, dengan menyatakan bahwa kira-kira tahun 32 SM, tak lama setelah Abhayagiri dibangun, sekelompok bhikkhu Vajjiputtaka, di bawah kepemimpinan seseorang tertentu bernama Dharmaruci, datang ke Sri Lanka dan, ditolak oleh Mahāvihāra, menemukan dukungan di Abhayagiri. Inilah Vajjiputtaka/Mahāsaṅghika yang lalai.[91]

Tetapi segera keadaan berubah. Seorang bhikkhu bernama Saṅghamitta datang dari India. Dilukiskan dalam warna yang paling gelap oleh Mahāvihāravāsin, bhikkhu ini membantu Abhayagiri untuk berkumpul kembali. Ia ditolak oleh raja Jeṭṭhatissa dan melarikan diri kembali ke India; tetapi pada saat penobatan Mahāsena ia kembali dan melakukan upacara penobatan untuk raja. Di bawah pengaruh Saṅghamitta, raja Mahāsena menganiaya Mahāvihāra: para bhikkhu diusir dari vihara tersebut selama sembilan tahun, dan Abhayagirivāsin, bersama dengan menteri Soṇa, merampok harta kekayaan Mahāvihāra untuk menghias Abhayagiri. Para pendukung dari Mahāvihāra sangat gempar sehingga seorang menteri bernama Meghavaṇṇabhaya mengundurkan diri ke wilayah Malaya, di mana Mahāvihāravāsin tinggal dalam pengasingan, mengumpulkan laskar perang dan bergerak menuju ibukota. Namun masa itu sifat kepahlawanan masih berlaku. Menteri pemberontak tersebut merenungkan bahwa ia tidak seharusnya makan jauh dari sahabat baiknya sang raja, maka menjelang peperangan itu mereka berbagi sarapan. Raja bertanya mengapa Meghavaṇṇabhaya bermaksud untuk berperang, dan ia menjawab bahwa ia tidak tahan melihat penghancuran Mahāvihāra. Raja dengan bijaksana meminta maaf dan berjanji untuk membangun kembali Mahāvihāra: suatu teladan mengagumkan bagi mereka yang akan melakukan perang suci saat ini. Tetapi salah satu istri raja sangat bersedih sehingga ia memerintahkan Saṅghamitta dan Soṇa dibunuh. Abhayagiri kemudian dilucuti untuk menghiasi Mahāvihāra.

Kejadian-kejadian ini memuncak dengan kematian Mahāsena. Mahāvaṁsa, dalam terjemahan Geiger, berakhir dengan kata-kata ini: “Demikianlah ia mengumpulkan bagi dirinya sendiri banyak jasa kebajikan dan banyak rasa bersalah,” sangat sempurna membungkus dunia moral yang sangat dalam dan ambigu dari kronologis Sri Lanka. Di sepanjangnya kita melihat sebuah pengabdian yang sejati pada cita-cita Dhamma. Sementara terdapat sedikit bukti perembesan ajaran-ajaran dan praktek yang maju melalui budayanya, masih raja-raja membuat usaha terus-menerus untuk menghidupkan cita-cita raja yang baik seperti yang ditunjukkan oleh Aśoka. Tetapi permintaan terhadap pemerintah mutlak tidak berkompromi dengan cita-cita yang mulia ini. Setelah dengan dekat menjalin konsep Buddhisme mereka dengan bangsa Sri Lanka, Sangha menemukan tidak mungkin mempertahankan ketidakbergantungan dari arena politik. Sementara kita tidak dapat menerima semua yang kita temukan dalam halaman-halaman yang berdarah ini, kita harus ingat bahwa sejarah adalah seperti ini, di mana pun, sepanjang waktu. Bagi seluruh Sri Lanka tidak lebih buruk daripada, dan mungkin lebih baik daripada kebanyakannya. Tidak diragukan tradisi-tradisi Buddhis lain telah menghadapi pilihan yang pahit dan perjuangan yang mematikan. Perbedaannya bahwa kita tidak mengetahui apa pun tentang tradisi-tradisi Buddhis lain, karena orang Sinhala satu-satunya umat Buddhis dari India kuno yang melestarikan sebuah literatur sejarah. Literatur tersebut menyatakan bahwa tanpa kadangkala kekerasan yang mendukung, Buddhisme tidak akan bertahan. Sementara kita harus menyesalkan kekerasan itu, kita tidak dapat menolak bahwa tradisi, termasuk teks-teks yang mengatakan kita kisah ini, kenyataannya telah bertahan di mana semua yang lain gagal.

Dīpavaṁsa dan Mahāvaṁsa dibentuk dalam suatu iklim perjuangan yang menyedihkan dan kejam. Bagi para bhikkhu dari Mahāvihāra, perbedaan antara aliran-aliran bukan suatu perselisihan yang sopan mengenai poin-poin Abhidhamma, tetapi suatu perang yang mematikan untuk bertahan hidup. Pembentukan tahap “klasik” dari literatur Mahāvihāravāsin – kronologis dan komentar – merupakan akibat langsung dari perjuangan ini.

Tentu saja gambar ini berat sebelah dan melodramatis. Fa-xian, yang menghabiskan dua tahun di Sri Lanka sedikit setelah kejadian yang telah kita gambarkan, melihat Abhayagiri sebagai vihara utama; Abhayagiri memiliki 5000 orang bhikkhu, sedangkan Mahāvihāra hanya dapat mengumpulkan 3000 orang bhikkhu. Secara karakteristik, Fa-xian tidak mengatakan adanya ketegangan, tetapi memuji keindahan dan ketaatan yang ia saksikan dalam kedua vihara. Semangat pertempuran dari kronologi adalah sebanyak suatu gejala dari kerangka pemikiran karena ia merupakan catatan perselisihan sebenarnya.

Terdapat sesuatu dalam kisah-kisah dari masa lalu ini yang memenuhi kebutuhan yang mendesak bagi Sangha di masa kini. Mahāvihāravāsin, dalam masa-masa yang keras dan sangat terpolitisasi itu, membutuhkan suatu “yang lain”. Ini dapat dilihat sebagai suatu ungkapan dari ideologi vibhajjavāda, suatu kebutuhan untuk memisahkan diri sendiri untuk menciptakan suatu rasa kesucian dan kemurnian. Di seluruh pemikiran religius dan magis, suatu pemisahan fisik yang diritualkan merupakan suatu sumber dan makanan bagi kekuatan suci. Definisi dan identifikasi “yang lain” dibutuhkan untuk mendefinisikan dan mengidentifikasikan “diri sendiri”. Perwujudan ini perlu menyetankan petunjuk “yang lain” pada sisi gelap Mahāvihāravāsin: mereka menolak apa yang mereka takuti dalam dirinya sendiri. Kita telah mencatat ironi yang melekat dalam Dīpavaṁsa: ditulis dengan tidak sopan, ia menuduh “mereka” dengan tekstualitas yang buruk; dan sementara  salah satu tesis utama mereka adalah impor luar yang dicangkokkan dengan buruk, ia menuduh “mereka” memperkenalkan unsur-unsur asing. Kita akan melihat dalam pembahasan kita tentang Śāriputraparipṛcchā bahwa Dīpavaṁsa tidak sendirian dalam memfokuskan pada butiran debu di mata saudaranya.

Sementara ironi ini mungkin aneh, bahkan menggelikan, teks yang sama mengandung ironi yang agak lebih berbahaya. Yang paling jelas adalah bahwa, walaupun desakan tradisi dalam melestarikan Buddhisme yang “asli” tidak berubah, kenyataannya titik berat kronologis adalah untuk mensahkan penyatuan Gereja dan Negera, suatu inovasi revolusioner tanpa contoh sebelumnya di daratan utama [India]. Ini sebabnya banyak penekanan diberikan pada penemuan kembali yang mistik Aśoka sebagai pemenang dari cabang Buddhisme Mahāvihāra. Tetapi melampaui teladan perlindungan Aśoka terhadap Sangha atau bahkan ikut campur dalam urusan Sangha, kronologis mengejar politisasi Buddhisme sampai pada kesimpulan yang tidak terelakkan: pembenaran Buddhis atas perang. Mahāvaṁsa menggambarkan raja Duṭṭhagāmini yang merasa bersalah kembali dari medan perang dan mencari pelipur lara dari Sangha atas pembunuhan ribuan orang dalam perang, sama seperti Aśoka mencari penghiburan dari Moggaliputtatissa atas pembunuhan para bhikkhu Aśokārāma, atau Ajātasattu mencari penghiburan dari Sang Buddha atas pembunuhan terhadap ayahnya raja Bimbisāra. Para Arahat meyakinkan raja bahwa ia tidak perlu merasa begitu bersalah, karena ia sebenarnya hanya membunuh satu setengah orang: satu adalah yang menjalankan lima sila; setengahnya telah mengambil perlindungan dalam Tiga Permata. Sisanya tidak dihitung.

Seperti semua mitos baik, kutipan ini tidak lekang oleh waktu; karena ini menjadi sentral bagi pembenaran Sangha Sri Lanka modern atas perang melawan Tamil. Theravāda, sementara mempertahankan suatu kualitas tradisi tekstual, dalam praktek tidak melestarikan lebih banyak atau lebih kurang Buddhisme sejati daripada aliran lainnya. Tetapi perbedaan yang sangat nyata antara bhikkhu ideal seperti digambarkan dalam sutta-sutta awal dan kenyataan Buddhisme seperti yang ada menciptakan suatu ketegangan dalam tingkatan yang dalam, suatu ketegangan yang tidak dapat diselesaikan, tetapi diproyeksikan pada “yang lain”.

Adalah raja Parakkamabāhu I (1153-1186) yang, di tengah-tengah kampanye militer yang tampaknya tidak habis-habisnya, akhirnya mendamaikan berbagai persaudaraan Sangha. Cūḷavaṁsa dengan tajam menyatakan bahwa: “walaupun banyak upaya yang dilakukan dalam berbagai cara oleh para raja sebelumnya sampai masa sekarang, [para bhikkhu] berubah dalam sikap mereka dari satu ke yang lainnya dan menyukai berbagai perselisihan.”[92] Analogi dengan Konsili Aśoka di sini dibuat eksplisit: “Bahkan seperti Penguasa Manusia Dhammāsoka dengan Moggaliputtatissa, demikian juga ia [Parakkamabāhu] mempercayakan maha sesepuh Mahākassapa....”[93] Mengikuti teladan Aśoka, mereka mengumpulkan semua bhikkhu bersama-sama, menanyai mereka, menyelesaikan masalah satu demi satu, mengusir para bhikkhu yang jahat, dan menciptakan Sangha yang bersatu “seperti yang telah ada di masa Sang Buddha.”[94]

Dari sedikit contoh ini – yang dapat diperluas tidak terbatas – kita dapat melihat bagaimana kronologis Mahāvihāravāsin dibangun pada suatu struktur dari siklus yang berulang-ulang, dari persamaan yang berulang kali. Ini menjadi jelas bagaimana penggambaran Dīpavaṁsa terhadap Mahāsaṅghika sebagai para bhikkhu Vajjiputtaka yang jahat adalah suatu mitos pembacaan kembali dari situasi pada masa Dīpavaṁsa. Dalam mitos waktu adalah siklus yang terus-menerus menggigit ekornya sendiri: adalah seperti ini sekarang, maka pasti telah seperti ini di masa lampau. Nama-nama dan detailnya menunjukkan permukaan yang berkilauan dari penampilan yang selalu berubah, tetapi pola utamanya bermain dengan dirinya sendiri dengan meyakinkan yang tidak terelakkan, seperti perubahan musim atau bintang yang berputar di langit. Kronologi Sinhala dengan berani memadukan sejarah politik dan budaya bangsa mereka sendiri dengan mitos penting Buddhis, kehidupan Sang Buddha. Sama seperti setiap penahbisan adalah pengulangan yang diritualkan dari pelepasan keduniawian Sang Buddha, membuat tindakan jauh itu nyata pada masa kini, demikian pula setiap kejadian dalam stuktur mitos memberitahukan masa sekarang yang abadi, makna yang selalu ada dari sejarah yang hidup sebagai takdir. Demikianlah pengkambinghitaman dan pengusiran Vajjiputtaka menjadi suatu pembersihan yang dibutuhkan kapan pun kemurnian Sangha terancam.

Apakah Buddhaghosa seorang Theravādin?

Gagasan kemurnian silsilah merupakan unsur yang penting dalam strategi membangun suatu aliran Buddhisme. Ini walau kenyataan bahwa gagasan paramparā, suatu silsilah penahbisan tertentu, tidak ada dalam teks-teks awal. Tentu saja, ini tidak masuk akal untuk mengambil kesimpulan dari teks-teks awal bahwa teks-teks ini menganggap suatu nilai tertentu sebagai gagasan dari hubungan langsung penahbisan dari guru ke murid. Tetapi ini tidak mungkin ditafsirkan sebagai sentral.

Dalam cara yang sama Warder bertanya apakah Nāgārjuna adalah seorang Mahāyānis, kadangkala seseorang dapat membayangkan sampai jangkauan apa Buddhaghosa, penyusun abad ke-5 dari tradisi komentar Mahāvihāravāsin yang definitif, adalah seorang Theravādin dalam hal silsilah penahbisannya.

Tidak ada yang eksplisit untuk dilanjutkan. Tradisi yang belakangan menyatakan bahwa ia lahir di Magadha, tetapi ini adalah upaya yang transparan untuk memastikan latar belakangnya yang ortodoks. Menariknya, orang Burma mempertahankan bahwa Buddhaghosa lahir di Burma. Sementara tidak ada orang selain orang Burma yang akan menganggap ini masuk akal, tradisi ini menyatakan bahwa penahbisannya dilacak oleh orang Burma sampai misi Soṇa dan Uttara ke Suvaṇṇabhūmi. Dengan kata lain, ia datang dari salah satu misi yang lain, bukan berasal dari misi yang membangun Mahāvihāra. Dari perspektif orang Burma belakangan ini tentu saja semuanya “Theravāda”, tetapi pada masa Buddhaghosa gagasan suatu bentuk Buddhisme yang bersatu di seluruh Asia tenggara tidak ada, dan kenyataannya terdapat banyak aliran di wilayah tersebut.

Karena Buddhaghosa datang dari India, dan dianggap bahwa kebanyakan mayoritas Buddhis India tidak menggabungkan diri dengan Theravādin dalam pengertian sempit yang dibutuhkan oleh Dīpavaṁsa (= Mahāvihāravāsin), kita mungkin membayangkan apakah penahbisannya benar-benar “Theravādin”. Ia memang menyebutkan telah berdiam di beberapa tempat pada daratan utama, beberapa telah diidentifikasi di India Selatan: “Mayūrasuttapaṭṭana” (Mylapore dekat Chennai); “Kañcipura” (Conjevaram dekat Chennai); dan kata-kata tambahan dalam Visuddhimagga menggambarkan ia sebagai “dari Moraṇḍacetaka” (Andhara?).[95] Namun, Mahāvaṁsa mengatakan ia lahir di dekat Bodhgaya, walaupun ini adalah tradisi yang agak belakangan, yang dianggap berasal dari Dharmakīrti pada abad ke-14. Tentang penahbisannya, Mahāvaṁsa tidak mungkin kurang spesifik: ketika berkelana “di sekitar India”, ia berdiam di “sebuah vihara”, di mana ia bertemu dengan “seorang guru” bernama Revata, di mana ia mendapatkan penahbisan.[96] Revata dikatakan mengajarkan pāḷi dari Abhidhamma, tetapi pāḷi di sini digunakan dalam pengertian umum teks dan tidak harus mengimplikasikan kanon Pali yang kita ketahui. Buddhaghosa tampaknya menyiapkan suatu ulasan yang disebut Ñāṇodaya, yang tidak ada yang diketahui tentangnya, dan Aṭṭhasālinī, suatu komentar terhadap Dhammasaṅgaṇī. Komentar yang ada oleh Buddhaghosa terhadap Dhammasaṅgaṇī memang disebut Aṭṭhasālinī, tetapi tidak diketahui apakah ini memiliki hubungan dengan karya yang lebih awal, jika memang ia pernah ada.

Ketika Buddhaghosa ingin mengerjakan karya yang lebih lanjut tentang komentar paritta, Revata mengatakan padanya:

“Di sini hanya teks [pāḷi] yang telah dipertahankan,
tidak ada komentar di sini,
dan sama halnya tidak ada Ajaran Sang Guru:
yang telah terpecah dan tidak ditemukan.”[97]

Revata kemudian memuji kemurnian tradisi komentar Sri Lanka dan mendorong Buddhaghosa untuk pergi ke sana dan mempelajarinya. Kisah ini adalah suatu gagasan legenda untuk menekankan keunggulan tradisi Sri Lanka; meragukan apakah orang India melihat hal ini dengan cara yang sama. Polemik dikesampingkan, tradisi ini tidak memberikan kita dasar yang dapat dipercaya yang dapat memastikan bahwa Buddhaghosa telah memiliki suatu penahbisan dalam tradisi Mahāvihāra.
« Last Edit: 27 January 2013, 11:51:38 AM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #13 on: 27 January 2013, 08:21:09 AM »
Saya mengambil contoh Buddhaghosa hanya untuk membuat poin retorika. Tetapi adalah biasa bagi para bhikkhu untuk melakukan perjalanan di sekitar vihara-vihara yang berbeda, berdiam dengan persaudaraan yang berbeda. Ini pasti telah terjadi bahkan lebih banyak dengan vihara Abhayagiri, yang dikatakan oleh Mahāvihāravāsin menerima para bhikkhu India dari tradisi yang berbeda. Tetapi Abhayagirivāsin belakangan bergabung dengan Mahāvihāravāsin, walaupun ketidakmurnian yang diduga benar ini dalam silsilah penahbisan mereka.

Situasi yang sama pasti telah terjadi di seluruh Buddhisme Asia Tenggara, karena kita mengetahui bahwa wilayah Thailand, Burma, dan Kamboja di mana Theravāda sekarang berkembang sebelumnya didominasi Mahāyāna, atau Buddhisme Śrāvakayāna Sanskrit. Kita mencatat menyebarluasnya kejadian kultus Upagupta di seluruh wilayah ini, yang sepenuhnya tidak ada dari Sri Lanka, dan membayangkan apakah ini memberikan suatu petunjuk pada jenis Buddhisme yang ada sebelum Theravāda yang ortodoks. Menurut I-Tsing, di daratan pada perbatasan timur India semua empat aliran utama berkembang, sedangkan di wilayah pulau Mūlasarvāstivāda menonjol.[98]

Ketika wilayah-wilayah ini “diubah keyakinannya” menjadi Theravāda (yang terutama terjadi sekitar abad ke-11 s/d 12), tidak mungkin bahwa semua bhikkhu mengambil penahbisan baru. Tentu saja, sejarah resmi akan menyatakan bahwa ketika agama [Buddha] direformasi sehingga semua bhikkhu menyesuaikan diri dengan sistem baru. Tetapi kepraktisan dari hal ini tidak masuk akal: mengirimkan para bhikkhu administrasi kota yang berjalan sejauh ribuan mil dari intaian macan, penuh penjahat, jejak hutan-hutan yang berhantu mencari tak terhitung desa kecil, berusaha membujuk para bhikkhu senior bahwa penahbisan mereka tidak sah atau tidak tepat dan harus dilakukan lagi, semuanya berdasarkan beberapa kompromi politik di sebuah ibukota yang jauh, di sebuah wilayah yang perbatasan dan kesetiaannya selalu bergeser. Sebagai sejarah ini hanyalah khayalan, dan kenyataannya pasti bahwa reformasi itu secara langsung mempengaruhi vihara-vihara pusat tertentu. Yang lain mungkin menggunakan suatu prosedur informal seperti daḷhikamma (tindakan memperkuat), yang hanya merupakan prosedur ad hoc [dengan maksud khusus] yang ditemukan sebagai pengganti saṅghakamma yang sebenarnya. Tetapi bagi kebanyakan reformasi tidak relevan, bahkan jika mereka pernah mendengarnya. Hanya masuk akal untuk menyimpulkan bahwa silsilah “Theravāda” yang saat ini, seperti semua yang lain, pasti merupakan campuran dari banyak untaian yang berbeda.

Penelitan Bizot di daerah ini menunjukkan bahwa situasi saat ini dalam Theravāda kenyataannya mempertahankan dua gaya penahbisan yang berbeda.[99] Satu melibatkan pembacaan perlindungan selama pabbajjā; yang lain, perlindungan dibacakan dua kali, satu mengakhiri kata-kata dengan anusvāra –ṁ (dilafalkan –ng), dan lagi dengan nasal labial –m. Dua pernyataan pabbajjā memiliki akarnya dalam Buddhisme Mon kuno dari masa Dvāravatī (abad ke-7 s/d 8 ), yang mungkin diperkenalkan ke Asia Tenggara (“Suvaṇṇabhūmi”) dari India Selatan. Bizot meyakini bahwa pabbajjā dua-pernyataan ini berhubungan dengan praktek meditasi esoterik tertentu. Pabbajjā satu-pernyataan dari Mahāvihāra diperkenalkan kemudian, sekitar abad ke-14 s/d 15, oleh para bhikkhu yang berhubungan dengan Sri Lanka. Tetapi ketika silsilah Sri Lanka didirikan kembali dari Thailand, ini dengan pabbajjā dua-pernyataan dari Mon. Sementara itu, pabbajjā satu-pernyataan secara terus-menerus dipaksakan dalam Sangha di Asia Tenggara, khususnya mengikuti reformasi Dhammayuttika yang modernis dari Pangeran Mongkut pada abad ke-19. Dalam salah satu ironi sejarah yang lezat ini, pabbajjā dua-pernyataan Mon sekarang hanya bertahan di Sri Lanka, sedangkan pabbajjā satu-pernyataan tersebar luas di seluruh Asia Tenggara.

Kerumitan situasi ini diakui oleh Somdet Ñāṇasaṁvara, Saṅgharāja Thailand saat ini, dalam suatu karya penting Buddha Sāsana Vaṁsa. Karya ini membahas silsilah penahbisan Thai modern dan reformasi yang diperkenalkan pada abad ke-19 ketika Dhammayuttika Nikāya dibentuk berdasarkan tradisi Burma Mon. diyakini bahwa tradisi ini berasal dari misi Soṇa and Uttara ke Suvaṇṇabhūmi pada masa Aśoka. Berikut adalah beberapa pernyataan Somdet Ñāṇasaṁvara:

“Sejak Mahāparinibbāna Sang Buddha sampai saat ini, lebih dari 2000 tahun telah berlalu, dengan demikian sulit untuk mengetahui apakah silsilah murni yang diturunkan kepada kita masih utuh atau tidak.” (16)

“Jika silsilah ini telah lenyap, ini tidaklah merugikan, seperti halnya pengabdian Pukkusāti[100] dalam kehidupan tanpa rumah tidaklah merugikan.” (18)

“Sasana dalam kedua negeri [Sri Lanka dan Suvaṇṇabhūmi] melebur menjadi satu sehingga silsilah mereka berasal dari sasana yang sama yang telah dikirimkan raja Aśoka dari ibukotanya di Pāṭaliputta.” (30)

[Setelah masa raja Parakkamabāhu dari Sri Lanka] “Para bhikkhu Sri Lanka diberikan [penahbisan] dengan para bhikkhu Rāmañña [Mon] dan ada pendapat bahwa karena para bhikkhu Sri Lanka berasal dari garis [silsilah] Soṇa dan Uttara, mereka berasal dari komuni yang sama.[101] Dengan demikian para sesepuh saling mengundang untuk berpartisipasi dalam saṅghakamma dan bersama-sama memberikan penahbisan yang lebih tinggi.” (31)

[Silsilah tersebut memasuki Thailand] “Berulang kali melalui banyak masa... seraya Buddhisme memasuki negeri ini dalam periode-periode, aliran, dan bentuk yang berbeda-beda, adalah sangat sulit mengetahui bagaimana mereka melebur dan bagaimana mereka mengalami kemunduran.” (76)

[Dhammayuttika Nikāya menghidupkan kembali Buddhisme Thai melalui] “pendirian kembali di Siam suatu silsilah dari Yang Mulia Mahinda, Soṇa, dan Uttara.” (77)

Jadi sementara terdapat beberapa yang kelihatannya hampir seperti kepercayaan mistis terhadap kemurnian silsilah penahbisan, suara-suara waras masih ditemukan. Tidak ada bhikkhu yang hidup sekarang dapat menjamin silsilah penahbisannya sendiri. Dalam situasi ini lebih aman dan lebih masuk akal untuk berfokus pada cara kehidupan suci dijalankan alih-alih pada klaim yang tidak dapat diverifikasi atas masa lalu yang sebagian besar tidak tercatat.

Catatan Kaki Bab 3:

[62] Anāgate vassasate vassāna’ṭṭhārasāni ca,
Uppajjissati so bhikkhu samaṇo paṭirūpako.
Di sini paṭirūpaka jelas tidak bermakna “palsu”.

[63] Cousins, The 'Five Points' and the Origins of the Buddhist Schools, 56

[64] Cousins, On the Vibhajjavādins, 153

[65] 如是諸長老應當隨順學 (CBETA, T22, no. 1425, p. 493, c10)

[66] Misalnya Nattier and Prebish, 200

[67] Dīpavaṁsa biasanya menggunakan istilah yang sinonim Mahāsaṅgīka.

[68] Gambaran cermin mitos dari “Permohonan oleh Brahma” yang mendorong Sang Buddha untuk mengajar.

[69] Lihat Lampiran.

[70] EI, XX, 1929, pg. 22. Lihat Lamotte, History of Indian Buddhism, 299; Cousins, On the Vibhajjavādins, 141.

[71] Dīpavaṁsa 1.14 ff.

[72] Dīpavaṁsa 4.11, 18, 31, 32, 33, 54, 84, 88, 90; 5.28; 6.24, 29, 39, 43, 54.

[73] Dīpavaṁsa 4.22: Pariyāyadesitañcāpi atho nippariyāya desitaṁ, Nītathaññeva neyyathaṁ dīpiṁsu suttakovidā.

[74] Dīpavaṁsa 4.73: Pariyāya desitaṁ cāpi atho nippariyāya desitaṁ, Nītathaṁ ce'va neyyathaṁ ajānivāna bhikkhavo.

[75] “Enam”, karena kitab ketujuh, Kathāvatthu, tidak disusun sampai Konsili Ketiga, yang belakang menurut kronologi Mahāvihāra.

[76] Dīpavaṁsa 4.76, 82

[77] Ñāṇamoḷi, The Path of Discrimination, xxxvii ff.

[78] Kira-kira setengah dari perselisihan ini adalah dengan Andhaka atau sub-alirannya.

[79] Ñāṇamoḷi, The Path of Discrimination, pendahuluan

[80] Kathāvatthu 622

[81] Dikutip dalam Prebish, Śaikṣa-Dharmas yang telah direvisi, 191

[82] Cf. Roth, lv

[83] Pachow, 42

[84] Lihat Edgerton, 1-2; Lamotte, History of Indian Buddhism, 552-556

[85] Ñāṇamoḷi, Path of Purification 486-487 (XIV 25)

[86] Collins (81) mengatakan tentang “definisi-sendiri yang berbasis teks” dari Mahāvihāra.

[87] Mahāvaṁsa 33.99

[88] Terdapat suatu catatan dalam Samantapāsādikā 3.582 tentang perselisihan atas suatu poin dari Vinaya, di mana, dalam peringatan yang luar biasa dari pengaruh teladan Aśoka, diselesaikan oleh menteri sang raja. Saya tidak dapat menemukan bacaan ini dalam Sudassanavinayavibhāsā, yang mungkin memiliki suatu hubungan [dengan] Abhayagiri.

[89] Dalam Cūḷavaṁsa (lanjutan yang belakangan dari Mahāvaṁsa) terdapat suatu kisah tentang suatu teks tertentu bernama “Dhammadhātu”, yang dibawa dari India. (Cv 41.37ff.) Raja, yang tidak dapat membedakan apa yang benar dan salah, menyimpannya dalam tempat suci dan memujanya. Ajaran-ajaran yang diajarkan dalam teks ini sepenuhnya dikesampingkan: kita diberitahukan bahwa raja tidak memahami teks ini. Apa yang dipertaruhkan adalah ritual pemujaan naskah fisik.

[90] Mahāvaṁsa 33.111: vetullavādino bhikkhū, abhayagirinivāsino / gāhayitvāsaṭṭhimatte, jinasāsanakaṇṭake.

[91] Lamotte, History of Indian Buddhism, 371. Beberapa penulis modern (lihat Perera, 37) menghubungkan ini dengan Vātsīputrīya (Puggalavādin). Ini mungkin tidak sepenuhnya tidak tepat, karena sejak masa Nikāyasaṅgraha tidak terdapat banyak kejelasan tentang aliran-aliran ini.

[92] Cūḷavaṁsa 73.19 Kejadian ini juga tercatat dalam prasasti Galvihara dari Parakkamabāhu. Lihat Hallisey, 178

[93] Cūḷavaṁsa 78.6

[94] Cūḷavaṁsa 78.27

[95] Buddhaghosa, xvi

[96] Mahāvaṁsa 37.216ff

[97] Mahāvaṁsa 37.227

[98] I-Tsing, 9-10

[99] Terima kasih saya haturkan kepada Rupert Gethin atas informasi ini.

[100] Ini merupakan referensi pada kisah Pukkusāti dalam Dhātuvibhaṅga Sutta, yang meninggalkan keduniawian karena keyakinannya kepada Sang Buddha sebelum secara resmi menerima penahbisan. Ñāṇasaṁvara juga menyebutkan pelepasan keduniawian Mahāpajāpati, bhikkhuni pertama, sebagai suatu teladan yang berharga dalam konteks ini.

[101] Samānasaṁvāsa, suatu istilah teknis Vinaya yang berarti dapat melakukan saṅghakamma bersama.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #14 on: 27 January 2013, 12:54:25 PM »
BAB 4
Monster atau Orang Suci?

SAYA SEKARANG INGIN MELIHAT pada beberapa kisah perpecahan, yang mengawali pemisahan pertama, ke dalam Sthavira dan Mahāsaṅghika. Nama yang paling terkenal adalah Mahādeva.[102] Bagi sumber-sumber Pali (termasuk Sudassanavinayavibhāsā), Mahādeva merupakan salah satu misionaris yang dikirim oleh Moggaliputtatissa. Ia merupakan salah satu guru[103] untuk penahbisan Mahinda, dan dengan demikian berdiri pada sumber asli tradisi Mahāvihāravāsin.[104] Mahādeva dipercaya dengan misi ke Mahiṁsaka (Andhra?), di mana ia mengajarkan kotbah tentang utusan surgawi [Devaduta Sutta]: 40.000 orang menembus Dhamma, sedangkan 40.000 orang lagi ditahbiskan. Frauwallner menganggap daerah ini sebagai rumah bagi aliran Mahīśāsaka, dan menyatakan ini berasal dari hasil misi ini. Mempertimbangkan kedekatan bukti Mahīśāsaka dengan tradisi Mahāvihāravāsin, hubungan ini tidaklah mengejutkan.

Tetapi terdapat Mahādeva yang lain. Ia juga dikatakan tinggal di Pāṭaliputta pada masa Aśoka. Ia juga seorang pemimpin suatu kelompok besar dalam periode perpecahan. Dan ia juga berhubungan dengan wilayah Andhra. Mempertimbangkan hubungan yang mengejutkan ini, kelihatannya aneh bahwa identifikasi keduanya tidak diambil begitu saja. Sampai kita menyadari siapakah Mahādeva [yang kedua] ini: pencetus “lima tesis” yang dicerca dan dihina; pembunuh ayah dan ibunya, pembunuh seorang Arahat, pemicu perpecahan awal yang selamanya memisahkan komunitas Buddhisme awal yang bersatu.

Namun, kisah mengerikan ini ditemukan dalam komentar Sarvāstivādin Mahāvibhāṣā, kelihatannya harus diperjuangkan atas dukungan historisnya. Dalam bab ini kita akan meninjau kembali sumber-sumber utara yang utama atas perspektif mereka terhadap perpecahan pertama. Dalam bab berikutnya kita akan melihat bagaimana ini berhubungan dengan Mahādeva yang seharusnya.

Samayabhedoparacanacakra oleh Vasumitra[105]

Ulasan yang terkenal dan berpengaruh tentang asal mula aliran-aliran disusun oleh seorang Sarvāstivādin bernama Vasumitra. Berdasarkan landasan ajaran teks ini diperhitungkan lebih awal daripada Mahāvibhāṣā, dan mungkin seharusnya diperkirakan berasal dari masa sekitar 500 AN (100 M). Teks ini ada dalam tiga terjemahan bahasa Mandarin dan satu bahasa Tibet.

Menurut Vasumitra, sekitar 100 tahun setelah Nirvana (116 tahun menurut terjemahan Kumārajīva), ketika Aśoka memerintah di Pāṭaliputta, Sangha terbagi menjadi Mahāsaṅghika dan Sthavira, disebabkan oleh lima tesis. Lima tesis ini menganggap ketidaksempurnaan seorang Arahat, yang semuanya kelihatannya agak berbeda dengan kesempurnaan yang diberikan kepada Arahat dalam sutta-sutta awal. Tetapi penafsirannya adalah semuanya, dan banyak sarjana telah menyimpulkan setelah pemeriksaan yang dekat bahwa tesis ini, sementara bersifat kontroversial, tidak mengandung fitnah yang serius terhadap Arahat. Mereka mungkin hanya berlaku pada beberapa Arahat, atau hanya berhubungan dengan hal-hal duniawi yang tidak penting dalam pencerahan spiritual.[106]

Dalam Vasumitra dan tempat lainnya lima tesis diberikan dalam suatu syair berkarakteristik samar. Berikut adalah versi Paramārtha:

Orang lain mengotori jubah
Ketidaktahuan; keragu-raguan; dan dituntun oleh orang lain;
Jalan suci muncul melalui ucapan:
Itulah ajaran Sang Buddha yang sejati[107]

Berbagai nama disebutkan sebagai yang mendukung lima tesis: Nāga (atau Mahāraṭṭha dalam terjemahan Paramārtha), Pratyantika (?), Bahuśruta; dan dalam dua terjemahan sebuah nama tambahan, mungkin Mahābhadra.[108] Mahādeva tidak muncul dalam dua terjemahan bahasa Mandarin yang lebih awal dari Vasumitra, ataupun dalam terjemahan bahasa Tibet.[109]

Hanya yang terakhir dari tiga terjemahan bahasa Mandarin, oleh Xuan-zang, menyebutkan Mahādeva, dengan mengatakan: “Dikatakan karena empat perkumpulan tidak sepaham dalam pendapat mereka atas lima poin Mahādeva.”[110] Lamotte menyatakan bahwa detail ini disisipkan dari Mahāvibhāṣā, yang juga diterjemahkan oleh Xuan-zang. Pernyataan ini dapat ditegaskan dengan suatu perbandingan rangkuman syair dari tesis menyimpang ini. Ini adalah karakter untuk karakter yang sama dengan versi (yang diterjemahkan di bagian bawah) dari Mahāvibhāṣā. Xuan-zang menerjemahkan Mahāvibhāṣā pada tahun 656-659 M dan Vasumitra pad tahun 662, maka ia pasti telah menyalin terjemahan awalnya dari Mahāvibhāṣā ke dalam Vasumitra. Ini membuktikan Xuan-zang dipengaruhi oleh Mahāvibhāṣā dalam terjemahannya atas Vasumitra, dan sehingga kita dibenarkan dalam berpikir bahwa penyisipan Mahādeva juga merupakan suatu penemuan baru Xuan-zang, dan tidak ada dalam teks India.

Adalah agak memalukan bahwa, walaupun kenyataan bahwa Lamotte dengan jelas menunjukkan bahwa Mahādeva ini adalah suatu penyisipan belakangan dalam ulasan Vasumitra, kita masih melihat banyak sekali referensi yang menyatakan bahwa Vasumitra menyalahkan perpecahan aliran kepada Mahādeva.[111] Ini tidak meragukan lagi disebabkan nama baik Xuan-zang sebagai penerjemah. Adalah poin penting, karena nama Mahādeva dilumuri dengan kotoran skandal tidak seperti yang lain, dan baunya akan tetap tertinggal selama ia dihubungkan dengan asal mula Mahāsaṅghika.

Semua terjemahan Vasumitra mengatakan seorang Mahādeva yang belakangan, dan sehingga kita oleh sebab itu akan membedakan Mahādeva I, penyebab perpecahan yang seharusnya, dari Mahādeva II. Ia adalah seorang pertapa dari agama lain yang ditahbiskan dalam Mahāsaṅghika 200 tahun setelah Nirvana, dan mendirikan sub-aliran Caitya.[112] Xuan-zang, setelah menyebutkan Mahādeva yang pertama, mengatakan bahwa setelah 200 tahun terdapat seseorang yang ditahbiskan, meninggalkan yang salah dan menjalankan yang benar, yang juga bernama Mahādeva.[113] Dengan demikian ia dengan jelas mengakui keberadaan dua orang Mahādeva. Ini tidak serta merta jelas apa hubungan, jika ada, antara kedua Mahādeva satu sama lain.

Nikāyabhedavibhaṅgavyakhyāna oleh Bhavya[114]

Bhavya, atau Bhāvaviveka, adalah seorang filsuf Madhyamaka dari abad ke-6 M. Ia mencatat tiga kisah perpecahan bersama-sama dengan penjelasan aliran-aliran dan ajarannya. Bhavya I adalah pendapat yang sebenarnya dari Bhavya dan gurunya, sedangkan ia mencatat Bhavya II (Vibhajjavādin) dan Bhavya III (Puggalavāda) untuk kepentingan catatan itu. Ia juga memasukkan suatu tradisi lebih jauh yang menganggap perpecahan berasal dari perselisihan filosofis, khususnya perdebatan Sarvāstivādin dalam ketiganya. Bhavya menulis pada masa yang jauh dari kejadian-kejadian itu, walaupun tidak diragukan ia bergantung pada sumber-sumber yang lebih awal yang saat ini lenyap dari kita.

Daftar pertama (Bhavya I) meniru daftar Vasumitra, dengan beberapa perubahan kecil tetapi penting.[115] Ini biasanya dianggap sebagai asal mula Sarvāstivādin, tetapi tidak seperti Vasumitra aliran pertama yang disebutkan bukan Sarvāstivāda tetapi Haimavata atau “Sthavira awal” (“Mūlasthavira”). Tidak mungkin kelompok mana pun menyebut kelompok lain sebagai “Sthavira awal”, maka sebutan ini pasti persepsi aliran itu sendiri. Mungkin Bhavya I seharusnya dilihat sebagai variasi Haimavata terhadap Vasumitra.

Atau mungkin ini sebaliknya: Vasumitra adalah variasi Sarvāstivāda dari Bhavya I. ini adalah hipotesis yang radikal, karena Bhavya ditulis jauh belakangan daripada Vasumitra. Tetapi Vasumitra juga menunjuk pada Haimavata sebagai Mūlasthavira.[116] Mengapa seorang penulis Sarvastivādin menyebut kelompok lain sebagai “Sthavira awal”? Dalam pemikiran biasa, Sthavira yang muncul dari perpecahan Mahāsaṅghika seharusnya dianggap sebagai “Sthavira awal”. Tetapi Vasumitra menyisipkan Sarvastivādin pada puncak daftarnya sedangkan Haimavata sebagai yang kedua, walaupun mereka disebut “Sthavira awal”. Lebih alami menganggap Bhavya I sebagai yang awal mula, yang membuat daftar itu suatu penyusunan Haimavata, dan Vasumitra suatu pengulangan Sarvastivādin. Jika terdapat suatu kebenaran dalam hipotesis ini, agak mengejutkan bahwa bukti prasasti untuk semua aliran, bahkan dalam tahap pembentukannya, adalah Haimavata; dan lagi dalam Haimavata kita melihat apa yang mungkin menjadi bentuk paling awal dari daftar aliran-aliran.

Ciri khas lainnya dari Bhavya I adalah bahwa ia memberikan sejumlah sinonim untuk Sarvastivādin: Hetuvādins (= Vasumitra), Muruntaka, dan Vibhajjavādin. Ini dengan jelas menyatakan bahwa Sarvastivādin dapat disebut Vibhajjavādin; tetapi ketika menjelaskan istilah-istilah ini belakangan kemudian, kisah yang sama mendefinisikan Sarvāstivāda dan Vibhajjavāda sebagai istilah yang berlawanan. Keadaan masalah yang aneh ini hanya akan masuk akal jika daftar awal muncul pada suatu masa dan tempat di mana Sarvāstivāda = Vibhajjavāda, tetapi penjelasan rincinya berasal dari masa yang belakangan, ketika kedua istilah ini menjadi bermakna ajaran yang berlawanan. Karena teks-teks Sarvāstivādin sendiri memperlakukan Vibhajjavādin sebagai lawan, mungkin identifikasi ini dapat muncul dari teks-teks ini; oleh sebab itu nama alternatif ini hilang dari Vasumitra. Istilah Muruntaka sulit dipahami. Bhavya menjelaskannya sebagai “mereka yang tinggal di Gunung Muruntaka”. Ini mungkin suatu penunjukan pada pegunungan Urumuṇḍa di dekat Mathura, yang dikenal dalam bahasa Pali sebagai Ahogaṅgapabbata. Pegunungan ini merupakan lokasi vihara-vihara hutan dari patriark besar (Mūla) Sarvāstivādin Śāṇavāsin and Upagupta, dan juga adalah tempat pengasingan diri patriark Konsili Ketiga, Moggaliputtatissa.

Daftar Bhavya kedua (Bhavya II) tidak memberikan informasi tahun atau sebab perpecahan, dan hanya memberikan daftar pemisahan aliran-aliran. Teks ini menganggap perpecahan awal menjadi tiga aliran: Sthavira, Mahāsaṅghika, dan Vibhajjavādin. Cousins meyakini ini pasti versi Vibhajjavādin daratan [India], karena ia memperlakukan Vibhajjavādin sebagai salah satu aliran awal. Dengan demikian ini mewakili persepsi Vibhajjavādin sendiri atas diri mereka sendiri sebagai kelompok yang berhubungan erat yang terdiri atas Mahīśāsaka, Kaśyapīya, Dharmaguptaka, dan Tāṁraśātīya (= Mahāvihāravāsin?). Tentu saja, jika teori ini benar, ini hanya akan berlaku sebagai bukti dari periode menengah yang belakangan (sekitar 400 M), dari masa ketika kutipan ini jelas berasal. Kita mencatat bahwa Vibhajjavādin daratan mungkin melihat diri mereka sendiri sebagai pembentuk kelompok-kelompok aliran yang demikian, tetapi persepsi demikian tidak dapat dibuktikan bagi Mahāvihāravāsin, yang melihat diri mereka sendiri sebagai yang tersendiri secara radikal.

Daftar Bhavya yang paling penting tidak diragukan lagi adalah Bhavya III, yang mencatat perspektif Puggalavāda, yang tidak diketahui dari sumber mana pun. Kisah ini sama seperti kisah Vasumitra, tetapi berbeda dalam banyak detail. Dikatakan bahwa 137 tahun setelah Nirvana, di bawah raja-raja Nanda dan Mahāpadma (pendahulu Aśoka), terdapat sekumpulan bhikkhu besar di Pāṭaliputta: Mahākaśyapa, Mahāloma, Mahātyāga, Uttara, Revata, dst. Māra mengambil bentuk seorang bhikkhu yang bernama Bhadra dan mengemukakan lima tesis. Belakangan Sesepuh Nāga dan Sāramati (atau Sthiramati) yang “sangat terpelajar” (bahuśruta) mengadopsi lima tesis, yang mengakibatkan perpecahan antara Mahāsaṅghika dan Sthavira.[117] Nama Nāga bersesuaian dengan Vasumitra.[118] Bhadra mungkin sama dengan 大德 dari Paramārtha dan Xuan-zang. Bahuśruta juga bersesuaian dengan Vasumitra dan mungkin Śāriputraparipṛcchā, walaupun terdapat beberapa ambiguitas apakah kita harus menganggapnya sebagai sebuah nama atau sebuah kata sifat.

102 tahun kemudian, Mahāsaṅghika terpecah. Mahādeva, yang sebelumnya seorang pertapa yang mengikuti ajaran lain dan tinggal di sebuah pegunungan dengan sebuah cetiya, menolak beberapa ajaran dasar Mahāsaṅghika, dan mendirikan sub-aliran Cetiya dari Mahāsaṅghika (yang berbasis di Andhra).[119] Inilah satu-satunya Mahādeva yang dikenal Bhavya, dan jelas sama dengan Mahādeva II dari Vasumitra. Ini seharusnya tidak mengalihkan perhatian bahwa tiga daftar Bhavya mewakili perpektif beberapa aliran, dan Mahādeva I tidak memiliki bagian untuk berperan.

Bhavya III sepaham dengan Dīpavaṁsa dalam menempatkan perpecahan pertama sebelum Aśoka. Kesepahaman dalam hal periode perpecahan ini telah dianggap beberapa sarjana menunjukkan bahwa sumber-sumber ini saling memperkuat dan oleh sebab itu pasti memiliki suatu landasan historis yang asli. Tetapi ini sangatlah problematik. Kita melihat bahwa penanggalan Dīpavaṁsa atas perpecahan sepenuhnya tidak berguna, dan tidak ada sumber lain menempatkan perpecahan sebelum Aśoka. Tidak ada keberatan dalam kesepahaman kedua sumber jika salah satu sumber dapat ditunjukkan salah. Lebih lanjut, selain dari periode umum dan kenyataan kosong dari dua perpecahan antara Sthavira dan Mahāsaṅghika, Dīpavaṁsa dan Bhavya III tidak memiliki hal yang umum: bukan sebabnya (revisi tekstual vs. 5 tesis); bukan waktu spesifiknya (100 AN vs. 137 AN); bukan tempatnya (Vesālī vs. Pāṭaliputta); bukan rajanya (Kāḷaśoka vs. Nanda dan Mahāpadma); bukan prosedurnya (Dīpavaṁsa menggambarkan Mahāsaṅghika pergi keluar dengan sendirinya untuk menyusun teks mereka, sedangkan Bhavya III menggambarkan suatu konflik dan pemisahan). Kita harus memeras dengan keras untuk menggali makna apa pun dari semata-mata kesepahaman periode umum ini.

Bhavya III dapat dibandingkan, bukan dengan Dīpavaṁsa, tetapi dengan Vasumitra. Tetapi penanggalan hanyalah sumber kebingungan: Bhavya III ditetapkan di bawah pemerintahan raja-raja yang lebih awal, tetapi karena perbedaan penanggalan dari masa Sang Buddha sampai Aśoka, tanggal kalendernya lebih belakangan (137 AN vs. 116 AN dari Vasumitra). Tidak ada dari hal ini yang memberikan kita keyakinan bergantung pada semua penanggalan ini.

Dengan demikian Bhavya berdiri sebagai kisah yang tersendiri, yang bertentangan dengan semua sumber lain dalam banyak detail penting termasuk penanggalan, dan yang disusun berabad-abad setelah kejadian tersebut: Bhavya menulis pada abad ke-6, dan sumbernya untuk bagian ini mungkin berasal dari sekitar abad ke-3 s/d ke-6.[120] Para bhikkhu yang disebutkan tidak muncul sebagai satu kelompok di tempat lain mana pun, dan sementara beberapa nama adalah familiar, tidak ada bukti yang mendukung untuk suatu kelompok yang demikian. Penyebutan Bhadra yang dirasuki Māra memberikan cukup bukti atas sifat polemik dari kisah ini. Tāranātha kemungkinan menggambarkan ia sangat jahat seakan-akan ia dirasuki Māra.[121]

Bhavya III tidak diambil berdasarkan nilai mukanya bahkan dalam tradisi Tibet. Tāranātha, yang menulis pada abad ke-17 berusaha mempersatukan berbagai sumber termasuk Bhavya dan kisah Vaibhāśika tentang Mahādeva, menempatkan Mahādeva setelah Aśoka, kemudian Bhadra sebagai salah satu pengikutnya; sama halnya para bhikkhu lain yang disebutkan dalam kisah Bhavya di atas ditempatkan dalam generasi-generasi setelah Aśoka, ketika penyimpangan semakin parah sehingga menyebabkan perpecahan pada masa Nanda yang belakangan. Benar atau tidak dari versi Tāranātha bukan poin di sini, tetapi ini memberikan suatu contoh untuk tidak menerima kronologi dari Bhavya III.

Kita telah melihat bahwa mitologi Mahāvihāravāsin melukiskan gambar latar belakang yang cukup rinci bagi kita untuk memahami motif dalam menempatkan perpecahan ketika mereka melakukannya. Di bawah ini kita akan melihat bahwa hal yang sama berlaku bagi Sarvāstivāda, dan beberapa tingkat bagi Mahāsaṅghika. Tetapi tidak ada materi legenda yang bertahan dari kelompok aliran Puggalavāda.[122] Dengan demikian tidak ada cara mengambil kesimpulan apakah motif khusus mereka dalam menempatkan perpecahan begitu awal. Tetapi kita dapat menganggap bahwa mereka memiliki rasa penyesalan yang sedemikian, yang berhubungan dengan kebutuhan universal manusia untuk mencari otoritas kuno atas tradisi spiritual diri sendiri. Dalam kasus ini unsur penting dalam kisah mereka adalah untuk menempatkan perpecahan pada masa Nanda dan Mahāpadma, dan dengan demikian (seperti Mahāvihāravāsin) menetapkan latar untuk memberitahukan kemenangan besar mereka di bawah Aśoka beberapa dekade kemudian.

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa