Dalam buku Darwin, "On The Origin of Species" dijelaskan bahwa mahluk hidup beradaptasi untuk bersaing dan bertahan hidup, kemudian adaptasi itu diturunkan ke generasi berikutnya, sehingga terjadi diversifikasi spesies berdasarkan penyesuaian yang berbeda. Teori Darwin tidak mengarah hanya kepada kesimpulan "manusia asalnya dari monyet/kera", tetapi manusia dan kera memiliki penyesuaian yang sama, dan mungkin juga "nenek moyang" yang sama.
Kalau dalam dhamma, disebut manusia karena berakal budi (mengutamakan pikiran). Jadi sepertinya, bukan masalah fisiologis. Misalnya Buddha mengatakan dalam Aganna Sutta bahwa semasa awal kappa pengembangan, di mana bumi belum berotasi dan matahari & bulan masih belum kelihatan (menurut sains, bumi pada awal pembentukan tertutup gas yang tebal, sehingga dari permukaan bumi (yang hampir seluruhnya air), langit tidak terlihat), manusia sudah ada, tetapi mereka bertubuh cahaya, seperti Brahma Abhassara dan melayang di atas permukaan air. Ini tidak mengherankan karena memang mereka memang meninggal dari alam Abhassara tersebut. Dalam kisah-kisah Buddha masa lampau juga dikisahkan tinggi manusia berubah-ubah, dan kalau dibandingkan dengan dinosaurus, barangkali manusia zaman Buddha Vipassi dan T-Rex, ukurannya seperti manusia sekarang & anjing St. Benard.
Lalu kalau dilihat dari kemunduran mahluk (dari alam Abhassara turun ke alam manusia), manusia bisa berbentuk seperti Brahma Abhassara, maka (jika dilihat dari sudut pandang dhamma,) mungkin saja pada zaman meningkatnya mahluk (dari hewan, menjadi manusia), manusia pun berwujud cenderung seperti hewan.
Yang biasa jadi perdebatan hanyalah ego. Ada orang-orang yang bilang, "Emangnya lu mau dibilang keturunan monyet?" Ini perilaku ego yang tidak bisa menerima kenyataan. Bukan masalah mau atau tidak mau, tetapi masalah bisa atau tidak menerima kenyataan. Banyak manusia yang tidak senang dengan penggolongannya sebagai mamalia, tetapi pada kenyataannya manusia memang mamalia, bukan?